PENDAHULUAN
1
Columbia University, „Contemporary Japan: Japanese Society – Homogenity‟, Asian
Topics: an online resource for Asian history and culture (online) ,
<http://afe.easia.columbia.edu/at/contemp_japan/cjp_society_01.html>, diakses 28 November
2013.
2
E. A. S. Reber, „Buraku Mondai in Japan: Historical and Modern Perspective and
Directions For The Future From The Perspective of an American Researcher ‟, Harvard Human
1
sebutan bagi kelompok manusia yang dinilai tidak masuk dalam kelas atau kasta
manapun pada jaman pemerintahan Tokugawa. Burakumin dinilai menjalani
pekerjaan kotor berdasarkan parameter kebudayaan Shinto dan Buddha, sebuah
pekerjaan yang berhubungan dengan darah dan kematian seperti pemotong
daging, pekerja yang berhubungan dengan menguliti hewan, kremator, penjaga
makam. Burakumin yang sesungguhnya tidak memiliki perbedaan etnis,
linguistik, dan ras kemudian diharuskan untuk menempati wilayah pemukiman
khusus dan memakai pakaian khas yang keduanya berguna sebagai tanda status
sosial mereka.
Burakumin sebagai kelompok minoritas yang mengalami diskriminasi dan
pengucilan di berbagai aspek kehidupan, pada akhirnya menemui keterbatasan
dalam mengembangkan potensi diri dan pemenuhan kebutuhan hidupnya.
Keterbatasan sosial dan ekonomi adalah dua aspek penting yang mengarahkan
terbentuknya kedekatan Burakumin pada kelompok masyarakat tertentu, pada
kelompok masyarakat lain yang menerima identitas tercela Burakumin sebagai
sebuah hal yang wajar. Dan salah satu kelompok yang menerima status
Burakumin adalah kelompok Yakuza. Yakuza merupakan sindikat kriminal
tradisional yang terorganisir di Jepang dan memiliki sebutan Boryokudan oleh
polisi Jepang, atau yang dapat diartikan sebagai kelompok kekerasan. Yakuza
yang dilihat sebagai mafia Jepang adalah sebuah organisasi yang banyak
melakukan pelanggaran kriminal dan menerima bayaran dalam melakukan setiap
aksinya sehingga citra buruk sangat melekat erat dalam keanggotaan atau
kedekatan seseorang pada organisasi ini. Keanggotaan Yakuza sendiri dikatakan
amat terbuka, dengan pengertian keabsenan mereka untuk memperhatikan latar
belakang calon anggota dan bersedia menerima serta mengurus setiap anggota
yang masuk apabila terdapat kesanggupan loyalitas dalam pengabdiannya.
Karena keluwesan yang ada dalam mekanisme keanggotaan maka tidak
jarang ditemukan anggota Yakuza yang merupakan anak muda yang ditelantarkan
orangtuanya, anak muda yang putus sekolah, dan kelompok minoritas yang
mengalami diskriminasi seperti Korea, Cina dan Burakumin. Mengenai
7
Buraku Liberation and Human Rights Research Institute, Buraku Problem Q&A (online),
1995, < http://blhrri.org/blhrri_e/Q_and_A/A017.htm>, diakses 15 Desember 2013.
5
kelompok, berdasarkan sesuatu yang biasanya bersifat kategorial, atau atribut-
atribut khas, seperti berdasarkan ras, kesukubangsaan, agama, atau keanggotaan
kelas-kelas sosial.8 Sedangkan mengacu dari pernyataan Perserikatan Bangsa-
Bangsa, diskriminasi adalah segala perilaku yang dilakukan dengan dasar
pembedaan secara alamiah atau pengkategorian masyarakat, yang tidak ada
hubungannya dengan kemampuan individu atau jasanya. Berdasarkan definisi-
definisi tersebut, maka diskriminasi dapat diartikan sebagai sebuah ketidakadilan
dalam bermasyarakat yang terbentuk oleh prasangka dan sentimen sosial dan
bertujuan lebih jauh untuk menghindari adanya kepemilikan sumber daya serta
akses-akses tertentu. Diskriminasi dapat terjadi dengan dibentuknya prasangka
pada individu atau kelompok tertentu, kemudian berlanjut dengan terbentuknya
cap buruk (stigma/ stereoype). Cap buruk ini sulit diubah, walaupun telah
diusahakannya pola positif yang berkebalikan dari yang ditanamkan. Cap buruk
ini dipelajari seseorang dari pengaruh sosial seperti masyarakat, tetangga,
keluarga, orang tua, sekolah, media massa, dan lain-lain. Diskriminasi terjadi
ketika keyakinan atas cap buruk dan prasangka itu sudah berubah menjadi aksi.
Diskriminasi adalah tindakan memperlakukan orang lain tidak adil hanya karena
dia berasal dari kelompok sosial tertentu.9 Diskriminasi dalam prakteknya dapat
dikategorikan ke dalam diskriminasi berdasarkan jenis dan diskriminasi menurut
tipe. Diskriminasi menurut jenis adalah yang terbagi menjadi (a) diskriminasi
suku/etnis, ras, agama, (b) diskriminasi jenis kelamin, (c) diskriminasi
penyandang cacat, (d) diskriminasi terhadap penderita HIV/AIDS, (e)
diskriminasi dikarenakan kasta sosial.10
Identitas adalah sebuah hal yang diberikan oleh sosial, dipertahankan dan
dibentuk dan memiliki empat aspek. Aspek pertama adalah identitas sebagai
atribut diri sebagai objek di situasi sosial atau peran sosial, kedua adalah identitas
sebagai hal relasional, ketiga adalah identitas sebagai sebuah hal yang refleksif,
8
M. Fulthoni A., Memahami Diskriminasi: Buku Saku Kebebasan Beragama, The
Indonesian Legal Resource Center, Jakarta, 2009, p.5.
9
M. Fulthoni A.,p. 6.
10
M. Fulthoni A.,p. 4
6
keempat adalah identitas sebagai sumber motivasi.11 Teori identitas adalah teori
yang berfokus pada pembentukan identitas diri dari makna-makna yang
diasosiasikan dengan pelaksanaan sebuah peran (role). Diri sendiri adalah sesuatu
yang refleksif sehingga dapat dilihat sebagai objek dan dapat dikategorikan,
diklasifikasikan, atau dinamakan sedemikian rupa terkait hubungannya dengan
kategori atau klasifikasi sosial lainnya di dalam masyarakat yang terstruktur. 12
Proses tersebut dikenal dengan self-verification dalam teori identitas, dan dikenal
dengan self-categorizations dalam teori identitas sosial. Dalam teori identitas,
self-verification berperan penting dalam pembentukan identitas individu dan
sangat dipengaruhi oleh struktur masyarakat yang ada. Menurut Burke, Tully dan
Thoits dalam tulisan Strets dan Burke, inti identitas dari teori identitas adalah
kategorisasi diri akan kepemilikan peran, dan penyertaan, kedalam dirinya, akan
makna dan ekspektasi yang berasosiasi dengan peran tersebut dan performanya.13
Ekspektasi dan makna tersebut membentuk kumpulan ukuran dasar akan panduan
perilaku. Pembentukan identitas karenanya sangat dipengaruhi oleh aktivitas dan
kepemilikan atau pengontrolan sumber daya, sehingga hal ini juga dipengaruhi
struktur sosial individu tersebut di masyarakat. Dengan demikian, teori identitas
lebih terfokus terhadap struktur dan fungsi identitas individual, yang berhubungan
dengan peran perilaku yang dimainkan di masyarakat.
Teori identitas sosial adalah teori psikologi sosial yang digagas oleh Henri
Tajfel pada tahun 1957, dan didalamnya menjelaskan mengenai prasangka,
stereotip, diskriminasi, perubahan sosial, dan konflik antar kelompok. Identitas
sosial merupakan bentuk keterikatan dan kebanggaan akan keanggotaan seseorang
dalam kelompok sosial tertentu karena adanya pengetahuan akan kesesuaian diri,
baik emosi atau nilai, pada kategori atau kelompok sosial tertentu. Berhubungan
dengan identitas sosial, terdapat konsep kategori sosial yang dapat menjelaskan
keberadaan keberagaman identitas sosial di masyarakat. Kategori sosial adalah
pembagian individu berdasarkan ras, kelas, pekerjaan, jenis kelamin, agama, dan
11
P. J. Burker, „The Self: Measurement Requirements from an Interactionist Perspective‟, In
Social Psychology Quaterlt, 1980, p.18.
12
J. E. Stets, P. J. Burke, „Identity Theory and Social Identity Theory‟, Social Psychology
Quarterly, 2000, vol. 63, no. 3, 224-237, Washington State University, p. 224.
13
J. E. Stets, P. J. Burke, p. 225.
7
lain-lain. Adanya pembagian berdasarkan beberapa hal tersebut akhirnya
mengklasifikasikan objek-objek ke dalam kategori-kategori kelompok sosial
tertentu. Dalam teori identitas sosial, identitas sosial seseorang adalah
pengetahuan akan kesesuaian diri pada kategori atau kelompok sosial tertentu.
Kelompok sosial adalah sekumpulan individu yang memiliki identifikasi sosial
bersama atau memandang dirinya sebagai anggota dari kategori sosial yang sama.
Proses komparasi sosial membedakan kelompok menjadi dua, yakni in-group
yang dipandang memiliki persamaan dengan identitas sosial kelompok dan out-
group yang dipandang memiliki perbedaan dengan identitas sosial kelompok.14
Identitas yang terbentuk berdasarkan teori identitas sosial adalah hasil dari
depersonalization atau hasil pandangan pada diri sebagai penjelamaan prototipe
in-group dibandingkan dengan individu yang unik. Menurut Sarben & Allen,
identitas sosial berfungsi sebagai acuan keberadaan posisi individu dimanakah
tingkat sosialnya dengan persamaan serta perbedaan yang ada padanya. Tajfel dan
Turner berpendapat bahwa individu seringkali membagi dunia sosial ke dalam
"mereka" dan "kita" berdasarkan melalui proses kategorisasi sosial (yaitu
penempatan individu ke dalam kelompok-kelompok sosial)15. Yang memiliki
kesamaan dimasukkan dalam in-group (kita) dan yang memiliki perbedaan
dimasukkan dalam out-group (mereka). Teori identitas sosial menyatakan bahwa
dalam kelompok akan melakukan diskriminasi terhadap out-group untuk
meningkatkan citra diri mereka. Hipotesis utama teori identitas sosial adalah
bahwa anggota dari dalam kelompok akan berusaha untuk menemukan aspek
negatif dari out-group, sehingga meningkatkan identitas sosial mereka.
Kultur Jepang yang menggambarkan pembedaan perlakuan pada in-group
dan out-group adalah yang dikenal dengan uchi-soto. Uchi-soto adalah
pandangan umum mengenai hubungan sesama manusia yang tertanam kuat pada
masyarakat Jepang dan berkaitan dengan sistem ie, uchi dapat didefinisikan
sebagai keluarga/ orang dekat/ orang dalam/ orang dalam kelompok yang sama
14
J. E. Stets, P. J. Burke, p. 225.
15
Employers Network for Equality and Inclusion, The Nature of Bias and Discrimination
(online), < http://www.enei.org.uk/pages/the-nature-of-bias-and-discrimination-.html>, diakses 15
Desember 2013.
8
sedangkan soto didefinisikan sebagai orang asing yang berasal dari luar
16
kelompok. Dikotomi uchi-soto menghasilkan hal positif dan hal negatif. Hal
positif dari kultur ini adalah terbentuknya ikatan kekeluargaan yang cukup kuat
pada masyarakat, namun hal negatif yang ditimbulkan adalah ketidaksukaan
masyarakat Jepang pada individu atau kelompok yang dinilai bukan bagian
dirinya.
Berdasarkan penjelasan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa setiap
individu memiliki identitas, baik identitas personal maupun sosial. Ketika
individu akan bergabung pada sebuah kelompok maka sesungguhnya pada dirinya
melekat identitas personal dan ketika ia telah menjadi anggota sebuah kelompok
kemudian ia akan mengidentifikasi diri pada kelompoknya. Keadaan seperti inilah
yang dapat menyebabkan identitas personalnya terabaikan, atau dengan kata lain
akan tercampur atau tertutupi oleh identitas sosial. Tetapi demikian, dapat pula
ditemukan kejadian dimana hubungan antara indentitas personal dengan identitas
sosial sangat dekat dan karenanya identitas personal dapat mendominasi identitas
sosial kelompok. Pada akhirnya, terlihat kecenderungan individu dalam
melakukan pemilihan kelompok yang memiliki kesamaan antara identitas
personal dan identitas kelompok terkait, dengan alasan untuk memudahkan
individu dalam melakukan penyesuaian terhadap kelompoknya atau identitas
sosialnya.
1.4. Hipotesis
Dari uraian diatas, maka dapat diambil dua hipotesis sementara, yaitu:
Pertama, adanya kedekatan yang terjalin antara Burakumin dan Yakuza adalah
hasil dari perubahan pada sistem feodal Era Tokugawa sehingga menjadikan
Burakumin sebagai kelompok sosial yang tersingkirkan dan melahirkan kelompok
hatamoto-yakko yang pada perkembangannya justru berubah menjadi kelompok
pengganggu keamanan (Yakuza). Adanya teori Nihonjinron menempatkan
identitas Burakumin dan Yakuza sebagai kelompok yang tidak diakui dan layak
16
R. Davies, O. Ikeno, The Japanese Mind: Understanding Contemporary Culture, Tuttle
Publishing, Singapore, 2002, p.219.
9
untuk didiskriminasi. Terdapatnya diskriminasi sosial, khusunya dalam aspek
ekonomi pada kelompok Burakumin menciptakan penyempitan kesempatan
lapangan pekerjaan dan pada akhirnya banyak Burakumin memilih menjadi
Yakuza karena adanya kemudahan dalam proses keanggotaannya. Citra buruk
yang ada pada Yakuza sendiri memang didukung dengan aktivitas kriminal yang
dilakukannya dan citra buruk dari masing-masing anggotanya sehingga
bergabungnya kaum Burakumin dalam Yakuza merupakan tindakan yang
disambut hangat oleh Yakuza. Kedekatan Burakumin dan Yakuza akhirnya dapat
dikatakan sebagai hasil akan persamaan identitas sosial di Jepang, persamaan
tersebut menciptakan kelompok yang mutualisme dimana interaksi yang ada pada
kedua kelompok ini adalah saling mendukung walaupun terdapat sentimen
eksternal yang mengarahkan kedua kelompok ini untuk berdekatan.
10
1.5. Jangkauan Penelitian
Penulisan akan difokuskan pada pengaruh identitas pada kedekatan
kelompok Burakumin dan Yakuza, dan korelasinya pada penerimaan identitas
Burakumin di masyarakat Jepang. Dalam penulisannya, penulis akan memberikan
penjelasan akan bentuk-bentuk diskriminasi Burakumin dan Yakuza, baik pada
masa lalu dan kontemporer, yang kemudian memungkinkan terjadinya kedekatan
kelompok diantara dua kelompok minoritas ini. Korelasi tindakan diksriminasi
dan kedekatan Burakumin dengan kelompok sosial lain, yakni Yakuza dipaparkan
dalam ilustrasi kasus Kunihiko Konishi dan Hiromu Nonaka. Kemudian penulis
akan mengelaborasikan keberadaan faktor identitas dan struktur sosial dalam
pemikiran dan tindakan diskriminatif di Jepang. Fokus penulisan juga diarahkan
dalam pencarian reaksi dan pandangan masyarakat Jepang pada Burakumin terkait
dengan identitas Burakumin yang mengalami percampuran dengan identitas
kelompok Yakuza di Jepang.
12