Anda di halaman 1dari 29

BAB III

MATERI INTEGRASI

AGAMA DAN ILMU PENGETAHUAN

Telah jelas bahwa antara agama dan ilmu pengetahuan tidak ada pertentangan,

bersifat integral, tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya. Hubungan

tersebut menunjukkan betapa positifnya Islam memandang ilmu pengetahuan (dan

hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan ilmiah). Dalam kaitan ini, pendidikan Islam

bisa dihayati dan dipahami secara lengkap dan “kaffah” (utuh dan menyeluruh tidak

dikotomi antara pendidikan agama dengan pendidikan umum).

Sebagai konsekuensi dari tidak adanya pemisahan antar ilmu dan agama,

dapat pula ditegaskan bahwa tidak ada pemisahan antara apa yang disebut ilmu

agama dan ilmu umum. Munir Mursi menyatakan bahwa “seluruh ilmu adalah Islami

sepanjang berada di dalam batas-batas yang digariskan Allah kepada kita”.1

Dalam konsep Islam (Timur), semua yang dipikirkan,. dikehendaki, dirasakan

dan diyakini, rnembawa manusia kepada pengetahuan dan secara sadar menyusunnya

ke dalam sistem yang disebut Ilmu. Tetapi berbeda dengan konsep Barat, yang

mengelompokkan ilmu itu kepada tiga:

1
Hasbi Indra, Pendidikan Islam Melawan Globalisasi, (Jakarta: Ridamulia, 2005), h. 49

58
59

(1) Natural Sciences (ilmu-ilmu kealaman, murni, biologi, fisika, kimia dan lainnya)

(2) Social Sciences (ilmu- ilmu kemasyarakatan yang menyangkut perilaku manusia

dalam interaksinya dalam masyarakat, dan

(3) The Humanities (humaniora), ialah ilmu-ilmu kemanusiaan yang menyangkut

kesadaran akan perasaan kepribadian dan nilai- nilai yang menyertainya sebagai

manusia.2

Padahal dalam kenyatannya, Islam mengandung multi-disipliner ilmu

pengetahuan, baik ilmu-ilmu alam (natural sciences) seperti fisika, kimia,

matematika, biologi, astronomi, arkeologi dan botani. Ilmu-ilmi social (social

sciences) seperti sosiologi, ekonomi, hukum, pendidikan, politik, antropologi dan

sejarah. Serta Humaniora seperti psikologi dan filsafat. 3 Dengan demikian, berarti

Islam mempunyai ajaran yang lengkap, integral dan universal. Kelengkapan inilah

sehingga Islam mampu menampung segala persoalan dan dapat mengikuti kemajuan

ilmu penetahuan dan teknologi.

Dalam kaitannya dengan hal tersebut, A.M. Saefuddin dan M. Zainuddin

mengajukan formula pemikiran kreatif untuk dapat mengintegrasikan secara padu

ilmu pengetahuan dalam Islam. Perpaduan (integrasi) tersebut secara sederhana

masing-masing dapat dilihat dalam skema berikut:

Skema 1: Integralisasi ilmu dalam Islam.4


2
A. Mattulada, Ilmu-ilmu KemanusiaanALLAH
(Humaniora) Tantangan, harapan-harapan Dalam
Pembangunan, (t.k.p: Unhas, 1991), h. 3.
3
Mujamil, Kontribusi Islam Terhadap Peradaban Manusia, (Solo: Ramadhani, 1993), h. 118
4
Ali Maksum dan Luluk Yunan Ruhendi, Paradigma Pendidikan Universal di Era Modern dan
Post-Modern: Mencari “Visi Baru” atas “Realitas Baru” Pendidikan Kita, (Yogyakarta: IrciSoD,
2004), h. 287
60

Ilmu Allah sebagaimana diwahyukan dan


dikaruniakan kepada manusia

Al-Qur’an Al-Tadwini Al-Qur’an Al-Takwini


MANUSIA
(ayat-ayat Tanziliyah) (ayat-ayat Kauniyah)

Sains Ketuhanan Sains Humaniora / Sains Keislaman/


Sosial Eksak

Keterangan:
A = Integrasi Sains Islami
B = Spesialisasi Ilmu

Skema 2: Bangunan Ilmu yang Integratif.5

5
M. Zainuddin, Paradigma Pendidikan Terpadu: Menyiapkan Generasi Ulul Albab, (Malang:
UIN Malang Press, 2008), h. 164
61

Dengan adanya penyatuan ilmu pengetahuan dengan nilai-nilai agama, dalam

hal ini ajaran Islam, maka wawasan ilmu tidak lagi dipisahkan secara dikotomis

dalam pembagian ilmu-ilmu agama dan non agama, tetapi akan dibedakan (bukan

dipisahkan) menjadi ilmu yang menyangkut ayat-ayat qauliyah (ayat-ayat yang

tersurat dalam Al-qur’an dan hadits) dan ilmu-ilmu tentang ayat kauniyah (ilmu-ilmu

tentang kealaman).

Berangkat dari pemikiran di atas, maka dalam pembahasan materi integrasi

ini, ilmu pengetahuan yang akan diintegrasikan dengan agama (baca: Islam) adalah

ilmu kealaman, ilmu sosial, dan humaniora, karena sejauh ini masih dianggap sebagai

ilmu-ilmu non agama.


62

A. Islam dan Ilmu Kealaman (Natural Science)

Dalam pandangan Islam, kriteria keterpujian suatu bidang ilmu adalah

kebergunaannya, dan ini berarti bidang ilmu tersebut mampu membawa manusia

kepada Tuhan. Bidang ilmu apapun yang memiliki ciri semacam ini adalah

terpuji, dan usaha untuk memperolehnya adalah sebentuk ibadah. Dalam hal ini

tidak ada perbedaan antara ilmu-ilmu yang secara fisik bersifat keagaman dan

ilmu-ilmu kealaman.6 Soejati menyatakan bahwa, sebenarnya alam semesta

setingkat dengan Al-Qur’an sebagai sumber ilmu dan hukum Islam yang tak

terpisahkan dengan Al-Qur’an berkaitan dan saling menguatkan.7

Para ilmuan dewasa ini, baik ahli sejarah atau filsafat sains mengakui,

bahwa sejumlah gejala yang dipilih untuk dikaji oleh ilmuan adalah alam materi.

Ilmu pengetahuan ke-alam-an ini, menurut A. Mattulada, yang utama

menghasilkan peralatan-peralatan kehidupan manusia yang disebut teknologi.8

Dalam Al-Qur’an terdapat lebih dari 750 ayat yang menunjuk kepada

fenomena alam dan memerintahkan manusia untuk mempelajari hal-hal yang

berhubungan dengan penciptaan alam dan merenungkan isinya. 9 Pemahaman

terhadap tanda-tanda kekuasaan Allah dan pemahaman terhadap alam merupakan

pemahaman tanda-tanda yang membawa pada ilmu pengetahuan dan teknologi.

6
Mehdi Golshani, Melacak Jejak Tuhan dalam Sains: Tafsir Islami atas Sains, (Bandung:
Mizan, 2004), h. 1
7
Zanzawi Soejati, Sains dan Teknologi dalam Perspektif Al-Qur’an, dalam Yunahar Ilyas (ed.),
Pendidikan dalam Perspektif Al-Qur’an, (Yogyakarta: Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam), h.
120
8
A. Mattulada, Ilmu-ilmu Kemanusiaan…, h. 4
9
Imam Syafi’i, Konsep Ilmu Pengetahuan dalam Al-Qur’an: Telaah Pendekatan Filsafat Ilmu,
(Yogyakarta: UII Press, 2000), h. 85
63

Kemajuan dan perkembangan IPTEK yang dicapai manusia dari masa

ke masa tentu tidak lepas dari penyelidikan manusia terhadap alam semesta

beserta isinya. Pasalnya, IPTEK menggali sumber pengetahuannya dari alam.

Dan Islam sebagai agama yang diturunkan Allah yang menyeru manusia untuk

melakukan penyelidikan dan eksperimen tentang alam adalah menjadi faktor

kemajuan itu.

Secara tegas Allah memerintahkan manusia untuk belajar terhadap

sesuatu, membawa dan menulis hal-hal yang ada disekitarnya, serta memahami

tanda-tanda kekuasaan dan petunjuk dari-Nya. Hanya orang yang beriman dan

berilmu pengetahuan sajalah yang oleh Allah sajalah yang diangkat derajatnya,

sehingga hidup di dunia bahagia dan sejahtera, serta di akhirat sentosa stimulus

untuk manusia dalam mengembangkan IPTEK telah diberikan oleh Tuhan sejak

dahulu, yang terlihat dalam firman-Nya bahwa manusia diberi tantangan untuk

melintasi langit dan bumi:

“Hai jama’ah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru
langit dan bumi, maka linbtasilah, kamu tidak dapat menembusnya melainkan
dengan kekuatan.” (QS. Ar-Rahman: 33)10

Maurice Bucaille berkata “sungguh teknologi yang dalam hal ini

merupakan jawaban atas sulthan (kekuatan) sebagai kunci dari Tuhan untuk

menggapai langit dan bumi mulai terungkap sudah.11

10
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya Juz 1 - Juz 30,
(Bandung: Gema Risalah Press, 1989), h. 887
11
Maurice Bucaille, Bibel, Al-Qur’an dan Sains Modern, terj. Rasjidi, (Jakarta: Bulan Bintang,
2001), h. 199
64

Allah memberikan bimbingan-Nya lebih lanjut dalam Al-qur’an

sebagaimana cara memahami ayat-ayat yang berkaitan dengan alam semesta, dan

bagaimana caranya untuk memperoleh teknologi yang dijanjikan itu. Firman

Allah:

           
     
“Dan Dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi
semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang
berfikir.” (QS. Al-Jaatsiyah: 13)12

Ayat ini menyatakan bahwa seluruh isi langit dan bumi akan

ditundukkan al-khaliq bagi umat manusia dengan teknologi, yang akan diberikan

kepada mereka yang mau menggunakan akal pikirannya.13

Istilah “alam” digunakan untuk menunjuk lingkungan obyek-obyek yang

dapat dalam ruang dan waktu. Dalam arti yang sangat luas “alam” ialah hal-hal

yang ada di sekitar kita yang dapat kita serap secara inderawi.14 Sedangkan ilmu

alam atau yang biasa disebut kosmologi adalah ilmu yang membicarakan realitas

jagat raya, yakni keseluruhan sistem alam semesta. Kosmologi terbatas pada

realitas yang lebih nyata, yakni alam fisik yang sifatnya material.15

12
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya…, h. 816
13
Ahmad Baiquni, Sains dan Teknologi dalam Perspektif Al-Qur’an, dalam Yunahar Ilyas
(ed.), Pendidikan dalam Perspektif Al-Qur’an, (Yogyakarta: Lembaga Pengkajian dan Pengamalan
Islam, 1999), h. 109
14
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1996), h. 307
15
Jasa Ungguh Muliawan, Pendidikan Islam Integratif: Upaya Mengintegrasikan Kembali
Dikotomi Ilmu dan Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 66
65

J.J.G.M. Drost S.J dalam buknya “Agama Ilmu Pengetauan Alam”

sebagaimana dikutip Rosyidi, bahwa Ilmu Pengetahuan Alam adalah ilmu

tentang semesta alam sejauh berada dalam waktu dan ruang. Tetapi waktu dan

ruang baru ada pada waktu alam ada. Maka titik dan saat terjadinya sendiri

terletak di luar sudut pandangan ilmu pengetahuan alam.16

Dalam Al-qur’an, kata ‘ilm, atau pengetahuan digunakan baik untuk

ilmu-ilmu kealaman maupun jenis ilmu yang lain. Al-qur’an telah mendorong

kita memikirkan keagungan alam semesta ini, serta telah memberikan dasar

penelitian ilmiah. Ilmu alam merupakan pengetahuan yang diperoleh atau

diambil melalui observasi, penelitian ilmiah terhadap apa yang diteliti.

Seperti yang dikatakan oleh A. Baiquni bahwa ciri khas dari sains

natural, ialah disusun atas dasar intizhar terhadap gejala-gejala alamiyah yang

dapat di teliti ulang oleh orang lain, dan merupakan hasil konsensus masyarakat

ilmuan yang bersangkutan.17

Para sarjana muslim pada era gemilang peradaban Islam menekankan

bahwa motifasi dibalik upaya pencarian ilmu-ilmu kealaman dan matematis

adalah mengetahui ayat-ayat Tuhan di alam semesta. Mehdi Golshani

mengatakan bahwa:

Para sarjana muslim ini tidak memisahkan kajian tentang alam dari
pandangan dunia mereka yang religius, dan mereka mencari
kerangka kerja inklusif yang memungkinkan mereka menjelaskan
keseluruhan alam semesta. Gagasan ketunggalan Pencipta dan

16
Khoiron Rosyidi, Pendidikan Profetik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 84
17
A. Baiquni, Islam dan Ilmu Pengetahuan Modern, (Jakarta: Penerbit Pustaka, 1983), h. 2.
66

keserasian penciptaan merupakan prinsip dasar yang mengatur


semua ranah ilmu pengetahuan. Seni Islam memperlihatkan
kembalinya semua kejamakan kepada kesatuan, sedangkan sains
Islam memperlihatkan ketunggalan (uncity) rancangan di alam
semesta.18

Berkaitan dengan hal tersebut, Muthahhari menjelaskan bahwa menurut

konsepsi Islam tentang kosmos, alam merupakan agregat (satuan yang terbentuk

dari) segala yang kasat mata (syahadah) dan yang tidak kasat mata (ghaib).

Sedangkan mempercayai yang gaib merupakan rukun iman bagi setiap muslim.19

Jadi mempelajari ilmu alam jelas akan membawa keimanan kita kepada Sang

Pencipta.

Penciptaan Allah atas alam semesta merupakan bukti terang tentang

kepemilikan-Nya atasnya dan hak-Nya untuk mengaturnya. Tidak ada

seorangpun yang menjadi sekutunya dalam kepemilikan. Tidak ada satupun yang

dapat menentang pengaturan-Nya.20

Berbagai ayat Al-qur’an yang merupakan petunjuk dan ajaran bagi

manusia untuk membuktikan ayat-ayat tentang alam dengan realita yang

sebenarnya. Seperti dalam firman Allah SWT:

“Dan Dialah yang meniupkan angin sebagai pembawa berita gembira sebelum
kedatangan rahmat-Nya (hujan); hingga apabila angin itu telah membawa awan
mendung, Kami halau ke suatu daerah yang tandus, lalu Kami turunkan hujan di
daerah itu, Maka Kami keluarkan dengan sebab hujan itu pelbagai macam

18
Mehdi Golshani, Melacak Jejak…, h. 3-4
19
Murtadha Muthahhari, Manusia dan Alam Semesta: Konsepsi Islam tentang Jagat Raya,
(Jakarta: Lentera Basritama, 2002), h. 102. lihat juga di Abd. Rachman Assegaf, Studi Islam
Kontekstual: Elaborasi Paradigma Baru Muslim Kaffah, (Yogyakarta: Gama Media, 2005), h. 199
20
Muhammad Ahmad Khalafalah, Masyarakat Muslim Ideal: Tafsir Ayat-ayat Sosial, terj.
Hasbullah Syamsuddin, (Yogyakarta: Insan Madani, 2008), h. 130
67

buah-buahan. seperti Itulah Kami membangkitkan orang-orang yang telah mati,


Mudah-mudahan kamu mengambil pelajaran.” (QS. Al-A’raaf: 57)21

Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di


segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka
bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa Sesungguhnya
Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu? (QS. Fushilat: 53)22

Pencarian kebenaran dalam Al-qur’an yang mutlak ini adalah tugas

utama manusia yang dapat dilaksanakan dalam banyak cara. Semua ini

dipandang dalam sebuah ibadah kepada Tuhan. Dalam pandangan Islam, tujuan

pengkajian tentang alam adalah membawa manusia kepada Tuhan dan

mengungkapkan sifat-sifat-Nya.

Menurut Al-Qur’an, kajian tentang fenomena alam mengajarkan kita

beberapa pelajaran penting mengenai beberapa hal, diantaranya asal-usul dan

evolusi dunia (QS. Al-‘Ankabut: 20), adanya tata tertib dan harmoni di alam

semesta (QS. Al-Furqan: 2), adanya tjuan bagi alam semesta (QS. Al-‘Anbiya’:

16), pentingnya umat manusia (QS. Al-Isra’: 70), mungkinnya kebangkitan

kembali (QS. Fathir: 9), dan argumen bagi keesaan Tuhan dari kesatuan alam

(QS. Al-‘Anbiya’: 22).23

Akan tetapi, Al-qur’an memperingatkan kepada kita bahwa kajian

tentang alam hanya bisa membawa kita dari penciptaan kepada Sang Pencipta

jika telah memiliki iman kepada Tuhan.24

21
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya…, h. 230
22
Ibid., h. 781
23
Lihat Mehdi Golshani, Melacak Jejak…, h. 5-6
24
Ibid., h. 8
68

         


     
“Katakanlah: "Perhatikanlah apa yaag ada di langit dan di bumi. tidaklah
bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan Rasul-rasul yang memberi peringatan
bagi orang-orang yang tidak beriman". (QS. Yunus: 101)25

Orang-orang yang beriman tentu saja menerima semua isyarat yang ada

dengan penuh penyerahan, meskipun mereka tidak mengetahui apa-apa

tentangnya, tetapi mereka mempercayai dan membenarkan bahwa isyarat itu

berasal dari Tuhan. Dengan mengetahui rahasia dari isyarat yang ilmiah yang

ada, akan menambah keimanan manusia walaupun sebelumnya mereka memang

telah beriman.

Sebagaimana dikatakan oleh ilmuan muslim termasyhur Al-Bairuni,

“Penglihatan mengatakan apa yang kita lihat dengan tanda-tanda kebijaksanaan

Ilahi dalam penciptaan dan menyimpulkan adanya Sang Pencipta”. 26 Sejalan

dengan hal tersebut, filosof Ibnu Sina juga mengatakan:

Pada dirinya alam adalah mumkin al-wujud artinya wujud-wujud


yang mungkin, dan dengan itu dia maksudkan sebagai wujud
potensial. Jadi dalam pandangannya bahwa alam hanyalah sebuah
potensi bukan aktualitas, dan karena itu belum lagi memilki realitas
seperti yang kita lihat sekarang. Sebagai potensi, alam tidak bisa
mewujudkan dirinya sendiri oleh dirnya. Ia membutuhkan wujud
lain yang senantiasa actual, yaitu Tuhan yang mandiri (al-ghani),
untuk keberadaannya.27

Pada masa modern ini, ketika wilayah ilmu pengetahuan meluas dan

banyak rahasia alam tersingkap, manusia mulai mengenal banyak hakikat terkait
25
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya…, h. 306
26
Ibid., h. 9
27
Mulyadi Kartanegara, Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik, (Bandung: Arasy Mizan
Pustaka bekerjasama dengan UIN Jakarta Press, 2005), h. 34-35
69

dengan isyarat-isyarat Al-qur’an yang sebelumnya tidak ia ketahui. Manusia

menjadi bertambah dekat dengan isyarat-isyarat tersebut.28

Jadi, jika seorang ilmuan mendekati alam dengan iman kepada Tuhan,

imannya akan diperkuat oleh kegiatan ilmiahnya. Jika tidak demikian, kajian

alam tidak dengan sendirinya akan membawa kepada Tuhan. Keyakinan religius

bisa memberikan motivasi yang baik dengan kerja ilmiah.

Dengan pengetahuan ilmiah dapat memperluas cakrawala keyakinan

religius dan bahwa perspektif keyakinan religius dapat memperdalam

pemahaman kita tentang alam semesta.29

Kajian tentang alam direkomendasikan untuk menemukan pola-pola

Tuhan di alam semesta dan memanfaatkannya demi kemaslahatan umat manusia.

Intizhar akan melahirkan teori-teori baru, kemudian menghasilkan teknologi

sebagai penerapan sains secara sistematis untuk mengubah / rnempengaruhi alam

materi di sekeliling kita dalam suatu proses produktif ekonomis untuk

menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi umat manusia. Teknologi

pembuatan mesin, pembuatan obat-obatan, pembuatan beraneka ragam bahan,

termasuk bahan makanan, dan sebagainya adalah hasil penerapan ilmu fisika,

kimia, biologi, dan lain-lain ilmu kealaman yang sesuai.

Muhammad Iqbal, pernah mengungkapkan, ketika ia menyadari dampak

negatif perkembangan ilmu dan teknologi. Katanya; kemanusiaan saat ini


28
Muhammad Quthb, Fenomena Kalam Ilahi: Bukti Kemukjizatan Al-Qur’an, (Jakarta: Pena
Pundi Aksara, 2005), h. 222
29
John F. Haught, Perjumpaan Sains dan Agama: Dari Konflik ke Dialog, (Bandung: Mizan,
2004), h. 19
70

membutuhkan tiga hal, yaitu penafsiran spritual atas alam raya, emansipasi

spritual atas individu, dan satu himpunan asas yang dianut secara universal yang

akan menjelaskan evolusi masyarakat manusia atas dasar spiritual.

Dengan demikian, pendidikan Islam, untuk menetralkan pengaruh

tenologi yang menghilangkan kepribadian, harus menggali nilai- nilai keagamaan

dan spiritual. Dan dengan mengintegrasikan agama dengan ilmu kealaman

merupakan cara yang tepat menuju kemudahan dan kesejahteraan bagi umat

manusia.

Selanjutnya, dari beberapa pembahasan di atas, terdapat beberapa

pernyataan yang bisa disimpulkan. Antara lain:

1. Ajaran Islam sangat menghargai ilmu pengetahuan. Ayat-ayat Alquran banyak

sekali memberi motivasi untuk intzhar/ meneliti, baik secara tersurat atau

tersirat.

2. Pengembangan ilmu pengetahuan secara umum dan ilmu alam secara khusus,

sejalan dengan ajaran Islam yang menginginkan kemudahan dan

kesejahteraan bagi umat manusia.

3. Pengembangan ilmu pengetahuan dan ilmu alam yang bertujuan untuk

kepentingan pribadi atau kelompok, tanpa menghiraukan kepentingan orang

lain, bertentangan dengan tujuan ajaran Islam.

B. Islam dan Ilmu Sosial (Social Science)


71

Usaha untuk memberikan dasar epistemologis terhadap pertemuan

antara nilai dan norma agama dengan ilmu sosial sudah dikerjakan oleh Hidajat

Nataatmadja. Dalam sebua bukunya, bahwa tingkat kebenaran ilmu-ilmu itu

tidak pasti, tetapi relative. Agama dalam hal ini jauh lebih pasti daripada ilmu

karena tidak mengenal relativisme moral. Apa yang pasti harus berada di atas

yang tidak pasti. Artinya agama di atas ilmu, dan ilmu harus merupakan

penurunan dari agama.30

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, ilmu sosial adalah ilmu- ilmu

kemasyarakatan yang menyangkut perilaku manusia dalam interaksinya dalam

masyarakat.31 Dalam pengertian lain ilmu sisial atau ilmu Pengetahuan Sosial

adalah cabang Ilmu Pengetahuan yang dalil-dalilnya, hukum-hukumnya berlaku

secara Universal, tetapi penerapannya sangat bergantung pada situasi dan kondisi

dimana ia digunakan. Contoh cabang Ilmu Sosial, seperti ; Ilmu Sosiologi, Ilmu

Politik, Ilmu Administrasi, Ilmu Ekonomi, Ilmu Hukum dan yang sejenisnya.32

Bukti ilmu sosial sangat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi, misalnya

Ilmu Politik secara umum mempunyai batasan sebagai ilmu yang mempelajari

pengelolaan kekuasaan dalam suatu negara. Penerapan ilmu politik ini sangat

dipengaruhi oleh situasi dan kondisi negara yang bersangkutan. Kekuasaan

Negara di Indonesia mengacu kepada Sistem Demokrasi Pancasila, di Amerika

30
AE Priyono (ed.), Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi (Bandung: Mizan, 2008), h. 536-
537
31
A. Mattulada, Ilmu-ilmu…, h. 3
32
Aswin, Tentang Ilmu Pengetahuan, dalam http://www.bung-
aswin.com/download/pendahuluan.pdf, diakses 20 mei 2010
72

Serikat mengacu kepada Sistem Demokrasi Liberal dan di Republik Rakyat Cina

mengacu kepada Sistem Demokrasi Komunis. Meskipun Ilmu Ekonomi penuh

dengan Statistik tetapi Ilmu Ekonomi termasuk dalam kelompok Ilmu Sosial,

karena penerapan Ilmu Ekonomi di berbagai Negara tidak sama. Di Indonesia

penerapan Ilmu Ekonomi berdasarkan kepada azas kekeluargaan, di Amerika

Serikat berdasarkan kepada Sistem Ekonomi Pasar (Liberal) dan di negara-

negara Komunis menerapkan Ekonomi yang berorientasi kepada kepentingan

negara, masyarakat hanyalah sekedar alat ekonomi.

Dari uraian diatas jika dibandingkan dengan ilmu eksakta (kealaman),

terlihat adanya perbedaan prinsip antara Ilmu Sosial dan Ilmu Eksakta.

Perbedaan itu terletak pada segi penerapannya dilapangan, yaitu Ilmu Eksakta

tidak dipengaruhi oleh situasi dan kondisi, sedangkan Ilmu Sosial sangat

dipengaruhi oleh situasi dan kondisi dimana ia diterapkan.

Einstein dan Linus Pauling mengemukakan bahwa untuk menjadikan

masyarakat mendapatkan kegunaan sains-tek secara optimal, peranan ilmu

humaniora sama pentingnya dengan ilmu alam itu sendiri. Ilmu alam dan ilmu

sosial berasal dari satu induk, yaitu Filsafat. Sebagai matter scientarum,

filsafatlah yang melahirkan mereka dan menjadikan mereka berdua menjadi

seperti sekarang ini.33 Filsafat selalu mencari kebenaran, sementara anak-

anaknya, yaitu ilmu sosial dan alam, mewarisi tugas dari ibunya untuk juga

33
Arli Aditya Parkesit, Sains dan Teknologi dalam Evaluasi Kemanusiaan, dalam
http://netsains.com/2007/11/sains-dan-teknologi-dalam-evaluasi-kemanusiaan/, diakses 20 Mei 2010
73

mencari kebenaran. Bila ilmu sosial dan alam dipertentangkan, berarti sama saja

mempertentangkan kebenaran.

Para pemikir pembaharuan Islam di Indonesia, seperti Harun Nasution,

Nurcholish Madjid, dan Fachry Ali, meletakkan dan memanfaatkan pendekatan

ilmu-ilmu sosial ketika mengkaji masalah-masalah keagamaan. Mereka

menjelaskan pentingnya pembaruan Islam dengan kerangka dasar teori ilmu-ilmu

sosial, seperti rasionalisasi, modernisasi, sekularisasi, teori perubahan sosial, dan

teori ketergantungan.34

Jika ilmu kealaman dapat berimplikasi kepada keimanan manusia

sebagai makhluk kepada Sang Khaliq, maka ilmu sosial pun demikian. Ia akan

membawa manusia kepada jiwa yang religius dengan memahami fenomena-

fenomena sosial. Oleh karena ilmu sosial menyangkut tentang hubungan manusia

dalam masyarakat, maka objek kajian ilmu ini adalah pada manusia dan

masyarakat itu sendiri.

Hubungan antar berbagai disiplin ilmu sosial menjadi semakin renggang

dan teralienasi karena pengembangan ilmu-ilmu tersebut semakin terlepas dari

induknya yakni filsafat (manusia). Maka dalam pembahasan mengenai ilmu

sosial, sebelumnya perlu diuraikan konsep yang jelas tentang definisi manusia

secara universal dan objektif.

34
Bahtiar Effendy, Integrasi Studi Keagamaan dan Teori Ilmu Sosial, dalam
http://www.uinjkt.ac.id/index.php/section-blog/28-artikel/1188-integrasi-studi-keagamaan-dan-teori-
ilmu-sosial.html, diakses 20 Mei 2010
74

Para ilmuan memberikan definisi yang beragam tentang manusia.

Aristiteles, seorang filosof Yunani kuno, mendefinisikan manusia sebagai

manusia yang berakal sehat, mengeluarkan pendapat dan bicara berdasarkan akal

pikirannya. Sartre, filosof Pancis abad 19, mengemukakan bahwa manusia itu

menaruh minat yang sangat besar mengenai asal mula dan akhirnya, mengenai

maksud dan tujuannya, mengenai makna dan hakikat kenyataan. Hanya manusia

sajalah yang membedakan antara keindahan dan kejelekan, antara kebajikan dan

kejahatan, antara yang lebih baik dan lebih buruk.35

Sementara itu Muhammad ‘Imaduddin ‘Abdurrahim secara tidak

langsung mendiskripsikan manusia sebagai makhluk yang memiliki akal

(intelligent quotient), rasa (emotional quotient), hati nurani (spiritual

intelligence), nafsu, dan instinct.36

Dalam hubungannya dengan alam, Syamsul Rijal mengemukakan

bahwa:

Manusia itu sendiri adalah bagian yang tak terpisahkan dari alam.
Akan tetapi, posisi manusia di alam ini memiliki kedudukan yang
unik dan strategis, atau bahkan dominatif. Manusia itu pulalah yang
memunculkan berbagai diskursus, baik yang dianggap ilmiah
ataupun alamiyah. Ini bararti bahwa manusia secara real merupakan
bagian dari alam, akan tetapi secara subtansi berbeda dengan alam.37

35
Mahmud Thoha, Paradigma Baru Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora: Dialog
antarperadaban Islam, Barat, dan Jawa, (Jakarta: Teraju Mizan Pustaka, 2004), h. 5
36
Ibid., h.28
37
Syamsul Rijal, Bersama Al-Ghazali Memahami Filosofi Alam: Upaya Meneguhkan
Keimanan, (Yogyakarta: CV. Arruzz Book Gallery, 2003), h. 19
75

Sementara itu, Mujtahid besar Al-Ghazali memberikan gambaran

tentang manusia sebagai makhluk jasmani dan rohani atau terdiri dari tubuh dan

roh. Ada interaksi yang kuat antara roh dan tubuh. Hubungan antara keduanya

tidak terjadi secara spesifik melainkan secara keseluruhan, walaupun ruh

mempunyai hubungan khusus dengan hati. Rohani manusia terdiri dari empat

unsur yaitu : 1) Qalb (hati); 2) Ruh (roh dan jiwa); 3) Nafs (nafsu); dan 4) ‘Aql

(akal pikiran atau inteligensia).38

Secara umum, Al-Qur’an memberi batasan tentang manusia, hal ini

dapat dilihat dalam surat Al-Mu’minun ayat 115 yang artinya:

“Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu


secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada
Kami?”39
Ayat tersebut setidaknya memberi pengertian bahwa manusia

mengandung tiga unsur, yaitu:

1. Manusia adalah makhluk ciptaan Allah SWT.

2. Manusia diciptakan tidak sia-sia, artinya punya fungsi tertentu.

3. Manusia diciptakan dengan tanggungjawab terhadap aktivitas hidupnya.40

Pengembangan ilmu pengetahuan sosial ini dilandasi oleh suatu

keyakinan bahwa manusia (mikrokosmos) dan masyarakat (makrokosmos)

adalah merupakan ayat-ayat (pertanda) kebesaran Allah SWT yang tertulis dalam

alam semesta atau ayat-ayat kauniyah. Karena merupakan ayat-ayat Allah, maka

mustahil adanya pertentangan antara ayat-ayat qauliyah (ayat yang tertulis dalam
38
Ibid., h. 29-30
39
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya…, h. 540
40
Imam Syafi’i, Konsep Ilmu…, h. 100
76

Al-Qur’an dan hadits) dengan ayat-ayat kauniyah yang terdapat pada manusia

dan masyarakat. Keyakinan pemahaman dalam kesesuaian ini jelas sangat

penting sebagai antisipasi kemajuan teknologi yang sekarang ini mulai

memisahkan diri dari ajaran agama.

Jika ilmu-ilmu sosial sudah mendapat pancaran dari agama, ilmu pada

akhirnya harus diuji dengan amal. Muslim Abdurrahman mengisyaratkan supaya

ilmu-ilmun sosial Islam menjadi ilmu transformatif, mempunyai kemampuan

untuk mentransformasikan masyarakat. Ilmu sosial Islam juga ilmu profetik,

artinya ilmu yang melaksanakan tugas kenabian.41

Dengan demikian dari sini ada benang merah yang dapat ditarik dari Al-

Qur’an, manusia dan ilmu pengetahuan sosial. Sehingga, integrasi agama dengan

ilmu pengetahuan sosial menjadi begitu penting dan nyata dalam kehidupan

sosial terlebih dalam masyarakat yang hidup di tengah-tengah pesatnya

perkembangan IPTEK pada zaman modern seperti sekarang ini.

C. Islam dan Humaniora (The Humanities)

Humaniora, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 1999),

humaniora adalah salah satu ilmu pengetahuan yang mempelajari apa yang

diciptakan atau diperhatikan manusia (dipertentangkan dengan ilmu pengetahuan

alam).42

41
AE Priyono (ed.), Paradigma Islam…, h. 546
42
Em Zul Fajri dan Ratu Aprilia Senja, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (t.t.p., Diva
Publisher, t.t.), h. 39
77

Pengertian lain menyebutkan bahwa humaniora adalah ilmu yang

berkaitan dengan rasa seni yang dimiliki oleh manusia, seperti : Seni Sastra,

Musik, Pahat, Lukis, dan sebagainya. Ilmu Pengetahuan Humaniora tidak dapat

dimasukan dalam Ilmu Sosial, karena bukan ilmu yang mempelajari gerak

kegiatan (action) kehidupan manusia, tetapi yang dipelajari adalah

kecenderungan “rasa” dan “perasaan” yang menimbulkan bakat dan minat

manusia itu untuk berkreasi.43 Hal ini nampaknya selaras dengan pendapat

Muhammad ‘Imaduddin ‘Abdurrahim yang pernah disebutkan sebelumnya,

bahwa manusia sebagai makhluk yang memiliki akal (intelligent quotient), rasa

(emotional quotient), hati nurani (spiritual intelligence), nafsu, dan instinct.44

Berangkat dari pemahaman tentang manusia yang demikian, maka ilmu

humaniora itu penting dipelajari di samping mempelajari ilmu yang canggih-

canggih. Pasalnya, Ilmu pengetahuan dan teknologi muncul dari basis peradaban

dan basis kebudayaan. Basisnya dulu adalah humaniora dan melalui itulah

manusia memiliki kemampuan berpikir, berkreasi, bercita-cita, dan berimajinasi,

maka tumbuh penciptaan. Oleh karena itulah, humaniora tetap memegang

peranan penting.

Ruang lingkup humaniora awalnya hanya mencakup bahasa dan sastra

klasik, tetapi kemudian berkembang seperti teologi, filsafat, ilmu hukum, ilmu

sejarah, filologi, ilmu bahasa, kesusastraan, dan ilmu kesenian, serta psikologi.

43
Aswin, Tentang Ilmu…, diakses 20 Mei 2010
44
Mahmud Thoha, Paradigma Baru…, h.28
78

Tujuan humanira adalah membuat manusia lebih manusiawi, dalam arti

membuat manusia lebih berbudaya. Sedangkan Tujuan Lebih lanjut dijelaskan

bahwa muara dari ilmu humaniora adalah munculnya sosok yang humanis yakni

orang yang mendambakan dan memperjuangkan terwujudnya pergaulan yang

lebih baik, berdasarkan asas-asas perikemanusiaan, pengabdi kepentingan sesama

umat manusia. Secara lebih khusus, IGAK Wardani menjelaskan bahwa tujuan

ilmu humaniora adalah - membebaskan pikiran untuk mandiri dalam

menemukan, memilih, dan memanfaatkan informasi - membuat manusia lebih

manusiawi, dalam arti lebih berbudaya.45

Manfaat Kajian terhadap ilmu-ilmu humaniora akan membuat sesorang

lebih manusiawi dan berbudaya. Hal ini jelas sangat penting sebagai antisipasi

kemajuan teknologi yang kadang-kadang membuat manusia seperti kehilangan

harkatnya karena hampir semua peran dapat digantikan oleh mesin sehingga

tidak tertutup kemungkinan manusia juga bertindak seperti mesin dan kehilangan

nurani.

Dalam hal ini, manusia yang semula merdeka, yang merasa menjadi

pusat dari segala sesuatu, kini telah diturunkan derajatnya menjadi tak lebih

sebagai bagian dari mesin, mesin raksasa teknologi modern. Karena proses

inilah, pandangan manusia menjadi tereduksi. Nilai manusia telah tergradasi oleh

proses bekerjanya teknologi.46 Seperti yang dikatakan Tholhah Hasan, bahwa

45
Djoko Suryo, Belajar dari Sejarah dan Humaniora, dalam
http://sejarah.fib.ugm.ac.id/berita.php?id=22, diakses 20 Mei 2010
46
AE Priyono (ed.), Paradigma Islam…, h. 265
79

dominasi alam dapat dipisahkan, tetapi teknologi dan birokrasinya bangkit

dengan dominasi dan kekuatannya yang dahsyat menguasai manusia dan

menjadikannya tergantung dan lemah.47

Memang berkat IPTEK, manusia dapat bangkit dari tekanan berat alam

yang selalu mengganggunya, akan tetapi secara sistematis mulai tergantung pada

hasil ciptaannya dan organisasinya. Sebagai konsekuensinya, generasi muda

kurang memiliki ruang dan kesempatan untuk berimajinasi. Yang ada hanya

ingin serba cepat tanpa proses. Akhirnya, hanya menjadi pemakai dan pengekor

teknologi.

Untuk itulah, ruang untuk menjadi kreatif itu yang perlu dibangun,

ruang untuk berimajinasi. Sebuah ruang yang banyak dimiliki masa lampau yang

dibangun, yaitu melalui ilmu humaniora. Sementara Islam sebagai agama wahyu,

oleh Tuhan manusia senantiasa diberi peluang dalam potensi untuk selalu

mengembangkan dan meningkatkan diri. Islam hadir dengan konsepsinya yaitu

pembebasan manusia dari kungkungan aliran pikiran yang menganggap bahwa

manusia tidak mempunyai kemerdekaan. Dengan Islam, manusia dapat

mengaktualisasikan dirinya sebagai makhluk yang merdeka dan mulia dari

belenggu dunia modern, terutama di era perkembangan IPTEK.

Tauhid-sosial, lebih menekankan aspek pengentasan dan pembebasan

yang bernuansa profetik, sudah barang tentu, terhadap beragam keprihatinan dan

47
Muhammad Tholhah Hasan, Islam dan Masalah Sumber Daya manusia, (Jakarta: Lantabora
Press, 2005), h. 149-150
80

penderitaan umat pada umumnya didekati dan dicarikan pemecahannya lewat

semangat liberasi Al-Qur’an.48

Dalam konteks dinamika dunia modern, misi Islam yang utama berarti

harus membebaskan manusia dari kungkungan bermacam aliran pemikiran dan

filsafat yang menganggap manusia tidak mempunyai kemerdekaan dan hidup

dalam absunditas.49

Agama Islam sesuai dengan fitrah manusia, maka dari itu jelas bahwa

Islam memberi dasar yang cukup kepada manusia untuk hidup berkebudayaan.

Disamping urusan akhirat, urusan dunia pun mendapat perhatian yang besar. 50

Firman Allah:

         


          
         
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari
(kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana
Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di
(muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat
kerusakan.” (QS. Al-Qashash: 77)51

Untuk memberi gambaran bahwa Islam itu agama yang lengkap sebagai

dasar sumber kebudayaan dapatlah dibuktikan bahwa isi Al-Qur’an itu meliputi

segala persoalan hidup dan kehidupan, diantaranya:

1. Dasar-dasar kepercayaan dan ideologi

48
M. Amin Abdullah, Dinamika Islam Kultural: Pemetaan atas Wacana Keislaman
Kontemporer, (Bandung: Mizan, 2000), h. 65
49
Moh. Shofan, Pendidikan Berparadigma Profetik: Upaya Konstruktif Membongkar Dikotomi
Sistem Pendidikan Islam, (Yogyakarta: IRCiSod bekerjasama dengan UMG Press, 2004), h. 139
50
Prasetya, dkk., Ilmu Budaya …, h. 48
51
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya…, h. 623
81

2. Hikmah dan filsafat

3. Budi Pekerti, kesenian, dan kesusteraan

4. Sejarah umat dan biografi nabi-nabi

5. Undang-undang masyarakat

6. Kenegaraan dan pemerintahan

7. Kemiliteran dan Undang-Undang Peperangan

8. Hukum perdata (muamalat)

9. Hukum pidana (jinayat)

10. Undang-undang alam dan tabiat.52

Dengan demikian, integrasi antara Islam dan humaniora semacam ini,

sesungguhnya menyediakan basis filsafat untuk mengkaji kehampaan spiritual

yang merupakan produk dunia perkembangan IPTEK.

52
Ibid., h. 48-49
82

Pakar Yunani Kuno vs Pakar Muslim di


Bidang Ilmu-Ilmu Eksakta
Posted by Hisyam Ad dien mercusuar 6:41 AM

Matematika bangsa Yunani


Kuno terbentuk dari bahan-bahan tradisi bangsa-bangsa Sumaria, Babilonia
dan Mesir Kuno, demikian pula halnya Ilmu Pengetahuan Alam/sains, yang
asasnya hanya pada observasi saja. Ilmu Ukur diperkembang oleh pakar
Yunani Kuno secara sistematis, dan mencapai puncak kemajuannya dalam
zaman Euclid.

Namun dalam bidang matematika yang lain yaitu ilmu hitung, tidak
memperolah kemajuan. Tidak ada pertambahan operasi, tetap hanya
menambah, mengurang, mengali dan membagi saja. Dengan demikian
mereka itu hanya tetap berkisar dalam bilangan rasional saja. Hal ini
membawa akibat yang parah, ilmu hitung tidak dapat mengikuti
perkembangan ilmu ukur, sehingga ilmu ukur itu berjalan sendiri tanpa
dukungan ilmu hitung. Ada beberapa bagian dari Dialogue Plato (427 - 347
SM) yang menunjukkan pemisahan itu mencapai puncaknya, artinya
keduanya sudah terpisah sama sekali dalam zaman Euclid.

Alhasil matematika di tangan bangsa Yunani Kuno pecah dua dalam


pengertian yang sebenar-benarnya. Ilmu ukur maju melesat ke depan
83

meninggalkan ilmu hitung jauh di belakang. Dengan demikian matematika di


zaman Yunani kuno tidak mungkin dapat dipakai untuk menunjang sains/ilmu
pengetahuan alam dalam hal mengujicoba hasil penafsiran alam, sehingga
sains hanya terpaku pada teori yang sifatnya spekulatif. Maka asas
Pendekatan Ilmiyah di zaman Yunani Kuno terhenti hanya sampai penafsiran
saja sebagai tahap lanjut dari observasi.

***

Para Pakar Muslim kuno di zaman keemasan Islam (abad 7 sampai abad 13
Miladiyah) berhasil memperkembang ilmu ukur menjadi ilmu ukur sudut dan
ilmu ukur bola seperti yang kita kenal sekarang ini. Al Battani (858 - 929)
mengganti busur dengan sinus, mempergunakan tangen dan kotangen. Abu
‘lWafa (940 - 997) mendapatkan metode baru untuk membuat tabel sinus,
memperkenalkan sekan dan kosekan.

Operasi dalam ilmu hitung diperlengkap dengan operasi akar dan logaritme
sebagai lawan pangkat. Dengan demikian ruang lingkup bilangan menjadi
lebih luas, yaitu bilangan irrasional dan imajiner. Kata-kata logaritme dan
algorism berasal dari nama orang yang mendapatkannya yaitu Al Khawarismi
(780 - 850).

Di tangan para pakar Muslim itu cabang-cabang matematika yaitu itu ilmu
hitung dan ilmu ukur diperkembang kemudian dijalin menjadi utuh tidak
terlepas seperti dalam keadaannya di tangan para pakar Yunani Kuno
tersebut. Maka menjadilah matematika itu sebagai disiplin ilmu yang
menunjang metode ujicoba dalam sains. Alhasil kebudayaan Islam
(maksudnya kebudayaan yang diisi oleh nilai-nilai non-historis, yaitu wahyu)
dapat menyumbangkan metode ujicoba yang memungkinkan lahirnya Ilmu
Pengetahuan seperti yang kita miliki sekarang ini.

Yang ideal bagi orang-orang Yunani Kuno adalah keindahan visual. Inilah
yang menjadi landasan ideologi mereka. Keindahan yang berasaskan
perbandingan yang dinyatakan oleh hubungan angka-angka yang tetap.
Wajah manusia, patung, atau bentuk arsitektur, bahkan drama harus
mempunyai perbandingan-perbandingan tetap di antara bagian-bagiannya
supaya indah. Keluar dari hubungan angka-angka perbandingan itu
mengakibatkan sesuatu itu “rusak” bentuknya sehingga tidak menjadi indah
lagi. Pola pemikiran ini menghasilkan pandangan bahwa alam semesta ini
merupakan kesatuan yang statis, oleh karena bagian-bagian dari alam
smesta ini harus mempunyai perbandingan yang dinyatakan oleh hubungan
angka-angka yang tetap. Alhasil, pengertian waktu bukanlah hal yang perlu
mendapat perhatian, oleh karena alam semesta ini statis. Bahkan menurut
84

Zeno dan Plato waktu adalah sesuatu yang tidak-nyata (unreal). Maka
dapatlah kita mengerti apabila para pakar Yunani Kuno hanya menghasilkan
matematika yang statis sifatnya, tidak mengandung unsur variabel dan
fungsi. Demikianlah idea orang Yunani Kuno yang menganggap ideal
keindahan visual, hanya dapat menghasilkan matematika yang statis.

Yang ideal bagi seorang Muslim bukanlah keindahan visual, melainkan Yang
Tak Terbatas, yaitu Allah Subhanahu wa Ta'ala  dengan sifat-sifatnya yang
Maha Sempurna. Pakar-pakar Muslim dituntun oleh akar yang non historis,
yakni wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Shallahu alaihi
wasallam, yaitu Al Quran. Dalam Surat. Al Fathihah Allah disebut
Rabbul’alamien, Maha Pengatur alam semesta. Dengan demikian alam
semesta ini tidak statis, melainkan dinamis. Dan unsur penting dalam
dinamika ialah waktu. Jadi menurut pandangan seorang Muslim waktu itu riel,
tidak seperti pandangan Zeno dan Plato di atas itu. Bahkan dalam Al Quran
ada sebuah surah yang bernama Surat. Al ‘Ashr. Surah ini dibuka dengan
kalimah wa-l’Ashri, yang artinya perhatikanlah waktu.

Masuknya faktor waktu dalam matematika, mengubah wajah matematika itu


menjadi baru sama sekali. Ilmu hitung diperkembang menjadi aljabar. Unsur
ilmu hitung yang statis yaitu bilangan, diperkaya dengan unsur yang dinamis
yaitu variabel dan fungsi. Dalam matematika ada dua cara dalam
menyatakan fungsi. Pertama yang langsung y(x), yang kedua melalui
parameter waktu x(t), y(t), yang ditampilkan oleh Al Biruni (793 - 1048). Umar
Khayyam menciptakan pula sejenis matematika yang disebutnya dengan al
khiyam, sayang ilmu itu tidak berkembang hingga dewasa ini.

Kesimpulannya dapatlah kita lihat pakar Yunani Kuno tidak mampu


mengembangkan matematika untuk dapat dipakai sebagai disiplin ilmu dalam
hal menunjang metode ujicoba dalam sains.

Para pakar Muslim Kuno telah berhasil memperkembang matematika,


sehingga dapatlah matematika itu dijadikan disiplin ilmu yang dapat
menunjang metode ujicoba dalam sains, sehingga sains dapat mencapai
wujudnya yang sekarang ini, yaitu observasi, penafsiran observasi yang
menghasilkan teori yang spekulatif kemudian dengan unsur ujicoba yang
menyaring teori yang spekulatif itu sehingga tidak spekulatif lagi. WaLlahu
a’lamu bisshawab [zilzaal/www.globalmuslim.web.id]
85

Ilmu Eksak vs Ilmu Teori Pada dasarnya ilmu dibedakan menjadi dua, yaitu Ilmu yg
bersifat teori (tidak pasti) dan Ilmu eksak (ilmu pasti). Dari keduanya masing-masing
memiliki banyak sub-sub bagian sesuai dengan bidang konsentrasi ilmu itu sendiri.

Ilmu eksak adalah ilmu pasti yang mana jika ada sebuah teori tentang sesuatu sampai
kapan pun teori ini tidak akan berubah dan bersifat universal. Namun, ketika ada teori
baru mengenai teori tersebut, maka dengan sendirinya teori lama akan gugur dan
tidak digunakan lagi.

Bidang ilmu yang termasuk ke dalam ilmu eksak contohnya: matematika, fisika,
kimia. Ilmu eksak ditandai dengan penggunaan rumus rumus, biasanya melibatkan
angka-angka dan bersifat mutlak (permanen). Contohnya di negara manapun 2+2=4
dan sampai kapan pun hasilnya akan tetap sama sampai ada teori baru yang bisa
membuktikan bahwa 2+2 hasilnya tidak sama dengan 4 lagi.

Mungkin ada bidang ilmu yang menggunakan rumus tetapi tidak melibatkan angka,
contoh ilmu Bahasa, dll. Dalam bahasa Indonesia ada rumus S+O+P syarat
terbentuknya kalimat. (Subjek+Objek+Predikat).

Berbeda dengan ilmu teori, Ilmu teori adalah bidang ilmu yg tidak memiliki hukum
pasti sebagaimana ilmu eksak dan sifatnya tidak permanen/mutlak selalu ada
pembaruan teori dari waktu ke waktu, tetapi tidak menggugurkan teori lama. Teori
lama akan tetap ada sebagai acuan teori yang baru.

Bidang ilmu yang masuk ke dalam kategori ilmu teori adalah semua bidang ilmu
selain matematika, fisika, kimia. Ilmu sosial, hukum, biologi, psikologi, komunikasi,
pertanian, dll.

Sebagai contoh dalam ilmu hukum misalnya, hukuman mati di setiap negara berbeda.
Di Indonesia hukuman mati dengan ditembak, di Malaysia digantung, di Arab Saudi
penggal kepala. Di Amerika saja di setiap negara bagian berbeda-beda, ada yang
dengan kursi listrik, ruang gas dll. Mana menurut Anda yg paling manusiawi?

Para pakar psikolog berdebat apakah hukuman mati perlu dilakukan? Masing-masing
pakar mengemukakan alasannya boleh atau tidaknya hukuman mati dilakukan dilihat
dari sudut pandang kemanusiaan. Ketika para pakar sibuk memperdebatkan soal
hukuman mati, ada seorang tukang becak ditanya "Bagaimana pendapat Anda
mengenai hukuman mati?" Tukang becak pun menjawab "Boro boro mikirin
hukuman mati, mikirin makan hari ini aja susah."
86

Bagaimana pendapat Anda?

Dalam ilmu teori tidak ada yang 100 % benar dan 100 % salah. Semua bisa
berpendapat dan tidak perlu saling menyalahkan menganggap pendapat sendirilah
yang paling benar. Setiap orang punya hak dengan pendapatnya masing-masing.
Saling menghormati pendapat orang lain itu jauh lebih baik.

Wallohua'lam

Anda mungkin juga menyukai