Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Dalam berbicara mengenai citra Jepang di dunia internasional,
homogenitas adalah kata yang seringkali ditemukan dan digunakan untuk
menjelaskan mengenai keadaan sosio-kultural di Jepang. Masyarakat Jepang
sendiri memang memiliki pemikiran dan mengatakan dengan jelas bahwa Jepang
adalah masyarakat homogen, homogenitas yang kuat dari kelompok dan identitas
nasional, serta keabsenan dan sedikitnya keragaman etnis atau ras. 1 Dikenalnya
Jepang akan homogenitas sendiri merupakan salah satu hasil promosi yang
banyak dilakukan oleh figur publik di Jepang. Tetapi, pada nyatanya perbedaan
tersebut ada di Jepang, seperti dalam semua masyarakat dunia pada umumnya.
Jepang sesungguhnya adalah sebuah negara yang tidak homogen dengan
kompleksitas perbedaan masyarakat di berbagai aspek, contohnya perbedaan
etnis, ras dan kelas. Beberapa contoh mengenai nyatanya perbedaan ini adalah
keberadaan keturunan Korea di Jepang, Ainu di Hokkaido, masyakat di Okinawa,
dan Burakumin yang tesebar di berbagai daerah di Jepang.
Salah satu kelompok minoritas yang menarik adalah kelompok
Burakumin. Burakumin adalah salah satu kelompok minoritas yang cukup besar
di Jepang, dan salah satu daerah yang dikenal sebagai pusat Burakumin adalah
Osaka. Kemunculan kali pertama Burakumin dalam sistem sosial masyarakat
Jepang sendiri tercatat dimulai sejak sekitar tahun 1600-an. Era Tokugawa yang
mengambil periode waktu tahun 1603-1868, melakukan pembagian masyakat
melalui sistem feodal dengan mengkategorikan masyarakat menjadi empat kelas
yakni warriors, farmers dan peasants, merchants, craftmens.2 Burakumin adalah

1
Columbia University, „Contemporary Japan: Japanese Society – Homogenity‟, Asian
Topics: an online resource for Asian history and culture (online) ,
<http://afe.easia.columbia.edu/at/contemp_japan/cjp_society_01.html>, diakses 28 November
2013.
2
E. A. S. Reber, „Buraku Mondai in Japan: Historical and Modern Perspective and
Directions For The Future From The Perspective of an American Researcher ‟, Harvard Human
1
sebutan bagi kelompok manusia yang dinilai tidak masuk dalam kelas atau kasta
manapun pada jaman pemerintahan Tokugawa. Burakumin dinilai menjalani
pekerjaan kotor berdasarkan parameter kebudayaan Shinto dan Buddha, sebuah
pekerjaan yang berhubungan dengan darah dan kematian seperti pemotong
daging, pekerja yang berhubungan dengan menguliti hewan, kremator, penjaga
makam. Burakumin yang sesungguhnya tidak memiliki perbedaan etnis,
linguistik, dan ras kemudian diharuskan untuk menempati wilayah pemukiman
khusus dan memakai pakaian khas yang keduanya berguna sebagai tanda status
sosial mereka.
Burakumin sebagai kelompok minoritas yang mengalami diskriminasi dan
pengucilan di berbagai aspek kehidupan, pada akhirnya menemui keterbatasan
dalam mengembangkan potensi diri dan pemenuhan kebutuhan hidupnya.
Keterbatasan sosial dan ekonomi adalah dua aspek penting yang mengarahkan
terbentuknya kedekatan Burakumin pada kelompok masyarakat tertentu, pada
kelompok masyarakat lain yang menerima identitas tercela Burakumin sebagai
sebuah hal yang wajar. Dan salah satu kelompok yang menerima status
Burakumin adalah kelompok Yakuza. Yakuza merupakan sindikat kriminal
tradisional yang terorganisir di Jepang dan memiliki sebutan Boryokudan oleh
polisi Jepang, atau yang dapat diartikan sebagai kelompok kekerasan. Yakuza
yang dilihat sebagai mafia Jepang adalah sebuah organisasi yang banyak
melakukan pelanggaran kriminal dan menerima bayaran dalam melakukan setiap
aksinya sehingga citra buruk sangat melekat erat dalam keanggotaan atau
kedekatan seseorang pada organisasi ini. Keanggotaan Yakuza sendiri dikatakan
amat terbuka, dengan pengertian keabsenan mereka untuk memperhatikan latar
belakang calon anggota dan bersedia menerima serta mengurus setiap anggota
yang masuk apabila terdapat kesanggupan loyalitas dalam pengabdiannya.
Karena keluwesan yang ada dalam mekanisme keanggotaan maka tidak
jarang ditemukan anggota Yakuza yang merupakan anak muda yang ditelantarkan
orangtuanya, anak muda yang putus sekolah, dan kelompok minoritas yang
mengalami diskriminasi seperti Korea, Cina dan Burakumin. Mengenai

Rights Journal 12, 1999, p. 297-359.


2
keanggotaan pada kelompok minoritas, Yakuza melakukan mayoritas rekuritmen
anggotanya pada Burakumin yang secara terus-menerus mengeluhkan adanya
perlakuan kekerasan dan diskriminasi oleh masyarakat Jepang yang lain. 3
Berangkat dari hal itu, kedekatan antara Burakumin dan Yakuza dikarenakan
adanya rasa kekeluargaan yang memungkinkan Burakumin untuk mendapatkan
perlindungan, pekerjaan, pendapatan, status dan kekuasaan apabila menjadi
bagian dari Yakuza. Pada akhirnya, banyak Burakumin yang lebih memilih
menjadi Yakuza daripada berjuang mendapatkan pekerjaan “normal”
dengan kondisi yang diskriminatif. Dengan demikian, dominasi Burakumin dalam
Yakuza sendiri disebabkan oleh adanya keterbatasan keterlibatan Burakumin
dalam masyarakat, dan hanya pekerjaan sebagai Yakuza yang memberikan
keanggotaan tanpa diskriminasi. Keadaan seperti ini disampaikan Nicholas D.
Kristof dari New York Times, yaitu:
'One of Japan's open secrets: Burakumin and ethnic Koreans
dominate the organized crime gangs known as the yakuza. More than
three-quarters of the members of the Yamaguchi Gumi, Japan's
biggest underworld organization, are said to be burakumin or ethnic
Koreans.'4
Berdasarkan penjelasan diatas, skripsi ini dibuat untuk memberikan
penjelasan dan menganalisa kedekatan kelompok Burakumin dengan kelompok
Yakuza di era kontemporer Jepang.

1.2. Rumusan Masalah


Keadaan sosial di Jepang merupakan hasil pengaruh dan perpaduan oleh
banyak faktor dan salah satu faktor yang relevan dengan penelitian ini adalah
faktor keberadaan serta kehidupan dari kelompok-kelompok minoritas, khususnya
Burakumin dan Yakuza. Dengan melihat korelasi dari dua hal tersebut, maka
rumusan masalah yang diajukan adalah:
1. Bagaimana diskriminasi dan identitas mempengaruhi kedekatan antara
3
L. Kontos, D.C. Brotheron, Encyclopedia of Gangs, Greenwood Press, 2008, p. 129.
4
Koreans in Yakuza, Blog to watch the world (online), 11 May 2006, <
http://blog.livedoor.jp/tonchamon/archives/2006-05.html?p=2>, diakses 11 Desember 2013.
3
Burakumin dan Yakuza?
2. Bagaimana masyarakat Jepang bereaksi pada kedekatan Burakumin dan
Yakuza? Mengapa masyarakat Jepang mengabaikan kedekatan yang
terbentuk mengingat adanya citra buruk pada kedua kelompok tersebut?

1.3. Landasan Konseptual


Dalam menjawab mengenai rumusan masalah yang ada, penulisan akan
menggunakan landasan teori Nihonjinron dan Neta Ko Wo Okosuna, teori
diskriminasi, teori identitas dan teori identitas sosial serta uchi-soto. Nihonjinron
sendiri adalah teori yang menekankan pada homogenitas yang ada di Jepang, baik
pada masyarakat Jepang, budaya Jepang, atau agama Jepang. Nihonjinron secara
garis besar memberikan justifikasi kelebihan dan keunggulan dalam masyarakat
Jepang dengan segala keunikan yang dimilikinya sehingga memungkinkan
terbentuknya rasa kebanggaan pada identitas nasional mereka. Nihonjinron
terbagi dalam empat jenis, yakni psikologis, sosiologis, estetis, dan intelektual.5
Nihonjinron menurut Mouer dan Sugimoto adalah bahwa Nihonjinron memiliki
dua paham utama, yaitu: (a) Masyarakat Jepang memiliki „keunikan‟ yang spesial
dan (b) Orientasi masyarakat Jepang adalah pada kelompok. Orientasi kelompok
ini kemudian menjadi pola kebudayaan dominan yang membentuk perilaku orang
Jepang. Premis utama Nihonjinron adalah bahwa masyarakat Jepang adalah
masyarakat yang homogen (tan’itsu minzoku), yang membentuk sebuah bangsa
yang secara ras sama (tan’itsu minzoku kokka)6. Secara umum, teori ini
melingkupi homogenitas yang ada pada aksi dan pemikiran masayarakat Jepang,
disini Jepang dilihat sebagai rumah bagi populasi yang sama dalam hal kultural
dan rasial. Dengan demikian, Nihonjinron secara tidak sadar memberikan
pandangan bahwa polemik variasi di antara individu Jepang tidak nyata dan
apabila ditemukan maka harus diabaikan demi tercapainya harmonisasi sosial.
Berkaitan dengan keunikan individu Jepang, masyarakat Jepang mengenal
5
T. Gill, Contemporary Japanese Culture and Society, Course No. 3507/3508,
<http://www.meijigakuin.ac.jp/~gill/pdf/03_Anti-Nihonjinron_121003.pdf>, 10 Desember 2013.
6
Mouer, Ross, and Yoshio Sugimoto, Images of Japanese Society: A Study on the Structure of
Social Reality, Kegan Paul International, London, New York, 1986, p. 406.
4
istilah Neta Ko Wo Okosuna (Don’t wake up a sleeping baby) dalam mengatasi
perbedaan-perbedaan yang tidak sejalan dengan pandangan Nihonjinron. Neta Ko
Wo Okosuna adalah sebuah frasa mengenai konsep yang berkeyakinan bahwa
diskriminasi terhadap Burakumin akan berkurang dan hilang apabila penyebaran
informasi mengenai hal tersebut dibatasi, sehingga kaum muda dan yang kurang
informasi mengenai Burakumin tidak akan melakukan tindakan diskriminatif.
Filosofi ini didasarkan pada premis hilangnya kelompok Burakumin dan bahwa
sebagian besar kesenjangan yang dulu ada telah diperbaiki. Dengan demikian,
beberapa orang percaya, prasangka buruk pada Burakumin akan hilang
sepenuhnya jika pembicaraan Burakumin dihapuskan. Hipotesis ini telah
diterapkan pada diskriminasi terhadap Afrika-Amerika, dan kerap dilakukan di
Amerika Serikat pada beberapa dekade lalu, sebagian besar oleh orang-orang
paruh baya dan lanjut usia. Sayangnya, diskriminasi tidak masih bertahan seperti
halnya kesenjangan nyata dalam standar hidup, pendidikan dan pekerjaan. " Jika
Anda mengatakan bahwa hanya dengan berdiam diri diskriminasi akan pergi,
Anda hanya (mengatakan) bersabar dengan diskriminasi"7. Praktek demikian
berakibat pada peredaran luas ide-ide menyimpang akan identitas dan sejarah
Burakumin dari generasi ke generasi berikutnya, baik melalui ekspresi, deskripsi
dan tindakan diskriminatif di Jepang. Konsep ini juga memberikan pandangan
bahwa Burakumin bukanlah sebuah permasalahan sehingga perhatian untuk
peningkatan kualitas hidup Burakumin bukan hal yang krusial dan relevan di
kehidupan modern Jepang.
Teori diskriminasi pada hakekatnya adalah teori yang menjelaskan
mengenai ketidakadilan perlakuan baik di bidang ekonomi, sosial ataupun politik
yang terjadi pada kelompok masyarakat tertentu. Menurut Fulthoni dalam
Memahami Diskriminasi: Buku Saku Kebebasan Beragama, definisi diskriminasi
adalah sebagai pembedaan perlakuan. Menurut Theodorson & Theodorson yang
dikutip Fulthoni, diskriminasi adalah perlakuan yang tidak adil dan tidak
seimbang yang dilakukan untuk membedakan terhadap perorangan, atau

7
Buraku Liberation and Human Rights Research Institute, Buraku Problem Q&A (online),
1995, < http://blhrri.org/blhrri_e/Q_and_A/A017.htm>, diakses 15 Desember 2013.
5
kelompok, berdasarkan sesuatu yang biasanya bersifat kategorial, atau atribut-
atribut khas, seperti berdasarkan ras, kesukubangsaan, agama, atau keanggotaan
kelas-kelas sosial.8 Sedangkan mengacu dari pernyataan Perserikatan Bangsa-
Bangsa, diskriminasi adalah segala perilaku yang dilakukan dengan dasar
pembedaan secara alamiah atau pengkategorian masyarakat, yang tidak ada
hubungannya dengan kemampuan individu atau jasanya. Berdasarkan definisi-
definisi tersebut, maka diskriminasi dapat diartikan sebagai sebuah ketidakadilan
dalam bermasyarakat yang terbentuk oleh prasangka dan sentimen sosial dan
bertujuan lebih jauh untuk menghindari adanya kepemilikan sumber daya serta
akses-akses tertentu. Diskriminasi dapat terjadi dengan dibentuknya prasangka
pada individu atau kelompok tertentu, kemudian berlanjut dengan terbentuknya
cap buruk (stigma/ stereoype). Cap buruk ini sulit diubah, walaupun telah
diusahakannya pola positif yang berkebalikan dari yang ditanamkan. Cap buruk
ini dipelajari seseorang dari pengaruh sosial seperti masyarakat, tetangga,
keluarga, orang tua, sekolah, media massa, dan lain-lain. Diskriminasi terjadi
ketika keyakinan atas cap buruk dan prasangka itu sudah berubah menjadi aksi.
Diskriminasi adalah tindakan memperlakukan orang lain tidak adil hanya karena
dia berasal dari kelompok sosial tertentu.9 Diskriminasi dalam prakteknya dapat
dikategorikan ke dalam diskriminasi berdasarkan jenis dan diskriminasi menurut
tipe. Diskriminasi menurut jenis adalah yang terbagi menjadi (a) diskriminasi
suku/etnis, ras, agama, (b) diskriminasi jenis kelamin, (c) diskriminasi
penyandang cacat, (d) diskriminasi terhadap penderita HIV/AIDS, (e)
diskriminasi dikarenakan kasta sosial.10
Identitas adalah sebuah hal yang diberikan oleh sosial, dipertahankan dan
dibentuk dan memiliki empat aspek. Aspek pertama adalah identitas sebagai
atribut diri sebagai objek di situasi sosial atau peran sosial, kedua adalah identitas
sebagai hal relasional, ketiga adalah identitas sebagai sebuah hal yang refleksif,

8
M. Fulthoni A., Memahami Diskriminasi: Buku Saku Kebebasan Beragama, The
Indonesian Legal Resource Center, Jakarta, 2009, p.5.
9
M. Fulthoni A.,p. 6.
10
M. Fulthoni A.,p. 4
6
keempat adalah identitas sebagai sumber motivasi.11 Teori identitas adalah teori
yang berfokus pada pembentukan identitas diri dari makna-makna yang
diasosiasikan dengan pelaksanaan sebuah peran (role). Diri sendiri adalah sesuatu
yang refleksif sehingga dapat dilihat sebagai objek dan dapat dikategorikan,
diklasifikasikan, atau dinamakan sedemikian rupa terkait hubungannya dengan
kategori atau klasifikasi sosial lainnya di dalam masyarakat yang terstruktur. 12
Proses tersebut dikenal dengan self-verification dalam teori identitas, dan dikenal
dengan self-categorizations dalam teori identitas sosial. Dalam teori identitas,
self-verification berperan penting dalam pembentukan identitas individu dan
sangat dipengaruhi oleh struktur masyarakat yang ada. Menurut Burke, Tully dan
Thoits dalam tulisan Strets dan Burke, inti identitas dari teori identitas adalah
kategorisasi diri akan kepemilikan peran, dan penyertaan, kedalam dirinya, akan
makna dan ekspektasi yang berasosiasi dengan peran tersebut dan performanya.13
Ekspektasi dan makna tersebut membentuk kumpulan ukuran dasar akan panduan
perilaku. Pembentukan identitas karenanya sangat dipengaruhi oleh aktivitas dan
kepemilikan atau pengontrolan sumber daya, sehingga hal ini juga dipengaruhi
struktur sosial individu tersebut di masyarakat. Dengan demikian, teori identitas
lebih terfokus terhadap struktur dan fungsi identitas individual, yang berhubungan
dengan peran perilaku yang dimainkan di masyarakat.
Teori identitas sosial adalah teori psikologi sosial yang digagas oleh Henri
Tajfel pada tahun 1957, dan didalamnya menjelaskan mengenai prasangka,
stereotip, diskriminasi, perubahan sosial, dan konflik antar kelompok. Identitas
sosial merupakan bentuk keterikatan dan kebanggaan akan keanggotaan seseorang
dalam kelompok sosial tertentu karena adanya pengetahuan akan kesesuaian diri,
baik emosi atau nilai, pada kategori atau kelompok sosial tertentu. Berhubungan
dengan identitas sosial, terdapat konsep kategori sosial yang dapat menjelaskan
keberadaan keberagaman identitas sosial di masyarakat. Kategori sosial adalah
pembagian individu berdasarkan ras, kelas, pekerjaan, jenis kelamin, agama, dan
11
P. J. Burker, „The Self: Measurement Requirements from an Interactionist Perspective‟, In
Social Psychology Quaterlt, 1980, p.18.
12
J. E. Stets, P. J. Burke, „Identity Theory and Social Identity Theory‟, Social Psychology
Quarterly, 2000, vol. 63, no. 3, 224-237, Washington State University, p. 224.
13
J. E. Stets, P. J. Burke, p. 225.
7
lain-lain. Adanya pembagian berdasarkan beberapa hal tersebut akhirnya
mengklasifikasikan objek-objek ke dalam kategori-kategori kelompok sosial
tertentu. Dalam teori identitas sosial, identitas sosial seseorang adalah
pengetahuan akan kesesuaian diri pada kategori atau kelompok sosial tertentu.
Kelompok sosial adalah sekumpulan individu yang memiliki identifikasi sosial
bersama atau memandang dirinya sebagai anggota dari kategori sosial yang sama.
Proses komparasi sosial membedakan kelompok menjadi dua, yakni in-group
yang dipandang memiliki persamaan dengan identitas sosial kelompok dan out-
group yang dipandang memiliki perbedaan dengan identitas sosial kelompok.14
Identitas yang terbentuk berdasarkan teori identitas sosial adalah hasil dari
depersonalization atau hasil pandangan pada diri sebagai penjelamaan prototipe
in-group dibandingkan dengan individu yang unik. Menurut Sarben & Allen,
identitas sosial berfungsi sebagai acuan keberadaan posisi individu dimanakah
tingkat sosialnya dengan persamaan serta perbedaan yang ada padanya. Tajfel dan
Turner berpendapat bahwa individu seringkali membagi dunia sosial ke dalam
"mereka" dan "kita" berdasarkan melalui proses kategorisasi sosial (yaitu
penempatan individu ke dalam kelompok-kelompok sosial)15. Yang memiliki
kesamaan dimasukkan dalam in-group (kita) dan yang memiliki perbedaan
dimasukkan dalam out-group (mereka). Teori identitas sosial menyatakan bahwa
dalam kelompok akan melakukan diskriminasi terhadap out-group untuk
meningkatkan citra diri mereka. Hipotesis utama teori identitas sosial adalah
bahwa anggota dari dalam kelompok akan berusaha untuk menemukan aspek
negatif dari out-group, sehingga meningkatkan identitas sosial mereka.
Kultur Jepang yang menggambarkan pembedaan perlakuan pada in-group
dan out-group adalah yang dikenal dengan uchi-soto. Uchi-soto adalah
pandangan umum mengenai hubungan sesama manusia yang tertanam kuat pada
masyarakat Jepang dan berkaitan dengan sistem ie, uchi dapat didefinisikan
sebagai keluarga/ orang dekat/ orang dalam/ orang dalam kelompok yang sama

14
J. E. Stets, P. J. Burke, p. 225.
15
Employers Network for Equality and Inclusion, The Nature of Bias and Discrimination
(online), < http://www.enei.org.uk/pages/the-nature-of-bias-and-discrimination-.html>, diakses 15
Desember 2013.
8
sedangkan soto didefinisikan sebagai orang asing yang berasal dari luar
16
kelompok. Dikotomi uchi-soto menghasilkan hal positif dan hal negatif. Hal
positif dari kultur ini adalah terbentuknya ikatan kekeluargaan yang cukup kuat
pada masyarakat, namun hal negatif yang ditimbulkan adalah ketidaksukaan
masyarakat Jepang pada individu atau kelompok yang dinilai bukan bagian
dirinya.
Berdasarkan penjelasan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa setiap
individu memiliki identitas, baik identitas personal maupun sosial. Ketika
individu akan bergabung pada sebuah kelompok maka sesungguhnya pada dirinya
melekat identitas personal dan ketika ia telah menjadi anggota sebuah kelompok
kemudian ia akan mengidentifikasi diri pada kelompoknya. Keadaan seperti inilah
yang dapat menyebabkan identitas personalnya terabaikan, atau dengan kata lain
akan tercampur atau tertutupi oleh identitas sosial. Tetapi demikian, dapat pula
ditemukan kejadian dimana hubungan antara indentitas personal dengan identitas
sosial sangat dekat dan karenanya identitas personal dapat mendominasi identitas
sosial kelompok. Pada akhirnya, terlihat kecenderungan individu dalam
melakukan pemilihan kelompok yang memiliki kesamaan antara identitas
personal dan identitas kelompok terkait, dengan alasan untuk memudahkan
individu dalam melakukan penyesuaian terhadap kelompoknya atau identitas
sosialnya.

1.4. Hipotesis
Dari uraian diatas, maka dapat diambil dua hipotesis sementara, yaitu:
Pertama, adanya kedekatan yang terjalin antara Burakumin dan Yakuza adalah
hasil dari perubahan pada sistem feodal Era Tokugawa sehingga menjadikan
Burakumin sebagai kelompok sosial yang tersingkirkan dan melahirkan kelompok
hatamoto-yakko yang pada perkembangannya justru berubah menjadi kelompok
pengganggu keamanan (Yakuza). Adanya teori Nihonjinron menempatkan
identitas Burakumin dan Yakuza sebagai kelompok yang tidak diakui dan layak

16
R. Davies, O. Ikeno, The Japanese Mind: Understanding Contemporary Culture, Tuttle
Publishing, Singapore, 2002, p.219.
9
untuk didiskriminasi. Terdapatnya diskriminasi sosial, khusunya dalam aspek
ekonomi pada kelompok Burakumin menciptakan penyempitan kesempatan
lapangan pekerjaan dan pada akhirnya banyak Burakumin memilih menjadi
Yakuza karena adanya kemudahan dalam proses keanggotaannya. Citra buruk
yang ada pada Yakuza sendiri memang didukung dengan aktivitas kriminal yang
dilakukannya dan citra buruk dari masing-masing anggotanya sehingga
bergabungnya kaum Burakumin dalam Yakuza merupakan tindakan yang
disambut hangat oleh Yakuza. Kedekatan Burakumin dan Yakuza akhirnya dapat
dikatakan sebagai hasil akan persamaan identitas sosial di Jepang, persamaan
tersebut menciptakan kelompok yang mutualisme dimana interaksi yang ada pada
kedua kelompok ini adalah saling mendukung walaupun terdapat sentimen
eksternal yang mengarahkan kedua kelompok ini untuk berdekatan.

Kedua, kedekatan diantara Burakumin dan Yakuza menimbulkan citra yang


semakin negatif pada dua kelompok tersebut. Kedekatan ini mendapatkan
perhatian minim dari masyarakat Jepang dikarenakan adanya keengganan
masyarakat Jepang untuk membahas mengenai sejarah diskriminasi pada
Burakumin serta adanya peraturan yang belum cukup ketat pada Yakuza.
Keengganan masyarakat Jepang dalam membahas Burakumin sendiri berasal dari
sistem sosio-kultural Jepang yang dikenal dengan istilah “Neta Ko Wo Okosuna”;
adalah sebuah istilah yang dapat didefinisikan sebagai larangan untuk
membicarakan permasalahan yang sensitif dengan tujuan akan menghilangkan
permasalahan tersebut dengan sendirinya. Terkait dengan Yakuza, masyarakat
Jepang memperlihatkan reaksi yang cukup sama seperti kasus Burakumin, yakni
tidak membicarakan hal tersebut dengan lantang namun hal itu dikarenakan
adanya ketakutan terhadap Yakuza. Dengan demikian, kedekatan antara
Burakumin dan Yakuza adalah bukti dan penegasan sikap masyarakat Jepang yang
konvensional dan tidak peduli pada beberapa permasalahan sosial di Jepang.

10
1.5. Jangkauan Penelitian
Penulisan akan difokuskan pada pengaruh identitas pada kedekatan
kelompok Burakumin dan Yakuza, dan korelasinya pada penerimaan identitas
Burakumin di masyarakat Jepang. Dalam penulisannya, penulis akan memberikan
penjelasan akan bentuk-bentuk diskriminasi Burakumin dan Yakuza, baik pada
masa lalu dan kontemporer, yang kemudian memungkinkan terjadinya kedekatan
kelompok diantara dua kelompok minoritas ini. Korelasi tindakan diksriminasi
dan kedekatan Burakumin dengan kelompok sosial lain, yakni Yakuza dipaparkan
dalam ilustrasi kasus Kunihiko Konishi dan Hiromu Nonaka. Kemudian penulis
akan mengelaborasikan keberadaan faktor identitas dan struktur sosial dalam
pemikiran dan tindakan diskriminatif di Jepang. Fokus penulisan juga diarahkan
dalam pencarian reaksi dan pandangan masyarakat Jepang pada Burakumin terkait
dengan identitas Burakumin yang mengalami percampuran dengan identitas
kelompok Yakuza di Jepang.

1.6. Sistematika Penulisan


Penulisan akan dilakukan dalam lima bab dengan penjabaran sebagai
berikut:
Bab pertama, akan menjabarkan latar belakang masalah, rumusan masalah,
landasan konseptual sebagai kerangka berpikir, hipotesis sementara, jangkauan
penulisan, dan sistematika penulisan.
Bab kedua, akan membahas mengenai sejarah dan gambaran umum
Burakumin serta Yakuza di Jepang, berkaitan dengan status sosial dan tindakan
diskriminasi masyarakat kepada anggota kelompok-kelompok tersebut.
Bab ketiga, akan membahas mengenai kaitan identitas personal dan
identitas sosial sehingga terbentuk kedekatan kelompok Burakumin dan Yakuza di
Jepang. Penulisan diarahkan pada pembuktian signifikansi identitas sosial dalam
kedekatan Burakumin dan Yakuza, yang dipaparkan dalam penjelasan batasan-
batasan politik, ekonomi, sosial-budaya pada individu Burakumin.
Bab keempat, akan membahas mengenai reaksi masyarakat Jepang pada
kedekatan Burakumin dan Yakuza, khususnya pada reaksi masyarakat Jepang
11
kepada Burakumin. Penulisan difokuskan pada pandangan Nihonjinron dan mitos
homogenitas dalam mengurangi urgensi penyelesaian permasalahan Burakumin.
Bab kelima, akan menyajikan kesimpulan dan analisis dari seluruh
penulisan untuk menjawab keseragaman rumusan masalah dengan kerangka
berpikir yang diajukan.

12

Anda mungkin juga menyukai