Anda di halaman 1dari 67

NASKAH AKADEMIK

RANCANGAN
PERATURAN DAERAH
TENTANG
PENCEGAHAN DAN PENANGANAN PORNOGRAFI

BIRO PELAYANAN DAN BANTUAN SOSIAL


SEKRETARIAT DAERAH PROVINSI JAWA BARAT
TAHUN 2017
DAFTAR ISI

halaman
DAFTAR ISI ............................................................................... i
KATA PENGANTAR ................................................................... iv

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................


1
A. Latar Belakang ..............................................................
1
B. Identifikasi Masalah .......................................................
5
C. Tujuan Dan Kegunaan Kegiatan Penyusunan
Naskah Akademik Peraturan Daerah Tentang
Pencegahan Dan Penanganan Pornografi ........................ 6
D. Metode Penelitian ...........................................................
7

BAB II KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS ............................. 12


A. Umum ...........................................................................
12
B. Kajian Teoritis ................................................................
12
C. Kajian Terhadap Asas Atau Prinsip Yang
Terkait Dengan Penyusunan Norma ............................... 19
1. Asas dan Norma Pembentukan Peraturan
Daerah tentang Pencegahan dan
Penanganan Pornografi ............................................. 20
2. Asas Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan .................................................................
22

BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN


PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT DENGAN
PORNOGRAFI .........................................................................
28
A. Peraturan Perundang-Undangan Di Bidang
Pemerintahan Daerah .....................................................28
B. Peraturan Perundang-Undangan Terkait
Dengan Pornografi ..........................................................
32
1. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999
tentang Pers...............................................................
32
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003
tentang Perlindungan Anak Sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak .............................. 34
3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002
tentang Penyiaran ......................................................
36
4. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik) ................................................................
38

i
5. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008
tentang Pornografi) ....................................................
38
6. Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun
2011 tentang Pembinaan, Pendampingan,
dan Pemulihan Terhadap Anak Yang
Menjadi Korban Pornografi ........................................
40
7. Peraturan Pemerintah Nomor Nomor 5
Tahun 2014 tentang Syarat dan Tata Cara
Perizinan Pembuatan, Penyebarluasan,
Dan Penggunaan Produk Pornografi .......................... 42

BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN


YURIDIS ..................................................................................
45
A. LANDASAN FILOSOFIS ................................................... 45
B. LANDASAN SOSIOLOGIS ................................................ 47
C. LANDASAN YURIDIS ....................................................... 48

BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG


LINGKUP MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH
TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN
PORNOGRAFI DENGAN HUKUM POSITIF ................................ 50
A. Jangkauan Dan Arah Pengaturan ...................................
50
B. Ruang Lingkup Materi Muatan .......................................
51

BAB VI PENUTUP ...............................................................................


60
A. KESIMPULAN ................................................................ 60
B. SARAN ...........................................................................
60

DAFTAR PUSTAKA ................................................................. 62

LAMPIRAN NASKAH AKADEMIK:


Rancangan Peraturan Daerah Nomor ... Tahun ... tentang
Pencegahan Dan Penanganan Pornografi ...............................

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah kita panjatkan ke hadirat Allah SWT,


karena dengan karunia dan rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan
Naskah Akademik Peraturan Daerah tentang Pencegahan dan
penanganan Pornografi Provinsi Jawa Barat.
Penyusunan Naskah Akademik Peraturan Daerah tentang
Pencegahan dan Penanganan Pornografi Provinsi Jawa Barat diharapkan
dapat memberikan masukan dalam rangka pengaturan pencegahan dan
penanganan pronografi di Provinsi Jawa Barat melalui Peraturan Daerah
tentang Pencegahan dan Penanganan Pornografi dan bertujuan agar
peraturan daerah yang dihasilkan nanti akan sesuai dengan kehidupan
masyarakat serta Peraturan Daerah yang dihasilkan tidak menimbulkan
masalah di kemudian hari.
Akhir kata, kami harapkan isi dari Naskah Akademik Peraturan
Daerah tentang Pencegahan dan Penanganan Pornografi ini dapat
memberikan masukan yang berharga bagi Rencana Pemerintah Daerah
dalam rangka Penyusunan Naskah Akademik Peraturan Daerah tentang
Pencegahan dan Penanganan Pornografi Provinsi Jawa Barat.

Bandung, Februari 2017


Tim Penyusun

Naskah Akademik Peraturan Daerah tentang iii


Pencegahan dan Penanganan Pornografi
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pornografi adalah perbuatan yang berdampak negatif terhadap
perilaku generasi muda dan bahkan kalangan anak-anak. Tanpa kita
sadari, aksi pornografi saat ini telah merambah keseluruh wilayah tanah
air hingga ke pelosok desa, dan dampaknya telah merusak generasi muda
bahkan di kalangan anak-anak. Pornografi menjadi permasalahan,
karena pada dasarnya merupakan sebuah bentuk kejahatan terhadap
nilai-nilai kemanusiaan dan berpotensi menimbulkan masalah-masalah
sosial. Pornografi secara sengaja telah merendahkan dan melecehkan
harkat dan martabat kaum perempuan. Pengumbaran ketelanjangan baik
sebagaian ataupun penuh dan pengumbaran gerakan-gerakan erotis serta
peredarannya secara terbuka baik dalam bentuk cetak maupun
elektronik, menempatkan perempuan hanya sebagai objek seks yang
sangat direndahkan.
Dewasa ini perkembangan teknologi informasi dan komunikasi
demikian pesatnya, yang membawa dampak positif sekaligus dampak
negative. Kemudahan komunikasi dan penyebaran informasi menjadi
sangat mudah, hal ini sekaligus memudahkan meluasnya penyebaran
pornografi melalui media elektronik, termasuk media online. Pornografi
saat ini menjadi konsumsi pengguna internet dari segala usia, yang
dengan mudahnya dapat melintas batas ruang dan waktu. Sehingga
mengakibatkan datangnya ancaman besar bagi generasi muda, dan ini
dapat dilihat dengan kasat mata, yang akibatnya dapat menghancurkan
masa depan generasi muda sekaligus masa depan bangsa. Lahirnya
budaya prilaku sexs bebas, pelanggaran seksual dan penyimpangan
seksual yang tidak lagi mengindahkan norma-norma agama. Perilaku sex
bebas ini menunjukan rusaknya moral yang berimbas pada aborsi dan
pelacuran. Begitunya dengan penyebaran penyakit menular yang
diakibatkan dari pergaulan bebas.

Naskah Akademik Peraturan Daerah tentang 1


Pencegahan dan Penanganan Pornografi
Perkembangan teknologi telah membawa bentuk-bentuk baru dari
pornografi, yang oleh Burhan Bungin diidentifikasikan menjadi pornoaksi,
pornomedia, pornoteks dan pornosuara. Pornoaksi merupakan
penggambaran aksi gerakan tubuh, penonjolan bagian-bagian tubuh yang
dominan memberi rangsangan seksual, sampai dengan aksi
mempertontonkan payudara dan alat vital yang tidak disengaja atau
disengaja, untuk membangkitkan nafsu seksual bagi yang melihatnya.
Pornomedia adalah aksi-aksi subjek-objek seksual yang dipertontonkan
secara langsung dari seseorang kepada orang lain sehingga menimbulkan
rangsangan bagi seseorang. Pornomedia ini merupakan realitas porno
yang diciptakan media, seperti gambar dan teks porno yang dimuat di
media cetak, film porno (baik dalam bentuk VCD, DVD, film yang dapat
didownload pada handphone), cerita porno melalui media, provider telpon
maupun melalui internet.1
Publikasi pornografi melalui jaringan internet, bukan hal yang aneh
dan baru. Kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi merupakan
instrumen yang menunjang penyebaran pornografi. Masyarakat yang
ingin mengakses/melihat film-film porno melalui jaringan internet tidak
harus memiliki atau membuat jaringan internet serta perangkatnya
sendiri, tetapi cukup dengan uang rupiah yang tidak seberapa besar,
mereka bisa pergi ke warung internet.
Materi pornografi dengan mudah dapat diakses melalui internet,
situs-situs yang berisi film-film porno, mapun lewat youtube yang isinya
pornografi hasil rekaman amatir atau sengaja diuploade melalui internet.
Pornografi bukan lagi persoalan hukum semata, melainkan merupakan
permasalahan sosial yang penanganan dan pencegahannya tidak hanya
mengandalkan pada instrumen hukum yang dikelola oleh aparat penegak
hukum. Penanggulangan pornografi harus integratif antara struktur dan
kultur, begitu pula harus seimbang antara tindakan represif dan
preventif.

1
Burhan Bungin, Erotika Media Massa, (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2001), hal 6-7.
Naskah Akademik Peraturan Daerah tentang 2
Pencegahan dan Penanganan Pornografi
Saat ini upaya untuk pencegahan penyebaran dan perbuatan
pornografi, lebih ditekankan pada upaya represif yaitu dengan
pendekatan hukum pidana yang dijalankan oleh Kepolisian, Kejaksaan,
Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan dengan cara memproses
pelaku-pelaku tindak pidana pornografi dan menjatuhi sanksi pidana.
Tetapi pada faktanya, upaya tersebut tidak menimbulkan efek jera pada
masyarakat, oleh karena itu diperlukan upaya lain selain dari upaya
hukum untuk penanggulangan dan pencegahan kejahatan pornografi,
utamanya penyebaran pada anak-anakremaja dan anak-anak sekolah.
Masalah pornografi merupakan masalah lama yang belum dapat
ditanggulangi oleh ketentuan-ketentuan yang terdapat Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (wetbook van strafrecht voor Nederlands Indie)
yang disingkat KUHP dan berlaku di Indonesia sejak masa pemerintahan
Hindia Belanda. Setelah Indonesia merdeka, KUHP diberlakukan
berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 jo Undang-Undang
Nomor 73 Tahun 1958.
Dalam Pasal 281, Pasal 282, Pasal 283, Pasal 532 dan Pasal 533
Kitab Undang-Undang Pidana (KUHP) telah mengatur masalah tersebut,
namun kenyataannya ketentuan-ketentuan itu sangat kurang efektif
tidak seperti yang diharapkan. Merebaknya pornografi dipicu oleh
semakin agresifnya media massa menyajikan visualisasi pornografi.
Selain itu para model (aktris) ikut melakukan tindakan yang bersifat
pidana pornografi sebagai konsumsi publik. Tidaklah heran jika para
remaja banyak yang terobsesi berpakaian seksi layaknya para aktris di
media massa, seperti pakaian mini dan seronok tanpa sedikitpun
memperhatikan aspek akhlak yang sepatutnya dipenuhi oleh setiap
individu.
Pornografi adalah gambar-gambar perilaku pencabulan yang lebih
banyak menonjolkan tubuh dan alat kelamin manusia.2 Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia pornografi adalah penggambaran tingkah laku
secara erotis dengan lukisan atau tulisan untuk membangkitkan nafsu
2
Burhan Bungin, Pornomedia: Sosiologi Media, Konstruksi Sosial Teknologi Telematika dan Perayaan Seks
di Media Massa, Jakarta, Kencana, 2005, hlm 124.
Naskah Akademik Peraturan Daerah tentang 3
Pencegahan dan Penanganan Pornografi
birahi; bahan bacaan yang dengan sengaja dan semata-mata dirancang
untuk membangkitkan nafsu birahi dalam seks.3
Ditinjau dari hukum Islam pendapat tersebut sangat tidak sesuai,
karena hukum Islam telah mengatur secara tegas cara orang memelihara
tubuh seperti yang diatur dlam surat An-Nur ayat 30 dan ayat 31. Tubuh
menurut ajaran Islam merupakan amanah Allah SWT yang wajib
dipelihara oleh setiap insan dalam rangka memelihara kehormatan Islam
secara tegas menuntun, membimbing, mengarahkan dan menentukan
manusia dalam memperlakukan dan memanfaatkan tubuh agar terjaga
kehormatan, derajat dan martabat diri, baik dalam keluarga masyarakat
dan bangsa, untuk mencapai kebahagiaan hidup dan kehidupan di dunia
dan di akhirat kelak.
Fenomena pornografi di Indonesia khususnya di Jawa Barat telah
melampaui toleransi dan akhlak bangsa. Namun penyelesaian terhadap
masalah pornografi belum sesuai dengan apa yang diharapkan. Kesulitan
untuk meredam pornografi dalam masyarakat karena lemahnya dalam
merespon tindakan yang mengarah kepada pornografi. Memerangi
pornografi bukan hanya tugas pemerintah saja, namun keluarga (orang
tua) memiliki peranan yang sangat vital sebagai mediator untuk
mencegah pornografi. Begitu juga peranan dari pemuka agama dan tokoh
masyarakat untuk ikut membentuk moral masyarakat secara umum.
Secara umum penyebaran pornografi di Indonesia khususnya di
Jawa Barat sudah sangat mengkhawatirkan. Saat ini, anak-anak dan
remaja banyak terpapar oleh konten-konten pornografi dari berbagai
media. Berbagai macam acara televisi swasta yang menyuguhkan
berbagai acara yang menjurus ke arah pornografi, penyebaran film-film
porno dalam cakram padat dan mudahnya mengakses situs-situs porno
yang dapat di akses melalui komputer dan telepon genggam menjadi
persoalan yang harus dihadapi dalam mencegah penyebaran pornografi.

3
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta,
Balai Pustaka, 1990, hlm 696.
Naskah Akademik Peraturan Daerah tentang 4
Pencegahan dan Penanganan Pornografi
Guna mencegah penyebaran pornografi dan pornoaksi di Jawa
Barat dan menanggulangi persoalan tersebut di atas, diperlukan
pengaturan pencegahan bahaya pornografi.
Pengaturan ini dimaksudkan untuk menjadi pijakan hukum bagi
Pemerintah Daerah, lembaga sosial, lembaga pendidikan, lembaga
keagamaan, keluarga, dan/atau masyarakat wajib dalam pencegahan dan
penanggulan pornografi.
Peraturan Daerah ini memuat pengaturan mengenai kewenangan
Pemerintah Daerah dalam melakukan pencegahan dan penanggulangan
pornografi, pembentukan tim adhoc. Pengaturan lain yang diatur dalam
Peraturan Daerah ini juga mengenai pembuatan, penyebarluasan,
dan/atau penggunaan produk pornografi untuk tujuan dan kepentingan
pendidikan dan pelayanan kesehatan melalui media teknologi informasi
dan komunikasi. Selain itu juga mengatur tentang pembinaan,
pendampingan, pemulihan, dan peran serta masyarakat dalam
pencegahan dan penanggulangan pornografi.
Atas dasar hal tersebut, berkaitan dengan penyusunan Rancangan
Peraturan Daerah tentang Pencegahan dan penanggulan Pornografi dan
pornoaksi, sebelumnya perlu mendapat pencermatan yang mendalam dan
komprehensif mengenai teori atau pemikiran ilmiah yang berkaitan
dengan materi muatan Rancangan Peraturan Daerah dalam bentuk
penyusunan Naskah Akademis, dengan harapan Pemerintah Daerah
mampu menerjemahkan kebijakan pemerintah yang telah disusun
kedalam bentuk peraturan daerah.
Berdasarkan uraian di atas, perlu melakukan perlu melakukan
kajian dalam bentuk Naskah Akademik Peraturan Daerah tentang
Pencegahan dan Penanganan Pornografi.

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang, maka dalam kajian ini ada
beberapa masalah yang dirumuskan dan dicarikan penyelesaiannya
secara ilmiah. Pembatasan masalah yang akan diteliti yaitu:

Naskah Akademik Peraturan Daerah tentang 5


Pencegahan dan Penanganan Pornografi
a. Bagaimana kedudukan Peraturan Daerah tentang Pencegahan dan
Penanganan Pornografi dalam peraturan perundang-undangan?
b. Bagaimana Pemerintah Daerah memahami perannya dalam
merumuskan kebijakan terkait dengan pencegahan dan
penanganan pornografi?
c. Bagaimana kerangka kebijakan yang mengatur tentang pencegahan
dan penanganan pornografi?

C. Tujuan Dan Kegunaan Kegiatan Penyusunan Naskah Akademik


Peraturan Daerah Tentang Pencegahan Dan Penanganan
Pornografi
Naskah Akademik sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 1 angka
11 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan adalah naskah hasil penelitian atau
pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah
tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai
pengaturan masalah tersebut dalam suatu Rancangan Undang-Undang,
Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, atau Rancangan Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota sebagai solusi terhadap permasalahan dan
kebutuhan hukum masyarakat.
Peraturan Daerah akan lebih operasional lagi jika dalam
pembentukannya tidak hanya terikat pada asas legalitas sebagaimana
dimaksud dalam UU Nomor 12 Tahun 2011, tetapi perlu pula dilengkapi
dengan hasil penelitian yang mendalam terhadap subjek dan objek
hukum yang hendak diaturnya serta diawali dengan pembentukan
Naskah Akademik terlebih dahulu.
Naskah Akademik tentang Pencegahan dan Penanganan Pornografi
di Provinsi Jawa Barat ini merupakan bagian dari rangkaian program
penyusunan peraturan daerah yang mengatur tentang pencegahan dan
penanganan pornografi di Jawa Barat.

Naskah Akademik Peraturan Daerah tentang 6


Pencegahan dan Penanganan Pornografi
Naskah Akademik Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah
Tentang Pencegahan dan penanganan Pornografi dilaksanakan dengan
tujuan sebagai berikut:
1. Untuk menemukan hal-hal penting yang mendasari perlunya
penyusunan Rancangan Peraturan Daerah tentang Pencegahan dan
penanganan Pornografi;
2. Mengkaji kebijakan yang berlaku untuk kemudian melihat efektifitas
dalam pencegahan dan penanganan pornografi;
3. Untuk menemukan hal-hal penting yang mendasari perlunya
penyusunan Rancangan Peraturan Daerah tentang Pencegahan dan
Penanganan Pornografi;
4. Untuk mengetahui landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis atas
pembentukan Rancangan Peraturan Daerah tentang Pencegahan dan
Penanganan Pornografi;
5. Untuk menemukan sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup
pengaturan, jangkauan, dan arah pengaturan dari Rancangan
Peraturan Daerah tentang Pencegahan dan penanganan Pornografi.

Sementara itu, kegunaan dari penyusunan naskah akademik Rancangan


Peraturan Daerah tentang Pencegahan dan Penanganan Pornografi
adalah:
1. Sebagai bahan kajian dan dasar perumusan Rancangan Peraturan
Daerah tentang Pencegahan dan Penanganan Pornografi;
2. Sebagai wujud ekspresi dan peran aktif dari Pemerintah Daerah
dan DPRD Provinsi Jawa Barat dalam upaya pencegahan dan
penanganan pornografi.

D. Metode Penelitian
Naskah Akademik sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 1 angka
11 UU Nomor 12 Tahun 2011 telah diuraikan di atas terkait dengan
penyusunan Peraturan Daerah tentang Pencegahan dan Penanganan
Pornografi adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan

Naskah Akademik Peraturan Daerah tentang 7


Pencegahan dan Penanganan Pornografi
hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah
tersebut dalam Peraturan Daerah sebagai solusi terhadap permasalahan
dan kebutuhan hukum masyarakat.
Nilai ilmiah suatu pembahasan dan pemecahan masalah terhadap
permasalahan hukum (legal issue) yang diteliti sangat tergantung kepada
cara pendekatan (approach) yang digunakan.4 Jika cara pendekatan tidak
tepat, maka bobot penelitian tidak akurat dan kebenarannya pun dapat
digugurkan.
Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah
tentang Pencegahan dan Penanganan Pornografi pada dasarnya
merupakan suatu kegiatan penelitian sehingga digunakan metode
penyusunan Naskah Akademik yang berbasiskan metode penelitian
sebagaimana diamanatkan dalam UU Nomor 12 Tahun 2011.
Permasalahan pornografi merupakan suatu dinamika yang
multikompleks, maka pertimbangan berbagai aspek secara ilmiah perlu
dipertemukan melalui pendekatan lintas sektoral dan pendekatan
multidisipliner dan interdisipliner. Terkait dengan metode penelitian
interdisipliner dan multidisipliner dapat diuraikan berdasarkan beberapa
pendapat para ahli sebagai berikut.
Metode interdisipliner dan multidisipliner sebagaimana dijelaskan
Johannes Gunawan, tumbuh dan berkembang bersama-sama dengan
tumbuh dan berkembangnya Ilmu Hukum Fungsional (Functional
Jurisprudence).5 Lebih lanjut menurut Johannes Gunawan menjelaskan
bahwa aliran ini memasalahkan fungsi hukum sebagai norma di dalam
masyarakat. Agar hukum dapat fungsional di dalam masyarakat, maka
ilmu hukum harus pula memberi perhatian pada ilmu-ilmu lain.6
Sunaryati Hartono menyatakan bahwa dalam semua penelitian
yang interdisipliner dan multidisipliner titik tolaknya selalu berasal dari

4
Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Banyumedia, Malang, 2007, hlm. 299.
5
Johannes Gunawan, Bahan Kuliah Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, Program Pascasarjana Doktor
Ilmu Hukum, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, 2011.
6
Ibid.
Naskah Akademik Peraturan Daerah tentang 8
Pencegahan dan Penanganan Pornografi
satu disiplin ilmu dan didominasi oleh ilmu tersebut.7 Dengan demikian
disiplin ilmu lain hanyalah berfungsi sebagai pembantu atau
pendukung.8 Penelitian interdisipliner dan multidisipliner di satu pihak
menunjukkan pada keterbatasan tiap disiplin ilmu, tetapi di lain pihak
juga membuktikan adanya interdependensi fungsional yang timbal balik
antar pelbagai (metode penelitian dari) disiplin ilmu. Dengan adanya
interdependensi antar pelbagai disiplin ilmu (termasuk metodenya), maka
akan diperoleh suatu reliabilitas/keterandalan pengetahun yang bersifat
holistik (paripurna).9
Johannes Gunawan menyatakan bahwa penelitian hukum tidak
dapat lagi hanya menggunakan satu metode saja, tetapi dibutuhkan
kombinasi dari pelbagai metode penelitian. Sebagaimana dikemukakan
oleh Sunaryati Hartono, metode multidisipliner yaitu metode yang
menggunakan logika lebih dari satu cabang ilmu hukum, metode
interdisipliner yaitu metode yang membutuhkan verifikasi dan bantuan
dari disipliner ilmu lainnya.10 Demikian pula halnya yang oleh Johannes
Gunawan disebut metode multidisipliner dan interdisipliner.Metode
multidisipliner adalah metode yang menggunakan cara berpikir (logika)
dari pelbagai ilmu lain atau sebagaimana dikemukakan Soerjono
Soekanto dengan menyatakan bahwa pada penelitian multidisipliner,
beberapa ilmu pengetahuan dengan metodologi masing-masing,
menterapkan penelitian terhadap suatu obyek yang sama.11 Sedangkan
metode interdisipliner adalah metode gabungan yang menggunakan
verifikasi dan bantuan ilmu lain12 atau sebagaimana dikemukakan Jean
Piaget dengan menyatakan: “… two sorts of inquiry, one relating to

7
Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum Di Indonesia Pada Akhir Abad Ke-20, Penerbit Alumni, Bandung,
1994, hlm. 176.
8
Ibid.
9
Ibid,, hlm. 177.
10
SIbid,, hlm. 124.
11
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), Jakarta, 2010,
hlm. 11.
12
Johannes Gunawan, Supra note 61.
Naskah Akademik Peraturan Daerah tentang 9
Pencegahan dan Penanganan Pornografi
common structures or mechanisms and the other to common methods,
although both sorts may of couse be involved equally.”13
K. Bertens membedakan antara pendekatan multidisipliner dan
pendekatan interdisipliner. K. Bertens menyatakan bahwa pendekatan
multidisipliner adalah usaha pembahasan tentang tema yang sama oleh
pelbagai ilmu, sehingga semua ilmu itu memberikan sumbangannya yang
satu di samping yang lain.14 Dalam pendekatan multidisipliner sekat-
sekat pemisah antara ilmu-ilmu tetap dipertahankan. Dengan demikian,
setiap ilmu akan berusaha memberi penjelasan yang dapat dipahami juga
oleh ilmuwan-ilmuwan dari bidang lain, sehingga sesuai pembicaraan
para ilmuwan bersangkutan telah menyoroti tema itu dari pelbagai segi.
Tapi perspektif setiap ilmu tetap dipertahankan dan tidak melebur
dengan perspektif-perspektif ilmiah yang lain.
Pendekatan interdisipliner K. Bertens adalah kerjasama antara
beberapa ilmu tentang tema yang sama dengan maksud mencapai suatu
pandangan terpadu.15 Pendekatan interdisipliner dijalankan dengan cara
lintas disiplin. Dalam pendekatan interdisipliner semua ilmu yang ikut
serta meninggalkan sudut pandang yang terbatas, sehingga melebur ke
dalam satu pandangan yang menyeluruh.
Metode penelitian Naskah Akademik penyusunan Peraturan Daerah
tentang Pecegahan dan Penanganan Pornografi ini berdasarkan UU
Nomor 12 Tahun 2011 dan pendapat beberapa ahli yang telah diuraikan
di atas, menggunakan metode penelitian multidisipliner, dengan titik
tolak dan dominasi disiplin ilmu hukum, karena sebagaimana
diamanatkan dalam Pasal 1 angka 11 UU Nomor 12 Tahun 2011 adalah
naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian
lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah

13
Jean Piaget, General Problems of Interdisciplinary Research and Common Mechanism: Main Trends of
Research in the social and Human Sciences, Part One: Social Sciences, the Hague: Mouton/Unesco, 1970.
14
K. Bertens, Etika, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2011, hlm. 290.
15
K. Bertens, Id, hlm. 291.
Naskah Akademik Peraturan Daerah tentang 10
Pencegahan dan Penanganan Pornografi
tersebut dalam Peraturan Daerah sebagai solusi terhadap permasalahan
dan kebutuhan hukum masyarakat.
Penelitian hukum dapat dilakukan melalui metode yuridis normatif
dan metode yuridis empiris. Metode yuridis empiris dikenal juga dengan
penelitian sosiolegal. Metode yuridis normatif dilakukan melalui studi
pustaka yang menelaah (terutama) data sekunder yang berupa Peraturan
Perundang-undangan, putusan pengadilan, perjanjian, kontrak, atau
dokumen hukum lainnya, serta hasil penelitian, hasil pengkajian, dan
referensi lainnya. Metode yuridis normatif dapat dilengkapi dengan
wawancara, diskusi (focus groupdiscussion), dan rapat dengar pendapat.
Metode yuridis empiris atau sosiolegal adalah penelitian yang diawali
dengan penelitian normatif atau penelaahan terhadap Peraturan
Perundang-undangan (normatif) yang dilanjutkan dengan observasi yang
mendalam serta penyebarluasan kuesioner untuk mendapatkan data
faktor nonhukum yang terkait dan yang berpengaruh terhadap Peraturan
Perundang-undangan yang diteliti.
Penggunaan metode penelitian multidisipliner ini dengan alasan
sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa permasalahan pengelolaan
keuangan negara atau daerah dan perusahaan daerah merupakan suatu
sistem dinamika yang multikompleks, maka pertimbangan berbagai aspek
secara ilmiah perlu dipertemukan melalui pendekatan lintas sektoral dan
pendekatan multidisipliner dan interdisipliner. Oleh karena itu, sesuai
dengan pendapat K. Bertens, metode yang digunakan dalampendekatan
multidisipliner ini merupakan kontribusi dari sudat pandang dari masing-
masing perspektif pelbagai ilmu yang masing-masing menulis sesuai
dengan keahliannya, sehingga yang dihasilkan hanyalah pendekatan dari
berbagai arah yang dipusatkan pada tema yang sama.

Naskah Akademik Peraturan Daerah tentang 11


Pencegahan dan Penanganan Pornografi
BAB II
KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

A. Umum
Bab ini sebagaimana amanat UU Nomor 12 Tahun 2011 memuat
uraian mengenai materi yang bersifat teoretis, asas, praktik,
perkembangan pemikiran, serta implikasi sosial, politik, dan ekonomi,
keuangan negara dari pengaturan dalam suatu Undang-Undang,
Peraturan Daerah Provinsi, atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.Bab
ini berdasarkan UU Nomor 12 Tahun 2011 dapat diuraikan dalam
beberapa sub bab berikut:
A. Kajian teoretis.
B. Kajian terhadap asas/prinsip yang terkait dengan penyusunan
norma.
Analisis terhadap penentuan asas-asas ini juga memperhatikan
berbagai aspek bidang kehidupan terkait dengan Peraturan
Perundang-undangan yang akan dibuat, yang berasal dari hasil
penelitian.
C. Kajian terhadap praktik penyelenggaraan, kondisi yang ada, serta
permasalahan yang dihadapi masyarakat.
D. Kajian terhadap implikasi penerapan sistem baru yang akan diatur
dalam Undang-Undang atau Peraturan Daerah terhadap aspek
kehidupan masyarakat dan dampaknya terhadap aspek beban
keuangan negara.

B. Kajian Teoritis
Kata porno dan pornografi sudah tidak asing bagi kita semua,
namun definisi dari pornografi itu sendiri tidak jelas karena ragam
budaya dan juga adat istiadat yang berbeda-beda menjadikan definisi
pornografi juga berbeda juga. Banyak seniman yang mengekspresikan ide
mereka dalam banyak bentuk karya seni, namun kadang sesuatu yang
dianggap seniman sebagai karya seni, bagi masyarakat umum bukan

Naskah Akademik Peraturan Daerah tentang 12


Pencegahan dan Penanganan Pornografi
dianggap sebuah seni melainkan sebagai pornografi. Hal ini yang
menyebabkan definisi dari pornografi memiliki banyak persepsi
tergantung dari sudut pandang mana seseorang mendefinisikan suatu
objek tertentu sehingga dapat mengatakan bahwa objek tersebut
merupakan pornografi.
Kata pornografi berasal dari bahasa Yunani, yaitu pornographos
yang terdiri dari dua kata porne (=a prostitute) berarti prostitusi,
pelacuran dan graphein (= to write, drawing) berarti menulis atau
menggambar. Secara harfiah dapat diartikan sebagai tulisan tentang atau
gambar tentang pelacur, (terkadang juga disingkat menjadi "porn," atau
"porno") adalah penggambaran tubuh manusia atau perilaku seksual
manusia secara terbuka (eksplisit) dengan tujuan memenuhi hasrat
seksual.
Menurut Santoso, dalam bukunya menyatakan bahwa pornografi
adalah segala tindakan yang bertujuan untuk merangsang nafsu seksual,
termasuk juga dalam kategori pornografi yakni gambar atau barang pada
umumnya yang berisi atau menggambarkan sesuatu yang menyinggung
rasa susila dari orang yang membaca, melihat, atau mendengarkan.
Termasuk juga yang bukan saja gambar tetapi juga segala tindakan yang
berdaya menimbulkan nafsu birahi bagi orang yang mengkonsumsinya.16
Pornografi merupakan masalah yang jamak dan sudah sering sekali
diangkat untuk dijadikan sebuah tulisan, perdebatan dan sebagainya.
Namun, dengan banyaknya pembahasan mengenai hal tersebut
(pornografi) tetap saja menjadi hal yang menarik untuk dibahas. Hal ini
terbukti dengan banyaknya tayangan-tayangan televisi yang
menayangkan mengenai pembahasan pornografi sebagai daya tarik dari
acara tersebut. Tidak saja mengenai tayangan di televisi, media cetak pun
seakan-akan tidak mau kalah untuk beraksi. Hal ini dibuktikan dengan
banyaknya buku-buku dan majalah-majalah yang membahas masalah
tersebut.

16
Topo Santoso, Seksualitas dan Hukum Pidana, Jakarta: Ind-Hill-Co, 1997, hal. 145.
Naskah Akademik Peraturan Daerah tentang 13
Pencegahan dan Penanganan Pornografi
Tayangan iklan di media elektronik atau media cetak juga seringkali
menggumbar eksostisme dari tubuh perempuan untuk menarik minat
masyarakat yang melihatnya untuk membeli produk yang ditawarkan.
Dalam hal ini bisa dikatakan bahwa pornografi atau pornoaksi adalah
sesuatu yang dapat dijual kepada masyarakat. Dalam catatan sejarah,
pornografi adalah masalah yang masih sering dibahas. Hal ini
dikarenakan masalah pornografi dikatakan menyangkut pada
permasalahan moral. Disamping itu permasalahan pornografi cendrung
dikatakan rancu dikarenakan tidak adanya standarisasi batasan mana
yang dianggap porno dan mana yang tidak porno.
Pornografi atau pornoaksi dikatakan sebagai salah satu penyebab
utama terjadinya dekadensi moral. Hal ini dikarenakan setelah menikmati
tontonan atau bacaan yang “berbau” porno masyarakat bisa saja
langsung mempraktekkannya tanpa memperhatikan sanksi atau aturan-
aturan yang berlaku. Kebanyakan pelakunya adalah remaja yang dalam
masa pencarian jati diri. Tanpa memperhatikan norma-norma dalam
masyarakat mereka akan melakukan apa yang mereka lihat dan mereka
baca.
Di samping itu, sekarang ini mengakses media porno bukanlah
sesuatu yang sulit untuk dilakukan. Tayangan-tayangan dan bacaan-
bacaan yang tersedia secara bebas membuat masyarakat dengan mudah
mengkonsumsi media porno tersebut. Hal inilah yang menjadi
permasalahan dalam masyarakat.
Dalam kehidupan sosial, masalah pornografi dan pornoaksi
seringkali dikaitkan dengan tubuh kaum perempuan. Beberapa bagian
dari tubuh kaum perempuan dikaitkan sebagai pengundang nafsu yang
membahayakan bagi kaum laki-laki. Dosa awal manusia pun terjadi
karena ketertarikan kaum laki-laki terhadap tubuh kaum perempuan
yang membuat manusia menjadi berdosa. Tubuh kaum perempuan
diimajinasikan sebagai tubuh yang kotor, yang merupakan penyebab dari
segala malapetaka. Oleh sebab itu, bagi keturunan kaum perempuan-
perempuan lainnya, pengontrolan terhadap tubuhnya menjadi penting

Naskah Akademik Peraturan Daerah tentang 14


Pencegahan dan Penanganan Pornografi
agar moral masyarakat terjaga dan keturunan kaum laki-laki lainnya
tidak akan jatuh ke jurang nista lagi. Di beberapa Negara yang menganut
faham liberalisme dan demokrasi seperti Amerika dan Eropa,
permasalahan pornografi bukanlah suatu masalah atau isu yang penting
untuk dibahas. Hal ini dikarenakan beberapa faktor diantaranya adalah
masyarakatnya yang sudah memperoleh pendidikan tentang seksual
sejak dini, serta terkait dengan humanisme Eropa dimana individu
memiliki kebebasan untuk berekspresi. Bukan berarti sebagian Negara
yang tidak mempermasalahkan pornografi adalah Negara yang tidak
memiliki budaya, akan tetapi Negara yang berpaham liberal dan
demokrasi lebih menggangap bahwa individu memiliki sebuah kebebasan
tersendiri dalam memanfaatkan tubuh mereka. Beberapa Negara ini
justru lebih menekankan pada ada atau tidaknya eksploitasi yang terjadi
dalam memanfaatkan tubuh tersebut. Misalnya, dalam sebuah majalah
terlihat gambar perempuan tanpa mengenakan busana, maka yang dilihat
dari unsur ini adalah apakah si model bersedia untuk difoto dengan
kesadaran penuh atau terjadinya eksploitasi. Setiap individu dianggap
memiliki hak untuk mengatur diri dan tubuhnya sendiri. Namun, hal ini
tidak terjadi pada beberapa Negara yang menjadikan aturan agama
sebagai aturan hukum yang mutlak terhadap masyarakatnya. Beberapa
Negara yang memiliki nilai agama yang kuat seperti Arab Saudi dan
Vatikan, menggangap pornografi atau segala kegiatan seksual adalah
sesuatu yang tidak sepantasnya dipublikasikan atau dibicarakan secara
terbuka. Hal itu dianggap menentang aturan agama.
Menurut H.B Jassin pornografi adalah setiap tulisan atau gambar
yang sengaja digambar atau ditulis dengan maksud merangsang seksual.
Pornografi membuat fantasi pembaca mengarah pada daerah kelamin dan
menyebabkan syahwat berkobar17. Istilah obscenity (kecabulan) dalam
bahasa Inggris lebih sering digunakan untuk mengungkapkan sesuatu
yang tabu selain kata pornografi. Makna dari obscenity mengacu pada
segala sesuatu yang tidak senonoh, mesum, dan melanggar kesopanan.

17
http//Wikipedia/sejarah-pengertian-pornografi, Senin, 15 Maret 2017 20:00 )
Naskah Akademik Peraturan Daerah tentang 15
Pencegahan dan Penanganan Pornografi
Terkadang orang juga membedakan antara pornografi ringan dengan
pornografi berat. Dapat disimpulkan pornografi adalah segala sesuatu
dalam bentuk gambar, tulisan, kata-kata, gerak tubuh yang yang
mengarah pada kecabulan yang dibuat untuk merangsang seksualitas.
Pengertian pornografi dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun
2008 tentang Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan,
suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak
tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media
komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat
kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan
dalam masyarakat. Yang dimaksut kecabulan dalam undang-undang anti
pornografi dijelaskan dalam bab II, berisi larangan dan pembatasan yang
dijelaskan dalam pasal 4 dimana hal yang mengandung unsur cabul atau
porno antara lain, yaitu :
a. persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang;

b. kekerasan seksual;

c. masturbasi atau onani;

d. ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;

e. alat kelamin; atau

f. pornografi anak.

Pengaturan pornografi dalam Undang-Undang Pornografi meliputi


(1) pelarangan dan pembatasan pembuatan, penyebarluasan dan
penggunaan pornografi, (2) perlindungan anak dari pengaruh pornografi
dan (3) pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan
pornografi termasuk peran serta masyarakat dalam pencegahan. Undang-
Undang Pornografi ini menetapkan secara tegas tentang bentuk hukuman
dan pelanggaran pembuatan, penyebarluasan dan penggunaan pornografi
yang disesuaikan dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan, yakni
berat, sedang dan ringan serta memberikan pemberatan terhadap
perbuatan pidana yang melibatkan anak. Di samping itu, pemberatan

Naskah Akademik Peraturan Daerah tentang 16


Pencegahan dan Penanganan Pornografi
juga diberikan terhadap pelaku tindak pidana yang dilakukan oleh
korporasi dengan melipatgandakan sanksi pokok serta pemberian
hukuman tambahan.18
Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Pornografi megemukakan
pengertian/definisi bahwa :” Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi,
foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun,
percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai
bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukkan di muka umum, yang
memuat kecabulan atau ekspolitasi seksual yang melanggar norma
kesusilaan dalam masyarakat”.
Berbicara pornografi, menurut pengamat lain mengatakan, hal itu
sebenarnya memiliki kategori-kategori tersendiri. Sebagaimana
dikemukakan oleh pakar dari bidang media menjelaskan ada 2 (dua)
kategori mengenai pornografi yakni: (a) hard pornography atau pornografi
berkategori obscene yakni berhubungan dengan seks atau melakukan
aktivitas yang mengarah pada hubungan seks; (1) dengan pasangan
sejenis, (2) dengan anak-anak (pedophilia), (3) dengan kekerasan, (4)
dengan orang-orang yang telah mati, dan (5) dengan hewan. (b) sofcore
pornography yakni aktivitas pornografi di luar hal-hal tersebut diatas; (1)
membuat tulisan, suara, film/tayangan, (2) menjadi pelaku atau model,
dan (3) menyiarkan, memperdengarkan dan mempertontonkan aktivitas
pornografi diluar hardcore pornography untuk peruntukan orang dewasa
bukanlah kejahatan, antara lain; (1) tarian eksotik atau bergoyang erotis,
(2) berciuman bibir, (3) bagian tubuh tertentu yang sensual dari orang
dewasa.19
Adapun yang dikategorikan tidak termasuk sebagai pornografi
menurut Tjipta Lesmana dan Sumartono terdapat 5 (lima) bidang yaitu;
seni, sastra, adat-istiadat (custom), ilmu pengetahuan, dan olah raga.
Selama gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar

18
Jelita249, Pro Kontra Undang _undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, artikel, diakses pada 17
Maret 2017 dari http://jelita249.blogspot.com/2014/09/pro-dan-kontra-undang-undang-no-44html.
19
Analisi Dan Evaluasi Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 halaman 23, diakes pada tanggal 17 Maret
2017 dari www.bphn.go.id/data/documents/aeporno.pdf
Naskah Akademik Peraturan Daerah tentang 17
Pencegahan dan Penanganan Pornografi
bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan
lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau
pertunjukan di muka umum dalam rangka seni, sastra, adat-istiadat
(custom), ilmu pengetahuan dan olah raga maka hal tersebut bukanlah
perbuatan pornografi sebagaimana dimaksudkan undang-undang.20
Dalam konteks perlindungan dari hal diatas tentunya timbul
pertanyaan siapa yang harus dilindungi dari pornografi tersebut.
Jawabnya tentu semua pihak harus dilindungi dari berbagai hardcore
pornography, termasuk anak-anak juga harus dilindungi dari softcore
pornograraphy. Tentunya juga lapisan masyarakat yang agamis harus
dilindungi dari hal itu. Ini semua bukan semata hak asasi manusia akan
tetapi bagian dari norma-norma ajaran agama yang memang memandang
hal itu sangat keras bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung
dalam ajaran agama.
Untuk hal itu perlu ada ukuran pelarangan yang berkaitan dengan
pornografi dalam rangka melindungi lapisan masyarakat. Hal yang
dilarang serta dibatasi adalah para pelaku yang sengaja
mempertunjukkan gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi,
gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk
pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau
pertunjukkan di muka umum bukan dalam kerangka seni, sastra, adat
istiadat (custom), ilmu pengetahuan, dan olah raga.21
Di Indonesia memang dalam konteks melakukan perbuatan
pornografi tindakan pencabulan dan lain-lain yang sejenisnya dengan hal
itu, secara politik hukum telah diatur dalam KUHP, demikian pula dalam
konteks perlindungan anak dari tindakan pornografi dan pornoaksi
ketentuannya sudah diakomodasi dalam Undang-Undang Perlindungan
Anak (UUPA). Hal lain, dari pengamat ada yang berpandangan Indonesia
membutuhkan suatu undang-undang yang disebutnya sebagai “UU
Distribusi”, suatu undang-undang yang dapat memberikan perlindungan
bagi kaum agamis dari pornografi dan pornoaksi, sebaliknya adanya hak
20
Ibid, hlm 24
21
Ibid, hlm 25
Naskah Akademik Peraturan Daerah tentang 18
Pencegahan dan Penanganan Pornografi
masyarakat orangtua-kelompok “perjuangan hidup, berjuang untuk
hidup” untuk mendapatkan bacaan dan tontonan softcore pornography
yang diatur dalam UU Distribusi tersebut. Menurutnya bila ini ada, tidak
perlu lagi Undang-Undang Anti Pornografi dan Anti Pornoaksi.22
Dalam konsideran Undang-Undang Pornografi “Menimbang” huruf
b dikemukakan alasan diundangkannya Undang-Undang Pornografi,
bahwa “perbuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi semakin
berkembang luas di tengah masyarakat yang mengancam kehidupan dan
tatanan sosial masyarakat Indonesia”. Kemudian dalam hal menimbang
huruf c dikemukakan juga alasan hukum diundangkannya Undang-
Undang Pornografi, yaitu disebabkan oleh karena “peraturan perundang-
undangan yang berkaitan dengan pornografi yang ada saat ini belum
dapat memenuhi kebutuhan hukum serta perkembangan masyarakat.23
Dengan demikian secara teoritis sosiologis peristilahan dan makna
yang terkandung dalam istilah sekaligus pemahaman empirisnya bahwa
memang pornografi merupakan perbuatan atau tindakan negatif dan
dapat menyebabkan akibat yang negatif pula, merupakan sesuatu yang
tidak sesuai dan bertentangan dengan filsafah dasar negara Indonesia.
Kehadiran Undang-Undang Pornografi di Indonesia dalam rangka untuk
mampu mencegah, mengatasi bahaya dan pengaruh dari eksploitasi hal-
hal yang tidak patut dan pantas serta jelas melanggar norma-norma
agama dan etika masyarakat yang secara bebas dihadirkan di ruang
publik.
Hal itu tentunya tidak hanya menimbulkan reaksi keras dari publik
itu sendiri, namun juga sangat menimbulkan ekses negatif bagi
perkembangan kepribadian masyarakat Indonesia di masa depan dalam
kaitannya dengan pembentukan karakter bangsa.

C. Kajian Terhadap Asas Atau Prinsip Yang Terkait Dengan


Penyusunan Norma

22
Ibid, hlm. 25
23

Naskah Akademik Peraturan Daerah tentang 19


Pencegahan dan Penanganan Pornografi
Dalam ilmu hukum yang dimaksud dengan asas adalah pikiran
dasar yang umum dan abstrak, atau merupakan latar belakang peraturan
konkrit yang terdapat di dalam dan di belakang setiap sistem hukum
yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan
hukum, yang merupakan hukum positif dan dapat ditemukan dengan
mencari sifat-sifat atau ciri-ciri yang umum dalam peraturan konkrit
tersebut.24
Oleh karena itu, pilihan asas haruslah dilandasi oleh filosofi dan
tujuan pencegahan dan penanganan pornografi. Asas-asas tersebut
kemudian dijabarkan ke dalam ketentuan-ketentuan Peraturan Daerah
tentang Pencegahan dan Penanganan Pornografi.

1. Asas dan Norma Pembentukan Peraturan Daerah tentang


Pencegahan dan Penanganan Pornografi
Untuk menggali dasar timbulnya timbulnya ilmu perundang-
undangan, dapat dipahami dalam Pembukaan dan Batang Tubuh
Undang-Undang Dasar 1945, negara yang berdasarkan pada hukum
(rechstaat), dalam arti negara pengurus (verzorgingsstaat).
Mengambil sebagian dari teks Pembukaan UUD 1945, pada alinea
ke-4 berbunyi, sebagai berikut: “Untuk membentuk suatu pemerintahan
negara Indonesia yang melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan Bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban
dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial.”Memperhatikan kandungan alinea-4 tersebut, maka tugas yang
diemban oleh negara dalam menyelenggarakan kesejahteraan umum
tersebut, maka tugas yang diemban oleh negara dalam menyelenggarakan
kesejahteraan umum tersebut, menjadi sangat penting kedudukan dan
fungsi dari arti pembentukan peraturan perundang-undangan di negara
Republik Indonesia. Sebagai bentuk dukungan pentingnya pembentukan
peraturan perundang-undangan A. Hamid S. Attamimi menyatakan

24 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum: Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1996, hal.5.
Naskah Akademik Peraturan Daerah tentang 20
Pencegahan dan Penanganan Pornografi
pembentukan hukum tertulis sangat perlu sebagai berikut: “Hukum
tertulis selain merupakan wahana bagi hukum baru yang dibentuk setelah
Indonesia merdeka, dalam rangka memenuhi kebutuhan kehidupan
kenegaraan, kebangsaan, dan kemasyarakatan yang senantiasa
berkembang juga mutlak “menjembatani” antara lingkup laku aneka adat
dan hukum tertulis lainnya atau untuk mengatasi kebutuhan kepastian
hukum tidak tertulis dalam hal-hal pihak-pihak menghendakinya.”
Selanjutnya menurut Burkradt Krems suatu ilmu pengetahuan
perundang-undangan merupakan suatu disiplin ilmu yang berkarakter
interdisipliner, dalam pengertian ilmu yang berhubungan dengan ilmu
lainnya seperti politik dan sosiologi yang secara garis besarnya dibagi
menjadi 2 (dua) bagian yaitu: Pertama, teori perundang-undangan yang
berorientasi pada mencari kejelasan dan kejernihan makna atau
pengertian-pengertian, dan bersifat kognitif. Kedua, ilmu perundang-
undangan yang berorientasi pada melakukan perbuatan dalam hal
pembentukan peraturan perundang-undangan dan bersifat normatif.
Kemudian Bagir Manan menegaskan peraturan perundang-
undangan adalah setiap keputusan tertulis yang dikeluarkan pejabat
atau lingkungan jabatan yang berwenang yang berisi antara lain aturan-
aturan tingkah laku yang bersifat atau mengikat secara umum.25
Untuk membentuk peraturan perundang-undangan yang baik
sebagaimana ditentukan dalam UU Nomor 12 Tahun 2011, diperlukan
berbagai persyaratan yang berkaitan dengan sistem, asas, tata cara
penyiapan dan pembahasan, teknik, penyusunan maupun
pemberlakuannya. Persyaratan yang berkaitan asas, UU Nomor 12 Tahun
2011 yang mengatur mengenai asas-asas pembentukan peraturan
perundang-undangan, asas-asas materi muatan peraturan perundang-
undangan dan asas-asas lain sesuai dengan bidang hukum peraturan
perundang-undangan yang diaturnya.
Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (algemene
beginselen van behoorlijk wetgeving) dalam UU Nomor 12 Tahun 2011
25
Bagir Manan, Teori Perundang-undangan Reference Mata Kuliah Teori Perundang-undangan, Jakarta
1996, hlm. 1.
Naskah Akademik Peraturan Daerah tentang 21
Pencegahan dan Penanganan Pornografi
diatur dalam Pasal 5 yang menyatakan bahwa dalam membentuk
Peraturan Perundang-undangan harus berdasarkan pada asas
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik meliputi:
a. kejelasan tujuan;
b. kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;
c. kesesuaian antara jenis dan materi muatan;
d. dapat dilaksanakan
e. kedayagunaan dan kehasilgunaan
f. kejelasan rumusan
g. keterbukaan
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan selain harus
berdasarkan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan
berdasarkan Pasal 6 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011 juga harus
memuat asas-asas materi muatan peraturan perundang-undangan:
a. pengayoman
b. kemanusiaan
c. kebangsaan
d. kekeluargaan
e. kenusantaraan
f. bhineka tunggal ika
g. keadilan
h. kesamaam kedudukan dalam hukum dan pemerintahan
i. ketertiban, kepastian hukum, dan atau
j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan
Selain asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan dan
asas materi muatan peraturan perundang-undangan, Pasal 6 ayat (2) UU
Nomor 12 Tahun 2011 menyatakan bahwa selain asas-asas materi
muatan peraturan perundang-undangan, Peraturan Perundang-
undangan tertentu dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum
Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan.

2. Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

Naskah Akademik Peraturan Daerah tentang 22


Pencegahan dan Penanganan Pornografi
Dalam pembentukan Peraturan Daerah tentang tentang
Pencegahan Dan Penanggulangan Pornografi dan Pornoaksi terdapat
beberapa asas-asas yang melatarbelakanginya yaitu asas-asas dalam
membentuk peraturan perundang-undangan yang baik sebagaimana
diamanatkan dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU Nomor 12
Tahun 2011), yang menyatakan bahwa dalam membentuk Peraturan
Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang meliputi:
a. Asas Kejelasan Tujuan
Asas kejelasan tujuan sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 5
huruf a UU Nomor 12 Tahun 2011 adalah bahwa setiap
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus mempunyai
tujuan yang jelas yang hendak dicapai.
b. Asas Kelembagaan atau Pejabat Pembentuk yang Tepat
Asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat sebagaimana
diamanatkan dalam Pasal 5 huruf b UU Nomor 12 Tahun 2011
adalah bahwa setiap jenis Peraturan Perundang-undangan harus
dibuat oleh lembaga negara atau pejabat Pembentuk Peraturan
Perundang-undangan yang berwenang. Peraturan Perundang-
undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum
apabila dibuat oleh lembaga negara atau pejabat yang tidak
berwenang.
c. Asas Kesesuaian Antara Jenis, Hierarki, dan Materi Muatan
Asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan
sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 5 huruf c UU Nomor 12
Tahun 2011 adalah bahwa dalam Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan harus benarbenar memperhatikan materi
muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki Peraturan
Perundang-undangan.
d. Asas Dapat Dilaksanakan

Naskah Akademik Peraturan Daerah tentang 23


Pencegahan dan Penanganan Pornografi
Asas dapat dilaksanakan sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 5
huruf d UU Nomor 12 Tahun 2011 adalah bahwa setiap
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus
memperhitungkan efektivitas Peraturan Perundang-undangan
tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis,
maupun yuridis.
e. Asas Kedayagunaan dan Kehasilgunaan
Asas kedayagunaan dan kehasilgunaan sebagaimana diamanatkan
dalam Pasal 5 huruf e UU Nomor 12 Tahun 2011 adalah bahwa
setiap Peraturan Perundang-undangan dibuat karena memang
benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
f. Asas Kejelasan Rumusan
Asas kejelasan rumusan sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 5
huruf f UU Nomor 12 Tahun 2011 adalah bahwa setiap Peraturan
Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis
penyusunan Peraturan Perundang-undangan, sistematika, pilihan
kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah
dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam
interpretasi dalam pelaksanaannya.
g. Asas Keterbukaan
Asas keterbukaan sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 5 huruf g
UU Nomor 12 Tahun 2011 adalah bahwa dalam Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan mulai dari perencanaan,
penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan
pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian,
seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-
luasnya untuk memberikan masukan dalam Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.

Naskah Akademik Peraturan Daerah tentang 24


Pencegahan dan Penanganan Pornografi
3. Asas Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan
Kemudian dalam pembentukan Peraturan Daerah tentang tentang
Pencegahan dan Penanganan Pornografi menurut Pasal 6 ayat (1) UU
Nomor 12 Tahun 2011, materi muatannya harus mencerminkan asas:
a. Asas Pengayoman
Asas pengayoman sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 6 ayat (1)
huruf a UU Nomor 12 Tahun 2011 adalah bahwa setiap Materi
Muatan Peraturan Perundang-undangan harus berfungsi
memberikan perlindungan untuk menciptakan ketenteraman
masyarakat.
b. Asas Kemanusiaan
Asas kemanusiaan sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 6 ayat
(1) huruf b UU Nomor 12 Tahun 2011 adalah bahwa setiap Materi
Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan
pelindungan dan penghormatan hak asasi manusia serta harkat
dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara
proporsional.
c. Asas Kebangsaan
Asas kebangsaan sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 6 ayat (1)
huruf c UU Nomor 12 Tahun 2011 adalah bahwa setiap Materi
Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan sifat
dan watak bangsa Indonesia yang majemuk dengan tetap menjaga
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
d. Asas Kekeluargaan
Asas kekeluargaan sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 6 ayat
(1) huruf d UU Nomor 12 Tahun 2011 adalah bahwa setiap Materi
Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan
musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan
keputusan.
e. Asas Kenusantaraan
Asas kenusantaraan sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 6 ayat
(1) huruf e UU Nomor 12 Tahun 2011 adalah bahwa setiap Materi

Naskah Akademik Peraturan Daerah tentang 25


Pencegahan dan Penanganan Pornografi
Muatan Peraturan Perundang-undangan senantiasa
memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan Materi
Muatan Peraturan Perundang-undangan yang dibuat di daerah
merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
f. Asas Bhinneka Tunggal Ika
Asas bhinneka tunggal ika sebagaimana diamanatkan dalam Pasal
6 ayat (1) huruf f UU Nomor 12 Tahun 2011 adalah bahwa Materi
Muatan Peraturan Perundang-undangan harus memperhatikan
keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus
daerah serta budaya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara.
g. Asas Keadilan
Asas keadilan sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 6 ayat (1)
huruf g UU Nomor 12 Tahun 2011 adalah bahwa setiap Materi
Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan
keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara.
h. Asas Kesamaan Kedudukan dalam Hukum dan Pemerintahan
Asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan
sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 6 ayat (1) huruf h UU
Nomor 12 Tahun 2011 adalah bahwa setiap Materi Muatan
Peraturan Perundang-undangan tidak boleh memuat hal yang
bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain,
agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial.
i. Asas Ketertiban dan Kepastian Hukum
Asas ketertiban dan kepastian hukum sebagaimana diamanatkan
dalam Pasal 6 ayat (1) huruf i UU Nomor 12 Tahun 2011 adalah
bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus
dapat mewujudkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan
kepastian hukum.
j. Asas Keseimbangan, Keserasian, dan Keselarasan

Naskah Akademik Peraturan Daerah tentang 26


Pencegahan dan Penanganan Pornografi
Asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan sebagaimana
diamanatkan dalam Pasal 6 ayat (1) huruf j UU Nomor 12 Tahun
2011 adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-
undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan
keselarasan, antara kepentingan individu, masyarakat dan
kepentingan bangsa dan negara.
Pasal 6 ayat (2) UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan menyatakan bahwa selain asas yang
disebutkan dalam Pasal 6 ayat (2) UU Nomor 12 Tahun 2011, Peraturan
Perundang-undangan tertentu dapat berisi asas lain sesuai dengan
bidang hukum Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan,
dalam hal ini pembentukan Peraturan Daerah tentang Pencegahan dan
Penanganan Pornografi, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, penghormatan
terhadap harkat dan martabat kemanusiaan, kebinekaan, kepastian
hukum, nondiskriminasi, dan perlindungan terhadap warga negara.

Naskah Akademik Peraturan Daerah tentang 27


Pencegahan dan Penanganan Pornografi
BAB III
EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
TERKAIT DENGAN PORNOGRAFI

A. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG


PEMERINTAHAN DAERAH
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, pada tanggal 2 Oktober 2014 diundangkan,
membawa perubahan terkait pengelolaan keuangan negara atau daerah.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah mengamanatkan bahwa hubungan Pemerintah Pusat dengan
Daerah dapat dirunut dari alinea ketiga dan keempat Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Alinea
ketiga memuat pernyataan kemerdekaan bangsa Indonesia. Sedangkan
alinea keempat memuat pernyataan bahwa setelah menyatakan
kemerdekaan, yang pertama kali dibentuk adalah Pemerintah Negara
Indonesia yaitu Pemerintah Nasional yang bertanggung jawab mengatur
dan mengurus bangsa Indonesia. Lebih lanjut dinyatakan bahwa tugas
Pemerintah Negara Indonesia adalah melindungi seluruh bangsa dan
tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan
mencerdaskan kehidupan bangsa serta ikut memelihara ketertiban dunia
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Selanjutnya Pasal 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah
negara kesatuan yang berbentuk republik. Konsekuensi logis sebagai
Negara kesatuan adalah dibentuknya pemerintah Negara Indonesia
sebagai pemerintah nasional untuk pertama kalinya dan kemudian
pemerintah nasional tersebutlah yang kemudian membentuk Daerah
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Kemudian Pasal 18
ayat (2) dan ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Naskah Akademik Peraturan Daerah tentang 28


Pencegahan dan Penanganan Pornografi
Tahun 1945 menyatakan bahwa Pemerintahan Daerah berwenang untuk
mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan menurut Asas
Otonomi dan Tugas Pembantuan dan diberikan otonomi yang seluas-
luasnya.
Pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada Daerah diarahkan
untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui
peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat. Di
samping itu melalui otonomi luas, dalam lingkungan strategis globalisasi,
Daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan
memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan
dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman Daerah dalam sistem
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pemberian otonomi yang seluas-seluasnya kepada Daerah
dilaksanakan berdasarkan prinsip negara kesatuan. Dalam negara
kesatuan kedaulatan hanya ada pada pemerintahan negara atau
pemerintahan nasional dan tidak ada kedaulatan pada Daerah. Oleh
karena itu, seluas apa pun otonomi yang diberikan kepada Daerah,
tanggung jawab akhir penyelenggaraan Pemerintahan Daerah akan tetap
ada di tangan Pemerintah Pusat. Untuk itu Pemerintahan Daerah pada
negara kesatuan merupakan satu kesatuan dengan Pemerintahan
Nasional.
Sejalan dengan itu, kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan oleh
Daerah merupakan bagian integral dari kebijakan nasional. Pembedanya
adalah terletak pada bagaimana memanfaatkan kearifan, potensi, inovasi,
daya saing, dan kreativitas Daerah untuk mencapai tujuan nasional
tersebut di tingkat lokal yang pada gilirannya akan mendukung
pencapaian tujuan nasional secara keseluruhan.
Daerah sebagai satu kesatuan masyarakat hukum yang
mempunyai otonomi berwenang mengatur dan mengurus Daerahnya
sesuai aspirasi dan kepentingan masyarakatnya sepanjang tidak
bertentangan dengan tatanan hukum nasional dan kepentingan umum.
Dalam rangka memberikan ruang yang lebih luas kepada Daerah untuk

Naskah Akademik Peraturan Daerah tentang 29


Pencegahan dan Penanganan Pornografi
mengatur dan mengurus kehidupan warganya maka Pemerintah Pusat
dalam membentuk kebijakan harus memperhatikan kearifan lokal dan
sebaliknya Daerah ketika membentuk kebijakan Daerah baik dalam
bentuk Perda maupun kebijakan lainnya hendaknya juga memperhatikan
kepentingan nasional. Dengan demikian akan tercipta keseimbangan
antara kepentingan nasional yang sinergis dan tetap memperhatikan
kondisi, kekhasan, dan kearifan lokal dalam penyelenggaraan
pemerintahan secara keseluruhan.
Pada hakikatnya Otonomi Daerah diberikan kepada rakyat sebagai
satu kesatuan masyarakat hukum yang diberi kewenangan untuk
mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan yang diberikan
oleh Pemerintah Pusat kepada Daerah dan dalam pelaksanaannya
dilakukan oleh kepala daerah dan DPRD dengan dibantu oleh Perangkat
Daerah.
Urusan Pemerintahan yang diserahkan ke Daerah berasal dari
kekuasaan pemerintahan yang ada ditangan Presiden. Konsekuensi dari
negara kesatuan adalah tanggung jawab akhir pemerintahan ada
ditangan Presiden. Agar pelaksanaan Urusan Pemerintahan yang
diserahkan ke Daerah berjalan sesuai dengan kebijakan nasional maka
Presiden berkewajiban untuk melakukan pembinaan dan pengawasan
terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan dibantu oleh
menteri negara dan setiap menteri bertanggung atas Urusan
Pemerintahan tertentu dalam pemerintahan. Sebagian Urusan
Pemerintahan yang menjadi tanggung jawab menteri tersebut yang
sesungguhnya diotonomikan ke Daerah. Konsekuensi menteri sebagai
pembantu Presiden adalah kewajiban menteri atas nama Presiden untuk
melakukan pembinaan dan pengawasan agar penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah berjalan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Agar tercipta sinergi antara Pemerintah Pusat dan
Daerah, kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian berkewajiban
membuat norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK) untuk dijadikan

Naskah Akademik Peraturan Daerah tentang 30


Pencegahan dan Penanganan Pornografi
pedoman bagi Daerah dalam menyelenggarakan Urusan Pemerintahan
yang diserahkan ke Daerah dan menjadi pedoman bagi
kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian untuk melakukan
pembinaan dan pengawasan. Presiden melimpahkan kewenangan kepada
Menteri sebagai koordinator pembinaan dan pengawasan yang dilakukan
oleh kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian terhadap
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Kementerian/lembaga
pemerintah nonkementerian melakukan pembinaan dan pengawasan
yang bersifat teknis, sedangkan Kementerian melaksanakan pembinaan
dan pengawasan yang bersifat umum. Mekanisme tersebut diharapkan
mampu menciptakan harmonisasi antar kementerian/lembaga
pemerintah nonkementerian dalam melakukan pembinaan dan
pengawasan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah secara keseluruhan.
Sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, terdapat Urusan Pemerintahan yang
sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat yang dikenal dengan
istilah urusan pemerintahan absolut dan ada urusan pemerintahan
konkuren.
Urusan pemerintahan konkuren terdiri atas Urusan Pemerintahan
Wajib dan Urusan Pemerintahan Pilihan yang dibagi antara Pemerintah
Pusat, Daerah provinsi, dan Daerah kabupaten/kota. Urusan
Pemerintahan Wajib dibagi dalam Urusan Pemerintahan Wajib yang
terkait Pelayanan Dasar dan Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak
terkait Pelayanan Dasar. Untuk Urusan Pemerintahan Wajib yang terkait
Pelayanan Dasar ditentukan Standar Pelayanan Minimal (SPM) untuk
menjamin hak-hak konstitusional masyarakat.
Pembagian urusan pemerintahan konkuren antara Daerah provinsi
dengan Daerah kabupaten/kota walaupun Urusan Pemerintahan sama,
perbedaannya akan nampak dari skala atau ruang lingkup Urusan
Pemerintahan tersebut. Walaupun Daerah provinsi dan Daerah
kabupaten/kota mempunyai Urusan Pemerintahan masing-masing yang
sifatnya tidak hierarki, namun tetap akan terdapat hubungan antara

Naskah Akademik Peraturan Daerah tentang 31


Pencegahan dan Penanganan Pornografi
Pemerintah Pusat, Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota dalam
pelaksanaannya dengan mengacu pada NSPK yang dibuat oleh
Pemerintah Pusat.

B. Peraturan Perundang-Undangan Terkait Dengan Pornografi


1. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers
Pasal 28 Undang-undang Dasar 1945 menjamin kemerdekaan
berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan
tulisan. Pers yang meliputi media cetak, media elektronik dan media
lainnya merupakan salah satu sarana untuk mengeluarkan pikiran
dengan lisan dan tulisan tersebut. Agar pers berfungsi secara maksimal
sebagaimana diamanatkan Pasal 28 Undang-undang Dasar 1945 maka
perlu dibentuk Undang-undang tentang Pers. Fungsi maksimal itu
diperlukan karena kemerdekaan pers adalah salah satu perwujudan
kedaulatan rakyat dan merupakan unsur yang sangat penting dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis.
Dalam kehidupan yang demokratis itu pertanggungjawaban kepada
rakyat terjamin, sistem penyelenggaraan negara yang transparan
berfungsi, serta keadilan dan kebenaran terwujud. Pers yang memiliki
kemerdekaan untuk mencari dan menyampaikan informasi juga sangat
penting untuk mewujudkan Hak Asasi Manusia yang dijamin dengan
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor:
XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, antara lain yang
menyatakan bahwa setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh
informasi sejalan dengan Piagam Perserikatan Bangsa-bangsa tentang
Hak Asasi Manusia Pasal 19 yang berbunyi : "Setiap orang berhak atas
kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini
termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan, dan untuk
mencari, menerima, dan menyampaikan informasi dan buah pikiran
melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas
wilayah".

Naskah Akademik Peraturan Daerah tentang 32


Pencegahan dan Penanganan Pornografi
Pers yang juga melaksanakan kontrol sosial sangat penting pula
untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan baik korupsi,
kolusi, nepotisme, maupun penyelewengan dan penyimpangan lainnya.
Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers
menghormati hak asasi setiap orang, karena itu dituntut pers yang
profesional dan terbuka dikontrol oleh masyarakat.
UU No. 44 tahun 1999 memberikan larangan pemuatan pornografi
di media, seperti terungkap dalam pasal 13 yang menyebutkan bahwa
perusahaan pers dilarang memuat iklan:
a. Yang berakibat merendahkan martabat suatu agama dan atau
mengganggu kerukunan hidup antarumat beragama, serta
bertentangan dengan rasa kesusilaan masyarakat;
b. Minumana keras, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang
berlaku;
c. Peragaan wujud rokok dan atau penggunaan rokok.
Terbitnya Undang-undang No. 40 tahun 1999 tentang pers yang
dimaksudkan untuk meregulasi penyampaian informasi secara benar
kepada masyarakat, dalam prakteknya tidak selalu selaras dengan
teorinya. UU yang sebenarnya memberikan kebebasan pers dan otonomi
dalam membagi informasi (righ to know) dan hak menyampaikan
pendapat (right to express)26, banyak disalahartikan.
Istilah otonomi sering diartikan sebagai kebebasan penuh dalam
mengelola institusi pers. Pers sering mengabaikan kewajiban-
kewajibannya yang sebetulnya menyertai hakhak tersebut. Terlebih lagi,
pers juga merupakan lahan bisnis, sehingga para pemodal juga berusaha
meraup keuntungan yang banyak, meski bergeser dari fungsi pokoknya.
Tidak sedikit, pers menampilkan pornografi. Demikian ini berlaku untuk
semua media, baik cetak maupun elektronik. Pers nasional, seperti dalam
pasal 3 ayat 1 UU NO. 44 tahun 1999 sebenarnya mempunyai fungsi
sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial. Selain

26
Masduki, Kebebasan Pers dan Kode Etik Jurnalistik (Yogyakarta: UII Press, 2003), hal 7
Naskah Akademik Peraturan Daerah tentang 33
Pencegahan dan Penanganan Pornografi
sebagai kontrol sosial, pers juga sangat penting untuk mencegah
penyalahgunaan kekuasaan baik korupsi, kolusi, nepotisme maupun
penyelewengan atau penyimpangan lainnya. Di samping itu, dalam pasal
5 ayat 1 disebutkan bahwa pers nasional berkewajiban memberikan
peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa
kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah.

2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan


Anak Sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber
daya manusia yang merupakan potensi dan penerus citacita perjuangan
bangsa, yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri dan sifat
yang khusus, memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka
menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial
secara utuh, serasi, selaras, dan seimbang. Dalam Undang- Undang
Dasar 1945 mengenai hak atas anak yang termuat dalam Pasal 28 B ayat
2 berbunyi: “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh
kembang, serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi”.
Jaminan perlindungan dan pemenuhan hak anak ini ditandai
dalam UUD 1945 dan beberapa ketentuan peraturan
perundangundangan baik yang bersifat nasional maupun internasional.
Jaminan ini dikuatkan melalui ratifikasi konvensi internasional tentang
hak anak, yaitu pengesahan Konvensi Hak Anak melalui Keputusan
Presiden Nomor 36 tahun 1990 tentang Pengesahan Convention On The
Rights Of The Child (Konvensi Tentang Hak- Hak Anak). Sebagai
implementasinya, Pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 23
tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang kemudian dilakukan
perubahan terhadap beberapa ketentuannya menjadi Undang-Undang

Naskah Akademik Peraturan Daerah tentang 34


Pencegahan dan Penanganan Pornografi
Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23
tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Negara, Pemerintah, Pemerintah Daerah, Masyarakat, Keluarga dan
Orang Tua berkewajiban untuk memberikan perlindungan dan menjamin
terpenuhinya hak asasi Anak sesuai dengan tugas dan
tanggungjawabnya. Perlindungan terhadap Anak yang dilakukan selama
ini belum memberikan jaminan bagi Anak untuk mendapatkan perlakuan
dan kesempatan yang sesuai dengan kebutuhannya dalam berbagai
bidang kehidupan, sehingga dalam melaksanakan upaya perlindungan
terhadap Hak Anak oleh Pemerintah harus didasarkan pada prinsip hak
asasi manusia yaitu penghormatan, pemenuhan, dan perlindungan atas
Hak Anak.
Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, yang secara substantif telah mengatur beberapa hal
antara lain persoalan Anak yang sedang berhadapan dengan hukum,
Anak dari kelompok minoritas, Anak dari korban eksploitasi ekonomi dan
seksual, Anak yang diperdagangkan, Anak korban kerusuhan, Anak yang
menjadi pengungsi dan Anak dalam situasi konflik bersenjata,
Perlindungan Anak yang dilakukan berdasarkan prinsip nondiskriminasi,
kepentingan terbaik bagi anak, penghargaan terhadap pendapat anak,
hak untuk hidup, tumbuh dan berkembang. Dalam pelaksanaanya
Undang-Undang tersebut telah sejalan dengan amanat Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terkait jaminan hak asasi
manusia, yaitu Anak sebagai manusia memiliki hak yang sama untuk
tumbuh dan berkembang.
Walaupun instrumen hukum telah dimiliki, dalam perjalanannya
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
belum dapat berjalan secara efektif karena masih adanya tumpang tindih
antarperaturan perundang-undangan sektoral terkait dengan definisi
Anak. Di sisi lain, maraknya kejahatan terhadap Anak di Masyarakat,
salah satunya adalah kejahatan seksual, memerlukan peningkatan
komitmen dari Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Masyarakat serta

Naskah Akademik Peraturan Daerah tentang 35


Pencegahan dan Penanganan Pornografi
semua pemangku kepentingan yang terkait dengan penyelenggaraan
Perlindungan Anak.
Perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak juga mempertegas tentang perlunya pemberatan
sanksi pidana dan denda bagi pelaku kejahatan terhadap Anak, untuk
memberikan efek jera, serta mendorong adanya langkah konkret untuk
memulihkan kembali fisik, psikis dan sosial Anak korban dan/atau Anak
pelaku kejahatan. Hal tersebut perlu dilakukan untuk mengantisipasi
Anak korban dan/atau Anak pelaku kejahatan di kemudian hari tidak
menjadi pelaku kejahatan yang sama.

3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran


Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi telah
melahirkan masyarakat informasi yang makin besar tuntutannya akan
hak untuk mengetahui dan hak untuk mendapatkan informasi. Informasi
telah menjadi kebutuhan pokok bagi masyarakat dan telah menjadi
komoditas penting dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi tersebut telah
membawa implikasi terhadap dunia penyiaran, termasuk penyiaran di
Indonesia. Penyiaran sebagai penyalur informasi dan pembentuk
pendapat umum, perannya makin sangat strategis, terutama dalam
mengembangkan alam demokrasi di negara kita. Penyiaran telah menjadi
salah satu sarana berkomunikasi bagi masyarakat, lembaga penyiaran,
dunia bisnis, dan pemerintah. Perkembangan tersebut telah
menyebabkan landasan hukum pengaturan penyiaran yang ada selama
ini menjadi tidak memadai.
Peran serta masyarakat dalam menyelenggarakan sebagian tugas-
tugas umum pemerintahan, khususnya di bidang penyelenggaraan
penyiaran, tidaklah terlepas dari kaidah-kaidah umum penyelenggaraan
telekomunikasi yang berlaku secara universal.

Naskah Akademik Peraturan Daerah tentang 36


Pencegahan dan Penanganan Pornografi
Atas dasar hal tersebut perlu dilakukan pengaturan kembali
mengenai penyiaran. Undang-undang tentang Penyiaran disusun
berdasarkan pokok-pokok pikiran sebagai berikut:
1. penyiaran harus mampu menjamin dan melindungi kebebasan
berekspresi atau mengeluarkan pikiran secara lisan dan tertulis,
termasuk menjamin kebebasan berkreasi dengan bertumpu pada
asas keadilan, demokrasi, dan supremasi hukum;
2. penyiaran harus mencerminkan keadilan dan demokrasi dengan
menyeimbangkan antara hak dan kewajiban masyarakat ataupun
pemerintah, termasuk hak asasi setiap individu/orang dengan
menghormati dan tidak mengganggu hak individu/orang lain;
3. memperhatikan seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara,
juga harus mempertimbangkan penyiaran sebagai lembaga ekonomi
yang penting dan strategis, baik dalam skala nasional maupun
internasional;
4. mengantisipasi perkembangan teknologi komunikasi dan informasi,
khususnya di bidang penyiaran, seperti teknologi digital, kompresi,
komputerisasi, televisi kabel, satelit, internet, dan bentuk-bentuk
khusus lain dalam penyelenggaraan siaran;
5. lebih memberdayakan masyarakat untuk melakukan kontrol sosial
dan berpartisipasi dalam memajukan penyiaran nasional; untuk itu,
dibentuk Komisi Penyiaran Indonesia yang menampung aspirasi
masyarakat dan mewakili kepentingan publik akan penyiaran;
6. penyiaran mempunyai kaitan erat dengan spektrum frekuensi radio
dan orbit satelit geostasioner yang merupakan sumber daya alam
yang terbatas sehingga pemanfaatannya perlu diatur secara efektif
dan efisien;
7. pengembangan penyiaran diarahkan pada terciptanya siaran yang
berkualitas, bermartabat, mampu menyerap, dan merefleksikan
aspirasi masyarakat yang beraneka ragam, untuk meningkatkan
daya tangkal masyarakat terhadap pengaruh buruk nilai budaya
asing.

Naskah Akademik Peraturan Daerah tentang 37


Pencegahan dan Penanganan Pornografi
Dalam Pasal 36 ayat (5) Undang-Undang Penyiaran dijelaskan bahwa
isi siaran dilarang menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian,
penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang. Pornografi jika dipahami
dari pengertianya jelas merupakan apa yang dimaksud sebagai unsur
cabul pada pasal tersebut, sehingga pelanggaran terhadap pasal tersebut
dapat dikenai sanksi pidana.

4. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan


Transaksi Elektronik
Pemanfaatan Teknologi Informasi, media, dan komunikasi telah
mengubah baik perilaku masyarakat maupun peradaban manusia secara
global. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah pula
menyebabkan hubungan dunia menjadi tanpa batas (borderless) dan
menyebabkan perubahan sosial, ekonomi, dan budaya secara signifikan
berlangsung demikian cepat.
Teknologi Informasi saat ini menjadi pedang bermata dua karena
selain memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan,
dan peradaban manusia, sekaligus menjadi sarana efektif perbuatan
melawan hukum. Bahasan tentang pornografi dalam Undang-Undang No.
11 tahun 2008 tentang transaksi elektronik, tersirat dalam bab VII pasal
27 ayat (1), bahwa “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak
mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat
diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen elektronik yang
memiliki muatan yang melanggar kesusilaan”.

5. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi


Negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 dengan menjunjung tinggi nilai-nilai moral, etika, akhlak mulia, dan
kepribadian luhur bangsa, beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, menghormati kebinekaan dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara, serta melindungi harkat dan martabat setiap

Naskah Akademik Peraturan Daerah tentang 38


Pencegahan dan Penanganan Pornografi
warga negara. Globalisasi dan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, khususnya teknologi informasi dan komunikasi, telah
memberikan andil terhadap meningkatnya pembuatan, penyebarluasan,
dan penggunaan pornografi yang memberikan pengaruh buruk terhadap
moral dan kepribadian luhur bangsa Indonesia sehingga mengancam
kehidupan dan tatanan sosial masyarakat Indonesia. Berkembang
luasnya pornografi di tengah masyarakat juga mengakibatkan
meningkatnya tindak asusila dan pencabulan.
Pengaturan pornografi yang terdapat dalam peraturan
perundangundangan yang ada, seperti Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP), Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pers,
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, dan Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak kurang
memadai dan belum memenuhi kebutuhan hukum serta perkembangan
masyarakat.
Pengaturan pornografi berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa,
penghormatan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan, kebinekaan,
kepastian hukum, nondiskriminasi, dan perlindungan terhadap warga
negara. Hal tersebut berarti bahwa ketentuan yang diatur dalam Undang-
Undang ini adalah:
1. menjunjung tinggi nilai-nilai moral yang bersumber pada ajaran
agama;
2. memberikan ketentuan yang sejelas-jelasnya tentang batasan dan
larangan yang harus dipatuhi oleh setiap warga negara serta
menentukan jenis sanksi bagi yang melanggarnya; dan
3. melindungi setiap warga negara, khususnya perempuan, anak, dan
generasi muda dari pengaruh buruk dan korban pornografi.
Pengaturan pornografi dalam Undang-Undang ini meliputi (1)
pelarangan dan pembatasan pembuatan, penyebarluasan, dan
penggunaan pornografi; (2) perlindungan anak dari pengaruh pornografi;
dan (3) pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan
pornografi, termasuk peran serta masyarakat dalam pencegahan.

Naskah Akademik Peraturan Daerah tentang 39


Pencegahan dan Penanganan Pornografi
Undang-Undang ini menetapkan secara tegas tentang bentuk
hukuman dari pelanggaran pembuatan, penyebarluasan, dan
penggunaan pornografi yang disesuaikan dengan tingkat pelanggaran
yang dilakukan, yakni berat, sedang, dan ringan, serta memberikan
pemberatan terhadap perbuatan pidana yang melibatkan anak. Di
samping itu, pemberatan juga diberikan terhadap pelaku tindak pidana
yang dilakukan oleh korporasi dengan melipatgandakan sanksi pokok
serta pemberian hukuman tambahan.
Untuk memberikan perlindungan terhadap korban pornografi,
Undang-Undang ini mewajibkan kepada semua pihak, dalam hal ini
negara, lembaga sosial, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan,
keluarga, dan/atau masyarakat untuk memberikan pembinaan,
pendampingan, pemulihan sosial, kesehatan fisik dan mental bagi setiap
anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi.

6. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2011 tentang


Pembinaan, Pendampingan, dan Pemulihan Terhadap Anak Yang
Menjadi Korban Atau Pelaku Pornografi
Salah satu ancaman yang cukup signifikan dalam menghambat
pertumbuhan dan perkembangan anak adalah pornografi. Dampak
pornografi bagi anak sangat berbahaya, karena pornografi secara cepat
dan kuat menstimulasi keinginan anak untuk menjadi pecandu seksual.
Anak yang telah terkena pengaruh pornografi tidak hanya menjadikannya
sebagai pecandu seksual tetapi juga dapat menjadikannya sebagai pelaku
kekerasan seksual. Kekerasan seksual tersebut umumnya berobjek pada
anak lainnya terutama pada anak perempuan sebagai korban.
Anak yang menjadi korban kekerasan seksual atau korban
pornografi umumnya mengalami penderitaan secara fisik, psikis, dan
mental sehingga memerlukan pelayanan untuk memulihkan kondisinya
baik fisik, psikis, mental, spiritual, maupun sosial anak. Dengan
demikian diharapkan anak dapat tumbuh dan berkembang dengan baik,
dapat menjalankan aktivitasnya dan dapat hidup secara wajar dalam

Naskah Akademik Peraturan Daerah tentang 40


Pencegahan dan Penanganan Pornografi
lingkungannya. Sementara terhadap anak yang menjadi pelaku
kekerasan seksual atau pelaku pornografi perlu juga diberikan pelayanan
dalam memulihkan kondisinya sehingga ia dapat tumbuh dan
berkembang secara wajar dan sehat. Di samping itu dapat dikatakan
bahwa anak yang menjadi pelaku pornografi pada hakekatnya adalah
anak yang menjadi korban pornografi. Pelayanan yang diberikan kepada
anak pelaku pornografi tersebut dapat berupa pembinaan,
pendampingan, dan pemulihan dengan memperhatikan prinsip-prinsip
perlindungan anak sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Dalam rangka memberikan perlindungan anak yang menjadi
korban atau pelaku pornografi, Undang- Undang Nomor 44 Tahun 2008
tentang Pornografi mengamanatkan bahwa pemerintah, lembaga sosial,
lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, keluarga, dan/atau
masyarakat berkewajiban memberikan pembinaan, pendampingan, serta
pemulihan sosial, kesehatan fisik dan mental. Kewajiban tersebut hanya
dapat terselenggara dengan baik apabila disertai dengan ketentuan-
ketentuan yang dapat dijadikan acuan dalam penyelenggaraan
pembinaan, pendampingan, dan pemulihan terhadap anak yang menjadi
korban atau pelaku pornografi.
Agar penyelenggaraan pembinaan, pendampingan, dan pemulihan
terhadap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi dilaksanakan
secara optimal, maka perlu ada kerja sama yang baik antar Pemerintah
dan pemerintah daerah dengan lembaga sosial, lembaga pendidikan,
lembaga keagamaan, keluarga, dan/atau masyarakat. Kerjasama tersebut
diperlukan mengingat anak memerlukan pelayanan lanjutan yang tidak
dapat ditangani oleh satu lembaga. Untuk itu lembaga-lembaga tersebut
dapat melakukan kerja sama untuk saling melakukan rujukan. Selain
lembaga sosial, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, dan fasilitas
pelayanan kesehatan, peran keluarga dan masyarakat sangat diperlukan
bagi anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi untuk
memberikan pembinaan, pendampingan, dan pemulihan.

Naskah Akademik Peraturan Daerah tentang 41


Pencegahan dan Penanganan Pornografi
Peran keluarga dan masyarakat dalam pembinaan antara lain
meliputi memberikan pemahaman mengenai nilai-nilai moral dan agama
serta bahaya dan dampak pornografi, membangun komunikasi yang baik
antara orang tua dan anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi,
mengawasi pergaulan anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi,
mengawasi penggunaan sarana komunikasi dan sarana informasi yang
digunakan oleh anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi.
Keluarga dan masyarakat berperan pula dalam melaksanakan
pendampingan antara lain meliputi memberikan dukungan psikologis,
memberikan motivasi agar anak yang menjadi korban atau pelaku
pornografi dapat mengatasi permasalahannya.
Untuk menjamin tercapainya tujuan dan peningkatan kualitas
penyelenggaraan pembinaan, pendampingan, dan pemulihan terhadap
anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi Pemerintah dan
pemerintah daerah melakukan pengawasan terhadap lembaga-lembaga
yang melaksanakan pembinaan, pendampingan, dan pemulihan yang
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Pengawasan
meliputi penilaian terhadap pelaksanaan norma, standar, prosedur dan
kriteria, standar pelayanan minimal, dan standar operasional prosedur
pembinaan, pendampingan, dan pemulihan terhadap anak yang menjadi
korban atau pelaku pornografi.

7. Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2014 tentang Syarat Dan


Tata Cara Perizinan Pembuatan, Penyebarluasan, Dan
Penggunaan Produk Pornografi
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi telah
melarang berbagai tindakan dan produk yang terkait dengan pornografi.
Namun berdasarkan Pasal 14 Undang-Undang tentang Pornografi,
terdapat Produk Pornografi yang dikecualikan pembuatan,
penyebarluasan, dan penggunaannya untuk tujuan dan kepentingan
pendidikan dan Pelayanan Kesehatan, serta Pembuatan, Penyebarluasan,
dan Penggunaan Produk Pornografi yang harus dilakukan di tempat dan

Naskah Akademik Peraturan Daerah tentang 42


Pencegahan dan Penanganan Pornografi
dengan cara khusus, sebagaimana diatur dalam Pasal 13. Pengecualian
ini perlu diatur melalui syarat dan tata cara perizinan agar Produk
Pornografi tidak disalahgunakan untuk kepentingan lainnya yang
membahayakan masyarakat. Pengaturan Produk Pornografi yang harus
dilakukan di tempat dan dengan cara khusus juga memandang norma
yang ada di masyarakat.
Pengecualian terhadap Pembuatan, Penyebarluasan, dan
Penggunaan Produk Pornografi untuk tujuandan kepentingan pendidikan
dan Pelayanan Kesehatan, serta Pembuatan, Penyebarluasan, dan
Penggunaan Produk Pornografi yang harus dilakukan di tempat dan
dengan cara khusus ditujukan kepada subyek hukum berupa orang
perseorangan atau korporasi, baik yang berbadan hukum maupun yang
tidak berbadan hukum.
Berdasarkan hal tersebut, Peraturan Pemerintah ini dimaksudkan
untuk memberikan kepastian hukum bahwa Pembuatan,
Penyebarluasan, dan Penggunaan Produk Pornografi untuk tujuan dan
kepentingan pendidikan dan Pelayanan Kesehatan, dan yang harus
dilakukan di tempat dan dengan cara khusus yang dilakukan oleh Setiap
orang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan tidak
dikenai sanksi.
Pembuatan, Penyebarluasan, dan Penggunaan Produk Pornografi
untuk tujuan dan kepentingan pendidikan dan Pelayanan Kesehatan
yang dilakukan oleh orang perseorangan yang tergabung dalam lembaga
pendidikan dan/atau lembaga pelayanan kesehatan, cukup diketahui
oleh pimpinan lembaga sepanjang dilakukan sesuai standar profesi yang
dimiliki. Adapun Setiap orang di luar lembaga pendidikan dan/atau
lembaga pelayanan kesehatan, dalam Pembuatan dan Penyebarluasan
Produk Pornografi untuk tujuan dan kepentingan pendidikan dan
Pelayanan Kesehatan harus mendapatkan Izin dari menteri terkait yang
berwenang. Sedangkan Pembuatan, Penyebarluasan, dan Penggunaan
Produk Pornografi yang harus dilakukan di tempat dan dengan cara

Naskah Akademik Peraturan Daerah tentang 43


Pencegahan dan Penanganan Pornografi
khusus harus memperoleh Izin dari Gubernur atau bupati/walikota yang
berwenang.
Gubernur atau bupati/walikota sesuai kewenangannya akan
mengeluarkan ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan administratif,
prosedur, dan jangka waktu Pembuatan, Penyebarluasan, dan
Penggunaan Produk Pornografi dalam perolehan Izin yang disesuaikan
dengan norma-norma setempat dengan tetap mengacu pada Undang-
Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi dan Peraturan
Pemerintah ini. Dengan demikian, diharapkan Peraturan Pemerintah ini
dapat bersifat fleksibel.
Dalam melakukan pengawasan terhadap Pembuatan,
Penyebarluasan, dan Penggunaan Produk Pornografi, jika pemberi izin
mendapati pelanggaran, maka pihak yang melanggar dapat dikenakan
sanksi administratif sesuai ketentuan yang telah disahkan. Berdasarkan
pemikiran tersebut, Peraturan Pemerintah tentang Syarat dan Tata Cara
Perizinan Pembuatan, Penyebarluasan, dan Penggunaan Produk
Pornografi disusun secara komprehensif dalam rangka mewujudkan
kesejahteraan masyarakat Indonesia materiil dan spiritual.

Naskah Akademik Peraturan Daerah tentang 44


Pencegahan dan Penanganan Pornografi
BAB IV
LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS

A. LANDASAN FILOSOFIS
Landasan filosofis sebagaimana diamanatkan dalam UU Nomor 12
Tahun 2011, merupakan pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan
pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana
kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila
dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
Masyarakat Jawa Barat yang mayoritas penganut agama Islam
menjadikan Al-Quran sebagai sumber hukum yang paling utama. Dan
yang kedua adalah keberadaan Pancasila sebagai dasar negara. Di dalam
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008, Disebutkan dalam konsideran
menimbang, bahwa pengejawantahan Pancasila pada Negara Hukum
Indonesia mewajibkan bahwa negara harus membentuk karakter bangsa
yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral, etika, akhlak mulia, dan
kepribadian luhur bangsa, beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, menghormati kebhinekaan dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara, serta melindungi harkat dan martabat setiap
warga negara.
Di dalam masyarakat Jawa barat yang religius dan beradab,
dimana kehidupan nilai-nilai keagamaan telah melekat dan menyatu
dalam prilaku budaya masyarakatnya. Dimana hal-hal yang tidak patut,
tabu, tidak pantas, tidak sopan, melanggar etika agama dan budaya
masyarakat termasuk soal pelanggaran moralitas dalam bentuk
pornografi pada dasarnya dapat meruntuhkan dan menghancurkan
moralitas masyarakat itu sendiri.
Pornografi merupakan tahap awal atau lingkup yang membuat kita
dekat dengan zina, dan mendorong kita melakukan zina, sehingga
seluruh aktivitas ini dan segala yang melingkupinya harus dilarang.

Naskah Akademik Peraturan Daerah tentang 45


Pencegahan dan Penanganan Pornografi
Bahkan, jangankan mendekatinya, melihat sesuatu yang
membangkitkan gairah (annazhar bisyahwat) saja dapat dikategorikan
sebagai zina (zina mata) dan hukumnya haram. Sebagaimana yang
terdapat dalam kitab Jawahir al Bukhori Menurut sebagian ulama,
pelarangan aktivitas ini disebabkan karena khawatir terjadinya perbuatan
zina. Kemudian pornografi selain terkait dengan masalah aurat,
pornografi juga sangat kental dengan masalah zina, karena dengan
pornografi bisa mendekatkan dan memancing si pelaku maupun orang
yang menikmatinya kepada perzinaan. Segala hal yang mendekatkan dan
membuat kita dekat dengan zina jelas dilarang dalam Islam.
Secara garis besar, pornografi dapat dipahami sebagai suatu
kegiatan yang mengeksploitasikan seksualitas dan bertujuan untuk
merangsang nafsu birahi. Kegiatan ini antara lain memperlihatkan,
memperdengarkan,menceritakan dalam tulisan, atau menggambarkan
sesuatu yang tidak pantas, dalam hal ini tubuh dan aktivitas seksual.
Dalam Islam, hal-hal tersebut adalah haram untuk dilihat maupun
didengar. Tubuh bagi manusia merupakan amanah Allah yang wajib
dijaga dan dipelihara. Tubuh sendiri bagi manusia adalah aurat, yang
berarti kemaluan (alat vital), dapat juga diartikan cela atau cacat. Secara
terminologis, aurat adalah segala sesuatu yang dirasa malu atau
memalukan apabila hal itu diketahui atau dilihat orang lain. Dari
pengertian aurat ini, Islam mewajibkan menutup aurat dan haram
hukumnya untuk melihat maupun memperlihatkannya. Salah satu
bagian dari aktivitas pornografi adalah memperlihatkan aurat, sehingga
dapat dikatakan bahwa aktivitas tersebut dilarang dalam Islam. Larangan
ini sebagaimana ditegaskan oleh Rasulullah SAW : “Janganlah seorang
laki-laki memandang aurat laki-laki lain, dan janganlah pula seorang
perempuan memandang aurat perempuan lain” (HR. Muslim,Ahmad, Abu
Daud, dan Turmudzi) Jelas kiranya, bahwa perbuatan memandang aurat
adalah sesuatu yang diharamkan, bahkan meskipun antar-sesama jenis
kelamin, terlebih dengan jenis kelamin yang berbeda.

Naskah Akademik Peraturan Daerah tentang 46


Pencegahan dan Penanganan Pornografi
Selain Al-Quran dan Pancasila yang mendasari landasan filosofis
dari naskah akademik ini, yang harus menjadi perhatian juga adalah
nilai-nilai budaya sunda yang sangat luas, yaitu : “Ajining Diri Ditempo Ku
Latri : Penghargaan Diri Manusia Itu Dari Perilaku Yang Benar dan Tidak
Menyimpang “

B. LANDASAN SOSIOLOGIS
Landasan sosiologis sebagaimana diamanatkan dalam UU Nomor
12 Tahun 2011, merupakan pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek. Landasan sosiologis
sesungguhnya menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan
masalah dan kebutuhan masyarakat dan negara.
Perkembangan ilmu pengetahuan yang semakin pesat diimbangi
dengan perkembangan teknologi yang telah melintasi batas negara-negara
di dunia merupakan suatu pencapaian dan pemutakhiran dalam
globalisasi keilmuan. Sebagaimana diketahui, bahwa kemampuan
manusia dengan akal dan budi yang dimiliki mampu menggenggam dunia
ini dengan segala isinya dalam satu genggaman rapat, yang di satu sisi
dengan genggamannya mampu mengupayakan pemanfaatan ilmu dan
teknologi untuk tujuan kemaslahatan dan di sisi lain dengan
genggamannya mampu meremukredamkan peradaban yang telah dimiliki
manusia ribuan tahun lamanya.
Internet adalah salah satu bukti perkembangan ilmu dan teknologi
yang telah mampu dibuktikan dengan menjamurnya teknologi ini di
seluruh dunia. Teknologi informasi dan komputer ini telah mampu
menunjukkan eksistensinya sebagai teknologi yang berbasis mayantara,
sehingga mampu diakses secara transnasional melintasi batas suatu
negara, sehingga dapat mempermudah arus informasi dan komunikasi
yang dapat melahirkan keuntungan-keuntungan dengan meminimalisir
pengorbanan. Banyak orang memanfaatkan teknologi ini untuk

Naskah Akademik Peraturan Daerah tentang 47


Pencegahan dan Penanganan Pornografi
kepentingan-kepentingan bisnis publik (e-commerce), bahkan
pemanfaatannya sudah mencapai kebutuhan privat dan menimbulkan
ketergantungan teknologi tersendiri bagi pemakainya.
Kenyataan ini membawa implikasi yang lebih jauh dan serius, karena
akan semakin marak bermunculan modus-modus baru dalam
bertransaksi dan berkomunikasi.
Saat ini penyebaran pornografi yang paling mudah adalalah melalui
media internet, selain media-media lainnya seperti media cetak, film dan
lain sebagainya. Penyebaran pornografi melalui internet atau serig disebut
sebagai cyberporn, atau disebut dengan cybersex. Pornografi di internet
tidak dapat dihindari karena arus informasi dan komunikasi menggiring
manusia pada suatu ruang atau dunia baru yang merupakan suatu
alternatif pemuasan kebutuhan yang biasa disebut dengan cyberspace.
Kemudahan akses yang dapat dilakukan oleh setiap orang
termasuk anak-anak, remaja saat semakin mengkhawatirkan. Sebagai
contoh adalah perkosaan yang dilakukan oleh sekelompok remaja di
Kabupaten Rejang Lebong pada medio tahun 2016 akibat pengaruh
tontonan dari youtube. Demikian juga halnya dengan penyebaran
pornografi di Jawa barat saat sangat meprihatinkan. Pengaruh internet
dan media-media lainnya terhadap penyebaran pornografi harus
diwaspadai baik oleh orang tua, lembaga pendidikan, lembaga
keagamaan dan tentunya oleh Pemerintah juga.

C. LANDASAN YURIDIS
Landasan yuridis merupakan pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi
permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan
mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang
akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan
masyarakat, sebagaimana diamanatkan UU Nomor 12 Tahun 2011.

Naskah Akademik Peraturan Daerah tentang 48


Pencegahan dan Penanganan Pornografi
Landasan yuridis menyangkut persoalan hukum yang berkaitan
dengan substansi atau materi yang diatur sehingga perlu dibentuk
Peraturan Daerah tentang Pencegahan dan penanganan Pornografi,
berbagai peraturan perundang-undangan telah diundangkan yaitu:
1. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers;
2. Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran;
3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik;
4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak
Sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak;
5. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran;
6. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi;
7. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2011 tentang Pembinaan,
Pendampingan, dan Pemulihan Terhadap Anak Yang Menjadi Korban
Atau Pelaku Pornografi; dan
8. Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2014 tentang Syarat Dan Tata
Cara Perizinan Pembuatan, Penyebarluasan, Dan penggunaan
Produk Pornografi.

Naskah Akademik Peraturan Daerah tentang 49


Pencegahan dan Penanganan Pornografi
BAB V
JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI
MUATAN PERATURAN DAERAH TENTANG PENCEGAHAN DAN
PENANGANAN PORNOGRAFI DENGAN HUKUM POSITIF

A. JANGKAUAN DAN ARAH PENGATURAN


Jangkauan pengaturan Rancangan Peraturan Daerah tentang
Pencegahan dan Penanganan Pornografi, bahwa Pemerintah Daerah
berkewajiban melakukan pencegahan dan pornografi dengan cara
melakukan pemutusan jaringan pembuatan dan penyebarluasan produk
pornografi atau jasa pornografi, termasuk pemblokiran melalui internet.
Dalam melaksanakan kewajibannya tersebut, Pemerintah daerah
berwenang:
a. melakukan pemutusan jaringan pembuatan dan penyebarluasan
produk pornografi atau jasa pornografi, termasuk pemblokiran
pornografi melalui internet;
b. melakukan pengawasan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan
penggunaan pornografi;
c. melakukan kerja sama dan koordinasi dengan berbagai pihak dalam
pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi;
d. mengembangkan sistem komunikasi, informasi, dan edukasi dalam
rangka pencegahan pornografi;
e. menetapkan penggunaan sistem filterasi atau cara-cara lain untuk
menghambat akses terhadap Produk Pornografi sebagai syarat perizinan
usaha layanan akses internet daerah; dan
f. menetapkan perizinan bagi usaha yang menggunakan layanan akses
internet di daerah.

Masyarakat, Lembaga pendidikan dan Lembaga Keagamaan


diharapkan dapat ikut berperan serta untuk mencegah penyebarluasan
pornografi dengan melaporkan pelanggaran, melakukan sosialisasi kepada
masyarakat tentang pornografi dan upaya pencegahannya. Selain

Naskah Akademik Peraturan Daerah tentang 50


Pencegahan dan Penanganan Pornografi
melakukan pencegahan, masayarakat, Lembaga Pendidikan dan Lembaga
Keagamaan, melakukan penanganan terhadap korban pornagrafi.
Sedangkan arah pengaturan pengaturan Rancangan Peraturan
Daerah ini dimaksudkan untuk memberikan kewenangan kepada
Pemerintah Daerah dalam melakukan pencegahan dan penanganan
pornografi. Selain itu juga mengatur kewajiban dan dari masyarakat dalam
melaksanakan penanganan korban pornografi. Disamping itu juga
Pemerintah daerah mempunyai kewenangan dalam mengeluarkan perizinan
terkait dengan Pembuatan, Penyebarluasan, Dan Penggunan Produk
Pornografi Yang Dilakukan Di Tempat Dan Dengan Cara Khusus dan
pembentukan Satuan Tugas Pencegahan dan penanganan Pornografi.

B. RUANG LINGKUP MATERI MUATAN


Pengaturan mengenai pembentukan Peraturan Daerah di Provinsi
Jawa Barat telah ditetapkan melalui Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat
Nomor 3 Tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan Daerah (Perda 3
Tahun 2012), pada tanggal 15 Agustus 2012. Perda 3 Tahun 2012
merupakan ketentuan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan Peraturan
Presiden Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.

1. Konsideran
Konsideran yang terdapat dalam setiap peraturan perundang-
undangan pada pokoknya, berkaitan dengan 3 (tiga) landasan pokok bagi
berlakunya norma-norma yang terkandung di dalam peraturan perundang-
undangan tersebut bagi subjek-subjek hukum yang diatur oleh perundang-
undangan tersebut.
Di dalam konsideran menimbang dimuat pertimbangan-pertimbangan
yang menjadi alasan pokok perlunya pengaturan Peraturan Daerah Tentang
Pencegahan dan Penanganan Pornografi. Konsideran tersebut, menyatakan:

Naskah Akademik Peraturan Daerah tentang 51


Pencegahan dan Penanganan Pornografi
a. bahwa untuk mewujudkan masyarakat yang bermartabat, bermoral,
berakhlak mulia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa dan menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila;
b. bahwa dengan semakin berkembangnya aksi pornografi di
masyarakat, perlu dilakukan pencegahan dan penanganan
pornografi;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, dan huruf b perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang
Pencegahan dan Penangangan Pornografi;

2. Dasar Hukum
Memuat landasan hukum atau dasar hukum pengaturan yang
digunakan, antara lain yaitu:
1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1950 tentang Pembentukan
Provinsi Jawa Barat (Berita Negara Republik Indonesia tanggal 4 Juli
1950) jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1950 tentang
Pemerintahan Jakarta Raya (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1950 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 15) sebagaimana telah diubah beberapa kali,
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang
Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai
Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 93, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4744) dan Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2000 tentang Pembentukan Provinsi Banten (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 182, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4010);
3. Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pers (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 169, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3890);

Naskah Akademik Peraturan Daerah tentang 52


Pencegahan dan Penanganan Pornografi
4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4235);
5. Undang-Undang nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 139, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4252);
6. Undang-Undang Nomor 44 tahun 2008 tentang Pornografi (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 181, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4928);
7. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor
244 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587)
sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian
Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah
Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82 Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4737);
9. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2011 tentang Pembinaan,
Pendampingan, dan Pemulihaan Terhadap Anak Yang Menjadi
Korban Atau Pelaku Pornografi (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 86 Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5273);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2012 tentang
Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2012 Nomor 68 Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4828);
11. Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2014 tentang Syarat dan Tata
Cara Perizinan Pembuatan, Penyebarluasan, dan Penggunaan Produk
Naskah Akademik Peraturan Daerah tentang 53
Pencegahan dan Penanganan Pornografi
Pornografi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor
17 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5501);
12. Peraturan Presiden Nomor 25 Tahun 2012 tentang Gugus Tugas
Pencegahan dan Penanganan Pornografi;
13. Peraturan Daerah Provinsi Jawa barat Nomro 10 Tahun 2008 tentang
Urusan Pemerintahan Provinsi Jawa Barat (Lembaran Daerah
Provinsi Jawa Barat Tahun 2008 Nomor 9 Seri D, Tambahan
Lembaran Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 10);
14. Peraturan daerah Provinsi Jawa barat Nomor 3 Tahun 2012 tentang
Pembentukan Peraturan Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Jawa
barat Tahun 2012 Nomor3 Seri E, Tambahan Lembaran Daerah
Provinsi Jawa Barat Nomor 117), sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 4 Tahun 2015 tentang
Perubahan atas Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 3
Tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan Daerah (Lembaran
Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2015 Nomor 4 Seri E;

3. Ketentuan Umum
Dalam praktek di Indonesia, definition clause atau interpretation
clause biasanya disebut dengan Ketentuan Umum. Dengan sebutan
demikian, seharusnya, isi yang terkandung di dalamnya tidak hanya
terbatas kepada pengertian-pengertian operasional istilah-istilah yang
dipakai seperti yang biasa dipraktikkan selama ini. Dalam istilah
“Ketentuan Umum” seharusnya termuat pula hal-hal lain yang bersifat
umum, seperti pengantar, pembukaan, atau “preambule” peraturan
perundang-undangan. Akan tetapi, telah menjadi kelaziman atau kebiasaan
sejak dulu bahwa setiap perundang-undangan selalu didahului oleh
“Ketentuan Umum” yang berisi pengertian atas istilah-istilah yang dipakai
dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Dengan

Naskah Akademik Peraturan Daerah tentang 54


Pencegahan dan Penanganan Pornografi
demikian, fungsi ketentuan umum ini persis seperti definition clause atau
interpretation clause yang dikenal di berbagai negara lain.27
Ketentuan Umum dalam Peraturan Daerah Tentang Pencegahan dan
Penanganan Pornografi Provinsi Jawa barat terdiri atas:
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:
1. Daerah Provinsi adalah Daerah Provinsi Jawa Barat.
2. Pemerintah Daerah Provinsi adalah Gubernur sebagai unsur
penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan
urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
3. Gubernur adalah Gubernur Jawa Barat.
4. Dewan Perwakilan Rakyat daerah yang selanjutnya disebut DPRD
adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Jawa barat.
5. Perangkat Daerah adalah unsur pembantu Gubernur dalam
penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan
Daerah.
6. Dinas adalah Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak,
dan Keluarga Berencana
7. Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi,
gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau
bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi
dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau
eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam
masyarakat.
8. Jasa pornografi adalah segala jenis layanan pornografi yang disediakan
oleh orang perseorangan atau korporasi melalui pertunjukan langsung,
televisi kabel, televisi teresterial, radio, telepon, internet, dan
komunikasi elektronik lainnya serta surat kabar, majalah, dan barang
cetakan lainnya.
9. Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi, baik yang
berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.
10. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun.

27Jimly Asshiddiqie. (2006) Perihal Undang-Undang. Jakarta : Konstitusi Press.


Naskah Akademik Peraturan Daerah tentang 55
Pencegahan dan Penanganan Pornografi
11. Pembinaan adalah serangkaian kegiatan untuk membentuk dan
meningkatkan jati diri setiap orang yang menjadi korban atau anak
yang pelaku pornografi kearah yang lebih baik sehingga dapat
berkembang secara sehat dan wajar baik fisik, kecerdasan otak,
mental, dan spiritual.
12. Pendampingan adalah suatu upaya atau proses yang dimaksudkan
untuk memberdayakan diri setiap orang yang menjadi korban atau
anak yang menjadi pelaku pornografi sehingga dapat mengatasi
permasalahan dirinya sendiri.
13. Pemulihan adalah segala upaya untuk mengembalikan kondisi fisik,
mental, dan sosial sehingga setiap orang yang menjadi korban atau
anak yang menjadi pelaku pornografi dapat berkembang secara wajar.
14. Pemulihan kesehatan fisik dan mental adalah upaya untuk
mengembalikan kondisi kesehatan jasmani dan jiwa termasuk
inteligensia dan spiritual setiap orang yang menjadi korban atau anak
yang menjadi pelaku pornografi sehingga mampu hidup produktif
secara sosial dan ekonomis.
15. Pemulihan sosial adalah segala upaya untuk mengembalikan kondisi
sosial setiap orang yang menjadi korban atau anak yang menjadi
pelaku pornografi sehingga mampu untuk kembali ke keluarga dan
masyarakat dan mampu menjalankan fungsi sosialnya secara wajar.
16. Lembaga sosial adalah lembaga kesejahteraan sosial sebagaimana
dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai
kesejahteraan sosial.
17. Lembaga pendidikan adalah satuan pendidikan sebagaimana
dimaksud dalam peraturan perundangundangan mengenai sistem
pendidikan nasional.
18. Lembaga keagamaan adalah organisasi non pemerintah bervisi
kebangsaan yang dibentuk berdasarkan kesamaan agama oleh Warga
Negara Indonesia secara sukarela, berbadan hukum, dan telah
terdaftar di pemerintah daerah setempat serta bukan organisasi sayap
partai politik.

Naskah Akademik Peraturan Daerah tentang 56


Pencegahan dan Penanganan Pornografi
19. Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami
istri, atau suami istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu
dan anaknya, atau keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas atau ke
bawah sampai dengan derajat ketiga.
20. Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang hidup bersama-sama di
sekitar lingkungan anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi
yang berperan dalam pembinaan, pendampingan, dan pemulihan.
21. Pendampingan adalah suatu upaya atau proses yang dimaksudkan
untuk memberdayakan diri anak yang menjadi korban atau pelaku
pornografi sehingga dapat mengatasi permasalahan dirinya sendiri.
22. Pemulihan adalah segala upaya untuk mengembalikan kondisi fisik,
mental, dan sosial sehingga anak yang menjadi korban atau pelaku
pornografi dapat tumbuh dan berkembang secara wajar.
23. Pemulihan kesehatan fisik dan mental adalah upaya untuk
mengembalikan kondisi kesehatan jasmani dan jiwa termasuk
inteligensia dan spiritual anak yang menjadi korban atau pelaku
pornografi sehingga mampu hidup produktif secara sosial dan
ekonomis.
24. Pemulihan sosial adalah segala upaya untuk mengembalikan kondisi
sosial anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi sehingga
mampu untuk kembali ke keluarga dan masyarakat dan mampu
menjalankan fungsi sosialnya secara wajar. perundang-undangan
mengenai kesejahteraan sosial.
25. Lembaga pendidikan adalah satuan pendidikan sebagaimana
dimaksud dalam peraturan perundangundangan mengenai sistem
pendidikan nasional.
26. Lembaga keagamaan adalah organisasi non pemerintah bervisi
kebangsaan yang dibentuk berdasarkan kesamaan agama oleh Warga
Negara Indonesia secara sukarela, berbadan hukum, dan telah
terdaftar di pemerintah daerah setempat serta bukan organisasi sayap
partai politik.
27. Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami
istri, atau suami istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu
Naskah Akademik Peraturan Daerah tentang 57
Pencegahan dan Penanganan Pornografi
dan anaknya, atau keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas atau ke
bawah sampai dengan derajat ketiga.
28. Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang hidup bersama-sama di
sekitar lingkungan anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi
yang berperan dalam pembinaan, pendampingan, dan pemulihan.
29. Pembuatan Produk Pornografi adalah perbuatan memproduksi,
membuat, memperbanyak, atau menggandakan Produk Pornografi.
30. Penyebarluasan Produk Pornografi adalah perbuatan
menyebarluaskan, menyiarkan, mengunduh, mengimpor, mengekspor,
menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, meminjamkan, atau
menyediakan Produk Pornografi.
31. Penggunaan Produk Pornografi adalah perbuatan menggunakan,
memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau
menyimpan Produk Pornografi.

4. Materi Yang Diatur


Materi pokok yang diatur ditempatkan langsung setelah bab
ketentuan umum, dan jika tidak ada pengelompokkan bab, materi pokok
yang diatur diletakkan setelah (pasal-pasal) ketentuan umum.
Pembagian materi pokok ke dalam kelompok yang lebih kecil
dilakukan menurut kriteria yang dijadikan dasar pembagian. Materi pokok
yang diatur dalam Peraturan Daerah Tentang Pencegahan dan Penanganan
Pornografi adalah sebagai berikut:
I. PENCEGAHAN
II. PENANGANAN
1. Pembinaan
2. Pendampingan
3. Pemulihan
III. PEMBUATAN, PENYEBARLUASAN, DAN PENGGUNAN PRODUK
PORNOGRAFI YANG DILAKUKAN DI TEMPAT DAN DENGAN CARA
KHUSUS

Naskah Akademik Peraturan Daerah tentang 58


Pencegahan dan Penanganan Pornografi
IV. PEMBENTUKAN SATUAN TUGAS PENCEGAHAN DAN PENANGANAN
PORNOGRAFI
V. SANKSI ADMINISTRATIF
VI. LARANGAN
VII. KETENTUAN PIDANA

Naskah Akademik Peraturan Daerah tentang 59


Pencegahan dan Penanganan Pornografi
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN
Peraturan daerah yang akan dibentuk dalam rangka penyusunan
Rancangan Peraturan Daerah tentang Pencegahan dan penanganan
Pornografi harus mampu menjawab berbagai masalah yang meliputi
antara lain:
1. Landasan hukum dalam Pencegahan dan Penanganan Pornografi di
Jawa Barat terutama dalam penyusunan kebijakan dalam
melakukan penanganan korban pornografi dan pembentukan
Satuan Tugas Pencegahan dan penanganan Pornografi..
2. Peningkatan partisipasi masyarakat, lembaga pendidikan dan
lembaga keagamaan dalam melakukan pencegahan dan penanganan
pornografi di Jawa Barat.
3. Pengawasan dalam pemberian izin terkait dengan pembuatan,
penyebarluasan, dan penggunan produk pornografi yang dilakukan
di tempat dan dengan cara khusus
4. Dalam melakukan pencegahan dan penanganan pornografi di Jawa
Barat, Pemerintah daerah perlu membentuk satuan tugas yang di
dalamnya terdiri dari berbagai instansi terkait.

B. SARAN
Berdasarkan kesimpulan-kesimpulan yang dikemukakan tersebut,
maka beberapa hal yang dapat direkomendasikan adalah:
1. Dalam rangka pencegahan dan penanganan pornografi di Jawa
Barat maka perlu dibentuk peraturan daerah yang mengatur
mengenai Pencegahan dan Penanganan Pornografi di Jawa Barat
secara komprehensif dengan melibatkan peranserta dari
masyarakat, lembaga pendidikan,lembaga keagamaan dan lembaga
sosial yang ada di Jawa Barat.

Naskah Akademik Peraturan Daerah tentang 60


Pencegahan dan Penanganan Pornografi
2. Naskah Akademik ini memuat uraian teoritis dan praktis tentang
bahaya dari pornografi dan upaya untuk melakukan pencegahan
dan penangan pornografi di Jawa Barat, sehingga perlu adanya
pemilahan substansi dalam Naskah Akademik ini dengan
Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat tentang
Pencegahan dan penanganan Pornografi.
3. Berdasarkan hasil kajian yang telah dilakukan maka dapat
dikemukakan saran dan rekomendasi bahwa Rancangan Peraturan
Daerah Provinsi Jawa Barat tentang Pencegahan dan Penanganan
Pornografi seharusnya mendapatkan prioritas dalam Program
Legislasi Daerah di Provinsi Jawa Barat.

Naskah Akademik Peraturan Daerah tentang 61


Pencegahan dan Penanganan Pornografi
DAFTAR PUSTAKA

Hotman P. Sibuea, 2010, Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan dan


Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik, Penerbit Erlangga,
Jakarta.
Johannes Gunawan, 2011, Bahan Kuliah Metode Penelitian dan Penulisan
Hukum, Program Pascasarjana Doktor Ilmu Hukum, Universitas
Katolik Parahyangan, Bandung.
Johnny Ibrahim, 2007, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif,
Banyumedia, Malang.
K. Bertens, Etika, 2011, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
M. Yahya Harahap, 2011, Hukum Perseroan Terbatas, Sinar Grafika,
Jakarta.
Philipus M. Hadjon, dkk, 2008, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia
(Introduction to the Indonesian Administrative Law), Penerbit Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta.
Riant Nugroho dan Ricky Siahaan, 2006, BUMN Indonesia: Isu, Kebijakan
dan Strategi, PT. Elex Media Komputindo, Jakarta.
Ridwan HR, 2011, Hukum Administrasi Negara, Edisi Revisi, Penerbit PT.
RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Ridwan Khairandy dan Camelia Malik, 2007, Good Corporate Governance:
Perkembangan Pemikiran dan Implementasinya di Indonesia dalam
Perspektif Hukum, Total Media, Jakarta.
Rusli Effendy, dkk, Teori Hukum, Cetakan I, Penerbit Hasanudin University
Press, Ujung Pandang.
Soerjono Soekanto, 2010, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit Universitas
Indonesia (UI-Press), Jakarta.
Sjachran Basah, 1986, Tiga Tulisan Tentang Hukum, Penerbit Armico,
Bandung.
Spelt, N.M. dan Berge, J.B.J.M. ten, 1993, Pengantar Hukum Perizinan,
disunting oleh Philipus M. Hadjon, Penerbit Yuridika, Surabaya.
Stroink, F.A.M. dan Steenbeek J.G., Inleiding in het Staats-en Administratief
Recht, Samson H.D. Tjeenk Willink, Alphen aan den Rijn.
Sunaryati Hartono, 1994, Penelitian Hukum Di Indonesia Pada Akhir Abad
Ke-20, Penerbit Alumni, Bandung.

Anda mungkin juga menyukai