RANCANGAN
PERATURAN DAERAH
TENTANG
PENCEGAHAN DAN PENANGANAN PORNOGRAFI
halaman
DAFTAR ISI ............................................................................... i
KATA PENGANTAR ................................................................... iv
i
5. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008
tentang Pornografi) ....................................................
38
6. Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun
2011 tentang Pembinaan, Pendampingan,
dan Pemulihan Terhadap Anak Yang
Menjadi Korban Pornografi ........................................
40
7. Peraturan Pemerintah Nomor Nomor 5
Tahun 2014 tentang Syarat dan Tata Cara
Perizinan Pembuatan, Penyebarluasan,
Dan Penggunaan Produk Pornografi .......................... 42
ii
KATA PENGANTAR
A. Latar Belakang
Pornografi adalah perbuatan yang berdampak negatif terhadap
perilaku generasi muda dan bahkan kalangan anak-anak. Tanpa kita
sadari, aksi pornografi saat ini telah merambah keseluruh wilayah tanah
air hingga ke pelosok desa, dan dampaknya telah merusak generasi muda
bahkan di kalangan anak-anak. Pornografi menjadi permasalahan,
karena pada dasarnya merupakan sebuah bentuk kejahatan terhadap
nilai-nilai kemanusiaan dan berpotensi menimbulkan masalah-masalah
sosial. Pornografi secara sengaja telah merendahkan dan melecehkan
harkat dan martabat kaum perempuan. Pengumbaran ketelanjangan baik
sebagaian ataupun penuh dan pengumbaran gerakan-gerakan erotis serta
peredarannya secara terbuka baik dalam bentuk cetak maupun
elektronik, menempatkan perempuan hanya sebagai objek seks yang
sangat direndahkan.
Dewasa ini perkembangan teknologi informasi dan komunikasi
demikian pesatnya, yang membawa dampak positif sekaligus dampak
negative. Kemudahan komunikasi dan penyebaran informasi menjadi
sangat mudah, hal ini sekaligus memudahkan meluasnya penyebaran
pornografi melalui media elektronik, termasuk media online. Pornografi
saat ini menjadi konsumsi pengguna internet dari segala usia, yang
dengan mudahnya dapat melintas batas ruang dan waktu. Sehingga
mengakibatkan datangnya ancaman besar bagi generasi muda, dan ini
dapat dilihat dengan kasat mata, yang akibatnya dapat menghancurkan
masa depan generasi muda sekaligus masa depan bangsa. Lahirnya
budaya prilaku sexs bebas, pelanggaran seksual dan penyimpangan
seksual yang tidak lagi mengindahkan norma-norma agama. Perilaku sex
bebas ini menunjukan rusaknya moral yang berimbas pada aborsi dan
pelacuran. Begitunya dengan penyebaran penyakit menular yang
diakibatkan dari pergaulan bebas.
1
Burhan Bungin, Erotika Media Massa, (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2001), hal 6-7.
Naskah Akademik Peraturan Daerah tentang 2
Pencegahan dan Penanganan Pornografi
Saat ini upaya untuk pencegahan penyebaran dan perbuatan
pornografi, lebih ditekankan pada upaya represif yaitu dengan
pendekatan hukum pidana yang dijalankan oleh Kepolisian, Kejaksaan,
Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan dengan cara memproses
pelaku-pelaku tindak pidana pornografi dan menjatuhi sanksi pidana.
Tetapi pada faktanya, upaya tersebut tidak menimbulkan efek jera pada
masyarakat, oleh karena itu diperlukan upaya lain selain dari upaya
hukum untuk penanggulangan dan pencegahan kejahatan pornografi,
utamanya penyebaran pada anak-anakremaja dan anak-anak sekolah.
Masalah pornografi merupakan masalah lama yang belum dapat
ditanggulangi oleh ketentuan-ketentuan yang terdapat Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (wetbook van strafrecht voor Nederlands Indie)
yang disingkat KUHP dan berlaku di Indonesia sejak masa pemerintahan
Hindia Belanda. Setelah Indonesia merdeka, KUHP diberlakukan
berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 jo Undang-Undang
Nomor 73 Tahun 1958.
Dalam Pasal 281, Pasal 282, Pasal 283, Pasal 532 dan Pasal 533
Kitab Undang-Undang Pidana (KUHP) telah mengatur masalah tersebut,
namun kenyataannya ketentuan-ketentuan itu sangat kurang efektif
tidak seperti yang diharapkan. Merebaknya pornografi dipicu oleh
semakin agresifnya media massa menyajikan visualisasi pornografi.
Selain itu para model (aktris) ikut melakukan tindakan yang bersifat
pidana pornografi sebagai konsumsi publik. Tidaklah heran jika para
remaja banyak yang terobsesi berpakaian seksi layaknya para aktris di
media massa, seperti pakaian mini dan seronok tanpa sedikitpun
memperhatikan aspek akhlak yang sepatutnya dipenuhi oleh setiap
individu.
Pornografi adalah gambar-gambar perilaku pencabulan yang lebih
banyak menonjolkan tubuh dan alat kelamin manusia.2 Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia pornografi adalah penggambaran tingkah laku
secara erotis dengan lukisan atau tulisan untuk membangkitkan nafsu
2
Burhan Bungin, Pornomedia: Sosiologi Media, Konstruksi Sosial Teknologi Telematika dan Perayaan Seks
di Media Massa, Jakarta, Kencana, 2005, hlm 124.
Naskah Akademik Peraturan Daerah tentang 3
Pencegahan dan Penanganan Pornografi
birahi; bahan bacaan yang dengan sengaja dan semata-mata dirancang
untuk membangkitkan nafsu birahi dalam seks.3
Ditinjau dari hukum Islam pendapat tersebut sangat tidak sesuai,
karena hukum Islam telah mengatur secara tegas cara orang memelihara
tubuh seperti yang diatur dlam surat An-Nur ayat 30 dan ayat 31. Tubuh
menurut ajaran Islam merupakan amanah Allah SWT yang wajib
dipelihara oleh setiap insan dalam rangka memelihara kehormatan Islam
secara tegas menuntun, membimbing, mengarahkan dan menentukan
manusia dalam memperlakukan dan memanfaatkan tubuh agar terjaga
kehormatan, derajat dan martabat diri, baik dalam keluarga masyarakat
dan bangsa, untuk mencapai kebahagiaan hidup dan kehidupan di dunia
dan di akhirat kelak.
Fenomena pornografi di Indonesia khususnya di Jawa Barat telah
melampaui toleransi dan akhlak bangsa. Namun penyelesaian terhadap
masalah pornografi belum sesuai dengan apa yang diharapkan. Kesulitan
untuk meredam pornografi dalam masyarakat karena lemahnya dalam
merespon tindakan yang mengarah kepada pornografi. Memerangi
pornografi bukan hanya tugas pemerintah saja, namun keluarga (orang
tua) memiliki peranan yang sangat vital sebagai mediator untuk
mencegah pornografi. Begitu juga peranan dari pemuka agama dan tokoh
masyarakat untuk ikut membentuk moral masyarakat secara umum.
Secara umum penyebaran pornografi di Indonesia khususnya di
Jawa Barat sudah sangat mengkhawatirkan. Saat ini, anak-anak dan
remaja banyak terpapar oleh konten-konten pornografi dari berbagai
media. Berbagai macam acara televisi swasta yang menyuguhkan
berbagai acara yang menjurus ke arah pornografi, penyebaran film-film
porno dalam cakram padat dan mudahnya mengakses situs-situs porno
yang dapat di akses melalui komputer dan telepon genggam menjadi
persoalan yang harus dihadapi dalam mencegah penyebaran pornografi.
3
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta,
Balai Pustaka, 1990, hlm 696.
Naskah Akademik Peraturan Daerah tentang 4
Pencegahan dan Penanganan Pornografi
Guna mencegah penyebaran pornografi dan pornoaksi di Jawa
Barat dan menanggulangi persoalan tersebut di atas, diperlukan
pengaturan pencegahan bahaya pornografi.
Pengaturan ini dimaksudkan untuk menjadi pijakan hukum bagi
Pemerintah Daerah, lembaga sosial, lembaga pendidikan, lembaga
keagamaan, keluarga, dan/atau masyarakat wajib dalam pencegahan dan
penanggulan pornografi.
Peraturan Daerah ini memuat pengaturan mengenai kewenangan
Pemerintah Daerah dalam melakukan pencegahan dan penanggulangan
pornografi, pembentukan tim adhoc. Pengaturan lain yang diatur dalam
Peraturan Daerah ini juga mengenai pembuatan, penyebarluasan,
dan/atau penggunaan produk pornografi untuk tujuan dan kepentingan
pendidikan dan pelayanan kesehatan melalui media teknologi informasi
dan komunikasi. Selain itu juga mengatur tentang pembinaan,
pendampingan, pemulihan, dan peran serta masyarakat dalam
pencegahan dan penanggulangan pornografi.
Atas dasar hal tersebut, berkaitan dengan penyusunan Rancangan
Peraturan Daerah tentang Pencegahan dan penanggulan Pornografi dan
pornoaksi, sebelumnya perlu mendapat pencermatan yang mendalam dan
komprehensif mengenai teori atau pemikiran ilmiah yang berkaitan
dengan materi muatan Rancangan Peraturan Daerah dalam bentuk
penyusunan Naskah Akademis, dengan harapan Pemerintah Daerah
mampu menerjemahkan kebijakan pemerintah yang telah disusun
kedalam bentuk peraturan daerah.
Berdasarkan uraian di atas, perlu melakukan perlu melakukan
kajian dalam bentuk Naskah Akademik Peraturan Daerah tentang
Pencegahan dan Penanganan Pornografi.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang, maka dalam kajian ini ada
beberapa masalah yang dirumuskan dan dicarikan penyelesaiannya
secara ilmiah. Pembatasan masalah yang akan diteliti yaitu:
D. Metode Penelitian
Naskah Akademik sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 1 angka
11 UU Nomor 12 Tahun 2011 telah diuraikan di atas terkait dengan
penyusunan Peraturan Daerah tentang Pencegahan dan Penanganan
Pornografi adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan
4
Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Banyumedia, Malang, 2007, hlm. 299.
5
Johannes Gunawan, Bahan Kuliah Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, Program Pascasarjana Doktor
Ilmu Hukum, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, 2011.
6
Ibid.
Naskah Akademik Peraturan Daerah tentang 8
Pencegahan dan Penanganan Pornografi
satu disiplin ilmu dan didominasi oleh ilmu tersebut.7 Dengan demikian
disiplin ilmu lain hanyalah berfungsi sebagai pembantu atau
pendukung.8 Penelitian interdisipliner dan multidisipliner di satu pihak
menunjukkan pada keterbatasan tiap disiplin ilmu, tetapi di lain pihak
juga membuktikan adanya interdependensi fungsional yang timbal balik
antar pelbagai (metode penelitian dari) disiplin ilmu. Dengan adanya
interdependensi antar pelbagai disiplin ilmu (termasuk metodenya), maka
akan diperoleh suatu reliabilitas/keterandalan pengetahun yang bersifat
holistik (paripurna).9
Johannes Gunawan menyatakan bahwa penelitian hukum tidak
dapat lagi hanya menggunakan satu metode saja, tetapi dibutuhkan
kombinasi dari pelbagai metode penelitian. Sebagaimana dikemukakan
oleh Sunaryati Hartono, metode multidisipliner yaitu metode yang
menggunakan logika lebih dari satu cabang ilmu hukum, metode
interdisipliner yaitu metode yang membutuhkan verifikasi dan bantuan
dari disipliner ilmu lainnya.10 Demikian pula halnya yang oleh Johannes
Gunawan disebut metode multidisipliner dan interdisipliner.Metode
multidisipliner adalah metode yang menggunakan cara berpikir (logika)
dari pelbagai ilmu lain atau sebagaimana dikemukakan Soerjono
Soekanto dengan menyatakan bahwa pada penelitian multidisipliner,
beberapa ilmu pengetahuan dengan metodologi masing-masing,
menterapkan penelitian terhadap suatu obyek yang sama.11 Sedangkan
metode interdisipliner adalah metode gabungan yang menggunakan
verifikasi dan bantuan ilmu lain12 atau sebagaimana dikemukakan Jean
Piaget dengan menyatakan: “… two sorts of inquiry, one relating to
7
Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum Di Indonesia Pada Akhir Abad Ke-20, Penerbit Alumni, Bandung,
1994, hlm. 176.
8
Ibid.
9
Ibid,, hlm. 177.
10
SIbid,, hlm. 124.
11
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), Jakarta, 2010,
hlm. 11.
12
Johannes Gunawan, Supra note 61.
Naskah Akademik Peraturan Daerah tentang 9
Pencegahan dan Penanganan Pornografi
common structures or mechanisms and the other to common methods,
although both sorts may of couse be involved equally.”13
K. Bertens membedakan antara pendekatan multidisipliner dan
pendekatan interdisipliner. K. Bertens menyatakan bahwa pendekatan
multidisipliner adalah usaha pembahasan tentang tema yang sama oleh
pelbagai ilmu, sehingga semua ilmu itu memberikan sumbangannya yang
satu di samping yang lain.14 Dalam pendekatan multidisipliner sekat-
sekat pemisah antara ilmu-ilmu tetap dipertahankan. Dengan demikian,
setiap ilmu akan berusaha memberi penjelasan yang dapat dipahami juga
oleh ilmuwan-ilmuwan dari bidang lain, sehingga sesuai pembicaraan
para ilmuwan bersangkutan telah menyoroti tema itu dari pelbagai segi.
Tapi perspektif setiap ilmu tetap dipertahankan dan tidak melebur
dengan perspektif-perspektif ilmiah yang lain.
Pendekatan interdisipliner K. Bertens adalah kerjasama antara
beberapa ilmu tentang tema yang sama dengan maksud mencapai suatu
pandangan terpadu.15 Pendekatan interdisipliner dijalankan dengan cara
lintas disiplin. Dalam pendekatan interdisipliner semua ilmu yang ikut
serta meninggalkan sudut pandang yang terbatas, sehingga melebur ke
dalam satu pandangan yang menyeluruh.
Metode penelitian Naskah Akademik penyusunan Peraturan Daerah
tentang Pecegahan dan Penanganan Pornografi ini berdasarkan UU
Nomor 12 Tahun 2011 dan pendapat beberapa ahli yang telah diuraikan
di atas, menggunakan metode penelitian multidisipliner, dengan titik
tolak dan dominasi disiplin ilmu hukum, karena sebagaimana
diamanatkan dalam Pasal 1 angka 11 UU Nomor 12 Tahun 2011 adalah
naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian
lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah
13
Jean Piaget, General Problems of Interdisciplinary Research and Common Mechanism: Main Trends of
Research in the social and Human Sciences, Part One: Social Sciences, the Hague: Mouton/Unesco, 1970.
14
K. Bertens, Etika, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2011, hlm. 290.
15
K. Bertens, Id, hlm. 291.
Naskah Akademik Peraturan Daerah tentang 10
Pencegahan dan Penanganan Pornografi
tersebut dalam Peraturan Daerah sebagai solusi terhadap permasalahan
dan kebutuhan hukum masyarakat.
Penelitian hukum dapat dilakukan melalui metode yuridis normatif
dan metode yuridis empiris. Metode yuridis empiris dikenal juga dengan
penelitian sosiolegal. Metode yuridis normatif dilakukan melalui studi
pustaka yang menelaah (terutama) data sekunder yang berupa Peraturan
Perundang-undangan, putusan pengadilan, perjanjian, kontrak, atau
dokumen hukum lainnya, serta hasil penelitian, hasil pengkajian, dan
referensi lainnya. Metode yuridis normatif dapat dilengkapi dengan
wawancara, diskusi (focus groupdiscussion), dan rapat dengar pendapat.
Metode yuridis empiris atau sosiolegal adalah penelitian yang diawali
dengan penelitian normatif atau penelaahan terhadap Peraturan
Perundang-undangan (normatif) yang dilanjutkan dengan observasi yang
mendalam serta penyebarluasan kuesioner untuk mendapatkan data
faktor nonhukum yang terkait dan yang berpengaruh terhadap Peraturan
Perundang-undangan yang diteliti.
Penggunaan metode penelitian multidisipliner ini dengan alasan
sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa permasalahan pengelolaan
keuangan negara atau daerah dan perusahaan daerah merupakan suatu
sistem dinamika yang multikompleks, maka pertimbangan berbagai aspek
secara ilmiah perlu dipertemukan melalui pendekatan lintas sektoral dan
pendekatan multidisipliner dan interdisipliner. Oleh karena itu, sesuai
dengan pendapat K. Bertens, metode yang digunakan dalampendekatan
multidisipliner ini merupakan kontribusi dari sudat pandang dari masing-
masing perspektif pelbagai ilmu yang masing-masing menulis sesuai
dengan keahliannya, sehingga yang dihasilkan hanyalah pendekatan dari
berbagai arah yang dipusatkan pada tema yang sama.
A. Umum
Bab ini sebagaimana amanat UU Nomor 12 Tahun 2011 memuat
uraian mengenai materi yang bersifat teoretis, asas, praktik,
perkembangan pemikiran, serta implikasi sosial, politik, dan ekonomi,
keuangan negara dari pengaturan dalam suatu Undang-Undang,
Peraturan Daerah Provinsi, atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.Bab
ini berdasarkan UU Nomor 12 Tahun 2011 dapat diuraikan dalam
beberapa sub bab berikut:
A. Kajian teoretis.
B. Kajian terhadap asas/prinsip yang terkait dengan penyusunan
norma.
Analisis terhadap penentuan asas-asas ini juga memperhatikan
berbagai aspek bidang kehidupan terkait dengan Peraturan
Perundang-undangan yang akan dibuat, yang berasal dari hasil
penelitian.
C. Kajian terhadap praktik penyelenggaraan, kondisi yang ada, serta
permasalahan yang dihadapi masyarakat.
D. Kajian terhadap implikasi penerapan sistem baru yang akan diatur
dalam Undang-Undang atau Peraturan Daerah terhadap aspek
kehidupan masyarakat dan dampaknya terhadap aspek beban
keuangan negara.
B. Kajian Teoritis
Kata porno dan pornografi sudah tidak asing bagi kita semua,
namun definisi dari pornografi itu sendiri tidak jelas karena ragam
budaya dan juga adat istiadat yang berbeda-beda menjadikan definisi
pornografi juga berbeda juga. Banyak seniman yang mengekspresikan ide
mereka dalam banyak bentuk karya seni, namun kadang sesuatu yang
dianggap seniman sebagai karya seni, bagi masyarakat umum bukan
16
Topo Santoso, Seksualitas dan Hukum Pidana, Jakarta: Ind-Hill-Co, 1997, hal. 145.
Naskah Akademik Peraturan Daerah tentang 13
Pencegahan dan Penanganan Pornografi
Tayangan iklan di media elektronik atau media cetak juga seringkali
menggumbar eksostisme dari tubuh perempuan untuk menarik minat
masyarakat yang melihatnya untuk membeli produk yang ditawarkan.
Dalam hal ini bisa dikatakan bahwa pornografi atau pornoaksi adalah
sesuatu yang dapat dijual kepada masyarakat. Dalam catatan sejarah,
pornografi adalah masalah yang masih sering dibahas. Hal ini
dikarenakan masalah pornografi dikatakan menyangkut pada
permasalahan moral. Disamping itu permasalahan pornografi cendrung
dikatakan rancu dikarenakan tidak adanya standarisasi batasan mana
yang dianggap porno dan mana yang tidak porno.
Pornografi atau pornoaksi dikatakan sebagai salah satu penyebab
utama terjadinya dekadensi moral. Hal ini dikarenakan setelah menikmati
tontonan atau bacaan yang “berbau” porno masyarakat bisa saja
langsung mempraktekkannya tanpa memperhatikan sanksi atau aturan-
aturan yang berlaku. Kebanyakan pelakunya adalah remaja yang dalam
masa pencarian jati diri. Tanpa memperhatikan norma-norma dalam
masyarakat mereka akan melakukan apa yang mereka lihat dan mereka
baca.
Di samping itu, sekarang ini mengakses media porno bukanlah
sesuatu yang sulit untuk dilakukan. Tayangan-tayangan dan bacaan-
bacaan yang tersedia secara bebas membuat masyarakat dengan mudah
mengkonsumsi media porno tersebut. Hal inilah yang menjadi
permasalahan dalam masyarakat.
Dalam kehidupan sosial, masalah pornografi dan pornoaksi
seringkali dikaitkan dengan tubuh kaum perempuan. Beberapa bagian
dari tubuh kaum perempuan dikaitkan sebagai pengundang nafsu yang
membahayakan bagi kaum laki-laki. Dosa awal manusia pun terjadi
karena ketertarikan kaum laki-laki terhadap tubuh kaum perempuan
yang membuat manusia menjadi berdosa. Tubuh kaum perempuan
diimajinasikan sebagai tubuh yang kotor, yang merupakan penyebab dari
segala malapetaka. Oleh sebab itu, bagi keturunan kaum perempuan-
perempuan lainnya, pengontrolan terhadap tubuhnya menjadi penting
17
http//Wikipedia/sejarah-pengertian-pornografi, Senin, 15 Maret 2017 20:00 )
Naskah Akademik Peraturan Daerah tentang 15
Pencegahan dan Penanganan Pornografi
Terkadang orang juga membedakan antara pornografi ringan dengan
pornografi berat. Dapat disimpulkan pornografi adalah segala sesuatu
dalam bentuk gambar, tulisan, kata-kata, gerak tubuh yang yang
mengarah pada kecabulan yang dibuat untuk merangsang seksualitas.
Pengertian pornografi dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun
2008 tentang Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan,
suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak
tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media
komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat
kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan
dalam masyarakat. Yang dimaksut kecabulan dalam undang-undang anti
pornografi dijelaskan dalam bab II, berisi larangan dan pembatasan yang
dijelaskan dalam pasal 4 dimana hal yang mengandung unsur cabul atau
porno antara lain, yaitu :
a. persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang;
b. kekerasan seksual;
f. pornografi anak.
18
Jelita249, Pro Kontra Undang _undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, artikel, diakses pada 17
Maret 2017 dari http://jelita249.blogspot.com/2014/09/pro-dan-kontra-undang-undang-no-44html.
19
Analisi Dan Evaluasi Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 halaman 23, diakes pada tanggal 17 Maret
2017 dari www.bphn.go.id/data/documents/aeporno.pdf
Naskah Akademik Peraturan Daerah tentang 17
Pencegahan dan Penanganan Pornografi
bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan
lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau
pertunjukan di muka umum dalam rangka seni, sastra, adat-istiadat
(custom), ilmu pengetahuan dan olah raga maka hal tersebut bukanlah
perbuatan pornografi sebagaimana dimaksudkan undang-undang.20
Dalam konteks perlindungan dari hal diatas tentunya timbul
pertanyaan siapa yang harus dilindungi dari pornografi tersebut.
Jawabnya tentu semua pihak harus dilindungi dari berbagai hardcore
pornography, termasuk anak-anak juga harus dilindungi dari softcore
pornograraphy. Tentunya juga lapisan masyarakat yang agamis harus
dilindungi dari hal itu. Ini semua bukan semata hak asasi manusia akan
tetapi bagian dari norma-norma ajaran agama yang memang memandang
hal itu sangat keras bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung
dalam ajaran agama.
Untuk hal itu perlu ada ukuran pelarangan yang berkaitan dengan
pornografi dalam rangka melindungi lapisan masyarakat. Hal yang
dilarang serta dibatasi adalah para pelaku yang sengaja
mempertunjukkan gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi,
gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk
pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau
pertunjukkan di muka umum bukan dalam kerangka seni, sastra, adat
istiadat (custom), ilmu pengetahuan, dan olah raga.21
Di Indonesia memang dalam konteks melakukan perbuatan
pornografi tindakan pencabulan dan lain-lain yang sejenisnya dengan hal
itu, secara politik hukum telah diatur dalam KUHP, demikian pula dalam
konteks perlindungan anak dari tindakan pornografi dan pornoaksi
ketentuannya sudah diakomodasi dalam Undang-Undang Perlindungan
Anak (UUPA). Hal lain, dari pengamat ada yang berpandangan Indonesia
membutuhkan suatu undang-undang yang disebutnya sebagai “UU
Distribusi”, suatu undang-undang yang dapat memberikan perlindungan
bagi kaum agamis dari pornografi dan pornoaksi, sebaliknya adanya hak
20
Ibid, hlm 24
21
Ibid, hlm 25
Naskah Akademik Peraturan Daerah tentang 18
Pencegahan dan Penanganan Pornografi
masyarakat orangtua-kelompok “perjuangan hidup, berjuang untuk
hidup” untuk mendapatkan bacaan dan tontonan softcore pornography
yang diatur dalam UU Distribusi tersebut. Menurutnya bila ini ada, tidak
perlu lagi Undang-Undang Anti Pornografi dan Anti Pornoaksi.22
Dalam konsideran Undang-Undang Pornografi “Menimbang” huruf
b dikemukakan alasan diundangkannya Undang-Undang Pornografi,
bahwa “perbuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi semakin
berkembang luas di tengah masyarakat yang mengancam kehidupan dan
tatanan sosial masyarakat Indonesia”. Kemudian dalam hal menimbang
huruf c dikemukakan juga alasan hukum diundangkannya Undang-
Undang Pornografi, yaitu disebabkan oleh karena “peraturan perundang-
undangan yang berkaitan dengan pornografi yang ada saat ini belum
dapat memenuhi kebutuhan hukum serta perkembangan masyarakat.23
Dengan demikian secara teoritis sosiologis peristilahan dan makna
yang terkandung dalam istilah sekaligus pemahaman empirisnya bahwa
memang pornografi merupakan perbuatan atau tindakan negatif dan
dapat menyebabkan akibat yang negatif pula, merupakan sesuatu yang
tidak sesuai dan bertentangan dengan filsafah dasar negara Indonesia.
Kehadiran Undang-Undang Pornografi di Indonesia dalam rangka untuk
mampu mencegah, mengatasi bahaya dan pengaruh dari eksploitasi hal-
hal yang tidak patut dan pantas serta jelas melanggar norma-norma
agama dan etika masyarakat yang secara bebas dihadirkan di ruang
publik.
Hal itu tentunya tidak hanya menimbulkan reaksi keras dari publik
itu sendiri, namun juga sangat menimbulkan ekses negatif bagi
perkembangan kepribadian masyarakat Indonesia di masa depan dalam
kaitannya dengan pembentukan karakter bangsa.
22
Ibid, hlm. 25
23
24 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum: Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1996, hal.5.
Naskah Akademik Peraturan Daerah tentang 20
Pencegahan dan Penanganan Pornografi
pembentukan hukum tertulis sangat perlu sebagai berikut: “Hukum
tertulis selain merupakan wahana bagi hukum baru yang dibentuk setelah
Indonesia merdeka, dalam rangka memenuhi kebutuhan kehidupan
kenegaraan, kebangsaan, dan kemasyarakatan yang senantiasa
berkembang juga mutlak “menjembatani” antara lingkup laku aneka adat
dan hukum tertulis lainnya atau untuk mengatasi kebutuhan kepastian
hukum tidak tertulis dalam hal-hal pihak-pihak menghendakinya.”
Selanjutnya menurut Burkradt Krems suatu ilmu pengetahuan
perundang-undangan merupakan suatu disiplin ilmu yang berkarakter
interdisipliner, dalam pengertian ilmu yang berhubungan dengan ilmu
lainnya seperti politik dan sosiologi yang secara garis besarnya dibagi
menjadi 2 (dua) bagian yaitu: Pertama, teori perundang-undangan yang
berorientasi pada mencari kejelasan dan kejernihan makna atau
pengertian-pengertian, dan bersifat kognitif. Kedua, ilmu perundang-
undangan yang berorientasi pada melakukan perbuatan dalam hal
pembentukan peraturan perundang-undangan dan bersifat normatif.
Kemudian Bagir Manan menegaskan peraturan perundang-
undangan adalah setiap keputusan tertulis yang dikeluarkan pejabat
atau lingkungan jabatan yang berwenang yang berisi antara lain aturan-
aturan tingkah laku yang bersifat atau mengikat secara umum.25
Untuk membentuk peraturan perundang-undangan yang baik
sebagaimana ditentukan dalam UU Nomor 12 Tahun 2011, diperlukan
berbagai persyaratan yang berkaitan dengan sistem, asas, tata cara
penyiapan dan pembahasan, teknik, penyusunan maupun
pemberlakuannya. Persyaratan yang berkaitan asas, UU Nomor 12 Tahun
2011 yang mengatur mengenai asas-asas pembentukan peraturan
perundang-undangan, asas-asas materi muatan peraturan perundang-
undangan dan asas-asas lain sesuai dengan bidang hukum peraturan
perundang-undangan yang diaturnya.
Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (algemene
beginselen van behoorlijk wetgeving) dalam UU Nomor 12 Tahun 2011
25
Bagir Manan, Teori Perundang-undangan Reference Mata Kuliah Teori Perundang-undangan, Jakarta
1996, hlm. 1.
Naskah Akademik Peraturan Daerah tentang 21
Pencegahan dan Penanganan Pornografi
diatur dalam Pasal 5 yang menyatakan bahwa dalam membentuk
Peraturan Perundang-undangan harus berdasarkan pada asas
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik meliputi:
a. kejelasan tujuan;
b. kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;
c. kesesuaian antara jenis dan materi muatan;
d. dapat dilaksanakan
e. kedayagunaan dan kehasilgunaan
f. kejelasan rumusan
g. keterbukaan
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan selain harus
berdasarkan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan
berdasarkan Pasal 6 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011 juga harus
memuat asas-asas materi muatan peraturan perundang-undangan:
a. pengayoman
b. kemanusiaan
c. kebangsaan
d. kekeluargaan
e. kenusantaraan
f. bhineka tunggal ika
g. keadilan
h. kesamaam kedudukan dalam hukum dan pemerintahan
i. ketertiban, kepastian hukum, dan atau
j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan
Selain asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan dan
asas materi muatan peraturan perundang-undangan, Pasal 6 ayat (2) UU
Nomor 12 Tahun 2011 menyatakan bahwa selain asas-asas materi
muatan peraturan perundang-undangan, Peraturan Perundang-
undangan tertentu dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum
Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan.
26
Masduki, Kebebasan Pers dan Kode Etik Jurnalistik (Yogyakarta: UII Press, 2003), hal 7
Naskah Akademik Peraturan Daerah tentang 33
Pencegahan dan Penanganan Pornografi
sebagai kontrol sosial, pers juga sangat penting untuk mencegah
penyalahgunaan kekuasaan baik korupsi, kolusi, nepotisme maupun
penyelewengan atau penyimpangan lainnya. Di samping itu, dalam pasal
5 ayat 1 disebutkan bahwa pers nasional berkewajiban memberikan
peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa
kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah.
A. LANDASAN FILOSOFIS
Landasan filosofis sebagaimana diamanatkan dalam UU Nomor 12
Tahun 2011, merupakan pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan
pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana
kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila
dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
Masyarakat Jawa Barat yang mayoritas penganut agama Islam
menjadikan Al-Quran sebagai sumber hukum yang paling utama. Dan
yang kedua adalah keberadaan Pancasila sebagai dasar negara. Di dalam
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008, Disebutkan dalam konsideran
menimbang, bahwa pengejawantahan Pancasila pada Negara Hukum
Indonesia mewajibkan bahwa negara harus membentuk karakter bangsa
yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral, etika, akhlak mulia, dan
kepribadian luhur bangsa, beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, menghormati kebhinekaan dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara, serta melindungi harkat dan martabat setiap
warga negara.
Di dalam masyarakat Jawa barat yang religius dan beradab,
dimana kehidupan nilai-nilai keagamaan telah melekat dan menyatu
dalam prilaku budaya masyarakatnya. Dimana hal-hal yang tidak patut,
tabu, tidak pantas, tidak sopan, melanggar etika agama dan budaya
masyarakat termasuk soal pelanggaran moralitas dalam bentuk
pornografi pada dasarnya dapat meruntuhkan dan menghancurkan
moralitas masyarakat itu sendiri.
Pornografi merupakan tahap awal atau lingkup yang membuat kita
dekat dengan zina, dan mendorong kita melakukan zina, sehingga
seluruh aktivitas ini dan segala yang melingkupinya harus dilarang.
B. LANDASAN SOSIOLOGIS
Landasan sosiologis sebagaimana diamanatkan dalam UU Nomor
12 Tahun 2011, merupakan pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek. Landasan sosiologis
sesungguhnya menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan
masalah dan kebutuhan masyarakat dan negara.
Perkembangan ilmu pengetahuan yang semakin pesat diimbangi
dengan perkembangan teknologi yang telah melintasi batas negara-negara
di dunia merupakan suatu pencapaian dan pemutakhiran dalam
globalisasi keilmuan. Sebagaimana diketahui, bahwa kemampuan
manusia dengan akal dan budi yang dimiliki mampu menggenggam dunia
ini dengan segala isinya dalam satu genggaman rapat, yang di satu sisi
dengan genggamannya mampu mengupayakan pemanfaatan ilmu dan
teknologi untuk tujuan kemaslahatan dan di sisi lain dengan
genggamannya mampu meremukredamkan peradaban yang telah dimiliki
manusia ribuan tahun lamanya.
Internet adalah salah satu bukti perkembangan ilmu dan teknologi
yang telah mampu dibuktikan dengan menjamurnya teknologi ini di
seluruh dunia. Teknologi informasi dan komputer ini telah mampu
menunjukkan eksistensinya sebagai teknologi yang berbasis mayantara,
sehingga mampu diakses secara transnasional melintasi batas suatu
negara, sehingga dapat mempermudah arus informasi dan komunikasi
yang dapat melahirkan keuntungan-keuntungan dengan meminimalisir
pengorbanan. Banyak orang memanfaatkan teknologi ini untuk
C. LANDASAN YURIDIS
Landasan yuridis merupakan pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi
permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan
mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang
akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan
masyarakat, sebagaimana diamanatkan UU Nomor 12 Tahun 2011.
1. Konsideran
Konsideran yang terdapat dalam setiap peraturan perundang-
undangan pada pokoknya, berkaitan dengan 3 (tiga) landasan pokok bagi
berlakunya norma-norma yang terkandung di dalam peraturan perundang-
undangan tersebut bagi subjek-subjek hukum yang diatur oleh perundang-
undangan tersebut.
Di dalam konsideran menimbang dimuat pertimbangan-pertimbangan
yang menjadi alasan pokok perlunya pengaturan Peraturan Daerah Tentang
Pencegahan dan Penanganan Pornografi. Konsideran tersebut, menyatakan:
2. Dasar Hukum
Memuat landasan hukum atau dasar hukum pengaturan yang
digunakan, antara lain yaitu:
1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1950 tentang Pembentukan
Provinsi Jawa Barat (Berita Negara Republik Indonesia tanggal 4 Juli
1950) jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1950 tentang
Pemerintahan Jakarta Raya (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1950 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 15) sebagaimana telah diubah beberapa kali,
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang
Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai
Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 93, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4744) dan Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2000 tentang Pembentukan Provinsi Banten (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 182, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4010);
3. Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pers (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 169, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3890);
3. Ketentuan Umum
Dalam praktek di Indonesia, definition clause atau interpretation
clause biasanya disebut dengan Ketentuan Umum. Dengan sebutan
demikian, seharusnya, isi yang terkandung di dalamnya tidak hanya
terbatas kepada pengertian-pengertian operasional istilah-istilah yang
dipakai seperti yang biasa dipraktikkan selama ini. Dalam istilah
“Ketentuan Umum” seharusnya termuat pula hal-hal lain yang bersifat
umum, seperti pengantar, pembukaan, atau “preambule” peraturan
perundang-undangan. Akan tetapi, telah menjadi kelaziman atau kebiasaan
sejak dulu bahwa setiap perundang-undangan selalu didahului oleh
“Ketentuan Umum” yang berisi pengertian atas istilah-istilah yang dipakai
dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Dengan
A. KESIMPULAN
Peraturan daerah yang akan dibentuk dalam rangka penyusunan
Rancangan Peraturan Daerah tentang Pencegahan dan penanganan
Pornografi harus mampu menjawab berbagai masalah yang meliputi
antara lain:
1. Landasan hukum dalam Pencegahan dan Penanganan Pornografi di
Jawa Barat terutama dalam penyusunan kebijakan dalam
melakukan penanganan korban pornografi dan pembentukan
Satuan Tugas Pencegahan dan penanganan Pornografi..
2. Peningkatan partisipasi masyarakat, lembaga pendidikan dan
lembaga keagamaan dalam melakukan pencegahan dan penanganan
pornografi di Jawa Barat.
3. Pengawasan dalam pemberian izin terkait dengan pembuatan,
penyebarluasan, dan penggunan produk pornografi yang dilakukan
di tempat dan dengan cara khusus
4. Dalam melakukan pencegahan dan penanganan pornografi di Jawa
Barat, Pemerintah daerah perlu membentuk satuan tugas yang di
dalamnya terdiri dari berbagai instansi terkait.
B. SARAN
Berdasarkan kesimpulan-kesimpulan yang dikemukakan tersebut,
maka beberapa hal yang dapat direkomendasikan adalah:
1. Dalam rangka pencegahan dan penanganan pornografi di Jawa
Barat maka perlu dibentuk peraturan daerah yang mengatur
mengenai Pencegahan dan Penanganan Pornografi di Jawa Barat
secara komprehensif dengan melibatkan peranserta dari
masyarakat, lembaga pendidikan,lembaga keagamaan dan lembaga
sosial yang ada di Jawa Barat.