NIM: 19221781 Asal: Universitas Muhammadiyah Ponorogo
Problematika Kepemimpinan Perempuan
Perkembangan zaman telah mengubah pandangan perempuan di negeri ini. Pandangan yang semula beranggapan bahwa perempuan hanya berperan untuk mengurus rumah telah mengalami perubahan semenjak adanya emansipasi yang memberikan perempuan hak yang setara dengan laki-laki. Hal ini berkat perjuangan perempuan yang diserukan dengan lantang oleh RA. Kartini. Perempuan seringkali dianggap sebagai kelompok kelas dua (subordinat), sehingga kaum perempuan tidak memperoleh persamaan hak dengan kaum laki-laki. Perempuan dianggap hanya bisa melakukan pekerjaan yang berkaitan dengan urusan domestik. Perempuan juga sering dinomorduakan dalam urusan memperoleh hak untuk mengenyam pendidikan seperti kaum laki-laki. Akantetapi, seiring waktu tak sedikit kaum perempuan yang sudah membuktikan bahwa perempuan juga patut diperhitungkan perannya di dalam kehidupan bermasyarakat. Saat ini, peran perempuan sangat dibutuhkan. Hal ini dipengaruhi oleh tuntutan atas nama masyarakat bahwa kemajuan suatu negara tergantung kepada kepedulian negara tersebut untuk memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam segala kegiatan di ruang publik. Perempuan berpotensi besar dalam peradaban bangsa, maka dari itu sangat diperlukan terbukanya akses bagi perempuan untuk berpartisipasi di segala bidang. Perempuan dan laki- laki memiliki posisi yang setara dalam hal bekerja. Sehingga dapat memungkinkan untuk saling bekerja sama dalam berbagai bidang kehidupan. Kualitas perempuan dalam hal bekerja dan berkarya tidak kalah dengan laki-laki, dan tidak dapat dinilai dari segi gender. Kesetaraan antara perempuan dan laki-laki di Indonesia saat ini, juga meliputi kesetaraan untuk menjadi seorang pemimpin dan berpartisipasi dalam dunia politik. Akantetapi, realitanya peran perempuan di sektor politik masih kurang. Hal ini didasarkan pada keterlibatan perempuan di sektor pemerintahan yang masih pada kisaran di bawah 30 %, padahal dalam konstitusi diamanahkan bahwa keterlibatan perempuan di bidang pemerintahan harusnya sebesar 30%, sehingga sangat disayangkan apabila perempuan tidak ikut berperan dalam pembangunan bangsa. Minimnya keterlibatan perempuan di ranah publik khususnya bidang politik disebabkan oleh masih adanya budaya patriarki yang mengakar di pikiran masyarakat yang berkaitan erat dengan ketidaksetaraan gender. Masih ada stereotip yang menganggap perempuan adalah makhluk yang lemah, dan selalu mengutamakan perasaan jika dibanding dengan kaum laki- laki, sehingga ini menjadi penghambat keberlangsungan dan keterlibatan kaum perempuan untuk ikut berpartisipasi di ranah publik. Stigma yang melekat di masyarakat tentang apa yang harus dan tidak dilakukan oleh laki-laki dan perempuan masih banyak terjadi hingga saat ini. Diskriminasi berbasis gender masih menjadi hal yang lumrah. Untuk itu, Kesetaraan gender sangat diperlukan untuk menjamin hak-hak perempuan yang selama ini dikesampingkan. Stigma mengenai perempuan yang harus berada dalam urusan “sumur, dapur, kasur” memupus kesempatan kaum perempuan untuk melebarkan sayapnya di berbagai bidang yang diinginkan. Pola pikir ini yang harus diubah. Tidak ada salahnya seorang perempuan memilih menjadi ibu rumah tangga, selain menjadi wanita karir. Semua pilihan baik adanya jika dilakukan dengan rasa bangga dan tanggung jawab sebagai perempuan. Perempuan juga berhak bergerak ke arah kemajuan. Perempuan memiliki hak yang sama dalam mengambil peran di berbagai bidang seperti kaum laki-laki, namun bukan berarti perempuan melepaskan kewajiban feminisnya. Dengan kata lain, perempuan bisa menjadi seorang wanita karir tanpa meninggalkan kodratnya sebagai seorang perempuan. Dan tentunya dalam menyeimbangkan kedua peran ini jelas tidak mudah.