Anda di halaman 1dari 116

PEDOMAN NASIONAL

INFEKSI MENULAR SEKSUAL

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia


Tahun 2020
Tim Penyusun

Tim Penyusun
Wresti Indriatmi
Trevino Pakassi
Sjaiful F. Daili
Hanny Nilasari

Editor
Wresti Indriatmi
Sjaiful F. Daili
Sedya Dwisangka
Ann Natalia Umar
Beatricia Iswari
Tiara M Nisa
Budiarto

Kontributor
Wresti Indriatmi
Trevino Pakassi
Sjaiful F. Daili
Hanny Nilasari
KSIMSI (sesuai daftar hadir)
Kemenkes
Nani (Yankes)
Beatrice
Chandra
Kemmy
DAFTAR ISI
Kata Pengantar …………………………………………………………….. i
Tim Penyusun ……………………………………………………………… iii
Daftar Isi ……………………………………………………………………… v
Daftar Singkatan dan Istilah ………………………………………….. vii
Ringkasan Eksekutif ……………………………………………………... x
Bab 1. Pendahuluan ………………………………………………. 1
Bab 2. Epidemiologi IMS di dunia dan Indonesia …….. 5
Bab 3. Pemeriksaan Pasien IMS ……………………………… 11
Bab 4. Pemeriksaan Laboratorium IMS …………………... 21
Bab 5. Tata laksana IMS berdasarkan Sindrom dan
Laboratorium Sederhana …………………………….. 31
Bab 6. Tata laksana IMS Spesifik …………………………….. 59
Bab 7. Penanganan IMS di Fasilitas Kesehatan
Tingkat Pertama …………………………………………. 71
Bab 8. Layanan Kesehatan Masyarakat untuk
Penanganan IMS …………………………………………. 81
Bab 9. Pencegahan dan Pengendalian IMS ………........... 87
Bab 10. Pencatatan dan Pelaporan IMS …………………….. 95
Daftar Pustaka

v
vi
DAFTAR SINGKATAN DAN ISTILAH
AIDS Acquired immunodeficiency syndrome
HIV Human immunodeficiency virus
HPV Human papillomavirus
HSV Herpes simplex virus
NAAT Nucleic acid amplification technique
RPR Rapid plasma reagin
VDRL Venereal disease research laboratory
TPHA Treponema pallidum hemagglutination assay
TP Rapid Treponema pallidum rapid
PITC Provider initiated testing and counseling
KTIP Konseling dan tes atas inisiatif petugas kesehatan
FKTP Fasilitas Kesehatan tingkat primer
FKTL Fasilitas Kesehatan tingkat lanjut
Puskesmas Pusat kesehatan masyarakat
LSL Laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki

vii
viii
Ringkasan Eksekutif

Infeksi menular seksual (IMS) masih merupakan masalah kesehatan


masyarakat di seluruh dunia, dapat mengganggu kualitas hidup pasien,
serta menyebabkan morbiditas serius hingga menimbulkan kematian.
IMS menimbulkan dampak langsung pada kesehatan reproduksi dan
anak-anak, karena dapat berakibat pada infertilitas, komplikasi
kehamilan, bahkan kanker. Terlebih lagi IMS merupakan faktor yang
memudahkan seseorang tertular human immunodeficiency virus (HIV).
Lebih dari 1 juta kasus IMS setiap hari. Dalam tahun 2012 diperkirakan
tarjadi 357 juta kasus baru IMS yang dapat disembuhkan (gonore,
klamidia, sifilis, dan trikomoniasis) terutama mengenai kelompok
produktif di seluruh dunia, yaitu kelompok umur 15 hingga 49 tahun.

Pedoman Nasional tata laksana IMS terakhir dibuat pada tahun 2016.
Dirasakan perlu untuk menerbitkan Pedoman baru untuk dapat
dilaksanakan pada tahun 2020. Dalam Pedoman yang baru ini dibahas
mengenai pemeriksaan laboratorium IMS dalam bab tersendiri. Tata
laksana berdasarkan pendekatan sindrom masih terus dicantumkan
dalam Pedoman ini, mengingat cara ini masih diperlukan untuk fasilitas
kesehatan yang tidak memiliki sarana laboratorium. Berbeda dengan
versi tahun 2016, dalam Pedoman baru ini akan dibahas mengenai tata
laksana spesifik masing-masing IMS sesuai dengan pedoman terbaru
oleh World Health Orgnization dan European Guidelines.

Diharapkan kasus IMS juga dapat ditangani di fasilitas kesehatan tingkat


primer (FKTP) sesuai kompetensi dan kewenangan dokter. Oleh karena
itu dibuat bab tersendiri yang membahas mengenai Penanganan IMS di
FKTP ini, serta bagaimana layanan kesehatan masyarakat dapat
berperan untuk menangani IMS.

Pencatatan dan pelaporan IMS merupakan hal yang tidak kalah penting.
Dalam Pedoman ini dilampirkan pula mengenai form Pencatatan dan
Pelaporan IMS yang telah diperbarui.

ix
x
1. Pendahuluan
Pedoman Nasional Infeksi Menular Seksual (IMS) ini dibuat untuk dokter
yang bekerja di klinik, rumah sakit, atau di komunitas kesehatan
masyarakat. Seiring dengan perubahan epidemiologi IMS, kelompok risiko
tinggi IMS yang beragam, dan perkembangan obat baru untuk mengobati
dan mencegah IMS, Pedoman Nasional IMS perlu diperbarui setiap
beberapa tahun.

Dokter harus selalu mengikuti perkembangan riset yang mengaitkan IMS


dengan penyakit-penyakit kronis yang sebenarnya dapat dicegah, baik pada
laki-laki maupun perempuan, misalnya kanker yang dapat ditimbulkan oleh
infeksi human papillomavirus (HPV). Tenaga kesehatan yang bekerja di
fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) diharapkan dapat melakukan
layanan IMS yang berpusat pada pasien (patient-centered) berupa skrining,
diagnosis, tata laksana dan layanan pengobatan untuk beragam pasien IMS.
Dengan selalu mengikuti perkembangan IMS, faktor risiko dan populasi
yang terkena, dokter yang berpraktik mandiri mau pun di komunitas dapat
melakukan layanan sampai kepada edukasi yang bersifat individual atau
berbasis komunitas.

Tatalaksana IMS yang efektif merupakan dasar pengendalian IMS, karena


dapat mencegah komplikasi dan sekuele, mengurangi penyebaran infeksi di
masyarakat, serta merupakan peluang untuk melakukan edukasi terarah
mengenai pencegahan infeksi HIV. Bila hal tersebut dilakukan terhadap
para pasien, maka hal ini dapat mempengaruhi perilaku seksual dan
kebiasaan mereka dalam upaya mencari pengobatan.

Protokol pengobatan yang tepat dan baku sangat dianjurkan untuk


menjamin pengobatan yang adekuat di semua tingkat pelayanan kesehatan.
Pengobatan baku ini akan memudahkan pelatihan dan supervisi terhadap
para petugas kesehatan, memperlambat timbulnya resistensi antimikroba
terhadap kuman penyebab IMS, misalnya terhadap Neisseria gonorrhoeae
(N. gonorrhoeae) dan Haemophillus ducreyi (H. ducreyi), dan juga

Pedoman Tata Laksana IMS 2019 | 1


merupakan salah satu faktor penting dalam mempromosikan pemakaian
obat yang rasional.

Sasaran buku pedoman penatalaksanaan IMS:


 Semua dokter yang berpraktik di tingkat pelayanan kesehatan yang
sehari–hari menjumpai pasien IMS/ tersangka IMS.
 Paramedis (perawat dan bidan), hanya dalam keadaan di mana tidak
ada dokter untuk sementara waktu (di bawah pengawasan dokter
penanggung jawab), dapat menggunakan prosedur tetap ini untuk
melakukan penatalaksanaan pasien.

Penanganan kasus IMS merupakan layanan pada seorang dengan gejala


yang berhubungan dengan IMS, atau dengan hasil positif pada pemeriksaan
laboratorium untuk satu atau lebih IMS. Komponen penanganan kasus IMS
harus dilakukan secara paripurna meliputi: anamnesis, pemeriksaan klinis,
diagnosis yang tepat, pengobatan dini dan efektif, edukasi pasien,
penyediaan dan anjuran untuk menggunakan kondom, notifikasi dan
penanganan pasangan seksnya. Dengan demikian, penanganan kasus yang
efektif, tidak hanya terdiri atas terapi antimikroba untuk memperoleh
kesembuhan dan mengurangi penularan, namun secara menyeluruh dan
meliputi layanan terhadap kesehatan reproduksi pasien.

Diagnosis etiologis IMS merupakan masalah yang terdapat di banyak


tempat, berkaitan dengan kendala waktu, ketersediaan sumber daya,
pembiayaan, dan keterjangkauan pengobatan. Masalah lain yang tidak
kalah penting, muncul akibat beragamnya tingkat sensitivitas dan
spesifisitas hasil tes laboratorium yang akan mengurangi kepercayaan
masyarakat terhadap hasil tes laboratorium. Bilamana fasilitas
laboratorium tersedia, juga diperlukan petugas laboratorium yang terampil
dan terlatih untuk dapat melaksanakan semua prosedur teknis laboratoris.
Semua kelengkapan ini wajib ditunjang dengan fasilitas uji mutu eksternal
yang memadai. Hanya ada beberapa fasilitas kesehatan di Indonesia yang
memiliki sarana laboratorium dan kemampuan sumber daya manusia yang
memadai untuk melakukan diagnosis IMS secara etiologis. Untuk mengatasi
hal tersebut telah dilaksanakan dan dikembangkan penatalaksanaan kasus
IMS berdasarkan pendekatan sindrom untuk semua fasilitas kesehatan
dasar.

2 | Pedoman Tata Laksana IMS 2019


Penanganan kasus IMS berdasarkan pendekatan sindrom dilaksanakan
melalui identifikasi sekelompok keluhan dan gejala sebagai sindrom yang
mudah dikenali, dan selanjutnya ditetapkan pengobatannya terhadap
sebagian besar atau hampir semua mikro-organisme yang diyakini sebagai
penyebab sindrom tersebut. World Health Organization (WHO) telah
mengembangkan satu perangkat yang sudah disederhanakan dan mudah
dimengerti (dalam bentuk bagan alur atau algoritme) untuk memandu para
petugas kesehatan dalam melakukan penatalaksanaan kasus IMS dengan
pendekatan sindrom.

Penanganan kasus IMS dengan pendekatan sindrom untuk duh tubuh


uretra pada laki-laki dan ulkus genital baik pada pria maupun wanita telah
terbukti manfaatnya dan memadai untuk dilaksanakan. Cara ini telah
berhasil mengobati sebagian besar orang yang terinfeksi dengan IMS
dengan cara murah, sederhana dan sangat berhasil guna.

Resistensi antimikroba terhadap patogen IMS telah meningkat di berbagai


tempat di dunia ini sehingga menyebabkan rejimen pengobatan yang
berharga murah tidak lagi efektif atau manjur. Rekomendasi untuk
menggunakan obat yang lebih efektif seringkali harus mempertimbangkan
biaya dan kemungkinan penyalahgunaan.

Kebijakan obat yang berbeda, misalnya menyediakan obat yang kurang


efektif di tingkat pelayanan kesehatan perifer serta obat yang lebih efektif
yang biasanya lebih mahal di tingkat pelayanan kesehatan rujukan, hanya
akan menambah jumlah kegagalan pengobatan, komplikasi, kasus-kasus
yang dirujuk, serta mengurangi keyakinan terhadap pelayanan kesehatan.
Hal semacam ini sangat tidak dianjurkan. Obat-obat yang digunakan untuk
pengobatan IMS di semua tingkat fasilitas layanan kesehatan harus
memberikan kemanjuran paling tidak 95%. Kriteria pemilihan obat IMS:
 Angka kesembuhan/ kemanjuran tinggi (sekurang- kurangnya 95% di
wilayah tersebut).
 Harga murah dan terjangkau.
 Toksisitas dan toleransi masih dapat diterima.
 Pemberian dalam dosis tunggal.
 Cara pemberian per oral.
 Tidak merupakan kontra indikasi untuk ibu hamil atau menyusui.

Pedoman Tata Laksana IMS 2019 | 3


Masyarakat harus bisa mendapatkan layanan IMS yang diperlukan,
meliputi:
 Pencegahan penularan IMS.
 Diagnosis dini IMS dan akses pada pengobatan.
 Tata laksana pasien simtomatik.
 Dapat menjangkau pasangan seks pasien dan mengobatinya.
 Memastikan mutu layanan IMS.
 Paket intervensi untuk mendapatkan dampak maksimal:
o Eliminasi sifilis, HIV dan hepatitis B bagi ibu hamil (program
Triple Elimination).
o Pengendalian tersebarnya resistensi antibiotik pada infeksi
gonokokus.
o Program vaksinasi human papillomavirus.

Intervensi perilaku sangat penting untuk mencegah IMS dan HIV, termasuk:
edukasi dengan fokus pada meningkatkan kewaspadaan terhadap IMS,
mengurangi jumlah pasangan seks, meningkatkan serapan penapisan IMS
dan HIV, menunda hubungan seks pertama kali, dan penggunaan kondom.
Memprioritaskan intervensi untuk populasi khusus (termasuk populasi
kunci untuk HIV), remaja, dan perempuan hamil. Tambahan lagi, bila
pengetahuan masyarakat tentang IMS ditingkatkan, serta mengurangi
stigmatisasi dan diskriminasi, maka penggunaan layanan IMS akan
bertambah baik.

Daftar Pustaka
World Health Organization. Global health sector strategy on sexually transmitted
infections, 2016–2021. Geneva, WHO, 2016

4 | Pedoman Tata Laksana IMS 2019


2.
Epidemiologi IMS di dunia
dan Indonesia

Infeksi menular seksual (IMS) merupakan salah satu penyakit menular yang
umum dijumpai dan dapat mempengaruhi kesehatan dan hidup seseorang.
IMS juga berdampak pada peningkatan risiko tertular human
immunodeficiency virus (HIV). Orang yang menderita IMS seringkali juga
mengalami stigma, menjadi lebih rentan, merasa malu, serta menjadi
korban kekerasan yang berhubungan dengan gender. Perkiraan prevalensi
dan insidens pada tahun 2006 sama dengan tahun 2012, baik secara global
maupun regional, menunjukkan bahwa IMS secara endemis masih persisten
di seluruh dunia.

Badan kesehatan dunia (World Health Organization / WHO)


memperkirakan pada tahun 2012 telah terjadi 357 juta kasus baru 4 macam
IMS yang dapat disembuhkan pada kelompok umur 15-49 tahun, yaitu:
infeksi Chlamydia trachomatis sebanyak 131 juta, infeksi Neisseria
gonorrhoeae sebanyak 78 juta, sifilis 6 juta, dan Trichomonas vaginalis 142
juta. Prevalensi beberapa IMS dengan penyebab virus juga sama tingginya.
Diperkirakan sebanyak 417 juta orang telah terinfeksi herpes simplex virus
(HSV) tipe 2, sekitar 291 juta perempuan mengidap human papillomavirus
(HPV). Prevalensi berbagai jenis IMS ini bervariasi untuk setiap negara dan
gender. Jumlah laki-laki yang menderita IMS sama dengan perempuan,
namun komplikasi IMS membuat perempuan lebih menderita.

Epidemi IMS ini mengakibatkan dampak yang besar pada kesehatan dan
hidup anak-anak, remaja, dan dewasa di seluruh dunia:
 Kematian janin dan neonatus akibat sifilis pada kehamilan.
 Kanker serviks, akibat infeksi HPV.
 Infertilitas akibat gonore dan klamidia.
 Risiko tertular HIV, terutama pada orang yang terinfeksi IMS yaitu
sifilis, gonore, atau herpes genital, meningkatkan risiko tertular HIV dua
hingga tiga kali lebih sering.

Pedoman Tata Laksana IMS 2019 | 5


 Dampak IMS terhadap fisik, psikis, dan sosial akan sangat memengaruhi
kualitas hidup orang yang menderita IMS tersebut.

Strategi global IMS terutama ditujukan pada 3 macam IMS yaitu Neisseria
gonorrhoeae (meningkatnya risiko resistensi dan infeksi yang bersamaan
dengan IMS lain terutama Chlamydia trachomatis); Treponema pallidum
(memastikan skrining dan pengendalian sifilis pada ibu hamil dan
pengendalian sifilis pada populasi tertentu); dan human papillomavirus
dengan penekanan pada vaksinasi untuk eliminasi kanker serviks dan kutil
kelamin.

Target global yang dicanangkan WHO untuk mengakhiri epidemi IMS, yaitu
agar pada tahun 2030 tercapai:
 Pengurangan insidens global T. pallidum hingga 90% (global baseline
tahun 2018).
 Pengurangan insidens global N. gonorrhoeae hingga 90% (global
baseline tahun 2018).
 Kasus sifilis kongenital mencapai 50 atau kurang per 100.000 kelahiran
hidup pada 80% negara.
 Program vaksinasi HPV masuk dalam program imunisasi nasional
berbagai negara.

Pemahaman mengenai dinamika penularan IMS penting untuk


menginterpretasikan arah perkembangan epidemiologi, dan merancang
program pencegahan dan pengendalian IMS. Sifat penularan IMS mungkin
berbeda dengan penyakit infeksi lainnya, karena komponen perilaku akan
mempengaruhi laju penularan digabung dengan faktor biologik, misalnya
seseorang dengan infeksi namun asimtomatik akan mengidap patogen
dalam jangka waktu panjang, yang pada akhirnya akan menyebarkan dan
menular lagi kepada yang lain. Determinan umum penularan IMS dan
penyebaran lebih jauh ke populasi, termasuk probabilitas transmisi, lama
waktu bersifat infeksius, dan kecepatan mendapat pasangan seksual yang
baru.

Kemampuan penularan dalam sebuah hubungan seksual, tergantung pada


beberapa faktor, misalnya faktor intrinsik, kemampuan patogen
menularkan (bersifat infeksius); penggunaan kondom yang benar dan
konsisten, frekuensi melakukan aktivitas seks (misalnya hubungan seks

6 | Pedoman Tata Laksana IMS 2019


penis dengan anus, penis dengan vagina), atau melakukan hubungan seks
saat menstruasi; terdapat lesi di kulit atau mukosa atau berupa ulkus;
melakukan hubungan seks dalam keadaan terdapat gejala penyakit berupa
duh tubuh uretra atau kutil kelamin.

Lama waktu masih infeksius pada seseorang tergantung pada jenis patogen
dan dipengaruhi oleh waktu timbulnya gejala, perilaku mau berobat, serta
akses ke klinik layanan (untuk diagnosis dan pengobatan). Diagnosis dini
dan pengobatan yang efektif akan mengurangi lama waktu infeksi, juga
kemungkinan penularan IMS dalam komunitas. Penting untuk dicatat,
bahwa sebagian besar IMS tidak menyebar di dalam sebuah komunitas.
Selain itu sebagian besar IMS juga tidak memberikan imunitas jangka
panjang sehingga kemungkinan dapat timbul reinfeksi.

Kecepatan mendapatkan pasangan seks baru (kecepatan kontak)


merupakan ukuran penting untuk menilai perilaku seksual. Beda dengan
faktor lain misalnya frekuensi dan jenis aktivitas seksual, kecepatan kontak
dapat memperkirakan frekuensi pasangan seksual yang bersamaan,
jejaring seks, dan pola percampuran antara kelompok polulasi dengan
berbagai aktivitas seks yang berbeda. Pergantian pasangan seksual juga
bervariasi antar komunitas dan umumnya dihubungkan dengan faktor
demografik dan sosioekonomik, yaitu gender, umur, status sosial, etnis dan
tingkat pendidikan.

Keberagaman dalam aktivitas seksual berpengaruh besar dalam prevalensi


atau insidens infeksi dalam sebuah komunitas. Konsep sebuah core group
atau kelompok inti (sebuah kelompok kecil dengan anggota-anggotanya
yang sangat aktif seksual) berperan penting dalam menetapnya sebuah
infeksi. Percampuran antara dan di dalam kelompok berisiko merupakan
komponen yang bermakna untuk transmisi IMS dalam populasi, serta
identifikasi bridge population (populasi antara) penting untuk
merencanakan program pencegahan dan pengendalian IMS. Sifat kelompok
inti misalnya sangat sering memiliki relasi seksual yang bersamaan, sering
terkena pajanan seksual di dalam subpopulasi yang sama, serta menjadi
perantara relasi seksual dengan populasi lainnya.

Pedoman Tata Laksana IMS 2019 | 7


Gambar 1. Dinamika transmisi IMS di tingkat populasi

Data SIHA (Sistem Informasi HIV/AIDS) Kementerian Kesehatan Republik


Indonesia (Kemenkes RI) melaporkan kasus duh tubuh uretra laki-laki dan
ulkus genital laki-laki dan perempuan bulan Oktober hingga Desember
2018 berturut-turut sebanyak 2.374 kasus dan 306 kasus; sedangkan pada
bulan April hingga Juni 2019 sebanyak 1968 dan 270 kasus. Kelompok
risiko yang banyak terkena IMS berdasarkan pendekatan sindrom dan
pemeriksaan laboratorium secara berurutan dari yang terbanyak terdiri
atas pasangan risiko tinggi, wanita pekerja seks (WPS), laki-laki yang
berhubungan seks dengan laki-laki (LSL), pelanggan pekerja seks, waria,
pria pekerja seks (PPS), dan pemakai narkoba suntik.

Hasil Surveilans Terpadu Biologis Perilaku (STBP) tahun 2015, yang


dilakukan di 11 provinsi, di 22 Kabupaten/ Kota, yaitu Sumatra Utara,
Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali,
NTT, Papua, Lampung, dan Maluku, menunjukkan beberapa temuan kunci,
yaitu prevalensi sifilis di kalangan LSL meningkat 2 hingga 3 kali lipat,

8 | Pedoman Tata Laksana IMS 2019


dibandingkan STBP tahun 2011. Prevalensi gonore di kalangan LSL justru
menurun di beberapa kota besar (Bandung, Jakarta, dan Surabaya).
Ternyata LSL lebih banyak yang memilih berobat ke dokter praktik atau
mengobati sendiri, dibandingkan ke Puskesmas.

Data mengenai skrining sifilis pada ibu hamil selama bulan Oktober hingga
Desember 2018 terdiri atas ibu hamil yang berkunjung pertama kali ke KIA
berjumlah 71.815 orang, dan sebanyak 65.523 yang dites sifilis. Sebanyak
732 ibu hamil ternyata menderita sifilis, dan hanya 331 orang yang diobati.
Data bulan April hingga Juni 2019 menunjukkan peningkatan, yakni jumlah
bumil yang berkunjung pertama kali untuk pemeriksaan antenatal dan dites
sifilis terdapat sebanyak 85.163 orang, dan di antaranya terdapat 1.158
yang sifilis, namun hanya 623 ibu hamil yang positif sifilis dan diobati
sebagai sifilis. Berdasarkan kelompok risiko tinggi, dari 9.686 WPS yang
dites sifilis, hanya 425 orang yang diobati; 9.875 LSL yang dites sifilis,
terdapat 794 yang diobati sifilis; dari 21.422 pasangan risiko tinggi yang
dites sifilis, terdapat 756 orang yang diobati sifilis.

Daftar Pustaka
1. World Health Organization. Global health sector strategy on sexually
transmitted infections, 2016–2021. Geneva, WHO, 2016
2. Kementerian Kesehatan RI. Laporan STBP 2015. Survei Terpadu Biologis dan
Perilaku. Jakarta, Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit,
2016.
3. Kementerian Kesehatan RI. Laporan Perkembangan HIV AIDS dan Penyakit
Infeksi Menular Seksual (PIMS) Triwulan IV tahun 2018. Dirjen P2P, Februari
2019
4. Kementerian Kesehatan RI. Laporan Perkembangan HIV AIDS dan Penyakit
Infeksi Menular Seksual (PIMS) Triwulan II tahun 2019. Dirjen P2P, Agustus
2019

Pedoman Tata Laksana IMS 2019 | 9


10 | Pedoman Tata Laksana IMS 2019
3. Pemeriksaan pasien IMS
Pemeriksaan pasien IMS meliputi:
1. Anamnesis tentang riwayat infeksi/ penyakit,
2. Pemeriksaan fisis
3. Pengambilan sampel
4. Pemeriksaan lain

Anamnesis

Anamnesis dapat dilakukan oleh tenaga medis, bertujuan untuk:


 menentukan faktor risiko pasien.
 membantu menegakkan diagnosis sebelum dilakukan pemeriksaan
fisik maupun pemeriksaan penunjang lainnya.
 membantu mengidentifikasi pasangan seksual pasien.
Agar tujuan anamnesis tercapai, diperlukan keterampilan melakukan
komunikasi verbal (cara kita berbicara dan mengajukan pertanyaan kepada
pasien) maupun ketrampilan komunikasi non verbal (keterampilan bahasa
tubuh saat menghadapi pasien).

Sikap saat melakukan anamnesis pada pasien IMS perlu diperhatikan:


 Sikap sopan dan menghargai pasien yang tengah dihadapi
 Membangun suasana yang menjamin privasi dan kerahasiaan, sehingga
sebaiknya dilakukan dalam ruang tertutup dan tidak terganggu oleh
keluar-masuk petugas
 Dengan penuh perhatian mendengarkan dan menyimak perkataan
pasien, jangan sambil menulis saat pasien berbicara dan jangan
memutuskan pembicaraannya.

Pedoman Tata Laksana IMS 2019 | 11


 Gunakan keterampilan verbal anda dengan memulai rangkaian
anamnesis menggunakan pertanyaan terbuka, dan mengakhiri dengan
pertanyaan tertutup. Pertanyaan terbuka memungkinkan pasien untuk
memberikan jawaban lebih panjang sehingga dapat memberikan
gambaran lebih jelas, sedangkan pertanyaan tertutup adalah salah satu
bentuk pertanyaan yang mengharapkan jawaban singkat, sering dengan
perkataan “ya” atau “tidak”, yang biasanya digunakan untuk lebih
memastikan hal yang dianggap belum jelas.
 Gunakan keterampilan verbal secara lebih mendalam, misalnya dengan
memfasilitasi, mengarahkan, dan menyimpulkan, sambil menunjukkan
empati, meyakinkan dan kemitraan.

Informasi yang perlu ditanyakan kepada pasien:


1. Keluhan utama
2. Keluhan tambahan
3. Riwayat perjalanan penyakit
4. Siapa menjadi pasangan seksual tersangka (perempuan/laki-laki),
penjaja seks, teman, pacar, suami/isteri
5. Kapan kontak seksual tersangka dilakukan
6. Jenis kelamin pasangan seksual
7. Cara melakukan hubungan seksual (genito-genital, orogenital,
anogenital)
8. Penggunaan kondom (tidak pernah, jarang, sering, selalu)
9. Riwayat dan pemberi pengobatan sebelumnya (dokter/bukan
dokter/sendiri)
10. Hubungan keluhan dengan keadaan lainnya – menjelang/sesudah
haid; kelelahan fisik/psikis; penyakit: diabetes, tumor, keganasan,
lain-lain; penggunaan obat: antibiotika, kortikosteroid,
kontrasepsi); pemakaian alat kontrasepssi dalam rahim (AKDR);
kehamilan; rangsangan seksual; kontak seksual.
11. Riwayat IMS sebelumnya dan pengobatannya

Untuk menggali faktor risiko perlu ditanyakan beberapa hal tersebut di


bawah ini. Berdasarkan penelitian faktor risiko oleh WHO (World Health

12 | Pedoman Tata Laksana IMS 2019


Organization) di beberapa negara (di Indonesia masih belum diteliti),
pasien akan dianggap berperilaku berisiko tinggi bila terdapat jawaban “ya”
untuk satu atau lebih pertanyaan di bawah ini:
 Pasangan seksual > 1 dalam 1 bulan terakhir
 Berhubungan seksual dengan penjaja seks dalam 1 bulan terakhir
 Mengalami 1/ lebih episode IMS dalam 1 bulan terakhir.
 Perilaku pasangan seksual berisiko tinggi.

Pemeriksaan Fisis

Pemeriksaan fisis terutama dilakukan pada daerah genitalia dan sekitarnya,


yang dilakukan di ruang periksa dengan lampu yang cukup terang. Lampu
sorot tambahan diperlukan untuk pemeriksaan pasien wanita dengan
inspekulo. Dalam pelaksanaan sebaiknya pemeriksa didampingi oleh
seorang tenaga kesehatan lain. Pada pemeriksaan terhadap pasien
perempuan, pemeriksa didampingi oleh paramedis perempuan, sedangkan
pada pemeriksaan pasien laki-laki, dapat didampingi oleh tenaga paramedis
laki-laki atau perempuan. Beri penjelasan lebih dulu kepada pasien
mengenai tindakan yang akan dilakukan:
 Pada saat melakukan pemeriksaan fisik genitalia dan sekitarnya,
pemeriksa harus selalu menggunakan sarung tangan.
 Pasien harus membuka pakaian dalamnya agar dapat dilakukan
pemeriksaan genitalia (pada keadaan tertentu, kadang–kadang pasien
harus membuka seluruh pakaiannya).
• Pasien perempuan, diperiksa dengan berbaring pada meja
ginekologik dalam posisi litotomi.
o Pemeriksa duduk dengan nyaman sambil melakukan
inspeksi dan palpasi mons pubis, labia, dan perineum
o Periksa daerah genitalia luar dengan memisahkan ke dua
labia, perhatikan adakah kemerahan, pembengkakan,
luka/lecet, massa, atau duh tubuh.

Pedoman Tata Laksana IMS 2019 | 13


Gambar 1. Posisi litotomi

• Pemeriksaan pasien laki-laki dapat dilakukan sambil duduk/


berdiri.
o Perhatikan daerah penis, dari pangkal sampai ujung, serta
daerah skrotum
o Perhatikan adakah duh tubuh, pembengkakan, luka/lecet
atau lesi lain
 Lakukan inspeksi dan palpasi pada daerah genitalia, perineum, anus
dan sekitarnya, serta abdomen.
 Jangan lupa memeriksa daerah inguinal untuk mengetahui pembesaran
kelenjar getah bening setempat (regional)
 Bilamana tersedia fasilitas laboratorium, sekaligus dilakukan
pengambilan bahan pemeriksaan.
 Pada pasien laki-laki dengan gejala duh tubuh genitalia disarankan
untuk tidak berkemih selama 2 jam, sebelum pemeriksaan.

Pengambilan Spesimen

Pasien laki-laki dengan gejala duh tubuh uretra


1. Beri penjelasan lebih dahulu agar pasien tidak perlu merasa takut saat
pengambilan bahan duh tubuh gentalia dengan sengkelit atau dengan
swab berujung kecil

14 | Pedoman Tata Laksana IMS 2019


2. Bila menggunakan sengkelit, sterilkan lebih dulu dengan cara
membakarnya pada api bunsen sampai membara, kemudian
didinginkan.
3. Masukkan sengkelit ke dalam orifisium uretra eksterna sampai
kedalaman 1-2 cm, putar sengkelit, dan tarik keluar perlahan-lahan
4. Oleskan duh tubuh ke atas kaca obyek yang sudah disiapkan

Gambar 2. Insersi swab ke


dalam uretra dan diputar 180o

Pasien perempuan dengan duh tubuh vagina


Pasien perempuan dengan status sudah menikah, dilakukan pemeriksaan
inspekulo serta pengambilan spesimen
1. Beri penjelasan lebih dulu mengenai pemeriksaan yang akan dilakukan
agar pasien tidak merasa takut
2. Bila daerah vulva terdapat banyak duh tubuh, bersihkan terlebih dahulu
dengan larutan KMnO4 atau larutan sublimat
3. Setiap pengambilan bahan harus menggunakan spekulum steril, swab atau
sengkelit steril.
4. Masukkan daun spekulum steril dalam keadaan tertutup dengan posisi
tegak/vertikal ke dalam vagina, dan setelah seluruhnya masuk kemudian
putar pelan-pelan sampai daun spekulum dalam posisi datar/horizontal.
Buka spekulum dan dengan bantuan lampu sorot vagina cari serviks. Kunci
spekulum pada posisi itu sehingga serviks terfiksasi,
5. Setelah itu dapat dimulai pemeriksaan serviks, vagina dan pengambilan
spesimen.

Pedoman Tata Laksana IMS 2019 | 15


Langkah pengambilan spesimen:
1) Dari serviks: bersihkan daerah endoserviks dengan kasa steril,
kemudian dengan sengkelit/ swab Dacron™ steril untuk
pembuatan sediaan hapus, dengan swab Dacron™ yang lain dibuat
sediaan biakan,
2) Dari forniks posterior: dengan sengkelit/ swab Dacron™ steril
untuk pembuatan sediaan basah, dan lakukan tes amin
3) Dari dinding vagina: dengan swab Dacron™/ sengkelit steril untuk
sediaan hapus,
4) Dari uretra: dengan sengkelit steril untuk sediaan apus
6. Cara melepaskan spekulum: kunci spekulum dilepaskan, sehingga
spekulum dalam posisi tertutup, putar spekulum 90o sehingga daun
spekulum dalam posisi tegak, dan keluarkan spekulum perlahan-lahan.
7. Pada daun spekulum akan tersisa duh tubuh vagina, kemudian teteskan
larutan KOH 10% dan cium baunya, apakah tercium bau amis, yang
menunjukkan tes amine (whiff test) positif, bila tidak tercium bau amis,
berarti tes amine negatif.
8. pH vagina diperiksa menggunakan kertas lakmus atau kertas pH yang
tersedia secara komersial. Sobek kertas lakmus secukupnya, kemudian
tempelkan ke dalam dinding vagina, tunggu beberapa saat, lalu
dikeluarkan, akan terjadi perubahan warna sesuai dengan pH vagina saat
itu.

Pada pasien perempuan berstatus belum menikah tidak dilakukan


pemeriksaan dengan spekulum, karena akan merusak selaput daranya
sehingga bahan hanya diambil dengan sengkelit steril dari vagina dan uretra.

16 | Pedoman Tata Laksana IMS 2019


1. Dengan jari tangan buka introitus
untuk memasukkan spekulum
2. Spekulum dimasukkan dalam posisi
oblik (daun spekulum dimiringkan)
3. Setelah tampak posisi uterus,
arahkan spekulum pada serviks
4. Buka spekulum untuk
memperlihatkan ostium serviks
eksternal
5. Setelah posisi spekulum di vagina
menunjukkan ostium serviks,
lakukan penguncian spekulum

Gambar 3. Langkah-langkah pemasangan spekulum

Pedoman Tata Laksana IMS 2019 | 17


Pemeriksaan Lain
Pemeriksaan bimanual
1. Gunakan sarung tangan dan dapat digunakan pelumas
2. Masukkan jari tengah dan telunjuk tangan kanan ke dalam vagina, ibu
jari harus dalam posisi abduksi, sedangkan jari manis dan kelingking
ditekuk ke arah telapak tangan
3. Untuk palpasi uterus: letakkan tangan kiri di antara umbilikus dan
tulang simfisis pubis, tekan ke arah tangan yang berada di dalam pelvik
4. Dengan jari tangan, raba fundus uteri sambil mendorong serviks ke
anterior dengan jari-jari yang berada di pelvik. Perhatikan ukuran,
posisi, konsistensi, mobilitas uterus, dan kemungkinan rasa nyeri saat
menggoyangkan serviks
5. Dengan perlahan, geser jari-jari yang berada di vagina menuju forniks
lateral sambil tangan yang berada di atas perut menekan ke arah
inferior

Gambar 4. Pemeriksaan
bimanual

Pemeriksaan anoskopi
Indikasi
Bila terdapat keluhan atau gejala pada anus dan rektum, pasien
dianjurkan untuk diperiksa dengan anoskopi bila tersedia alat tersebut.
Pemeriksaan ini sekaligus dapat melihat keadaan mukosa rektum atau

18 | Pedoman Tata Laksana IMS 2019


pengambilan spesimen untuk pemeriksaan laboratorium bila tersedia
fasilitas.

Kontra indikasi
Anus imperforata merupakan kontra indikasi absolut untuk tindakan
anoskopi

Gambar 5. Alat anoskop


berbahan stainless steel (disertai
obturator)

Posisi Pasien
Pasien berbaring dalam posisi Sim atau miring dengan lutut ditekuk serta
pinggul ditekuk 45o. Posisi pasien di sebelah kiri pemeriksa.

Gambar 6. Posisi lateral


decubitus atau posisi Sim.
Pasien tidak perlu membuka
seluruh baju seperti dalam
gambar, namun cukup
membuka celananya sampai
nampak daerah anus.

Prosedur
1. Sebelum melakukan pemeriksaan anoskopi, lakukan inspeksi daerah
anus dan sekitarnya, kemudian lakukan pemeriksaan rektum dengan
jari tangan (digital rectal examination)
2. Bila menggunakan anoskopi dengan bagian obturator yang dapat
dilepaskan, pastikan bahwa obturator telah terpasang dengan benar

Pedoman Tata Laksana IMS 2019 | 19


3. Beri pelumas sepanjang badan anoskop dengan pelumas standar atau
lidokain
4. Masukkan anoskop secara perlahan, dengan sedikit tekanan untuk
melawan tahanan akibat kontraksi otot sfingter anus eksterna. Terus
dorong alat anoskop sampai mencapai anorektum (lihat gambar 7)
5. Bila obturator terdorong mundur saat insersi, lepaskan anoskop
seluruhnya dan ganti obturator untuk mencegah mukosa anus terjepit
bila obturator dimasukkan belakangan.
6. Dorong terus anoskop sampai batas luar anoskopi mengenai pinggiran
anus.
7. Kecuali alat anoskop dilengkapi dengan lampu, dapat digunakan
sumber penerangan dari luar, misalnya lampu senter atau lampu untuk
pemeriksaan pelvis.
8. Bila anoskop sudah masuk dengan sempurna, tarik obturator keluar
9. Sambil menarik anoskop perlahan-lahan, perhatikan saluran anus.
Adakah perdarahan anus proksimal dari jangkauan anoskop. Hapus
darah atau debris sehingga lapang pandang lebih baik, dan bila
ditemukan duh tubuh dapat dilakukan biakan.
10. Setelah seluruh lingkar mukosa anus diinspeksi, pelan-pelan tarik
anoskop. Perhatikan sumber nyeri atau perdarahan di daerah distal,
misalnya hemoroid, fisura rektum, ulkus, abses, atau robekan.
11. Mendekati tahap akhir penarikan, hati-hati terhadao refleks spasme
sfingkter anus yang dapat menyebabkan anoskop terlempar. Gunakan
tekanan yang agak kuat untuk mencegah anoskop melejit keluar.

Ibu jari menekan obturator Arahkan anoskop ke Saat menarik instrumen,


saat memasukkan alat umbilikus, dan tarik lihat menyeluruh secara
anoskop sampai masuk obturator bila alat sudah rinci menggunakan alat
seluruhnya masuk seluruhnya penerangan / lampu

Gambar 7. Cara memasang anoskop

20 | Pedoman Tata Laksana IMS 2019


4. Pemeriksaan Laboratorium IMS
Spesimen untuk pemeriksaan laboratorium IMS dapat diambil dari
berbagai bagian tubuh yang kemungkinan besar menjadi tempat
tertular/penularan IMS, yaitu duh tubuh genital (uretra, serviks, dan
vagina), duh tubuh yang berasal dari rektum dan farings, urin, duh
konjungtiva, darah (serum atau whole blood), serta dasar ulkus genital.

IMS dapat didiagnosis di laboratorium berdasarkan pemeriksaan (a)


mikroskop, (b) kultur (biakan), (c) serologi, (d) deteksi antigen, (e) deteksi
asam nukleat (NAAT: nucleic acid amplification test). Berbagai cara ini
menunjukkan sensitivitas dan spesifisitas tergantung dari jenis spesimen
dan organisme yang diperiksa. Hasil positif atau negatif palsu dipengaruhi
oleh prevalensi infeksi dalam populasi yang diperiksa. NAAT merupakan
pemeriksaan dengan hasil paling sensitif, sedangkan kultur atau biakan
hasilnya paling spesifik. Meskipun hasil pemeriksaan deteksi antigen,
kultur dan pemeriksaan mikroskop kurang sensitif, namun dapat efektif
untuk beberapa jenis pasien dan spesimen. Pada beberapa keadaan,
pemeriksaan serologi sangat bermanfaat (contoh sifilis), namun pada
keadaan lain kurang bermanfaat (contoh CT). Surrogate markers, berupa tes
strip lekosit esterase, pH, tes amin, atau point-of-care test, dapat bermanfaat
untuk skrining pada beberapa keadaan, namun umumnya kurang sensitif
dan tidak terlalu spesifik.

Tes untuk IMS dapat digunakan untuk berbagai tujuan yang berbeda,
sehingga akan mempengaruhi pilihan tes, misalnya untuk tujuan surveilans,
validasi algorima atau bagan alur tata laksana berdasarkan pendekatan
sindrom, diagnosis seseorang dengan keluhan dan gejala yang mengarah
kepada kemungkinan IMS, skrining orang berisiko tinggi namun
asimtomatik, serta untuk tes kepekaan antimikroba.

Keluhan dan gejala IMS cenderung tidak khas dan umumnya dapat
disebabkan oleh penyebab yang berbeda, sehingga memerlukan terapi yang

Pedoman Tata Laksana IMS 2019 | 21


berbeda pula. Bila akan digunakan untuk diagnosis, waktu yang dibutuhkan
agar hasil dapat memandu tata laksana harus sudah dipikirkan saat memilih
uji diagnostik. Hal ini sangat penting karena pasien IMS dapat menularkan
kepada orang lain, dapat mengalami komplikasi, atau lolos dari pemantauan
dalam interval waktu antara pemeriksaan dengan hasil.

Pemeriksaan laboratorium untuk mendeteksi


N eisseria gonorrhoeae
Gonore seringkali asimtomatik, terutama pada perempuan, atau bila infeksi
terjadi di farings, rektum. Sehingga prosedur laboratorium perlu untuk
diagnosis, skrining, dan memastikan kesembuhan. Diagnosis gonore
dipastikan dengan identifikasi N. gonorrhoeae dalam cairan genital atau di
luar genital. Pada pemeriksaan sediaan apus duh tubuh genital dengan
pewarnaan Gram akan ditemukan diplokokus intrasel leukosit
polimorfonuklir.

Tabel 4.1. Tes diagnostik untuk mendeteksi N. gonorrhoeae


MIKROSKOP KULTUR NAAT
JENIS SPESIMEN
- Apusan endoserviks Ya Ya Ya
- Apusan vagina Tidak Ya Ya (beberapa)
- Urin perempuan Tidak Tidak Ya
- Urin laki-laki Tidak Tidak Ya
- Apusan uretra laki-laki Ya Ya Ya
- Apusan rektum Tidak Ya Tidak
- Apusan orofarings Tidak Ya Tidak
- Apusan konjungtiva Ya Ya Tidak
AKURASI
- Sensitivitas Rendah sampai Sedang sampai Sangat tinggi
tinggi tinggi
- Spesifisitas Sedang sampai Sangat tinggi Sedang sampai
tinggi sangat tinggi

22 | Pedoman Tata Laksana IMS 2019


Tidak ada point of care test (POCT) atau rapid test untuk deteksi antigen N.
gonorrhoeae yang menunjukkan sensitivitas dan spesifisitas yang baik,
sehingga belum ada yang dianjurkan untuk mendiagnosis gonore tanpa
atau dengan komplikasi. Namun pada tempat dengan keterbatasan sarana
laboratorium, POCT dapat digunakan untuk meningkatkan spesifisitas
pendekatan sindrom, dan diharapkan dapat mengurangi pengobatan yang
berlebihan, serta mendeteksi perempuan dengan gonore asimtomatik.
Untuk diagnosis gonore pada laki-laki, pemeriksaan apusan uretra dengan
pewarnaan Gram untuk diperiksa dengan mikroskop merupakan jenis
POCT; meskipun cara ini kurang sensitif untuk pasien perempuan. Pada
pemeriksaan apus sediaan duh tubuh uretra dengan pewarnaan Gram

Pemeriksaan laboratorium untuk mendeteksi


Treponem a pallidum
Treponema pallidum merupakan penyebab penyakit sifilis. Bakteri ini tidak
dapat dibiak pada media artifisial, sehingga metode deteksi langsung,
misalnya dengan mikroskop lapangan gelap, imunofluoresensi langsung
dan tes untuk mendeteksi sekuens DNA spesifik T. pallidum pada spesimen
yang berasal dari lesi kulit atau jaringan, merupakan metode pilihan untuk
diagnosis sifilis dini.

Apapun hasil pemeriksaan mikroskop lapangan gelap, tetap harus


dilakukan tes serologi untuk sifilis (TSS). Tes serologi untuk sifilis
dikelompokkan dalam dua jenis, yaitu tes non-treponema atau tes regain
dan tes treponema. Antibodi non-treponema dapat timbul sebagai reaksi
terhadap sifilis namun juga bisa memberikan banyak hasil positif palsu.
Contoh: rapid plasma reagin (RPR), Venereal Disease Research Laboratory
(VDRL). Tes treponema jarang memberikan hasil positif palsu. Namun
dapat memberi hasil positif/reaktif seumur hidup walaupun terapi sifilis
telah berhasil. Contoh: T. pallidum haemagglutination assay (TPHA),
Treponema pallidum passive particle agglutination assay (TPPA),
Fluorescent Treponemal Antibody Absorption (FTA-Abs) serta sebagian
besar POCT atau rapid test yang telah tersedia secara komersial saat ini.

Pedoman Tata Laksana IMS 2019 | 23


Tabel 4.2. Interpretasi tes serologi sifilis

RPR atau TPHA atau Interpretasi


VDRL TP rapid
Reaktif Non-reaktif Tes skrining non-treponema positif palsu
Reaktif Reaktif • Sifilis yang belum diobati;
• Sifilis lanjut yang pernah diobati
• Frambusia

Non-reaktif Reaktif • Sifilis sangat dini yang belum diobati;


• Sifilis dini yang pernah diobati
• Frambusia
Non-reaktif Non-reaktf • Bukan sifilis;
• Sifilis masa inkubasi;

Tabel 4.3. Sensitivitas dan spesifisitas tes serologi sifilis


SENSITIVITAS (%)
SPESIFI-
JENIS TES Stadium sifilis
SITAS (%)
PRIMER SEKUNDER LATEN TERSIER
RPR 86 (81-100) 100 80 (53-100) 73 (36-96) 98

VDRL 80 (74-87) 100 80 (71-100) 71 (37-94) 98

TPHA / PA 82 (69–90) 100 100 94 99

FTA-Abs 98 (93–100) 100 100 96 99

24 | Pedoman Tata Laksana IMS 2019


Pemeriksaan laboratorium untuk mendeteksi
Herpes Sim plex Virus
Pemeriksaan laboratorium untuk mendiagnosis infeksi herpes simplex
virus (HSV), meliputi deteksi langsung HSV dalam bahan yang berasal dari
lesi dan metode tidak langsung, yaitu serologi. Tes yang tersedia saat ini
meliputi deteksi antigen, nucleic acid amplification tests (NAAT) untuk
virus DNA, serta serologi untuk skrining pajanan terhadap HSV dengan
mendeteksi antibodi HSV tipe 1 dan 2.

Deteksi DNA HSV dalam spesimen klinis menggunakan uji NAAT saat ini
menjadi metode alternatif karena lebih sensitif empat kali lipat, kurang
tergantung pada kondisi pengumpulan dan transportasi, serta lebih cepat
dibandingkan kultur virus.

Tabel. 4.4. Pemeriksaan laboratorium langsung untuk diagnosis HSV


METODE PRINSIP BAHAN SENSITIVITAS SPESIFISITAS
Sitologi Tes Tzank Lesi kulit/ Rendah Rendah
smear mukosa

Deteksi Deteksi sel Apusan dari 80% 90%


antigen virus terinfeksi dasar vesikel
dengan IF
langsung

Biologi Deteksi DNA - lesi kulit 98% ∼100%


molekular HSV dengan - eksudat dari
PCR real time dasar vesikel
- sampel
mukosa
tanpa lesi
- darah

Pedoman Tata Laksana IMS 2019 | 25


Tabel 4.5. Pemeriksaan laborotorium untuk mendiagnosis infeksi HSV-2

Deteksi HSV-1 IgG HSV-2 IgG Interpretasi


HSV-2 spesifik spesifik
langsung
Lesi inisial Positif Positif atau Negatif • Infeksi HSV-2 akut
genital negatif • Ulangi serologi HSV-2
spesifik dalam 15-30
hari

Positif Positif atau Positif Infeksi rekurens HSV-2


negatif yang pernah didapat
dalam waktu 6 minggu
yang lalu

Tanpa lesi Tidak ada Negatif Negatif Pasien berisiko terkena


infeksi HSV-1 orolabial
atau genital dan/atau
infeksi HSV-2

Tidak ada Positif Negatif Pasien berisiko terkena


infeksi HSV-2 orolabial
atau genital

Tidak ada Positif Positif Infeksi HSV-1 and HSV-2


masa lalu

Lesi Positif Positif atau Positif Infeksi HSV-2 rekurens


genital negatif
rekurens Negatif Negatif Positif • Kemungkinan infeksi
HSV-2 rekurens
• Penyebab lain penyakit
ulseratif genital harus
dipikirkan

26 | Pedoman Tata Laksana IMS 2019


Pemeriksaan laboratorium untuk mendeteksi
Chlam ydia trachom atis
Chlamydia trachomatis merupakan penyebab tersering IMS akibat bakteri
secara global, meliputi spektrum penyakit pada berbagai lokasi (yaitu
genital, mata, kelenjar getah bening, dan bronkus). Akibat buruk yang
timbul bila infeksi C. trachomatis, termasuk penyakit radang panggul (PRP),
kehamilan ektopik, infertilitas akibat faktor tuba, epididimitis, prostatitis,
dan lain-lain. Teknologi diagnostik Chlamydia terus berkembang dan
meningkatkan sensitivitas. NAAT dianggap kebih superior sehingga sangat
dianjurkan untuk diagnosis dan skrining infeksi Chlamydia. Meskipun
demikian, pemilihan tes bergantung pada ketersediaan sarana dan tingkat
dukungan laboratorium.

Tabel 4.6. Metode diagnostik untuk mendeteksi C. trachomatis

NAAT KULTUR POC


JENIS SPESIMEN
- Apusan endoserviks Ya Ya Ya
- Apusan vagina Ya (beberapa) Tidak Ya (beberapa)
- Urin perempuan Ya Tidak Tidak
- Urin laki-laki Ya Tidak Tidak
- Apusan uretra laki-laki Ya Ya Ya
- Apusan rektum Tidak Ya Tidak
- Apusan orofarings Tidak Ya Tidak
- Apusan konjungtiva Tidak Ya Tidak
AKURASI
- Sensitivitas Sangat tinggi Sedang sampai Rendah sampai
tinggi sedang
- Spesifisitas Sangat tinggi Sangat tinggi Sangat tinggi

Pedoman Tata Laksana IMS 2019 | 27


Pemeriksaan laboratorium untuk mendeteksi
Trichom onas vaginalis
Untuk mendeteksi T. vaginalis terdapat 4 cara pemeriksaan: sediaan basah
dengan mikroskop, deteksi antigen, kultur, dan nucleic acid amplification
tests (NAAT). Pemeriksaan sediaan basah dengan mikroskop dapat
dilakukan di klinik, bersamaan dengan pemeriksaan untuk vaginosis
bakteri. Cara diagnosis ini merupakan metode diagnostik lini pertama yang
ideal, artinya bila positif, dapat menegakkan diagnosis definitif dengan
spesifisitas yang tinggi bila dilakukan dan diinterpretasi dengan benar.

Tabel 4.7. Metode diagnostik untuk mendeteksi Trichomonas vaginalis

SEDIAAN
POC KULTUR NAAT
BASAH
JENIS SPESIMEN
• Apusan endoserviks Tidak Tidak Tidak Ya
• Apusan vagina Ya Ya Ya Ya
• Urin laki-laki Ya Tidak Ya Ya
• Urin perempuan Tidak Tidak Tidak Ya
• Apusan uretra laki-laki Ya Tidak Ya Ya
AKURASI
 Sensitivitas Rendah Tinggi Sedang Sangat
sampai tinggi
tinggi
 Spesifisitas Sangat Sangat Sangat Sangat
tinggi tinggi tinggi tinggi

Diagnosis trikomoniasis ditegakkan dengan temuan parasit Trichomonas


vaginalis pada pemeriksaan spesimen duh tubuh vagina yang berasal dari
forniks posterior yang dioleskan pada kaca objek yang telah ditetesi dengan
larutan NaCl 0,9%. Bentuk T. vaginalis berupa trofozoit dengan gerakan

28 | Pedoman Tata Laksana IMS 2019


flagella yang khas. Harus berhati-hati dalam menyingkirkan infeksi semata-
mata atas dasar hasil pemeriksaan sediaan basah yang negatif. Organisme
trichomonad bersifat sangat sensitif terhadap suhu, dan akan kehilangan
motilitas dalam waktu 10 menit setelah pengambilan spesimen, sehingga
dapat memberikan hasil negatif palsu. Ukuran trichomonad mirip dengan
sel darah putih (limfosit atau granulosit neutrofil kecil) yang seringkali
ditemukan pada proses inflamasi, sehingga kadangkala dapat salah kira
sebagai sel-sel tersebut. Pemeriksaan sediaan basah yang dilakukan
terhadap duh tubuh uretra seringkali menghasilkan sensitivitas yang
rendah karena kandungan trichomonad yang rendah.

Pemeriksaan laboratorium untuk mendiagnosis


vaginosis bakteri
Vaginosis bakteri (VB) merupakan penyebab umum duh tubuh vagina, dan
dihubungkan dengan ekosistem vagina, akibat berkurangnya populasi
lactobacilli di vagina dan pertumbuhan berlebihan mikroorganisme
anaerob dan Gardnerella vaginalis.

Diagnosis VB secara klinis dan laboratorium dapat ditegakkan berdasarkan


kriteria Amsel dengan menemukan 3 dari 4 kriteria: 1. duh tubuh vagina
putih keabuan, homogen dan melekat; 2. pH >4,5; 3. bau amis seperti ikan,
dan 4. clue cells. Bentuk clue cells dapat dilihat pada sediaan apus duh tubuh
vagina dengan pewarnaan Gram, akan tampak bentuk sel epitel dengan
bagian tepi sel dan inti sel yang kurang jelas. Hal ini disebabkan karena sel
epitel tersebut diliputi oleh berbagai mikroorganisme penyebab VB.

Pemeriksaan kultur organisme yang berkaitan dengan VB tidak bernilai


diagnostik. Bila tersedia fasilitas dapat dilakukan pewarnaan Gram pada
spesimen duh tubuh vagina yang menunjukkan gradasi flora vagina dari
normal melalui intermediate terhadap morfotipe VB, sehingga dapat dibuat
skor menurut kriteria Nugent atau Hay-Ison untuk mendiagnosis VB.

Pedoman Tata Laksana IMS 2019 | 29


Pemeriksaan laboratorium untuk mendiagnosis
kandidiasis vulvovaginalis
Kandidiasis vulvovaginalis (KVV) disebabkan oleh jamur Candida albicans
pada 85% kasus, dan C. glabrata pada 15%. Spesies lain, C. krusei, C,
tropicalis jarang menyebabkan vaginitis. Candida spp. biasanya berasal
endogen dan dapat diisolasi dari genital pada 25% perempuan sehat
asimtomatik usia reproduktif.

Diagnosis KVV ditegakkan berdasarkan gabungan manifestasi klinis dan


pemeriksaan mikroskopik sediaan basah atau spesimen yang ditetesi
dengan kalium hidroksida (KOH). Dengan cara ini dapat ditemukan sel ragi
yang bertunas dan memberikan nilai prediksi yang sangat tinggi untuk
diagnosis KVV. Pemeriksaan dengan apusan spesimen yang diwarnai
dengan pewarnaan Gram, untuk menemukan sel ragi dan pseudohifa lebih
disukai untuk memastikan diagnosis kandidiasis.

Pada perempuan dengan duh tubuh vagina abnormal, yang datang ke


fasilitas kesehatan tanpa sarana laboratorium, pemeriksaan pH vagina <4,5
merupakan indikator yang baik untuk KVV. Hasil ini juga dapat
membedakan dari VB dan trikomoniasis, yang memberikan pH vagina >4,5.
Kertas pH tidak mahal, sensitif, cara yang sederhana, dan seharusnya
tersedia di semua fasilitas kesehatan.

Daftar Pustaka
Unemo M, Ballard R, Ison C, Lewis D, Ndowa F, Peeling R. Laboratory diagnosis of
sexually transmitted infections, including human immunodeficiency virus. Geneva,
World Health Organization, 2013.

30 | Pedoman Tata Laksana IMS 2019


5.
Tata laksana IMS - Sindrom
dan Laboratorium Sederhana

Diagnosis pasien IMS dapat ditegakkan berdasarkan pendekatan sindrom


bagi sarana pelayanan kesehatan yang tidak memiliki fasilitas
laboratorium, atau secara etiologis berdasarkan hasil pemeriksaan
laboratorium sederhana.

Duh Tubuh Uretra


Pasien laki-laki yang datang dengan keluhan duh tubuh uretra dan atau
nyeri pada saat kencing agar diperiksa terlebih dulu ada tidaknya duh
tubuh. Bilamana tidak tampak duh tubuh, agar dilakukan milking, yaitu
pengurutan uretra mulai dari pangkal penis ke arah muara uretra. Bila
masih belum terlihat, dianjurkan untuk tidak kencing sekurang-kurangnya
3 jam sebelum diperiksa.

Pada pemeriksaan dengan pendekatan sindrom tanpa tanpa sarana


laboratorium, dapat digunakan Bagan 1A. Duh tubuh uretra pada laki-laki
dengan pendekatan sindrom

Bila tersedia mikroskop, pemeriksaan terhadap sediaan hapusan uretra,


dapat dilihat peningkatan jumlah leukosit polimorfonuklear dan dengan
pengecatan Gram dapat terlihat kuman gonokokus berupa diplokokus
intrasel leukosit PMN. Pada laki-laki, bila ditemukan ≥ 5 leukosit
polimorfonuklear per lapangan pandang dengan pembesaran tinggi (X
1000), dalam minimum 5 lapangan pandang terdekat. merupakan indikasi
terdapat uretritis (radang saluran kemih).

Pada fasilitas kesehatan yang memiliki alat bantu mikroskop atau sarana
laboratorium, maka dapat digunakan bagan alur Bagan 1B. Duh tubuh
uretra laki-laki dengan mikroskop.

Pedoman Tata Laksana IMS 2019 | 31


Bagan 1A. Duh tubuh uretra laki-laki dengan pendekatan sindrom

32 | Pedoman Tata Laksana IMS 2019


Bagan 1B. Duh tubuh uretra laki-laki dengan pemeriksaan mikroskop

Pedoman Tata Laksana IMS 2019 | 33


Kuman patogen paling sering sebagai penyebab utama duh tubuh uretra
adalah Neisseria gonorrhoeae (NG) dan Chlamydia trachomatis (CT). Oleh
karena itu, pengobatan pasien dengan duh tubuh uretra secara sindrom
harus dilakukan serentak terhadap kedua jenis kuman penyebab tersebut.
Bila ada fasilitas laboratorium yang memadai, kedua kuman penyebab
tersebut dapat dibedakan, dan selanjutnya pengobatan secara lebih spesifik
dapat dilakukan. Etiologi uretritis non-gonore dapat juga oleh Mycoplasma
genitalium, Ureaplasma urealyticum, Trichomonas vaginalis, virus herpes
simplex, adenovirus, atau Candida albicans.

Duh tubuh uretra persisten atau rekurens


Kondisi ini seringkali merupakan masalah yang sulit. Harus dipastikan
ulang dengan melakukan pemeriksaan apusan duh tubuh uretra dengan
pewarnaan Gram. Bila telah dilakukan konfirmasi secara mikrobiologik
atau secara klinis sebagai uretritis persisten, kemungkinan bisa terjadi
akibat pajanan ulang dengan pasangan seks yang belum diobati; infeksi
didapat dari pasangan seks baru; obat tidak diminum dengan benar atau
tidak habis; infeksi dengan patogen lain; ditemukan organisme yang
resisten; penyebab lain, misalnya infeksi saluran kencing, prostatitis,
fimosis, striktura uretra, tumor.

Perlu dipertimbangkan
 Ulangi sediaan (urin dan endouretra) dengan pewarnaan Gram, kulltur,
dan NAAT untuk Neisseria gonorrhoeae (NG) dan Chlamydia
trachomatis (CT)
 Pemeriksaan sedimen urin untuk Trichomonas vaginalis
 Konsultasi ke urologi bila tetap tidak dapat ditanggulangi
 Tentukan apakah ada etiologi lain yang mendasarinya, misalnya
kecemasan

34 | Pedoman Tata Laksana IMS 2019


Tabel 5.1. Pengobatan untuk sindrom duh tubuh uretra

Obat pilihan Sefiksim 400 mg per oral, dosis tunggal DITAMBAH


azitromisin 1 g per oral dosis tunggal

Obat alternatif Sefiksim 400 mg per oral, dosis tunggal DITAMBAH


Doksisiklin* 100 mg per oral, 2 kali/hari selama 7 hari
ATAU
Sefiksim 400 mg per oral, dosis tunggal DITAMBAH
Eritromisin 500 mg, per oral, 4X/hari selama 7 hari
*Tidak boleh diberikan kepada anak di bawah 12 tahun

Tabel 5.2. Pengobatan untuk duh tubuh uretra persisten

Obat pilihan Sefiksim 400 mg per oral, dosis tunggal DITAMBAH


Azitromisin 1 g per oral dosis tunggal DITAMBAH
Metronidazol 2X500 mg/hari per oral selama 7 hari

Obat alternatif Sefiksim 400 mg, oral, dosis tunggal DITAMBAH


Doksisiklin* 100 mg, oral, 2 kali/hari selama 7 hari
DITAMBAH Metronidazol 2X500 mg/hari oral selama 7 hari
ATAU
Sefiksim 400 mg, oral, dosis tunggal DITAMBAH
Eritromisin 500 mg, oral, 4X/hari selama 7 hari DITAMBAH
Metronidazol 2X500 mg/hari oral selama 7 hari
*Tidak boleh diberikan kepada anak di bawah 12 tahun

Ulkus genital
Angka prevalensi relatif kuman penyebab ulkus genital bervariasi, dan
sangat dipengaruhi lokasi geogafis. Setiap saat angka ini dapat berubah dari
waktu ke waktu. Secara klinis diagnosis banding ulkus genital tidak selalu
tepat, terutama bila ditemukan beberapa penyebab secara bersamaan.
Manifestasi klinis dan bentuk ulkus genital sering berubah akibat infeksi
HIV.

Pedoman Tata Laksana IMS 2019 | 35


Bagan 2. Ulkus genital

36 | Pedoman Tata Laksana IMS 2019


Sesudah dilakukan pemeriksaan untuk memastikan ulkus genital,
pengobatan selanjutnya disesuaikan dengan penyebab dan pola sensitivitas
antibiotik setempat, misalnya, di daerah dengan prevalensi sifilis maupun
chancroid yang cukup menonjol, maka pasien dengan ulkus genital harus
segera diobati terhadap kedua kuman penyebab tersebut. Hal ini dilakukan
untuk menjaga kemungkinan pasien tidak kembali untuk tindak lanjut.

Pada daerah yang sering ditemukan granuloma inguinale atau


limfogranuloma venereum (LGV), pengobatan terhadap kedua
mikroorganisme tersebut juga perlu diperhatikan. Di beberapa negara,
herpes genital sangat sering ditemukan sebagai penyebab ulkus genital.
Sedang untuk daerah yang sering ditemukan infeksi HIV, maka peningkatan
proporsi kasus ulkus genital yang disebabkan oleh virus herpes simpleks
sering terjadi. Ulkus pada pasien yang disebabkan oleh virus herpes yang
bersamaan dengan virus HIV gejalanya tidak khas dan menetap lebih lama.

Pemeriksaan laboratorium sebagai penunjang untuk menegakkan


diagnosis sangat jarang dapat membantu pada kunjungan pertama pasien,
dan biasanya hal ini terjadi sebagai akibat infeksi campuran. Dapat
ditambahkan pula, bahwa di daerah dengan angka prevalensi sifilis tinggi,
tes serologis yang reaktif mungkin akan lebih mencerminkan keadaan
infeksi sebelumnya dan dapat memberikan gambaran yang tidak sesuai
dengan keadaan pasien saat itu. Sedangkan tes serologis negatif, belum
tentu menyingkirkan kemungkinan ulkus akibat sifilis stadium primer,
mengingat reaktivitas tes serologi sifilis baru muncul 2-3 minggu setelah
timbul ulkus.

Saat ini sering dijumpai ulkus genital bersamaan dengan infeksi HIV, yang
menyebabkan manifestasi klinis berbagai ulkus tersebut menjadi tidak
spesifik. Ulkus karena sifilis stadium primer maupun herpes genitalis
menjadi tidak khas; chancroid menunjukkan ulkus yang lebih luas,
berkembang secara agresif, disertai gejala sistemik demam dan menggigil;
lesi herpes genitalis mungkin berbentuk ulkus multipel yang persisten dan
lebih memerlukan perhatian medis, berbeda dengan vesikel yang umumnya
dapat sembuh sendiri (self limiting) pada seorang yang immunokompeten.

Pedoman Tata Laksana IMS 2019 | 37


Infeksi HIV yang bersamaan juga dapat mengakibatkan kegagalan
pengobatan pada sifilis fase awal, chancroid, dan herpes genital. Pada pasien
yang demikian perlu dipertimbangkan pengobatan dengan waktu yang
lebih lama, namun masih diperlukan penelitian lebih lanjut.

Tabel 5.3. Rincian pengobatan ulkus genital

Diagnosis Obat yang dianjurkan Obat pilihan lain


Sifilis primer Benzatin - benzilpenisilin 2,4 Penisilin-prokain injeksi IM
juta IU, dosis tunggal, injeksi 600.000 U/hari selama 10 hari
intramuskular Bila terdapat alergi penisilin:
Doksisiklin* 2X100 mg/hari
per oral, selama 14 hari
ATAU
Eritromisin 4 x 500 mg/hari
selama 14 hari ATAU
Seftriakson 1 g injeksi IM
sekali sehari selama 10-14 hari
ATAU Azitromisin 2 g per oral
dosis tunggal
Chancroid Seftriakson 250 mg injeksi Azitromisin 1 g, per oral, dosis
intramuscular dosis tunggal tunggal
ATAU
Eritromisin base, 4x500 mg /
hari, per oral, selama 7 hari
Herpes genital Asiklovir, 5x200 mg/hari, per Asiklovir 3x400 mg/hari
oral ATAU
Lama terapi Valasiklovir, 2x500 mg/hari,
• Hg primer: 7-10 hari per oral
• Hg rekurens: 5 hari

Catatan
Untuk menentukan seseorang alergi terhadap penisilin dilakukan melalui
uji kulit terhadap benzil-benzatin penisilin. Cara melakukan tes kulit:

38 | Pedoman Tata Laksana IMS 2019


1. Campur bubuk benzil-benzatin penisilin 2,4 juta Unit dengan akuades
steril sebanyak 9-10 cc atau sesuai petunjuk sehingga membentuk
suspensi
2. Ambil 0,1 cc suspensi menggunakan tabung injeksi 1cc (tipe
tuberkulin), tambahkan akuades / akuabides agar terjadi larutan 1 cc
3. Suntikkan secara intradermal sebanyak 0,02 cc dengan jarum suntik
ukuran 26 atau 27 pada permukaan volar lengan bawah
4. Tepi bentol kemerahan akibat injeksi ditandai dengan bolpen
5. Amati selama 15 - 20 menit
6. Bila diameter bentol kemerahan meluas lebih dari 3 mm dibandingkan
lesi awal, tes kulit dinyatakan positif. Bila hasil uji kulit positif, berarti
pasien alergi terhadap penisilin

Bubo inguinalis
Bubo ingunalis dan femoralis adalah pembesaran kelenjar getah bening
setempat di daerah pangkal paha disertai rasa sangat nyeri, dan fluktuasi
kelenjar. Keadaan ini sering disebabkan oleh limfogranuloma venereum
dan chancroid. Meskipun chancroid erat hubungannya dengan ulkus
genital, namun dapat menyebabkan pembesaran kelenjar getah bening.
Penyakit infeksi non-seksual baik infeksi lokal maupun sistemik (misalnya
infeksi pada tungkai bawah) juga dapat menyebabkan pembesaran kelenjar
getah bening di daerah inguinal.

Tabel 5.4. Rincian pengobatan bubo inguinalis

Diagnosis Obat yang dianjurkan Obat pilihan lain


Chancroid Seftriakson 250 mg injeksi Azitromisin 1 g, per oral, dosis
intramuscular dosis tunggal tunggal ATAU
Eritromisin base, 4x500 mg /
hari, per oral, selama 7 hari
Limfogranuloma Doksisiklin* 2x100 mg/hari, Eritromisin etilsuksinat 4x400
venereum per oral, 21 hari mg/hari, oral, selama 21 hari

Pedoman Tata Laksana IMS 2019 | 39


Bagan 3. Bubo inguinalis

40 | Pedoman Tata Laksana IMS 2019


Pembengkakan skrotum
Radang saluran epididimis biasanya menimbulkan rasa nyeri pada testis
yang bersifat akut, unilateral, dan sering terasa nyeri pada palpasi
epididimis dan vas deferens. Tampak pula edema dan kemerahan pada kulit
di atasnya. Pada laki-laki berumur kurang dari 35 tahun, pembengkakan
skrotum lebih sering disebabkan oleh organisme penyebab IMS
dibandingkan dengan laki-laki berusia lebih dari 35 tahun. Bila terjadi
radang epididimis disertai duh tubuh uretra, maka hampir dapat dipastikan
bahwa penyebabnya adalah IMS, yang umumnya berupa gonore dan atau
non-gonore. Testis yang terletak berdekatan sering juga menunjukkan
radang (orkitis), bila terjadi bersamaan disebut sebagai epididimo-orkitis.
Pada laki-laki yang berhubungan seksual dengan laki-laki (LSL) secara
anogenital insertif dapat terinfeksi organisme enterik.

Pada laki-laki yang lebih tua tanpa indikasi penularan lewat hubungan
seksual, sering ditemukan penyebab infeksi umum lainnya, misalnya
Escherichia coli, Klebsiella spesies, atau Pseudomonas aeruginosa. Orkitis
tuberkulosis, umumnya disertai epididimitis, selalu merupakan lesi
sekunder dari lesi di tempat lainnya, khususnya yang berasal dari paru-
paru atau tulang. Pada brucellosis, di sebabkan oleh Brucella melitensis atau
Brucella abortus, secara klinis lebih sering berbentuk orkitis daripada
epididimitis. Pada masa pra-pubertas pembengkakan skrotum sering
disebabkan oleh infeksi basil coliform, pseudomonas atau virus penyebab
parotitis. Epididimo-orkitis oleh parotitis umumnya terjadi dalam waktu
satu minggu sesudah terjadinya pembesaran kelenjar parotis.

Penting untuk diingat bahwa pembengkakan skrotum dapat disebabkan


oleh keadaan bukan oleh infeksi virus/ kuman, misalnya akibat rudapaksa,
torsi/terputarnya testis atau tumor. Torsi testis perlu dipertimbangkan bila
nyeri skrotum terjadi secara mendadak, karena memerlukan tindakan
bedah darurat, sehingga perlu segera dirujuk.

Bilamana radang epididimis yang berkaitan dengan IMS tidak mendapatkan


pengobatan yang efektif, maka akan menyebabkan infertilitas
(kemandulan). Pembengkakan skrotum perlu diobati dengan obat untuk
gonore dengan komplikasi bersama dengan obat untuk non-gonore.

Pedoman Tata Laksana IMS 2019 | 41


Bagan 4. Pembengkakan skrotum

42 | Pedoman Tata Laksana IMS 2019


Tabel 5.5. Pengobatan pembengkakan skrotum

PENYEBAB PENGOBATAN
Infeksi menular seksual Seftriakson 500 mg/hari, injeksi intramuskular,
DITAMBAH Doksisiklin* 100 mg per oral 2 kali sehari,
10-14 hari
ATAU
Levofloksasin* 500 mg per oral sekali sehari 10 hari

Organisme enterik Levofloksasin* 500 mg per oral sekali sehari selama 10


hari
* Tidak boleh diberikan kepada anak di bawah 12 tahun

Duh tubuh vagina


Keluhan duh tubuh vagina abnormal biasanya disebabkan oleh radang
vagina, tetapi dapat pula akibat radang serviks yang muko-purulen.
Trikomoniasis, kandidiasis dan vaginosis bakteri merupakan keadaan yang
paling sering menimbulkan infeksi vagina sedangkan N. gonorrhoeae dan C.
trachomatis sering menyebabkan radang serviks. Deteksi infeksi serviks
berdasarkan gejala klinis sulit dilakukan, karena sebagian besar wanita
dengan gonore atau klamidiosis tidak merasakan keluhan atau gejala
(asimtomatis). Gejala duh tubuh vagina abnormal merupakan petunjuk
kuat untuk infeksi vagina, namun merupakan petanda lemah untuk infeksi
serviks. Jadi semua wanita yang menunjukkan tanda-tanda duh tubuh
vagina agar diobati juga untuk trikomoniasis dan vaginosis bakteri.

Di antara wanita dengan gejala duh tubuh vagina, perlu dicari mereka yang
cenderung lebih mudah terinfeksi oleh N. gonorrhoeae dan atau C.
trachomatis. Pada kelompok tersebut, akan lebih bermanfaat bila dilakukan
pengkajian status risiko, terutama bila faktor risiko tersebut telah
disesuaikan dengan pola epidemiologis setempat. Pemeriksaan secara
mikroskopik hanya sedikit membantu diagnosis infeksi serviks, karena
hasil pemeriksaan yang negatif sering menunjukkan hasil yang negatif
palsu. Untuk keadaan ini perlu dilakukan kultur/ biakan kuman.

Pedoman Tata Laksana IMS 2019 | 43


Pengetahuan tentang prevalensi gonore dan atau klamidiosis pada wanita
dengan duh tubuh vagina sangat penting dalam menetapkan pengobatan
infeksi serviks. Makin tinggi prevalensi gonore dan atau klamidiosis, maka
akan lebih meyakinkan kita untuk memberikan pengobatan terhadap
infeksi serviks. Perempuan dengan faktor risiko lebih cenderung
menunjukkan infeksi serviks dibandingkan dengan mereka yang tidak
berisiko. Perempuan dengan duh tubuh vagina disertai faktor risiko perlu
dipertimbangkan untuk diobati sebagai servisitis yang disebabkan oleh
gonore dan klamidiosis.

Bila sumber daya memungkinkan, perlu dipertimbangkan untuk melakukan


skrining dengan tes laboratorium terhadap para perempuan dengan duh
tubuh vagina. Skrining tersebut dapat dilakukan terhadap semua
perempuan dengan duh tubuh vagina atau secara terbatas hanya terhadap
mereka dengan duh tubuh vagina dan faktor risiko positif.

Tabel 5.6. Tanda dan gejala duh tubuh vagina bukan penyebab servisitis

TRIKOMONIASIS KANDIDIASIS VAGINOSIS BAKTERI


- 10-50% asimtomatik - Kolonisasi Candida sp. - Sekitar 50%
- 70% Berbau pada 60% perempuan asimtomatik
menyengat - Sebagian kecil timbul - Duh tubuh vagina
- 10-30% kuning keluhan/gejala homogen, tipis,
kehijauan dan berbusa - Duh tubuh vagina melekat pada dinding
- Vulva gatal, iritasi dan putih susu dan vestibulum dan vagina
eritema bergumpal - Berbau amis seperti
- Terdapat vaginitis - Tidak berbau bau ikan
- 2% strawberry cervix - Vulva gatal dan - Tidak dijumpai
yang tampak dengan eritema vaginitis
mata telanjang - Fisura pada vulva
- Vulva bengkak
- Dispareunia superfisial
- Lesi satelit di kulit

44 | Pedoman Tata Laksana IMS 2019


Bagan 5A. Duh tubuh vagina dengan pendekatan sindrom

Pedoman Tata Laksana IMS 2019 | 45


Bagan 5B. Duh tubuh vagina dengan spekulum

46 | Pedoman Tata Laksana IMS 2019


Bagan 5C. Duh tubuh vagina dengan spekulum & mikroskop

Pedoman Tata Laksana IMS 2019 | 47


Tabel 5.7. Pengobatan duh tubuh vagina

DIAGNOSIS OBAT UTAMA OBAT PILIHAN


SERVISITIS
• Servisitis gonore Sefiksim 400 mg, dosis Sefiksim 400 mg, dosis
dan non-gonore tunggal, per oral tunggal, per oral DITAMBAH
DITAMBAH Azitromisin 1 g, Doksisiklin* 2x100 mg/hari,
dosis tunggal, per oral per oral, 7 hari
ATAU
Sefiksim 400 mg, dosis
tunggal, per oral DITAMBAH
Eritromisin 4 x 500 mg/hari,
per oral, 7 hari
VAGINITIS
• Trikomoniasis Metronidazol** 2x500 Metronidazol** 2 g per oral
mg/hari, per oral, selama 7 dosis tunggal
hari
• Vaginosis bakteri Metronidazol** 2x500 Metronidazol** 2 g per oral
mg/hari, per oral, selama 7 dosis tunggal
hari ATAU
Klindamisin 2x300 mg/hari
per oral, selama 7 hari
• Kandidiasis Klotrimazol 200 mg Nistatin, 100.000 IU,
vaginitis intravagina, setiap hari, intravagina, setiap hari
selama 3 hari selama 7 hari
ATAU
Klotrimazol 500 mg
intravagina dosis tunggal
ATAU
Flukonazol* 150 mg, per
oral dosis tunggal,
ATAU
Itrakonazol* 200 mg, per
oral dosis tunggal
* Tidak boleh diberikan kepada ibu hamil, ibu menyusui, atau anak di bawah 12 tahun
** Pasien dalam pengobatan metronidazol dianjurkan untuk menghindari minum alkohol

48 | Pedoman Tata Laksana IMS 2019


Nyeri perut bagian bawah
Semua perempuan aktif seksual dengan keluhan nyeri perut bagian bawah
perlu dievaluasi terhadap kemungkinan salfingitis dan atau endometritis
atau penyakit radang panggul (PRP). Sebagai tambahan, pemeriksaan
abdominal dan bimanual rutin agar dilakukan terhadap semua perempuan
dengan dugaan IMS karena biasanya perempuan dengan PRP atau
endometritis pada awalnya tidak akan mengeluhkan nyeri perut bagian
bawah. Perempuan dengan endometritis akan mengeluhkan duh tubuh
vagina dan atau perdarahan vagina, dan atau nyeri pada uterus pada saat
pemeriksaan dalam. Gejala yang mengarah kepada PRP antara lain berupa
nyeri perut, nyeri pada saat bersanggama (dispareunia), duh tubuh vagina,
menometroragia, disuria, nyeri yang berhubungan dengan menstruasi,
demam, dan kadang-kadang disertai dengan mual dan muntah.

Penyakit radang panggul sulit untuk didiagnosis, sebab manifestasi


klinisnya dapat bermacam- macam. Kemungkinan PRP sangat besar bila
ditemukan salah satu atau beberapa simtom tersebut di atas disertai
dengan nyeri pada adneksa, infeksi traktus genitalia bagian bawah, dan
nyeri goyang serviks. Pembesaran salah satu atau kedua tuba falopii,
terdapat massa nyeri di dalam panggul yang disertai nyeri spontan atau
nyeri lepas pada perut bagian bawah dapat pula ditemukan. Suhu tubuh
pasien dapat meningkat, namun pada beberapa kasus dapat tetap normal.
Umumnya, para klinisi sering keliru dalam menegakkan diagnosis, sehingga
terjadi diagnosis dan pengobatan yang berlebihan.

Kuman penyebab PRP meliputi N. gonorrhoeae, C. trachomatis, dan bakteri


anaerob, (Bacteroides spesies, dan kokus Gram positif). Kuman berbentuk
batang Gram negatif dan Mycoplasma hominis dapat juga menjadi penyebab
PRP. Secara klinis penyebab tersebut sulit dibedakan, dan pemeriksaan
mikroskopik juga sulit dilakukan, oleh karena itu cara pengobatan yang
diberikan harus efektif dan memiliki spektrum yang luas terhadap semua
kuman penyebab tersebut. Rejimen yang dianjurkan di bawah ini
didasarkan pada prinsip tersebut.

Pedoman Tata Laksana IMS 2019 | 49


Bagan 6. Nyeri perut bagian bawah dengan pendekatan sindrom

50 | Pedoman Tata Laksana IMS 2019


Rawat inap pasien dengan PRP perlu dipertimbangkan dengan sungguh-
sungguh pada keadaan
• diagnosis tidak dapat dipastikan,
• indikasi bedah darurat misalnya radang usus buntu (apendisitis), atau
kehamilan ektopik terganggu,
• dugaan abses pada rongga panggul,
• terdapat kemungkinan penyakit akan semakin parah bila rawat jalan,
• pasien sedang hamil,
• pasien tidak mau atau tidak menaati rejimen pengobatan bila dilakukan
rawat jalan, atau
• kegagalan pengobatan saat rawat jalan.
Para ahli menganjurkan agar semua pasien dengan PRP harus dirawat inap
untuk mendapatkan pengobatan yang lebih baik.

PENGOBATAN SINDROM NYERI PERUT BAGIAN BAWAH

Pengobatan untuk gonore dengan komplikasi


DITAMBAH
Pengobatan untuk servisitis non-gonore
DITAMBAH,
Pengobatan untuk bakteri anaerob

Tabel 5.8. Pengobatan pasien nyeri perut bagian bawah di rawat jalan

GONORE SERVISITIS NON-


TERAPI BAKTERI ANAEROB
KOMPLIKASI GONORE
Pilihan Seftriakson 500 Doksisiklin* 2x100 Metronidazol**
mg/hari, injeksi mg/hari, per oral, 2x500 mg/hari, per
intramuskular, dosis selama 14 hari oral selama 14 hari
tunggal
* Tidak boleh diberikan kepada ibu hamil, ibu menyusui, atau anak di bawah 12 tahun
** Pasien dalam pengobatan metronidazol dianjurkan untuk menghindari minum alkohol

Pedoman Tata Laksana IMS 2019 | 51


Anjuran tambahan: bila pasien merupakan akseptor alat kontrasepsi dalam
rahim / intrauterine device (AKDR/IUD) agar dilakukan pengangkatan alat
kontrasepsi tersebut, segera sesudah pengobatan dengan antimikroba
dimulai. Bila AKDR sudah diangkat, perlu diberikan konseling mengenai
cara kontrasepsi selanjutnya. Tindak lanjut pasien penyakit radang panggul
dengan nyeri perut bagian bawah yang dirawat jalan perlu dilakukan
sesudah 72 jam, dan lakukan rawat inap bila belum menunjukkan
perbaikan.

Tonjolan (vegetasi) pada anogenital


Human papillomavirus (HPV) biasanya menular secara seksual. Kutil pada
genital biasanya tidak nyeri, dan tidak menimbulkan komplikasi yang
serius, kecuali bila menyebabkan obstruksi. Pengangkatan lesi bukan
berarti penyembuhan infeksi, dan tidak ada cara pengobatan yang
memuaskan. Pada umumnya podofilin (atau podofilotoksin) atau
trichloracetic acid (TCA) digunakan untuk pengobatan kutil pada genital
eksterna dan daerah perianus. Krioterapi dengan nitrogen cair,
carbondioxida padat, atau cryoprobe merupakan pilihan banyak dokter bila
sarana tersebut tersedia. Krioterapi adalah cara yang tidak toksik, tidak
memerlukan tindakan anastesi dan bilamana dilakukan secara benar, tidak
akan menimbulkan jaringan parut.

Tabel 5.9. Beberapa cara pengobatan kutil kelamin

TERAPI DENGAN BAHAN KIMIA TERAPI DENGAN BAHAN FISIK


Tingtura podofilin 10-25%, Anjuran Dapat dipilih salah satu cara di bawah ini:
untuk dicuci setelah 4 jam - Krioterapi dengan nitrogen cair
ATAU - Krioterapi dengan CO2 padat
Larutan trichloroacetic acid (TCA) 80- - Bedah listrik/elektrokauterisasi
90% - Pembedahan (bedah skalpel)

52 | Pedoman Tata Laksana IMS 2019


Bagan 7. Tonjolan (vegetasi) pada genital dan/atau anus

Pedoman Tata Laksana IMS 2019 | 53


Pasangan seks pasien juga perlu diperiksa terhadap kemungkinan
menderita kutil kelamin. Pasien dengan kutil anogenitalis perlu disadarkan
bahwa dirinya dapat menularkan penyakitnya kepada pasangan seksnya.
Penggunaan kondom dianjurkan untuk membantu mengurangi penularan
selanjutnya.

Proktitis akibat infeksi menular seksual


Proktitis, inflamasi daerah rektum, dapat disebabkan oleh infeksi dan
bukan infeksi. Patogen penyebab proktitis umumnya ditularkan melalui
hubungan seks ano-genital tanpa pelindung kepada pasangan seks yang
bersifat reseptif. Di antara berbagai mikroorganisme penyebab IMS,
Neisseria gonorrhoeae, Chlamydia trachomatis, Treponema pallidum dan
herpes simplex virus (HSV) sering menimbulkan proktitis.

Keluhan yang ditimbulkan oleh proktitis akibat IMS dapat menyerupai


keadaan lain sehingga menyulitkan diagnosis. Pasien paling sering
mengeluh mengenai rasa ingin buang air besar yang timbul terus menerus
atau berulang kali. Keluhan lain meliputi nyeri daerah anorektum atau rasa
tidak nyaman, duh tubuh anus purulen, mukoid, atau disertai darah,
tenesmus, perdarahan dari anus, dan konstipasi. Kadang-kadang dapat
disertai demam.

Tiap patogen akan menginfeksi tempat yang berbeda. Sifilis dan HSV akan
menginfeksi epitel gepeng berlapis dan sering dijumpai di daerah perianus
atau pinggir anus. Infeksi yang terjadi di antara pinggir anus dan daerah
anorektum (linea dentata) akan menimbulkan nyeri hebat karena
banyaknya ujung syaraf sensoris di daerah tersebut. Chlamydia dan
gonokokus menginfeksi epitel torak, yang terdapat di daerah rektum.
Daerah rektum memiliki sedikit ujung syaraf sensoris, sehingga infeksi di
daerah itu seringkali tidak disertai nyeri.

Pasien dengan keluhan daerah anorektum harus diperiksa fisis, termasuk


pemeriksaan daerah abdomen, daerah anogenitalis serta kemungkinan

54 | Pedoman Tata Laksana IMS 2019


terdapat limfadenopati inguinal. Anoskopi atau proktoskopi sebagai alat
penunjang untuk melihat mukosa anorektum dan memeriksa kemungkinan
terdapat ulkus, inflamasi, duh tubuh atau perdarahan. Pengambilan bahan
apusan rektum untuk pemeriksaan gonokus atau klamidia dapat dilakukan
dengan/tanpa anoskopi. Bila ada fasilitas, dapat dilakukan pemeriksaan
sediaan apus dengan pewarnaan Gram dan dilihat di bawah mikroskop,
untuk diagnosis segera gonore, namun sensitivitasnya rendah. Tes serologi
sifilis dapat dilakukan untuk mendiagnosis sifilis bila ditemukan ulkus.
Pasien dengan proktitis akut disertai riwayat hubungan seksual melalui
anus, dapat diobati secara empiris sebagai gonore dan klamidiosis. Proktitis
oleh HSV masih efektif dengan asiklovir, valasiklovir, dan bila sering
rekurens dapat diberi dosis supresi. Pengobatan untuk sifilis sama dengan
untuk sifilis di tempat lain. Pasangan seks pasien dianjurkan untuk
diperiksa dan diobati juga.

Tabel 5.10. Patogen IMS penyebab tersering proktitis beserta gejala

ORGANISME KELUHAN DAN GEJALA


Neisseria gonorrhoeae Umumnya asimtomatik. Pruritus daerah anus,
konstipasi, duh tubuh anus mukopurulen
dengan/tanpa perdarahan, nyeri daerah anus dan
tenesmus
Chlamydia trachomatis Umumnya asimtomatik. Pruritus daerah anus, duh
(serovar non-LGV) tubuh anus mukoid, nyeri daerah perianus
Chlamydia trachomatis Keluhan sistemik (demam & malaise. Duh tubuh anus
(serovar LGV) purulen seringkali disertai bercak darah. Nyeri hebat,
tenesmus, konstipasi.
Treponema pallidum Ulkus daerah anorektum, umumnya asimtomatik,
dapat pula rasa nyeri atau tidak nyaman, gatal,
perdarahan, duh tubuh anus dan tenesmus
Herpes simplex virus Lesi vesikel, nyeri hebat, tenesmus, duh tubuh anus,
gejala viremia misalnya demam dan limfadenopati

Pedoman Tata Laksana IMS 2019 | 55


Bagan 8. Proktitis akibat infeksi menular seksual

56 | Pedoman Tata Laksana IMS 2019


Tabel 5.11. Pengobatan proktitis akibat IMS

Seftriakson 500 mg, injeksi IM, dosis tunggal


DITAMBAH
Doksisiklin* 2x100 mg/hari, per oral, 7 hari
DITAMBAH
Valasiklovir, 2x500 mg/hari, per oral, 5-10 hari ATAU Asiklovir 3x400 mg/hari,
selama 5-10 hari
DITAMBAH
Benzatin - benzilpenisilin 2,4 juta IU, dosis tunggal, injeksi IM ATAU
Doksisiklin* 2x100 mg/hari, per oral, 14 hari

Daftar Pustaka
1. Kementerian Kesehatan RI. Pedoman Nasional Penanganan IMS 2016. Jakarta,
DitJen P2PL, 2016
2. WHO guidelines for the treatment of Neisseria gonorrhoeae. Geneva, WHO, 2016
3. WHO guidelines for the treatment of Treponema pallidum (syphilis). Geneva,
WHO, 2016
4. WHO guidelines for the treatment of Chlamydia trachomatis. Geneva, WHO, 2016
5. WHO guidelines for the treatment of genital herpes simplex virus, Geneva, WHO,
2016
6. Lautenschlager S, Kemp M, Christensen JJ, Majans MV, Moi H. 2017 European
guideline for the management of chancroid. Int J STD AIDS 2017; 28:324-9
7. de Vries HJC, de Barbeyrac B, de Vrieze NHN, Viset JD, White JA, Majans MV. 2019
European guideline on the management of lymphogranuloma venereum. JEADV
2019;33:1821-8
8. Horner PJ, Blee K, Falk L, van der Meyden W, Moi H. 2016 European Guideline on
the Management of Non-Gonococcal Urethritis. Int J STD AIDS 2016;27:928-37
9. Street EJ, Justice ED, Kopa Z, Portman MD, Ross JD, Skerlev M, dkk. The 2016
European guideline on the management of epididymo-orchitis. Int J STD AIDS
2017;28:744-9
10. Sherrard J, Wilson J, Donders G, Mendling W, Jensen JS. 2018 European
(IUSTI/WHO) International Union Against Sexually Transmitted Infections
(IUSTI) World Health Organisation (WHO) Guideline on the Management of
Vaginal Discharge. Int J STD AIDS. 2018;29:1258-72
11. Ross J, Guaschino S, Cusini M, Jensen J. 2017 European guideline for the
management of pelvic inflammatory disease. Int J STD AIDS 2018;29:108-14.

Pedoman Tata Laksana IMS 2019 | 57


12. Gilson R, Nugent D, Werner RN, Ballesteros J, Ross J. 2019 European Guideline for
the Management of Anogenital Warts. Diunduh dari
https://www.iusti.org/Europe/European guidelines/HPV
13. de Vries HJC, Zingoni A, White JA, Ross JDC, Kreuter A. 2013 European Guideline
on the management of proctitis, proctocolitis and enteritis caused by sexually
transmissible pathogens. Int J STD AIDS 2014;25:465-74

58 | Pedoman Tata Laksana IMS 2019


6. Tata laksana IMS spesifik

Infeksi gonokokus (N eisseria gonorrhoeae ) – A54


Gonore, yang disebabkan oleh Neisseria gonorrhoeae, merupakan IMS
penyebab bakteri nomor dua tersering ditemukan. Infeksi gonokokus tanpa
komplikasi umumnya bermanifestasi sebagai uretritis pada laki-laki dan
menimbulkan servisitis mukopurulen pada perempuan. Infeksi pada
rektum dan farings sebagian besar asimtomatik, baik pada laki-laki mau
pun perempuan. Infeksi gonokokus seringkali asimtomatik pada
perempuan; tidak terdapat gejala yang khas sehingga sulit dikenali dan
mengakibatkan infeksi tidak diobati sehingga dapat terjadi komplikasi
serius, meliputi penyakit radang panggul, kehamilan ektopik, dan
infertilitas. Infeksi pada laki-laki yang tidak diobati akan berlanjut menjadi
epididimitis, striktura uretra, dan infertilitas. Bayi yang dilahirkan dari ibu
dengan gonore akan menyebabkan konjungtivitis neonatorum, yang dapat
menimbulkan kebutaan apabila tidak diobati.

Pengobatan infeksi gonokokus dipersulit dengan perubahan cepat pola


kepekaan antimikroba terhadap N. gonorrhoeae. Hal tersebut menyebabkan
kemungkinan dapat timbul infeksi gonokokus yang tidak dapat diobati
dengan obat-obat yang ada dan akan mengakibatkan dampak serius
terhadap kesehatan seksual dan reproduksi.

Dalam pedoman ini dicantumkan anjuran pengobatan untuk kondisi


spesifik akibat infeksi N. gonorrhoeae, yang berlaku untuk dewasa dan
remaja (usia 10-19 tahun). Termasuk orang dengan HIV dan populasi kunci,
termasuk pekerja seks, laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki
(LSL), waria, dan ibu hamil. Terapi ganda (dual therapy) merupakan pilihan
yang baik dibandingkan terapi tunggal (single therapy). Terapi tunggal
didasarkan pada data resistensi setempat.

Pedoman Tata Laksana IMS 2019 | 59


Tabel 5.1. Terapi yang dianjurkan untuk infeksi gonokokus

Lokasi infeksi Terapi


Genital dan TERAPI GANDA
anorektum, dan Cefixime 400 mg per oral dosis tunggal DITAMBAH
orofarings azithromycin 1 g per oral dosis tunggal
ATAU
Ceftriaxone 250 mg injeksi intramuskular dosis tunggal
DITAMBAH azithromycin 1 g per oral dosis tunggal

TERAPI TUNGGAL
- cefixime 400 mg per oral dosis tunggal
- ceftriaxone 250 mg injeksi IM, dosis tunggal
Kegagalan terapi • Bila diduga terjadi infeksi ulang, ulangi terapi sesuai
anjuran di atas, tegaskan tentang abstinensia, pemakaian
kondom, obati pasangan seksual,
• Bila kegagalan terapi dengan terapi yang tidak sesuai
anjuran, berikan terapi sesuai anjuran di atas.
• Bila kegagalan terapi terjadi dengan terapi anjuran di
atas, tanpa pajanan ulangi terapi dengan pilihan terapi
berikut:
- ceftriaxone 500 mg injeksi IM dosis tunggal DITAMBAH
azithromycin 2 g per oral dosis tunggal
ATAU
- cefixime 800 mg per oral dosis tunggal DITAMBAH
azithromycin 2 g per oral dosis tunggal
ATAU
- gentamicin 240 mg IM dosis tunggal DITAMBAH
azithromycin 2 g per oral dosis tunggal
Oftalmia neonatorum • ceftriaxone 50 mg/kg (maks.150 mg) IM, dosis tunggal
gonore • kanamycin 25 mg/kg (maks. 75 mg) IM, dosis tunggal

Untuk profilaksis infeksi ocular, dapat diberikan terapi


topikal berikut ini, pada kedua mata, segera sesudah lahir:
• tetracycline hydrochloride 1% salep mata
• erythromycin 0,5% salep mata
• silver nitrate 1% solution
• chloramphenicol 1% salep mata

60 | Pedoman Tata Laksana IMS 2019


Infeksi Chlam ydia trachom atis – A56
Infeksi klamidia, akibat Chlamydia trachomatis, dapat menimbulkan
morbiditas terutama mengenai orang dewasa muda yang aktif seksual. Pada
perempuan dapat menyebabkan servisitis dan pada laki-laki dapat
menyebabkan uretritis. Selain itu dapat mengenai rektum dan orofarings.
Infeksi asimtomatik umum dijumpai pada laki-laki dan perempuan. Infeksi
klamidia yang tidak diobati dapat menimbulkan komplikasi parah pada
saluran reproduksi bagian atas, terutama pada perempuan muda, berupa
kehamilan ektopik, salpingitis dan infertilitas. Limfogranuloma venereum
yang disebabkan oleh C. trachomatis, semakin sering terjadi pada LSL.
Infeksi pada ibu hamil dihubungkan dengan komplikasi pada neonatus,
berupa lahir prematur, bayi berat badan lahir rendah (BBLR),
konjungtivitis, dan infeksi nasofarings, dan pneumonia.

Tabel 5.2. Terapi yang dianjurkan untuk infeksi Chlamydia trachomatis

Lokasi infeksi Terapi


Infeksi Chlamydia genital OBAT PILIHAN, salah satu di bawah ini
tanpa komplikasi - Azitromisin 1 g, per oral, dosis tunggal
- Doksisiklin 2X100 mg/hari, per oral, selama 7 hari
ATAU salah satu di bawah ini:
- Tetrasiklin 4X500 mg/hari, per oral, selama 7 hari
- Eritromisin 4X500 mg/hari, per oral, selama 7 hari
- Ofloksasin 2X200-400 mg/hari, oral, selama 7 hari
Infeksi Chlamydia Doksisiklin 2X100 mg/hari, oral, selama 7 hari
anorektum
Infeksi Chlamydia genital Pilihan terapi sesuai urutan
pada kehamilan 1. Azitromisin 1 g per oral, dosis tunggal
2. Amoksisilin 3X500 mg/hari, oral, selama 7 hari
3. Eritromisin 4X500 mg/hari, oral, selama 7 hari
Limfogranuloma - Doksisiklin 2X100 mg/hari, per oral, selama 21 hari
venereum - Azitromisin 1 g per oral/minggu, selama 3 minggu
Ophthalmia neonatorum - Azitromisin 20 mg/kgBB/hari, 1 dosis, oral, selama 3
hari
- Eritromisin 50 mg/kgBB/hari, 4X per hari, oral, selama
14 hari

Pedoman Tata Laksana IMS 2019 | 61


Uretritis non-gonokokus atau non-spesifik – N34.1
Uretritis atau inflamasi uretra, sebuah kondisi multifaktor, sebagian besar
didapat melalui hubungan seks. Manifestasi klinis yang ditimbulkan berupa
duh tubuh uretra, disuria dan/atau rasa tidak nyaman di uretra, namun
dapat pula asimtomatik. Uretritis non-gonokokus (UNG) merupakan
diagnosis non-spesifik yang dapat disebabkan oleh berbagai etiologi.

Tabel 5.3. Patogen tersering sebagai penyebab uretritis non-gonokokus

MIKROORGANISME PREVALENSI
Chlamydia trachomatis 11–50%
Mycoplasma genitalium 6–50%
Ureaplasmas 5–26%
Trichomonas vaginalis 1–20%
Adenoviruses 2–4%
Herpes simplex virus 2–3%

Gejala UNG berupa duh tubuh uretra, disuria, rasa tidak nyaman di uretra,
ditemukan eritema pada orifisium uretra eksterna. Uretritis non-
gonokokus ini harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan mikroskop dan
mendapatkan leukosit polimorfonuklir (PMN) dari apusan duh tubuh
uretra dengan pewarnaan Gram sebanyak ≥5/LPB (lapang pandang besar),
rata-rata dari 5 lapangan dengan jumlah leukosit PMN terbanyak.

Semua laki-laki yang didiagnosis sebagai UNG sebaiknya dilanjutkan


dengan pemeriksaan untuk klamidia dan gonore meskipun point-of-care
test tidak dapat menemukan GC. Bila ada fasilitas dianjurkan untuk
pemeriksaan NAAT untuk gonore dan klamidia karena sensitivitas dan
spesifisitasnya tinggi.

62 | Pedoman Tata Laksana IMS 2019


Tabel 5.4. Terapi untuk uretritis non-gonokokus

OBAT PILIHAN OBAT ALTERNATIF


Doksisiklin 2X100 mg oral, 7 hari - Azithromycin 500 mg oral dosis tunggal
ATAU dilanjutkan dengan 1X250 mg oral selama 5
Doksisiklin 1X200 mg oral, 7 hari hari ATAU azithromycin 1 g oral dosis
tunggal*
- Tetrasiklin HCl 2X500 mg oral selama 10 hari
*Azithromycin 1 g dosis tunggal jangan dipakai secara rutin, karena dapat menimbulkan
resistensi M. genitalium terhadap antimikroba makrolid

Sifilis – Infeksi Treponem a pallidum subsp.


pallidum – A51, A52, A50

Sifilis merupakan penyakit sistemik yang disebabkan oleh bakteri


Treponema pallidum subsp. pallidum yang dapat menimbulkan morbiditas
maupun mortalitas. Sifilis ditularkan melalui kontak seksual dengan lesi
yang infeksius di mukosa atau kulit, melalui transfuse darah, atau melewati
plasenta dari ibu hamil kepada janin dalam kandungan. Bila tidak diobati,
penyakit ini akan berlangsung bertahun-tahun, dalam berbagai stadium.
Sifilis dini terdiri atas stadium primer, sekunder dan laten dini. Sedangkan
sifilis lanjut terdiri atas laten lanjut, dan sifilis tersier (neurosifilis, sifilis
kardiovaskular, gumma). Disebut sifilis laten dini, bila infeksi terjadi kurang
dari 2 tahun, dan sifilis laten lanjut, bila infeksi telah terjadi 2 tahun atau
lebih.

Ulkus genital akibat sifilis primer sering tidak diketahui oleh pasien, bila
tidak diobati akan berlanjut ke stadium sekunder. Gejala sifilis sekunder
dapat menghilang spontan tanpa terapi, namun penyakit akan berlanjut ke
stadium laten.

Transmisi seksual umumnya terjadi saat stadium primer, sekunder, atau


laten dini. Transmisi dari ibu hamil ke janin terjadi pada sifilis ibu yang telah
berlangsung beberapa tahun sebelumnya tanpa diobati.

Pedoman Tata Laksana IMS 2019 | 63


Tabel 5.5. Manifestasi klinis sifilis

MASA
STADIUM MANFESTASI KLINIS
INKUBASI
Primer Luka, indurasi, terjadi di tempat inokulasi, 3 minggu (10-90
limfadenopati regional hari)
Sekunder Erupsi kulit, lesi mukosa, kondilomata lata, 2-12 minggu (2
alopesia setempat atau difus, demam, lemas, minggu – 6 bulan)
nyeri kepala, gangguan visus, limfadenopati.
Lesi kulit menyerupai keadaan infeksi atau pun
non-infeksi lain (the great imitator), khas
mengenai telapak tangan dan telapak kaki.
Laten Tanpa manifestasi klinis, namun serologi sifilis Dini (<2 tahun)
reaktif Lanjut (>2 thn)
Tersier Sifilis kardiovaskular: aneurisma aorta, stenosis 10-30 tahun
ostium arteri koronaria, regurgitasi aorta
Neurosifilis: berkisar dari asimtomatik hingga <2 thn – 20 thn
simtomatik (nyeri kepala, vertigo, perubahan
kepribadian, ataksia, demensia, pupil Argyll-
Robertson.
Gumma: kerusakan jaringan pada semua organ, 1-46 thn
manifestasi tergantung pada lokasi yang (sebagian besar
terkena kasus 15 tahun)
Kongenital Dini: 2/3 asimtomatik, infeksi fulminan Awitan < 2 thn
diseminata, lesi mukokutan, osteokondritis,
anemia, hepatosplenomegali, neurosifilis
Lanjut: keratitis interstitialis, limfadenopati, Menetap
hepatosplenomegali, kelainan tulang, gigi >2 thn setelah
Hutchinson, neurosifilis lahir
Catatan: keluhan dan gejala dapat berubah bila terjadi bersamaan dengan infeksi HIV

Tata laksana

Tata laksana berikut ini merupakan terapi yang dianjurkan untuk


orang dewasa dan remaja (10 sampai 19 tahun), termasuk
perempuan hamil, pasien dengan infeksi HIV, imunokompromais dan
populasi kunci, termasuk pekerja seks, laki-laki yang berhubungan
seks dengan laki-laki (LSL) dan waria.

64 | Pedoman Tata Laksana IMS 2019


Tabel 5.6. Terapi untuk infeksi Treponema pallidum

SIFILIS DINI (Sifilis PRIMER, SEKUNDER, LATEN DINI)


OBAT PILIHAN OBAT ALTERNATIF
Dewasa & remaja Benzathin penisilin G 2,4 - Doksisiklin* 2X100 mg, oral,
juta Unit, injeksi IM, dosis selama 14 hari
tunggal - Ceftriaxon 1 g, injeksi IM,
selama 10-14 hari
- Azithromisin, 2 g oral, dosis
tunggal
Ibu hamil Benzathin penisilin G 2,4 - Eritromisin 4X500 mg, oral,
juta Unit, injeksi IM, dosis 14 hari
tunggal - Ceftriaxon 1 g, injeksi IM,
selama 10-14 hari
- Azithromisin, 2 g oral, dosis
tunggal
SIFILIS LATEN LANJUT
Dewasa & remaja Benzathin penisilin G 2,4 Doksisiklin 2X100 mg, oral,
juta Unit, injeksi IM, sekali selama 30 hari
seminggu, selama 3 minggu
*jarak antara dua injeksi tidak
boleh melebihi 14 hari
Ibu hamil Benzathin penisilin G 2,4 Eritromisin 4X500 mg, oral, 30
juta Unit, injeksi IM, sekali hari
seminggu, selama 3 minggu
*jarak antara dua injeksi tidak
boleh melebihi 14 hari

SIFILIS KONGENITAL
Bayi konfirmasi sifilis kongenital, atau bayi secara - Aqueous benzyl penicillin
klinis normal tetapi ibu dengan sifilis yang tidak - 100.000–150.000 U/kg/hari
diobati, atau diobati tetapi tidak adekuat injeksi intravena, 10–15 hari
(termasuk terapi dalam waktu 30 hari partus), - Procaine penicillin 50.000
atau diobati dengan regimen bukan penisilin. U/kg/hari injeksi
intramuskular 10–15 hari
Bayi normal secara klinis, dari ibu dengan sifilis - Observasi ketat
dan telah diobati adekuat, tanpa tanda infeksi - Benzathine penicillin G
ulang. - 50.000 U/kg/hari dosis
tunggal injeksi intramuskular

Pedoman Tata Laksana IMS 2019 | 65


Pasien sifilis yang akan diinjeksi benzathin penicillin G harus diberitahu
akan kemungkinan terjadi reaksi Jarisch-Herxheimer serta cara
mengatasinya. Reaksi Jarisch-Herxheimer ini merupakan reaksi demam
akut yang seringkali disertai oleh nyeri kepala, myalgia, demam, dan gejala
lain yang dapat terjadi dalam 24 pertama setelah terapi sifilis. Reaksi ini
seringkali terjadi pada orang dengan sifilis dini, mungkin karena bakteri T.
pallidum lebih banyak pada stadium ini. Untuk mengatasi reaksi JH ini dapat
diberikan antipiretik, meskipun tidak terbukti dapat mencegah reaksi ini.
Pada ibu hamil reaksi JH dapat menginduksi partus dini atau menimbulkan
fetal distress, namun jangan menjadi alasan untuk memperlambat terapi.

Infeksi herpes sim plex virus di genital, perianus


dan rectum – A60
Herpes simplex virus tipe 2 (HSV-2) merupakan penyebab umum ulkus
genital di banyak negara. Bila seseorang terinfeksi HSV-2, infeksi akan
berlangsung seumur hidup. Herpes simplex virus tipe 1 (HSV-1) umumnya
menimbulkan infeksi pada mulut (herpes labialis), namun dapat juga
mengenai genital melalui seks oral dan belakangan semakin banyak
menimbulkan herpes genital. Infeksi HSV-2 akan memudahkan transmisi
HIV, seseorang yang telah terinfeksi HSV-2 diperkirakan 3 kali lipat lebih
mudah tertular HIV, dan seseorang yang telah terinfeksi HIV dan HSV, akan
lebih mudah menularkan HV kepada orang lain.

Herpes genital simtomatik merupakan keadaan seumur yang ditandai


dengan kekambuhan simtomatik. Sebagian besar infeksi inisial bersifat
asimtomatik atau atipik, sehingga seringkali orang yang mengidap infeksi
HSV-2 seringkali tidak mengetahui dirinya telah terinfeksi. Manifestasi
klinis khas herpes genital episode pertama berupa kelompokan papul
eritematosa, vesikel atau ulkus pada genital eksterna, daerah perianus, atau
di bokong, timbul 4-7 hari setelah pajanan seks. Manifestasi klinis yang khas

66 | Pedoman Tata Laksana IMS 2019


ini hanya terjadi pada 10-25% infeksi primer. Meskipun jalur penularan
HSV-1 dan HSV-2 berbeda serta mengenai bagian tubuh yang berbdapula,
namun gejala dan tanda klinis yang ditimbulkan seringkali tumpeng tindih.
Episode pertama infeksi HSV-1 genital tidak dapat dibedakan dari infeksi
HSV-2, dan hanya dapat dibedakan melalui pemeriksaan laboratorium. Bila
tidak terdapat vesikel, perlu konfirmasi laborarium untuk menyingkirkan
penyebab ulkus genital lainnya.

Tabel 5.7. Terapi untuk infeksi HSV genital


(Berlaku untuk orang denga HIV, imunokompromais, orang dengan episode
parah, dan ibu hamil)

EPISODE TERAPI
Episode pertama - Asiklovir 3X400 mg/hari, oral, selama 10 hari
- Asiklovir 5X200 mg/hari, oral, selama 10 hari
- Valasiklovir 2X500 mg/hari, oral, selama 10 hari
Episode rekurens Untuk dewasa, remaja, dan ibu hamil:
(terapi episodik) - Asiklovir 3X400 mg/hari, oral, selama 5 hari
- Asiklovir 2X800 mg/hari, oral, selama 5 hari
- Asiklovir 3X800 mg/hari, oral, selama 2 hari
- Valasiklovir 2X500 mg/hari, oral, selama 3 hari

Untuk orang dengan HIV dan imunokompromais


- Asiklovir 3X400 mg/hari, oral, selama 5 hari
- Valasiklovir 2X500 mg/hari, oral, selama 5 hari
Episode rekurens ≥6 Untuk dewasa, remaja, dan ibu hamil:
kali/tahun, parah - Asiklovir 2X400 mg/hari, oral
(terapi supresi) - Valasiklovir 1X500 mg/hari, oral

Untuk orang dengan HIV dan imunokompromais


- Asiklovir 2X400 mg/hari, oral
- Valasiklovir 2X500 mg/hari, oral

Pedoman Tata Laksana IMS 2019 | 67


Sebagian besar orang akan mengalami sekali atau lebih rekurensi
simtomatik dalam waktu 1 tahun episode asimtomatik infeksi HSV-2.
Infeksi HSV-1 lebih jarang mengalami rekurensi simtomatik. Rekurensi
simtomatik umumnya lebih ringan dibandingkan dengan episode pertama.
Pada infeksi HSV-2 yang menetap umumnya terjadi viral shedding
intermiten dari mukosa genital, meskipun dalam keadaan asimtomatik.
Akibatnya HSV-2 seringkali ditularkan oleh orang yang tidak menyadari
dirinya telah terinfeksi atau dalam kondisi asimtomatik saat terjadi kontak
seksual.

Infeksi hum an papillom avirus genital – kutil


anogenital – A63

Kutil anogenital merupakan lesi proliferatif jinak pada epitel di berbagai


bagian genital, anus, atau perianus, dan dapat juga mengenai daerah
inguinal atau pubis. Lebih dari 95% penyakit ini disebabkan oleh human
papillomavirus (HPV) genotype 6 dan 11. Pada kutil anogenital dapat
dijumpai berbagai tipe HPV, termasuk genotype onkogenik “risiko tinggi”
yaitu type 16 dan 18, kemungkinan akibat infeksi yang bersamaan (ko-
infeksi). Namun tidak pernah ada bukti bahwa HPV tipe risiko tinggi dapat
menyebabkan kutil genital. Penentuan tipe HPV tidak akan mempengaruhi
tata laksana, sehingga tidak dianjurkan secara rutin.

Penularan HPV antar pasangan seks sangat tinggi dan dapat terjadi dalam
keadaan tanpa kutil yang terlihat. Pada sebagian besar kasus, infeksi
bersifat asimtomatik dan kutil yang kasat mata hanya terjadi pada sebagian
kecil kasus yang terinfeksi. Masa inkubasi antara infeksi HPV dengan
munculnya kutil sangat bervariasi, namun lebih pendek pada perempuan
(median 2,9 bulan) dibandingkan dengan laki-laki (median 11,0 bulan).
Kutil anogenital seringkali tanpa keluhan, namun dapat juga timbul rasa
gatal, atau dispareuni.

68 | Pedoman Tata Laksana IMS 2019


Tabel 5.9. Terapi untuk kutil anogenital

KESEMBUHAN /
JENIS TERAPI CARA KERJA
KEKAMBUHAN
APLIKASI OLEH PASIEN
Podophyllotoxin 0,5% Dioleskan 2X/hari selama 3 Kesembuhan: 36-83%
solution dan 0,15% hari, diikuti 4 hari tanpa terapi, podophyllotoxin solution dan
krim selama 4-5 minggu. 43-70% podophyllotoxin krim
Tidak boleh pada ibu hamil Kekambuhan: 6-100% pernah
dilaporkan 8-21 minggu setelah
dinyatakan sembuh.
Imiquimod krim 5% Dioleskan langsung pada kutil 3 Kesembuhan: 35 -75% pada
kali setiap minggu sebelum pengobatan sampai dengan 16
tidur; antara 6-10 jam minggu
kemudian dicuci dengan air dan Kekambuhan: 6-26% setelah
sabun. sembuh
Terapi diteruskan sampai kutil
tidak ada lagi, atau maksimum
16 minggu.
APLIKASI OLEH DOKTER
Trichloracetic acid Pengolesan setiap minggu pada Kesembuhan: 56–94%
(TCA) 80–90% permukaan kutil dengan lidi Kekambuhan: 36%
solution kapas.
Cryotherapy Menggunakan liquid nitrogen Kesembuhan: 44-87%
dengan sebuah spray gun Kekambuhan: 12 - 42% pada 1-
device untuk membuat lesi 3 bulan dan sampai 59% pada
mengalami freezing, selama 20 12 bulan setelah sembuh
detik.
Dilakukan setiap minggu
sampai kutil anogenital sembuh
Electrosurgery and Diawali dengan Kesembuhan: 94-100%
electrocautery electrodessication diikuti Kekambuhan: 22%
dengan electrofulguration
Podophyllin tincture Harus dioleskan ke kutil *Jangan gunakan pada ibu
25% anogenital, setelah itu dicuci hamil, pernah dilaporkan
setelah 3-4 jam terjadi kematian janin, serta
Terapi dapat diulangi sekali efek teratogenik
atau dua kali dalam seminggu; Jangan digunakan untuk
dosis total jangan melebihi 1-2 mengobati kutil anogenital di
ml setiap kunjungan. daerah serviks, meatus, vagina,
atau anus.

Pedoman Tata Laksana IMS 2019 | 69


Tempat predileksi pada kulit daerah anogenital, namun umumnya
mengenai tempat-tempat yang mengalami trauma saat berhubungan seks,
misalnya preputium pada laki-laki dan introitus posterior (fourchette) pada
perempuan. Kutil pada kanalis anus lebih sering ditemukan pada LSL yang
melakukan hubungan seks ano-genital tanpa kondom, atau praktik-praktik
seksual lain yang melibatkan penetrasi anus. Kutil perianus dapat
ditemukan pada laki-laki mau pun perempuan dan dapat terjadi tanpa
riwayat hubungan seks melalui anus.

Daftar Pustaka
1. WHO guidelines for the treatment of Neisseria gonorrhoeae. Geneva, WHO, 2016
2. WHO guidelines for the treatment of Treponema pallidum (syphilis). Geneva,
WHO, 2016
3. WHO guidelines for the treatment of Chlamydia trachomatis. Geneva, WHO, 2016
4. WHO guidelines for the treatment of genital herpes simplex virus, Geneva, WHO,
2016
5. Horner PJ, Blee K, Falk L, van der Meyden W, Moi H. 2016 European Guideline on
the Management of Non-Gonococcal Urethritis. Int J STD AIDS 2016;27:928-37
6. Workowski KA, Bolan GA. Sexually Transmitted Diseases Treatment Guidelines,
2015. MMWR Recomm Rep 2015;64(No. 3)
7. Mahony CO, Gomberg M, Skerlev M, Alraddadi A, de las Heras-Alonso ME,
Majewski S, dkk. Position statement for the diagnosis and management of
anogenital warts. JEADV 2019;33:1006-19
8. Gilson R, Nugent D, Werner RN, Ballesteros J, Ross J. 2019 European Guideline for
the Management of Anogenital Warts. Diunduh dari
https://www.iusti.org/Europe/European guidelines/HPV

70 | Pedoman Tata Laksana IMS 2019


7.
Penanganan IMS di Fasilitas
Kesehatan Tingkat Pertama

Infeksi menular seksual yang terjadi pada seseorang tidak terlepas dari
pengaruh keluarga, pasangan seksual pasien, dan lingkungan, baik
lingkungan kerja maupun lingkungan tempat tinggal. Manusia merupakan
mahluk biopsikososial dan di dalam hidupnya manusia terorganisasi sangat
baik mulai dari tingkat subselular sampai ke tingkat perorangan, meluas
sampai ke tingkat keluarga dan masyarakat, bahkan negara dan global.
Contohnya, perhatian Indonesia terhadap penanganan HIV/AIDS tidak
terlepas dari pengaruh global, dan dalam implementasinya program
penanganan HIV/AIDS sampai di tingkat perorangan untuk mengatasi
penyakitnya.

Gambar 8. Konsep biopsikososial dan organisasi kehidupan manusia serta


percabangan kedokteran yang berperan.

Pedoman Tata Laksana IMS 2019 | 71


Dalam kaitannya dengan kesehatan masyarakat yang merupakan ranah
pemerintah, maka pelayanan kesehatan telah dibuat terstruktur menjadi
sebuah sistem kesehatan. Sistem pelayanan kesehatan adalah subsistem
kesehatan nasional. Sistem pelayanan kesehatan telah diatur berjenjang
dari primer, sekunder dan tersier, dan terbagi dua sebagai upaya kesehatan
masyarakat (UKM) dan upaya kesehatan perorangan (UKP). Buku ini
didedikasikan untuk penanganan kesehatan perorangan, namun demikian
bagian dari UKM akan disinggung dalam bab ini untuk menggambarkan
keterkaitan antara UKP dengan UKM.

Gambar 9. Sistem Pelayanan Kesehatan dan peran para dokter dalam sistem
pelayanan kesehatan (illustrasi oleh Trevino A.Pakasi, 2019).

Sistem pelayanan kesehatan itu sendiri telah menetapkan institusi dan


profesi dokter di dalamnya yang bekerja untuk penanganan IMS ini.
Terdapat dua macam kategori dokter di layanan primer, yaitu:
1. dokter lulusan fakultas kedokteran yang sesuai dengan SKDI 2012
mampu mengelola masalah kesehatan perorangan, keluarga, dan
masyarakat secara umum yang dapat diterapkan dalam menangani
IMS. 16,7

1
Naskah Akademik Membangun Sistem Pelayanan Kesehatan Nasional Berbasis Kedokteran
Keluarga dalam Era Sistem Jaminan Sosial Semesta. Pengurus Besar IDI, Jakarta: 2012.

72 | Pedoman Tata Laksana IMS 2019


2. dokter lulusan pendidikan lanjut dalam bidang kedokteran keluarga
dan layanan primer yang dalam pelayanan bertanggung jawab selain
kepada keluarga juga kepada komunitas tertentu, terutama dalam hal
pelaksana Jaminan Kesehatan Nasional. 2 8,9,10,11

Dokter-dokter ini ada yang sudah mendapatkan pelatihan khusus untuk


IMS sehingga dapat menjadi rujukan horizontal dalam penatalaksanaan
IMS.12 Sedangkan dalam bidang kesehatan masyarakat, mereka yang
bekerja di ranah UKM adalah dokter lulusan pendidikan magister di bidang
kesehatan masyarakat (M.Kes). Mereka mengelola kesehatan masyarakat di
Puskesmas dan di Dinas Kesehatan.

Fasilitas kesehatan tingkat primer (FKTP) berupa Puskesmas, Puskesmas


Kelurahan, Puskesmas Pembantu, Klinik Pratama (baik rawat jalan maupun
rawat inap), dan juga klinik-klinik institusi milik POLRI, TNI, klinik
perusahaan, termasuk juga klinik penjara (lembaga pemasyarakatan atau
lapas). Puskesmas-puskesmas tertentu telah dilengkapi pemerintah untuk
layanan IMS yang berkaitan dengan triple elimination. Di FKTP dan fasilitas
kesehatan tingkat lanjut (FKTL) terdapat dokter yang berpraktik sesuai
peraturan yang berlaku.13

Yang dimaksud dengan FKTL atau rujukan tingkat lanjut (FKRTL) adalah
klinik utama praktik dokter spesialis dermatologi dan venereologi, rumah-
rumah sakit tipe C dan D dengan spesialis dermatovenerologi. Rumah-
rumah sakit tipe B juga merupakan tempat rujukan sekunder. Sebagai
rujukan tersier adalah rumah sakit tipe B pendidikan dan rumah-rumah
sakit tipe A dengan sub spesialisasi venereologi serta terdapat fasilitas
laboratorium yang sesuai.13,14

Pelayanan Tingkat Pertama


Ciri khas pelayanan kesehatan tingkat pertama adalah:
1. Melayani semua keluhan.

2
Naskah Akademik Dokter Layanan Primer. Disusun oleh: Kelompok Kerja Percepatan
Pengembangan Kebijakan Dokter Layanan Primer Kemenkes RI 2014

Pedoman Tata Laksana IMS 2019 | 73


2. Melayani semua orang tanpa membedakan kelompok umur dan jenis
kelamin.
3. Merupakan kontak pertama ke pelayanan kesehatan.
4. Menekankan pada aspek pencegahan baik, primer, sekunder maupun
tersier.

Sasaran FKTP dalam penanggulangan IMS adalah: 16


1. Masyarakat sehat yang belum berisiko, yaitu anak-anak sekolah dan
usia remaja melalui pendidikan di sekolah, pasangan pranikah, dan
pasangan usia subur.
2. Kelompok masyarakat yang berisiko, terutama perilaku seksual
berisiko tinggi IMS, misalnya perilaku seks bebas, pengguna NAPZA, dan
komunitas-komunitas kunci.
3. Kelompok masyarakat yang sudah terpajan, yaitu mereka yang diduga
telah terinfeksi atau yang sudah timbul masalah klinis; termasuk
pekerja seks komersial, atau pasangan seksual pasien IMS.
4. Kelompok pasien IMS dengan komplikasi atau stadium lanjut yang
membutuhkan rehabilitasi atau paliatif.

Gambar 1 Kegiatan Manajemen IMS Berdasarkan Perjalanan Penyakitnya dan


Pelaksananya. Garis putus-puts menunjukkan batas yang tidak kaku dalam
tanggungjawab menatalaksana pasien, keluarga dan komunitasnya sesuai dengan
spektrum penyakit IMS (Gambar Segitiga). FKTP (=fasilitas kesehatan tingkat
pertama). FKTL (=fasilitas kesehatan tingkat lanjut). (gambar ilustrasi oleh dr. Trevino
A. Pakasi).

74 | Pedoman Tata Laksana IMS 2019


Sebaiknya FKTP swasta, klinik perusahaan, maupun klinik TNI/POLRI
dapat memperhatikan setiap orang yang dikapitasi bersama para keluarga-
keluarganya dengan memilah-milahnya sesuai risiko dan infeksinya.
Perbedaannya dengan Puskesmas adalah adanya tanggungjawab kesehatan
masyarakat dengan program-program pengembangan dari pusat.

Pelayanan Pencegahan Primer


Pencegahan primer dilakukan oleh semua dokter di layanan primer kepada
setiap orang, baik dalam keluarga maupun di tempat kerjanya. Langkah-
langkah promosi kesehatan adalah sebagai berikut:16
a) Menggali faktor-faktor risiko infeksi, khususnya IMS perorangan dalam
kelompok masyarakat atau komunitas, peserta kapitasi sebuah klinik
FKTP:
• Faktor biologis: imunisasi, status gizi, status kesehatan fisik secara
umum yang berisiko terhadap infeksi, termasuk IMS.
• Faktor psikologis: ide, pemikiran, pengetahuan, status mental, dan
perilaku. Misalnya kelompok dengan gangguan jiwa yang kurang
bisa menjaga diri, rentan terhadap kejahatan seksual.
• Faktor psikososial: sekolah, teman-teman pergaulan, pekerjaan,
perilaku dalam mencari pengobatan, komunitas terdekat seseorang
yang mempengaruhi pola hidup, cara berpikir dan perilaku
seseorang.

b) Identifikasi faktor-faktor risiko IMS dalam keluarga


Identifikasi dilakukan dengan cara pendekatan keluarga, yaitu dengan
melakukan observasi 12 indikator Program Indonesia Sehat-
Pendekatan Keluarga (PIS PK) dalam keluarga. Di dalam pendekatan
keluarga dokter atau tenaga kesehatan. Pendekatan keluarga wajib
dilakukan di FKTP sebagai bagian dari kontribusi dokter dalam
menunjang program pemerintah yang bertujuan mengidentifikasi
risiko penyakit dan masalah dalam keluarga. Pendekatan keluarga
dalam PIS PK adalah melakukan identifikasi risiko penyakit dan
masalah keluarga.

Ada 12 indikator PIS-PK. Dua diantaranya berkaitan dengan


pencegahan IMS, yaitu pelayanan keluarga berencana dan pelayanan

Pedoman Tata Laksana IMS 2019 | 75


kesehatan ibu dan anak, khususnya pelayanan persalinan pada petugas
kesehatan. Kegiatan keluarga berencana memberikan pengetahuan
tentang kesehatan reproduksi termasuk pencegahan IMS melalui
edukasi dan perilaku berkaitan dengan reproduksi yang sehat.
Persalinan pada petugas kesehatan meningkatkan edukasi tentang
reproduksi yang sehat serta membantu skrining IMS.17,18

Sebaiknya FKTP swasta bekerjasama dengan Puskesmas, karena


kegiatan PIS PK ini merupakan Standar Pelayanan Minimal pemerintah
kota / kabupaten dan provinsi dalam pelayanan antenatal, pelayanan
kesehatan ibu dan anak (KIA), pelayanan kesehatan mental, pelayanan
kesehatan untuk dewasa, dan pelayanan HIV sesuai standar. Karena itu
penting bahwa FKTP melakukan kerjasama. Selanjutnya hasil dari PIS
PK ini bisa dilaporkan sebagai bagian dari tagihan satuan kredit
partisipasi (SKP) untuk resertifikasi kompetensi melalui mekanisme
organisasi profesi terkait.12,18

c) Pengelolaan faktor-faktor risiko IMS tersebut untuk mencegah IMS.


• Komunikasi, informasi dan edukasi tentang IMS16
a. Dokter membina komunikasi interpersonal dengan perorangan
dan keluarga sehingga terbina kepercayaan terhadap dokter.
b. Dokter membina komunikasi lintas budaya, karena mungkin ada
perbedaan suku, pekerjaan, kebiasaan, gaya hidup, bahasa dan
latar belakang pendidikan yang sensitif bila membicarakan IMS.
c. Dokter dan FKTP sebaiknya membina dengan kelompok
komunitas sehat yang belum berisiko seperti sekolah.

Pemberian informasi mengenai:16


a. Berbagai jenis IMS,
b. cara penularan berbagai macam IMS
c. gejala dan tanda klinis IMS,
d. penatalaksanan dan rujukan IMS,
e. komplikasi IMS,
f. rehabilitasi IMS,
g. stadium lanjut, paliatif dan mortalitas IMS,
h. manajemen IMS yang melibatkan keluarga.
Edukasi diberikan dengan tujuan perubahan sikap dan perilaku
melalui pengetahuan serta informasi yang benar mengenai IMS.

76 | Pedoman Tata Laksana IMS 2019


Edukasi berhasil bila terjadi perubahan perilaku pencegahan infeksi
secara umum, dan pencegahan IMS terutama pada kelompok
berisiko.

• Pencegahan spesifik IMS perseorangan


Setiap orang yang tergolong kelompok berisiko adalah mereka yang
sudah aktif melakukan hubungan seksual tetapi belum mempunyai
pasangan tetap, maka beberapa pencegahan yang perlu diajarkan
adalah:16
A: Abstinence (tidak melakukan hubungan seksual untuk sementara
waktu)
B: Be faithful (bila harus berhubungan seksual harus dengan
pasangan tetap)
C: Condom (gunakan kondom untuk pencegahan IMS)
D: no Drugs (tidak menggunakan NAPZA yang bisa mengarah pada
perilaku seks bebas yang berisiko IMS.

Imunisasi HPV merupakan salah satu imunisasi yang dapat dianjurkan


untuk pencegahan timbulnya infeksi HPV pada seseorang. Seyogyanya HPV
ini diberikan kepada laki-laki dan perempuan karena pada dasarnya
keduanya berisiko tertular HPV dalam periode seksual aktif mereka.19

• Pencegahan spesifik di tingkat keluarga


Pencegahan spesifik di tingkat keluarga dilakukan dengan mengajarkan
kebiasaan-kebiasaan perilaku hidup sehat, diantaranya adalah:
a. Komunikasi dan interaksi antar anggota keluarga untuk kesehatan
mental
b. Membina hubungan psikologis antar anggota keluarga.
c. Menganjurkan agar terdaftar di BPJS sehingga ada akses ke
pelayanan kesehatan, termasuk program IMS, ANC dan triple
elimination.20,21
d. Memberikan pelayanan keluarga berencana, yang fokusnya bukan
hanya pada penggunaan alat kontrasepsi tetapi lebih luas, yaitu
konseling tentang kesehatan reproduksi.19
e. Imunisasi HPV pada perempuan, anak-anak remaja, dan pasangan
seksual masing-masing. 19,20

Pedoman Tata Laksana IMS 2019 | 77


d) Skrining
Sebuah FKTP juga bisa melakukan skrining dan deteksi dini pada
komunitas kunci yang dikapitasi di sebuah FKTP.20

Hubungan FKTP dengan FKTP lainnya, dan FKTL


dalam pelayanan IMS
Saat ini dengan skema JKN, BPJS mengharuskan ada rujukan horizontal25
dan rujukan vertikal serta rujuk balik.26 Ada Puskesmas yang sudah
difasilitasi untuk pemeriksaan IMS, khususnya pemeriksaan laboratorium,
sehingga FKPT dapat melakukan rujukan horizontal untuk diagnosis.
Beberapa program di Puskesmas juga dapat melakukan tata laksana,
sehingga dapat dilakukan rujukan horizontal.
Rujukan vertikal diberikan kepada pasien-pasien untuk diagnosis maupun
diagnosis dan tatalaksana. Institusi rujukan vertikal sekunder adalah klinik
utama, rumah sakit tipe D, C, atau B yang mempunyai dokter spesialis
dermatologi dan venereologi. Sedangkan rujukan vertikal tersier adalah RS
tipe B pendidikan atau RS tipe A yang dilengkapi laboratorium yang sesuai.
Rujuk balik dilakukan secara vertikal dari FKTL tingkat sekunder dan
tersier ke FKTP untuk pemeliharaan atau maintenance pasien.

Daftar Pustaka
1. Goh Lee Gan, Azrul Azwar, Sugito Wonodirekso. A Pimer on Family Practice.
2. Rifki NN. Diagnosis Holistik Edisi Ketiga. Trevino Pakasi Editor. Penerbit
Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas FKUI 2017
3. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Pencegahan Penularan
HIV-AIDS dan IMS bagi Kabupaten/Kota. Kemenerian Kesehatan Republik
Indonesia, Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Jakarta :
2010.
4. Undang-undang Republik Indonesia no.36 tahun 2009 Tentang Kesehatan
5. Peraturan Presiden Republik Indonesia no 72 tahun 2012. Sistem Kesehatan
Nasional.
6. Konsil Kedokteran Indonesia. Standar Kompetensi Dokter Indonesia. Penerbit
KKI, Jakarta : 2012

78 | Pedoman Tata Laksana IMS 2019


7. Gatot Soetono, Oktarina. Sistem Pelayanan Kesehatan Nasional Berorientasi
Pelayanan Kesehatan Primer: Kedudukan, Peranan Dan Pendidikan Dokter
Layanan Primer. Edisi pertama. Penerbit IDI, Jakarta: 2014
8. Undang-undang Republik Indonesia no.20 tahun 2013 Tentang Pendidikan
Kedokteran
9. Mahkamah Konstitusi Indonesia. Amar Putusan MK nomor 122/PUU-XII/2014
tentang Permohonan Pengujian No.20 tahun 2013 Terhadap UUD 1945.
10. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 52 tahun 2017 tentang
Peraturan pelaksana Undang-undang Nomor 20 tahun 2013 tentang Pendidikan
kedokteran.
11. Konsil Kedokteran Indonesia. Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 65
tahun 2019 Tentang Standar Pendidikan Profesi Dokter Spesialis Kedoktern
Keluarga Layanan Primer.
12. Perhimpunan Dokter Keluarga Indonesia. Petunjuk Teknis Program
Pengembangan Keprofesian (Continuing Professional Development) untuk
Dokter Keluarga edisi 1. Penerbit IDI, Jakarta: 2009
13. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia no. 9 tahun 2014
14. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia no.28 tahun 2014. Pedoman
Pelaksanaan Program JKN.
15. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional Penanganan
Infeksi Menular Seksual. Penerbit Kemenkes RI, Jakarta: 2015
16. Peraturan Menteri Kesehatan nomor 39. Tahun 2016 Tentang Pedoman
Penyelenggaraan Program Indonesia Sehat Dengan Pendekatan Keluarga.
17. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 42 tahun 2013 Tentang
Penyelenggaraan Imunisasi.
18. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 28 tahun 2014 Tentang
Pedoman Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional.
19. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 52 tahun 2017 tentang
Eliminasi Penularan Human Immunodeficiency Virus, Sifilis, dan Hepatitis B dari
Ibu ke Anak.
20. Stewart M. Towards a global definition of patient centred care. British Medical
Journal. 2001;322:7284:444-445
21. WONCA Working Party on International Classification Committee. The
International Classification of Primary Care 2 edition. Oxford University Press:
2005
22. Family Oriented Primary Care, by. Susan H. McDaniel and Thomas L. Campbell,
2005

Pedoman Tata Laksana IMS 2019 | 79


23. Surat Edaran Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan Nasional nomo 1 tahun
2019 tentang Optimalisasi Penyelenggaraan Rujukan Horizontal di Fasilitas
Kesehatan Tingkat Pertama.
24. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Panduan Layanan Bagi Peserta Jaminan
Kesehatan Nasional – Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS). Edisi 2018.

80 | Pedoman Tata Laksana IMS 2019


8. Layanan Kesehatan Masyarakat
untuk Penanganan IMS

Bab ini membahas bentuk praktik kedokteran komunitas dan kesehatan


masyarakat yang merupakan tanggungjawab seorang dokter di FKTP. Hal
ini biasanya tertuang dalam perjanjian kerjasama dengan Puskesmas dan
Dinas Kesehatan untuk pembuatan Surat Izin Praktik. Secara khusus juga
tertuang dalam perjanjian kerjasama dengan BPJS yang dilaksanakan dalam
pengelolaan penyakit kronis serta kunjungan sakit/kunjungan sehat bagi
pasien-pasien yang dikapitasi di sebuah FKTP. Komunitas yang disasar oleh
FKTP swasta adalah kelompok yang berisiko IMS sesuai definisi populasi
kunci, populasi antara, ataupun populasi umum. Sedangkan bagi Puskesmas
sebagai FKTP milik pemerintah, mempunyai fungsi kesehatan masyarakat
yang seyogyanya menggiatkan kesadaran masyarakat secara luas dalam
pencegahan dan penatalaksanaan IMS, termasuk di dalamnya mencegah
stigmatisasi dan marginalisasi kelompok populasi yang terinfeksi.

Langkah-langkah melakukan diagnosis komunitas adalah:


1. Menetapkan masalah dan komunitas yang menjadi sasaran. Pada
konteks IMS ada istilah komunitas inti, populasi antara dan populasi
umum. Mereka mungkin merupakan bagian dari peserta BPJS dalam
praktik seorang dokter, atau kelompok pekerja sebuah klinik
perusahaan, TNI-POLRI, atau masyarakat luas dalam cakupan sebuah
Puskesmas.

Topik-topik yang bisa dibahas dan diidentifikasi sebagai masalah,


untuk:
• Populasi umum: Pengetahuan, sikap, stigma, perilaku masyarakat
terhadap setiap IMS, kelompok berisiko (contohnya LGBT, penasun),
baik untuk pencegahan maupun untuk pengobatan.
• Stigma oleh petugas kesehatan pada kelompok berisiko.

Pedoman Tata Laksana IMS 2019 | 81


• Komunitas kunci: pengetahuan, sikap, dan perilaku pencegahan dan
pengobatan IMS.

2. Surveillance sederhana atau wawancara mendalam pada kelompok


komunitas tersebut, misalnya perilaku pencegahan IMS dan
pengetahuan serta akses mereka ke pelayanan kesehatan, khususnya
tentang IMS. Dalam hal ini dokter bisa merujuk kepada pelayanan
Puskesmas terdekat yang melayani program kesehatan reproduksi.

3. Hasil survey kuesioner tersebut kemudian bisa dibuat table-tabel


frekuensi, dan memberikan gambaran tentang berbagai keluhan,
perilaku, pengetahuan maupun stigma dan menjadi sumber informasi
yang bermanfaat untuk melakukan intervensi di masyarakat.

Hasil dari sebuah diagnosis komunitas kemudian dituangkan dalam


program intervensi di masyarakat yang umumnya berbentuk edukasi.
Namun edukasi ini harus bisa terukur sehingga terjadi peningkatan atau
promosi kesehatan. Proses edukasi langsung kepada komunitas kunci
bekerjasama dengan berbagai sumber yang ada di masyarakat, misalnya
desa/kelurahan, puskesmas atau LSM. Perubahan pengetahuan dan
perilaku dapat diobservasi langsung melalui perpanjangan tangan
kelompok kader atau LSM.
Proses edukasi masal, atau public engagement, umumnya satu arah dalam
bentuk poster-poster edukasi yang dipasang di tempat-tempat umum atau
edukasi di radio, baik radio pemerintah maupun swasta, atau tulisan di
surat kabar, blog, vlog, di internet, maupun media sosial lain yang bisa
dibaca secara on-line. Tujuan public engagement ini meningkatkan
kesadaran masyarakat.

Tata laksana dari diagnosis komunitas bisa dilakukan bekerjasama dengan


Puskesmas dalam sebuah paying program, yaitu Program penanggulangan
HIV dan PIMS. Program ini adalah lintas program yang tujuannya untuk
meningkatkan penemuan kasus dan pengobatan tuntas di FKTP.
Pelaksanaannya di Puskesmas sebagai rujukan wilayah bagi FKTP yang
termasuk dalam wilayah Puskesmas tersebut. Selanjutnya FKTP / klinik

82 | Pedoman Tata Laksana IMS 2019


dapat menjadi pendamping pasien dengan pelatihan, bagi pasien-pasien
HIV yang harus menjalani pengobatan seumur hidup.5

Sinergi antara Program penanggulangan HIV dan


PIMS dengan program lain
Program penanggulangan HIV dan PIMS akan bersinergi dengan berbagai
program lain, yaitu:
1. Program Pencegahan infeksi dari ibu ke anak (PPIA) sebagai bagian dari
pelayanan antenatal.
2. Program kesehatan peduli remaja. Dalam satu wilayah kerja,
Puskesmas mempunyai program kesehatan reproduksi remaja.
3. Program Kesehatan Reproduksi Terpadu. Pelayanan ini memadukan
berbagai aspek kesehatan reproduksi dari progam-program yang ada di
Puskesmas, yaitu KIA, program IMS, kesehatan reproduksi remaja dan
kesehatan reproduksi lansia.4
4. Program Kesehatan Reproduksi untuk Disabilitas
Program ini disusun untuk FKTP dan FKTRL yang menyangkut
kelompok dengan disabilitas, baik fisik maupun mental.

Program Pencegahan infeksi dari ibu ke anak (PPIA)


Beberapa penyakit menular seperti infeksi HIV, Sifilis, dan Hepatitis B
adalah penyakit yang dapat ditularkan dari ibu yang terinfeksi ke anaknya
selama kehamilan, persalinan, dan menyusui, serta menyebabkan
kesakitan, kecacatan dan kematian, sehingga berdampak buruk pada
kelangsungan dan kualitas hidup anak. Pemerintah melalui Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 2017 Tentang
Eliminasi Penularan Human Immunodeficiency Virus, Sifilis, dan Hepatitis B
dari ibu ke anak, bertujuan untuk memutus penularan HIV, Sifilis, dan
Hepatitis B dari ibu ke anak; menurunkan angka kesakitan, kecacatan, dan
kematian akibat HIV, Sifilis, dan Hepatitis B pada ibu dan anak

Pedoman Tata Laksana IMS 2019 | 83


Infeksi HIV, Sifilis, dan Hepatitis B pada anak lebih dari 90% tertular dari
ibunya. Prevalensi infeksi HIV, Sifilis dan Hepatitis B pada ibu hamil
berturut-turut 0,3%, 1,7% dan 2,5%. Risiko penularan dari ibu ke anak
untuk HIV adalah 20%-45%, untuk Sifilis adalah 69-80%, dan untuk
Hepatitis B adalah lebih dari 90%.

Upaya Eliminasi Penularan HIV, Sifilis dan Hepatitis B dilakukan secara


bersama-sama karena infeksi HIV, Sifilis, dan Hepatitis B memiliki pola
penularan yang relatif sama, yaitu ditularkan melalui hubungan seksual,
pertukaran/kontaminasi darah, dan secara vertikal dari ibu ke anak.
Eliminasi Penularan HIV, Sifilis, dan Hepatitis B bersama-sama atau yang
sering disebut “triple eliminasi” ini dilakukan untuk memastikan bahwa
sekalipun ibu terinfeksi HIV, Sifilis, dan/atau Hepatitis B sedapat mungkin
tidak menular ke anaknya.

Penyelenggaraan Eliminasi Penularan dilakukan melalui kegiatan: promosi


kesehatan; surveilans kesehatan; deteksi dini; dan/atau penanganan kasus.
Deteksi dini dilakukan oleh tenaga kesehatan di setiap fasilitas pelayanan
kesehatan melalui pemeriksaan darah pada ibu hamil paling sedikit 1 (satu)
kali pada masa kehamilan. Penanganan kasus ditujukan bagi setiap ibu
hamil sampai menyusui yang terinfeksi HIV, Sifilis, dan/atau Hepatitis B;
serta bayi yang lahir dari ibu yang terinfeksi HIV, Sifilis, dan/atau Hepatitis
B.
• Deteksi kasus dengan infeksi Sifilis melalui pemeriksaan titer Reagen
Plasma Reagin (RPR) bayi pada usia 3 bulan dan ibu dan dinyatakan
terinfeksi Sifilis jika:
- titer bayi lebih dari 4 kali lipat titer ibunya, misal jika titer ibu 1:4 maka
titer bayi 1:16 atau lebih; atau
- titer bayi lebih dari 1:32.
• Penanganan bagi ibu hamil dengan hasil positif Sifilis diobati dengan
Benzatin Penicilin G 2,4 juta IU injeks IM dosis tunggal pada fase dini,
diulang 2 kali dengan selang waktu 1 minggu atau dirujuk.
• Penanganan anak dari ibu terinfeksi mendapat pengobatan dosis tunggal
Benzatin Penicilin G 50.000 IU/kgBB IM, pemeriksaan titer RPR usia 3
bulan dibandingkan titer ibunya, atau pemeriksaan lain atau pemantauan
klinis sampai 2 tahun.

84 | Pedoman Tata Laksana IMS 2019


Program kesehatan peduli remaja (PKPR)
Kementerian Kesehatan menetapkan sasaran pengguna layanan PKPR
meliputi remaja berusia 10 sampai 19 tahun, tanpa memandang status
pernikahan. Paket Pelayanan Remaja yang Sesuai dengan Kebutuhan
Meliputi pelayanan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang harus
diberikan secara komprehensif di semua tempat yang akan melakukan
pelayanan remaja dengan pendekatan PKPR. Intervensi meliputi antara lain
yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi dan IMS / HIV:
• Pelayanan kesehatan reproduksi remaja (meliputi infeksi menular
seksual/IMS, HIV&AIDS) termasuk seksualitas dan pubertas
• Pencegahan dan penanggulangan kehamilan pada remaja
Intervensi lain berupa Pelayanan gizi termasuk konseling dan edukasi;
Tumbuh kembang remaja; Skrining status TT pada remaja; Pelayanan
kesehatan jiwa remaja; Pencegahan dan penanggulangan NAPZA; Deteksi
dan penanganan kekerasan terhadap remaja; Deteksi dan penanganan
tuberculosis; Deteksi dan penanganan kecacingan.

Kegiatan Pemberdayaan Masyarakat


Dokter juga dapat berkerjasama secara spesifik dengan Lembaga swadaya
masyrakat (LSM) yang berkaitan, termasuk juga berbagai kegiatan
pemberdayaan masyarakat dalam bentuk UKS, Posyandu, posbindu, dan
posyandu lansia.
Selain program-program yang berkaitan langsung, materi kesehatan
reproduksi dan IMS bisa dimasukkan dalam kegiatan-kegiatan program:
1. Usaha Kesehatan Sekolah
2. Kesehatan kerja
3. Travel medicine
4. Kesehatan jiwa
5. Kesehatan lansia

Pencatatan dan pelaporan kasus-kasus IMS dan HIV/AIDS dilakukan


secara terpadu dalam aplikasi dan program berbasis internet yang
dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Pedoman Tata Laksana IMS 2019 | 85


Daftar Pustaka
1. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 2017
Tentang Eliminasi Penularan Human Immunodeficiency Virus, Sifilis, dan
Hepatitis B dari ibu ke anak
2. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Buku Pedoman Standar Nasional
Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR). Direktorat Jenderal Bina Gizi Dan
Kesehatan Ibu Dan Anak. Jakarta 2014
3. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Pelaksanaan Pelayanan
Kesehatan Reproduksi Bagi Penyandang Disabilitas Usia Dewasa. Direktorat
Jenderal Kesehatan Masyarakat. Kemenkes RI, Jakarta: 2017.
4. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Pelayanan Kesehatan
Reproduksi Terpadu di Tingkat Pelayanan Kesehatan Dasar. Direktorat Jenderal
Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak. Jakarta, 2015

86 | Pedoman Tata Laksana IMS 2019


9.
Pencegahan dan Pengendalian
Infeksi Menular Seksual

Pencegahan dan pengendalian IMS didasarkan atas 5 strategi utama,


berikut ini:
1. Penilaian risiko yang tepat dan konseling serta edukasi orang berisiko
tinggi mengenai cara-cara menghindari IMS melalui perubahan
perilaku seksual dan penggunaan layanan pencegahan
2. Vaksinasi sebelum pajanan pada seseorang yang berisiko terhadap IMS
yang dapat dicegah oleh vaksin
3. Mengidentifikasi orang yang telah terinfeksi namun asmtomatik dan
orang dengan gejala yang berkaitan dengan IMS
4. Diagnosis, pengobatan, konseling, dan menindaklanjuti orang yang
telah terinfeksi, serta
5. Memeriksa, mengobati, dan konseling pasangan seks dari orang yang
telah terinfeksi IMS

Pencegahan primer IMS termasuk melakukan penilaian mengenai perilaku


berisiko (yaitu menilai perilaku seksual yang menempatkan seseorang
berisiko terkena IMS). Seseorang yang berobat untuk IMS harus dilakukan
penapisan atau skrining untuk IMS dan HIV.

Edukasi tentang IMS penting dilakukan, mengingat salah satu tujuan


program penanggulangan HIV/AIDS ialah perubahan perilaku yang
berhubungan erat dengan penyebaran IMS. Untuk melakukan kegiatan ini
perlu disediakan satu ruangan khusus yang dapat merahasiakan
pembicaraan antara pasien dan penyuluh atau konselor. Tujuan konseling
adalah untuk membantu pasien mengatasi masalah yang dihadapi pasien
sehubungan dengan IMS yang dideritanya, sedangkan edukasi bertujuan
agar pasien mau mengubah perilaku seksual berisiko menjadi perilaku
seksual aman. Kedua pengertian ini perlu dipahami dengan benar.

Pedoman Tata Laksana IMS 2019 | 87


Konseling bagi pasien IMS merupakan peluang penting untuk dapat
sekaligus memberikan edukasi tentang pencegahan infeksi HIV pada
seseorang yang berisiko terhadap penyakit tersebut. Kelompok remaja
merupakan kelompok sasaran khusus dan penting dalam upaya
pencegahan primer sebab seringkali kehidupan seksual dan reproduktif
mereka berisiko. Umumnya mereka tidak menyadari risiko yang mereka
hadapi untuk tertular IMS. Penilaian perilaku merupakan bagian integral
dari riwayat IMS dan pasien sebaiknya diberikan penyuluhan untuk
mengurangi risikonya terhadap penularan HIV dan IMS, termasuk
abstinensia hubungan seksual, berhati-hati memilih pasangan seksual,
serta penggunaan kondom.

Kondom sudah tersedia di setiap fasilitas kesehatan yang melaksanakan


pelayanan IMS, dan petunjuk penggunaannya juga perlu disiapkan.
Sekalipun kondom tidak memberikan perlindungan 100% untuk setiap
infeksi, namun bila digunakan dengan tepat akan sangat mengurangi risiko
infeksi. Pencegahan kehamilan juga merupakan salah satu tujuan
penggunaan kondom, sehingga dua jenis pencegahan ini perlu
diberitahukan kepada pasien. Kepada kelompok dewasa muda juga perlu
diinformasikan di mana mereka bisa mendapatkan alat kontrasepsi dan
kondom.

Pada umumnya pasien IMS, membutuhkan penjelasan tentang penyakit,


jenis obat yang digunakan, dan pesan-pesan lain yang bersifat umum.
Penjelasan dokter diharapkan dapat mendorong pasien untuk mau
menuntaskan pengobatan dengan benar. Dalam memberikan penjelasan,
dokter atau perawat sebaiknya menggunakan bahasa yang mudah
dipahami dan dimengerti oleh pasien, dan bila dianggap perlu dapat
digunakan istilah-istilah setempat.

Beberapa pesan edukasi IMS yang perlu disampaikan:


1. Mengobati sendiri cukup berbahaya.
2. IMS umumnya ditularkan melalui hubungan seksual.
3. IMS adalah ko-faktor atau faktor risiko dalam penularan HIV.
4. IMS harus diobati secara paripurna dan tuntas.

88 | Pedoman Tata Laksana IMS 2019


5. Kondom dapat melindungi diri dari infeksi IMS dan HIV.
6. Tidak dikenal pencegahan primer terhadap IMS dengan obat.
7. Komplikasi IMS dapat membahayakan pasien.

Cara mencegah tertular IMS yang paling utama adalah anjuran untuk
abstinensia (tidak melakukan hubungan seks untuk sementara waktu,
selama masih menderita IMS). Namun pada orang yang tidak dapat
menahan diri (misalnya karena libido atau dorongan seks tinggi) dapat
dianjurkan kondom. Selain itu, pasien juga dianjurkan untuk tidak berganti-
ganti pasangan seks.

Abstinensia dan mengurangi jumlah pasangan seks


Cara paling handal untuk mencegah tertular IMS adalah dengan abstinensia
hubungan seks orogenital, genitogenital, anogenital, atau dengan setia pada
pasangan seks yang diketahui tidak terinfeksi IMS. Bagi seseorang yang
sedang menjalani pengobatan untuk IMS, atau yang pasangannya sedang
diobati IMS), konseling sangat penting, agar pasien mau abstinensia dari
hubungan seks sampai pasien atau pasangan dinyatakan sembuh.

Penggunaan kondom untuk mencegah IMS


 Pasien perlu diberi penjelasan mengenai manfaat, cara pemakaian yang
benar serta berberapa hal yang harus diperhatikan.
 Tunjukkan tanggal pembuatan, tanggal kadaluwarsa, terangkan bahwa
kondom tidak boleh rusak, berbau, keras, atau sukar dibuka
gulungannya.
 Terangkan cara membuka kemasan secara hati-hati yang dimulai dari
ujung yang dapat disobek
 Tunjukkan sisi kondom yang berada di sebelah dalam, dan jelaskan
bahwa kondom tidak akan terbuka gulungannya bila terbalik
membukanya.
 Tunjukkan cara memegang ujung kondom untuk mengeluarkan udara
di dalamnya sebelum membukanya pada penis yang tengah ereksi.
Terangkan bahwa kondom harus dibuka segera setelah penis mulai

Pedoman Tata Laksana IMS 2019 | 89


berkurang ereksinya, dan bahwa kondom harus dipegang sedemikian
rupa agar isinya tidak tumpah pada waktu membukanya.
 Jelaskan cara untuk melepaskan kondom dengan aman.
 Jangan pernah menggunakan pelumas dari bahan minyak, misalnya
petreolum jelly yang dapat merusak kondom lateks. Pelumas dengan
bahan dasar air lebih aman, misalnya gliserin, K-Y jelly atau busa
spermisidal.
 Jangan memakai ulang kondom bekas pakai.
 Kondom harus disimpan di tempat yang sejuk, gelap dan kering. Jangan
menyimpan kondom di dompet, sebab dompet terlalu panas untuk
menyimpan kondom dalam waktu yang lama

Gambar 8. Petunjuk pemasangan kondom laki-laki

Notifikasi pasangan seks


Penatalaksanaan pasangan seks didasarkan atas diagnosis kasus indeks
(baik berdasarkan sindrom atau secara spesifik). Pasangan seks pasien IMS
yang mungkin menginfeksi atau terinfeksi dianjurkan untuk diobati juga
untuk mencegah infeksi berulang. Pasangan seks perempuan dari pasien

90 | Pedoman Tata Laksana IMS 2019


IMS laki-laki mungkin tampak sehat dan asimtomatik, meskipun sudah
terinfeksi. Seseorang yang asimtomatik umumnya tidak akan berobat
sehingga mempermudah terjadi komplikasi yang serius. Pemberitahuan
kepada pasangan seksual perlu dipertimbangkan dengan hati-hati pada
saat diagnosis IMS ditegakkan, terlepas apakah mereka memerlukan
penanganan atau tidak.

Pemberitahuan kepada pasangan seks dapat dilakukan melalui rujukan


baik oleh pasien maupun oleh petugas kesehatan. Dalam hal rujukan oleh
pasien, maka pasien yang terinfeksi didorong untuk memberitahukan
semua pasangan seksnya tentang kemungkinan terdapat infeksi pada diri
mereka masing-masing tanpa keterlibatan langsung petugas kesehatan.
Rujukan oleh petugas kesehatan dilakukan oleh petugas kesehatan yang
akan memberitahukan pasangan seks pasien tersebut. Pasangan seks harus
diberi tahu dengan cara sedemikian rupa, sehingga semua informasi tetap
dijaga kerahasiaannya. Proses berjalan secara sukarela tanpa paksaan.
Notifikasi bertujuan agar pasangan seksual pasien IMS tetap terjaga
kerahasiaannya, termasuk mereka yang tidak memberikan gejala agar
dirujuk untuk evaluasi.

Agar pasien mau mengajak pasangan seksual berobat, beberapa informasi


di bawah ini perlu diberikan kepada pasien:
 Cara-cara penularan IMS termasuk HIV
 Proses perjalanan penyakit
 Kemungkinan pasangan seks sudah tertular namun tanpa gejala
 Kemungkinan terjadi infeksi ulang jika pasangan tidak diobati dengan
tepat.
 Komplikasi dapat terjadi bila pasangan seksual tidak diobati dengan
tepat.
 Menggugah pasien dan pasangan seksualnya agar mau mengubah
perilaku yang berisiko menjadi tidak berisiko.
 Berbagai tempat yang dapat memberikan pelayanan pengobatan,
konseling dan testing dan bilamana perlu mengenai informasi biaya
yang diperlukan.
 Rujukan kepada kelompok-kelompok pendukung serta fasilitas
pemeriksaan HIV dan fasilitas medis lainnya.

Pedoman Tata Laksana IMS 2019 | 91


Expedited Partner Therapy (EPT) juga disebut sebagai patient delivered
partner therapy (PDPT), merupakan cara mengobati pasangan seks pasien
yang didiagnosis terinfeksi klamidia atau gonore, dengan menitipkan obat
atau resep kepada pasien untuk diberikan kepada pasangan seksnya.
Dokter tidak memeriksa pasangan seks pasien. Cara ini dapat ditawarkan
oleh dokter kepada pasien yang didiagnosis sebagai klamidia atau gonore
agar dapat memberikan obat yang sama kepada pasangan heteroseksual
pasien yang telah melakukan hubungan seks dalam waktu 60 hari. Bila
pasien tidak melalukan hubungan seks dalam waktu 60 hari sebelum
diagnosis, obat dapat dititipkan untuk pasangan seks yang paling baru.

Vaksinasi untuk mencegah IMS


Vaksinasi sebelum terpajan merupakan cara yang paling efektif untuk
mencegah penularan human papillomavirus (HPV) sebagai penyebab kutil
anogenital dan atau kanker serviks. Vaksinasi HPV dianjurkan bagi anak
perempuan dan laki-laki usia 11-12 tahun dan dapat dimulai pada usia 9
tahun. Vaksin HPV sangat manjur bila diberikan kepada orang yang belum
pernah terpajan HPV sesuai tipe yang ada dalam vaksin. Efektivitas vaksin
mungkin rendah bagi orang dengan faktor risiko terinfeksi HPV (misalnya
orang dewasa dengan banyak pasangan seks selama hidupnya, atau pernah
terinfeksi HPV dengan tipe yang sama dengan yang terdapat dalam vaksin)
sama halnya pada orang dengan kondisi imunokompromais.

Terdapat 2 jenis vaksin HPV yang dapat digunakan untuk mencegah kutil
anogenital: a. vaksin HPV quadrivalent ditargetkan untuk mencegah infeksi
HPV tipe 6 dan 11 (umumnya menyebabkan kutil anogenital, dianggap
sebagai tipe low-risk) dan tipe 16 dan 18 (umumnya menyebabkan kanker
serviks); b. vaksin HPV 9-valent ditargetkan untuk mencegah infeksi HPV
tipe 6, 11, 16, dan 18 ditambah 31, 33, 45, 52, 58. Vaksin HPV merupakan
vaksin untuk profilaksis, yang berarti untuk mencegah infeksi baru HPV.
Vaksin ini tidak dapat mencegah perkembangan infeksi HPV menjadi
penyakit, mengurangi waktu clearance infeksi HPV, atau untuk mengobati
penyakit yang disebabkan oleh HPV. Vaksin dapat mencegah infeksi HPV
genital yang disebabkan oleh low risk HPV dan high risk HPV.

92 | Pedoman Tata Laksana IMS 2019


Vaksin diberikan sebanyak 3 kali dengan rentang waktu 0-2-6 bulan.
Artinya, suntikan pertama, lalu 2 bulan kemudian dilakukan vaksinasi
kedua. Vaksinasi ketiga diberikan dalam jangka waktu 6 bulan setelah
injeksi pertama. Seseorang divaksinasi pada saat tidak ada lesi kutil
anogenital, apakah memang tidak menderita, atau telah terkena kutil
anogenital, kemudian setelah sembuh, baru divaksinasi. Untuk perempuan,
vaksinasi diberikan hingga usia 26 tahun, bahkan dapat sampai 45 tahun.
Bagi laki-laki, vaksin HPV dapat diberikan hingga usia 21 tahun. Namun
pada orang dengan infeksi HIV dan untuk LSL, vaksinasi dapat dianjurkan
hingga usia 26 tahun.

Tabel 9.1. Jadwal vaksinasi HPV, untuk perempuan dan laki-laki

Usia 9-14 tahun Usia 15-26 tahun Usia 21-26 tahun Usia 27-45
(laki-laki) tahun
Vaksin HPV 2 (dua) Vaksin HPV 3 (tiga) Vaksin HPV, Dapat diberikan,
dosis, 0 dan 6-12 dosis, 0, 1-2, dan 6 rejimen 3 dosis namun tidak
bulan bulan rutin

Daftar Pustaka
1. Workowski KA, Bolan GA. Sexually Transmitted Diseases Treatment Guidelines,
2015. MMWR Recomm Rep 2015;64(No. 3)
2. Meites E, Szilagyi PG, Chesson HW, Unger ER, Romero JR, Markowitz LE. Human
Papillomavirus Vaccination for Adults: Updated Recommendations of the
Advisory Committee on Immunization Practices. MMWR Morb Mortal Wkly Rep
2019; 68:698–702
3. Zhang S, Batur P. Human papillomavirus in 2019: An update on cervical cancer
prevention and screening guidelines. Clev Clin J Med. 2019;86:173-8

Pedoman Tata Laksana IMS 2019 | 93


94 | Pedoman Tata Laksana IMS 2019
12.
Pencatatan dan pelaporan
infeksi menular seksual

Tujuan pencatatan dan pelaporan ims


 Mengetahui besarnya masalah IMS setempat, dengan menyediakan data
insidens dari beberapa penyakit yang baru didapatkan,
 Melakukan pemantauan insidens dari beberapa penyakit tersebut di
atas,
 Menyediakan informasi untuk penanggulangan kasus IMS dan mitra
seksualnya,
 Menyediakan informasi bagi Dinas Kesehatan untuk melakukan
perencanaan dan pengelolaan program termasuk penyediaan obat,
dengan melaporkan beberapa IMS tertentu.

Pencatatan
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI)
mengembangkan format baku untuk melaporkan data layanan IMS.
Pencatatan kasus IMS mencakup semua layanan kesehatan sektor publik
yang melayani IMS, termasuk tingkat puskesmas dan tingkat rumah sakit
kabupaten/kota/provinsi. Selain itu terdapat sejumlah layanan kesehatan
LSM yang menyediakan layanan IMS bagi populasi kunci yang juga
berpartisipasi dalam pelaporan kasus IMS.
Pencatatan kasus IMS tergantung dari fasilitas laboratorium yang tersedia.
Di pelayanan kesehatan dasar digunakan pencatatan berdasarkan diagnosis
sindrom, sedangkan di tingkat pelayanan yang lebih tinggi digunakan
pencatatan berdasarkan diagnosis etiologis.

Variabel yang harus dicatat


Pencatatan yang dilakukan bergantung pada institusi yang melakukan
pengobatan IMS. Bila institusi tersebut menggunakan cara pengobatan
sindrom, maka pencatatan yang dillakukan juga berdasarkan sindrom.

Pedoman Tata Laksana IMS 2019 | 95


 Periode pencatatan, sebaiknya bulanan,
 Jenis sindrom/ diagnosis etiologis: kriteria diagnosis yang digunakan
harus konsisten
 Golongan umur,
 Jenis kelamin,
 Jenis kunjungan:
- Pasien baru: pasien yang baru berobat pada periode pelaporan
untuk setiap sindrom/ diagnosis etiologis,
- Pasien lama: pasien yang melakukan pengobatan ulang pada
periode pelaporan

Tabel. Definisi kasus berdasarkan sindrom untuk keperluan surveilans IMS

SINDROM DEFINISI
Sekret pada uretra laki-laki dengan/tanpa disuria (nyeri
Sekret uretra
saat miksi)
Luka pada penis, skrotum atau rektum pada laki-laki atau
Ulkus genital (non vesikular) labia, vagina atau rektum pada perempuan, dengan
/tanpa pembesaran kelenjar getah bening inguinal.
Vesikel atau lenting di daerah anogenital laki-laki atau
Ulkus genital (vesikular)
perempuan
Cairan abnormal (dijelaskan dengan jumlah, warna dan
Sekret vagina bau) dengan/tanpa nyeri perut bagian bawah, dan
terdapat faktor risiko
Pembesaran kelenjar getah bening daerah inguinal
Bubo inguinal
disertai rasa nyeri, dan dapat menunjukkan fluktuasi.
Skrotum bengkak, nyeri, disertai kemerahan pada kulit di
Pembesaran skrotum
atasnya, umumnya unilateral
Nyeri perut bagian bawah dan nyeri saat berhubungan
Nyeri perut bagian bawah seksual. Pada pemeriksaan nampak cairan vagina, nyeri
tekan pada perut bagian bawah, dan suhu >38oC.
Tonjolan di daerah anogenital, berupa kutil (jengger ayam)
Vegetasi anogenital
sewarna kulit dengan permukaan tampak kasar
Edema kelopak mata, konjungtiva kemerahan, keluar
Konjungtivitis neonatorum
sekret mata sehingga kelopak mata sering kali melekat.

96 | Pedoman Tata Laksana IMS 2019


Tabel. Kriteria diagnosis berdasarkan pemeriksaan laboratorium sederhana.

DIAGNOSIS KRITERIA LABORATORIUM


Diplokokus Gram negatif intrasel lekosit polimorfonuklear
Gonore (PMN) pada sediaan apus sekret uretra/serviks dengan
pewarnaan Gram
Tidak ditemukan diplokokus Gram negatif intrasel, namun
Non-gonore sel lekosit PMN >5 pada sediaan apus sekret uretra, atau >30
bila berasal dari serviks dengan pewarnaan Gram
Ditemukan flagelata motil pada sediaan sekret vagina yang
Trikomoniasis
ditetesi dengan larutan NaCl fisiologis
Ditemukan clue cells pada sediaan basah (larutan KOH 10%)
Vaginosis bakteri
dari sediaan berasal dari sekret vagina
Ditemukan pseudofifa / blastospora pada sediaan apus
Kandidiasis vaginalis
sekret vagina yang diwarnai dengan pewarnaan Gram.
Rapid test untuk sifilis hasilnya reaktif. Bila ada fasilitas
laboratorium, dapat diperiksa VDRL (Venereal Disease
Sifilis
Research Laboratory) dan TPHA (Treponema pallidum
haemagglutination assay)

Pelaporan
Untuk keperluan surveilans IMS, tidak semua data yang telah dicatat perlu
dilaporkan. Hanya diperlukan beberapa data untuk melihat besarnya
masalah IMS dan untuk melihat trend IMS yang perlu dilaporkan.
Format pelaporan dikembangkan menggunakan formulir elektronik
melalui sistem berbasis web (Sistem Informasi HIV-AIDS dan IMS atau
disingkat SIHA) di setiap tingkat pelaporan. Di tingkat layanan kesehatan
data dimasukkan melalui SIHA dan kemudian di tingkat kabupaten/kota
dan provinsi dilakukan validasi data. Sistem manajemen data saat ini
memungkinkan pengolahan data dilakukan di tingkat layanan kesehatan,
kabupaten/kota, provinsi, dan nasional.

Pelaporan kasus berdasarkan pendekatan sindrom


 Hanya sindrom sekret uretra dan sindrom ulkus genital (non- vsikuler)
yang bermanfaat untuk pemantauan kecenderungan insidens IMS,
karena sindrom ini menunjukkan kasus IMS yang baru saja terjadi.

Pedoman Tata Laksana IMS 2019 | 97


Sedangkan sindrom sekret vagina sebagian besar tidak disebabkan oleh
IMS atau merupakan gejala nyeri perut bagian bawah. Demikian juga
dengan sindrom ulkus genital vesikuler yang sebagian besar
disebabkan oleh herpes genitalis, merupakan gejala kambuhan akibat
infeksi yang terjadi lama sebelumnya.
 Penggunaan laporan diagnosis secara sindrom pada laki-laki umumnya
lebih bermanfaat dibandingkan dengan perempuan untuk mengetahui
besarnya masalah IMS di sebuah wilayah. Hal ini karena sebagian besar
kasus IMS pada perempuan tidak menunjukkan gejala. Untuk kasus
pada perempuan dianjurkan untuk melakukan studi prevalensi.
 Dengan diagnosis berdasarkan pendekatan sindrom, perlu dilakukan
tindak lanjut dengan melakukan penelitian tentang penyebab sindrom
tersebut secara berkala.

Pelaporan kasus berdasarkan pemeriksaan laboratorium


sederhana
 Sifilis primer pada laki-laki dan perempuan serta gonore pada laki-laki
merupakan diagnosis etiologis yang bermanfaat untuk pemantauan
insidens IMS. Penyakit yang lain tidak bermanfaat untuk pemantauan
insidens IMS. Kasus sifilis laten yang baru terdiagnosis pada laki-laki
dan perempuan, atau klamidiosis, gonore dan trikomoniasis pada
perempuan menunjukkan telah terjadi infeksi sebelumnya dalam kurun
waktu yang tidak jelas.
 Pelaporan kasus berdasarkan diagnosis etiologis lebih bermanfaat
untuk pemantauan insidens IMS pada laki-laki dibandingkan dengan
perempuan.
 Sensitivitas tes yang digunakan biasanya kurang dari 100%, sehingga
masih ada kasus negatif palsu.
 Tersedianya tes untuk diagnosis harus diikuti dengan upaya-upaya
pemantapan mutu (quality assurance) agar mendapatkan hasil
pemeriksaan yang bermutu.

98 | Pedoman Tata Laksana IMS 2019


Pedoman Tata Laksana IMS 2019 | 99
100 | Pedoman Tata Laksana IMS 2019
102 | Pedoman Tata Laksana IMS 2019
Pedoman Tata Laksana IMS 2019 | 103
104 | Pedoman Tata Laksana IMS 2019
In

Pedoman Tata Laksana IMS 2019 | 105


106 | Pedoman Tata Laksana IMS 2019

Anda mungkin juga menyukai