Anda di halaman 1dari 18

implementasi kode etik dalam praktek kefarmasian

Disusun oleh :
1. Aprilia Handayani (1041511018)
2. Avika Putri Aulia R (1041511024)
3. Cindy Jesica H (1041511033)
4. Dewi Soraya (1041511044)
5. Dewi Ayu Safitr (1041611042)

PROGRAM STUDI S1 FARMASI

“SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI "YAYASAN PHARMASI"

SEMARANG

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu contoh dari tanaman obat yang khasiat yang telah diketahui dan
digunakan secara turun-temurun yaitu tanaman rempah. Salah satu jenis rempah-rempah
yang terdapat di Indonesia yang dapat digunakan sebagai obat adalah dari famili
Zingiberaceae. Tanaman dari familiini bisa berupa tanaman rempah yang berbentuk
rimpang. Lengkuas (Alpiniagalanga L. Swartz) merupakan salah satu tanaman dari famili
Zingiberaceaeyang rimpangnya dapat dimanfaatkan sebagai obat. Tumbuhan
lengkuassering digunakan sebagai obat penyakit perut, kudis, panu dan
menghilangkanbau mulut (Yuharmen et al., 2002).
Berdasarkan hasil penelitian yang pernah dilakukan, diketahui bahwatumbuhan
lengkuas mengandung golongan senyawa flavonoid, fenol danterpenoid. Golongan
senyawa-senyawa ini sering digunakan sebagai bahandasar obat-obatan modern. Sebagai
contoh, senyawa terpenoidasetoksikhavikol asetat, merupakan senyawa yang bersifat
antitumor daritumbuhan lengkuas (Itokawa dan Takeya, 1993). Selain itu, juga
dilakukankajian mengenai aktivitas antimikroba dari lengkuas terhadap mikrobapatogen
dan perusak pangan (Rahayu, 1999) dan ditemukan lengkuasberfungsi sebagai obat anti
jamur oleh Sundari dan Winarno (2001).
Penggunaan obat jamur untuk mikosis sistemik seperti Amfoterisin mempunyai
efek samping kerusakan ginjal. Nistatin yang merupakan obatmikosis superfisial dengan
penggunaan topikal dapat menyebabkan iritasikulit. Demikian juga penggunaan obat
jamur yang lain terutama mikosissistemik mempunyai efek samping mulai dari mual,
muntah, sakit kepalasampai hipertensi, trombositopenia dan leukopenia (Sundari dan
Winarno,2001).
Sabun adalah suatu sediaan yang digunakan oleh masyarakat sebagai pencuci
pakaian dan pembersih kulit. Berbagai jenis sabun yang beredar di pasaran dalam bentuk
yang bervariasi seperti sabun cuci, sabun mandi, sabun tangan, sabun pembersih peralatan
rumah tangga dalam bentuk krim, padatan atau batangan, bubuk dan cair (Ari dan
Budiyono, 2004).
Sabun cair saat ini banyak diproduksi karena penggunaannya yang lebih praktis
dan bentuk yang menarik dibanding bentuk sabun lain. Di samping itu sabun dapat
digunakan untuk mengobati penyakit, seperti mengobati penyakit kulit yang disebabkan
oleh bakteri dan jamur. Dengan kata lain sabun dapat digunakan sebagai obat yakni
dengan membersihkan tubuh dan lingkungan sehingga kemungkinan terserang penyakit
akan berkurang.
Berdasarkan kandungan kimia dilakukan penelitiandengan memformulasi sabun
cair dari ekstrak Lengkuas (Alpinia galanga L.Swartz)untuk mengatasi jamur
Candidaalbicans.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana formula sediaan sabun cair dari ekstrak lengkuas?
2. Bagaimana karakteristik formula sabun cair ekstrak lengkuas?
3. Bagaimana aktivitas sabun cair ekstrak lengkuas terhadap jamur Candidaalbicans?

C. Batasan Masalah
1. Metode ekstrasi yang digunakan adalah metode maserasi
2. Aktivitas antijamur dapat diketahui melalui penggunaan diameter zona bening yang
dihasilkan didaerah sekitar sumuran. Zona bening yang dihasilkan diukur dengan
jangka sorong.
3. Pengujan karakteristik fisik pada sampel melipui uji organoleptis, uji pH, uji bobot
jenis, uji stabilitas busa dan uji viskositas.
D. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui adanya aktivitas ekstrak lengkuas (Alpinia galanga L.swartz) terhadap
bakteri Candida albicans.
2. Mendapatkan formula sediaan sabun cair dari ekstrak lengkuas.
3. Mengetahui karakteristik formula sabun cair ekstrak lengkuas.
E. Manfaat Penelitian
1. Menambah ilmu dan keterampilan dalam pembuatan sediaan sabun cair ekstrak
lengkuas yang berkhasiat sebagai antifungi.
2. Memberikan informasi dalam bidang obat dan kosmetik serta menambah wawasan
mengenai ekstrak lengkuas yang dapat dibuat menjadi sabun cair.
3. Memberikan alternatif sabun cair antifungi dari bahan alami ekstrak lengkuas yang
lebih aman digunakan.

F. Hipotesis
1. Ekstrak lengkuas dapat diformulasikan dalam sediaan sabun cair.
2. Sediaan sabun cair transparan ekstrak lengkuas mampu menghambat pertumbuhan
Candida Albicans
BAB II.
TINJAUAN PUSTAKA

A. Klasifikasi tanaman lengkuas (Alpinia galanga L. Swartz)

Kingdom : Plantae (Tumbuhan)

Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)

Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji)

Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)

Kelas : Liliopsida (berkeping satu / monokotil)

Sub Kelas : Commelinidae

Ordo : Zingiberales

Famili : Zingiberaceae (suku jahe-jahean)

Genus : Alpinia

Spesies : Alpinia galanga (L.) Sw.


Salah satu tumbuhan yang telah lama digunakan oleh masyarakat Indonesia sebagai
bahan obat-obatan adalah lengkuas (A. galanga L. Swartz). Lengkuas memiliki komponen
aktif yang berfungsi sebagai obat untuk berbagai penyakit. Tumbuhan ini juga digunakan
sebagai bumbu masak untuk menambah aroma dan citarasa pada makanan (Yuharmen et al.,
2002).
Lengkuas (A. galanga L. Swartz) dikenal diseluruh Indonesia dengan nama-nama
yang berbeda. Adapun nama lengkuas dibeberapa daerah di Indonesia antara lain : Lengkueus
(Gayo), Langkueueh (Aceh), Kelawas (Karo), Halawas (Simalungun), Lakuwe (Nias),
Lengkuas (Melayu), Langkuweh (Minang), Lawas (Lampung), Laja (Sunda), Laos (Jawa,
Madura), Langkuwas, Laus (Banjar), Laja, Kalawasan, Lahwas, Isem (Bali), Laja,
Langkuwasa (Makasar), Aliku (Bugis), Lingkuwas (Menado), Likui, Lingkuboto
(Gorontalo), Laawasi lawasi (Ambon), Lawase, Lakwase, Kourola (Seram) dan Galiasa,
Galiaha, Waliasa (Ternate, Halmahera) (Anonim, 2000).
Lengkuas merupakan tanaman golongan Spermathopyta, sub golongan
Angiospermae, kelas Monocotyledonae, ordo Zingiberales, famili Zingiberaceae dan genus
Alpinia (Anonim,2005). Nama latin lengkuas (A. galanga L. Swartz) juga sering dikenal
dengan berbagai nama latin yaitu A. pyramidata Bl., A.galanga (L.) Willd., A. officinarum
Hance, Languas galanga (L.) Merr., L. galanga (L.) Stunz., L. vulgare Koenig, Maranta
galanga L., Amomum galanga (L.) Lour, dan A. medium Lour (Anonim, 2000).
Tanaman ini tumbuh di tempat terbuka, membutuhkan sinar matahari penuh atau yang
sedikit terlindung, menyukai tanah yang lembab dan gembur, tetapi tidak suka tanah yang
becek. Tumbuh subur di daerah dataran rendah sampai ketinggian 1200 meter di
ataspermukaan laut. Di Indonesia banyak ditemukan tumbuh liar di hutan jati atau di dalam
semak belukar. Tumbuhan ini berasal dari Asia tropika, tetapi tidak diketahui dengan jelas
dari daerah mana tumbuhan tersebut sebenarnya berasal. Beberapa pendapat menduga bahwa
lengkuas berasal dari Cina, namun ada juga yang berpendapat berasal dari Bengali, tetapi
sudah sejak lama digunakan secara luas di Cina dan Indonesia terutama di pulau Jawa.
Sekarang tanaman ini tersebar luas di berbagai daerah di Asia Tropis, antara lain
Indonesia, Malaysia, Filipina, Cina bagian selatan, Hongkong, India, Bangladesh, dan
Suriname. Di Indonesia, mula-mula banyak ditemukan tumbuh di daerah Jawa Tengah, tetapi
sekarang sudah dibudidayakan di berbagai daerah. Di Malaya, selain yang tumbuh liar juga
banyak yang ditanam oleh penduduk dikebun atau pekarangan rumah (Anonim, 2000).
Wardana et al. (2002) menjelaskan bahwa lengkuas merupakan tanaman tahunan
dengan tinggi mencapai 3.5 m. Tanaman ini memiliki rimpang agak tegak, berdiameter 2-4
cm, keras, berserat, berkilau, merah cerah dan kuning pucat. Berbatang semu tegak, daun
berseling, pelepah daun berbulu halus dan rapat dibagian ujung. Panjang tangkai daun 1-1.5
cm, berbulu dan memiliki helaian daun bundar lonjong, panjang 20-60 cm dan lebar 4-15 cm.
Berdasarkan warna rimpangnya, tanaman ini dibedakan menjadi lengkuas putih dan
merah. Rimpang lengkuas putih secara tradisional dikenal sebagai pengempuk daging dalam
masakan dan digunakan sebagai salah satu rempah bagi jenis bumbu masakan tradisional
Indonesia (Rismunandar, 1988).
Anonim (2000) menerangkan bahwa rimpang lengkuas sering digunakan untuk
mengatasi gangguan lambung, misalnya kolik dan untuk mengeluarkan angin dari perut
(stomachikum), menambah nafsu makan, menetralkan keracunan makanan, menghilangkan
rasa sakit (analgetikum), melancarkan buang air kecil (diuretikum), mengatasi gangguan
ginjal, dan mengobati penyakit herpes. Disamping itu rimpang lengkuas juga dianggap
memiliki khasiat sebagai anti tumor atau anti kanker terutama tumor di bagian mulut dan
lambung, dan kadang-kadang digunakan juga sebagai afrodisiaka (peningkat libido).
Khasiatnya yang sudah dibuktikan secara ilmiah melalui berbagai penelitian adalah sebagai
anti jamur.
B. Kandungan Kimia Lengkuas
Rimpang lengkuas mengandung minyak atsiri ± 1% yang berwarna kuning kehijauan.
Minyak atsiri pada rimpang lengkuas terutama terdiri dari metil-sinamat 48%, sineol 20%-
30%, eugenol, kamfer 1%, seskuiterpen, δ-pinen, galangin, dan lain-lain. Selain itu rimpang
juga mengandung resin yang disebut galangol, kristal berwarna kuning yang disebut
kaemferida dan galangin, kadinen, heksabidrokadalen hidrat, kuersetin, amilum, beberapa
senyawa flavonoid, dan lain-lain (Anonim, 2000; Santosa dan Gunawan, 1999).
Samidi (1987) menambahkan bahwa berdasarkan bobot kering rimpang lengkuas
merah mengandung pati 35,13%, dan berkadar protein 7,43% serta rimpang segar
mengandung air 75%. Menurut Harborne (1987), senyawa bioaktif dalam minyak atsiri dapat
berupa senyawa golongan terpenoid. Golongan ini diketahui sebagai penyusunminyak atsiri
yang utama pada tanaman. Terpenoid berasal dari molekul isoprena (CH2=C(CH3)-
CH=CH2) dan kerangka karbonnya dibangun oleh penyambungan dua atau lebih satuan C5.
Pemilahan senyawa golongan ini membagi terpenoid ke dalam beberapa kelompok yaitu
monoterpen (C10) dan seskuiterpen (C15) yang mudah menguap, diterpen (C20) yang sukar
menguap, sampai senyawa yang tidak menguap yaitu triterpenoid (C30) dan sterol, serta
pigmen karotenoid (C40). Sebagian besar terpenoid alam memiliki struktur siklik dan
memiliki satu gugus fungsi atau lebih (hidroksil, karbonil).
Jirovetz et al. (2003) menjelaskan bahwa komponen minyak atsiri dari setiap bagian
tanaman lengkuas (daun, rimpang, batang dan akar) memiliki komposisi yang berbeda secara
kuantitas. Minyak atsiri disusun oleh mono dan sesquiterpen juga turunan fenil propanol.
Secara umum daun, batang, rimpang, batang dan akar mengandung sineol, kamfer, β-pinen,
bornil asetat, α-terpineol, α- fenchyl asetat, borneol elemol dan guaiol.
Janssen dan Scheffer (1985) didalam Oonmetta-aree et al. (2005) melaporkan bahwa
terpinen-4-ol, salah satu monoterpen dari minyak atsiri yang dihasilkan oleh rimpang
lengkuas segar, mengandung senyawa antimikroba yang dapat melawan T. mentagrophytes.
Asetoksi khavikol asetat (ACA) merupakan suatu komponen yang diisolasi dari n-
pentane/diethyl ether pada cairan ekstrak rimpang kering. Analisis GC-MS oleh Jirovetz et al.
(2003) menunjukkan bahwa minyak atsiri lengkuas mengandung eugenol, kaemferol dan
galangin.
Harborne (1987) selanjutnya mengemukakan bahwa komponen bioaktif lain yang
ditemukan pada tanaman adalah senyawa fenolik. Senyawa ini memiliki cincin aromatik yang
mengandung satu atau dua penyulih hidroksil. Beberapa senyawa aktif lengkuas yang bersifat
anti jamur adalah dari golongan fenolik. Adapun beberapa senyawa tersebut antara lain
adalah galangin, kaemferol, dan kuersetin yang berasal dari golongan flavonol. Sedangkan
eugenol merupakan salah satu senyawa aktif lengkuas yang berasaldari golongan fenil
propanoid.

C. Ekstraksi Komponen Bioaktif


Pada umumnya komponen bioaktif rempah-rempah terdapat pada minyak atsiri dan
oleoresinnya. Minyak atsiri mengandung komponen aroma rempah dan bersifat mudah
menguap. Oleh karena itu minyak atsiri atau minyak essensial sering dinamakan minyak
terbang. Komposisi minyak atsiri antara lain adalah alkohol, aldehid, ester, keton, dan terpen.
Komposisi minyak atsiri sangat dipengaruhi oleh iklim, keadaan tanah, sinar matahari dan
cara pengolahan, bila berasal dari jenis rempah yang sama (Hariss,1990)
Salah satu cara untuk memperoleh ekstrak suatu rempah-rempah adalah dengan
dengan cara ekstraksi rempah-rempah menggunakan pelarut organik. Dalam proses ekstraksi
rempah-rempah, komposisi, warna, aroma dan rendemen yang dihasilkan akan dipengaruhi
oleh jenis, ukuran dan tingkat kematangan bahan baku, jenis pelarut, suhu dan waktu
ekstraksi serta metode ekstraksi (Farrell, 1990).
Persyaratan yang harus dipenuhi oleh pelarut untuk mengekstrak rempah-rempah
antara lain adalah tidak berbau dan tidak berasa, sehingga tidak mempengaruhi produk akhir.
Mudah berpenetrasi karena viskositasnya rendah, sehingga efisiensi ekstraksi tinggi.
Mudahdipisahkan tanpa meninggalkan residu sehingga produk dapat bebas dari pelarut.
Selain itu, dapat digunakan secara selektif dengan berbagai kondisi suhu dan tekanan
ekstraksi untukmendapatkan ekstrak dengan mutu terbaik (Moyler, 1994).
Pemilihan pelarut untuk proses ekstraksi tergantung dari komponen yang akan
diisolasi. Salah satu sifat yang penting adalah polaritas suatu senyawa. Suatu senyawa polar
diekstraksi dengan menggunakan pelarut polar, demikian pula untuk senyawa semi polar dan
non polar. Derajat polaritas tergantung pada besarnya tetapan dielektrik, makin besar tetapan
dielektrik makin polar pelarut tersebut (Houghton dan Raman, 1998). Rangkaian proses
ekstraksi meliputi persiapan bahan yang akan diekstrak, kontak bahan dengan pelarut,
pemisahan residu dengan filtrat dan proses penghilangan pelarut dari ekstrak. Pemilihan
proses ekstraksi juga mempertimbangkan titik didih dari pelarut yang digunakan.
Jokopriyambodo et al. (1999) menyatakan bahwa hasil ekstraksi khususnya dari
rimpang lengkuas dipengaruhi oleh jenis dan rasio pelarut, derajat kehalusan simplisia serta
teknikdan waktu ekstraksi. Ekstraksi dengan cara perkolasi dan maserasi tidak menunjukkan
perbedaan terhadap kadar ekstrak total lengkuas sedangkan pelarut yang paling banyak
menghasilkan ekstrak total adalah pelarut etanol : air (7 : 3, v/v). Metode ekstraksi yang juga
pernah diaplikasikan untuk lengkuas adalah menggunakan pelarut etanol dan campuran
pentana dan dietil eter (1 : 1, v/v), namun ekstrak etanol tidak memberikan aktivitas
antimikroba terhadap Candida albicans (Janssen dan Scheffer, 1985).

D. Candida Albicans
Candida albicans merupakan organisme yang hidup pada alat genital dan saluran
gastrointestinal. Jamur ini merupakan patogen oportunistik pada beberapa jaringan hidup.
Selama hidupnya, lebih dari 75% wanita dapat mengalami keputihan akut akibat candida dan
sekitar 5-10% akan mengalami keputihan yang dapat kambuh.
Keputihan akut dapat disebabkan karena faktor predisposisi seperti penggunaan
antibiotik, kontrasepsi oral, kehamilan, atau karena diabetes. Sedangkan keputihan yang
dapat kambuh, tidak disebabkan karena faktor predisposisi tersebut. keputihan yang
kambuhan tersebut cenderung disebabkan oleh sistem imun lokal yang tidak berfungsi atau
perubahan jamur tersebut menjadi bentuk yang patogen (Wozniak, et all., 2002).
Candida albicans merupakan jamur patogen yang paling banyak menyerang manusia.
C. albicans mempunyai beberapa faktor virulensi dan strategi yangdigunakannya untuk dapat
berkolonisasi dan menimbulkan infeksi. Faktor virulensi yang diekspresikan oleh C. albicans
tergantung pada tipe infeksi yang ditimbulkannya (mukosa atau sistemik), daerah dan tahap
infeksi, serta respon imun bawaan inang (Otroski, 2003).
Pengembangan pengobatan terhadap zat antijamur golongan azole telah banyak
dilakukan untuk dapat mengobati infeksi jamur yang oportunistik dan endemik. Fluconazole
dan itranazole telah terbukti aman dibandingkan amphoterisin B dan ketoconazole. Obat
golongan azole tersebut bekerja dengan jalan menghambat biosintesis ergosterol yang
dibutuhkan untuk perakitan membran sel C. albicans. Namun, untuk infeksi jamur yang
serius, tetap mengalami kendala dalam pengobatan infeksi tersebut. Hal ini dikarenakan
munculnya resistensi jamur terhadap obat-obat yang selama ini terbukti efektif terhadap
infeksi candida (Sheehan, et all., 1999). Pada C. albicans ERG3 dikode sterol C5,6-
desaturase, yang penting dalam sintesis ergosterol. Rusaknya sterol C5,6 desaturase diduga
merupakan salah satu mekanisme resistensi candida terhadap obat golongan azole. Namun
relevansi klinik mekanisme resistensi tersebut masih belum jelas (Taiga, et all., 2006).

E. Sabun
Sabun adalah suatu sediaan yang digunakan oleh masyarakat sebagai pencuci pakaian
dan pembersih kulit. Berbagai jenis sabun yang beredar di pasaran dalam bentukyang
bervariasi seperti sabun cuci, sabun mandi, sabun tangan, sabun pembersih peralatan rumah
tangga dalam bentuk krim,padatan atau batangan, bubuk dan cair (Ari dan Budiyono, 2004).
Sabun cair saat ini banyak diproduksi karena penggunaannya yang lebih praktis dan
bentuk yang menarik dibanding bentuk sabun lain. Di samping itu sabun dapat digunakan
untuk mengobati penyakit, seperti mengobati penyakit kulit yang disebabkan oleh bakteri dan
jamur. Dengan kata lain sabun dapat digunakan sebagai obat yakni dengan membersihkan
tubuh dan lingkungan sehingga kemungkinan terserang penyakit akan berkurang.
Berdasarkan kandungan kimia dan pemanfaatan dari lengkuas dilakukan penelitian dengan
memformulasi sabun cairdari ekstrak Lengkuas untuk mengatasi jamur C. Albicans.
.
BAB III

METODE PENELITIAN
1. Objek Penelitian

Pembuatan formulasi sediaansabn cair menggunakan ekstrak lengkuas. Pengujian


karakteristik sediaan sabun cair yang digunakan adalah uji organoleptis, uji ph, uji
homogenitas dan uji bobot jenis.

2. Sampel dan Teknik Sampling

Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah sediaan sabun cair menggunakan ekstrak
lengkuas. Penelitian ini menggunakan teknik sampling acak dimana setiap sampel
mempunyai kesempatan yang sama.

3. Jenis dan Rancangan Penelitian


Penelitian ini termasuk dalam penelitian eksperimental menggunakan rancangan penelitian faktorial.

4. Variabel Penelitian

3.1 Variabel Bebas

Bahan tambahan dalam pembuatan sediaan sabun cair.

3.2 Variabel Terikat

Pengujian karakteristik sediaan sabun cair yang digunakan adalah pemeriksaan


homogenitas, uji ph, uji organoleptis dan uji bobot jenis.
4.3 Variabel Terkontrol

Metode ekstraksi, konsentrasi pelarut ekstraksi, metode isolasi senyawa target,


lamanya waktu ekstraksi, alat dan bahan yang digunakan, bahan dasar dan tambahan
yang digunakan, dan uji sediaan sabun cair.

5. Bahan Penelitian
Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah ekstrak lengkuas, natrium lauril
sulfat, asam sitrat, natrium klorida, propilenglikol (Pharmaceutical grade), PDA (Potatoes
Dextrose Agar), media Nutrient Broth (NB), jamur Candida albicans, etanol, aquadest.

6. Alat Penelitian
Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah blender, pisau, timbangan digital,
gelas ukur, erlenmeyer, beker glass, cawan penguap, kaca arloji, batang pengaduk, corong,
buret, botol semprot, piknometer, pipet tetes, pH meter,viskometer stormer, sentrifuse.

7. Ekstraksi secara remaserasi dengan Etanol 96%

Rimpang lengkuas yang telah dipotong-potong ditimbang dan dimasukkan ke dalam


sebuah bejana maserasi, ditambah etanol 96% dengan perbandingan 10 bagian simplisia dan
75 bagian pelarut, kemudiaan ditutup. Penyarian dilakukan secara remaserasi selama 5x24
jam. Pengadukan dilakukan selama kurang lebih tiap 3 jam sekali untuk bertujuan
memaksimalkan penarikan senyawa aktif dan proses pendiaman selama 1 hari. Dilakukan
penggantian pelarut tiap 1x24 jam. Hasil ekstrak yang diperoleh dikumpulkan dan dipekatkan
pada rotary evaporator dan diuapkan lewat pemanasan hingga diperoleh ekstrak kental.
8. Penyiapan Formula Sediaan Sabun Cair lengkuas

Sediaan sabun cair yang mengandung ekstrak lengkuas dibuat dalam 4 formula
dengan variasi konsentrasi yang berbeda seperti :

Nama Bahan F1 F2 F3 F4
Ekstrak lengkuas - 5 15 30
Sodium lauril sulfat 15 15 15 15
NaCl 8 8 8 8
Propilenglikol 1 1 1 1
Asam sitrat 0,5 0,5 0,5 0,5
CMC 0,5 0,5 0,5 0,5
Aquadest Ad 100 Ad 100 Ad 100 Ad 100

9. Pembuatan sabun cair


Cara pembuatannya yaitu Na lauril sulfat ditambah dengan NaCl, diaduk hingga homogen,
lalu tambahkan asam sitrat dan propilenglikol. Ditambahkan aqua destillata sebagian dan
ditambahkan ekstrak lengkuas, diaduk hingga homogen. Setelah semua bahan tercampur baru
dicukupkan dengan aqua destillata hingga 100 ml.

10. Pembuatan Suspensi Mikroba Uji.


Mikroba uji yang sudah diremajakan digoreskan sebanyak 3-4 goresan, kemudian
dimasukkan kedalam tabung reaksi yang sudah berisi NaCl 0,9% b/v, kemudian
dihomogenkan. Kekeruhan dari suspensi diukur dengan spektrofotometri UV-Vis sehingga
diperoleh suspensi dengan transmitan 90% pada panjang gelombang 530 nm.

11. Penentuan Aktivitas Sampel.


Sebanyak 1 ml suspensi mikroba uji dimasukkan ke dalam cawan petri yang masing-masing
berisi 15 ml media PDA, lalu dihomogenkan. Setelah media padat diletakkan kertas cakram
steril yang telah dicelupkan sediaan uji. Lalu diinkubasi selama 48 jam pada suhu 30 oC.
Diamati adanya pertumbuhan mikroba uji dan diukur daerah hambatan dengan jangka sorong
12. Evaluasi Sediaan Sabun Cair
a. Evaluasi organoleptis
Pada sediaan yang telah diformulasi dilakukan pengamatan penampilan
sediaan meliputi bau, warna dan tekstur sediaan.

b. Evaluasi homogenitas
Uji homogenitas dilakuka dengan cara tiap formula sabun cair lengkuas
ditimbang sebanyak 0,1 gram. Diletakkan pada object glass, kemudian diamati di
bawah mikroskop pada perbesaran 100 kali.

c. Penentuan nilai pH
Pengukuran pH sediaan dilakukan dengan menggunakan pH meter.
Pemeriksaan pH diawali dengan kalibrasi alat pH meter menggunakan larutan dapar
pH 7 dan pH 4. Sebanyak 1 g sabun yang akan diperiksa diencerkan dengan air suling
hingga 10 ml. Dimasukkan pH meter kedalam larutan sabun yang telah dibuat,
kemudian ditunggu hingga indikator pH meter stabil dan menunjukkan nilai pH yang
konstan.

d. Penentuan bobot jenis


Piknometer yang sudah bersih dan kering ditimbang. Selanjutnya aquades dan
sabun cair masing-masing dimasukkan ke dalam piknometer dengan menggunakan
pipet tetes. Piknometer ditutup, volume cairan yang terbuang dibersihkan dengan
menggunakan tisu dan dimasukkan ke dalam pendingin sampai suhunya menjadi 250
C. Kemudian piknometer didiamkan pada suhu ruang selama 15 menit dan ditimbang
bobot piknometer yang berisi air dan piknometer yang berisi sabun cair.

e. Uji ketahanan busa

Sebanyak 0,3 gram sediaan dilarutkan dalam 30 ml akuades, kemudian 10 ml


larutan tersebut dimasukkan ke dalam tabung reaksi berskala melalui dinding.
Tabung reaksi tersebut ditutup kemudian divortex selama 2 menit. Tinggi busa yang
terbentuk dicatat pada menit ke-0 dan ke- 5 dengan skala pengukuran 0,1 cm. Nilai
ketahanan busa didapatkan dari selisih tinggi busa pada menit ke-0 dan ke-5.
Pengujian ini dilakukan pada 2 hari, 7 hari, 14 hari, 21 hari, dan 28 hari setelah
pembuatan sediaan.
f. Uji viskositas

Pengujian viskositas sediaan menggunakan viskometer. Sediaan dimasukkan


ke dalam wadah yang tersedia hingga tanda batas wadah tersebut. Rotor kemudian
dipasang dan viskometer dinyalakan. Viskositas sediaan diamati berdasarkan jarum
penunjuk viskositas. Nilai yang ditunjukkan kemudian dicatat. Pengujian ini dilakukan
pada 2 hari, 7 hari, 14 hari, 21 hari, dan 28 hari setelah pembuatan sediaan.

DAFTAR PUSTAKA
Adianto. 1993. Biologi Pertanian. Pupuk kandang, pupuk organik nabati dan insektisida.
Penerbit Alumni, Bandung : 103

Annual Book of ASTM Standars. 2002. Volume 15.04. West Conshocken, PA. United
States : 12-14, 80

Anonim. 1983. Farmakologi dan Terapi edisi II. Bag. Farmakologi FK UI. Jakarta.

Anonim. 1998. Quality Control Methods for Medicinal Plant Material. World Health
Organisation, Geneva : 1-3

Atmoko, Y.D. 2005. Kajian Pengaruh Penambahan Ekstrak Mentimun (Cucumis Sativus
L.) Terhadap Karakteristik Sabun Mandi Opaque. Skripsi. Fateta IPB, Bogor : 5

Azmi, N. 1991. Pengaruh Ukuran Bahan dan Nisbah Pelarut dengan Bahan terhadap
Rendemen dan Mutu Oleoresin dari Fuli Pala (Miristica Fragrans Houtt). Skrispsi. Fateta
IPB, Bogor : 42

Badan Standarisasi Nasional. 1994. SNI 06-3532-1994. Sabun Mandi. Dewan Standarisasi
Nasional, Jakarta.

Bailey, A.E. 1950. Indutrial Oils and Fats Processing. Di dalam S. Ketaren. 1986.
Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. UI Press, Jakarta : 15, 302-303

Benneth, H. 1947. Practical Emulsions, Second Completely Revised Edition.Chemical


Publishing Co. Inc., New York.

Bloomfield, S.F. 1991. Methods for Assesing Antimoicrobial Activity. Di dalam Denyer,
S.P and W.B. Hugo. Mechanism of Action of Chemical Biocides their Study and
Exploitation. Blackwell Scientific Publication, London : 27

Cavanagh, F. 1963. Analtical Microbiology. Academic Press. New York :53-55

Anda mungkin juga menyukai