Tim Penyusun
Wresti Indriatmi
Trevino Pakassi
Sjaiful F. Daili
Hanny Nilasari
Editor
Wresti Indriatmi
Sjaiful F. Daili
Sedya Dwisangka
Ann Natalia Umar
Beatricia Iswari
Tiara M Nisa
Budiarto
Kontributor
Wresti Indriatmi
Trevino Pakassi
Sjaiful F. Daili
Hanny Nilasari
KSIMSI (sesuai daftar hadir)
Kemenkes
Nani (Yankes)
Beatrice
Chandra
Kemmy
DAFTAR ISI
Kata Pengantar …………………………………………………………….. i
Tim Penyusun ……………………………………………………………… iii
Daftar Isi ……………………………………………………………………… v
Daftar Singkatan dan Istilah ………………………………………….. vii
Ringkasan Eksekutif ……………………………………………………... x
Bab 1. Pendahuluan ………………………………………………. 1
Bab 2. Epidemiologi IMS di dunia dan Indonesia …….. 5
Bab 3. Pemeriksaan Pasien IMS ……………………………… 11
Bab 4. Pemeriksaan Laboratorium IMS …………………... 21
Bab 5. Tata laksana IMS berdasarkan Sindrom dan
Laboratorium Sederhana …………………………….. 31
Bab 6. Tata laksana IMS Spesifik …………………………….. 59
Bab 7. Penanganan IMS di Fasilitas Kesehatan
Tingkat Pertama …………………………………………. 71
Bab 8. Layanan Kesehatan Masyarakat untuk
Penanganan IMS …………………………………………. 81
Bab 9. Pencegahan dan Pengendalian IMS ………........... 87
Bab 10. Pencatatan dan Pelaporan IMS …………………….. 95
Daftar Pustaka
v
vi
DAFTAR SINGKATAN DAN ISTILAH
AIDS Acquired immunodeficiency syndrome
HIV Human immunodeficiency virus
HPV Human papillomavirus
HSV Herpes simplex virus
NAAT Nucleic acid amplification technique
RPR Rapid plasma reagin
VDRL Venereal disease research laboratory
TPHA Treponema pallidum hemagglutination assay
TP Rapid Treponema pallidum rapid
PITC Provider initiated testing and counseling
KTIP Konseling dan tes atas inisiatif petugas kesehatan
FKTP Fasilitas Kesehatan tingkat primer
FKTL Fasilitas Kesehatan tingkat lanjut
Puskesmas Pusat kesehatan masyarakat
LSL Laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki
vii
viii
Ringkasan Eksekutif
Pedoman Nasional tata laksana IMS terakhir dibuat pada tahun 2016.
Dirasakan perlu untuk menerbitkan Pedoman baru untuk dapat
dilaksanakan pada tahun 2020. Dalam Pedoman yang baru ini dibahas
mengenai pemeriksaan laboratorium IMS dalam bab tersendiri. Tata
laksana berdasarkan pendekatan sindrom masih terus dicantumkan
dalam Pedoman ini, mengingat cara ini masih diperlukan untuk fasilitas
kesehatan yang tidak memiliki sarana laboratorium. Berbeda dengan
versi tahun 2016, dalam Pedoman baru ini akan dibahas mengenai tata
laksana spesifik masing-masing IMS sesuai dengan pedoman terbaru
oleh World Health Orgnization dan European Guidelines.
Pencatatan dan pelaporan IMS merupakan hal yang tidak kalah penting.
Dalam Pedoman ini dilampirkan pula mengenai form Pencatatan dan
Pelaporan IMS yang telah diperbarui.
ix
x
1. Pendahuluan
Pedoman Nasional Infeksi Menular Seksual (IMS) ini dibuat untuk dokter
yang bekerja di klinik, rumah sakit, atau di komunitas kesehatan
masyarakat. Seiring dengan perubahan epidemiologi IMS, kelompok risiko
tinggi IMS yang beragam, dan perkembangan obat baru untuk mengobati
dan mencegah IMS, Pedoman Nasional IMS perlu diperbarui setiap
beberapa tahun.
Intervensi perilaku sangat penting untuk mencegah IMS dan HIV, termasuk:
edukasi dengan fokus pada meningkatkan kewaspadaan terhadap IMS,
mengurangi jumlah pasangan seks, meningkatkan serapan penapisan IMS
dan HIV, menunda hubungan seks pertama kali, dan penggunaan kondom.
Memprioritaskan intervensi untuk populasi khusus (termasuk populasi
kunci untuk HIV), remaja, dan perempuan hamil. Tambahan lagi, bila
pengetahuan masyarakat tentang IMS ditingkatkan, serta mengurangi
stigmatisasi dan diskriminasi, maka penggunaan layanan IMS akan
bertambah baik.
Daftar Pustaka
World Health Organization. Global health sector strategy on sexually transmitted
infections, 2016–2021. Geneva, WHO, 2016
Infeksi menular seksual (IMS) merupakan salah satu penyakit menular yang
umum dijumpai dan dapat mempengaruhi kesehatan dan hidup seseorang.
IMS juga berdampak pada peningkatan risiko tertular human
immunodeficiency virus (HIV). Orang yang menderita IMS seringkali juga
mengalami stigma, menjadi lebih rentan, merasa malu, serta menjadi
korban kekerasan yang berhubungan dengan gender. Perkiraan prevalensi
dan insidens pada tahun 2006 sama dengan tahun 2012, baik secara global
maupun regional, menunjukkan bahwa IMS secara endemis masih persisten
di seluruh dunia.
Epidemi IMS ini mengakibatkan dampak yang besar pada kesehatan dan
hidup anak-anak, remaja, dan dewasa di seluruh dunia:
Kematian janin dan neonatus akibat sifilis pada kehamilan.
Kanker serviks, akibat infeksi HPV.
Infertilitas akibat gonore dan klamidia.
Risiko tertular HIV, terutama pada orang yang terinfeksi IMS yaitu
sifilis, gonore, atau herpes genital, meningkatkan risiko tertular HIV dua
hingga tiga kali lebih sering.
Strategi global IMS terutama ditujukan pada 3 macam IMS yaitu Neisseria
gonorrhoeae (meningkatnya risiko resistensi dan infeksi yang bersamaan
dengan IMS lain terutama Chlamydia trachomatis); Treponema pallidum
(memastikan skrining dan pengendalian sifilis pada ibu hamil dan
pengendalian sifilis pada populasi tertentu); dan human papillomavirus
dengan penekanan pada vaksinasi untuk eliminasi kanker serviks dan kutil
kelamin.
Target global yang dicanangkan WHO untuk mengakhiri epidemi IMS, yaitu
agar pada tahun 2030 tercapai:
Pengurangan insidens global T. pallidum hingga 90% (global baseline
tahun 2018).
Pengurangan insidens global N. gonorrhoeae hingga 90% (global
baseline tahun 2018).
Kasus sifilis kongenital mencapai 50 atau kurang per 100.000 kelahiran
hidup pada 80% negara.
Program vaksinasi HPV masuk dalam program imunisasi nasional
berbagai negara.
Lama waktu masih infeksius pada seseorang tergantung pada jenis patogen
dan dipengaruhi oleh waktu timbulnya gejala, perilaku mau berobat, serta
akses ke klinik layanan (untuk diagnosis dan pengobatan). Diagnosis dini
dan pengobatan yang efektif akan mengurangi lama waktu infeksi, juga
kemungkinan penularan IMS dalam komunitas. Penting untuk dicatat,
bahwa sebagian besar IMS tidak menyebar di dalam sebuah komunitas.
Selain itu sebagian besar IMS juga tidak memberikan imunitas jangka
panjang sehingga kemungkinan dapat timbul reinfeksi.
Data mengenai skrining sifilis pada ibu hamil selama bulan Oktober hingga
Desember 2018 terdiri atas ibu hamil yang berkunjung pertama kali ke KIA
berjumlah 71.815 orang, dan sebanyak 65.523 yang dites sifilis. Sebanyak
732 ibu hamil ternyata menderita sifilis, dan hanya 331 orang yang diobati.
Data bulan April hingga Juni 2019 menunjukkan peningkatan, yakni jumlah
bumil yang berkunjung pertama kali untuk pemeriksaan antenatal dan dites
sifilis terdapat sebanyak 85.163 orang, dan di antaranya terdapat 1.158
yang sifilis, namun hanya 623 ibu hamil yang positif sifilis dan diobati
sebagai sifilis. Berdasarkan kelompok risiko tinggi, dari 9.686 WPS yang
dites sifilis, hanya 425 orang yang diobati; 9.875 LSL yang dites sifilis,
terdapat 794 yang diobati sifilis; dari 21.422 pasangan risiko tinggi yang
dites sifilis, terdapat 756 orang yang diobati sifilis.
Daftar Pustaka
1. World Health Organization. Global health sector strategy on sexually
transmitted infections, 2016–2021. Geneva, WHO, 2016
2. Kementerian Kesehatan RI. Laporan STBP 2015. Survei Terpadu Biologis dan
Perilaku. Jakarta, Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit,
2016.
3. Kementerian Kesehatan RI. Laporan Perkembangan HIV AIDS dan Penyakit
Infeksi Menular Seksual (PIMS) Triwulan IV tahun 2018. Dirjen P2P, Februari
2019
4. Kementerian Kesehatan RI. Laporan Perkembangan HIV AIDS dan Penyakit
Infeksi Menular Seksual (PIMS) Triwulan II tahun 2019. Dirjen P2P, Agustus
2019
Anamnesis
Pemeriksaan Fisis
Pengambilan Spesimen
Gambar 4. Pemeriksaan
bimanual
Pemeriksaan anoskopi
Indikasi
Bila terdapat keluhan atau gejala pada anus dan rektum, pasien
dianjurkan untuk diperiksa dengan anoskopi bila tersedia alat tersebut.
Pemeriksaan ini sekaligus dapat melihat keadaan mukosa rektum atau
Kontra indikasi
Anus imperforata merupakan kontra indikasi absolut untuk tindakan
anoskopi
Posisi Pasien
Pasien berbaring dalam posisi Sim atau miring dengan lutut ditekuk serta
pinggul ditekuk 45o. Posisi pasien di sebelah kiri pemeriksa.
Prosedur
1. Sebelum melakukan pemeriksaan anoskopi, lakukan inspeksi daerah
anus dan sekitarnya, kemudian lakukan pemeriksaan rektum dengan
jari tangan (digital rectal examination)
2. Bila menggunakan anoskopi dengan bagian obturator yang dapat
dilepaskan, pastikan bahwa obturator telah terpasang dengan benar
Tes untuk IMS dapat digunakan untuk berbagai tujuan yang berbeda,
sehingga akan mempengaruhi pilihan tes, misalnya untuk tujuan surveilans,
validasi algorima atau bagan alur tata laksana berdasarkan pendekatan
sindrom, diagnosis seseorang dengan keluhan dan gejala yang mengarah
kepada kemungkinan IMS, skrining orang berisiko tinggi namun
asimtomatik, serta untuk tes kepekaan antimikroba.
Keluhan dan gejala IMS cenderung tidak khas dan umumnya dapat
disebabkan oleh penyebab yang berbeda, sehingga memerlukan terapi yang
Deteksi DNA HSV dalam spesimen klinis menggunakan uji NAAT saat ini
menjadi metode alternatif karena lebih sensitif empat kali lipat, kurang
tergantung pada kondisi pengumpulan dan transportasi, serta lebih cepat
dibandingkan kultur virus.
SEDIAAN
POC KULTUR NAAT
BASAH
JENIS SPESIMEN
• Apusan endoserviks Tidak Tidak Tidak Ya
• Apusan vagina Ya Ya Ya Ya
• Urin laki-laki Ya Tidak Ya Ya
• Urin perempuan Tidak Tidak Tidak Ya
• Apusan uretra laki-laki Ya Tidak Ya Ya
AKURASI
Sensitivitas Rendah Tinggi Sedang Sangat
sampai tinggi
tinggi
Spesifisitas Sangat Sangat Sangat Sangat
tinggi tinggi tinggi tinggi
Daftar Pustaka
Unemo M, Ballard R, Ison C, Lewis D, Ndowa F, Peeling R. Laboratory diagnosis of
sexually transmitted infections, including human immunodeficiency virus. Geneva,
World Health Organization, 2013.
Pada fasilitas kesehatan yang memiliki alat bantu mikroskop atau sarana
laboratorium, maka dapat digunakan bagan alur Bagan 1B. Duh tubuh
uretra laki-laki dengan mikroskop.
Perlu dipertimbangkan
Ulangi sediaan (urin dan endouretra) dengan pewarnaan Gram, kulltur,
dan NAAT untuk Neisseria gonorrhoeae (NG) dan Chlamydia
trachomatis (CT)
Pemeriksaan sedimen urin untuk Trichomonas vaginalis
Konsultasi ke urologi bila tetap tidak dapat ditanggulangi
Tentukan apakah ada etiologi lain yang mendasarinya, misalnya
kecemasan
Ulkus genital
Angka prevalensi relatif kuman penyebab ulkus genital bervariasi, dan
sangat dipengaruhi lokasi geogafis. Setiap saat angka ini dapat berubah dari
waktu ke waktu. Secara klinis diagnosis banding ulkus genital tidak selalu
tepat, terutama bila ditemukan beberapa penyebab secara bersamaan.
Manifestasi klinis dan bentuk ulkus genital sering berubah akibat infeksi
HIV.
Saat ini sering dijumpai ulkus genital bersamaan dengan infeksi HIV, yang
menyebabkan manifestasi klinis berbagai ulkus tersebut menjadi tidak
spesifik. Ulkus karena sifilis stadium primer maupun herpes genitalis
menjadi tidak khas; chancroid menunjukkan ulkus yang lebih luas,
berkembang secara agresif, disertai gejala sistemik demam dan menggigil;
lesi herpes genitalis mungkin berbentuk ulkus multipel yang persisten dan
lebih memerlukan perhatian medis, berbeda dengan vesikel yang umumnya
dapat sembuh sendiri (self limiting) pada seorang yang immunokompeten.
Catatan
Untuk menentukan seseorang alergi terhadap penisilin dilakukan melalui
uji kulit terhadap benzil-benzatin penisilin. Cara melakukan tes kulit:
Bubo inguinalis
Bubo ingunalis dan femoralis adalah pembesaran kelenjar getah bening
setempat di daerah pangkal paha disertai rasa sangat nyeri, dan fluktuasi
kelenjar. Keadaan ini sering disebabkan oleh limfogranuloma venereum
dan chancroid. Meskipun chancroid erat hubungannya dengan ulkus
genital, namun dapat menyebabkan pembesaran kelenjar getah bening.
Penyakit infeksi non-seksual baik infeksi lokal maupun sistemik (misalnya
infeksi pada tungkai bawah) juga dapat menyebabkan pembesaran kelenjar
getah bening di daerah inguinal.
Pada laki-laki yang lebih tua tanpa indikasi penularan lewat hubungan
seksual, sering ditemukan penyebab infeksi umum lainnya, misalnya
Escherichia coli, Klebsiella spesies, atau Pseudomonas aeruginosa. Orkitis
tuberkulosis, umumnya disertai epididimitis, selalu merupakan lesi
sekunder dari lesi di tempat lainnya, khususnya yang berasal dari paru-
paru atau tulang. Pada brucellosis, di sebabkan oleh Brucella melitensis atau
Brucella abortus, secara klinis lebih sering berbentuk orkitis daripada
epididimitis. Pada masa pra-pubertas pembengkakan skrotum sering
disebabkan oleh infeksi basil coliform, pseudomonas atau virus penyebab
parotitis. Epididimo-orkitis oleh parotitis umumnya terjadi dalam waktu
satu minggu sesudah terjadinya pembesaran kelenjar parotis.
PENYEBAB PENGOBATAN
Infeksi menular seksual Seftriakson 500 mg/hari, injeksi intramuskular,
DITAMBAH Doksisiklin* 100 mg per oral 2 kali sehari,
10-14 hari
ATAU
Levofloksasin* 500 mg per oral sekali sehari 10 hari
Di antara wanita dengan gejala duh tubuh vagina, perlu dicari mereka yang
cenderung lebih mudah terinfeksi oleh N. gonorrhoeae dan atau C.
trachomatis. Pada kelompok tersebut, akan lebih bermanfaat bila dilakukan
pengkajian status risiko, terutama bila faktor risiko tersebut telah
disesuaikan dengan pola epidemiologis setempat. Pemeriksaan secara
mikroskopik hanya sedikit membantu diagnosis infeksi serviks, karena
hasil pemeriksaan yang negatif sering menunjukkan hasil yang negatif
palsu. Untuk keadaan ini perlu dilakukan kultur/ biakan kuman.
Tabel 5.6. Tanda dan gejala duh tubuh vagina bukan penyebab servisitis
Tabel 5.8. Pengobatan pasien nyeri perut bagian bawah di rawat jalan
Tiap patogen akan menginfeksi tempat yang berbeda. Sifilis dan HSV akan
menginfeksi epitel gepeng berlapis dan sering dijumpai di daerah perianus
atau pinggir anus. Infeksi yang terjadi di antara pinggir anus dan daerah
anorektum (linea dentata) akan menimbulkan nyeri hebat karena
banyaknya ujung syaraf sensoris di daerah tersebut. Chlamydia dan
gonokokus menginfeksi epitel torak, yang terdapat di daerah rektum.
Daerah rektum memiliki sedikit ujung syaraf sensoris, sehingga infeksi di
daerah itu seringkali tidak disertai nyeri.
Daftar Pustaka
1. Kementerian Kesehatan RI. Pedoman Nasional Penanganan IMS 2016. Jakarta,
DitJen P2PL, 2016
2. WHO guidelines for the treatment of Neisseria gonorrhoeae. Geneva, WHO, 2016
3. WHO guidelines for the treatment of Treponema pallidum (syphilis). Geneva,
WHO, 2016
4. WHO guidelines for the treatment of Chlamydia trachomatis. Geneva, WHO, 2016
5. WHO guidelines for the treatment of genital herpes simplex virus, Geneva, WHO,
2016
6. Lautenschlager S, Kemp M, Christensen JJ, Majans MV, Moi H. 2017 European
guideline for the management of chancroid. Int J STD AIDS 2017; 28:324-9
7. de Vries HJC, de Barbeyrac B, de Vrieze NHN, Viset JD, White JA, Majans MV. 2019
European guideline on the management of lymphogranuloma venereum. JEADV
2019;33:1821-8
8. Horner PJ, Blee K, Falk L, van der Meyden W, Moi H. 2016 European Guideline on
the Management of Non-Gonococcal Urethritis. Int J STD AIDS 2016;27:928-37
9. Street EJ, Justice ED, Kopa Z, Portman MD, Ross JD, Skerlev M, dkk. The 2016
European guideline on the management of epididymo-orchitis. Int J STD AIDS
2017;28:744-9
10. Sherrard J, Wilson J, Donders G, Mendling W, Jensen JS. 2018 European
(IUSTI/WHO) International Union Against Sexually Transmitted Infections
(IUSTI) World Health Organisation (WHO) Guideline on the Management of
Vaginal Discharge. Int J STD AIDS. 2018;29:1258-72
11. Ross J, Guaschino S, Cusini M, Jensen J. 2017 European guideline for the
management of pelvic inflammatory disease. Int J STD AIDS 2018;29:108-14.
TERAPI TUNGGAL
- cefixime 400 mg per oral dosis tunggal
- ceftriaxone 250 mg injeksi IM, dosis tunggal
Kegagalan terapi • Bila diduga terjadi infeksi ulang, ulangi terapi sesuai
anjuran di atas, tegaskan tentang abstinensia, pemakaian
kondom, obati pasangan seksual,
• Bila kegagalan terapi dengan terapi yang tidak sesuai
anjuran, berikan terapi sesuai anjuran di atas.
• Bila kegagalan terapi terjadi dengan terapi anjuran di
atas, tanpa pajanan ulangi terapi dengan pilihan terapi
berikut:
- ceftriaxone 500 mg injeksi IM dosis tunggal DITAMBAH
azithromycin 2 g per oral dosis tunggal
ATAU
- cefixime 800 mg per oral dosis tunggal DITAMBAH
azithromycin 2 g per oral dosis tunggal
ATAU
- gentamicin 240 mg IM dosis tunggal DITAMBAH
azithromycin 2 g per oral dosis tunggal
Oftalmia neonatorum • ceftriaxone 50 mg/kg (maks.150 mg) IM, dosis tunggal
gonore • kanamycin 25 mg/kg (maks. 75 mg) IM, dosis tunggal
MIKROORGANISME PREVALENSI
Chlamydia trachomatis 11–50%
Mycoplasma genitalium 6–50%
Ureaplasmas 5–26%
Trichomonas vaginalis 1–20%
Adenoviruses 2–4%
Herpes simplex virus 2–3%
Gejala UNG berupa duh tubuh uretra, disuria, rasa tidak nyaman di uretra,
ditemukan eritema pada orifisium uretra eksterna. Uretritis non-
gonokokus ini harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan mikroskop dan
mendapatkan leukosit polimorfonuklir (PMN) dari apusan duh tubuh
uretra dengan pewarnaan Gram sebanyak ≥5/LPB (lapang pandang besar),
rata-rata dari 5 lapangan dengan jumlah leukosit PMN terbanyak.
Ulkus genital akibat sifilis primer sering tidak diketahui oleh pasien, bila
tidak diobati akan berlanjut ke stadium sekunder. Gejala sifilis sekunder
dapat menghilang spontan tanpa terapi, namun penyakit akan berlanjut ke
stadium laten.
MASA
STADIUM MANFESTASI KLINIS
INKUBASI
Primer Luka, indurasi, terjadi di tempat inokulasi, 3 minggu (10-90
limfadenopati regional hari)
Sekunder Erupsi kulit, lesi mukosa, kondilomata lata, 2-12 minggu (2
alopesia setempat atau difus, demam, lemas, minggu – 6 bulan)
nyeri kepala, gangguan visus, limfadenopati.
Lesi kulit menyerupai keadaan infeksi atau pun
non-infeksi lain (the great imitator), khas
mengenai telapak tangan dan telapak kaki.
Laten Tanpa manifestasi klinis, namun serologi sifilis Dini (<2 tahun)
reaktif Lanjut (>2 thn)
Tersier Sifilis kardiovaskular: aneurisma aorta, stenosis 10-30 tahun
ostium arteri koronaria, regurgitasi aorta
Neurosifilis: berkisar dari asimtomatik hingga <2 thn – 20 thn
simtomatik (nyeri kepala, vertigo, perubahan
kepribadian, ataksia, demensia, pupil Argyll-
Robertson.
Gumma: kerusakan jaringan pada semua organ, 1-46 thn
manifestasi tergantung pada lokasi yang (sebagian besar
terkena kasus 15 tahun)
Kongenital Dini: 2/3 asimtomatik, infeksi fulminan Awitan < 2 thn
diseminata, lesi mukokutan, osteokondritis,
anemia, hepatosplenomegali, neurosifilis
Lanjut: keratitis interstitialis, limfadenopati, Menetap
hepatosplenomegali, kelainan tulang, gigi >2 thn setelah
Hutchinson, neurosifilis lahir
Catatan: keluhan dan gejala dapat berubah bila terjadi bersamaan dengan infeksi HIV
Tata laksana
SIFILIS KONGENITAL
Bayi konfirmasi sifilis kongenital, atau bayi secara - Aqueous benzyl penicillin
klinis normal tetapi ibu dengan sifilis yang tidak - 100.000–150.000 U/kg/hari
diobati, atau diobati tetapi tidak adekuat injeksi intravena, 10–15 hari
(termasuk terapi dalam waktu 30 hari partus), - Procaine penicillin 50.000
atau diobati dengan regimen bukan penisilin. U/kg/hari injeksi
intramuskular 10–15 hari
Bayi normal secara klinis, dari ibu dengan sifilis - Observasi ketat
dan telah diobati adekuat, tanpa tanda infeksi - Benzathine penicillin G
ulang. - 50.000 U/kg/hari dosis
tunggal injeksi intramuskular
EPISODE TERAPI
Episode pertama - Asiklovir 3X400 mg/hari, oral, selama 10 hari
- Asiklovir 5X200 mg/hari, oral, selama 10 hari
- Valasiklovir 2X500 mg/hari, oral, selama 10 hari
Episode rekurens Untuk dewasa, remaja, dan ibu hamil:
(terapi episodik) - Asiklovir 3X400 mg/hari, oral, selama 5 hari
- Asiklovir 2X800 mg/hari, oral, selama 5 hari
- Asiklovir 3X800 mg/hari, oral, selama 2 hari
- Valasiklovir 2X500 mg/hari, oral, selama 3 hari
Penularan HPV antar pasangan seks sangat tinggi dan dapat terjadi dalam
keadaan tanpa kutil yang terlihat. Pada sebagian besar kasus, infeksi
bersifat asimtomatik dan kutil yang kasat mata hanya terjadi pada sebagian
kecil kasus yang terinfeksi. Masa inkubasi antara infeksi HPV dengan
munculnya kutil sangat bervariasi, namun lebih pendek pada perempuan
(median 2,9 bulan) dibandingkan dengan laki-laki (median 11,0 bulan).
Kutil anogenital seringkali tanpa keluhan, namun dapat juga timbul rasa
gatal, atau dispareuni.
KESEMBUHAN /
JENIS TERAPI CARA KERJA
KEKAMBUHAN
APLIKASI OLEH PASIEN
Podophyllotoxin 0,5% Dioleskan 2X/hari selama 3 Kesembuhan: 36-83%
solution dan 0,15% hari, diikuti 4 hari tanpa terapi, podophyllotoxin solution dan
krim selama 4-5 minggu. 43-70% podophyllotoxin krim
Tidak boleh pada ibu hamil Kekambuhan: 6-100% pernah
dilaporkan 8-21 minggu setelah
dinyatakan sembuh.
Imiquimod krim 5% Dioleskan langsung pada kutil 3 Kesembuhan: 35 -75% pada
kali setiap minggu sebelum pengobatan sampai dengan 16
tidur; antara 6-10 jam minggu
kemudian dicuci dengan air dan Kekambuhan: 6-26% setelah
sabun. sembuh
Terapi diteruskan sampai kutil
tidak ada lagi, atau maksimum
16 minggu.
APLIKASI OLEH DOKTER
Trichloracetic acid Pengolesan setiap minggu pada Kesembuhan: 56–94%
(TCA) 80–90% permukaan kutil dengan lidi Kekambuhan: 36%
solution kapas.
Cryotherapy Menggunakan liquid nitrogen Kesembuhan: 44-87%
dengan sebuah spray gun Kekambuhan: 12 - 42% pada 1-
device untuk membuat lesi 3 bulan dan sampai 59% pada
mengalami freezing, selama 20 12 bulan setelah sembuh
detik.
Dilakukan setiap minggu
sampai kutil anogenital sembuh
Electrosurgery and Diawali dengan Kesembuhan: 94-100%
electrocautery electrodessication diikuti Kekambuhan: 22%
dengan electrofulguration
Podophyllin tincture Harus dioleskan ke kutil *Jangan gunakan pada ibu
25% anogenital, setelah itu dicuci hamil, pernah dilaporkan
setelah 3-4 jam terjadi kematian janin, serta
Terapi dapat diulangi sekali efek teratogenik
atau dua kali dalam seminggu; Jangan digunakan untuk
dosis total jangan melebihi 1-2 mengobati kutil anogenital di
ml setiap kunjungan. daerah serviks, meatus, vagina,
atau anus.
Daftar Pustaka
1. WHO guidelines for the treatment of Neisseria gonorrhoeae. Geneva, WHO, 2016
2. WHO guidelines for the treatment of Treponema pallidum (syphilis). Geneva,
WHO, 2016
3. WHO guidelines for the treatment of Chlamydia trachomatis. Geneva, WHO, 2016
4. WHO guidelines for the treatment of genital herpes simplex virus, Geneva, WHO,
2016
5. Horner PJ, Blee K, Falk L, van der Meyden W, Moi H. 2016 European Guideline on
the Management of Non-Gonococcal Urethritis. Int J STD AIDS 2016;27:928-37
6. Workowski KA, Bolan GA. Sexually Transmitted Diseases Treatment Guidelines,
2015. MMWR Recomm Rep 2015;64(No. 3)
7. Mahony CO, Gomberg M, Skerlev M, Alraddadi A, de las Heras-Alonso ME,
Majewski S, dkk. Position statement for the diagnosis and management of
anogenital warts. JEADV 2019;33:1006-19
8. Gilson R, Nugent D, Werner RN, Ballesteros J, Ross J. 2019 European Guideline for
the Management of Anogenital Warts. Diunduh dari
https://www.iusti.org/Europe/European guidelines/HPV
Infeksi menular seksual yang terjadi pada seseorang tidak terlepas dari
pengaruh keluarga, pasangan seksual pasien, dan lingkungan, baik
lingkungan kerja maupun lingkungan tempat tinggal. Manusia merupakan
mahluk biopsikososial dan di dalam hidupnya manusia terorganisasi sangat
baik mulai dari tingkat subselular sampai ke tingkat perorangan, meluas
sampai ke tingkat keluarga dan masyarakat, bahkan negara dan global.
Contohnya, perhatian Indonesia terhadap penanganan HIV/AIDS tidak
terlepas dari pengaruh global, dan dalam implementasinya program
penanganan HIV/AIDS sampai di tingkat perorangan untuk mengatasi
penyakitnya.
Gambar 9. Sistem Pelayanan Kesehatan dan peran para dokter dalam sistem
pelayanan kesehatan (illustrasi oleh Trevino A.Pakasi, 2019).
1
Naskah Akademik Membangun Sistem Pelayanan Kesehatan Nasional Berbasis Kedokteran
Keluarga dalam Era Sistem Jaminan Sosial Semesta. Pengurus Besar IDI, Jakarta: 2012.
Yang dimaksud dengan FKTL atau rujukan tingkat lanjut (FKRTL) adalah
klinik utama praktik dokter spesialis dermatologi dan venereologi, rumah-
rumah sakit tipe C dan D dengan spesialis dermatovenerologi. Rumah-
rumah sakit tipe B juga merupakan tempat rujukan sekunder. Sebagai
rujukan tersier adalah rumah sakit tipe B pendidikan dan rumah-rumah
sakit tipe A dengan sub spesialisasi venereologi serta terdapat fasilitas
laboratorium yang sesuai.13,14
2
Naskah Akademik Dokter Layanan Primer. Disusun oleh: Kelompok Kerja Percepatan
Pengembangan Kebijakan Dokter Layanan Primer Kemenkes RI 2014
Daftar Pustaka
1. Goh Lee Gan, Azrul Azwar, Sugito Wonodirekso. A Pimer on Family Practice.
2. Rifki NN. Diagnosis Holistik Edisi Ketiga. Trevino Pakasi Editor. Penerbit
Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas FKUI 2017
3. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Pencegahan Penularan
HIV-AIDS dan IMS bagi Kabupaten/Kota. Kemenerian Kesehatan Republik
Indonesia, Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Jakarta :
2010.
4. Undang-undang Republik Indonesia no.36 tahun 2009 Tentang Kesehatan
5. Peraturan Presiden Republik Indonesia no 72 tahun 2012. Sistem Kesehatan
Nasional.
6. Konsil Kedokteran Indonesia. Standar Kompetensi Dokter Indonesia. Penerbit
KKI, Jakarta : 2012
Cara mencegah tertular IMS yang paling utama adalah anjuran untuk
abstinensia (tidak melakukan hubungan seks untuk sementara waktu,
selama masih menderita IMS). Namun pada orang yang tidak dapat
menahan diri (misalnya karena libido atau dorongan seks tinggi) dapat
dianjurkan kondom. Selain itu, pasien juga dianjurkan untuk tidak berganti-
ganti pasangan seks.
Terdapat 2 jenis vaksin HPV yang dapat digunakan untuk mencegah kutil
anogenital: a. vaksin HPV quadrivalent ditargetkan untuk mencegah infeksi
HPV tipe 6 dan 11 (umumnya menyebabkan kutil anogenital, dianggap
sebagai tipe low-risk) dan tipe 16 dan 18 (umumnya menyebabkan kanker
serviks); b. vaksin HPV 9-valent ditargetkan untuk mencegah infeksi HPV
tipe 6, 11, 16, dan 18 ditambah 31, 33, 45, 52, 58. Vaksin HPV merupakan
vaksin untuk profilaksis, yang berarti untuk mencegah infeksi baru HPV.
Vaksin ini tidak dapat mencegah perkembangan infeksi HPV menjadi
penyakit, mengurangi waktu clearance infeksi HPV, atau untuk mengobati
penyakit yang disebabkan oleh HPV. Vaksin dapat mencegah infeksi HPV
genital yang disebabkan oleh low risk HPV dan high risk HPV.
Usia 9-14 tahun Usia 15-26 tahun Usia 21-26 tahun Usia 27-45
(laki-laki) tahun
Vaksin HPV 2 (dua) Vaksin HPV 3 (tiga) Vaksin HPV, Dapat diberikan,
dosis, 0 dan 6-12 dosis, 0, 1-2, dan 6 rejimen 3 dosis namun tidak
bulan bulan rutin
Daftar Pustaka
1. Workowski KA, Bolan GA. Sexually Transmitted Diseases Treatment Guidelines,
2015. MMWR Recomm Rep 2015;64(No. 3)
2. Meites E, Szilagyi PG, Chesson HW, Unger ER, Romero JR, Markowitz LE. Human
Papillomavirus Vaccination for Adults: Updated Recommendations of the
Advisory Committee on Immunization Practices. MMWR Morb Mortal Wkly Rep
2019; 68:698–702
3. Zhang S, Batur P. Human papillomavirus in 2019: An update on cervical cancer
prevention and screening guidelines. Clev Clin J Med. 2019;86:173-8
Pencatatan
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI)
mengembangkan format baku untuk melaporkan data layanan IMS.
Pencatatan kasus IMS mencakup semua layanan kesehatan sektor publik
yang melayani IMS, termasuk tingkat puskesmas dan tingkat rumah sakit
kabupaten/kota/provinsi. Selain itu terdapat sejumlah layanan kesehatan
LSM yang menyediakan layanan IMS bagi populasi kunci yang juga
berpartisipasi dalam pelaporan kasus IMS.
Pencatatan kasus IMS tergantung dari fasilitas laboratorium yang tersedia.
Di pelayanan kesehatan dasar digunakan pencatatan berdasarkan diagnosis
sindrom, sedangkan di tingkat pelayanan yang lebih tinggi digunakan
pencatatan berdasarkan diagnosis etiologis.
SINDROM DEFINISI
Sekret pada uretra laki-laki dengan/tanpa disuria (nyeri
Sekret uretra
saat miksi)
Luka pada penis, skrotum atau rektum pada laki-laki atau
Ulkus genital (non vesikular) labia, vagina atau rektum pada perempuan, dengan
/tanpa pembesaran kelenjar getah bening inguinal.
Vesikel atau lenting di daerah anogenital laki-laki atau
Ulkus genital (vesikular)
perempuan
Cairan abnormal (dijelaskan dengan jumlah, warna dan
Sekret vagina bau) dengan/tanpa nyeri perut bagian bawah, dan
terdapat faktor risiko
Pembesaran kelenjar getah bening daerah inguinal
Bubo inguinal
disertai rasa nyeri, dan dapat menunjukkan fluktuasi.
Skrotum bengkak, nyeri, disertai kemerahan pada kulit di
Pembesaran skrotum
atasnya, umumnya unilateral
Nyeri perut bagian bawah dan nyeri saat berhubungan
Nyeri perut bagian bawah seksual. Pada pemeriksaan nampak cairan vagina, nyeri
tekan pada perut bagian bawah, dan suhu >38oC.
Tonjolan di daerah anogenital, berupa kutil (jengger ayam)
Vegetasi anogenital
sewarna kulit dengan permukaan tampak kasar
Edema kelopak mata, konjungtiva kemerahan, keluar
Konjungtivitis neonatorum
sekret mata sehingga kelopak mata sering kali melekat.
Pelaporan
Untuk keperluan surveilans IMS, tidak semua data yang telah dicatat perlu
dilaporkan. Hanya diperlukan beberapa data untuk melihat besarnya
masalah IMS dan untuk melihat trend IMS yang perlu dilaporkan.
Format pelaporan dikembangkan menggunakan formulir elektronik
melalui sistem berbasis web (Sistem Informasi HIV-AIDS dan IMS atau
disingkat SIHA) di setiap tingkat pelaporan. Di tingkat layanan kesehatan
data dimasukkan melalui SIHA dan kemudian di tingkat kabupaten/kota
dan provinsi dilakukan validasi data. Sistem manajemen data saat ini
memungkinkan pengolahan data dilakukan di tingkat layanan kesehatan,
kabupaten/kota, provinsi, dan nasional.