Buku Ajar Perekonomian Indonesia
Buku Ajar Perekonomian Indonesia
INDONESIA
Hak cipta pada penulis
Hak penerbitan pada penerbit
Tidak boleh diproduksi sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun
Tanpa izin tertulis dari pengarang dan/atau penerbit
Kutipan Pasal 72 :
Sanksi pelanggaran Undang-undang Hak Cipta (UU No. 10 Tahun 2012)
1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal (49) ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan
pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda
paling sedikit Rp. 1. 000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7
(tujuh) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 5. 000.000.000,00 (lima miliar rupiah)
PEREKONOMIAN INDONESIA
Penulis:
Dr. Nairobi, S.E, M.Si
Arif Darmawan, S.E,
M.A
ISBN: 978-623-6569-44-3
Penerbit
PUSAKA MEDIA
Anggota IKAPI
No. 008/LPU/2020
Alamat
Jl. Endro Suratmin, Pandawa Raya. No. 100
Korpri Jaya Sukarame Bandarlampung
082282148711
email : cspusakamedia@yahoo.com
Website : www.pusakamedia.com
PEREKONOMIAN INDONESIA v
Dalam penyusunan buku ini kami menyadari walaupun sudah
berhati-hati menggunakan sumber dan data pokok materi
Perekonomian Indonesia, mungkin masih ada kesalahan dan
kekurangan dalam merumuskan kembali dalam sebuah dokumen
yang komprehensif. Oleh karena itu kepada semua pihak, kami
selalu menantikan sumbangan pikiran dan masukan demi
penyempurnaan materi perkuliahan Perekonomian Indonesia.
Akhirnya harapan kami, semoga buku ajar Perekonomian
Indonesia ini bermanfaat bagi mereka yang mempelajarinya, semoga
Tuhan Yang Maha Esa memberikan taufiq dan hidayah-Nya kepada
kita semua di dalam ikut serta dalam mempelajari Perekonomian
Indonesia sekaligus menumbuhkan rasa cinta tanah air, yang dijiwai
semangat kekeluargaan dan kebersamaan berlandaskan Pancasila
dan memberikan pemahaman menyeluruh dalam pendekatan
ekonomi mikro dan makro.
Penulis
vi PEREKONOMIAN INDONESIA
KATA PENGANTAR ................................................................................. vi
DAFTAR ISI ............................................................................................... viii
E. Materi Perkuliahan.................................................................................155
1. Perkembangan Pariwisata 2019.....................................................155
2. Prospek dan Strategi Peningkatan Pariwisata.......................162
F. Rangkuman................................................................................................167
G. Pertanyaan untuk Latihan...............................................................168
Referensi.................................................................................................168
E. Materi Perkuliahan...........................................................................287
1. Perkembangan Defisit dan Pembiayaan Anggaran Tahun
2015-2019 dan Rencana Tahun 2020 ..........................................287
2. Pembiayaan Anggaran Periode 2015-2019 dan Rencana
Pembiayaan Anggaran APBN Tahun 2020................................289
F. Rangkuman.......................................................................................307
G. Pertanyaan untuk Latihan...........................................................309
Referensi..........................................................................................................311
F. Rangkuman.......................................................................................350
G. Pertanyaan untuk Latihan...............................................................352
Referensi................................................................................................353
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................389
BIODATA PENULIS...............................................................................391
xiv PEREKONOMIAN INDONESIA
BAB I
B. Pendahuluan
Bahasan pertama ini akan memberikan penjelasan mengenai
upaya dan permasalahan dalam mewujudkan visi negara, serta
tantangan pembangunan bangsa dan global yang harus dihadapi
sesuai dengan arahan prioritas kebijakan RPJMN 2020-2024
didalam rumusan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional.
C. Capaian Pembelajaran
Memberikan penjelasan kepada mahasiswa tentang latar
belakang tujuan negara Indonesia sesuai dengan tahapan rencana
pembangunan jangka menengah (RPJM) serta menjelaskan
permasalahan pokok bangsa dan tantangan dalam pembangunan.
Secara lebih rinci, pembahasan akan meliputi:
1. Dapat menjelaskan visi pembangunan nasional berdasarkan
Undang-undang No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional tahun 2005-2025
PEREKONOMIAN INDONESIA 1
2. Dapat menjelaskan arah kebijakan pembangunan dari semua
tahapan, khususnya RPJM ke-4
3. Dapat menjelaskan tiga masalah pokok bangsa untuk mencapai
tujuan nasional
4. Dapat menjelaskan tantangan utama pembangunan dan solusinya
E. Materi Perkuliahan
1. Tema dan Agenda Pembangunan
Kesetaraan Gender
Strategi pembangunan nasional harus memasukan perspektif
gender untuk mencapai pembangunan yang lebih adil dan
meratbagi seluruh penduduk Indonesia baik laki-laki maupun
perempuan. Indikator:
1. Indeks Pembangunan Gender (IPG)
2. Indeks Pemberdayaan Gender (IDG)
Pembangunan Berkelanjutan
Pembangunan yang berkelanjutan harus dapat menjaga
keberlanjutan kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat, menjaga
kualitas lingkungan hidup, serta meningkatkan pembangunan yang
inklusif dan pelaksanaan tata kelola yang mampu menjaga
peningkatan kualitas kehidupan dari satu generasi ke generasi
berikutnya Indikator:
1. Pertumbuhan PDB
2. Indeks Pembangunan Manusia
3. Indeks Kualitas Lingkungan Hidup
4. Indeks Anti Korupsi
5. Indeks Pelayanan Publik (K/L)
6. Indeks Akuntabilitas
7. Indeks Resiko Bencana Indonesia
Transformasi Digital
Perkembangan pesat teknologi khususnya teknologi digital
telah mempengaruhi berbagai aspek kehidupan. Sehingga perlu
untuk menyelaraskannya dengan pembangunan nasional
Indikator:
1. Meningkatnya NRI (Network Readiness Index) untuk mengukur
bagaimana teknologi khususnya teknologi komunikasi dan
informasi (TIK) dapat memberikan dampak terhadap suatu
negara.
2. Memperkuat IDI (ICT Development Index) untuk melihat
bagaimana pengembangan TIK suatu negara dari sisi
infrastrukturnya.
F. Rangkuman
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)
2020-2024 merupakan tahapan terakhir dari Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025
sehingga menjadi sangat penting. RPJMN 2020-2024 akan
mempengaruhi pencapaian target pembangunan dalam RPJPN,
dimana pendapatan perkapita Indonesia akan mencapai tingkat
kesejahteraan setara dengan negara-negara berpenghasilan
menengah atas (upper-middle income
country/MIC) yang memiliki kondisi infrastruktur, kualitas sumber
daya manusia, layanan publik, serta kesejahteraan rakyat yang
lebih baik.
Tujuan RPJMN IV tahun 2020 – 2024 telah sejalan dengan
Sustainable Development Goals (SDGs). Target-target dari 17 tujuan
(goals) dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) beserta
indikatornya.
Sesuai dengan RPJPN 2005-2025, sasaran pembangunan
jangka menengah 2020-2024 adalah mewujudkan masyarakat
Indonesia yang mandiri, maju, adil, dan makmur melalui
percepatan pembangunan di berbagai bidang dengan menekankan
terbangunnya struktur perekonomian yang kokoh berlandaskan
keunggulan kompetitif di berbagai wilayah yang didukung oleh
sumber daya manusia yang berkualitas dan berdaya saing.
Referensi
Kementerian PPN/Bappenas. 2019. Rancangan Teknokratik:
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-
2024.
BAB II
B. Pendahuluan
Pembahasan kali ini akan memberikan gambaran dari capaian
dan indikator pembangunan jangka menengah 2015-3019. Selain itu,
melihat berbagai kriteria pembangunan yang berkenaan dengan
pertanian, Kawasan industry dan juga memberikan masukan atas
stabilitas sistem ketahanan ekonomi yang berkelanjutan sesuai
dengan amanat pembangunan nasional.
C. Capaian Pembelajaran
Memberikan mahasiswa gambaran mengenai kondisi
ketahanan ekonomi untuk pertumbuhan yang berkualitas ditinjau
dari aspek sosio-ekonomi. Secara lebih rinci, mahasiswa
diharapkan mampu menjelaskan mengenai:
1. Transformasi Struktural di Indonesia
2. Peningkatan Produktivitas Tenaga Kerja
3. Strategi Penguatan Pilar Pertumbuhan dan Daya Saing Ekonomi
di Indonesia
4. Kebijakan yang dilakukan Pemerintah dalam Mendukung
Pertumbuhan Ekonomi yang Berkualitas
E. Materi Perkuliahan
1. Capaian Pembangunan 2015-2019
1. Capaian produksi pengelolaan pangan meningkat sebesar 4,7 %
untuk padi, 15,2 % untuk jagung, dan 15,0 % untuk daging.
2. Angka kerawanan pangan menurun menjadi 7,9 %.
3. Konsumsi ikan masyarakat terus meningkat hingga mencapai 47,3
kg/kapita/ tahun.
4. Rasio elektrifikasi yang pada kuartal III tahun 2018 mencapai
98,3%.
5. 8 Kawasan Industri / Kawasan Ekonomi Khusus sudah
beroperasi dengan nilai investasi sebesar Rp179,9 triliun dari
PMA dan PMDN.
6. Peningkatan kunjungan wisatawan mancanegara dari 9,4 juta
orang di tahun 2014 menjad 15,8 juta orang di tahun 2018.
7. Kontribusi ekspor ekonomi kreatif mencapai USD 19,9 miliar atau
13,8% dari total ekspor Indonesia.
8. Penciptaan lapangan kerja baru sekitar 9,4 juta (kumulatif
20152018) dan pengangguran terbuka menurun menjadi 5,3% di
tahun 2018.
9. Peningkatn realisasi nilai investasi dari Rp545,4 triliun pada tahun
2015 menjadi Rp721,3 triliun pada tahun 2018.
Pada periode 2015-2019, pengelolaan pangan
menunjukkan capaian produksi yang meningkat sebesar 4,7 % untuk
padi, 15,2 % untuk jagung, dan 15,0 % untuk daging. Produksi
perikanan tangkap, termasuk di 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan
(WPP) juga meningkat, mencapai 6,9 juta ton pada tahun 2017.
Produksi perikanan budidaya juga meningkat menjadi 16,1 juta,
yang mencakup 5,7 juta ton ikan budidaya (termasuk udang) dan 10,4
juta ton rumput laut. Selanjutnya produksi garam pada tahun 2017
adalah sebesar 1,1 juta ton. Perbaikan produksi pangan juga
didukung pembangunan tampungan air dengan kapasitas 3m dan 49
waduk, serta rehabilitasi 788,6 ribu hektar lahan kritis. Konservasi
kawasan perairan sebagai salah satu alat pengelolaan perikanan juga
ditingkatkan luasannya menjadi 20,8 juta hektar atau sekitar 6,4 %
dari total luas wilayah perairan yang meliputi 172 kawasan pada
tahun 2018.
Peningkatan pengelolaan dan produksi sumberpangan ini
memungkinkan perbaikan kualitaskonsumsi dan gizi masyarakat
seperti ditunjukkan dengan skor Pola Pangan Harapan (PPH) sebesar
90,7/100, dan angka kerawanan pangan yang menurun menjadi
7,9 %. Konsumsi ikan masyarakat juga terus meningkat hingga
mencapai 47,3 kg/kapita/tahun. Akses mayarakat ke sumber air
minum yang layak juga meningkat menjadi 72,0 %.
Peluang dikontribusikan perkembangan pariwisata,serta
ekonomi kreatif dan digital. Kontribusi pariwisata dalam penciptaan
devisa meningkat dari USD 11,2miliar di tahun 2014 menjadi USD 15,2
miliar di tahun 2017. Kenaikan devisa ini dihasilkan dari peningkatan
kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) untuk menikmati
wisata alam dan budaya di Indonesia dari 9,4 juta orang di tahun
2014 menjadi 15,8 juta orang pada tahun 2018. Aktivitas wisatawan
nusantara juga meningkat dari 252 juta orang di tahun 2014 menjadi
277 juta orang di tahun 2017. Secara total, kontribusi sektor
pariwisata kepada perekonomian nasional diperkirakan meningkat
dari 4,2 % di tahun 2015 menjadi 4,8 % di tahun 2018.
Gambar 2.1 Pertumbuhan PDB Industri dan Nasional (Sumber: BPS)
Referensi
Atlas of Economic Complexity. 2019. Diakses melalui tautan:
https://atlas.cid.harvard.edu/
BKPM. 2019. Laporan Kegiatan Penanaman Modal. Jakarta.
BPS. 2020. Laporan Perekonomian Daerah. Publikasi.
BPS. 2020. Laporan Triwulanan. Berita Resmi Statistik.
Kementerian PPN/Bappenas. 2019. Rancangan Teknokratik:
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-
2024.
World Economic Forum. 2019. The Global Information Technology
Report 2019. Innovating in the Digital Economy.
BAB III
B. Pendahuluan
Bab ini akan memberikan gambaran mengenai
pengembangan wilayah untuk mengurangi kesenjangan dan
menjamin pemerataan. Selain itu, akan dibahas mengenai
tantangan dan peluang pembangunan berbasis kewilayahan pada
kurun waktu 2020-2024.
C. Capaian Pembelajaran
Memberikan penjelasan kepada mahasiswa mengenai aspek
wilayah dalam pembangunan Indonesia. Selain itu, diharapkan
mahasiswa dapat mempelajari dan menjabarkan beberapa hal
meliputi:
1. Capaian pembangunan wilayah 2015-2019
2. Lingkungan dan isu strategis dalam aspek kewilayahan 2015-2019
3. Sasaran, target dan indikator pengembangan wilayah di tahun
2015-2019
4. Arah kebijakan dan strategi yang bisa dilakukan oleh pemerintah
D. Hasil yang Diharapkan
Setelah mengikuti perkuliahan, mahasiswa diharapkan
mampu menjelaskan aspek-aspek kewilayahan dalam
pembangunan nasional. Selain itu, mahasiswa dapat memberikan
banyak masukan alternatif dalam isu strategis berupa sasaran,
target dan indikator yang terarah guna memberikan dampak lebih
dalam mengurangi ketimpangan dan kemiskinan di wilayah-
wilayah tertentu.
E. Materi Perkuliahan
1. Capaian 2015-2019
a. Pembangunan 11 KEK di luar Jawa
b. Penurunan desa tertinggal sebanyak 6.518 desa
c. Penguatan 39 pusat pertumbuhan sebagai PKL/PKW
d. 59 Kabupaten Daerah Tertinggal potensi terentaskan
e. Optimalsiasi 15 kota sedang di luar Jawa sebagai PKN/ PKW
f. Peningkatan 2665 desa mandiri
g. Pembagian 12.515.423 sertifikat hak atas tanah
h. Pembangunan 6 metropolitan baru di luar jawa
Bonus Demografi
Bonus demografi dapat membawa dampak positif dan negatif.
Positifnya, melimpahnya jumlah penduduk usia produktif yang
dapat memacu pertumbuhan ekonomi ke tingkat yang lebih tinggi.
Negatifnya, jika bonus demografi ini tidak dipersiapkan sebaik
mungkin berpotensi menimbulkan berlebihnya tenaga kerja
dibandingkan dengan lapangan kerja yang disediakan. Kurangnya
lapangan pekerjaan menyebabkan pengangguran yang dapat
berakibat pada meningkatnya kemiskinan. Bonus demografi juga
harus dilihat distribusinya secara spasial, mengingat bonus
demografi untuk setiap provinsi berbeda awal, akhir dan
puncaknya. Distribusi sumberdaya perlu dipastikan tepat waktu,
untuk mengantisipasi puncak bonus demografi di setiap provinsi.
Urbanisasi
Urbanisasi bukan hanya persoalan perpindahan, tetapi
merupakan perubahan pola kerja dari yang berbasis agraris
menjadi berbasis industri dan jasa. Aglomerasi atau konsentrasi
penduduk di perkotaan dapat memberikan berbagai manfaat
seperti kemudahan untuk mencari input produksi serta dapat
memfasilitasi orang untuk bertukar informasi dan saling belajar
satu sama lain yang pada akhirnya akan menstimulasi ide baru dan
inovasi. Antara 2010-2018 populasi penduduk perkotaan Indonesia
meningkat sebesar 27 juta dengan laju pertumbuhan 2,5 %.
Peningkatan jumlah penduduk perkotaan ini dapat dipastikan
memberikan tekanan pada kawasan perkotaan dan harus
diantisipasi dengan penyediaan infrastruktur dasar yang memadai.
Apabila tidak, maka tekanan jumlan penduduk perkotaan tersebut
akan menurunkan kesejahteraan dan menyebabkan kawasan
perkotaan tidak inklusif dan tidak layak huni. Manfaat urbanisasi
hanya dapat dinikmati oleh segelintir anggota masyarakat
perkotaan saja.
Tantangan
Tantangan pembangunan berbasis kewilayahan pada kurun
waktu 2020-2024 adalah mengurangi kesenjangan sosial-ekonomi
Jawa dan luar Jawa, meningkatkan keterpaduan antar-provinsi
dalam satu pulau dan antar pulau di bidang ekonomi, sosial-budaya
dan sarana dan prasarana. Tantangan berikutnya adalah
meningkatkan daya saing wilayah melalui re-industrialisasi
khususnya yang berbasis potensi wilayah, menemukan dan
mengembangkan sumber-sumber pertumbuhan baru,
meningkatkan sumber daya manusia dan tingkat kreativitas
masyarakat, meningkatkan kualitas dan ketersediaan atau akses
terhadap pelayanan dasar, meningkatkan komersialisasi inovasi
lembaga
penelitian dan perguruan tinggi, memanfaatkan teknologi digital
dalam segala aspek untuk mengantisipasi Revolusi Industri 4.0,
mengoptimalkan skema pembiayaan inovatif seperti KPBU dan
PINA, serta memenuhi standar pelayanan minimum (SPM). Selain
itu, tantangan lainnya adalah mengharmoniskan peraturan
perundang- undangan pusat-daerah dan antar sektor sesuai
kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, serta meningkatkan
kapasitas pemda, termasuk kerjasama daerah, kolaborasi, dan
inovasi daerah. Penetapan UU No. 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah memunculkan berbagai tantangan baru
dalam pengelolaan desentralisasi di Indonesia.
Pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah yang baik
akan membuat pemerintah daerah membangun dengan lebih
responsif dan lebih tepat sasaran sesuai dengan kebutuhan di
masing-masing daerah. Namun, pada sisi lain, pelaksanaan
kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah saat ini masih sangat
tergantung pada pemerintah pusat terutama dari sisi transfer
pendanaan dan pengaturan regulasi serta kebijakan. Selain itu, dari
sisi pendanaan, pemerintah pusat juga memiliki keterbatasan,
sementara pemerintah daerah belum sepenuhnya mampu
mengakses sumber pembiayaan lain selain anggaran pemerintah.
Dari sisi pengaturan regulasi dan kebijakan, masih banyak
peraturan perundang-undangan turunan UU No. 23 Tahun 2014
yang belum ditetapkan. Beberapa regulasi juga terindikasi belum
harmonis satu dengan lainnya menyebabkan pemerintahan daerah
dan pemerintahan desa ragu atau mengalami kesulitan untuk
melaksanakan suatu kebijakan nasional. Pelaksanaan kebijakan
nasional di daerah belum optimal dilaksanakan, misalnya
pelaksanaan SPM, peningkatan kerjasama daerah, dan peningkatan
kemudahan perizinan investasi, juga antara lain disebabkan masih
rendahnya kapasitas pemerintahan daerah di berbagai sisi, antara
lain kelembagaan, keuangan, kapasitas aparatur, dan hambatan dari
dinamika politik lokal, termasuk belum optimalnya kepedulian
pemerintahan daerah dan pemerintahan desa.
Isu Strategis
1. Kesenjangan antara wilayah yang ditandai dengan:
a. Kemiskinan di KTI (18,01 %), KBI (10,33 %), perdesaan (13.47 %)
dan perkotaan (7,20 %) yang tinggi (BPS, 2017);
b. Ketimpangan Pendapatan Perdesaan (GR = 0,324) dan
Perkotaan (GR = 0,4);
c. Terjadinya konsentrasi kegiatan ekonomi di KBI terutama
Pulau Jawa;
d. Keterbatasan sarana prasarana dan aksesibilitas di daerah
tertinggal, desa dan kawasan perdesaan, kawasan
transmigrasi, kawasan perbatasan; dan
e. Belum optimalnya pengembangan ekonomi lokal di daerah
tertinggal, desa dan kawasan perdesaan, kawasan perbatasan
dan kawasan transmigrasi;.
2. Penguatan pertumbuhan pusat-pusat wilayah yang masih
rendah, yang ditandai oleh:
a. Tingkat keberhasilan Pusat Pertumbuhan Wilayah yang masih
rendah (10 operasional dari 12 KEK, 3 operasional dari 14 KI, 2
dari 4 KPBPB, dan 10 Destinasi Wisata);
b. Konektivitas dari dan menuju Pusat-Pusat Pertumbuhan yang
lemah; dan
c. Kawasan Strategis Kabupaten yang belum berkembang.
3. Pengelolaan urbanisasi yang belum optimal yang ditandai dengan
1 % pertambahan jumlah populasi penduduk urban yang hanya
dapat meningkatkan 1,4 % PDB.
4. Pemanfaatan ruang yang belum sesuai dan sinkron dengan
rencana tata ruang, yang ditandai dengan:
a. Terbatasnya ketersediaan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR)
yang berkualitas sebagai acuan perizinan dan pengendalian
pemanfaatan ruang, terutama dikarenakan belum tersedianya
peta dasar skala 1 : 5.000;
b. Belum berjalannya pengendalian pemanfaatan ruang secara
optimal dikarenakan belum tersedianya instrumen pengendalian
pemanfaatan ruang;
c. Desa-desa dalam kawasan hutan dan perkebunan besar tidak
dapat melaksanakan kewenangannya terutama untuk
pembangunan infrastruktur (sekitar 25.000 desa); dan
d. Kejadian bencana akibat pemanfaatan ruang yang belum
sesuai dengan rencana tata ruang semakin meningkat (sekitar
2.000 kasus kejadian banjir, longsor, kebakaran hutan, dan
sebagainya).
5. Rendahnya pemenuhan pelayanan dasar dan peningkatan daya
saing daerah, yang ditandai dengan:
a. Akses dan kualitas pelayanan dasar yang terbatas, antara lain
angka rumah layak huni hanya mencapai 36,3 %, air minum
layak 61,29 %, sanitasi (air limbah) layak 74,58 % (termasuk
sanitasi aman 7,42 %) (BPS 2018, diolah Bappenas berdasarkan
definisi SDGs 2030);
b. Ketergantungan APBD terhadap Dana Transfer yang tinggi
(rata- rata >70 % APBD Kab/ Kota dan >50 % APBD Provinsi
dari Pusat) serta sumber Pendanaan Non APBN yang kurang
optimal;
c. Peraturan Perundangan yang belum harmonis,
d. Belum optimalnya Kerjasama dan Inovasi Daerah yang belum
berkembang; dan
e. Proses perizinan yang lama dan berbiaya tinggi,
f. Belum optimalnya sinergi perencanaan Pusat-daerah.
6. Rendahnya kepastian hukum hak atas tanah dan ketimpangan
pemilikan, penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah
yang ditandai dengan:
a. Cakupan peta dasar pertanahan baru 48,4 %;
b. Cakupan bidang tanah bersertipikat yang terdigitasi baru
20,91 %;
c. 26,14 juta rumah tangga tani hanya menguasai lahan rata-rata
0,89 hektar dan 14,25 juta rumah tangga tani hanya
menguasai lahan kurang dari 0,5 hektar/keluarga (Sensus
Pertanian BPS, 2013);
d. Sengketa, konflik dan perkara pertanahan yang terselesaikan
baru 4.031 kasus dari total 10.802 kasus yang ditangani.
7. Fungsi ibukota sebagai pusat pemerintahan mulai menurun dan
tidak efisien. Salah satu indikator penandanya adalah jumlah
kerugian akibat kemacetan dan tidak efisiennya penggunaan
bahan bakar yang mencapai 56 triliun rupiah di tahun 2011
(Pulstra UGM, 2013). Selain itu, wilayah metropolitan Jakarta telah
menjadi area dengan jumlah populasi penduduk terbesar di
Indonesia, demikian pula pulau Jawa bila dibandingkan dengan
pulau besar lainnya.
F. Rangkuman
Capaian pembangunan berbasis kewilayahan pada tahun 2015-
2019 disusun dengan mengacu pada target dan sasaran yang
tertuang di RPJMN 2015-2019. Untuk pemerataan wilayah dan
kontribusi antarpulau, sumbangan Pulau Jawa masih dominan dan
tidak mengindikasikan pergeseran. Hanya Pulau Sulawesi, Bali dan
Nusa Tenggara yang sampai dengan akhir 2018 masih mengikuti
target dalam RPJMN 2015-2019. Ke depannya perhatian
khusus
harus diberikan pada wilayah Kalimantan, Sumatera, dan Papua-
Maluku yang menunjukan gejala perlambatan.
Ketimpangan antarprovinsi di dalam wilayah pulau paling
tinggi adalah di Pulau Jawa-Bali dan Kalimantan. Ketimpangan
antardesa-kota dalam wilayah pulau paling tinggi adalah di Pulau
JawaBali, Nusa Tenggara dan Sulawesi. Penting untuk menjadi
catatan adalah tingkat ketimpangan antarwilayah yang rendah
belum tentu merefleksikan keberhasilan kebijakan distribusi
pembangunan. Namun demikian, tingkat ketimpangan yang rendah
bisa jadi mencerminkan tingkat pembangunan yang rendah dan
merata di seluruh wilayah, sepertinya halnya yang terjadi di
wilayah Pulau Maluku. Untuk indikator tingkat kemiskinan, sampai
dengan akhir 2018 hanya Pulau Kalimantan yang rendah, pulau
yang lainnya masih relatif tinggi terutama Pulau Papua dan
Kepulauan Nusa Tenggara.
Secara jumlah, Pulau Jawa-Bali adalah rumah bagi penduduk
miskin terbanyak. Sedangkan untuk indikator pengangguran,
secara rata-rata angkanya merata di pengangguran, secara rata-rata
angkanya merata di semua pulau, yaitu berkisar 4-5 %, kecuali
pulau Maluku yang memiliki tingkat pengangguran paling tinggi.
Strategi yang dapat dilakukan untuk mengatasi ketimpangan
antarprovinsi dan di dalam pulau adalah dengan terus mendorong
pembangunan dan pusat-pusat pertumbuhan di luar Pulau Jawa,
terutama di Kepulauan Nusa Tenggara, Pulau Sumatera, Kalimantan
dan Papua.
Referensi
Kementerian PPN/Bappenas. 2019. Rancangan Teknokratik:
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-
2024.
BAB IV
B. Pendahuluan
Bahasan keempat ini akan memberikan penjelasan mengenai
upaya dan peluang dalam meningkatkan aspek SDM serta isu
strategis dalam mewujudkan pembangunan ekonomi yang berdaya
saing dan unggul. Selain itu, dampak kebijakan pemerintah terkait
pengendalian penduduk dan perlindungan sosial bisa memberikan
hasil terbaik dalam investasi modal manusia di masa depan.
C. Capaian Pembelajaran
Memberikan penjelasan kepada mahasiswa tentang isu
strategis, capaian dan strategi pembangunan SDM guna
mempersiapkan Indonesia Emas 2045. Pembangunan Indonesia
2020-2024 ditujukan untuk membentuk sumber daya manusia
yang berkualitas dan berdaya saing, yaitu sumber daya manusia
yang sehat dan cerdas, adaptif, inovatif, terampil, dan berkarakter.
Secara lebih rinci, mahasiswa akan mendapatkan beberapa
informasi terkait:
1. Capaian Pembangunan 2015-2019 terkait SDM
2. Lingkungan dan Isu Strategis Kependudukan
3. Peningkatan Kualitas Anak, Perempuan dan Pemuda; serta
4. Peningkatan Produktivitas dan Daya Saing
E. Materi Perkuliahan
1. Capaian Pembangunan 2015-2019
1. Laju Pertumbuhan Penduduk:
a. Status Awal: 1,14% (2015-2016),
b. Capaian Akhir: 1,07% (2017-2018)
2. Angka kelahiran total (Total Fertility Rate/TFR)
a. Status Awal: 2,41 (SP 2010)
b. Capaian Akhir: 2,28 (Supas 2015)
3. Cakupan kepesertaan JKN Kesehatan
a. Status Awal: 62% (BPJS, 2015)
b. Capaian Akhir: 81,7% (BPJS, 1 Maret 2019)
4. Prevalensi stunting (pendek dan sangat pendek) pada balita
a. Status Awal: 37,2% (Riskesdas, 2013)
b. Capaian Akhir: 30,8% (Riskesdas, 2018)
5. Rata-rata lama sekolah usia 15 tahun ke atas
a. Status Awal: 8,22 tahun (2014)
b. Capaian Akhir: 8,45 tahun (2017)
6. Kepemilikan akta kelahiran penduduk usia 0-17 tahun
a. Status Awal: 81,68% (2016)
b. Capaian Akhir: 83,55% (Maret, 2018)
7. Proporsi pekerja berkeahlian menengah dan tinggi
a. Status Awal: 38,10% (2014)
b. Capaian Akhir: 39,57% (2018)
8. Peringkat Global Innovation Index
a. Status Awal: 97/141 (2015)
b. Capaian Akhir: 85/126 (2018)
9. Indeks Pembangunan Pemuda
a. Status Awal: 48,67 (2015)
b. Capaian Akhir: 51,50 (2018)
Pengentasan Kemiskinan
Dalam satu dekade terakhir ekonomi Indonesia tumbuh
positif. Namun, elastisitasnya terhadap tingkat kemiskinan
menurun sehingga laju penurunan kemiskinan cenderung
melambat. Hal ini terjadi antara lain karena sektor ekonomi yang
mengalami pertumbuhan cukup tinggi seperti sektor keuangan dan
jasa bukan merupakan sektor yang menjadi andalan penghidupan
bagi masyarakat miskin dan rentan. Sebagai contoh, sektor
pertanian yang menjadi tumpuan penghidupan mayoritas tenaga
kerja, khususnya tenaga kerja miskin, memiliki produktivitas yang
rendah serta kontribusi terhadap PDRB yang cenderung menurun.
Sebanyak 49,8 % kepala keluarga dari kelompok miskin dan
rentan bekerja di sektor pertanian dan 13,4 % bekerja di sektor
perdagangan dan jasa akomodasi (Susenas, 2018). Di sisi lain, rata-
rata pendapatan sektor tersebut merupakan yang terendah, rata-
rata pendapatan sektor pertanian adalah Rp. 743.399,- sementara
sektor perdagangan dan jasa akomodasi sebesar Rp. 1.218.955,-
per bulan (Sakernas, 2017). Rendahnya produktivitas di sektor ini
antara lain karena masih minimnya kepemilikan aset produktif,
minimnya akses terhadap pembiayaan serta kurangnya
pengetahuan dan keterampilan. Baru sekitar 25,6 % rumah tangga
miskin dan rentan yang memiliki akses terhadap layanan keuangan
(Susenas, 2018). Dalam hal kemandirian ekonomi, kelompok miskin
dan rentan masih sulit bersaing dalam usaha produktif karena daya
saing yang rendah, rendahnya akses mereka terhadap pasar dari
produk yang dihasilkan serta kolaborasi usaha dan belum
optimalnya kolaborasi keperantaraan usaha. Saat ini terdapat dua
kerangka kebijakan dalam upaya pengentasan kemiskinan, yaitu
kerangka kebijakan makro dan mikro.
Dalam kerangka kebijakan makro, pemerintah perlu terus
menjaga stabilitas inflasi, menciptakan pertumbuhan ekonomi yang
inklusif, menciptakan lapangan kerja produktif, menjaga iklim
investasi dan regulasi perdagangan, meningkatkan produktivitas
sektor pertanian, serta mengembangkan infrastruktur di wilayah
tertinggal. Sedangkan dalam kerangka mikro, upaya mengurangi
kemiskinan dikelompokkan dalam dua strategi utama, yaitu
penyempurnaan kebijakan bantuan sosial yang bertujuan untuk
menurunkan beban pengeluaran dan peningkatan pendapatan
kelompok miskin dan rentan melalui program ekonomi produktif.
Strategi kedua ini yang perlu dikembangkan pemerintah
dalam upaya membuat kelompok miskin dan rentan lebih produktif
dan berdaya secara ekonomi sehingga tidak terus bergantung pada
bantuan pemerintah. Selain itu, pemerintah mengupayakan
pendanaan bagi inisiatif-inisiatif masyarakat yang terbukti memiliki
dampak sosial ekonomi. Dalam jangka menengah kombinasi dari
berbagai skema tersebut diharapkan dapat mendorong kelompok
rentan untuk dapat meningkat menjadi kelompok ekonomi
menengah.
3. Peningkatan Produktivitas dan Daya Saing
Produktivitas dan daya saing manusia Indonesia masih perlu
ditingkatkan. Berdasarkan Global Human Capital Index oleh World
Economic Forum (WEF) 2017, peringkat SDM Indonesia berada pada
posisi 65 dari 130 negara, tertinggal dibandingkan Malaysia
(peringkat 33), Thailand (peringkat 40), dan Vietnam (peringkat 64).
Meskipun produktivitas tenaga kerja Indonesia mengalami
peningkatan, yaitu dari 81,9 juta rupiah/orang pada tahun 2017
menjadi 84,07 juta rupiah/orang pada tahun 2018, produktivitas
tenaga kerja Indonesia masih tertinggal dibandingkan dengan
Singapura dan Malaysia. Selain itu, pertumbuhan PDB Indonesia
sebesar 4,9 % di tahun 2017, hanya 0,6 % yang bersumber dari Total
Factor Productivity (TFP). Sisanya 2,8 % pertumbuhan ekonomi
bersumber dari modal kapital dan 1,5 % dari modal manusia.
Kebutuhan tenaga kerja terampil, kreatif, inovatif dan adaptif
belum dapat dipenuhi secara optimal. Rendahnya kualitas tenaga
kerja yang belum merespon perkembangan kebutuhan pasar kerja
merupakan salah satu penyebab mengapa produktivitas dan daya
saing Indonesia masih tertinggal. Saat ini proporsi pekerja
berkeahlian menengah dan tinggi di Indonesia hanya sekitar 39,57 %
(Sakernas Agustus, 2018), lebih rendah dibandingkan dengan negara
ASEAN lainnya.
Sementara itu, pekerja masih didominasi lulusan SMP ke
bawah (58,77 % atau 72,88 juta orang), sedangkan Tingkat
Pengangguran Terbuka (TPT) lulusan pendidikan menengah dan
tinggi mencapai 7,79 %. Informasi pasar kerja andal yang belum
tersedia dan keterlibatan industri yang rendah, menyebabkan
masih terjadinya mismatch antara penyediaan layanan pendidikan,
termasuk pendidikan dan pelatihan vokasi, dengan kebutuhan
pasar kerja.
Program studi yang dikembangkan pada jenjang pendidikan
tinggi juga belum sepenuhnya menjawab Program studi yang
dikembangkan pada jenjang pendidikan tinggi juga belum
sepenuhnya menjawab potensi dan kebutuhan pasar kerja.
Gambar 4.6 Jumlah dan kualifikasi SDM Iptek tahun 2018
(Sumber:LIPI, BPPT, dan Kemrisetdikit, Diolah)
F. Rangkuman
Penduduk tumbuh seimbang merupakan salah satu prasyarat
untuk meningkatkan kualitas hidup manusia dan masyarakat
Indonesia. Hal ini dapat diwujudkan melalui pengendalian
kuantitas, peningkatan kualitas dan pengarahan mobilitas
penduduk. Dengan penduduk tumbuh seimbang, daya tampung dan
dukung lingkungan dapat tetap terjaga. Hal ini dapat dicapai
dengan menurunkan rata- rata angka kelahiran total (Total Fertility
Rate/TFR) nasional sampai pada tingkat replacement rate yaitu 2,1.
Laju pertumbuhan penduduk telah menurun dari 1,49 % (SP 2010)
menjadi 1,43 % (Supas 2015). Namun, jumlah penduduk secara
absolut meningkat dari 237,6 juta pada tahun 2010 menjadi 255,2
juta di tahun 2015, dimana lebih dari
60 persennya merupakan penduduk usia produktif (usia 15-
64 tahun).
Jumlah penduduk usia produktif yang besar tersebut harus
dimanfaatkan agar Indonesia dapat memaksimalkan bonus
demografi. Apabila tidak dikelola dengan baik, dapat menyebabkan
tingginya tingkat penganguran, konflik sosial, serta tekanan pada
pangan dan lingkungan. Selain itu, perubahan struktur umur
penduduk yang cepat juga membawa implikasi terhadap penduduk
yang menua (ageing population) yang tidak produktif. Perubahan
struktur umur penduduk tersebut dapat memberikan kontribusi
terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia dengan memberikan
perhatian pada pembangunan manusia berdasarkan siklus hidup.
Pendekatan siklus hidup mencakup 1000 Hari Pertama Kehidupan,
pendidikan usia dini, pola asuh dan pembentukan karakter anak
dalam keluarga, remaja, transisi dari sekolah menuju dunia kerja,
serta penyiapan kehidupan berkeluarga dan lansia.
Seiring dengan masih adanya kesenjangan kesempatan
perekonomian antarwilayah, mobilitas penduduk di Indonesia
diperkirakan terus meningkat dan belum merata arus
perpindahannya. Sebagian kecil provinsi mempunyai arus
perpindahan yang positif, banyak penduduk pendatang, seperti DKI
Jakarta, DI Yogyakarta, dan kota-kota besar lainnya. Sementara
sebagian besar lainnya memiliki net migrasi yang negatif, banyak
penduduk yang berpindah meninggalkan wilayah asalnya, terutama
di sebagian provinsi di Indonesia Bagian Timur. Teknologi
komunikasi yang berkembang pesat telah mempengaruhi pola
mobilitas. Teknologi komunikasi memungkinkan komunikasi jarak
jauh, kerja sama jarak jauh (termasuk outsourcing).
Referensi
Kementerian PPN/Bappenas. 2019. Rancangan Teknokratik:
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-
2024
BAB V
B. Pendahuluan
Bahasan ini akan memberikan pemahaman dan informasi
terkini mengenai perkembangan ekonomi yang mencakup daerah
di pulau Sumatera, Jawa dan Kawasan bagian Timur Indonesia.
Berbagai aspek dalam perekonomian, termasuk dari
perspektif kewilayahan, menjadi pertimbangan penting di dalam
proses pembelajaran di universitas. Pandangan dari pihak
akademisi terhadap dinamika perekonomian secara spasial dapat
memberikan informasi penting dalam melihat setiap potensi yang
ada di daerah. Asemen perekonomian secara spasial dibagi ke
dalam wilayah Sumatera, Jawa dan Kawasan bagian Timur
Indonesia.
C. Capaian Pembelajaran
Memberikan penjelasan kepada mahasiswa tentang
perkembangan perekonomian terkini di lingkup kewilayahan serta
menjelaskan dan mengidentifikasi hal-hal yang memengaruhi
perkembangan ekonomi daerah pada tahun 2019. Secara lebih
rinci,
Capaian Pembelajaran yang ingin dicapai dalam proses perkuliahan
meliputi sebagai berikut:
1. Perkembangan perekonomian daerah di tahun 2019 dan outlook
2020.
2. Dampak pengaruh sentimen global terhadap aspek
perkembangan kewilayahan.
3. Outlook perekonomian untuk jangka pendek 2020-2021
4. Tantangan dan peluang yang dapat terjadi pada perekonomian
daerah dan bagaimana respon yang bisa dilakukan oleh
pemerintah daerah, Bank Indonesia, dan Otoritas Jasa Keuangan
dalam mengatasi hal-hal tersebut.
5. Mendeskripsikan sektor-sektor yang akan berkembang pada
tahun-tahun mendatang serta menganalisis resiko domestik dan
hasil yang dapat diraih pada tahun-tahun mendatang.
E. Materi Perkuliahan
1. Perkembangan dan Outlook Perekonomian Daerah
1.1. Perekonomian Sumatera
Pertumbuhan ekonomi Sumatera pada triwulan III 2019
tumbuh 4,5% (yoy), melambat dibandingkan triwulan II 2019 yang
sebesar 4,6% (yoy). Melambatnya kinerja ekonomi dipengaruhi oleh
kembali normalnya konsumsi pasca Idul Fitri serta belum
optimalnya investasi dan ekspor karena kondisi eksternal yang
masih belum kondusif. Di sisi lapangan usaha (LU), perlambatan
disebabkan deselerasi pertanian, pertambangan, industri
pengolahan, dan konstruksi. Sementara itu, realisasi inflasi
Sumatera hingga akhir triwulan III 2019 tercatat 3,6% (yoy), lebih
rendah dari triwulan II 2019 sebesar 3,7% (yoy). Perlambatan laju
inflasi terutama bersumber dari berkurangnya tekanan inflasi
kelompok bahan makanan seiring dengan membaiknya pasokan
hortikultura. Sementara itu, kondisi stabilitas sistem keuangan
daerah masih terjaga meski kinerja korporasi berbasis sumber daya
alam (SDA) cenderung menurun. Aktivitas ekonomi Sumatera
didukung terselenggaranya sistem pembayaran nontunai serta
pengelolaan uang Rupiah di Sumatera yang berjalan efisien, aman,
dan lancar. Memasuki triwulan IV 2019, ekonomi diprakirakan
mengalami akselerasi yang didorong oleh meningkatnya konsumsi
rumah tangga, investasi, dan ekspor, sertai membaiknya kinerja
dari seluruh LU utama. Dengan perkembangan tersebut,
perekonomian Sumatera untuk keseluruhan tahun 2019 diprakirakan
tumbuh dalam kisaran 4,5%-4,9% (yoy) sedikit lebih tinggi dari
2018 (4,5%; yoy). Membaiknya perekonomian Sumatera terutama
ditopang oleh peningkatan konsumsi pemerintah dan net ekspor.
Dari sisi LU, kinerja usaha pertanian, industri pengolahan, dan
perdagangan berkontribusi pada membaiknya ekonomi Sumatera
pada 2019. Perkembangan inflasi triwulan IV 2019 diprakirakan
dalam tren yang menurun dibanding triwulan III 2019 seiring
meredanya tekanan inflasi kelompok bahan makanan, sehingga
inflasi hingga akhir 2019 diprakirakan tetap sejalan dengan rentang
sasaran inflasi nasional 3,5±%1% (yoy).
Perekonomian Sumatera pada 2020 diprakirakan tumbuh
relatif stabil dibandingkan 2019 dengan kisaran pertumbuhan
sebesar 4,5%-4,9% (yoy). Pertumbuhan ekonomi diperkirakan
ditopang oleh konsumsi rumah tangga, investasi, dan ekspor. Dari
sisi LU, kinerja perekonomian Sumatera diperkirakan didukung
oleh peningkatan LU pertanian, industri pengolahan, konstruksi,
dan perdagangan, di tengah perlambatan kinerja usaha
pertambangan.
Sementara itu, inflasi pada 2020 diprakirakan tetap sejalan
dalam kisaran sasaran inflasi nasional 3,0%±1,0%. Peningkatan inflasi
terutama akan didorong terutama oleh inflasi kelompok makanan
jadi, minuman, rokok, dan tembakau, kelompok perumahan, air,
listrik, gas, dan bahan bakar, serta kelompok transpor, komunikasi,
dan jasa keuangan. Untuk menjaga inflasi tetap terkendali,
Pemerintah dan Bank Indonesia di seluruh provinsi di Sumatera
akan terus memperkuat koordinasi pengendalian inflasi melalui
Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID).
Perekonomian Sumatera pada triwulan III 2019 tumbuh sedikit
melambat dibandingkan triwulan II 2019. Ekonomi Sumatera tumbuh
4,5% (yoy) pada triwulan III 2019, setelah pada triwulan sebelumnya
tumbuh 4,6% (yoy). Seluruh komponen penggunaan yaitu
konsumsi, investasi, dan ekspor mengalami deselerasi
pertumbuhan. Perlambatan konsumsi dipengaruhi oleh normalisasi
kegiatan konsumsi rumah tangga pasca hari besar keagamaan
nasional (HBKN) Idul Fitri serta moderasi konsumsi pemerintah
dari sisi belanja pegawai. Sementara itu, melambatnya investasi
dipengaruhi oleh kecenderungan perilaku wait and see dari para
pelaku usaha terkait arah kebijakan Pemerintah yang baru serta
perkembangan harga komoditas yang masih stagnan. Masih
terbatasnya harga komoditas di pasar ekspor turut memengaruhi
kinerja ekspor pada triwulan laporan yang tumbuh negatif.
Dari sisi LU, melambatnya pertumbuhan terjadi pada hampir
seluruh LU utama di berbagai daerah, khususnya di Sumatera Utara,
Riau, Sumatera Selatan, dan Lampung. LU pertanian melambat
seiring dengan penurunan produksi sawit (Sumatera Utara) dan
karet (Sumatera Selatan). Hal tersebut turut memengaruhi
produksi hasil olahannya sehingga LU industri pengolahan tumbuh
melambat. Sementara itu, LU pertambangan terkontraksi karena
penurunan lifting migas (Riau). Di samping itu, aktivitas usaha
konstruksi masih tumbuh tertahan sejalan dengan investasi swasta
yang tumbuh melambat. Dengan perkembangan tersebut, hampir
seluruh daerah di Sumatera tercatat tumbuh melambat, kecuali
Aceh, Sumatera Barat, dan Kepulauan Riau yang mengalami
peningkatan kinerja ekonomi sehingga menopang pertumbuhan
Sumatera (Tabel II.1).
Memasuki triwulan IV 2019, pertumbuhan ekonomi Sumatera
diprakirakan membaik dibandingkan triwulan III 2019. Membaiknya
pertumbuhan ekonomi terutama didorong oleh perbaikan kinerja
konsumsi rumah tangga, investasi, dan ekspor. Konsumsi rumah
tangga ditopang kenaikan permintaan masyarakat pada periode
HBKN Natal dan menjelang tahun baru.
Sementara itu, peningkatan investasi akan bersumber dari
penyelesaian target proyek infrastruktur di akhir tahun, antara lain
proyek jalan tol, kawasan ekonomi khusus (KEK) dan kawasan
industri (KI), serta bandara. Sementara itu, membaiknya kinerja
ekspor diprakirakan ditopang oleh perbaikan ekspor minyak sawit,
batu bara, karet, dan hasil pertanian lainnya seiring peningkatan
permintaan dari beberapa mitra dagang utama di Asia.
Konsumsi Pemerintah
Konsumsi pemerintah triwulan III 2019 tumbuh cukup kuat
meski tidak setinggi triwulan sebelumnya. Sebagaimana pola
historisnya, konsumsi pemerintah cenderung meningkat memasuki
akhir tahun yang tercermin dari mulai berkurangnya posisi giro
pemerintah di perbankan (Grafik 6.3). Namun, normalisasi pada
pos belanja pegawai dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD) pasca pembayaran rapel kenaikan gaji dan THR
menyebabkan pertumbuhan konsumsi pemerintah sedikit tertahan.
Di samping itu, realisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) di
beberapa daerah turut memengaruhi penyerapan belanja lebih
lanjut. Pada triwulan IV 2019, konsumsi pemerintah diprakirakan
masih tumbuh meningkat. Pertumbuhan yang tetap kuat di
triwulan terakhir tersebut akan ditopang oleh upaya seluruh Pemda
dalam mencapai target realiasi anggarannya. Upaya ini ditempuh
antara lain melalui program monitoring pencapaian target secara
lebih intensif, seperti di Sumatera Barat, Kepulauan Riau, dan
Sumatera Utara. Realisasi transfer ke daerah yang relatif on track
juga akan menjadi faktor penopang pertumbuhan konsumsi
pemerintah, terutama didukung penyelesaian tunda bayar dana
bagi hasil (DBH) di berbagai daerah. Dengan kondisi tersebut,
kinerja konsumsi pemerintah untuk tahun 2019 secara kumulatif
diprakirakan tumbuh lebih tinggi dibandingkan tahun 2018.
Beberapa faktor pendorong lainnya adalah proses pengesahan
dokumen APBD yang lebih cepat, penyelenggaraan Pemilu, serta
peningkatan pagu anggaran belanja yang lebih tinggi di 135 Pemda
se-Sumatera pada tahun 2019.
Investasi
Realisasi investasi di Sumatera pada triwulan III 2019 tumbuh
melambat karena tertahannya investasi nonbangunan dari pelaku
usaha (swasta). Belum optimalnya investasi nonbangunan swasta
dipengaruhi oleh sikap wait and see pelaku usaha di daerah terkait
arah kebijakan dari kabinet pemerintahan yang baru. Selain itu,
perkembangan harga komoditas yang masih terbatas memengaruhi
ekspansi perusahaan seiring kinerja penjualan yang tidak optimal.
Investasi yang dilakukan lebih banyak berbentuk pemeliharaan
rutin dan pembelian mesin atau peralatan produksi. Perlambatan
yang terjadi terkonfirmasi dari melambatnya perkembangan kredit
modal kerja (Grafik 6.4). Di sisi lain, investasi bangunan milik
pemerintah menjadi penopang pertumbuhan seiring dengan
berlanjutnya proyek multiyears terkait kelistrikan dan infrastruktur
konektivitas.
Gambar 5.3 Penyaluran Kredit Modal Kerja
(Sumber: Laporan BU, diolah)
Prospek Inflasi
Inflasi Sumatera pada tahun 2020 diprakirakan tetap sejalan
dengan kisaran sasaran inflasi nasional. Inflasi Sumatera pada tahun
2020 diprakirakan sebesar 3,2%-3,7% (yoy). Terkendalinya inflasi
didukung oleh perkiraan minimalnya tekanan inflasi pangan dan
terjaganya inflasi inti, serta terkendalinya inflasi AP. Produksi
pangan strategis yang terjaga seiring dengan prakiraan normalnya
kondisi cuaca akan mendukung terjaganya inflasi pada 2020. Inflasi
diperkirakan bersumber dari dampak penyesuaian cukai rokok pada
Januari 2020.
Di samping itu, perbaikan pertumbuhan ekonomi akan
meningkatkan permintaan seiring dengan terjaganya pendapatan
masyarakat. Permintaan yang meningkat diperkirakan akan
memengaruhi inflasi kelompok sandang, kelompok kesehatan,
kelompok pendidikan, rekreasi, dan olah raga, serta kelompok
perumahan, air, listrik, gas, dan bahan bakar. Koordinasi
pengendalian inflasi oleh TPID akan terus diperkuat untuk
memastikan inflasi tetap terkendali pada level yang rendah dan
stabil.
Program kerja yang akan dilaksanakan oleh TPID akan tetap
mengacu pada kerangka 4K, yaitu keterjangkauan harga,
ketersediaan pasokan, kelancaran distribusi, dan komunikasi efektif.
Beberapa program yang akan dilakukan di berbagai daerah di
Sumatera ke depan antara lain, i) optimalisasi peran BUMD dalam
melakukan stabilisasi harga pangan, ii) peningkatan produksi dan
diversifikasi aneka cabai, iii) uji coba implementasi program digital
farming, iv) penguatan koordinasi dengan stakeholder terkait
lainnya, dan v) penguatan data statistik produksi, distribusi, dan
konsumsi pangan. Lebih lanjut, seluruh TPID juga berkomitmen
untuk menindaklanjuti hasil rapat koordinasi TPID Provinsi se-
Sumatera antara lain dengan mempercepat utilisasi teknologi
pangan seperti cold storage dan CAS serta mendorong programkerja
sama antardaerah.
Kinerja Lapangan Usaha
Pertanian, Kehutanan dan Perikanan
Pertumbuhan LU pertanian pada triwulan III 2019 tercatat
melambat, terutama disebabkan oleh perlambatan kinerja
perkebunan kelapa sawit dan karet. Produksi kelapa sawit menurun
seiring dengan pergeseran waktu kematangan buah sehingga panen
tidak optimal (Sumatera Utara). Senada dengan kinerja sawit,
produksi karet menurun karena kemarau panjang sehingga panen
getah karet kurang optimal (Sumatera Selatan). Di samping itu,
penurunan juga disebabkan oleh penyakit psikokum atau gugur
daun pada tanaman karet. Adanya serangan hama juga mengurangi
produktivitas padi sawah (Sumatera Utara, Lampung). Perlambatan
pertumbuhan LU pertanian tercermin dari adanya penurunan
indeks nilai tukar petani (NTP) dibanding triwulan II 2019 (Grafik
6.9).
4. Perekonomian Jawa
Pada triwulan III 2019, perekonomian Jawa tetap tumbuh
cukup kuat terutama karena membaiknya kinerja investasi dan net
ekspor. Perbaikan kinerja investasi bersumber dari berlanjutnya
proyek infrastruktur Pemerintah, sementara perbaikan net ekspor
lebih dipengaruhi oleh penurunan impor yang lebih dalam. Di sisi
lapangan usaha (LU), pertumbuhan ekonomi Jawa ditopang oleh
perbaikan industri pengolahan, terutama industri otomotif karena
perbaikan ekspor ke ASEAN, dan konstruksi karena aktivitas
proyek infrastruktur pemerintah. Namun, kinerja LU pertanian
yang memiliki peran cukup besar dalam perekonomian Jawa
tertahan akibat kurang optimalnya produksi tabama karena
kendala cuaca (kekeringan) di sejumlah daerah sentra. Sementara
itu, inflasi pada triwulan III 2019 masih tetap terkendali dalam
kisaran sasaran walaupun tekanan harga pangan meningkat
sebagai dampak dari kemarau panjang. Secara keseluruhan tahun
2019, pertumbuhan ekonomi Jawa diperkirakan berada dalam
kisaran 5,6% (yoy). Sumber pertumbuhan ekonomi berasal dari sisi
domestik, terutama konsumsi swasta, ditopang oleh peningkatan
alokasi anggaran untuk program sosial Pemerintah. Sementara itu,
tekanan inflasi hingga akhir tahun 2019 diperkirakan minimal
sehingga akan tetap sejalan dengan kisaran sasaran inflasi nasional
3,5%±1%.
Ke depan, pertumbuhan ekonomi Jawa diperkirakan kembali
terakselerasi pada 2020 menjadi sekitar 5,5%-5,9%, didorong
membaiknya kinerja ekspor maupun permintaan domestik. Di sisi
eksternal, penguatan akan didukung oleh membaiknya ekspor,
terutama otomotif. Sementara di sisi permintaan domestik,
konsumsi diperkirakan akan membaik karena kenaikan UMP,
perbaikan pendapatan di sektor pertanian, dan penyelenggaraan
Pilkada serentak di beberapa daerah. Investasi juga diperkirakan
meningkat seiring berlanjutnya pembangunan Proyek Strategis
Nasional (PSN) dan meningkatnya investasi swasta pasca periode
Pemilu 2019. Sementara itu, inflasi di berbagai daerah di Jawa pada
2020 secara agregat diprakirakan akan tetap berada dalam rentang
sasaran inflasi 3%±1%.
Kinerja Sisi
Penggunaan Konsumsi
Konsumsi rumah tangga tumbuh melambat pada triwulan III
2019 sejalan dengan kembali normalnya pola konsumsi pasca
HBKN dan libur sekolah. Perlambatan konsumsi rumah tangga juga
dipengaruhi oleh kinerja ekspor yang masih terbatas dan
penurunan hasil pertanian sebagai dampak kemarau panjang.
Namun, perlambatan lebih dalam tertahan oleh perbaikan
pendapatan pekerja di sektor jasa, seiring berkembangnya ekonomi
digital, antara lain pada sektor transportasi. Pertumbuhan
konsumsi rumah tangga yang melambat terkonfirmasi dari
penurunan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) (Gambar 5.10) serta
kredit konsumsi yang tumbuh 6,77% (yoy), lebih rendah dari
triwulan II 2019 yang tercatat 7,61% (yoy).
Gambar 5.9 Perkembangan Indikator Konsumsi RT (Sumber: BI)
Industri Pengolahan
Pertumbuhan LU industri pengolahan meningkat pada
triwulan III 2019 didorong masih kuatnya permintaan domestik serta
membaiknya perbaikan ekspor. Membaiknya pertumbuhan industri
pengolahan dipengaruhi oleh kembali normalnya jumlah jam dan
hari kerja efektif pasca-HBKN dan peningkatan produksi untuk
mengantisipasi meningkatnya permintaan pada Natal dan libur
akhir tahun. Selain itu, dorongan peningkatan produksi industri
pengolahan juga didukung oleh peningkatan permintaan ekspor, di
antaranya otomotif. Meningkatnya realisasi proyek infrastruktur
juga berdampak pada industri pendukung konstruksi, seperti
industri semen dan logam dasar. Membaiknya LU industri
tercermin dari meningkatnya impor bahan baku pada triwulan III
2019, dan hasil liaison terkait penjualan domestik sektor industri
pengolahan dan kapasitas utilisasinya (Grafik 3.7). Membaiknya
pertumbuhan LU industri pengolahan diperkirakan berlanjut pada
triwulan IV 2019. Namun, secara keseluruhan 2019 pertumbuhan
industri diperkirakan tidak setinggi 2018 terutama akibat
penurunan permintaan negara mitra dagang.
Beberapa produk yang menjadi penyumbang perlambatan
antara lain tekstil di Jawa Barat dan Jawa Tengah, produk alas kaki
Jawa Barat, serta produk besi baja Banten.
Konstruksi
LU konstruksi pada triwulan III 2019 tumbuh membaik
ditopang meningkatnya realisasi pembangunan infrastruktur.
Kinerja konstruksi tumbuh meningkat didukung oleh jumlah hari
kerja yang kembali normal serta percepatan penyelesaian proyek
infrastruktur pemerintah dan swasta. Beberapa proyek yang besar
di antaranya pembangunan LRT, beberapa ruas Tol JORR 2, Tol
Cikampek elevated, Tol Cisumdawu, Pelabuhan Patimban, dan
kereta cepat Jakarta-Bandung. Peningkatan LU konstruksi juga
terkonfirmasi dari peningkatan penjualan semen pada triwulan III
2019, hasil SKDU kegiatan usaha konstruksi, serta membaiknya
pertumbuhan penyaluran kredit ke LU konstruksi (Grafik III.8).
Tren peningkatan LU konstruksi diprakirakan kembali berlanjut
pada triwulan IV 2019, sejalan dengan berlanjutnya proyek
infrastruktur serta percepatan penyelesaian Proyek Strategis
Nasional (PSN) di berbagai provinsi di Jawa. Namun, secara
keseluruhan 2019, pertumbuhan konstruksi melambat karena
sebagian besar proyek telah memasuki tahap penyelesaian.
Prospek Inflasi
Inflasi pada 2020 diperkirakan relatif meningkat dibandingkan
2019, namun tetap terjaga dalam rentang sasaran inflasi nasional 3,0%
±1%. Kenaikan tekanan inflasi diperkirakan terjadi di hampir seluruh
provinsi. Peningkatan tersebut berasal dari tekanan inflasi kelompok
makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau, terutama karena
kenaikan tarif cukai hasil tembakau dan harga jual eceran (HJE) yang
berlaku mulai awal tahun. Di samping itu, risiko tekanan inflasi juga
berasal dari kelompok bahan makanan antara lain dipengaruhi oleh
potensi terjadinya dampak negatif dari pergeseran musim penghujan
di akhir tahun 2019, pergeseran musim tanam, maupun musim panen
akibat panjangnya musim kemarau di tahun 2019. Meski demikian,
prospek curah hujan yang cenderung normal pada tahun 2020 serta
minimnya peluang terjadinya gangguan anomali iklim seperti
kemarau panjang diperkirakan mampu mendorong kenaikan
produksi pangan pada tahun 2020. Selain itu,
kesiapan infrastruktur pertanian, di antaranya sarana pengairan dan
konektivitas, juga diperkirakan akan menahan tingginya inflasi pada
tahun 2020.
Untuk mendukung pencapaian inflasi sesuai sasaran, TPID
wilayah Jawa melaksanakan upaya untuk mengantisipasi risiko
inflasi ke depan. Beberapa program TPID dalam rangka menjaga
keterjangkauan harga di antaranya mendorong pelaku usaha
daerah untuk bersama-sama melakukan program sosial dalam
bentuk pasar murah, pelaksanaan program Ketersediaan Pasokan
dan Stabilisasi Harga (KPSH) beras oleh BULOG, serta penyediaan
subsidi ongkos angkut oleh pemerintah daerah atas komoditas
pangan holtikultura. Ketersediaan pasokan terus dijaga dengan
mendorong penerapan teknologi penyimpanan cadangan pangan,
pemenuhan pasokan melalui kerja sama antardaerah, optimalisasi
pemanfaatan digitalisasi, serta penggunaan bibit komoditas pangan
yang tahan cuaca atau kondisi kekurangan air. Sementara itu,
kelancaran distribusi ditingkatkan dengan menyiapkan moda
transportasi alternatif pengangkut komoditas pangan dan
holtikultura serta memperkuat pengawasan penyaluran LPG 3 kg.
Selanjutnya, upaya komunikasi yang efektif terus dilakukan antara
lain melalui himbauan berbelanja bijak kepada masyarakat,
informasi ketersediaan stok komoditas pangan dan holtikultura,
koordinasi dengan pemerintah pusat terkait ketepatan waktu
penerapan pengurangan subsidi, himbauan hidup sehat dengan
mengurangi konsumsi rokok, serta himbauan kepada masyarakat
pengguna yang berhak untuk hanya membeli LPG 3 kg dari
pangkalan.
Penyediaan Infrastruktur
Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Banyuwangi sejak tahun 2010
fokus dalam pengembangan sektor pariwisata. Penerimaan Asli
Daerah (PAD) digunakan kembali untuk pengembangan infrastruktur
pendukung pariwisata. Pemkab Banyuwangi berkomitmen untuk
mengalokasikan 30% dari APBD-nya untuk membiayai
pembangunan infrastruktur dalam bentuk belanja modal.
Pembangunan terminal wisata terpadu serta pembangunan dan
pemeliharaan infrastruktur pendukung pariwisata merupakan
contoh dari proyek infrastruktur yang dibiayai APBD, yang diperkuat
dengan pembentukan satgas perbaikan jalan serta pencanangan
arsitektur berbasis kearifan lokal.
Dalam upaya meningkatkan pendapatan dari sektor
pariwisata, Pemkab Banyuwangi terus membenahi daya dukung
infrastruktur konektivitasnya. Wujud pembenahan tersebut di
antaranya dengan pengembangan Pelabuhan Ketapang, renovasi
Bandara Banyuwangi, pembangunan Boom Marina serta
pembangunan Pulau Merah Resort. Pengembangan Pelabuhan
Ketapang dilakukan untuk meningkatkan konektivitas dengan Bali
sebagai hub pariwisata nasional, sehingga memudahkan pergerakan
wisatawan dari Bali ke Banyuwangi. Proyek ini menggunakan
pendanaan APBD. Sementara renovasi Bandara Banyuwangi
dilakukan guna meningkatkan kapasitas bandara melalui pelebaran
dan perpanjangan runway, perluasan apron, taxi way, terminal, dan
lahan parkir. Dengan adanya renovasi tersebut, bandara
Banyuwangi diharapkan mampu menerima lebih banyak
wisatawan karena mampu didarati pesawat jenis Boeing 737 800
NG dan Boeing 737 900 ER serta parkir 9 pesawat berbadan lebar
dari sebelumnya hanya 1 pesawat berbadan sedang. Renovasi
Bandara Banyuwangi diperkirakan menelan biaya yang cukup
besar dan akan didanai oleh PT Angkasa Pura II sebagai pengelola
bandara. Untuk mendukung hal tersebut Pemkab Banyuwangi dan
PT Angkasa Pura II melakukan perjanjian kerja sama pemanfaatan
tanah dan bangunan Bandara Banyuwangi. Dua proyek
infrastruktur lainnya yaitu proyek Pulau Merah Resort dengan nilai
investasi sebesar Rp9,62 miliar dibiayai dengan menggunakan
skema pembiayaan KPBU dalam bentuk built operate transfer
(BOT). Sementara pembangunan proyek Boom Marina yang terdiri
dari fasilitas convention hall, paintball area, ecopark, fasilitas
penetasan penyu, hotel, camping ground, lahan parkir yacht, dan
pembangunan cinema mall dengan total nilai investasi sebesar
Rp700 miliar dibiayai oleh swasta melalui pemanfaatan bagian
tanah Hak Penggunaan Lahan (HPL) Pelabuhan Banyuwangi.
Sisi Penggunaan
Konsumsi
Pada triwulan III 2019, pertumbuhan konsumsi domestik
tercatat tetap kuat. Konsumsi domestik yang terdeselerasi dari
6,2% (yoy) pada triwulan-II 2019, menjadi 5,1% (yoy) di triwulan III
2019 merupakan dampak siklikal. Konsumsi rumah tangga yang
melambat tersebut disebabkan oleh telah berlalunya libur sekolah
dan Hari Besar Keagamaan Nasional (HBKN) Idul Fitri. Selain itu,
tekanan inflasi yang cenderung mengalami kenaikan terbatas turut
memberikan andil terhadap terbatasnya tingkat konsumsi rumah
tangga.
Kondisi ini juga tercermin dari Indeks Keyakinan Konsumen
yang cenderung menurun pada triwulan III 2019 dibandingkan
triwulan sebelumnya (Gambar 5.19) terutama disebabkan oleh
tingkat keyakinan masyarakat terhadap perekonomian saat ini.
Meskipun demikian, perlambatan konsumsi rumah tangga tersebut
hanya terjadi di 5 (lima) provinsi di Sulampua dengan Provinsi
Papua sebagai provinsi dengan perlambatan pertumbuhan
konsumsi rumah tangga paling dalam.
Gambar 5.18 Indeks Keyakinan Konsumen
(Sumber: Survei Konsumen BI)
Investasi
Investasi Sulampua tumbuh meningkat di hampir seluruh
wilayah dengan motor utama didorong oleh realisasi proyek
pemerintah dan swasta. Investasi Sulampua naik dua kali lipat pada
triwulan-III 2019 dibandingkan triwulan sebelumnya menjadi
tumbuh 10,0% (yoy). Pertumbuhan investasi yang signifikan tersebut
merupakan peran dari investasi swasta dan pemerintah. Dari sisi
swasta, peningkatan investasi Sulampua didukung oleh
berlangsungnya pembangunan pembangkit listrik di beberapa
wilayah di Sulampua seperti Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara,
Gorontalo, Maluku Utara dan Papua Barat. Hal tersebut juga
tercermin dari terjadinya peningkatan impor mesin pembangkit
listrik secara signifikan pada triwulan III 2019. Selain faktor tersebut,
terus berlangsungnya pembangunan beberapa proyek smelter
pemurnian nikel di Maluku Utara turut mendorong ke atas kinerja
investasi. Dari sisi pemerintah, masih berlangsungnya
pembangunan proyek dari pemerintah seperti Bendungan Ladongi
dan jembatan Teluk Kendari (Sulawesi Tenggara), aktivitas
revitalisasi Danau Limboto (Gorontalo), perbaikan Bandara
Pattimura (Maluku), dan pembangunan fasilitas PON XX (Papua)
menjadi penopang investasi Sulampua. Peningkatan investasi
tersebut didorong oleh peningkatan pada realisasi PMDN meskipun
tertahan oleh realisasi PMA yang mengalami perlambatan (Gambar
5.20).
F. Rangkuman
Perekonomian Indonesia tetap berdaya tahan ditopang kinerja
ekonomi di berbagai daerah. Perekonomian nasional tumbuh 4,97%
(yoy) pada triwulan IV 2019, sedikit melambat dibandingkan triwulan
sebelumnya. Capaian pertumbuhan ekonomi pada triwulan terakhir
2019 ditopang oleh kinerja permintaan domestik yang baik. Kinerja
investasi tumbuh meningkat di hampir seluruh wilayah, kecuali
Balinusra. Kinerja investasi tersebut terutama bersumber dari
investasi bangunan sejalan dengan berlanjutnya proyek
infrastruktur pemerintah serta berbagai proyek hilirisasi
pertambangan oleh pihak swasta. Konsumsi swasta juga tetap
tumbuh positif, meskipun melambat di sebagian besar wilayah
kecuali di Sulampua. Demikian halnya dengan konsumsi pemerintah
yang tumbuh positif, meski lebih rendah dibandingkan dengan
triwulan III 2019.
Kinerja net ekspor daerah membaik di sebagian wilayah. Net
ekspor Balinusra membaik dipengaruhi oleh peningkatan ekspor
konsentrat tembaga ke Tiongkok dan ekspor jasa seiring dengan
peningkatan jumlah kunjungan wisata mancanegara (wisman).
Sementara itu, net ekspor Sulampua juga tercatat meningkat
terutama didorong ekspor konsentrat nikel yang meningkat cukup
tinggi pada triwulan laporan. Kenaikan ekspor konsentrat nikel
tersebut diperkirakan cenderung bersifat temporer sebelum
pemberlakuan larangan yang mulai berlaku pada awal 2020. Di sisi
lain, perbaikan net ekspor Jawa diperkirakan lebih dipengaruhi
oleh impor yang turun, terutama impor minyak dan gas, ditengah
kinerja ekspor luar negeri yang relatif terbatas. Net ekspor
Kalimantan tercatat menurun seiring dengan kembali normalnya
ekspor batubara ke Tiongkok. Net ekspor Sumatera juga melambat
antara lain dipengaruhi oleh peningkatan impor, khususnya bahan
baku untuk industri elektronik dan barang konsumsi.
B. Pendahuluan
Pada bab ini akan dibahas mengenai isu-isu strategi terkait
perekonomian Indonesia terutama yang berhubungan dengan
sektor baru, yaitu pariwisata. Semenjak industri manufaktur
terpuruk akibat banyak dari perusahan multinasional yang
berpindah ke negara lain, tenaga kerja yang kurang memadai dan
regulasi yang menyulitkan menyebabkan sektor lain harus bisa
ditingkatkan guna menopang pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Beberapa terobosan telah dilakukan dan pengembangan
infrastruktur terus dilakukan guna meningkatkan sarana dan
prasarana kepariwisataan di Indonesia. Namun, bagaimana
seharusnya sektor ini dapat memberikan kontribusi positif untuk
perekonomian domestik melalui kedatangan wisatawan mancanegara?
C. Capaian Pembelajaran
Bab ini akan memberikan informasi kepada mahasiswa terkait
dengan peningkatan devisa negara dari sektor pariwisata. Secara
lebih rinci, mahasiswa diharapkan mampu untuk mengindentifikasi:
1. Sektor pariwisata di Indonesia
2. Perkembangan sektor pariwisata di Indonesia
3. Kebijakan yang dilakukan pemerintah dalam upaya meningkatkan
sektor perekonomian baru
E. Materi Perkuliahan
Perkembangan Pariwisata
2019
Sektor pariwisata merupakan salah satu sumber
pertumbuhan ekonomi Indonesia yang memiliki potensi besar
untuk memperkuat struktur neraca transaksi berjalan. Keunggulan
sektor pariwisata Indonesia berupa kekayaan alam dan budaya
serta berbagai endowments yang ada menjadi modal pendukung
yang dapat dioptimalkan untuk mendatangkan devisa yang
bersumber dari pengeluaran wisatawan mancanegara (wisman) di
berbagai destinasi wisata nasional. Ke depan, perannya sebagai
alternatif sumber penerimaan devisa nasional semakin penting,
ditengah dinamika ketidakpastian global yang dapat berlanjut
sehingga berdampak pada kinerja ekspor barang.
Akselerasi percepatan kinerja sektor pariwisata memerlukan
koordinasi dan sinergi lintas Kementerian. Pengembangan sektor
pariwisata merupakan pengembangan multi sektor. Hal ini
dikarenakan dalam membangun suatu destinasi wisata yang baik
dibutuhkan iklim pariwisata yang juga baik. Iklim pariwisata berupa
akses dan amenitas merupakan sektor yang ada pada kewenangan
kementerian lain. Untuk mengakselerasi peran pariwisata nasional,
Pemerintah bersama dengan Bank Indonesia menginisiasi
pembentukan Sekretariat Bersama (SekBer) Percepatan
Pengembangan Sektor Pariwisata. Sekber mempunyai tugas dan
fungsi utama untuk melakukan pemantauan, evaluasi dan
pelaporan pelaksanaan strategi kebijakan percepatan
pengembangan sektor pariwisata yang telah disepakati dalam rapat
koordinasi antara Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Bank
Indonesia.
Penerimaan devisa pariwisata pada 2019 tetap tumbuh positif
kendati melambat dibandingkan capaian pada 2018, sejalan dengan
dengan dinamika pertumbuhan global yang melambat. Penerimaan
devisa pariwisata mencapai 18,4 miliar dolar AS, tumbuh 2,72% (yoy)
dibandingkan tahun 2018 yang sebesar 17,9 miliar dolar AS atau
tumbuh 6,18%. Capaian tersebut sejalan dengan melambatnya
pertumbuhan kunjungan wisman ke Indonesia pada 2019.
Berdasarkan rilis BPS, kunjungan wisman pada 2019 tercatat 16,1 juta
orang atau tumbuh 1,88%, lebih lambat dibandingkan tahun 2018
yang sebesar 12,61% (Gambar 6.1). Dari sisi eksternal, perlambatan
pertumbuhan ekonomi global memengaruhi capaian kinerja
pariwisata nasional pada 2019. Penurunan demand global pariwisata
akibat perlambatan ekonomi dunia tercermin dari laporan United
Nations World Tourist Organization (UNWTO, 2020).
Laporan tersebut menyebutkan bahwa penurunan
pertumbuhan kunjungan wisman tahun 2019 terjadi di seluruh
kawasan seperti Eropa, Asia Pasifik, Amerika dan Afrika. Selain itu,
pendapatan maskapai penerbangan yang merupakan salah satu
pelaku utama industri pariwisata juga ikut melambat akibat
perlambatan ekonomi dunia Gambar 6.2).
Gambar 6.1 Perkembangan Jumlah Wisman (Sumber: BPS; diolah)
F. Rangkuman
Pariwisata merupakan salah satu sumber devisa negara yang
perlu dioptimalkan guna mendukung neraca transaksi berjalan. Di
tengah dinamika ketidakpastian global yang berlanjut pada 2019,
devisa pariwisata masih dapat tumbuh positif dan menopang kinerja
ekonomi daerah yang merupakan destinasi pariwisata. Pertumbuhan
ekonomi global yang tengah menghadapi berbagai tantangan cukup
memengaruhi capaian kinerja pariwisata nasional pada 2019 yang
lebih lambat dibandingkan capaian tahun sebelumnya.
Di samping itu, proses pemulihan pasca bencana yang masih
berlangsung di daerah destinasi utama wisata nasional juga turut
memengaruhi jumlah kunjungan wisatawan mancanegara,
termasuk isu keamanan yang sempat mengemuka. Berbagai
langkah sinergi kebijakan telah ditempuh untuk mendorong
peningkatan pariwisata dengan pengembangan destinasi utama
dan super prioritas. Ke depan, upaya untuk mengoptimalkan
prospek peningkatan devisa pariwisata masih akan menghadapi
tantangan yang tidak ringan, terutama dengan mengemukanya isu
COVID-19 pada awal tahun yang diperkirakan menekan jumlah
kunjungan wisatawan mancanegara (wisman)
Manajemen Krisis Kepariwisataan (MKK), mendorong
kunjungan wisatawan nusantara (wisnus), serta mendorong
penyelenggaraan MICE di destinasi wisata nasional. Dalam jangka
menengah-panjang, upaya untuk mendorong pengembangan
destinasi wisata nasional perlu terus diperkuat melalui penerapan
strategi peningkatan akses, atraksi, amenitas, disertai upaya
peningkatan promosi dan kualitas pelaku.
Referensi
Bank Indonesia, 2020. Kajian Ekonomi dan Keuangan Regional
Laporan Nusantara, Vol. 15 No. 1. Februari 2020.
BPS. 2019. Sakernas. Perhitungan Survei Tenaga Kerja Nasional. Juli
2019.
BAB VII
B. Pendahuluan
Pada bab ini akan dijelaskan lebih lengkap mengenai proyeksi
ekonomi global tahun 2019 dan 2020 yang meliputi perekonomian
negara maju, perekonomian negara berkembang, volume
perdagangan dunia, harga komoditas dunia. Selanjutnya bab ini
akan membahas asumsi dasar ekonomi makro tahun 2019 sesuai
dengan pertumbuhan ekonomi, inflasi, suku bunga SPN 3 bulan,
nilai tukar rupiah, dan lainnya. Bab ini juga akan dilengkapi dengan
bahasan mengenai indikator kesejahteraan masyarakat dan
proyeksi asumsi dasar ekonomi makro jangka menengah 2018-
2020.
C. Capaian Pembelajaran
Memberikan penjelasan kepada mahasiswa mengenai latar
belakang penyusunan asumsi dasar ekonomi makro RAPBN tahun
2020 dan proyeksi jangka menengah periode 2018-2020. Secara
lebih rinci, mahasiswa diharapkan mampu memberikan penjelasan:
1. Proyeksi Ekonomi Global Tahun 2019 dan 2020
2. Asumsi Dasar Ekonomi Makro APBN tahun 2019
3. Indikator Kesejahteraan Masyrakat
4. Proyeksi Asumsi Dasar Ekonomi Makro Jangka Menengah 2018-
2020
E. Materi Pekuliahan
Perkembangan perekonomian Indonesia telah menunjukkan
perbaikan kinerja selama beberapa tahun terakhir, meskipun sebagai
bagian dari perekonomian global, Indonesia tidak terlepas dari
dampak dinamika perekonomian global. Krisis ekonomi Asia tahun
1997-1998, krisis keuangan global (Global Financial Crisis/GFC)
tahun 2008-2009, tapertantrum tahun 2013 serta perlambatan
ekonomiglobal tahun 2017-2018 telah memberikanwarna bagi
perkembangan ekonomi Indonesia.Seiring berjalannya waktu,
perekonomianIndonesia mampu bertahan menghadapigejolak dan
tantangan perekonomian baik yangbersumber dari dalam maupun
faktor eksternaldengan ekonomi yang lebih maju dan kuat.Dengan
potensi sumber daya yang dimiliki saat ini dan di masa mendatang,
Indonesia bertekad hendak menjadi negara yang berdaulat, maju,
adil, dan makmur, serta menjadi salah satu kekuatan ekonomi besar
di dunia sesuai dengan Visi Indonesia tahun 2045 tepat pada saat
100 tahun Indonesia merdeka. Tekad besar tersebut dijabarkan
secara rinci dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok
Kebijakan Fiskal (KEM dan PPKF) tahun2020. Tahun 2020 akan
menjadi titik tumpu kebulatan tekad untuk mencapai visi 100 tahun
Indonesia merdeka.Namun demikian, untuk mewujudkan visi
tersebut, masih terdapat banyak tantangan yang akan dihadapi.
Perkembangan perekonomian Indonesia ke depan tidak bisa lepas
dari berbagai faktor risiko, termasuk risiko dinamika perkembangan
ekonomi internasional yang menunjukkan perubahandinamika arah
kebijakan dan menciptakan keseimbangan baru. Untuk menghadapi
tantangan perekonomian ke depan dibutuhkan perumusan
kebijakan yang berwawasan jangka panjang, sehingga dapat
meletakkan fondasi yang kuat dan dinamis dalam menghadapi
tantangan-tantangan perekonomian di masadepan yang semakin
kompleks, serta mampu menentukan arah pelaksanaan bernegara
untuk mencapai masyarakat adil dan makmur.
Tingkat Inflasi
Terkendalinya laju inflasi berperan penting dalam pencapaian
sasaran pembangunan maupun penyusunan postur APBN dan arah
kebijakan fiskal. Dalam pencapaian sasaran pembangunan, tingkat
kesejahteraan masyarakat sangat dipengaruhi oleh laju inflasi
karena dapat berdampak pada kondisi daya beli dan tingkat
konsumsi masyarakat. Sementara itu, dalam kaitannya dengan
penyusunan APBN, asumsi laju inflasi menjadi faktor penting dalam
perhitungan dan penyusunan penerimaan dan belanja negara.
Untuk itu, Pemerintah terus berupaya untuk memastikan laju
inflasi terus terjaga di tingkat yang rendah dan stabil.
Stabilitas perekonomian Indonesia terjaga cukup baik selama
empat tahun terakhir, salah satunya dicerminkan oleh capaian
positif laju inflasi yang terkendali pada kisaran 3 persen. Pada tahun
2015, laju inflasi berhasil ditekan pada tingkat 3,4 persen (yoy), jauh
lebih rendah dibandingkan laju inflasi tahun 2014 yang mencapai 8,4
persen (yoy). Terkendalinya laju inflasi tersebut, terutama
dipengaruhi oleh faktor moderasi ekonomi global dan tren
penurunan harga minyak mentah dunia sejak akhir tahun 2014. Hal
tersebut mendorong Pemerintah untuk tetap dapat melanjutkan
reformasi kebijakan subsidi energi, seperti Bahan Bakar Minyak
(BBM) dan listrik agar lebih tepat sasaran. Anggaran tersebut
direalokasikan pada programprogram prioritas Pemerintah, yaitu
akselerasi pembangunan infrastruktur, termasuk infrastruktur
konektivitas untuk memperlancar sistem distribusi dan logistik. Di
tahun 2016, laju inflasi kembali dapat dijaga pada tingkat yang
lebih rendah, mencapai 3,0 persen (yoy).
Laju inflasi tersebut juga merupakan laju inflasi terendah
sejak tahun 2010. Secara umum, rendahnya laju inflasi didorong
oleh kebijakan pengelolaan harga energi domestik seiring dengan
tren penurunan harga minyak mentah dunia. Selain itu, kondisi
perekonomian global yang masih melemah yang berdampak pada
moderasi perekonomian domestik serta stabilitas pergerakan nilai
tukar Rupiah turut berkontribusi mendorong inflasi komponen inti
mengalami tren menurun.
Meskipun begitu, komponen harga bergejolak masih
mengalami tekanan, terutama akibat kenaikan harga beberapa
komoditas hortikultura karena faktor gangguan cuaca dan hama.
Sementara itu, meskipun sedikit meningkat di tahun 2017, laju
inflasi masih terkendali di tingkat 3,6 persen (yoy). Pencapaian laju
inflasi ini terutama didukung oleh terkendalinya harga, terutama
komoditas pangan di sepanjang tahun serta terjaganya
keseimbangan fundamental permintaan dan penawaran.
Terkendalinya harga pangan terutama pada masa Hari Besar
Keagamaan Nasional (HBKN) didukung oleh pengawasan distribusi
yang juga melibatkan penegak hukum sehingga dapat
mengantisipasi terjadinya penimbunan dan pembentukan harga
yang tidak wajar.
Di sisi lain, tekanan inflasi berasal dari komponen harga diatur
Pemerintah sebagai dampak perbaikan skema subsidi listrik tepat
sasaran, terutama untuk penyesuaian tarif pelanggan daya 900 VA
yang termasuk golongan mampu. Laju inflasi kembali melanjutkan
capaian positif di tahun 2018, dengan tingkat inflasi sebesar 3,1
persen (yoy). Terkendalinya inflasi pangan, rendahnya inflasi harga
diatur Pemerintah, dan relatif stabilnya inflasi inti di tengah tekanan
eksternal menjadi faktor yang mewarnai perkembangan inflasi
sepanjang tahun 2018. Meskipun sempat mengalami gejolak harga di
awal tahun, komoditas beras mampu distabilkan pada triwulan II
dan relatif terkendali hingga akhir tahun.
Hal tersebut seiring dengan melimpahnya persediaan pada
masa panen raya, stok Bulog yang aman, serta kebijakan
Ketersediaan Pasokan dan Stabilitas Harga (KPSH) yang
diberlakukan sejak September. Selain itu, kenaikan harga pakan juga
sempat mendorong naiknya harga daging ayam ras. Meskipun
begitu, kebijakan Pemerintah dengan pemberlakuan harga acuan di
tingkat produsen dan konsumen mendorong harga kembali stabil.
Sementara itu, komponen inti sedikit mengalami peningkatan,
namun masih berada pada kisaran 3 persen antara lain karena faktor
depresiasi nilai tukar Rupiah. Tren positif pencapaian laju inflasi
akan terus dijaga di tahun 2019 melalui konsistensi pelaksanaan
kebijakan Pemerintah dalam menjaga laju inflasi agar tetap berada
dalam rentang sasaran tahun berjalan. Hingga Juli 2019, laju inflasi
masih dapat dijaga sebesar 2,4 persen (ytd) atau 3,3 persen (yoy)
didukung oleh terkendalinya inflasi seluruh komponen pada tingkat
yang stabil dan rendah.
Realisasi tersebut juga menunjukkan tingkat inflasi yang
terjaga di sepanjang bulan Ramadan dan Idul Fitri sehingga mampu
menjaga daya beli dan menopang tingkat konsumsi masyarakat.
Terjaganya laju inflasi hingga Juli 2019 tersebut, terutama didukung
oleh terjaganya inflasi pangan, terutama terkendali harga beras dan
komoditas peternakan. Sementara itu, komponen harga diatur
Pemerintah relatif stabil dipengaruhi oleh kebijakan pengelolaan
harga energi serta respons kebijakan atas kenaikan tarif angkutan
udara yang meningkat sejak awal tahun. Ke depan, Pemerintah
bersama Bank Indonesia baik di tingkat pusat dan daerah akan
terus memastikan program pengendalian inflasi secara efektif
dilakukan untuk mencapai stabilitas harga nasional sehingga laju
inflasi tetap dapat berada di kisaran sasaran inflasi, yaitu sebesar
3,5±1,0 persen. Bauran kebijakan yang dijalankan Pemerintah dan
otoritas moneter dalam menciptakan keterjangkauan harga,
menjaga ketersediaan pasokan, memastikan kelancaran distribusi,
dan melakukan komunikasi efektif diharapkan mampu
mengendalikan inflasi pada tingkat yang rendah disertai ekspektasi
inflasi masyarakat yang
terjaga. Pemerintah akan tetap mewaspadai risiko-risiko yang
berpotensi menekan tingkat inflasi, terutama risiko gejolak harga
pangan akibat potensi cuaca ekstrem dan bencana alam. Dengan
mempertimbangkan faktor-faktor di atas, tingkat inflasi tahun 2019
diperkirakan mencapai 3,1 persen atau di bawah asumsi APBN
tahun 2019 sebesar 3,5 persen. Perkembangan inflasi tahun
2015-2019 dapat dilihat pada Grafik 1.4. Keberhasilan pengendalian
laju inflasi beberapa tahun terakhir pada kisaran 3 persen
diharapkan dapat terus berlanjut pada tahun 2020.
Pergerakan inflasi sepanjang tahun tentu akan dipengaruhi
oleh kondisi perekonomian global dan domestik, serta faktor
musiman, seperti masa panen, HBKN (Ramadan, Idul Fitri, dan
Natal), liburan sekolah dan tahun ajaran baru. Untuk itu, diperlukan
sinergi kebijakan dalam mengelola kondisi makroekonomi yang
sehat serta strategi kebijakan yang berfokus pada upaya untuk
menciptakan keterjangkauan harga, menjamin ketersediaan
pasokan, memastikan kelancaran distribusi, serta melakukan
komunikasi yang efektif dalam rangka menjaga ekspektasi inflasi
masyarakat. Selain itu, Pemerintah juga tetap mencermati risiko-
risiko yang berpotensi memberikan tekanan agar dapat dilakukan
tindakan antisipasi melalui kebijakan-kebijakan
Indikator Ketenagakerjaan
Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) pada periode 2015-2018
telah mengalami penurunan yakni dari 6,18 persen di Agustus 2015
menjadi 5,34 persen di Agustus 2018. Di periode yang sama,
lapangan kerja yang tercipta semakin besar yaitu dari 114,8 juta
orang menjadi 124,0 juta orang atau tumbuh 8,0 persen (9,2 juta
lapangan kerja baru tercipta). Meskipun dengan tren positif,
permasalahan ketenagakerjaan seperti rendahnya produktivitas,
kurang fleksibelnya pasar kerja, dan ketidaksesuaian antara
keterampilan pekerja dengan kebutuhan dunia usaha dan industri
tetap menjadi tantangan besar bangsa yang harus segera diatasi.
Rendahnya produktivitas tenaga kerja diindikasikan oleh sektor
informal yang masih mendominasi, yakni mencapai 57 persen dari
total tenaga kerja yang tersedia. Oleh karena itu, Pemerintah akan
terus mendorong perluasan dan kualitas pendidikan, serta
meningkatkan porsi sektor formal dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan tenaga kerja. Perkembangan Tingkat Pengangguran
Terbuka (TPT) per Februari periode 2015-2020 dapat dilihat pada
Gambar 7.10.
Gambar 7.7 Perkembangan Tingkat Pengangguran (TPT)
per Februari, 2015-2020
Referensi
Republik Indonesia, 2019. Buku II Nota Keuangan Beserta Rancangan
Anggaran dan Pendapatan dan Belanja Negara Tahun
Anggaran 2020.
WEO, 2019. Still Sluggish Global Growth. Economic Update for
Developing Countries.
BAB VIII
B. Pendahuluan
Pada bab ini akan dijelaskan lebih lengkap mengenai sumber-
sumber pendapatan negara yang mencakup penerimaan negara
berupa pajak dan non-pajak. Selain itu, penerimaan negara yang
mencakup pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, pajak dari
migas dan non-migas. Bab ini juga akan dilengkapi dengan analisis
dan pembahasan mengenai usaha pemerintah dalam meningkatkan
pendapatan negara dan kondisi keuangan negara periode 2018-
2020.
C. Capaian Pembelajaran
Baba ini akan memberikan penjelasan mengenai pendapatan
negara yang bersumber dari penerimaan perpajakan sangat
dipengaruhi perkembangan aktivitas ekonomi dan kebijakan
perpajakan. Secara lebih rinci, mahasiswa diharapkan mampu
memberikan deskripsi dan penggambaran atas:
1. Perkembangan Pendapatan Negara Tahun 2015-2019
2. Perkembangan Penerimaan Perpajakan Tahun 2015-2019
3. Perkembangan Penerimaan Negara Bukan Pajak Tahun 2015-2019
4. Perkembangan Penerimaan Hibah Tahun 2015-2019
D. Hasil yang Diharapkan
Setelah mengikuti perkuliahan, mahasiswa diharapkan
mampu menjelaskan kondisi pendapatan dan penerimaan negara
pada periode 2015-2019 serta rencana pada tahun 2020.
Beberapa hal yang mempengaruhi kondisi ini dijelaskan oleh
beberapa hal dan diutamakan berkaitan erat dengan kebijakan
mengenai pajak.
E. Materi Perkuliahan
1. Pendapatan Negara
Pendapatan negara dalam satu dasawarsa terakhir masih
didominasi oleh penerimaan perpajakan dengan kontribusi rata-
rata sekitar 75,0 persen. Sedangkan, penyumbang pendapatan
negara lainnya adalah penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dan
penerimaan hibah. Dengan komposisi tersebut, kinerja pendapatan
negara tidak terlepas dari perkembangan perekonomian global
maupun domestik. Dari sisi eksternal, pendapatan negara
dipengaruhi diantaranya oleh volume perdagangan dan harga
komoditas dunia. Sementara itu, kegiatan ekonomi dalam negeri
juga ikut berperan dalam pencapaian pendapatan negara.
Pendapatan negara yang bersumber dari penerimaan
perpajakan sangat dipengaruhi perkembangan aktivitas ekonomi
dan kebijakan perpajakan. Fluktuasi dalam kegiatan usaha dan
struktur perpajakan berdampak pada kinerja penerimaan
perpajakan. Sementara PNBP terutama diperoleh dari pemanfaatan
sumber daya alam (SDA), penyelenggaraan layanan, serta
pendapatan atas pengelolaan aset-aset yang dimiliki oleh
Pemerintah. Perkembangan PNBP dipengaruhi banyak faktor
antara lain meliputi tingkat produksi atau jumlah pelayanan,
tingkat harga atau tarif, sistem administrasi, dan kebijakan
Pemerintah. Selain itu, dalam optimalisasi PNBP, Pemerintah juga
harus mempertimbangkan faktor-faktor lain seperti kelestarian
lingkungan, keberlangsungan dunia usaha, daya beli masyarakat,
dan kualitas pelayanan. Sementara, di penerimaan hibah,
Pemerintah lebih mengutamakan penerimaan hibah untuk
mendanai kegiatan-kegiatan yang menjadi prioritas
kementerian/lembaga (K/L) dan memberikan nilai tambah dalam
pembangunan nasional yang mengutamakan penerimaan hibah
yang tidak memerlukan Rupiah Murni Pendamping (RMP).
2. Perkembangan Pendapatan Negara Tahun 2015-2019 dan
Rencana 2020
Pendapatan negara dalam periode tahun 2015-2019 mengalami
perkembangan yang positif dengan rata-rata pertumbuhan
mencapai sebesar 7,7 persen per tahun. Realisasi pendapatan
negara secara nominal meningkat dari Rp1.508.020,4 miliar pada
tahun 2015 dan diperkirakan akan mencapai sebesar Rp2.030.757,8
miliar pada tahun 2019. Sebagian besar pendapatan negara
tersebut bersumber dari pendapatan dalam negeri dengan
kontribusi rata-rata sebesar 99,4 persen, sementara rata-rata
kontribusi penerimaan hibah sebesar 0,6 persen sepanjang periode
2015-2019.
Dalam APBN 2019, pendapatan negara ditargetkan sebesar
Rp2.165.111,8 miliar atau meningkat 11,4 persen dari tahun 2018.
Namun, seiring dengan perekonomian global yang masih lemah dan
diikuti dengan tren harga komoditas yang menurun, realisasi
pendapatan negara pada tahun 2019 diperkirakan lebih rendah dari
targetnya dalam APBN 2019 menjadi sebesar Rp2.030.757,8 miliar.
Perkembangan pendapatan negara disajikan dalam Tabel 8.1.
Gambar 8.1 Penerimaan dari Amnesti Pajak, Juli 2016- Maret 2017
dari
BLU dengan menempuh kebijakan teknis, berupa kebijakan (a)
mendorong peningkatan kinerja pendapatan BLU dan investasi kas
BLU melalui Peraturan Menteri Keuangan No. 82/PMK.05/2018
tentang Pengelolaan Kas dan Investasi BLU, yang mendorong BLU
untuk mengelola kas yang dimiliki berupa investasi jangka pendek
pada instrumen investasi dengan risiko rendah sehingga hasil
pengelolaannya dapat menambah pendapatan bagi BLU; (b)
memperkuat tata kelola untuk mengawal peningkatan kinerja BLU
melalui penerapan tata kelola BLU yang lebih baik/Good BLU
Governance (GBG); dan (c) memodernisasi pengelolaan BLU
melalui pemanfaatan IT untuk meningkatkan kinerja layanan BLU.
4. Perkembangan Penerimaan Hibah Tahun 2015-2019 dan
Rencana Tahun 2020
Realisasi penerimaan hibah selama tahun 2015-2019
mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar negatif 42,2 persen.
Faktor yang memengaruhi realisasi penerimaan hibah antara lain
peraturan pemerintah yang mempermudah lembaga donor dalam
menyalurkan hibahnya kepada Pemerintah Indonesia melalui
mekanisme hibah terencana maupun hibah langsung. Selain itu,
kebijakan Pemerintah dalam penerapan administrasi dan akuntansi
pengelolaan hibah juga memengaruhi realisasi hibah. Kebijakan ini
dilakukan dengan mewajibkan K/L penerima hibah untuk
mencatatkan semua penerimaan hibah dalam APBN.
Dalam APBN tahun 2019, penerimaan hibah diproyeksikan
sebesar Rp435,3 miliar. Namun, terdapat peningkatan perkiraan
realisasi untuk pendapatan hibah pada akhir tahun 2019 menjadi
sebesar Rp1.340,0 miliar. Hibah tersebut akan digunakan untuk
membiayai program terkait pendidikan, pengembangan desa dan
sistem perkotaan, penyediaan air bersih dan subsidi, baik yang
dikelola oleh K/L maupun diterushibahkan ke daerah.
Perkembangan penerimaan hibah selama tahun 2015-2020 disajikan
pada Gambar 8.13.
F. Rangkuman
Reformasi di sektor Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)
terus dilakukan pasca penetapan Undang-undang nomor 9 tahun
2018 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak melalui berbagai
upaya penyempurnaan regulasi, pengaturan tarif yang adil dan
fleksibel, penguatan pengawasan dan pemeriksaan, optimalisasi
pengelolaan aset negara dan efisiensi di sektor alam (SDA), serta
peningkatan pelayanan dan kualitas layanan publik.
Kebijakan fiskal tahun 2020 diarahkan dapat tetap ekspansif
dalam rangka menstimulus perekonomian dan mengakselerasi
pencapaian target pembangunan dengan sasaran yang lebih terarah
dan terukur. Kebijakan ini ditujukan untuk memelihara momentum
perekonomian yang semakin tumbuh dan menghindari opportunity
loss dalam peningkatan kesejahteraan. Untuk melaksanakan
kebijakan tersebut, Pemerintah terus berupaya untuk
meningkatkan efisiensi dan efektivitas pelaksanaan APBN.
Sejalan dengan kebijakan fiskal pemerintah, pembiayaan
utang masih diperlukan dengan pertumbuhan yang semakin
menurun. Strategi pembiayaan anggaran memperhatikan prinsip
kehati-hatian dengan mengendalikan rasio utang dalam batas aman
serta menjaga komposisi utang domestik dan valas, efisiensi biaya
utang, dan pemanfaatan utang untuk kegiatan produktif dengan
memperhatikan value for money. Untuk mendukung program
prioritas, pembiayaan investasi yang inovatif dan kreatif diarahkan
untuk mendukung pembangunan infrastruktur, mendorong
peningkatan ekspor nasional melalui program National Interest
Account (NIA), meningkatkan daya saing usaha melalui kemudahan
akses pembiayaan bagi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM)
dan ultra mikro (UMI), serta meningkatkan daya saing sumber daya
manusia melalui Dana Abadi Pendidikan. Investasi di bidang Dana
Abadi Pendidikan ditujukan untuk meningkatkan akses masyarakat
pada jenjang pendidikan tinggi, peningkatan kualitas riset,
pemajuan kebudayaan nasional, dan peningkatan kualitas
perguruan tinggi. Inisiatif pada Dana Abadi Pendidikan terutama
melalui investasi pada Dana Pengembangan Pendidikan, Dana
Abadi Penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan untuk
menghasilkan invensi dan inovasi, Dana Abadi Kebudayaan, serta
Dana Abadi Perguruan Tinggi.
Referensi
Republik Indonesia, 2019. Buku II Nota Keuangan Beserta Rancangan
Anggaran dan Pendapatan dan Belanja Negara Tahun
Anggaran 2020.
BAB IX
B. Pendahuluan
Bab ini akan membahas arah dan acuan susunan APBN 2019
yang telah disepakati oleh pemerintah dan DPR atas RKP dan KEM
PPKF. Pembahasan akan dilengkapi dengan rincian klasifikasi
fungsi alokasi anggaran belanja pemerintah pusat, pengelompokan
alokasi anggaran belanja pemerintah, dan perkembangan
penyusunan penganggaran belanja pemerintah pusat jangka
menengahperiode 2018-2020.
C. Capaian Pembelajaran
Memberikan gambaran dan penjelasan kepada mahasiswa
mengenai asumsi dan dasar pembentukan APBN hingga penetapan
dan penyusunan APBN jangka menengah. Secara lebih rinci,
mahasiswa diharapakn dapat menjelaskan:
1. Kebijakan dan Anggaran Belanja Pemerintah Pusat APBN Tahun
2019
2. Anggaran Belanja Pemerintah Pusat Menurut Fungsi
3. Anggaran Belanja Pemerintah Pusat Menurut Organisasi
4. Perkembangan Proyeksi Jangka Menengah Hingga Penetapan
Pagu Anggaran Belanja Pemerintah Pusat Tahun 2107
5. Proyeksi Belanja Pemerintah Pusat Jangka Menengah Periode
2018-2020
E. Materi Perkuliahan
Belanja Negara
Belanja negara sebagai instrumen fiskal berperan dalam
menggerakkan perekonomian nasional secara optimal di tengah
dinamika perekonomian baik global maupun domestik. Saat ini, di
tengah kondisi ekonomi global dan perubahan teknologi yang
menciptakan dinamika dan kompleksitas yang harus diatasi, belanja
negara dituntut mampu beradaptasi dengan suasana global yang
dinamis. Untuk mengemban tujuan tersebut, komposisi belanja
negara harus dijaga tetap sehat namun responsif dan mampu
mendukung pembangunan dan memperkuat daya saing.
Sejalan dengan hal tersebut, belanja negara dalam periode
2015 sampai dengan 2019 diarahkan untuk ekspansif namun terarah
dan terukur, dalam pengertian, selain dimanfaatkan untuk
pendanaan pembangunan, juga didesain untuk mengantisipasi
ketidakpastian dinamika perekonomian. Kinerja belanja negara
secara umum, baik dalam mendukung program pembangunan
maupun antisipasi ketidakpastian, terlihat dari capaian beberapa
indikator makro pembangunan. Pertumbuhan ekonomi dapat
dipertahankan dalam kisaran 5,1 persen selama lima tahun
terakhir. Dalam tahun 2015–2019 tingkat kemiskinan turun dari
11,22 persen menjadi 9,41 persen (per Maret 2019); tingkat
pengangguran turun
dari 5,81 persen menjadi 5,01 persen (per Februari 2019); dan
ketimpangan pendapatan juga menurun yang ditunjukkan dengan
semakin rendahnya rasio gini dari 0,408 menjadi 0,382 (per Maret
2019). Hal ini mengindikasikan bahwa Pemerintah telah
memperhitungkan langkah antisipasi untuk meredam dampak
negatif akibat fluktuasi dinamika perekonomian global.
Dilihat dari trennya, belanja negara secara nominal mengalami
peningkatan dari tahun 2015 sampai dengan tahun 2020.
Peningkatan belanja negara tersebut merupakan perwujudan
komitmen pemerintah untuk mencapai target pembangunan dan
mendorong terwujudnya pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan
dan berkeadilan. Dalam periode tahun 2015 sampai dengan tahun
2019 belanja negara tumbuh ratarata 6,7 persen dari sebesar
Rp1.806.515,2 miliar pada tahun 2015, menjadi Rp2.341.570,2 miliar
pada outlook APBN tahun 2019. Sedangkan untuk tahun 2020,
belanja negara direncanakan sebesar Rp2.528.774,3 miliar. Alokasi
belanja negara tahun 2020 tersebut, terdiri dari Belanja K/L
direncanakan sebesar Rp884.550,1 miliar (35,0 persen terhadap
belanja negara), Belanja Non K/L (Bagian Anggaran BUN)
direncanakan sebesar Rp785.434,2 miliar (31,1 persen), serta Transfer
ke Daerah dan Dana Desa direncanakan sebesar Rp858.790,0 miliar
(34,0 persen).
Meskipun secara nominal jumlah belanja semakin meningkat
setiap tahunnya, namun bila dilihat dari persentasenya terhadap
PDB volume belanja negara cenderung tetap berada pada kisaran
14–15 persen. Dengan porsi belanja negara terhadap PDB yang relatif
kecil tersebut, pemanfaatan belanja negara harus dilaksanakan
seoptimal mungkin agar dapat memberikan manfaat sebesar-
besarnya. Untuk itu, Pemerintah selalu berusaha untuk
meningkatkan kualitas belanja negara melalui penguatan belanja
yang efektif (spending better). Kebijakan ini dilakukan melalui
penghematan belanja barang, penguatan belanja modal, reformasi
belanja pegawai, serta mendorong efektivitas bantuan sosial dan
subsidi agar lebih tepat sasaran.
Selain itu, untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang
berkelanjutan dan berkeadilan, peran daerah juga akan terus
ditingkatkan, sejalan dengan komitmen Pemerintah untuk
melakukan penguatan kualitas desentralisasi fiskal. Hal ini terlihat
dari meningkatnya realisasi transfer ke daerah dan dana desa dari
semula pada tahun 2015 sebesar Rp623.139,6 miliar meningkat
menjadi Rp858.790,0 miliar pada tahun 2020. Perkembangan belanja
negara tahun 2015 sampai dengan tahun 2020 ditampilkan dalam
Gambar 9.1.
Subsidi Energi
Dalam kurun waktu tahun 2015–2019, realisasi subsidi
energi mengalami perkembangan yang fluktuatif dengan rata-rata
pertumbuhan mencapai 4,6 persen per tahun. Hal tersebut
dipengaruhi oleh perkembangan asumsi dasar ekonomi makro dan
kebijakan Pemerintah. Dalam periode tahun 2015–2017, subsidi
energi menunjukkan penurunan rata-rata 9,5 persen, dari semula
sebesar Rp119.091,1 miliar pada tahun 2015 menjadi sebesar
Rp97.642,1 miliar pada tahun 2017, namun kemudian meningkat
menjadi Rp153.522,4 miliar pada tahun 2018. Selanjutnya, subsidi
energi dalam outlook APBN tahun 2019 diperkirakan mencapai
Rp142.592,7 miliar.
Subsidi energi terdiri atas subsidi BBM dan LPG tabung 3 kg,
serta subsidi listrik. Realisasi subsidi BBM dan LPG tabung 3 kg
selama kurun waktu tahun 2015–2019 sangat dipengaruhi
oleh perkembangan realisasi asumsi dasar ekonomi makro,
terutama ICP dan nilai tukar rupiah, serta kebijakan besaran
subsidi tetap untuk minyak solar. Pada tahun 2015, Pemerintah
menetapkan subsidi tetap minyak solar sebesar
Rp1.000/liter, yang selanjutnya disesuaikan menjadi Rp500/liter
pada bulan Juli 2016 sampai 2017. Kemudian, Pemerintah kembali
melakukan penyesuaian besaran subsidi tetap minyak solar
menjadi Rp2.000/liter pada tahun 2018. Penyesuaian besaran
subsidi minyak solar tersebut mempertimbangkan peningkatan
ICP dan depresiasi nilai tukar rupiah.
Faktor lain yang mempengaruhi realisasi subsidi BBM dan
LPG tabung 3 kg adalah volume konsumsi BBM bersubsidi dan LPG
tabung 3 kg. Selama kurun waktu tahun 2015–2018, volume
konsumsi BBM bersubsidi menunjukkan kecenderungan menurun,
yaitu dari 14,9 juta kiloliter (audited) pada tahun 2015 menjadi 14,6
juta kiloliter pada tahun 2018. Di sisi lain, volume LPG tabung 3 kg
mengalami kenaikan dari 5,6 juta metrik ton pada tahun 2015
(audited) menjadi 6,53 juta metrik ton pada tahun 2018.
Fungsi Ekonomi
Dalam kurun waktu tahun 2015–2019, realisasi anggaran fungsi
ekonomi secara nominal mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar
2,1 persen, yaitu dari Rp353.199,1 miliar dalam tahun 2015 menjadi
Rp384.134,4 miliar dalam outlook APBN tahun 2019. Peningkatan ini
terutama didorong oleh realisasi bantuan pemerintah berbasis
infrastruktur kepada masyarakat, serta pembayaran atas prestasi
progres pada berbagai proyek infrastruktur konektivitas pada
Kementerian Perhubungan dan Kementerian Pekerjaan Umum dan
Perumahan Rakyat. Perkembangan alokasi anggaran fungsi
ekonomi dalam periode 2015– 2020 dapat disajikan dalam
anggaran fungsi ekonomi dalam periode 2015– 2020 dapat
disajikan dalam Gambar 9.11.
Gambar 9.11 Perkemangan Belanja Fungsi Ekonomi 2015-2020
Belanja Pegawai
Belanja pegawai merupakan salah satu komponen belanja yang
dapat mendorong pertumbuhan konsumsi pemerintah, di mana
selama kurun waktu 2015-2019, realisasi belanja pegawai tumbuh
sebesar 7,6 persen, yaitu dari Rp281.142,7 miliar pada tahun 2015
menjadi Rp376.441,9 miliar pada outlook APBN tahun 2019.
Pertumbuhan realisasi ini terutama dikarenakan adanya kebijakan
untuk: (1) menaikkan gaji pokok dan pensiun pokok; (2) pemberian
gaji ke-13 dan THR untuk aparatur negara dan pensiunan; dan
(3) perbaikan tunjangan kinerja pada K/L sejalan dengan capaian
reformasi birokrasi K/L.
Alokasi anggaran belanja pegawai dalam RAPBN tahun 2020
sebesar Rp416.144,6 miliar. Anggaran tersebut dialokasikan untuk
belanja K/L sebesar Rp 261.160,5 miliar dan belanja BUN sebesar Rp
154.984,1 miliar. Belanja pegawai K/L digunakan antara lain untuk
pembayaran gaji dan tunjangan kinerja pada K/L. Sementara alokasi
belanja pegawai pada BUN ditujukan antara lain untuk pembayaran
manfaat pensiun dan jaminan pelayanan kesehatan bagi aparatur
dan pensiunan.
Kebijakan belanja pegawai pada tahun 2020 terutama
diarahkan untuk mendukung pelaksanaan reformasi birokrasi
dalam menciptakan birokrasi yang efisien, melayani, dan bebas
korupsi. Hal tersebut diwujudkan melalui kenaikan tunjangan
kinerja pada K/L seiring dengan capaian reformasi birokrasi serta
pemberian gaji ke-13 dan THR. Pemerintah juga mengantisipasi
kebutuhan calon pegawai baru dan perubahan kebijakan pensiun.
Selanjutnya, melalui alokasi belanja pegawai, pemerintah juga
memperhatikan kesejahteraan para pensiunan melalui pembayaran
manfaat pensiun, pensiun ke-13, THR bagi para pensiunan/veteran
PNS/TNI/POLRI.
Belanja Barang
Dalam tahun 2015–2019, belanja barang mengalami
pertumbuhan rata-rata tahunan sebesar 9,4 persen, yaitu dari
Rp233.281,1 miliar pada tahun 2015 menjadi Rp334.158,4 miliar pada
outlook APBN tahun 2019. Pertumbuhan belanja barang tersebut
dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain: (1) kebijakan reklasifikasi
anggaran jenis belanja, yaitu perubahan akun belanja modal dan
belanja bantuan sosial menjadi belanja barang; (2) kebijakan efisiensi
belanja barang tahun 2016 dan 2017; (3) pelaksanaan kegiatan-
kegiatan yang bersifat strategis tahun 2018, antara lain: Asian Games
dan Asian Para Games, Annual Meeting International Monetary Fund-
World Bank, dan persiapan pelaksanaan Pemilu tahun 2019; dan (4)
penyelenggaraan Pemilu tahun 2019.
Selanjutnya, kebutuhan alokasi belanja barang dalam RAPBN
tahun 2020 diperkirakan sebesar Rp334.142,9 miliar, yang terdiri
dari belanja barang K/L sebesar Rp333.601,6 miliar dan belanja
barang BUN sebesar Rp541,3 miliar. Pemerintah berkomitmen untuk
terus melakukan perbaikan-perbaikan dan efisiensi pada belanja
barang yang bersifat kurang produktif. Guna mendukung upaya
efisiensi tersebut serta lancarnya penyelenggaraan fungsi
pemerintahan, maka kebijakan belanja barang tahun 2020
difokuskan pada (1) penghematan belanja honorarium, perjalanan
dinas dan paket rapat, pembatasan Rapat Dalam Kantor (RDK) dan
konsinyering bagi K/L; (2) penajaman dan sinkronisasi belanja
barang yang diserahkan kepada Masyarakat/Pemda; (3) mendukung
pelaksanaan program-program yang bersifat strategis. Beberapa
program pemerintah yang utamanya merupakan belanja barang
antara lain pelaksanaan PON di Papua, Sensus Penduduk,
pelaksanaan Pilkada, pendidikan dan pelatihan vokasi, penelitian
dan pengembangan; dan (4) pemberian dukungan fasilitasi
penyiapan proyek (PDF) maupun dukungan kelayakan proyek
(VGF), dan pembayaran ketersediaan layanan (AP).
Bantuan Sosial
Dalam rangka meningkatkan tingkat perekonomian dan
kesejahteraan masyarakat miskin, pemerintah memberikan bantuan
sosial kepada masyarakat miskin, melalui berbagai program antara
lain Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Sosial Pangan,
Program Indonesia Pintar (PIP), Bantuan Pendidikan Mahasiswa
Miskin Berprestasi (Bidikmisi), Bantuan Iuran Program Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN), dan dana cadangan untuk
penanggulangan bencana alam.
Belanja bantuan sosial dalam kurun waktu 2015-2019
mengalami pertumbuhan 0,6 persen, yaitu dari Rp97.151,2 miliar
pada tahun 2015 menjadi Rp99.607,7 miliar pada outlook APBN tahun
2019. Selama periode 2015-2019, pemerintah melakukan beberapa
terobosan kebijakan terkait belanja bantuan sosial seperti (1)
memperluas target PKH dari 3,5 juta KPM pada 2015 menjadi 10 juta
KPM pada 2019, (2) menaikkan premi iuran segmen PBI JKN dari
Rp19.225/jiwa/bulan menjadi Rp23.000/jiwa/bulan pada 2016, (3)
memperluas cakupan PBI JKN dari 88 juta KPM menjadi 96,8 juta
KPM untuk menuju universal health coverage, (4) melakukan pilot
project program bantuan pangan nontunai (BPNT) bagi 1,2 juta KPM
pada tahun 2017 yang merupakan transformasi dari subsidi Rastra
bagi 15,6 juta KPM, dan (5) menaikkan indeks manfaat program PKH
sebesar 100% pada komponen pendidikan dan kesehatan.Selain itu,
Pemerintah melakukan kebijakan penajaman belanja bantuan sosial
pada tahun 2016. Hal ini berdampak pada direalokasikannya
beberapa bantuan yang tidak sesuai dengan kriteria belanja bantuan
sosial. Sehingga, alokasi belanja bantuan sosial pada tahun tersebut
turun menjadi Rp49.613,5 miliar.
Selanjutnya pada RAPBN tahun 2020, Pemerintah akan
mengalokasikan anggaran belanja bantuan sosial sebesar
Rp107.629,6 miliar, yang terdiri dari belanja K/L sebesar Rp102.879,6
miliar dan belanja non-K/L sebesar Rp4.750,0 miliar. Alokasi
tersebut akan digunakan antara lain: (1) transformasi bantuan sosial
pangan menjadi kartu sembako, (2) melanjutkan pemberian bantuan
program PKH, (3) melakukan perluasan cakupan bidikmisi menjadi
KIP kuliah, (4) melakukan penyesuaian premi iuran JKN, dan (5)
mengalokasikan dana cadangan untuk penanggulangan bencana
alam.
F. Rangkuman
Tahun 2020 merupakan tahun pertama dalam agenda
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahap ke-4,
yang juga merupakan tahapan terakhir dari Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025
sehingga menjadi sangat penting dalam mencapai target-target
pembangunan. Berdasarkan penahapan skala prioritas dan
strategi jangka menengah yang dimuat dalam RPJPN 2005—2025,
sasaran pembangunan jangka menengah 2020-2024 adalah
mewujudkan masyarakat Indonesia yang mandiri, maju, adil, dan
makmur melalui
percepatan pembangunan di berbagai bidang dengan menekankan
terbangunnya struktur perekonomian yang kokoh berlandaskan
keunggulan kompetitif di berbagai wilayah yang didukung oleh
sumber daya manusia yang berkualitas dan berdaya saing.
Untuk mencapai sasaran tersebut kebijakan belanja
pemerintah pusat kedepan akan difokuskan untuk mencapai
ketujuh agenda pembangunan yaitu: (1) memperkuat ketahanan
ekonomi untuk pertumbuhan yang berkualitas; (2) mengembangkan
wilayah untuk mengurangi kesenjangan dan menjamin pemerataan;
(3) meningkatkan sumber daya manusia berkualitas dan berdaya
saing; (4) membangun kebudayaan dan karakter bangsa; (5)
memperkuat infrastruktur untuk mendukung pembangunan
ekonomi dan pelayanan dasar; (6) membangun lingkungan hidup,
meningkatkan ketahanan bencana, dan perubahan iklim; serta (7)
memperkuat stabilitas polhukhankam dan transformasi pelayanan
publik.
Selain itu, kebijakan belanja pemerintah pusat juga akan
menjaga keberlanjutan kebijakankebijakan yang telah dilaksanakan,
antara lain dukungan terhadap pelaksanaan Program Indonesia
Pintar melalui pelaksanaan wajib belajar 12 tahun, pelaksanaan SJSN
melalui alokasi jaminan kesehatan bagi rakyat miskin (penerima
bantuan iuran/PBI), pembangunan infrastruktur, pelaksanaan
berbagai program perlindungan sosial, serta pemerataan dan
pengurangan kesenjangan baik antarkelas pendapatan dan
antarwilayah. Proyeksi belanja pemerintah pusat tahun 2021-2023
dapat dilihat pada Gambar 9.23.
Gambar 9.14 Belanja Pemerintah Pusat, 2021-2023
(Sumber: Kemenkeu)
Referensi
Republik Indonesia, 2019. Buku II Nota Keuangan Beserta
Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun
Anggaran 2020, Jakarta
BAB X
B. Pendahuluan
Bab ini akan membahas arah dan acuan susunan APBN 2019
dan RAPBN 2020 yang telah disepakati oleh pemerintah dan DPR
atas RKP dan KEM PPKF. Ditinjau dari aspek kelembagaan dan
sistem, defisit dan pembiayaan anggaran negara menjadi peniting
untuk ditinjau dari sudut pandang fungsi alokasi anggaran belanja
pemerintah pusat, pengelompokan alokasi anggaran belanja
pemerintah, dan perkembangan penyusunan penganggaran belanja
pemerintah pusat jangka menengah periode 2018-2020.
C. Capaian Pembelajaran
Memberikan gambaran dan penjelasan kepada mahasiswa
mengenai defisit dan pembiayaan anggaran negara dan dasar
pembentukan APBN hingga penetapan dan penyusunan APBN
jangka menengah. Secara lebih rinci, mahasiswa diharapakan dapat
menjelaskan:
1. Perkembangan Defisit dan Pembiayaan Anggaran Tahun 2019-
2020
2. Defisit APBN Periode 2015-2019
3. Pembiayaan Anggaran Periode 2015-2019 dan Rencana
Pembiayaan Anggaran APBN Tahun 2020
4. Surat Berharga Negara
5. Pembiayaan Investasi dan Utang
E. Materi Perkuliahan
1. Perkembangan Defisit dan Pembiayaan Anggaran Tahun 2015-
2019 dan Rencana Tahun 2020
Defisit APBN Periode 2015-2019 dan Rencana Defisit APBN Tahun
2020
Dalam periode lima tahun terakhir, pemerintah menerapkan
kebijakan fskal ekspansif untuk mendorong pertumbuhan ekonomi
tetap tinggi dan berkesinambungan dalam rangka percepatan
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Seiring dengan ditempuhnya
kebijakan ekspansif tersebut, defsit anggaran menjadi sebuah
konsekuensi kebijakan. Dengan demikian, Pemerintah membutuhkan
instrumen pembiayaan yang efektif dan efsien untuk membiayai
defsit agar APBN tetap berkelanjutan. Secara umum defsit anggaran
senantiasa terkendali dalam batas aman (undercontrol) dan berada
dalam level risk appetite. Realisasi defsit setiap tahun juga terus
diupayakan semakin rendah dibandingkan targetnya tanpa
mengurangi pencapaian sasaran dan target pembangunan nasional
yang telah ditetapkan. Dalam perkembangannya defsit anggaran
cenderung menurun dari 2,59 persen terhadap PDB pada tahun 2015
menjadi sebesar 1,82 persen PDB pada tahun 2018. Untuk kurun
waktu 2015-2019, rata-rata defsit berada pada level 2,27 persen
terhadap PDB dengan tren yang semakin rendah, sebagaimana
disajikan pada Gambar 10.1.
Pembiayaan Utang
Sebagai bagian dari pembiayaan anggaran, pembiayaan utang
selain berfungsi untuk menutup defsit anggaran, juga digunakan
untuk membiayai pengeluaran pembiayaan, seperti pembiayaan
investasi, pemberian pinjaman, serta kewajiban penjaminan.
Meskipun pembiayaan utang dalam periode 2015-2017 sempat
mengalami kenaikan, sejak tahun anggaran 2018, pembiayaan utang
cenderung menurun. Hal tersebut menggambarkan bahwa dalam
dua tahun terakhir ini APBN semakin sehat dan mandiri.
Pembiayaan utang dikelola oleh Pemerintah dengan
profesional berdasarkan praktik yang berlaku secara internasional
(international best practices). Pemerintah memiliki alat kendali
berupa strategi pengelolaan utang, baik dalam jangka menengah
maupun tahunan untuk mengelola dan menjaga portofolio utang.
Pemerintah senantiasa menjaga keseimbangan biaya (cost)
dan risiko (risk) dengan melakukan diversifkasi portofolio utang.
Diversifkasi portofolio yang dilakukan antara lain meliputi jenis
instrumen utang, suku bunga, mata uang, dan tenor, sehingga lebih
fleksibel dalam menentukan sumber pembiayaan dalam memenuhi
target yang diamanatkan dalam APBN.
Secara lebih rinci per instrumen, utang Pemerintah yang
berasal dari pinjaman terdiri dari pinjaman dalam negeri maupun
luar negeri. Pinjaman luar negeri terdiri atas pinjaman tunai dan
pinjaman kegiatan. Sementara itu yang berasal dari Surat Berharga
Negara (SBN) terdiri dari SBN konvensional (Surat Utang
Negara/SUN) dan SBN berbasis syariah (Surat Berharga Syariah
Negara-SBSN/Sukuk Negara).
Dengan demikian, utang Pemerintah terdiversifkasi dalam
berbagai tipe kreditur dan jenis investor. Selain itu, Pemerintah
memiliki fleksibilitas dalam penentuan besaran utang per instrumen.
Perkembangan pembiayaan utang dalam tahun 2015 – 2020
disampaikan pada Tabel 10.2 dalam periode tahun 2015-2019,
outstanding utang Pemerintah meningkat dari Rp3.165,1 triliun
menjadi Rp4.570,2 triliun (posisi Juni 2019). Kenaikan outstanding
utang tersebut sebagian besar bersumber dari SBN, utamanya SBN
dalam denominasi rupiah. Hal ini sejalan dengan kebijakan
Pemerintah untuk mengutamakan pengadaan utang baru dalam
mata uang rupiah dalam rangka pengembangan pasar domestik
menuju kemandirian pembiayaan. Dalam periode yang sama,
outstanding pinjaman mengalami kenaikan, namun tidak signifkan.
Outstanding pinjaman sebagian besar bersumber dari lembaga
multilateral dan bilateral dalam rangka mendukung pembangunan di
berbagai bidang.
Sementara itu, utang Pemerintah diterbitkan dalam berbagai
jenis mata uang. Diversifkasi dilakukan dalam beberapa mata uang
asing, terutama mata uang kuat (hard currency) seperti USD, EUR,
dan JPY. Diversifkasi utang dalam mata uang asing juga mendukung
dilakukannya natural hedging dalam pengelolaan keuangan negara,
untuk mengimbangi penerimaan dan belanja negara dalam valuta
asing. Porsi utang dalam mata uang asing menurun dari posisi 44,5
persen di tahun 2015 ke 40,0 persen pada Juni 2019. Posisi utang
Pemerintah sampai dengan Juni 2019 berdasarkan mata uang
disajikan pada Tabel 10.2.
Referensi
Republik Indonesia, 2019. Buku II Nota Keuangan Beserta Rancangan
Anggaran dan Pendapatan dan Belanja Negara Tahun
Anggaran 2020.
IMF. 2019. World Economic Outlook. July 2019. 6th Edition.
BAB XI
B. Pendahuluan
Pada bab ini, akan diuraikan hasil evaluasi dan penyempurnaan
makroprudensial pada periode sebelumnya dengan melakukan
penyesuaian ketentuan LTV/FTV dan penyesuaian batas bawah
rasio GWM LFR. Kebijakan lainnya berupa pengaturan dan
pengawasan yang bersifar makro terhadap jasa keuangan dan
memfokuskan diri terhadap asesmen potensi risiko sistemik
industrik keuangan dan stress testing. Sejalan dengan itu, Bank
Indonesia berupaya untuk memperkuat koordinasi dengan otoritas
lain, dan menyelesaikan Undang-undang pencegahan dan
penanganan Krisis Sistem Keuangan (UU PPKSK) guna menghasilkan
pengaruh positif dalam mewujudkan stabilitas sistem keuangan.
C. Capaian Pembelajaran
Memberikan penjelasan kepada mahasiswa tentang berbagai
respons kebijakan Bank Indonesia dalam mewujudkan stabilitas
sistem keuangan. Secara rinci Capaian Pembelajaran agar
mahasiswa dapat memahami dan menjelaskan tentang:
1. Evaluasi kebijakan Loan to Value/ Financing to Value untuk
kredit atau pembiayaan properti dan uang muka untuk kredit
kendaraan bermotor.
2. Evaluasi penyempurnaan kebijakan Loan to Funding Ratio (LFR)
yang dikaitkan dengan Giro Wajib Minimum (GWM) dan
penyesuaian Jasa Giro dalam pemenuhan Kredit UMKM
3. Penetapan kembali countercyclical Buffer (CCB) 0%
4. Koordinasi kebijakan BI dengan otoritas lainnya.
E. Materi Perkuliahan
1. Kebijakan Makroprudensial Tetap Akomodatif untuk Menjaga
Peningkatan Kredit
Bank Indonesia terus memperkuat bauran kebijakan
akomodatif dalam rangka mendukung momentum pertumbuhan
ekonomi. Sepanjang Semester II 2019, Bank Indonesia telah
melakukan kebijakan moneter akomodatif, dengan menurunkan
suku bunga kebijakan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebanyak
empat kali dengan total sebesar 100bps, yaitu pada Juli, Agustus,
September, dan Oktober 2019. Kebijakan tersebut ditempuh sejalan
dengan tetap rendahnya perkiraan inflasi, tetap menariknya imbal
hasil investasi aset keuangan domestik, dan perlunya mendukung
momentum pertumbuhan ekonomi, di tengah kondisi
ketidakpastian pasar keuangan global yang menurun dan stabilitas
eksternal yang terkendali.
Selain itu, pada Semester II 2019, Bank Indonesia juga
menurunkan Giro Wajib Minimum (GWM) Rupiah untuk Bank Umum
Konvensional dan Bank Umum Syariah/Unit Usaha Syariah sebesar
50 bps sehingga masing-masing menjadi 5,5% dan 4,0%, dengan
GWM Rerata masing-masing tetap sebesar 3,0%. Kebijakan yang
berlaku efektif pada 2 Januari 2020 tersebut ditempuh untuk
menambah ketersediaan likuiditas perbankan dalam rangka
mendorong pembiayaan dan mendukung pertumbuhan ekonomi.
Kebijakan GWM pada Semester II 2019 melanjutkan kebijakan
penurunan GWM Rupiah yang telah dilakukan pada Semester I
2019 yaitu sebesar 50 bps bagi Bank Umum Konvensional (BUK)
dan Bank Umum Syariah (BUS)/Unit Usaha Syariah (UUS).
Sebagai bauran kebijakan, Bank Indonesia juga menempuh
kebijakan makroprudensial akomodatif dengan memperhatikan
siklus keuangan yang masih memberikan ruang ekspansi untuk
intermediasi (Grafik 4.1.1). Dengan siklus keuangan yang masih
berada di bawah titik optimal, tantangan kebijakan makroprudensial
adalah untuk menjaga kepercayaan bisnis (business confidence) agar
siklus pelemahan tidak berlanjut (break the cycle). Perlambatan
pembiayaan perekonomian dipandang telah menyebabkan pelaku
keuangan cenderung risk averse dan memilih melakukan konsolidasi.
Hal tersebut berdampak pada terganggunya pertumbuhan ekonomi
domestik serta meningkatkan kerentanan perekonomian domestik.
Karenanya, upaya untuk memitigasi berlanjutnya vicious cycle
melalui kebijakan makroprudensial perlu ditempuh. Kebijakan
makroprudensial akomodatif dipandang perlu dilanjutkan untuk
mendorong momentum pertumbuhan ekonomi di tengah stabilitas
makro ekonomi dan sistem keuangan yang terjaga dengan tetap
menjaga prinsip kehati-hatian.
2. Perluasan Intermediasi Melalui Rasio Intermediasi
Makroprudensial (RIM)
Bank Indonesia melakukan reformulasi Rasio Intermediasi
Makroprudensial karena masih terdapat ruang untuk meningkatkan
kapasitas penyaluran kredit/pembiayaan oleh perbankan.
Penyesuaian kisaran target RIM/RIM Syariah (dari sebelumnya 80%
- 92% menjadi 84% - 94%) pada Semester I 2019, yang mulai berlaku
pada Juli 2019, telah mendorong perbankan untuk meningkatkan
penyaluran kredit/pembiayaannya.
Untuk mendorong momentum pertumbuhan ekonomi di
tengah stabilitas makro ekonomi dan sistem keuangan yang terjaga,
Bank Indonesia melanjutkan penguatan fungsi intermediasi
perbankan melalui penyempurnaan pengaturan RIM/RIM Syariah.
F. Rangkuman
Mencermati tantangan makrofinansial domestik pada 2019,
risiko yang bergerak naik serta memperhatikan siklus finansial
yang di bawah optimal, maka pada Semester II 2019, Bank
Indonesia berupaya mendorong pembiayaan ekonomi agar siklus
pelemahan tidak berlanjut (break the cycle) namun tetap
memperhatikan prinsip kehati-hatian. Ruang intermediasi
dipandang masih dapat dioptimalkan untuk mendukung
momentum pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan
dengan tetap menjaga stabilitas sistem keuangan. Untuk mencapai
tujuan tersebut, Bank Indonesia melanjutkan pelonggaran
pengaturan Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM)/RIM
Syariah menjadi 84-94% dengan memperluaspendanaan
perbankan, termasuk pinjaman luar negeri secara pruden.
Ketentuan rasio Loan to Value/Financing to Value (LTV/FTV)
juga dilonggarkan menjadi rata-rata 5-10% untuk mempermudah
kepemilikan rumah dan kendaraan, termasuk yang ramah
lingkungan. Selain aspek prudensial, kebijakan mendorong
intermediasi juga diimbangi dengan kebijakan menjaga kecukupan
permodalan dan likuiditas yang memadai. Bank Indonesia
mempertahankan kebijakan Countercyclical Buffer (CCB) pada level
0% dan Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM) pada level 4%.
Perumusan kebijakan tersebut didukung pula oleh sinergi dan
koordinasi yang semakin kuat antara Bank Indonesia dengan
anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) dalam menjaga
stabilitas sistem keuangan di 2019. Di level internasional, sinergi,
dan koordinasi diwujudkan melalui peran aktif Bank Indonesia dalam
berbagai forum kerjasama internasional (fora internasional) di
sektor keuangan.
Referensi
Bank Indonesia. 2020. Kajian Stabilitas Sistem Keuangan. No. 34,
Maret 2020
BAB XII
B. Pendahuluan
Pada bahasan ini, akan dijelaskan mengeai kondisi stabilitas
sistem keuangan Indonesia di tengah meningkatnya ketidakpastian
global yang berlangsung sejak tahun lalu. Di sektor perbankan,
risiko likuiditas dan risiko kredit terkendali, rasio modal bank tetap
memadai, ditopang oleh profitabilitas terjaga. Di pasar keuangan,
dinamika pasar keuangan global yang membaik sejak awal tahun
juga mendorong meningkatnya stabilitas di pasar keuangan
domestik sejalan dengan meningkatnya arus modal masuk.
C. Capaian Pembelajaran
Memberikan mahasiswa gambaran mengenai tantangan dan
arah kebijakan sistem keuangan di Indonesia. Secara lebih rinci,
Capaian Pembelajaran diharapkan mahasiswa dapat memahami dan
menjelaskan:
1. Pemulihan ekonomi dunia pasca Covid-19
2. Resiko stabilitas keuangan
3. Perkembangan sistem keuangan
4. Tantangan dan peluang sistem keuangan dalam menghadapi
ketidakpastian global
E. Materi Perkuliahan
1. Covid-19 Menahan Pemulihan Perekonomian Dunia dan
Domestik
Keyakinan pelaku ekonomi terhadap prospek pemulihan
ekonomi dunia sempat menguat pada akhir 2019 sejalan dengan
penurunan ketegangan dagang AS-Tiongkok. Pelaku ekonomi
meyakini bahwa penandatanganan kesepakatan dagang tahap 1
antara AS dan Tiongkok pada Januari 2020 akan memperkuat
optimisme dan berdampak positif bagi pemulihan perekonomian
global. Optimisme pelaku ekonomi tersebut juga tercermin dari
sejumlah indikator dini ekonomi global dan perkembangan pasar
keuangan. Indeks manufaktur, indeks pemesanan ekspor, indeks
produksi, dan indeks keyakinan pelaku ekonomi cenderung
membaik pada akhir 2019 dan awal 2020.
Sedangkan di pasar keuangan, perbaikan sentimen investor
global, menopang penurunan persepsi isiko pasar keuangan negara
berkembang ke level terendah dalam lima tahun terakhir, serta
mendorong aliran modal dan apresiasi mata uang negara
berkembang.
Gambar 12.1 Indikator Keyakinan Bisnis Global
(Sumber: Bloomberg, Diolah)
F. Rangkuman
Optimisme pemulihan ekonomi global yang sempat menguat
pada akhir 2019 berubah akibat COVID-19. Perekonomian dunia
melemah akibat penyebaran COVID-19 yang sangat cepat di
Tiongkok dan penularannya meluas ke penduduk berbagai negara
pada Triwulan I 2020, sehingga ditetapkan menjadi pandemi global.
Prospek pertumbuhan ekonomi dunia juga menurun akibat
terganggunya rantai pasokan global dan menurunnya permintaan
dunia, disamping upaya drastis pencegahan penyebaran COVID-19
yang menyebabkan penghentian mendadak aktivitas ekonomi di
banyak negara. Kondisi tersebut berimbas pada penurunan harga
komoditas secara signifikan dan menyebabkan ketidakpastian yang
tinggi di pasar keuangan global serta meningkatkan volatilitas
aliran dana di negara berkembang. Dalam waktu singkat,
dampaknya terhadap perekonomian Indonesia juga telah dirasakan,
baik melalui jalur perdagangan, pariwisata, dan investasi. Tekanan
terhadap perekonomian domestik 2020 semakin tinggi, setelah
COVID-19 juga menyebar di Indonesia. Mencermati kondisi
tersebut, Bank Indonesia memprakirakan pertumbuhan ekonomi
domestik pada 2020 akan menurun. Di tengah tantangan global dan
domestik yang meningkat, stabilitas sistem keuangan Indonesia
diprakirakan tetap terjaga ditopang ketahanan perbankan. Kendati
demikian, ekspansi
kredit baru di paruh pertama 2020 masih akan terbatas dan risiko
kredit berpotensi meningkat sebagai dampak COVID-19.
Kondisi ini sejalan dengan kinerja korporasi yang semakin
tertekan akibat melemahnya volume perdagangan dunia,
terganggunya rantai produksi global, depresiasi nilai tukar Rupiah,
serta menurunnya permintaan domestik. Upaya memutus rantai
penularan COVID-19 berimbas pada penurunan produksi dan
aktivitas ekonomi, penurunan permintaan tenaga kerja,
tertahannya pendapatan, dan konsumsi sehingga dapat mengurangi
permintaan domestik. Meningkatnya ketidakpastian tersebut
mendorong investor menyesuaikan portofolionya sehingga
menyebabkan aliran dana keluar dan menekan nilai tukar Rupiah.
Apabila imbas dari penyebaran COVID-19 terus berlanjut maka
risiko kredit korporasi dan RT akan lebih besar karena akan
menyebar ke banyak sektor dan berpotensi menekan kinerja
industri keuangan, terutama perbankan.
Untuk mengantisipasi tekanan terhadap perekonomian dan
stabilitas keuangan domestik yang berpotensi semakin meningkat
seiring meluasnya dampak pandemi COVID-19, Bank Indonesia telah
menempuh bauran kebijakan dan ditempuh dalam koordinasi yang
sangat erat dengan Pemerintah dan OJK. Presiden bahkan telah
menandatangani Perppu No. 1 tahun 2020 tentang Kebijakan
Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk
Penanganan Pandemi COVID-19 dan/atau Dalam Rangka
Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian
Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan. Bank Indonesia akan
terus memperkuat koordinasi dan sinergi kebijakan dengan
Pemerintah, OJK serta LPS untuk menjaga stabilitas makroekonomi
dan sistem keuangan, serta mempertahankan momentum
pertumbuhan ekonomi. Di tingkat internasional, kerjasama dan
koordinasi dengan otoritas moneter negara lain juga diperkuat,
baik untuk mendukung kecukupan likuiditas valuta asing di pasar
domestik, maupun saling bertukar pandangan mengenai kondisi
sistem keuangan dan respons kebijakan yang telah diambil.
G. Pertanyaan untuk Latihan
1. Apakah covid-19 ini mengaganggu stabilitas sistem
keuangan indonesia? dan apa upaya yang di lakukan BI dan
instansi terkait untuk menjaga stabilitas sistem keuangan
Indonesia?
2. Dalam kebijakan BI untuk mendorong Green financing sebagai
dukungan terhadap sektor dengan resiko minimal melalui
insentif sebagi instrumen yg digunakan. Jika disesuaikan dengan
kondisi saat ini, apakah kebijakan ini masih dilaksanakan oleh BI
sebagai alternatif pembiayaan?
3. Berkaitan dengan Bank Indonesia dalam perkuat pengawasan di
Tengah Geliat Fintech seperti yang kita ketahui bebagai upaya
yang di lakukan oleh Bank Indonesia khususnya di berbagai
aspek. Bagaimana penguatan infrastruktur pengawas dalam
pengembangan sistem penunjang pengawasan di Bank
Indonesia?
4. Saat ini sistem keuangan banyak yg berbasis online dan
menjadikan segalanya lebih mudah, dan juga sekarang banyak
yang menawarkan kredit online, namun banyak kasus tentang
rentenir dari kredit online yang secara agresif dalam penagihan
pinjaman, apakah OJK sebagai lembaga yang mengawasi sistem
keuangan di Indonesia telah mengawasi sistem kredit online
tersebut?
5. Keamanan siber menjadi salah satu hal penting di era teknologi
saat ini. Perusahaan termasuk perbankan bahkan menjadikan
keamaan siber fokus utama dalam bisnis. Ini tercermin dari
seberapa besarnya kerugian yang dapat dialami oleh perbankan
karena kurangnya perhatian dalam aspek keamanan informasi
teknologi (IT) tersebut. Apakah sistem keamanan siber yang
ideal seperti apa yang cocok diterapkan oleh perbankan di
Indonesia?
6. Dalam kebijakan fiskal Indonesia yaitu dimana selain
mengupayakan agar penerimaan perpajakan tercapai, juga
meningkatkan kemudahan berusaha dan daya saing global.
Lantas, bagaimana arah dan strategi pemerintah dalam
merealisasikan hal tersebut?
7. Meningkatnya kecenderungan globalisasi sektor finansial yang
didukung oleh perkembangan teknologi menyebabkan sistem
keuangan menjadi semakin terintegrasi tanpa jeda waktu dan
batas wilayah. inovasi produk keuangan juga semakin dinamis
dan beragam dengan kompleksitas yang semakin tinggi. Strategi
apa yg harus dilakukan pemerintah untuk mengatasi
ketidakstabilan sistem keuangan tersebut?
8. Akhir-akhir ini perkembangan layanan keuangan digital terus
berlangsung di Indonesia. Bagaimana cara memanfaatkan
perkembangan layanan keuangan digital ini dengan sebaik-
baiknya untuk mendukung fungsi sistem keuangan dan
meningkatkan customer experience di Indonesia?
9. Pada saat ini sustem pembayaran perlahan mulai beralih ke
sistem pembayaran secara online, hal tersebut efektif untuk
mempermudah dan mempercepat sistem pembayaran di
masyarakat, namun yang menjadi kendala nya adalah masih
banyak masyarakat yang belum mengerti dalam
menggunakan/melakukan pembayaran secara online, apa
langkah yang harus ditempuh oleh pemerintah dan yang efektif
dalam mengatasi hal ini?
10.Kebijakan apa yang tepat dilakukan oleh perbankan dalam
memitigasi risiko siber di Indonesia?
Referensi
Bank Indonesia. 2020. Kajian Stabilitas Sistem Keuangan. No. 34,
Maret 2020
Bloomberg, 2020, New Economic Forum: When Will the Economy
Will Recovery.
IHS Markit. 2019. Price Market Indicator.
BAB XIII
B. Pendahuluan
Bab ini akan membahas perkembangan neraca pembayaran
Indonesia (NPI) yang menunjukkan peningkatan keseimbangan
eksternal perekonomian dan stabilitas makroekonomi dengan
memperhatikan kinerja transaksi berjalan dan transaksi modal dan
finansial. Bahasan akan dilengkapi dengan faktor-faktor yang
memengaruhi hasil defisit atau surplus dari kinerja transaksi
tersebut. Transaksi berjalan akan menjelaskan perkembangan
neraca perdagangan barang (Nonmigas & Migas), neraca
perdagangan jasa, neraca pendapatan primer, neraca pendapatan
sekunder. Transaksi modal dan finansial akan membahas hasil dari
investasi langsung, portofolio, dan lainnya. Selain itu, pembahasan
akan meliputi indikator sustainabilitas eksternal dan prospek dari
neraca pembayaran Indonesia.
C. Capaian Pembelajaran
Memberikan penjelasan kepada mahasiswa tentang gambaran
perkembangan neraca pembayaran Indonesia dan prospeknya.
Secara rinci Capaian Pembelajaran agar mahasiswa dapat
memahami dan menjelaskan tentang:
1. Perkembangan Neraca Pembayaran Indonesia
2. Transaksi Berjalan
3. Transaksi Modal dan Finansial
4. Indikator Sustainabilitas Eksternal
5. Prospek Neraca Pembayaran Indonesia
E. Materi Pekuliahan
1. Perkembangan Neraca Pembayaran Indonesia Triwulan IV
Tahun 2019
Di tengah perlambatan perekonomian dunia, kinerja Neraca
Pembayaran Indonesia (NPI) triwulan IV 2019 membaik sehingga
dapat terus menopang ketahanan eksternal Indonesia. Perbaikan
kinerja NPI tersebut ditopang oleh surplus neraca transaksi modal
dan finansial yang meningkat dan defisit neraca transaksi berjalan
yang tetap terjaga. Menurunnya ketidak pastian di pasar keuangan
global dan harga komoditas ekspor yang meningkat turut
mendukung perbaikan NPI triwulan IV 2019 sehingga mencatat
surplus USD4,3 miliar, membaik dibandingkan NPI pada periode
sebelumnya yang mencatat defisit sebesar USD46 juta. Sejalan
dengan perkembangan NPI tersebut, posisi cadangan devisa pada
akhir triwulan IV 2019 tercatat sebesar USD129,2 miliar, setara
dengan pembiayaan 7,6 bulan impor atau 7,3 bulan impor dan
pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas
standar kecukupan internasional sebesar 3 bulan impor (Gambar
13.1).
Transaksi Berjalan
Transaksi berjalan pada triwulan IV 2019 mencatat defisit
USD8,1 miliar (2,84% dari PDB), lebih tinggi dari defisit triwulan III
2019 sebesar USD7,5 miliar (2,60% dari PDB). Meningkatnya defisit
tersebut dipengaruhi oleh bertambahnya defisit neraca perdagangan
migas, di tengah perbaikan kinerja neraca perdagangan nonmigas,
neraca jasa, neraca pendapatan primer, dan neraca pendapatan
sekunder (Gambar 13.3).
Defisit neraca perdagangan migas yang meningkat pada
triwulan IV 2019 didorong oleh kenaikan impor migas di tengah
kinerja ekspor migas yang relatif stabil. Kondisi ini dipengaruhi oleh
peningkatan impor minyak yang signifikan baik dalam bentuk
minyak mentah maupun produk minyak sejalan dengan kenaikan
permintaan pada periode perayaan natal dan tahun baru. Sementara
itu, kinerja neraca perdagangan nonmigas membaik didorong oleh
penurunan impor nonmigas (1,1% qtq) yang melampaui penurunan
ekspor nonmigas (0,7% qtq). Kinerja ekspor nonmigas didukung oleh
kontraksi yang lebih rendah pada total ekspor sepuluh komoditas
utama, antara lain karena perbaikan ekspor riil dan harga,
khususnya minyak nabati dan barang darlogam tidak mulia.
Adapun penurunan defisit neraca jasa disebabkan oleh surplus jasa
perjalanan yang meningkat dipengaruhi oleh pengeluaran
wisatawan nasional (wisnas) selama kunjungan ke luar negeri yang
lebih rendah setelah berakhirnya pelaksanaan kegiatan ibadah haji.
Kinerja neraca pendapatan primer dan neraca pendapatan
sekunder juga membaik sehingga mampu menahan peningkatan
defisit transaksi berjalan lebih lanjut. Penurunan defisit neraca
pendapatan primer terutama dipengaruhi oleh meningkatnya
penerimaan pendapatan investasi langsung di tengah pembayaran
bunga pinjaman terkait investasi lainnya yang meningkat.
Untuk keseluruhan tahun 2019, defisit transaksi berjalan
tercatat sebesar USD 30,4 miliar (2,72% dari PDB), lebih rendah
dibandingkan defisit tahun sebelumnya yang mencapai USD30,6
miliar (2,94% dari PDB). Perbaikan neraca transaksi berjalan tersebut
didukung oleh neraca perdagangan barang yang mencatat surplus,
membaik dibandingkan tahun sebelumnya yang mengalami defisit.
Kebijakan pemerintah untuk melakukan pengendalian impor
beberapa komoditas tertentu yang diterapkan sejak akhir 2018
serta masih melemahnya permintaan sebagai dampak dari
moderasi pertumbuhan ekonomi domestik mendorong turunnya
impor migas dan nonmigas. Kontraksi impor tersebut lebih dalam
dari kontraksi ekspor akibat perlambatan ekonomi global dan
koreksi harga komoditas ekspor Indonesia. Selain itu,
meningkatnya surplus neraca pendapatan sekunder turut
memperbaiki kinerja transaksi berjalan.
Gambar 13.3 Transaksi Berjalan (Sumber: Bank Indonesia)
Ekspor Nonmigas
Ekspor nonmigas triwulan IV 2019 tercatat sebesar USD40,4
miliar, atau terkontraksi 0,7% (qtq) berbalik arah dibandingkan
dengan ekspor nonmigas triwulan III 2019 yang tumbuh cukup tinggi
9,1% (qtq) (Grafik 5). Kontraksi tersebut dipengaruhi penurunan
ekspor produk manufaktur akibat penurunan permintaan.
Secara tahunan, pertumbuhan ekspor nonmigas triwulan IV
2019 mengalami kontraksi 0,3% (yoy), lebih rendah dibandingkan
kontraksi pada periode sebelumnya sebesar 5,6% (yoy).
Perkembangan kinerja ekspor nonmigas tersebut disebabkan oleh
kontraksi ekspor riil yang lebih rendah dan perbaikan harga ekspor
(Tabel 13.1).
Untuk keseluruhan tahun 2019, pertumbuhan ekspor
nonmigas mencatat kontraksi sebesar 4,1% (yoy), berbalik arah
dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang tumbuh positif
sebesar 6,4% (yoy). Kondisi ini dipengaruhi oleh pemburukan ekspor
riil yang terkontraksi semakin dalam dari 0,6% (yoy) pada 2018
menjadi 3,2% (yoy). Selain itu, harga komoditas ekspor juga
menurun dari sebelumnya tumbuh positif 7,1% (yoy) pada 2018
menjadi kontraksi 0,9% (yoy) pada 2019.
Impor Nonmigas
Pada triwulan IV 2019, impor nonmigas (c.i.f) terkontraksi 1,1%
(qtq), sejalan dengan permintaan domestik yang masih menurun
serta terkontraksinya ekspor manufaktur pada triwulan laporan.
Secara tahunan, pertumbuhan impor nonmigas triwulan IV 2019 juga
mengalami kontraksi 8,5% (yoy), lebih dalam dibandingkan kontraksi
triwulan sebelumnya sebesar 6,8% (yoy) (Grafik 6). Perkembangan
ini dipengaruhi oleh kontraksi impor riil yang lebih dalam,
khususnya pada bahan baku dan barang modal di tengah harga
impor yang tumbuh positif didorong oleh kenaikan harga impor
barang modal (Tabel 4). Berdasarkan pangsanya terhadap total
impor nonmigas, penurunan pertumbuhan disebabkan oleh
kontraksi impor bahan baku dan barang modal dengan kontribusi
masing-masing sebesar -8,1% dan -1,6%.
Untuk keseluruhan 2019, kinerja impor nonmigas memburuk
dengan mencatat kontraksi sebesar 6,1% (yoy) dibandingkan dengan
tahun sebelumnya yang mencatat pertumbuhan sebesar 19,6% (yoy).
Kontraksi impor merata pada seluruh kelompok barang seiring
dengan melambatnya permintaan.
Ekspor Minyak
Pada triwulan IV 2019, ekspor minyak terkontraksi 11,4% (qtq)
menjadi sebesar USD1,2 miliar dari USD1,3 miliar pada triwulan
sebelumnya (Tabel 6). Lebih rendahnya kinerja ekspor minyak
terjadi pada ekspor produk kilang sebesar 16,2% (qtq) dan ekspor
minyak mentah sebesar 1,9% (qtq). Penurunan ekspor minyak
mentah disebabkan oleh penurunan volume, sementara penurunan
ekspor produk kilang disebabkan oleh koreksi harga produk kilang.
Penurunan volume ekspor minyak mentah triwulan IV 2019 terjadi
pada saat lifting mengalami peningkatan dibanding triwulan
sebelumnya, yang mengindikasikan lebih besarnya alokasi lifting
minyak mentah untuk memenuhi kebutuhan kilang domestik seiring
dengan kenaikan konsumsi.
Tabel 13.6 Perkembangan Ekspor Minyak
Impor Minyak
Impor minyak triwulan IV 2019 naik 21,4% (qtq) menjadi
USD5,5 miliar dari triwulan sebelumnya sebesar USD4,5 miliar.
Peningkatan impor minyak tersebut terutama didorong oleh
peningkatan volume dan harga impor minyak mentah dan produk
minyak sejalan dengan peningkatan harga minyak dunia.
Meningkatnya volume impor minyak mentah didorong oleh
tingginya permintaan pada akhir tahun 2019 karena libur natal dan
tahun baru. Adapun peningkatan impor produk minyak juga
didorong naiknya impor pertamax seiring dengan adanya
keterbatasan kuota impor premium pada akhir tahun 2019. Selain
itu, meningkatnya konsumsi BBM turut mendorong peningkatan
impor produk minyak sepanjang triwulan laporan.
Untuk keseluruhan tahun 2019, impor minyak terkontraksi
24,8% (yoy). Penurunan terjadi pada impor minyak mentah dan
produk, sejalan dengan turunnya volume serta harga impor. Impor
produk minyak turun signifikan dan terkontraksi sebesar 18,2% (yoy)
sejalan dengan kebijakan Pemerintah dalam melakukan penerapan
Program Biodiesel 20 (B-20) sehingga berhasil mengurangi impor
solar hingga mencapai 90,8% (yoy). Kebijakan substitusi impor juga
berhasil menurunkan impor minyak mentah (Tabel 13.7)
F. Rangkuman
Kinerja NPI tahun 2020 diprakirakan tetap baik sejalan dengan
prospek pertumbuhan ekonomi domestik yang positif dan kondisi
ekonomi global yang membaik, meskipun masih dibayangi oleh
sejumlah risiko geopolitik.
Defisit transaksi berjalan tahun 2020 diprakirakan tetap
terkendali dalam kisaran 2,5-3,0% PDB ditopang oleh prospek
perbaikan ekonomi global sebagai dampak berkurangnya tensi
hubungan dagang antara AS dan Tiongkok, sehingga mendorong
perbaikan pertumbuhan ekonomi di sejumlah negara maju dan
berkembang yang lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya. Di sisi
lain, langkah-langkah pengendalian impor yang ditempuh oleh
Pemerintah bersama Bank Indonesia melalui program substitusi
impor barang migas serta berbagai upaya untuk mendorong
peningkatan ekspor, terutama produk manufaktur, dan
peningkatan peran industri pariwisata diprakirakan turut
membantu mengurangi tekanan defisit transaksi berjalan.
Meningkatnya optimisme perbaikan ekonomi global
diprakirakan berdampak pada menurunnya ketidakpastian pasar
keuangan global sehingga mendorong peningkatan aliran modal
asing ke negara berkembang, termasuk Indonesia. Selain itu, masih
terjaganya keyakinan investor terhadap prospek perekonomian
domestik dan menariknya investasi aset keuangan domestik juga
turut mendorong tingginya aliran masuk modal asing ke Indonesia.
Denganperkembangan tersebut, kinerja transaksi modal dan
finansial pada tahun 2020 diprakirakan akan tetap mencatat
surplus yang tinggi, terutama ditopang oleh meningkatnya aliran
masuk dalam bentuk investasi langsung dan investasi portofolio.
Namun, sejumlah risiko pada perekonomian global masih
tetap perlu diwaspadai, antara lain terkait risiko geopolitik terkait
konflik antara AS dan Iran yang dapat memicu kenaikan harga
minyak berpotensi menurunkan prospek perekonomian global,
sehingga mendorong aliran modal keluar dari negaranegara
berkembang termasuk Indonesia, serta risiko dampak virus Corona
yang dapat memengaruhi arus perdagangan barang internasional
serta penerimaan devisa dari pariwisata pada negara emerging
Asia, termasuk Indonesia terutama dalam paruh pertama 2020.
Ke depan, Bank Indonesia akan terus mewaspadai berbagai
risiko eksternal dan domestik yang dapat memengaruhi kinerja
NPI. Bank Indonesia akan terus mengoptimalkan bauran kebijakan
dan memperkuat koordinasi dengan Pemerintah dan otoritas
terkait, untuk menjaga stabilitas ekonomi dan memperkuat
ketahanan eksternal, termasuk pengendalian defisit transaksi
berjalan dan mempertahankan daya tarik aset keuangan domestik,
guna mendukung kinerja NPI yang lebih baik.
Referensi
Bank Indonesia, 2020. Laporan Neraca Pembayaran Indonesia
Realisasi Triwulan IV Februari 2020, Jakarta.
Atlas of Economic Complexity. 2019. Diakses melalui tautan:
https://atlas.cid.harvard.edu/
Bank Indonesia. 2019. Kajian Ekonomi dan Keuangan Regional:
Laporan Nusantara. Vo. 14. No. 4, November 2019.
Bank Indonesia. 2020. Kajian Ekonomi dan Keuangan Regional:
Laporan Nusantara. Vo. 15. No. 1, Februari 2020.
Bank Indonesia. 2020. Kajian Stabilitas Sistem Keuangan. No. 34,
Maret 2020.
Bank Indonesia, 2020. Laporan Neraca Pembayaran Indonesia
Realisasi Triwulan IV Februari 2020, Jakarta.
BKPM. 2019. Laporan Kegiatan Penanaman Modal. Jakarta.
BPS. 2019. Laporan Perekonomian Daerah. Desember 2019.
BPS. 2019. Berita Resmi Statistik. Juli 2019.
BPS. 2019. Sakernas. Perhitungan Survei Tenaga Kerja Nasional.
Juli 2019.
BPS. 2020. Laporan Triwulanan. Berita Resmi Statistik.
Bloomberg, 2020, New Economic Forum : When Will The Economy
Will Recovery.
IHS Markit. 2019. Price Market Indicator.
IMF. 2019. World Economic Outlook. July 2019. 6th Edition.
Kementerian PPN/Bappenas. 2019. Rancangan Teknokratik:
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-
2024.
Republik Indonesia, 2019. Buku II Nota Keuangan Beserta
Rancangan Anggaran dan Pendapatan dan Belanja Negara
Tahun Anggaran 2020.
WEO, 2019. Still Sluggish Global Growth. Economic Update for
Developing Countries.
World Bank. 2020. Global Economic Prospects. June 2020.
World Economic Forum. 2019. The Global Information Technology
Report 2019. Innovating in the Digital Economy.
Dr. Nairobi, S.E., M.Si merupakan Dekan Fakultas
Ekonomi dan Bisnis Universitas Lampung
periode 2019-2023 sekaligus Dosen di Jurusan
Ekonomi Pembangunan FEB Unila. Penulis
menamatkan pendidikan S-3 Program Doktor
Ilmu Ekonomi di Fakultas Ekonomi dan Bisnis
UGM pada tahun 2014. Penulis memiliki
berbagai pengalaman pekerjaan seperti
Sekretaris pada
Pusat Jasa Ketenagakerjaan Unila tahun 1999 – sekarang, Ketua
Program Diploma III Koperasi FEB Unila tahun 2000 – 2009, dan
Ketua Jurusan Ekonomi Pembangunan FEB Unila 2016 – 2019.
Penulis aktif dalam berbagai kegiatan keilmiahan seperti penelitian,
pengabdian kepada masyarakat, serta menulis artikel pada jurnal
ilmiah bereputasi nasional maupun internasional serta berbagai
surat kabar. Penulis bisa dihubungi melalui email:
dean@feb.unila.ac.id
Arif Darmawan, S.E., M.A merupakan dosen di
Jurusan Ekonomi Pembangunan FEB Unila.
Peraih gelar Master of Arts (M.A) dari
Universitas Marmara di Istanbul untuk bidang
Ekonomi Pembangunan dan Pertumbuhan
Ekonomi dengan beasiswa penuh dari
Pemerintah Turki (2012-2016). Sebelumnya,
penulis bekerja sebagai peneliti utama di
Middle East Development Network (MDN), sebuah lembaga
konsultan internasional yang bergerak dalam bidang diplomasi
publik untuk wilayah Timur Tengah dan Asia Pasifik. Penulis juga
sempat bekerja setelah lulus S-2 sebagai tenaga ahli di Kementerian
PPN/Bappenas pada tahun 2017-2019. Saat ini penulis
sedang menekuni bidang ekonomi publik dan kajian pembangunan
berkelanjutan. Penulis bisa dihubungi melalui email:
arif.darmawan@feb.unila.ac.id
UNIVERSITAS LAMPUNG
EKONOMI DAN BISNIS A-001
ILMU EKONOMI / EKONOMI PEMBANGUNAN / SARJANA
Dr. Nairobi, S.E., M.Si (Dosen Dr. Nairobi, S.E., M.Si Dr. Neli Aida, S.E., M.Si
PJ) Arif Darmawan, S.E., M.A