Anda di halaman 1dari 6

Pengaruh Agama Hindu dan Budha di Indonesia

Prasasti tertua yang ditemukan di Nusantara dikenal sebagai Prasasti Kutai dan berasal dari
Kalimantan Timur, yang tertanggal sekitar tahun 375 Masehi ketika kerajaan Kutai Martadipura
berkuasa. Prasasti ini pakai bahasa Sansekerta (bahasa liturgis agama Hindu) menggunakan
tulisan Palawa, tulisan yang dikembangkan di India Selatan sekitar abad ketiga Masehi. Dalam
prasasti ini tiga raja Kutai Martadipura disebutkan, dan tulisannya menggambarkan sebuah ritual
yang merupakan karakteristik Hindu kuno.

Sekitar satu abad kemudian, batu prasasti pertama (yang diketahui) di Jawa diukir. Prasasti ini,
yang juga dalam bahasa Sansekerta, menyatakan raja Purnawarman dari kerajaan Tarumanegara
(yang berkuasa pada abad keempat sampai ketujuh) di Jawa Barat dan menghubungkan sang raja
ini dengan dewa Hindu (Wisnu). Secara keseluruhan, prasasti ini menunjukkan bukti pengaruh
besar dari agama Hindu India terhadap kalangan elit penguasa kerajaan pribumi di Nusantara.

Meskipun demikian, hubungan perdagangan antara India dan Nusantara diketahui telah
dibentukkan berabad-abad sebelum prasasti Kutai itu. Selat Malaka, jalur laut yang
menghubungkan Samudera Hindia dengan Samudera Pasifik, telah menjadi saluran pengiriman
utama untuk perdagangan lintas laut antara Cina, India, dan Timur Tengah sejak ingatan
manusia. Sebagian besar garis pantai Sumatera terletak di sebelah jalur Selat Malaka itu, yang
menyebabkan pedagang antara India dan China berhenti pantai Sumatera, atau di seberang
(sekarang: Malaysia) untuk menunggu angin musim yang tepat yang membawa mereka ke
tujuannya.

Tapi diasumsikan bahwa agama Hindu dan Buddha tidak disebarkan ke Nusantara oleh para
pedagang India. Kemungkinan besar, para raja dan kaisar di Nusantara tertarik dengan
kehormatan Brahmana (kelas imam agama Hindu yang merupakan peringkat tertinggi dari empat
kasta sosial India). Para Brahmana ini, berdasarkan dugaan para sejarawan, memperkenalkan
agama mereka ke Nusantara. Nah, agama baru ini memungkinkan raja-raja pribumi untuk
mengidentifikasikan diri mereka dengan dewa Hindu atau Bodhisattva (yaitu makhluk mistis
yang tercerahkan dalam agama Budha), sehingga menggantikan pemujaan leluhur yang dianut
sebelumnya oleh kerajaan pribumi. Oleh karena itu, lewat doktrin agama baru ini raja-raja lokal
mendapatkan kehormatan yang lebih besar dari penduduk lokal. Kerajaan di Nusantara yang
meniru konsep dari India itu ditemukan di pulau Kalimantan, Jawa, Sumatera, dan Bali.

Karena posisi strategis garis pantai Sumatera dan Malaysia yang dekat dengan Selat Malaka,
tidaklah mengherankan bahwa kita menemukan kerajaan pertama yang berpengaruh besar dalam
sejarah Indonesia di daerah pesisir Sumatra, dan membentang di wilayah geografis yang luas di
sekitar selat Malaka itu. Kerajaan ini namanya Sriwijaya dan menguasai jalur perdagangan yang
menghubungkan Samudra Hindia, Laut Cina Selatan dan Kepulauan Rempah Maluku antara
abad ke-13 dan abad ke-17. Sriwijaya juga dikenang sebagai Pusat di Asia Tenggara untuk studi
agama Budha dengan penekanan utama pada studi bahasa Sansekerta. Dari sumber-sumber Cina
diketahui bahwa para biksu Budha Cina tinggal di Sriwijaya kadang-kadang selama lebih dari
satu dekade demi studi mereka.

Sekarang ceritanya pindah ke Java. Sisa-sisa candi Hindu dan Buddha yang ditemukan di Jawa
Tengah dan berasal dari antara abad ke-8 dan ke-10 menunjukkan pemerintahan dua dinasti.
Dinasti ini adalah Dinasti Sailendra (penganut Agama Budha Mahayana dan kemungkinan besar
dinasti yang membangun Candi Borobudur yang terletaknya di dekat Yogyakarta sekitar tahun
800 Masehi) dan Dinasti Sanjaya (penganut agama Hindu yang membangun kompleks candi
Prambanan sekitar tahun 850 Masehi tidak jauh dari candi Borobudur dan sebagai reaksi
terhadap pembangunan candi Borobudur). Keruntuhan perlahan-lahan Sriwijaya dan munculnya
kerajaan baru dan besar di Jawa itu berarti bahwa kekuasaan politik secara bertahap berpindah
dari Sumatera ke Jawa.

Namun pada abad ke-10 kehidupan penduduk di Jawa Tengah tiba-tiba jadi tidak terekam karena
tidak ada sumber. Diduga letusan gunung berapi besar menggeser kekuasaan politik dari Jawa
Tengah ke Jawa Timur tempat berkembangnya sejumlah kerajaan baru.

Tiga di antaranya yang patut mendapatkan perhatian khusus karena warisan masing-masing,
yakni Kediri (sekitar 1042-1222) untuk warisan prasasti dan warisan sastranya, dan penggantinya
Singasari (antara 1222 dan 1292) karena memperkenalkan babak baru dalam sejarah Indonesia,
yaitu sinkretisme (penyatuan aliran) agama Hindu dan Budha. Babak baru ini mencapai
kejayaannya di kerajaan Majapahit di Jawa Timur (dari tahun 1293 sampai sekitar 1500), yang
mungkin merupakan kerajaan terbesar dalam sejarah Nusantara. Majapahit memiliki wilayah
geografis yang menyerupai perbatasan Indonesia saat ini (walaupun masih diperdebatkan di
antara kalangan sarjana mengenai  seberapa besar kekuasaan Majapahit benar-benar dinikmati di
luar pulau Jawa dan Bali). Majapahit dengan perkembangan seni dan sastranya yang luar biasa
masih merupakan konsep penting dan menjadi penyebab kebanggaan nasional bagi masyarakat
Indonesia saat ini karena dianggap sebagai dasar negara modern Indonesia. Pergerakan kaum 
nasionalis di abad ke-20 menggunakan konsep ini untuk menjustifikasi kemerdekaan dan
keabsahan batas-batas wilayah Indonesia. Motto nasional Indonesia, yaitu Bhinneka Tunggal Ika,
yang berarti ‘Persatuan dalam Keberagaman', berasal dari sebuah puisi Jawa Kuno yang ditulis
pada masa pemerintahan Majapahit.

Kedatangan Islam di Indonesia

Meskipun merupakan kerajaan Hindu-Buddha, Islam berpengaruh bagi kalangan elit penguasa
Majapahit. Kemungkinan Islam sudah ada di Asia Tenggara maritim dari awal era Islam ketika
pedagang Muslim datang ke Nusantara, membuat permukiman di daerah pesisir, menikah
dengan perempuan setempat dan dihormati karena kekayaan mereka yang diperoleh melalui
perdagangan. Beberapa penguasa lokal kemungkinan tertarik dengan agama baru ini dan
dianggapnya menguntungkan untuk menganut sebuah keyakinan yang sama seperti sebagian
besar pedagang. Pendirian kerajaan Islam merupakan langkah logis berikutnya. Diduga rakyat
dari raja-raja lokal ini mengikutinya dengan masuk Islam.

Prasasti pada batu nisan menunjukkan bahwa pada awal abad ke-13 terdapat sebuah kerajaan
Islam di bagian utara Sumatera yang disebut Pasai atau Samudera. Kerajaan ini dianggap sebagai
kerajaan Islam pertama di Nusantara. Dari Sumatra Utara, pengaruh Islam kemudian menyebar
ke arah timur melalui perdagangan. Di pesisir pantai utara Jawa berbagai kota Islam muncul
selama abad ke-14. Meskipun demikian, tidaklah mungkin kalau beberapa bangsawan Jawa dari
Majapahit di Jawa Timur memeluk agama Islam karena perdagangan. Mereka mungkin merasa
statusnya jauh lebih tinggi dibanding dengan kelas sosial pedagang. Kemungkinan besar
bangsawan Jawa ini dipengaruhi oleh para ulama Sufi dan orang-orang suci atau wali yang
mengaku memiliki kekuatan supranatural (karomah).

Pada akhir abad ke-14 dan awal abad ke-15 pengaruh Majapahit di Nusantara mulai menurun
karena konflik suksesi dan meningkatnya kekuasaan kerajaan Islam. Sebuah negara perdagangan
baru, Malaka, merupakan salah satu kekuatan baru ini. Malaka itu bangkit di daerah pesisir - saat
ini Malaysia - dan terletak di bagian tersempit dari Selat Malaka itu. Negara ini menjadi
pelabuhan yang sangat sukses dengan fasilitas menguntungkan dalam jaringan perdagangan luas
yang membentang dari Cina dan Maluku di ujung timur ke Afrika dan Mediterania di ujung
barat. Awalnya Malaka adalah negara Hindu-Buddha, namun berubah dengan cepat menjadi
kesultanan Muslim (mungkin karena alasan terkait perdagangan).

Hubungan historis antara perdagangan dan Islam juga terlihat dalam perkembangan di pulau
Ternate - saat ini propinsi Maluku di kawasan timur Indonesia. Ternate (mirip dengan Tidore)
menjadi daerah kaya karena produksi cengkeh. Dari pulau Jawa - dan melalui perdagangan -
Islam menyebar ke daerah ini, mengakibatkan berdirinya kesultanan di akhir abad ke-15.
Kesultanan ini berhasil menguasai sebagian besar Indonesia Timur namun posisinya dirusak oleh
Belanda pada abad ke-17.

Kedatangan Bangsa Eropa di Indonesia

Cerita tentang kekayaan Malaka telah sampai di Eropa dan menggoda bangsa Portugis, yang
memiliki teknologi navigasi yang maju, untuk berlayar ke bagian dunia ini agar bisa memiliki
pengaruh lebih besar pada jaringan perdagangan rempah-rempah dunia (dan yang membuat
keuntungan mereka lebih tinggi). Pada 1511 Malaka ditaklukkan oleh armada Portugis di bawah
pimpinan Afonso de Albuquerque. Meskipun demikian, penaklukan ini memiliki konsekuensi
yang luas untuk jalur perdagangan. Malaka, yang dulu merupakan pelabuhan kaya, dengan cepat
hancur saat di bawah kekuasaan Portugis (Portugis yang tidak pernah berhasil memonopoli
perdagangan Asia). Setelah penaklukan Malaka, para pedagang segera mulai menghindari
Malaka dan pergi membawa bisnis mereka ke beberapa pelabuhan lain. Johor (Malaysia), Aceh
(Sumatra) dan Banten (Jawa) adalah negara yang mulai mendominasi perdagangan rempah
karena pergeseran jalur-jalur perdagangan setelah Malaka jatuh ke dalam tangan para Portugis.

Belanda juga tertarik untuk membangun cengkeraman yang kuat pada jaringan perdagangan
rempah-rempah di Asia Tenggara. Ekspedisi pertama mereka mencapai Banten pada tahun 1596
tapi disertai dengan permusuhan antara orang Belanda dan penduduk pribumi. Namun setelah
tiba kembali di Belanda, ekspedisi ini masih tetap menunjukkan keuntungan besar yang
memperlihatkan bahwa ekspedisi ke kawasan Asia Tenggara sebenarnya menghasilkan banyak
uang juga.

Namun saking banyaknya ekspedisi yang diadakan oleh beberapa perusahaan Belanda (ke
Nusantara), menimbulkan dampak negatif pada keuntungan mereka. Persaingan memperebutkan
rempah-rempah mendongkrak kenaikan harganya di Nusantara sementara peningkatan pasokan
rempah-rempah di Eropa menyebabkan penurunan harga di Eropa. Hal ini membuat pemerintah
Belanda memutuskan untuk menggabungkan perusahaan pesaingnya menjadi satu badan usaha
yang disebut Serikat Dagang Hindia Timur (Vereenigde Oost Indische Compagnie, disingkat
VOC). VOC ini menerima kekuasaan berdaulat yang besar untuk memonopoli perdagangan
rempah-rempah Asia serta menyingkirkan pesaing Eropa lainnya. VOC memutuskan untuk
memiliki kantor pusatnya tidak di Maluku (pusatnya penghasil rempah-rempah) tetapi lebih
strategis dekat Selat Malaka dan Selat Sunda. Pilihannya jatuh pada daerah yang sekarang
dikenal sebagai Jakarta. Pada tahun 1619 Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen mendirikan
Batavia di atas puing kota Jayakarta yang dihancurkan karena sikapnya yang memusuhi Belanda.
Batavia menawarkan prospek dagang yang bagus, sehingga menyebabkan timbulnya imigrasi
banyak orang (terutama orang Cina) ke kota yang berkembang dengan pesat ini.

Menuju Pemerintahan Kolonial di Indonesia

Sementara itu, negara-negara Islam terus berkembang di Nusantara. Di Aceh (Sumatra) Sultan
Iskandar Muda mendirikan kekuasaan besar di awal abad ke-17, mengendalikan cadangan lada
dan timah. Namun, ia tidak pernah berhasil membangun hegemoni di sekitar Selat Malaka
karena Johor dan para Portugis merupakan pesaing yang kuat. Setelah pemerintahan Iskandar
Muda, Aceh mengalami periode panjang perpecahan internal yang menghentikannya menjadi
kekuatan penting di luar ujung utara Sumatera.

Di Jawa Tengah dua kekuasaan Islam baru yang kuat muncul di paruh kedua abad ke-16.
Kekuasaan ini adalah Pajang dan Mataram yang - setelah melalui perjuangan panjang - berhasil
menghentikan dominasi politik daerah pesisir di utara Jawa. Mataram menjadi dinasti yang
paling kuat dan paling lama dari dinasti Jawa modern, dengan masa pemerintahan Sultan Agung
sebagai kejayaan politik. Sultan Agung berkuasa pada tahun 1613-1646 dan berhasil
menaklukkan hampir seluruh daratan Jawa, kecuali kerajaan Banten di Jawa Barat dan kota
Batavia yang dikuasai VOC. Penguasaan Belanda terhadap Batavia adalah ibarat onak/duri di
mata Sultan Agung yang ingin menguasai seluruh daratan pulau. Dalam dua kesempatan ia
mengirim pasukannya untuk menaklukkan kota Belanda ini tapi gagal dua kali.

VOC dengan cepat menyebarkan kekuasaannya di Nusantara dan mendapatkan kendali atas
produksi cengkeh dan pala di Kepulauan Banda (Maluku) dengan menggunakan langkah-
langkah ekstrim seperti pembantaian massal. VOC terus memperluas jaringan pos
perdagangannya di seluruh Nusantara. Kota dan pelabuhan yang memainkan peran sentral dalam
jaringan perdagangan Belanda ini adalah Surabaya (Jawa Timur), Malaka (Malaysia Barat) dan
Banten (Jawa Barat).
Meskipun statuta VOC pada awalnya tidak memperbolehkannya mengganggu politik internal
negara-negara pribumi, namun VOC mengakar cukup kuat dalam politik Mataram di Jawa
Tengah. Setelah kematian Sultan Agung, Mataram dengan cepat merosot dan sengketa suksesi
muncul sekitar akhir abad ke-17 dan awal abad ke-18. VOC memainkan taktik memecah-belah
dan menaklukkan yang pada akhirnya mengakibatkan pembagian kerajaan Mataram menjadi
empat bagian dengan penguasanya menjadi tunduk kepada VOC. Meskipun posisi VOC masih
lemah di luar Pulau Jawa, perkembangan politik di Jawa ini dapat dianggap sebagai tahap awal
penjajahan Belanda di Nusantara.

Klik di sini untuk membaca gambaran Masa Penjajahan Indonesia

Sumber:

• M.C. Ricklefs: A History of Modern Indonesia since c.1200


• Jean Gelman Taylor: Indonesia: Peoples and Histories

Anda mungkin juga menyukai