Anda di halaman 1dari 24

Geneva - Jurnal Teologi dan Misi Vol. 17, No.

2, Desember 2019: 115-138


ISSN 2088-8368

PERDAMAIAN DAN REKONSILIASI:


SEBUAH EKSPLANASI KEKERASAN BERBASIS AGAMA
DAN UPAYA MELAMPAUINYA

Michael Alexander
Program Pasca Sarjana Teologi, Sekolah Tinggi Teologi Injili Abdi Allah,
Jl. Raya Pacet Km. 2, Kab. Mojokerto
E-mail: luxuryours@yahoo.com

ABSTRAK
Perdamaian bukan hanya syarat tidak adanya kekerasan langsung. Perdamaian mencakup kondisi bagi setiap kelompok
masyarakat untuk memperoleh hak dan kesempatan yang sama. Agama memiliki peran yang ambivalen. Di satu sisi
intoleransi dan diskriminasi atas dasar agama merupakan fakta dalam masyarakat majemuk. Di sisi lain, agama
memiliki kekuatan untuk mempromosikan kesetaraan, keadilan, perdamaian, dan kesejahteraan bersama. Makalah ini
akan memaparkan kedua sisi tersebut: Pertama, dengan mengemukakan bahwa kekerasan agama tidak hanya berakar
pada praktik keagamaan. Ada hubungan timbal balik antara praktik keagamaan dan konteks sosial. Yang pertama tidak
cukup untuk membawa kontradiksi ke dalam kekerasan langsung. Padahal yang kedua merupakan prasyarat yang
niscaya. Namun, agama tidak hanya didasari oleh kepentingan. Agama memiliki potensi yang melekat untuk
mewujudkan kekerasan. Pada bagian kedua makalah ini akan dipaparkan dua pendekatan korelasional agama yang
berorientasi pada etika global dan praksis pembebasan. Kedua orientasi ini diajukan sebagai jalan keluar dari kebuntuan
relasi agama berdasarkan kebenaran epistemologis atau kriteria soteriologis. Terakhir, rekonsiliasi agama akan tercapai
ketika dialog karya-karya yang memperjuangkan kesejahteraan umat manusia dan bumi menjadi tujuan dan tanggung
jawab bersama umat beragama.

Kata kunci; Perdamaian; Rekonsiliasi; Agama; Kekerasan; Dialog

ABSTRACT
Peace is not just a condition of the absence of direct violence. Peace includes conditions for each group of people to
obtain equal rights and opportunities. Religions have an ambivalent role. On the one hand intolerance and
discrimination based on religion is a fact in a pluralistic society. On the other hand, religions have the power to promote
equality, justice, peace and mutual welfare. This paper will describe both sides: First, by arguing that religious violence
is not solely rooted in religious practice. There is a reciprocal relationship between religious practices and the social
context. The first is insufficient to bring the contradiction into direct violence. Whereas the second is a necessary
prerequisite. However, religion is not merely instrumented by interests. Religion has an inherent potential to actualize
violence. At the second part of this paper will be present two correlational approaches of religions oriented towards
global ethics and liberation praxis. Both of these orientations are proposed as a way out of the impasse of the relations
of religions based on epistemological truth or soteriological criteria. Finally, the reconciliation of religions will be
achieved when the dialogue of works that struggled for the welfare of humanity and the earth becomes the common
goals and responsibility of religions.

Keywords; Peace; Reconciliation; Religion; Violance; Dialogue

PENDAHULUAN There will be no peace among the religions


without dialogue among the religions.”
“There will be no peace among the
nations without peace among the religions.
PERDAMAIAN DAN REKONSILIASI: SEBUAH EKSPLANASI 116
KEKERASAN BERBASIS AGAMA DAN UPAYA MELAMPAUINYA

Kalimat di atas dilontarkan Hans Küng SETARA Institute dalam laporannya di tahun
sekitar 30 tahun yang lalu. Seruan tersebut 2017 menyimpulkan terjadinya penguatan-
masih relevan hingga saat ini. Termasuk bagi supremasi intoleransi yang mengakar secara
kita di Indonesia. Perdamaian hanya bisa kultural dan memiliki inter-kausalitas dengan
dicapai jika agama-agama saling berdamai satu dogma dan fatwa keagamaan. 1 Kesimpulan
dengan yang lain. Orde Baru menegakan tersebut tetap relevan di tahun 2018. Terlihat
perdamaian antar agama melalui represi dari 109 peristiwa pelanggaran kebebasan
militeristik. Pedekatan tersebut ditempuh beragama dan berkeyakinan yang terjadi di 20
karena perdamaian dimaknai sebagai provinsi pada semester pertama. 2
ketiadaanya konflik di ruang publik kehidupan Sekelumit pemaparan di atas
berbangsa dan bernegara. Namun ketiadaan menunjukkan beberapa hal: Pertama,
konflik dalam bentuk termanifestasikan tidak perdamaian umumnya dipahami sebagai
serta-merta berarti bahwa tidak ada ketiadaan pertikaian atau kekerasan di
pertentangan secara laten. Bagaikan sekam, permukaan. Pandangan ini merupakan gagasan
konflik terpendam di bawah permukaan. klasik sejak era Romawi kuno yang
Pasca Orde Baru pengaruh agama menganggap perdamaian sebagai ‘absentia
kembali membesar. Nampak dari munculnya belli,’ yakni keadaan di mana tidak ada perang.
berbagai partai politik berbasiskan agama. Pandangan ini dikenal sebagai perdamaian
Indonesia yang tidak pernah berada dalam negatif (negative peace). Dalam
kondisi sebagai negara sekuler – sebagaimana perkembangannya, muncul pemahaman positif
agama-agama, termasuk kekristenan, di mengenai perdamaian (positive peace).
domestifikasi ke ruang-ruang privat dan Pendapat ini memperluas gagasan klasik di
kehilangan peran publiknya di Barat – atas, yang artinya perdamaian bukan sekadar
langsung melompat ke era post-sekuler. dipahami sebagai kondisi tiadanya perang atau
Artinya peran agama kembali diperhitungkan kekerasan langsung (direct violence), tetapi
sebagai kekuatan politis dalam negara juga kondisi yang bebas dari kekerasan tidak
demokratis. Di saat seperti itu ketegangan laten langsung (indirect violence), misalnya
antaragama mewujud dalam bentuk kompetisi kekerasan struktural, kekerasan sosio-kultural
agama-agama. Intoleransi di ruang publik
1
www.setara-institute.org/kondisi-kebebasan-
merupakan tahap selanjutnya. beragamaberkeyakinan-dan-minoritas-keagamaan-di-
indonesia-2016/ (Diakses 4 September 2019)
2
Mengacu pada laporan tengah tahun 2018
yang dirilis oleh SETARA Institute
Michael Alexander 117

3
serta kekerasan ekologis. Lebih lanjut, merepresentasikan agama tertentu di tempat
pencapaian perdamaian positif memerlukan pemakaman umum (TPU). Padahal sifat
upaya berkesinambungan yang dilakukan oleh ‘umum’ mengandaikan kesetaraan tiap
seluruh elemen masyarakat, termasuk agama- partikularitas untuk mengekspresikan
agama. identitasnya di fasilitas tersebut. Penegakan
Kedua, bertolak dari pembedaan kesepakatan di atas berujung pada tindak
perdamaian ke dalam bentuk positif dan intoleransi berupa pemotongan nisan berbentuk
negatif di atas, nampak jelas hubungan antara tanda salib pada Desember 2018 di Makam
agama dengan tindak kekerasan dan upaya Jambon, Kotagede, Yogyakarta. 5 Kasus ini
membangun perdamaian. Di satu pihak agama menunjukkan bahwa kekerasan struktural-
dapat berperan sebagai pembawa kekerasan kultural berkaitan dengan koersi langsung. Di
baik dalam bentuk langsung maupun tidak sebut kekerasan struktural karena masyarakat
langsung. Namun di pihak lain agama juga menyepakati struktur yang diskriminatif.
dapat berperan sebagai agen perdamaian Kasus ini juga merupakan kekerasan kultural
melalui upaya untuk menghindari kekerasan karena aturan ditegakkan dengan mengacu
langsung dan memperjuangkan tercapainya pada kultur dominan. Perpaduan antara
perdamaian positif di tengah masyarakat dan keduanya memberikan dasar bagi inkuisisi
negara. 4 yang secara definisi merupakan kekerasan
Spektrum kekerasan direct-indirect langsung.
nampak dalam kehidupan bermasyarakat di Contoh lain masih dapat dilihat dari
Indonesia. Sebagai contoh terlihat dari tindak wilayah yang sama. Terjadi pada April 2019
diskriminasi warga masyarakat yang membuat saat terkuak aturan dusun yang menolak
kesepakatan untuk menolak nisan yang penghuni non-Muslim untuk tinggal di wilayah
Desa Pleret, Bantul. Kembali terlihat
3
Sandy Ascenso Carreira, et.al., kekerasan tidak langsung melalui kesepakatan
Mainstreaming Peace Education: Methodologies,
Approaches and Visions (Berlin: Lifelong Learning diskriminatif yang dibuat oleh warga. Seperti
Programme, 2014), 34-37. peristiwa di Makam Jambon penegakkan
4
Ambivalensi peran agama di ruang publik, khususnya
menurut kajian ilmu Hubungan Internasional, serta kesepakatan ini berujung pada pengusiran
komponen-komponen konflik mencakup inti agama dan
perebutan sumber daya sebagaimana akan dipaparkan
lebih lanjut di bawah, dapat dilihat dalam Reza A.A.
5
Wattimena, “Malaikat Kematian atau Ratu Perdamaian?
Agama di dalam Politik Global Abad 21” dalam The Ary https://regional.kompas.com/read/2018/12/21/08565691/
Suta Center Series on Strategic Management, Vol 47, klarifikasi-lengkap-pemotongan-nisan-salib-di-makam-
(Oktober 2019). kotagede-yogyakarta (diakses 26 Februari 2019).
PERDAMAIAN DAN REKONSILIASI: SEBUAH EKSPLANASI 118
KEKERASAN BERBASIS AGAMA DAN UPAYA MELAMPAUINYA

seorang warga pendatang. 6 Demikian pula mulai dari aturan warga, tingkat daerah hingga
dengan kasus pada Juni 2019 di Gunung Kidul nasional. 9
perihal aturan yang mewajibkan siswa di SDN
Karangtengah III untuk menggunakan seragam METODE PENELITIAN
pakaian Muslim. 7 Dapat kembali ditegaskan
bahwa aturan dan kesepakatan yang bersifat Data-data ini menunjukkan fakta empiris
diskriminatif dan mengacu pada kultur tertentu potensi agama-agama untuk menjadi alat
dapat digolongkan ke dalam kekerasan kekerasan, intoleransi dan diskriminasi.
struktural-kultural. Sedangkan penegakan Namun, sebagaimana telah disinggung, agama
aturan meski dilakukan tanpa tindakan koersif, juga memiliki kekuatan untuk membangun
tergolong dalam kekerasan langsung. perdamaian, baik dalam upaya menghindari
Sejumlah kasus di atas menunjukkan terjadinya kekerasan langsung, maupun untuk
kekerasan struktural-kultural di tingkat lokal menciptakan kondisi yang mendukung
yang dilakukan oleh warga masyarakat. Dalam perdamaian antarumat beragama. Pengem-
skala yang lebih luas kekerasan struktural juga bangan toleransi antarumat beragama
dilakukan oleh aparatur negara. Tampak dari merupakan upaya mencegah terjadinya
pencabutan izin HKBP Filadelfia, Bekasi dan kekerasan langsung. Meski demikian perlu
GKI Yasmin, Bogor oleh pemerintah daerah adanya langkah lanjutan guna membangun
setempat. Pencabutan izin pendirian gereja perdamaian positif. Tulisan ini akan
juga terjadi di Bantul pada akhir Juli 2019 memaparkan ambivalensi agama tersebut:
dengan mengacu pada Peraturan Bersama Pertama, akan diuraikan anatomi kekerasan
Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri mencakup kekerasan agamawi di dalamnya.
8
perihal izin pendirian rumah ibadah. Dalam bagian ini akan ditunjukkan bahwa
Singkatnya kekerasan struktural dijumpai aktualisasi kekerasan terjadi karena hubungan

6
https://m.detik.com/news/berita-jawa-
9
tengah/d-444494241/perbedaan-agama-membuat- Laman Tirto.id mencatat keberadaan Perda
slamet-ditolak-tinggal-di-dusun-karet-bantul (diakses 10 yang menggunakan identitas keagamaan, baik Islam
Oktober 2019). melalui Perda Syariah, maupun Kristiani dengan Perda
7
https://m.detik.com/news/berita-jawa- Injil. Perda berbasis agama tersebut memiliki potensi
tengah/d-4599034/viral-ada-sd-neger-di-gunungkidul- untuk mengancam minoritas. https://tirto.id/perda-
wajibkan-siswa-baru-berbaju-muslim (diakses 10 syariah-dan-perda-injil-sama-sama-ancam-minoritas-
Oktober 2019). daib Salah satu kritik terhadap Perda Injil dari kacamata
8
Kristiani dapat dilihat dalam Binsar A. Hutabarat,
https://nasional.tempo.cc/read/1230196/bupati-bantul- “Perda Manokwari Kota Injil: Makna dan Konsekuensi
cabut-izin-gereja-setara-diskriminatif (diakses 16 bagi Gereja-Gereja di Indonesia”, Societas Dei 2, No.2
Oktober 2019). (April 2015):127-160.
Michael Alexander 119

timbal-balik antara ajaran internal keagamaan dengan 6:16 – pasal 7:5 dengan 13:14, 22b,
dengan konteks sosial. Diasumsikan bahwa 29).
kekerasan termaktub dalam Kitab Suci tradisi-
tradisi monoteistik. Menggunakan kalimat lain, ANATOMI KEKERASAN AGAMAWI
tradisi monoteistik mengandung kekerasan Aktualisasi kekerasan disebabkan jalinan
semantik di dalam Kitab Sucinya yang berbagai faktor. Demikian pula dengan
berpotensi untuk direproduksi apabila konteks kekerasan berbasis, atau yang
10
menuntut dilakukan pengukuhan identitas. mengatasnamakan, agama. Uraian berikut akan
Maka tidak dapat disimpulkan hanya konteks memaparkan hubungan timbal-balik antara
sosial yang merupakan penyebab kekerasan faktor internal keagamaan dengan konteks
yang menggunakan pembenaran Kitab Suci. sosial sebagai faktor eksternal. Akan tetapi
Sebaliknya, tanpa konteks, kekerasan tekstual faktor-faktor eksternal pembentuk konflik
juga tidak terobyektifikasi. Kedua, sebagai tidak akan dipaparkan lebih jauh. Hubungan
upaya untuk melampaui kekerasan agama- antara kedua faktor hanya akan disinggung
agama, penulis akan mengusulkan dua gagasan melalui contoh kasus. Penekanan diberikan
guna menciptakan keselarasan antar agama pada faktor internal melalui pemaparan
melalui dialog karya yang dilakukan lintas sejumlah tanda dalam praktik beragama yang
agama. Hal tersebut berarti agama-agama berpotensi untuk mengangkat pertentangan
perlu untuk melampaui problema epistemik- laten ke dalam bentuk konflik terbuka.
soteriologis dan mempertimbangkan kerjasama
di tataran praksis-etis. 11 pararel pasal 1:11 AKTUALISASI KEKERASAN SEBAGAI
HUBUNGAN TIMBAL BALIK
10
Jan Assmann, “Monotheism and its Political
Consequences”, dalam Bernhard Giesen dan Daniel
Šuber (ed.), Religion and Politics: Cultural Perspectives Johan Galtung adalah seorang
(Leiden/ Boston: Brill, 2005), 142, bdk. 158. Assmann
berpendapat bahwa monoteisme memiliki potensi matematikawan sekaligus perintis studi
kekerasan di dalam ajarannya. Pendapat ini
membedakannya dengan para pemikir lain, misalnya perdamaian dan konflik. Ia berpendapat
Regina Schwartz, yang menyatakan kekerasan
merupakan konsekuensi ideologi monoteistik.
11
Banawiratma memaparkan tujuh bentuk
dialog dalam masyarakat: Dialog kehidupan yakni keagamaan antarumat beragama, dialog para pemuka
komunikasi sehari-hari antarumat dan kelompok agama, dialog karya dalam bentuk kegiatan bersama,
agamawi, dialog sosial yakni analisis sosial-kontekstual dan dialog internal yang membahas perbedaan agama-
yang dilakukan dengan menggunakan lensa-lensa agama yang dilakukan oleh komunitas satu agama (lih.
keagamaan, dialog tradisi agama yang bertujuan untuk Listia, dkk., Pendidikan Interreligius: Gagasan Dasar
mengenal perbedaan antar tradisi guna mengikis dan Modul Pelaksanaa, (Yogyakarta:
prasangka, dialog iman yakni komunikasi pengalaman CDCC/KAICIID/RfP, 2016).
PERDAMAIAN DAN REKONSILIASI: SEBUAH EKSPLANASI 120
KEKERASAN BERBASIS AGAMA DAN UPAYA MELAMPAUINYA

kekerasan memiliki dua bentuk: 12 Pertama, pembentuk konflik. Polarisasi antaraumat yang
kekerasan yang termanifestasikan atau dibangun dengan liyan* oleh ajaran
teraktualisasikan. Hal ini berarti bahwa keagamaan merupakan contoh yang diangkat
kekerasan telah mendapat bentuk yang aktual dalam tulisan ini. Sedangkan konteks hidup
sehingga dapat diobservasi secara empirik. bermasyarakat merupakan akar eksternal.
Sejumlah kasus yang disebutkan pada bagian Hubungan timbal-balik antara kedua akar laten
awal tulisan ini merupakan contoh kekerasan ini akan mencuatkan konflik ke ruang publik
dalam bentuk termanifestasikan. Kedua, kehidupan ketika dijumpai stimulus tertentu
kekerasan dalam bentuk laten, artinya sebagai pemicu. Misalnya isu protes suara
kekerasan masih berada dalam bentuk adzan yang dilakukan warga yang menyandang
potensial dan tidak terhubung secara langsung status double minority di Tanjung Balai,
dengan cara manifestasinya. Misalnya Sumatera Utara merupakan stimulus yang
polarisasi antarwarga masyarakat tidak mengangkat pertikaian laten menjadi aktualitas
memiliki hubungan langsung dengan dalam bentuk pembakaran sejumlah rumah
perusakan nisan berbentuk salib. Pemasangan ibadah.13
nisan salib sendiri merupakan stimulus yang
mengangkat polariasi laten menjadi kekerasan
teraktualisasi.
Galtung merumuskan gagasannya dalam
bentuk segitiga sebagaimana nampak dalam
Gambar 1 di bawah. Kerangka triangular
tersebut dikenal dengan istilah segitiga konflik,
atau segitiga ABC (Attitude, Behaviour,
Contradiction). Dalam bahasa Indonesia
diagram tersebut juga disebut sebagai segitiga
SPK (Sikap, Perilaku, Kontradiksi). Apabila Gambar 1
kerangka tersebut diadopsi sebagai alat analisis Kerangka Triangular Kekerasan

untuk menjelaskan pokok bahasan maka ajaran


* liyan: istilah filsafat fenomenologi yang
keagamaan merupakan akar internal digunakan untuk menjelaskan perbedaan eksistensi yang
mengaku dengan eksistensi yang lainnya. (ed.)
13
Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Laporan
12
Johan Galtung, Peace by Peaceful Means: Tahunan Kehidupan Keagamaan di Indonesia Tahun
Peace and Conflict, Development and Civilization 2016, (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian
(London: Sage Publication, 1996). Agama RI, 2017), 29-30
Michael Alexander 121

Perihal agama membawa kekerasan di Untuk masa selanjutnya, narasi


dalam ajarannya tentunya dapat disangkal. kekerasan tekstual dipergunakan untuk
Meski demikian tidak dapat dipungkiri membenarkan tindak genosida. Yang
keberadaan narasi-narasi kekerasan dalam dimaksudkan adalah peristiwa pembantaian
Kitab Suci yang secara tidak langsung suku asli Amerika yang dilakukan oleh
mengandaikan polarisasi antarumat. pendatang Kristiani. Jelas bahwa narasi Kitab
Menggunakan kalimat lain, polarisasi antar Suci dipergunakan secara instrumental
umat tersirat, bahkan kadang tersurat, di dalam menurut kebutuhan konteks tertentu, yang
Kitab Suci. Sebagai contoh pembantaian yang dalam hal ini adalah penaklukan benua
15
dilakukan terhadap penduduk asli Kanaan Amerika. Eric A. Seibert mencatat
dalam kitab Yosua. Kekerasan tersebut diakui pembantaian dilakukan kaum Puritan yang
sebagai perintah ilahi. Terdapat banyak menggunakan kekerasan dalam Kitab Suci
pendekatan yang dilontarkan para apologis sebagai model (archtype). 16 Dapat dikatakan
untuk menjelaskan peristiwa tersebut, misalnya hermeneutics of violent akan dipergunakan
dengan menganggap penulisan narasi apabila konteks sosio-politik menuntut
peperangan mengikuti bentuk hiperbolik sesuai dilakukannya tindak kekerasan untuk mencapai
14
gaya penulisan retorik masa itu. Tentu tujuan tertentu. Apabila dalam contoh di atas
anggapan tersebut dapat diperdebatkan. konteksnya adalah penaklukan, maka di masa
Namun hal yang tidak dapat disanggah adalah kini status sosial antarentitas merupakan lahan
keberadaan narasi-narasi tersebut dalam kanon subur bagi tumbuh-kembangnya budaya
Kitab Suci tradisi Yudeo-Kristiani. Singkatnya, kekerasan. Asimetrisitas tersebut dapat berupa
secara semantis kekerasan termaktub di dalam relasi mayoritas-minoritas, kaya-miskin,
Kitab Suci. Lebih lanjut, kekerasan itu sendiri superioritas-inferioritas, dan seterusnya.
mengandaikan polarisasi tajam antara umat Kembali pada kasus Tanjung Balai, Sumatera
dengan liyan sehingga mereka dibinasakan dan Utara, laporan resmi Kementerian Agama
dikuasai wilayahnya. Reproduksi kekerasan mencatat bahwa penguasaan sektor
merupakan potensi yang dibawa oleh narasi-
15
narasi tersebut. Ra’anan S. Boustan, et. al (ed), Violence,
Scripture and Textual Practice in Early Judaism and
Christianity (Leiden/Boston: Brill, 2010), 4-5
14 16
Paul Copan, Is God a Moral Monster? Eric A. Seibert, The Violence of Scripture:
Making Sense of the Old Testament God (Grand Rapids, Overcoming the Old Testament’s Troubling Legacy
Michigan: Bakerbooks, 2011), 170-71. (Mineapolis: Fortress Press, 2012), 1-2
PERDAMAIAN DAN REKONSILIASI: SEBUAH EKSPLANASI 122
KEKERASAN BERBASIS AGAMA DAN UPAYA MELAMPAUINYA

perekonomian oleh etno-religi minoritas polarisasi internal keagamaan dengan konflik


merupakan salah satu akar yang memunculkan kepentingan sebagai konteks hidup
17
ketidakharmonisan dalam relasi sosial. Di bermasyarakat. Yang pertama bersifat
sini terlihat hubungan antara konteks dengan potensial namun tidak cukup (insufficient)
instrumentalisasi identitas keagamaan. untuk mengangkat kekerasan tekstual
Dapat kembali ditegaskan bahwa kepermukaan. Sedangkan konflik kepentingan
ketimpangan sosial merupakan faktor eksternal merupakan prasyarat niscaya (necessary). 18
yang menyimpan potensi untuk mengangkat
polarisasi semantik-tekstual ke dalam bentuk
kekerasan aktual. Akan tetapi perlu
ditandaskan bahwa arah hubungan antara
kedua akar laten tersebut bersifat timbal-balik
dan bukan hanya dari konteks menuju pada
teks. Alur yang disebut terakhir mengandaikan
teks hanya diinstrumentalisasi oleh konteks.
Pada sejumlah kasus alur tersebut memang Gambar 2
terjadi. Meski demikian dengan mengingat Komponen Konflik

bahwa teks berperan sebagai pembentuk


wawasan kognitif umat, maka dapat dikatakan Dalam studi yang dilakukan oleh

bahwa teks juga membentuk konteks hidup Hasenclever dan Rittberger, keduanya

bermasyarakat. Artinya polarisasi tekstual menggolongkan peran agama terhadap konflik

antara umat-liyan sampai derajat tertentu akan dalam tiga kelompok pandangan: Primordialis,

direproduksi dalam bentuk polarisasi sosial instrumentalis dan konstruktivis. 19 Pandangan

antar kelompok masyarakat. Keengganan primordialis menganggap pertikaian

masyarakat Dusun Karet, Bantul untuk antaragama atau atas nama agama memang

menerima pendatang lintas agama disebabkan inkompatibilitas doktrin

menunjukkan peran teks dalam pembentukan


18
relasi sosial serta hubungan timbal-balik antara Louis Kriesberg dan Bruce W. Dayton,
Constructive Conflicts: From Escalation to Resolution
keduanya. Pada akhirnya konflik akan (Lanham, Maryland: Rowman & Littlefield Publishers,
2012), 58.
teraktualisasi ketika terjadi pertalian antara 19
Andreas Hasenclever dan Volker Rittberger,
konflik identitas, dalam hal ini diwakili oleh “Does Religion Make a Difference? Theoretical
Approaches to the Impact of Faith on Political Conflict”
Millennium: Journal of International Studies 29, No. 3
17
Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 29-30 (2006): 641-74.
Michael Alexander 123

keagamaan. Kata kuncinya adalah agama konstruktivistik mengingat tradisi monoteistik


sebagai variabel mandiri (independent varibel) sendiri menegaskan polarisasi antara umat
yang menyebabkan terjadinya pertikaian. dengan liyan. Polarisasi ini berpotensi
Kelompok berikutnya adalah pandangan diinstrumentalisasi apabila konteks
instrumentalis. Pandangan ini berpendapat memerlukan pengukuhan identitas dengan
bahwa agama bukan penyebab niscaya menggunakan sentimen keagamaan guna
terjadinya konflik melainkan kesenjangan mencapai tujuan politis tertentu. Walau
sosial dan ekonomi. Para instrumentalis demikian kesimpulan ini ditarik dengan
menyakini agama dipergunakan sebagai alat menggunakan kacamata pengamat luar.
kepentingan yang terkait dengan permasalahan Namun tidaklah demikian bagi massa akar
sosio-ekonomi juga politik. Sedangkan rumput yang menganggap konflik keagamaan
pandangan ketiga disebut dengan istilah merupakan sebuah perjuangan agamawi. Kasus
konstruktivis. Pandangan ini berada di antara bom bunuh diri merupakan contoh ekstrim
primordialis dan instrumentalis. yang menunjukkan penghayatan keagamaan-
Konstruktivisme berupaya untuk mengatasi primordialistik yang melatari tindak kekerasan
kelemahan kedua pandangan yang sebelumnya di tingkat pelaku. Hal ini nampak jelas dari
disebut. Pandangan ini dekat dengan gagasan profil pelaku bom bunuh diri di tiga gereja di
instrumentalis yang tidak mengabaikan Surabaya pada 2018 yang melibatkan ayah, ibu
dinamika kekuasaan dan kepentingan. Meski dan anak-anak mereka dalam tindak sakrifisial
demikian konstruktivisme beranggapan bahwa tersebut.20
agama tidak sekadar diinstrumentalisasi namun
memiliki peran intervensif (intervening 20

variable). Kriteria ini merupakan pembeda https://wartakota.tribunnews.com/2018/05/133/pelaku-


bom-di--gereja-di-surabaya-ternyata-dilakukan-satu-
utama antara konstruktivisme dengan keluarga-ayah-ibu-dan-4-anaknya (Diakses 10 Oktober
2019). Dalam penelitian yang dilakukan Tamawiwy
instrumentalisme. Yang dimaksud adalah ditunjukkan hubungan antara dimensi sosio-politis
bahwa agama, sama seperti ideologi lainnya dengan etis-teologis dimana dalam kasus bom bunuh
diri, ditandaskan olehnya, terjadi apabila pelaku
merupakan pembentuk wawasan kognitif yang meyakini tindakannya dibenarkan oleh pemahaman
teologis tertentu. (August Corneles Tamawiwy, “Bom
berpotensi mengakibatkan konflik muncul ke Surabaya 2018: Terorisme dan Kekerasan Atas Nama
Agama,” Gema Teologika 4, No.2 (Oktober 2019): 175-
permukaan. 194). Jika di atas faktor eksternal dianggap keniscayaan,
sedangkan faktor internal keagamaan bersifat
Untuk menutup bagian ini akan insufficient, maka dalam kasus ini penulis bersepakat
disimpulkan bahwa konflik yang melibatkan dengan Tamawiwy bahwa faktor eksternal saja bersifat
insufficient. Untuk melakukan bom bunuh diri
agama pada umumnya merupakan konflik penghayatan teologis secara radikal merupakan sebuah
keniscayaan.
PERDAMAIAN DAN REKONSILIASI: SEBUAH EKSPLANASI 124
KEKERASAN BERBASIS AGAMA DAN UPAYA MELAMPAUINYA

AGAMA DAN KEKERASAN secara tegas antara instrumentalisasi dengan


konflik konstuktivistik yang mengandaikan
Berbicara tentang ‘agama’ memunculkan hubungan timbal-balik antara keduanya.
banyak permasalahan. Salah satu penyebabnya Penekanan yang diberikan olehnya terletak
adalah karena para ahli tidak menyepakati pada keberadaan hubungan antara kedua akar
definisi tentang agama. Bahkan konsep laten tersebut. Meski demikian, pendekatan
‘agama’ dianggap sebagai konstruksi Cavanaugh berkecenderungan apologetis
pemikiran Barat dalam upaya kolonialisasi dengan melindungi agama dari tuduhan
Timur. Artinya agama merupakan sebuah sebagai penyebab kekerasan. Ia selanjutnya
konstruksi politis.21 Tentang hal ini tidak akan mengelompokkan tuduhan-tuduhan tersebut
dibahas lebih jauh. Konteks Indonesia dalam tiga kelompok argumentasi: Agama
menempatkan lima kepercayaan sebagai agama bersifat memutlakkan, agama memecah-belah
resmi ditambah dengan Konfusianisme sebagai dan agama tidak cukup rasional.23
agama keenam yang diakui pada masa Charles Kimball adalah seorang tokoh
pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, yang diulas pemikirannya oleh Cavanaugh. 24
serta pengakuan terhadap para penghayat pada Pemikiran Kimball, juga John Hick dan
akhir 2017 melalui keputusan Mahkamah Richard Wentz, dimasukkan dalam kelompok
Konstitusi. Kekerasan atas nama agama agama bersifat memutlakkan. Pemikiran kedua
mencakup kekerasan yang dilakukan oleh tokoh yang disebut terakhir tidak akan diulas
salah satu, atau lebih agama, terhadap agama lebih lanjut. Sedangkan telaah dan
atau kepercayaan lainnya baik dalam bentuk pengembangan pemikiran Kimball
kekerasan fisik maupun tidak. menunjukkan gagasannya mencakup ketiga
William T. Cavanaugh beranggapan kelompok Cavanaugh di atas.
bahwa politik merupakan penyebab utama Kimball memaparkan lima tanda yang
22
kekerasan atas nama agama. Menggunakan patut diwaspadai karena membawa potensi
tipologi Hasenclever dan Rittberger, kekerasan kekerasan atas nama agama. Kelima tanda
atas nama agama merupakan intrumentalisasi tersebut adalah klaim kebenaran agama secara
agama yang dilakukan oleh kepentingan mutlak, kepatuhan tanpa nalar kritis, penetapan
politik. Cavanaugh sendiri tidak membedakan waktu ‘ideal’, menghalalkan segala cara untuk
mencapai tujuan agama di ruang publik, dan
21
William T. Cavanaugh, The Myth of
23
Religious Violence: Secular Ideology ad the Roots of Ibid., 17-18
24
Modern Conflict (NY: Oxford University Press, 2009) Charles Kimball, When Religion Becomes Evil: Five
22
Ibid. Warning Signs, (Canada: Harper Collins, 2008)
Michael Alexander 125

deklarasi perang suci (Gambar 3). Nampak berperan dalam pembentukan sikap ekslusif
kelima tanda tersebut membentuk alur logis. keagamaan. Yang dimaksudkan di sini adalah
Dimulai dari klaim kebenaran mutlak, tindakan eksklusi yang dilakukan umat
ditransmisikan secara dogmatis sehingga terhadap liyan baik secara literal maupun
membungkam nalar kritis dalam hidup dengan cara menempatkan agama-agama lain
beragama, diarahkan hanya pada salah satu secara hirarkis di bawah kebenaran agama
aspek ajaran keagamaan, misalnya eskatologi, yang dianut. Di sisi lain agama juga memiliki
kemudian diupayakan realisasinya pada saat kemampuan untuk membangun solidaritas
ini melalui segala cara, bahkan dengan antarumat beragama dengan bertolak dari teks
menggunakan jalan kekerasan. yang sama. Ambivalensi ini sangat dipengaruhi
oleh interpretasi yang dibangun oleh aliran
keagamaan dan penafsirnya: Eksklusifistik
atau berorientasi pada pengembangan
perdamaian lintas agama.
Kembali pada masalah klaim kebenaran.
Selain problema epistemologis, permasalahan
juga terletak pada pemutlakan interpretasi teks.
Gambar 3
Pemutlakan interpretasi tersebut mencakup
Tanda-Tanda Potensial bagi Aktualisasi
Kekerasan Agamawi status Kitab Suci sebagai teks yang
diinspirasikan. Dalam teologi kristiani
HASIL DAN PEMBAHASAN
‘inspirasi’, dari (Lat.) ‘inspirata’, berkaitan
dengan pewahyuan Roh Kudus. Seluruh Kitab
Klaim Kebenaran Mutlak
Suci – diwakili kata graphe (‘tulisan kudus’,
Menurut Kimball, penyebab korupsi
bdk.2.Ptr.3:15-16) – dianggap sebagai ‘nafas’
agama – yang dimaksudkan adalah berubahnya
Allah. Anggapan ini tersirat dari kata
natur agama dari pembawa kebaikan menjadi
theopneustos yang dipakai (lih. 2Tim. 3:16).
alat kekerasan – bermula dari klaim kebenaran
Logika yang kemudian dibangun oleh para
yang dibuat dan diberlakukan secara mutlak
penafsir dan sistematikawan adalah karena
dan universal. Disebutkan bahwa kebenaran
Allah tidak dapat salah, maka wahyu-Nya –
agamawi, terlebih yang di klaim sebagai
yakni tulisan yang dinafaskan oleh-Nya – juga
wahyu ilahi, memiliki pengaruh besar terhadap
tidak akan salah. Oleh sebab itu Kitab Suci
kehidupan umat: Di satu sisi klaim kemutlakan
PERDAMAIAN DAN REKONSILIASI: SEBUAH EKSPLANASI 126
KEKERASAN BERBASIS AGAMA DAN UPAYA MELAMPAUINYA

memiliki sifat inerrent (tidak dapat salah) dan Selanjutnya juga akan memengaruhi relasi
otoritatif. sosial. Kembali pada Kimball dapat
Alur singkat di atas menunjukkan bahwa ditandaskan bahwa pemutlakan merupakan
klaim kemutlakan kitab suci pada dasarnya titik awal bagi tumbuh-kembangnya sikap
merupakan sebuah interpretasi (tekstual) yang intoleran dalam hidup bermasyarakat lintas
diwujudkan dalam bentuk komitmen (baca: agama. 25
klaim) teologis. Bahkan secara provokatif
dapat ditegaskan bahwa status kitab suci Kepatuhan Tanpa Nalar Kritis
sebagai wahyu ilahi pun merupakan sebuah Klaim kemutlakan yang ditransmisikan
tafsir. Kalimat ini tidak dimaksudkan untuk dalam bentuk indoktrinasi berhubungan
menggugat Teologi Pewahyuan dan ajaran dengan pembungkaman nalar kritis dan
tentang kitab suci. Justru problema epistemik tuntutan kepatuhan yang mengikuti.
ini dipaparkan untuk menunjukkan Menggunakan kalimat lain, identifikasi Kitab
permasalahan yang dihadapi apabila Suci sebagai wahyu ilahi menuntut kepatuhan
menggunakan kriteria kemutlakan untuk dan subordinasi rasio. Slogan ternama dari era
merumuskan relasi antaragama dengan. Pencerahan, sapere aude, menunjukkan
(Tentang hal ini akan disinggung kembali di pembungkaman nalar dan tuntutan kepatuhan
bagian kedua tulisan ini). pada masa itu serta upaya untuk melepaskan
Secara logis kemutlakan akan nalar dari pembungkaman tersebut. Tampak
mengeksklusi setiap klaim yang bertentangan. ketegangan antara otonomi rasio dan otoritas
Termasuk pandangan yang beroposisi dengan Kitab Suci.
kemutlakan tersebut. Misalnya pandangan Di samping otoritas Kitab Suci,
yang merelatifkan klaim kemutlakan kitab kepatuhan umat juga dipengaruhi oleh otoritas
suci. Nampak potensi pelekatan label atau
25
Dapat dilakukan penyanggahan dengan
stigma terhadap pandangan tersebut (misalnya menyatakan bahwa pandangan yang memegang
‘liberal’). Padahal pelekatan label dapat relativisme Kitab Suci pun merupakan sebuah bentuk
kemutlakan (yang lain). Oleh sebab itu, relativisme juga
digolongkan dalam kekerasan verbal. memiliki potensi kekerasan di dalamnya. Hal ini tidak
akan dibantah. Diakui bahwa pemutlakan relativisme
Setidaknya labeling dan stigmatisasi telah memang memiliki potensi kekerasan. Misalnya melalui
ujaran ‘fanatik’, ‘fundamentalis’ dll. Tetapi justru hal ini
membentuk polarisasi yang menyediakan dasar menunjukkan bahwa pemutlakan secara inheren
membawa potensi kekerasan. Problema tidak terletak
bagi terjadinya aktualisasi konflik keagamaan. pada Kitab Suci atau pada relativisme, tetapi pada
Terlihat konteks memengaruhi interpretasi pemutlakannya. Kemutlakan Kitab Suci merupakan
sebuah komitmen teologis. Tetapi pemutlakan
teologis terhadap pandangan berbeda. mengandaikan negasi terhadap pandangan maupun
partikularitas lain.
Michael Alexander 127

institusi yang menginterpretasi Kitab Suci, memberikan penekanan khusus pada doktrin
misalnya magisterium dalam tradisi Katolik Akhir Zaman dan potensi kekerasan yang
Roma. Kepatuhan juga dipengaruhi oleh mengikuti. Hal ini terkait dengan, dan akan
tokoh-tokoh berkharisma dan yang dipandang dipaparkan lebih jauh dalam, butir selanjutnya.
otoritatif, misalnya Luther dan Calvin pada Ajaran tentang Akhir Zaman dapat dipahami
masa reformasi awal hingga tokoh-tokoh sebagai bentuk pengkondisian umat masa kini
kontemporer lainnya. Lebih lanjut, ketokohan yang dilakukan berdasarkan gambaran masa
berhubungan dengan aliran gerejawi di masa depan. Menggunakan kalimat lain,
kemudian, masing-masing dengan dogmatika, pengharapan eskatologis berpotensi untuk
ajaran, serta konfesi denominasionalnya. mengaburkan penalaran umat di masa kini.
Kimball mencatat sejumlah sekte yang Sikap tidak realistis dan utopis merupakan
melakukan kekerasan memiliki pemimpin yang salah satu contoh.
karismatik. Tokoh tersebut kemudian menuntut John J. Collins menandaskan bahwa
para pengikut untuk menaati dirinya secara Perjanjian Baru yang umumnya dianggap
mutlak. Dalam bentuk moderat ketaatan tidak sebagai narasi kasih Allah, didalamnya juga
ditujukan pada individu secara langsung mencakup tindakan negasi terhadap liyan
27
namun pada interpretasi Kitab Suci yang melalui pengharapan eskatologis.
dibuatnya. Secara singkat, nalar dan kepatuhan Penggunaan istilah reprobate untuk
umat dipengaruhi kharisma tokoh, mengidentifikasi kelompok non-Kristiani
interpretasinya terhadap Kitab Suci serta merupakan salah satu contoh eksklusi doktrinal
rumusan tradisi gerejawi. 26 yang dijangkarkan pada polarisasi eskatologis.
Selain variabel-variabel di atas, Kimball Adapun tindak eksklusi tersebut dilakukan di
menambahkan doktrin sebagai variabel masa kini dan memengaruhi hubungan sosial
selanjutnya. Doktrin sendiri merupakan bagian antarentitas. Bandingkan praktik tersebut
dari tradisi gerejawi. Secara khusus Kimball dengan pencabutan istilah ‘kafir’ bagi non-
Muslim yang diusulkan oleh Nadhlatul Ulama
26
Laman Tirto.id mencatat sejumlah (NU) karena kesadaran bahwa istilah yang
megachurch di Jakarta yang memiliki umat lebih dari
10.000 orang. Ketokohan, ajaran, aliran dan pola ibadah
menjadi daya tarik umat. Data ini sejajar dengan
pemaparan di atas yang mengaitkan kepemimpinan
dengan loyalitas dan militantisme umat. Jika loyalitas
diraih melalui pembungkaman nalar kritis, maka
kekerasan menjadi potensi yang melekat. Bdk.
27
https://tirto.id/mega-church-di-indonesia-menjual- John J. Collins, “The Zeal of Phinehas: The
mukjizat-dan-klaim-kesuksesan-eezn (diakses 15 Bible and the Legitimation of Violence” dalam Journal
Oktober 2019). of Biblical Literature 122, No.1 (2003): 3-21
PERDAMAIAN DAN REKONSILIASI: SEBUAH EKSPLANASI 128
KEKERASAN BERBASIS AGAMA DAN UPAYA MELAMPAUINYA

demikian merupakan sebuah bentuk kekerasan pengikutnya, serta aliran atau denominasi yang
28
teologis. dianggap sebagai kebenaran dan kepadanya
Hal lain yang perlu ditambahkan adalah diri diidentifikasi, memiliki potensi untuk
gagasan neurosains dan psikososial seperti menutup nalar kritis dan memunculkan
yang dinyatakan Marie Fitzduff dan Joshua kekerasan terhadap pihak liyan apabila faktor-
Greene. Fitzduff menyatakan bahwa secara faktor lainnya mendukung. Identifikasi diri
biologis manusia terprogram untuk mengikuti dengan tokoh dan/ atau aliran termasuk agama
otoritas pimpinan guna menjamin sebagai identitas dominan merupakan awal
kelangsungan proses evolusi. 29 Demikian pula polarisasi antar manusia dan kelompok
dengan Greene yang menegaskan bahwa keagamaan.
manusia akan mengidentifikasi diri dengan Pada akhirnya kombinasi variabel-
kelompok tertentu dan selanjutnya variabel di atas berpotensi untuk mengubah
mengikatkan diri menjadi bagian dari konflik laten menjadi teraktualisasi dalam
30
kelompok tersebut. Adapun pengikatan diri bentuk kekerasan atas nama agama. Perlu
tersebut berada di dalam rangka untuk kembali ditegaskan bahwa kekerasan tidak
menghadapi kelompok lain yang beroposisi hanya mencakup koersi fisik, tetapi juga verbal
pandangan dan kepentingan. ‘I’ (diri) dilebur termasuk labeling dan ancaman didalamnya.
ke dalam komunitas ‘we’ untuk menghadapi
‘them’. Greene mencatat ingroup Penetapan Waktu Ideal
berkecenderungan untuk dipersepsi benar, Waktu ideal dalam gagasan Kimball
sedangkan outgroup dipandang salah. Di sini sejajar dengan over-realized eschatology.
kembali terlihat hubungan antara nalar dengan Yang dimaksud di sini adalah bahwa realitas
identifikasi diri dalam kelompok. keberdosaan baik personal, sosial maupun
Kedua gagasan di atas menunjukkan institusional ditegaskan sehingga tidak tampak
bahwa tokoh keagamaan yang adanya harapan bagi masyarakat kecuali
berkecenderungan untuk dikultuskan oleh melalui revolusi keagamaan sebagai jalan

28
keluar. Di Indonesia gagasan ini tampak dari
https://nasional.tempo.co/read/1180643/nu-usul-
sebutan-kafir-ke-nonmuslim-indonesia-dihapus (diakses narasi pemerintahan thoghut yang digulirkan
9 Oktober 2019).
29
Mari Fitzduff, An Introduction to Neuroscience oleh ormas keagamaan tertentu yang hendak
for the Peacebuilder (2015). Dapat diunduh di:
http://www.academia.edu/10234805/An_Introduction_to menggantikan Pancasila dengan ideologi
_Neuroscience_for_the_Peacebuilder khilafah guna mengatasi keterpurukan yang
30
Joshua Greene, Moral Tribes: Emotion,
Reason, and the Gap Between Us and Them (NY: The
Penguin Press, 2013)
Michael Alexander 129

31
dialami oleh bangsa ini. Contoh ini berhubungan dengan interpretasi dan
33
menunjukkan upaya untuk menggantikan pemutlakannya.
pemerintahan politik dengan teokrasi atau
teonomos (misalnya Perda Injil atau Syariah). Menghalalkan Segala Cara untuk Mencapai
Nampak konteks kontemporer memegang Tujuan
peranan besar untuk melakukan Kimball menyatakan bahwa agama-
instrumentalisasi doktrinal, sejalan dengan agama menarik hubungan antara tujuan
segitiga triangular di atas. Juga terlihat eskatologis dengan realitas hidup saat ini.
persinggungan antara agama dengan politik. Artinya ‘tujuan’ (eskatologis) terhubung
Lebih lanjut, sebagaimana telah dengan ‘cara’ untuk mencapai tujuan tersebut.
disinggung, kekerasan atas nama agama sering Akan tetapi hubungan antara keduanya
kali dilatarbelakangi oleh upaya untuk seringkali menjadi kabur ketika salah satu
menghadirkan realitas eskatologis (secara bagian dari pengajaran agamawi memperoleh
paksa) di masa kini sekalipun jika harus penekanan yang berlebih sehingga menjadi
menempuh jalan kekerasan. Di butirnya yang ‘tujuan’ dan menggunakan segala ‘cara’ untuk
terakhir Kimball menyinggung ajaran kristiani mencapainya: 34
32
tentang just war. Dalam teori just war
terdapat beberapa kondisi yang memungkinkan “In authentic, healthy religion the end
dilancarkannya perang. Artinya terdapat and the means to that end are always

kondisi sosio-politis yang membenarkan connected. But it is often easy for religious
people to lose sight of the ultimate goal and
penggunaan kekerasan untuk mencapai tujuan
focus instead on one component of religion.
tertentu. Menggunakan kalimat lain, penetapan
When a key feature of religion is elevated
waktu ideal mengandaikan umat menghadapi
and in effect becomes an end, some people
kondisi tertentu yang kemudian dipergunakan
within the religion become consumed with
untuk membenarkan penggunaan kekerasan
secara agamawi guna menghadirkan realitas 33
Kimball mencatat empat kriteria utama untuk
eskatologis di masa kini. Perihal kondisi yang melakukan perang: Dideklarasikan oleh lembaga
berotoritas, berhubungan dengan keadilan, memiliki
membenarkan penggunaan kekerasan kembali tujuan baik (guna menghindari kejahatan), dan
peperangan dilaksanakan dengan cara yang layak. (ibid.,
172). Nampak ambiguitas dalam kriteria-kriteria
tersebut. Misalnya, lembaga apa yang memiliki otoritas
31
untuk mendeklarasikan perang: Negara atau keagamaan?
https://amp.kompas.com/nasional/read/2018/05/07/1554 Kriteria keadilan juga menunjukkan ambiguitasnya,
2341/hakim-hti-terbukti-ingin-mendirikan-negara- misalnya keadilan menurut siapa, standar apa dan bagi
khilafah-di-nkri (diakses 11 Oktober 2019) siapa? Demikian pula dengan kriteria-kriteria lainnya.
32 34
Kimball, 169 dst Ibid., 140 (penekanan oleh penulis).
PERDAMAIAN DAN REKONSILIASI: SEBUAH EKSPLANASI 130
KEKERASAN BERBASIS AGAMA DAN UPAYA MELAMPAUINYA

protecting or achieving that end. In such absurdum yang selain mereduksi argumen
cases, that component of religion functions lawan seringkali juga merupakan bentuk
like an absolute truth claim, and zealous reduksi atas kompleksitas agama lain. Tanpa
believers become blind in their single-
menafikan data empiris yang mengaitkan
minded defense of it.”
apologetika dengan konversi keagamaan, alih-
alih penguatan relasi justru polarisasi yang
Kutipan di atas menegaskan faktor-faktor
menajam terbentuk antar umat beragama.
yang telah disinggung sebelumnya dalam
Catatan lain yang perlu diberikan perihal
hubungannya dengan cara untuk mencapai
apologetika, dengan menilik locus classicus
tujuan. Misalnya penekanan berlebih pada
dalam I Petrus 3:15-16, adalah bahwa
keselamatan eskatologis, yang berpadu dengan
pendekatan etis (baca: ‘cara’) dalam
magnifikasi klaim mutlak kebenaran dan
mempertanggungjawabkan iman memiliki
realitas keberdosaan, mengakibatkan hilangnya
standar yang sangat tinggi: lemah lembut,
nalar kritis umat yang kemudian berusaha
hormat, hati nurani yang murni. Dapat
untuk mencapai tujuan keagamaan dengan
disimpulkan bahwa apologia yang dilakukan
menghalalkan segala cara termasuk jalan
dengan cara apapun (ofensif) untuk mencapai
kekerasan.35
tujuan pembelaan memiliki potensi kekerasan
Upaya membela agama merupakan
didalamnya.
contoh praktis dimana segala cara digunakan
untuk mempertahankan kebenaran agama yang
Deklarasi Perang Suci
diyakini. Dalam pengertian tertentu, apologetik
Pemenuhan sejumlah tanda di atas
ofensif dapat dikelompokkan sebagai
memiliki potensi untuk bermuara pada
‘pembelaan’ iman yang menggunakan berbagai
deklarasi perang suci atau perang agama.
metode untuk menundukkan (mengalahkan)
Potensi merupakan kata kunci, dan bukan
argumentasi lawan. Padahal upaya mencapai
keniscayaan. Di masa lalu telah tampak Perang
tujuan tidak serta-merta menghalalkan segala
Salib yang berupaya untuk merebut Yerusalem
cara untuk meraih tujuan tersebut. Kimball
dari tangan penguasa Muslim telah menjadi
mengingatkan bias antara keduanya (‘cara’ dan
sejarah kelam kekerasan berdarah yang
‘tujuan’). Sebutlah pendekatan reduction et
dilakukan oleh kekristenan. Demikian pula
dengan kasus WTC 9/11 sebagai jihad, serta
35
Di bagian lain Kimball menuliskan bahwa respon pemerintahan presiden George Bush
“absolute truth claims based on selective reading of
sacred texts is often a sign of corrupted religion” (Ibid., yang menyatakan bahwa perang melawan
146).
Michael Alexander 131

teroris merupakan misi suci (crusade) merujuk Sejumlah faktor yang ditengarai Kimball
kembali pada sejarah kelam di atas. Dalam sebagai tanda yang menunjukkan potensi konflik

skala yang lebih kecil kasus Papua dapat dapat disanggah kesahihannya. Terlebih perihal
kemutlakan Kitab Suci dan statusnya sebagai
dikelompokkan ke dalam deklarasi perang
wahyu ilahi. Tetapi hal ini tidak akan diulas dan
suci. Namun patut diingat bahwa perang suci
diperdebatkan lebih lanjut. Sejumlah contoh kasus
keagamaan tidak terlepas dari konteks sosio-
yang disinggung di atas menunjukkan
politis. Kembali ke Papua, instrumentalisasi
pemberlakuan norma partikular di ruang publik
pernyataan seorang tokoh agama mengenai memunculkan diskriminasi terhadap partikularitas
interpretasinya tentang korpus di salib, yang lain serta tindak kekerasan yang mengikuti.
berpadu dengan penggerebekan asrama Pemberlakuan norma partikular tersebut
mahasiswa Papua di Surabaya, mendapat mengandaikan sifat universal kebenaran agama
respon dengan menyatakan bahwa Papua yang dimutlakkan penerapannya. Tidak dipungkiri
adalah Tanah Injil. Terlepas dari kebenaran terdapatnya faktor-faktor lain yang berkelindan

respon tersebut, nampak isu etnisitas di angkat dengan klaim kemutlakan. Urutan logis dalam
pemaparan Kimball menunjukkan derajat
pada pertentangan antar agama mengingat isu
koersifitas. Gagasan Galtung yang melandasi
sweeping dilakukan terhadap warga Muslim
36
tulisan ini juga dengan tegas menyatakan hubungan
dan pendatang non-Melanesia. Tanpa
resiprokal antara faktor internal, mencakup klaim
memasuki uraian historis tentang perang suci
kemutlakan, dengan kepentingan kontekstual.
yang pernah terjadi, hal yang patut diwaspadai Sampai di sini hanya dapat dikatakan bahwa klaim
adalah apabila tanda-tanda di atas mengerucut kebenaran dan kemutlakan agamawi membawa
pada perang suci atau perjuangan keagamaan potensi kekerasan didalam penerapannya, namun
yang mengandaikan polarisasi antarumat bukan satu-satunya faktor bagi aktualisasi
beragama. kekerasan. Kriesberg & Dayton bahkan
menegaskan bahwa konflik identitas bersifat

SIMPULAN insufficient untuk mengangkat kekerasan ke


37
permukaan (lih. Gambar 2). Menggunakan
kalimat lain, klaim kemutlakan secara inheren
Kesejahteraan Bersama Sebagai Jalan
Rekonsiliasi membawa potensi kekerasan sekaligus menyiapkan
landasan bagi aktualisasi konflik apabila terdapat
stimulus yang cukup.

36
https://www.inews.id/daerah/papua/takut-sweeping-
1000-orang-massa-aksi-di-jayapura-menumpang-truk-
37
tni-polri ( diakses 11 Oktober 2019). Kriesberg & Dayton, 58
PERDAMAIAN DAN REKONSILIASI: SEBUAH EKSPLANASI 132
KEKERASAN BERBASIS AGAMA DAN UPAYA MELAMPAUINYA

Klaim kebenaran merupakan salah satu Kriteria Kebenaran dan Etikosentrisme


kriteria untuk merumuskan hubungan antara
kekristenan dengan agama-agama lain. Kriteria Sebagaimana telah disinggung, Küng
yang lain adalah masalah keselamatan. Bertolak berupaya untuk mencari alternatif bagi kebuntuan
dari dua kriteria ini tampak kesulitan untuk epistemik yang muncul diantara agama-agama. Ia
merekonsiliasi klaim-klaim kebenaran dan menandaskan bahwa fanatisme pada kebenaran
keselamatan yang berbeda-beda bahkan saling agamawi berpotensi untuk memunculkan kekerasan
bertentangan antara agama-agama. Mengikut atas nama agama. Küng selanjutnya memaparkan
kaidah hukum logika, tidak terdapat kemungkinan secara singkat 3 pendekatan yang dipergunakan
klaim yang saling bertentangan sama-sama benar untuk menarik hubungan antara kebenaran kristiani
pada ruang dan waktu yang sama. Untuk dengan agama-agama lainnya, dan mengusulkan
melepaskan diri dari oposisi binari seperti itu 38
pendekatan keempat.
diperlukan kriteria lain guna merumuskan relasi Pendekatan pertama disebutnya dengan
konstruktif antaragama. Jalan ketiga ini merupakan istilah fortress strategy. Istilah ini muncul karena
upaya untuk memelihara identitas keagamaan kebenaran diklaim hanya terdapat pada agama yang
sekaligus membangun relasi dengan agama-agama dianut. Agama-agama lain tidak membawa
lain secara mutual. Di bawah akan dipaparkan dua kebenaran pada diri dan ajarannya. Sebagai
usulan rekonsiliatif: Pertama, adalah jalan keluar konsekuensi, perdamaian hanya dapat ditegakkan
yang dirumuskan Hans Küng. Ia menggeser oleh satu agama. Dalam konteks yang lebih luas,
problema epistemik pada etik bersama. Kedua, oleh agama tersebut harus menjadi dasar normatif bagi
Paul Knitter yang menarik wacana keselamatan kehidupan bernegara dalam kerangka untuk
eskatologis pada praksis pembebasan, yakni memelihara perdamaian. Nampak diskontinuitas
‘keselamatan’ dari ragam problema sosial-ekologis. antar agama digariskan secara tegas tanpa ada
Kedua pemikir sepakat bahwa kriteria humanum persinggungan atau irisan kebenaran antaragama.
dan cosmicum merupakan tanggung-jawab bersama Pandangan ini menurut Küng membawa semangat
agama-agama. Penulis akan menyimpulkan bahwa intoleransi yang berujung pada imperialisme dan
melalui dialog karya yang berorientasi pada kedua triumfalisme keagamaan:
39

kriteria di atas maka prasangka antar umat “Everywhere there is the same spirit of
beragama dapat dikikis, solidaritas dikukuhkan, intolerance, absolutism of truth and self-
relasi konstruktif dirumuskan dan rekonsiliasi righteousness which has caused so much
agama-agama diwujudkan. misery to people. Associated with this religious
imperialism and triumphalism is a self

38
Hans Küng, Global Responsibility: In Search
of a New World Ethic (Eugene, Oregon: Wipf and
Stock, 1991),78-81, 85-88
39
Ibid., 78
Michael Alexander 133

opinionated theological apologetic which is perdamaian akan tercipta melalui jalan integrasi
incapable of learning and causes more antaragama. Pendekatan ini nampak menjanjikan.
problem than it solves.” Akan tetapi Küng mengingatkan bahaya
Küng menandaskan cara pandang seperti ini tidak kehilangan identitas agama-agama karena
dapat memberikan sumbangsih positif terhadap bertentangan dengan klaim masing-masing agama
pengembangan perdamaian antaragama. Bahkan yang meyakini telah mengambil bagian dalam
justru memunculkan lebih banyak permasalahan kebenaran universal tersebut. Menggunakan
dalam relasi agama-agama. kalimat yang lain, perbedaan didomestifikasi di
Pendekatan kedua disebutnya sebagai the dalam universalitas. Di sini nampak keserupaan
strategy of playing down differences. Yang dengan pendekatan sebelumnya. Apabila
dimaksudkan olehnya adalah pendekatan ini pendekatan kedua meleburkan perbedaan,
berupaya untuk menghapuskan perbedaan pendekatan ketiga menempatkan perbedaan
antaragama. Setiap agama dianggap membawa tersebut di dalam hirarki.
kebenarannya sendiri-sendiri sehingga perdamaian Ketidakcukupan ketiga pendekatan di atas
akan tercapai ketika perbedaan dan kontradiksi bermuara pada pendekatan ke empat yang
antaragama diabaikan keberadaannya. Pendekatan diusulkan oleh Küng. Adiprasetya merangkum
ini merupakan kebalikan dari pendekatan pertama. pemikiran Küng dan memberi istilah
Jika pendekatan pertama menegakkan perbedaan, etikosentrisme untuk pendekatan ini. 40 Pendekatan
maka pendekatan kedua meleburkannya. Akan ini memberikan penekanan pada dialog antar
tetapi, pendekatan ini tidak berlaku adil pada fakta agama guna merumuskan etik yang disepakati
perbedaan yang ada di antaragama. bersama. Secara kreatif Küng menggeser
Pendekatan ketiga disebut Küng dengan permasalahan dari isu kebenaran menuju isu etik.
istilah the strategy of embrace. Pendekatan ini Tidak dipungkiri etik agama-agama bersumber
berada di antara kedua pendekatan sebelumnya. pada dasar epistemik masing-masing partikularitas.
Keberadaan satu agama yang benar tetap Akan tetapi sebagai sebuah kriteria turunan isu etik
ditegakkan. Akan tetapi kebenaran dalam agama- memiliki keluwesan daripada persoalan
agama lain juga diakui selama mengambil bagian epistemologi yang seringkali dibatasi logika biner.
di dalam kebenaran agama yang satu itu. Secara Secara spesifik pendekatan Küng bermuara pada
lebih moderat dapat dikatakan bahwa semua agama etika kemanusiaan yang meletakkan kriteria
mengambil bagian di dalam kebenaran universal. humanum dalam kerangka divinum yang
Golden rules dalam agama-agama menunjukkan dirumuskan melalui dialog antara agama untuk
kebenaran universal lintas agama. Perbedaan yang mencapai kesepakatan bersama. Di awal tulisan
terjadi diasumsikan terjadi karena terdapatnya
perbedaan tingkat dalam mengambil bagian dalam 40
Lih. Bab 3 dari Joas Adiprasetya, Mencari
kebenaran universal tersebut. Oleh sebab itu Dasar Bersama (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), 89
dst.
PERDAMAIAN DAN REKONSILIASI: SEBUAH EKSPLANASI 134
KEKERASAN BERBASIS AGAMA DAN UPAYA MELAMPAUINYA

telah disinggung perihal post-sekularitas, dan Küng Kriteria Keselamatan dan Soteriosentrisme
dengan cermat memberikan ruang bagi agama-
agama untuk berkontibusi di ruang publik dengan Keselamatan telah lama dipergunakan

tetap terjangkar pada dimensi transendental sebagai kriteria untuk mendefinisikan relasi antar

masing-masing agama yang di atas disebut sebagai agama. Bentuk klasik relasi ini dikenal melalui

kerangka divinum. Di sini letak perbedaan kriteria tipologi tripolar yang mengelompokkan relasi
humanum agama-agama dengan HAM yang agama-agama dibawah kategori ekslusif, inklusif
dirumuskan oleh humanisme sekuler. Pada dan pluralis. Sebagai catatan, problema
akhirnya, Küng mengusulkan agar agama-agama keselamatan tidak terlepas dari masalah
dapat mengembangkan dialog dalam hal universalitas-partikularitas yang telah disinggung
perlindungan HAM, emansipasi perempuan di atas. Kembali pada kategori relasi, eksklusifisme

mencakup kesetaraan gender, realisasi keadilan beranggapan bahwa hanya Yesus Kristus adalah

sosial dan imoralitas peperangan.


41
Gagasan Küng jalan keselamatan, di luar-Nya hanya ada

tersebut nantinya akan tertuang dalam dokumen kebinasaan. Akan tetapi persoalan tidak

Global Etik dengan 4 dimensinya: kosmik sesederhana itu. Keselamatan di dalam Kristus

(manusia dan alam), antropologis (laki-laki dan disyaratkan bersifat epistemologis. Yang

perempuan), sosio-politis (kaya-miskin), dan dimaksudkan adalah bahwa seseorang harus

religius (manusia dan Allah).


42
Adiprasetya juga mendengar tentang Kristus (baca: Injil) sebagai

mencatat empat arah dalam dokumen ini yakni prasyarat iman yang menyelamatkan. Salah satu

komitmen pada budaya tanpa kekerasan dan dasar argumentasinya terambil dari Roma 10:17

penghargaan pada kehidupan, komitmen pada (“iman timbul dari pendengaran akan Firman

budaya solidaritas dan tata kelola ekonomi yang Kristus;” fides ex auditu). Penolakan terhadap

adil, komitmen pada budaya toleransi dan keniscayaan pengetahuan epistemologis sebagai

kehidupan dalam kebenaran, komitmen pada hak- prasyarat iman memunculkan kategori kedua,

hak setara dan kerjasama antara laki-laki dan inklusifisme. Pandangan ini mempertahankan

perempuan. Parlemen lintas agama yang hadir Yesus Kristus sebagai juruselamat satu-satunya.

dalam pertemuan tersebut menyepakati keempat Akan tetapi Yesus Kristus tidak dipandang sebagai

arah ini sebagai dasar-dasar etis bagi kehidupan juruselamat epistemologis melainkan ontologis.
43 Artinya, gereja tidak mengetahui siapakah yang
global bersama.
akan diselamatkan, namun dapat memastikan
bahwa setiap orang yang memperoleh keselamatan
mengambil bagian dalam karya Kristus.
Singkatnya, keselamatan diandaikan dapat terjadi
41 di luar gereja dan kekristenan tetapi tidak di luar
Küng, 88.
42
Adiprasetya, 151-156. Kristus. Tampak keutamaan Kristus ditegakkan,
43
Ibid., 159-161.
Michael Alexander 135

sedangkan agama-agama disejajarkan tanpa pemersatu agama-agama. Hal itu berarti bahwa
mengabaikan peran sentral gereja sebagai alat wacana keselamatan eskatologis ditarik Knitter ke
anugerah Allah bagi dunia dan umat manusia di masa kini melalui praksis pembebasan. Agama-
dalamnya. agama berhubungan secara korelasional dengan
Ringkasan dua pandangan di atas berpusat pada kesejahteraan manusia dan bumi.
menunjukkan keserupaan dengan Küng. Pandangan Model korelasional agama-agama ini dikenal
eksklusif sejajar dengan pendekatan pertama dengan istilah soteriosentrisme.
(fortress strategy) sedangkan gagasan inklusif Knitter menambahkan kriteria cosmicum
sejajar dengan pendekatan ketiga (the strategy of disamping humanum yang dirumuskan Küng. Oleh
embrace). Sedangkan pandangan pluralis yang sebab itu dialog antar agama perlu mengangkat
akan diuraikan di bawah sejajar dengan pandangan agenda soteriologi dalam pengertian pembebasan
kedua Küng. Pluralisme sendiri menerima manusia dan bumi dari problema sosial-ekologis.
keabsahan setiap agama. Dalam konteks Setiap agama, Knitter menegaskan, bersama-sama
keselamatan, setiap agama menyelamatkan dengan memikul tanggung jawab global. Tentu gagasan
caranya masing-masing. Kalimat populer, “banyak globalitas tidak meniadakan perlunya agama-
jalan menuju ke Roma” dapat memberikan agama untuk memberikan perhatian khusus pada
gambaran kasar mengenai pendekatan pluralistik. permasalahan bersama yang muncul di tingkat
Salah satu ciri khas pluralisme adalah keberadaan lokal. Misalnya human trafficking di Nusa
45
common ground yang menyatukan agama-agama. Tenggara Timut (NTT) dalam konteks Indonesia.
John Hick merupakan seorang pluralis yang Singkatnya, relasi antaragama bersifat
menggunakan ultimate being sebagai common korelasional-kontekstual.
ground yang di sekelilingnya agama-agama Selain tipologi tripolar di atas, pandangan
bergerak. Nampak Kristosentrisme yang terhadap relasi antar agama terus berkembang.
dipertahankan inklusifisme di geser pada Knitter yang memantapkan dirinya di posisi
Theosentrisme dalam pendekatan pluralis. pluralisme menambahkan pandangan keempat
Dalam perkembangannya muncul banyak terhadap tipologi tripolar tersebut. Ia menggunakan
kritikan terhadap tipologi tripolar di atas. Tulisan 46
istilah ‘acceptance’ (penerimaan). Pendekatan
ini tidak akan mengulas lebih jauh kritikan-kritikan ini berkembang dalam pemikiran posmodernitas
tersebut. Sebagai seorang pluralis, Knitter yang merayakan keperbagaian. Oleh sebab itu
menjawab sejumlah kritikan dan mengubah
44 45
common ground dengan common context. Ia Asosiasi Teolog Indonesia mengangkat isu
perdagangan orang dalam pertemuan regional yang
menjadikan permasalahan bersama sebagai dilaksanakan pada Mei 2017 yang lalu. Hasil pertemuan
tersebut dibukukan dengan judul: Menolak Diam:
Gereja Melawan Perdagangan Orang, (ed.) Kolimon,
44
Paul Knitter, Jesus and the Other Names: dkk. (Jakarta: ATI/BPK Gunung Mulia, 2018).
46
Christian Mission and Global Responsibility Knitter, Paul. Introducing Theologies of
(Maryknoll, NY: Orbis Books, 1996) Religions (Maryknoll, NY: Orbis Books, 2013).
PERDAMAIAN DAN REKONSILIASI: SEBUAH EKSPLANASI 136
KEKERASAN BERBASIS AGAMA DAN UPAYA MELAMPAUINYA

dianggap bahwa konsep agama yang satu tidak bersama, sebagaimana diusulkan oleh E. Gerrit
dapat dibandingkan dengan agama yang lain. Singgih, melengkapi sekaligus melampaui
Incommensurability agama-agama ditegakkan keterbatasan Küng dan Knitter. Apabila upaya
batasannya. Sebagai contoh Nirvana bukan sorga, positif untuk membangun kesejahteraan bersama
keselamatan kristiani bukan moksa, dan lintas agama mengalami kesulitan karena problema
47
seterusnya. Bertolak dari sana relasi antaragama religiosentrisitas (bdk. Gal.6:9-10), maka
yang dibangun bersifat ad hoc. Yang dimaksudkan penderitaan bersama dapat menjadi titik temu yang
di sini adalah bahwa dialog antar agama dilakukan bertolak dari kemanusiaan universal.
dengan mengacu pada isu spesifik yang menjadi
keprihatinan bersama pada ruang dan waktu Penutup
tertentu. Sebagaimana telah disinggung, selain
tanggung-jawab global, agama-agama juga Tulisan ini dibuka dengan tema Perdamaian
memikul tanggung-jawab lokal yang bersifat lebih dan Rekonsiliasi. Telah dipaparkan bahwa
kontekstual. Sifat ad hoc dalam pandangan perdamaian hanya dapat dicapai apabila agama-
keempat ini memberikan penekanan pada problema agama saling berdialog antara satu dengan yang
lokalitas. Sebagai contoh, pasca gempa bumi lain. Dialog akan membangun solidaritas
Yogyakarta pada 2006 yang lalu, laskar Hizbulah antaragama dan kohesi sosial yang memiliki peran
dan kekristenan Menonite – dua aliran lintas agama besar untuk menahan konflik laten muncul ke
yang berbeda tajam dalam hal penggunaan permukaan. Lebih lanjut, agenda dialog antar
kekerasan – dapat saling bahu-membahu dan agama perlu diarahkan dalam rangka untuk
bekerjasama untuk mengatasi permasalahan mewujudkan perdamaian secara positif. Dalam
48
bersama. Permasalahan bersama, dalam hal ini kalimat berbeda dapat dikatakan bahwa dialog
penderitaan bersama, merupakan salah satu titik harus dimulai dan masalah atau isu, dan bukan dari
49
singgung agama-agama. Penggunaan penderitaan dogma atau teologi. Dengan menggunakan

47
kriteria humanum sebagai isu bersama maka
Knitter menuliskan, “Ketimbang mencari
Allah yang sama yang berdiam di antara penganut perjuangan untuk menciptakan perdamaian dimulai
agama yang berbeda-beda… dan ketimbang dari upaya menciptakan kesejahteraan bagi seluruh
mensyaratkan suatu inti yang sama bagi semua
pengalaman agama yang terbungkus secara sendiri- umat manusia lintas suku, agama, ras, gender tanpa
sendiri… saya sekarang mengikuti mereka yang
menganggap ‘keselamatan’ atau ‘kesejahteraan’ umat terkecuali. Upaya tersebut harus menjadi semangat
manusia dan bumi sebagai titik tolak dan dasar bagi dan cita-cita bersama yang diperjuangkan oleh
upaya kita dalam membagi dan memahami pandangan
dan pengalaman kita tentang ‘Yang Maha Penting’.” seluruh umat beragama baik secara individual-
(Satu Bumi Banyak Agama: Dialog Multi Agama dan
Tanggung Jawab Global (Jakarta: BPK Gunung Mulia, personal maupun institusional. Selain itu kriteria
2012), 24). cosmicum juga harus menjadi perhatian bersama
48
Gerrit Singgih, “Suffering as Ground for
Religious Tolerance: An Attempt to Broaden Pannikar’s
Insight on Religious Pluralism,” Exchange 45, No.2
49
(2016):111-129. Adiprasetya, 158.
Michael Alexander 137

agama-agama. Kerusakan dan eksploitasi alam dan melalui dialog kehidupan dan karya bersama
lingkungan, perubahan iklim, teknologi ramah agama-agama yang berorientasi pada kesejahteraan
lingkungan juga gaya hidup yang menopang manusia dan kelestarian ekologis.
kelestarian alam merupakan tema-tema yang perlu
dipikirkan secara bersama oleh semua agama.
Secara singkat, ekoteologi perlu menjadi perhatian DAFTAR PUSTAKA
bersama agama-agama.
Kembali pada tema tulisan ini, apabila Adiprasetya, Joas., Mencari Dasar Bersama
permasalahan perdamaian telah dipaparkan dengan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009).
panjang-lebar, bagaimanakah dengan rekonsiliasi?
Apakah rekonsiliasi mengadaikan bahwa terlebih Assmann, Jan., “Monotheism and its Political
dahulu telah terjadi konflik antaragama? Klaim Consequences”, dalam Bernhard Giesen
yang saling bertentangan antarajaran agama dan Daniel Šuber (ed.), Religion and
termasuk klaim eksklusif keagamaan yang Politics: Cultural Perspectives (Leiden/
mengekslusi kebenaran dalam agama lain Boston: Brill, 2005).
menunjukkan bahwa secara laten konflik itu telah
terbentuk meski tidak mencuat ke permukaan. Boustan, Ra’anan S. et. al (ed), Violence,
Kebuntuan untuk menciptakan rekonsiliasi di Scripture and Textual Practice in Early
tataran epistemologis (baca: ajaran agamawi) dan Judaism and Christianity (Leiden/
soteriologis tidak berarti relasi antaragama Boston: Brill, 2010).
senantiasa berada di dalam ketegangan. Tataran
etis merupakan jalan keluar yang dapat mengatasi Carreira, Sandy Ascenso et.al., Mainstreaming
kebuntuan epistemik. Bahkan Etikosentrisme dan Peace Education: Methodologies,
Soteriosentrisme dapat menjadi media untuk Approaches and Visions (Berlin:
menciptakan rekonsiliasi agama-agama. Dapat Lifelong Learning Programme, 2014).
ditandaskan bahwa perjuangan bersama untuk
mengupayakan kesejahteraan manusia dan semesta Cavanaugh, William T., The Myth of
merupakan jalan rekonsiliasi agama-agama. Tidak Religious Violence: Secular Ideology ad
berarti keunikan iman kristiani diabaikan the Roots of Modern Conflict (NY:
keberadaannya karena secara teologis-ontologis, Oxford University Press, 2009).
rekonsiliasi berakar pada karya pendamaian Kristus
dengan seluruh semesta. Singkatnya, karya Collins, John J., “The Zeal of Phinehas: The
pendamaian Kristus merupakan prasyarat niscaya- Bible and the Legitimation of Violence”
transendental bagi terciptanya rekonsiliasi semesta dalam Journal of Biblical Literature 122,
yang kemudian diwujudkan secara kontekstual No.1 (2003): 3-21.
PERDAMAIAN DAN REKONSILIASI: SEBUAH EKSPLANASI 138
KEKERASAN BERBASIS AGAMA DAN UPAYA MELAMPAUINYA

Copan, Paul., Is God a Moral Monster? ___________., Jesus and the Other Names:
Making Sense of the Old Testament God Christian Mission and Global
(Grand Rapids, Michigan: Bakerbooks, Responsibility (Maryknoll, NY: Orbis
2011) Books, 1996).

Galtung, Johan, Peace by Peaceful Means: Kriesberg, Louis dan Bruce W. Dayton,
Peace and Conflict, Development and Constructive Conflicts: From Escalation
Civilization (London: Sage Publication, to Resolution (Lanham, Maryland:
1996) Rowman & Littlefield Publishers, 2012),
58.
Greene, Joshua., Moral Tribes: Emotion,
Reason, and the Gap Between Us and Küng, Hans., Global Responsibility: In Search
Them (NY: The Penguin Press, 2013) of a New World Ethic (Eugene, Oregon:
Wipf and Stock, 1991).
Hasenclever, Andreas dan Volker Rittberger,
“Does Religion Make a Difference? Seibert, Eric A., The Violence of Scripture:
Theoretical Approaches to the Impact of Overcoming the Old Testament’s
Faith on Political Conflict” Millennium: Troubling Legacy (Mineapolis: Fortress
Journal of International Studies 29, No. 3 Press, 2012).
(2006): 641-74
Singgih, E. Gerrit., “Suffering as Ground for
Kimball, Charles., When Religion Becomes Religious Tolerance: An Attempt to
Evil: Five Warning Signs, (Canada: Broaden Pannikar’s Insight on Religious
Harper Collins, 2008) Pluralism,” Exchange 45, No.2
(2016):111-129.
Knitter, Paul., Introducing Theologies of
Religions (Maryknoll, NY: Orbis Books,
2013)

___________., Satu Bumi Banyak Agama:


Dialog Multi Agama dan Tanggung
Jawab Global (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2012), 24)

Anda mungkin juga menyukai