Benih Ikan Gabus (Channa striata) Yang Dipelihara pada Tingkat Suhu Berbeda”
Latar Belakang
Secara fisiologis, pertumbuhan pada ikan didefinisikan sebagai peningkatan jumlah dan ukuran
sel seiring dengan perubahan kalori, dimana kondisi ini dipengaruhi oleh sejumlah faktor, baik
biotik seperti asupan nutrisi dan individu, maupun abiotik terutama lingkungan (Johnston,
2001; Zhang et al., 2017). Salah satu faktor lingkungan yang secara signifikan berpengaruh
langsung terhadap proses fisiologis pada ikan adalah suhu (Reinecke, 2018). Adanya
perubahan suhu lingkungan, sangat berimplikasi dengan respon pertumbuhan pada ikan, yang
terintegrasi dengan sinyal endokrin dan autokrin-parakrin (Baras et al., 2011; Boltaña et al.,
2017; Sun & Chen, 2014). Selain itu, ikan merupakan organisme poikilotherm, dimana
memiliki kemampuan yang terbatas dalam mengontrol dan meregulasi suhu tubuhnya (Lohmus
et al., 2010). Studi kasus pada Patin Thailand (Pangasionodon hypophthalmus) menunjukkan
bagaimana pada kondisi suhu rendah (24 oC) mampu menurunkan performa pertumbuhan dan
menaikkan nilai FCR (Feed Conversion Ratio) dibandingkan pada kelompok ikan yang
dipelihara pada suhu tinggi (32 oC) dimana mampu meningkatkan performa pertumbuhan dan
menurunkan nilai FCR secara signifikan (Islam et al., 2019). Selain itu, adanya perbedaan
perbedaan fase hidup ikan, serta karakteristik antar spesies baik genotip maupun fenotip, juga
mempengaruhi bagaimana respon pertumbuhan yang diakibatkan perubahan atau perbedaan
suhu (Gabillard et al., 2005; Lohmus et al., 2010). Lebih lanjut, suhu yang dapat menghasilkan
pertumbuhan yang cepat disebut dengan suhu optimum untuk pertumbuhan (Toopt) (Baras et
al., 2011). Toopt sangat bervariasi berdasarkan spesies, faktor geografis, serta fase hidup dan
ukuran ikan (Jobling, 1997).
Selain pertumbuhan, respon fisiologis lainnya adalah bagaimana kemampuan ikan dalam
beradaptasi dengan baik pada kondisi suhu yang fluktuatif, terutama pada kondisi lingkungan
alam (Beitinger et al., 2000). Kemampuan ikan dalam menjaga keseimbangan homeostatis
secara efisien ketika menghadapi suatu rangsangan berbaya, disebut dengan stress (Schreck &
Tort, 2016). Pada kondisi stress, akan terjadi dua jenis respon, yaitu respon primer dan
sekunder (Porchas et al., 2009). Respon primer terjadi ketika terdapatnya perubahan pada
central nervous system (CNS), sehingga melepaskan hormon-hormon stress seperti kortisol
dan kartekolamin (adrenalin dan epineprin) melalui aliran darah oleh sistem endokrin.
Sedangkan respon sekunder merupakan konsekuensi dari terlepasnya hormon-hormon stress
tersebut, sehingga menyebabkan terjadinya perubahan secara kimia pada darah dan jaringan,
serta peningkatan plasma glukosa (Pankhurst, 2011). Salah satu indikator penting yang umum
digunakan dalam melihat bagaimana respon ikan ketika berada pada kondisi stress adalah
kortisol (Kulczykowska et al., 2018; Teles et al., 2017). Hormon ini dihasilkan karena adanya
perubahan fungsi mekanisme dari Hypothalamus-Pituitary-Interrenal (HPI) (Mommsen et al.,
1999). Lebih lanjut, jika ikan tidak mampu mengendalikan kondisi stressnya oleh karena
melewati ambang batas toleransi terhadap suhu, maka kematian akibat rusaknya fungsi
fisiologis ini adalah hal yang sangat mungkin terjadi (Fu et al., 2018).
Respon stress dan regulasi pertumbuhan pada ikan yang diakibatkan adanya pengaruh suhu,
merupakan dua hal yang secara fisologis tidak dapat dipisahkan (Eldridge et al., 2015). Pada
level genomik, diketahui kortisol memiliki peranan penting dalam mempengaruhi regulasi
pertumbuhan pada ikan (Faught & Vijayan, 2016). Selain itu pada level trasnkriptomik, kortisol
dalam mempengaruhi regulasi growth hormone (GH) untuk menginduksi insulin-like growth
factor (IGF-1) diketahui cukup konsisten. Pada Salmon (Oncorhynchus mykiss), tingginya
level kortisol secara signifikan menurunkan ekspresi IGF-1 (Leung et al., 2008; Philip &
Vijayan, 2015), begitu juga pada Tilapia (Oreochromis mossambicus) (Andrew L. Pierce et al.,
2011). Sehingga, ketika ikan berada pada kondisi stress, terjadinya resitensi GH pada hati, akan
menurunkan ekspresi IGF-1 (Pierce et al., 2005). Atas dasar kedua hal tersebut, ekspresi IGF-
1 dapat dijadikan sebagai indikator utama untuk menilai bagaimana regulasi pertumbuhan
dihasilkan ketika ikan berada pada kondisi stress akibat adanya suhu diluar kondisi normal,
terutama ikan yang hidup di perairan tropis (Pankhurst, 2011). Selain itu pemilihan assay yang
digunakan dalam menganalisis level kortisol juga perlu diperhitungkan. Penggunaan sample
darah (whole body) merupakan cara klasik untuk mengetahui level kortisol (Baker et al., 2013).
Namun metode ini diketahui belum mampu merapkan prinsip animal welfare, dan bahkan
sangat dikhawatirkan jika penanganan dalam pengambilan sample tidak tepat, stress akan lebih
disebabkan oleh kegiatan itu sendiri (Marino et al., 2008). Alternatif sumber sample dari
mukosa kulit, diketahui memiliki hasil yang tidak jauh berbeda dengan sample berupa darah
dalam menilai level kortisol pada ikan (Carbajal et al., 2019).
Gabus (Channa striata) merupakan salah satu ikan yang hidup di perairan tropis, sekaligus
salah satu komoditas konsumsi yang memiliki nilai ekonomis tinggi asli Indonesia (Muslim,
2007; Muthmainnah, 2013). Namun tingginya tingkat penangkapan di alam terhadap ikan ini,
tidak diimbangi dengan hasil yang diperoleh (Muslim, 2019; Muthmainnah, 2013). Padahal
ketersediaannya sangatlah penting, dikarenakan memiliki beberapa manfaat kesehatan, salah
satunya sebagai sumber albumin untuk membantu proses penyembuhan luka (Romadhoni et
al., 2016). Faktanya kandungan asam amino, antioksidan dan kemampuan protein dalam
menghambat kerja angiotensin converting enzyme (ACE)/antihipertensi pada ikan gabus hasil
budidaya, jauh lebih tinggi dibandingkan ikan gabus hasil tangkapan (Chasanah et al., 2015).
Oleh karena itu, pengembangan dalam budidaya gabus menjadi tantangan tersendiri serta
diprediksi memiliki prospek yang menjanjikan (Muslim, 2007). Selain itu, juga diperlukan
informasi spesifik untuk meningkatkan produktifitas budidaya, terlebih jika pembudidaya ingin
menerapkan konsep akukultur presisi. Salah satunya, berkenaan dengan dengan karakteristik
lingkungan perairan yang optimal untuk meningkatkan performa pertumbuhan, sebab diketahui
gabus memiliki performa pertumbuhan yang lambat (Muntaziana et al., 2015), dalam hal ini
adalah suhu. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pada tingkat suhu
berapa gabus mampu tumbuh dengan optimal melalui analisis ekspresi IGF-1, serta
mempelajari tingkat stress yang diakibatkan oleh pengaruh suhu tersebut berdasarkan level
kortisol pada mukosa kulit.
Pernyataan Masalah
Berdasarkan paparan pada latar belakang, maka diketahui bahwa Gabus (Channa striata)
memiliki performa pertumbuhan yang lambat, serta FCR yang tinggi (3.5) (Muntaziana et al.,
2015; Muthmainnah, 2013). Kendala tersebut akan berdampak pada menurunnya produktifitas
budidaya gabus.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pada tingkat suhu berapa gabus mampu tumbuh
dengan optimal (Toopt,), melalui analisis ekspresi IGF-1, serta mempelajari tingkat stress yang
diakibatkan oleh pengaruh suhu tersebut berdasarkan level kortisol pada mukosa kulit.
Metode Penelitian
1. Waktu dan Tempat
Penelitian direncankan berlangsung selama 3 bulan, di Laboratorium Budidaya Perairan,
Jurusan Perikanan dan Kelautan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung.
2. Rancangan Penelitian
Rancangan pada penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (Completely
Randomized Design) dengan empat perlakuan dan tiga kali ulangan yaitu:
Kontrol (-) : Suhu normal perairan pada 27 - 28 oC
Perlakuan 1 : Suhu rendah perairan pada ± 17 oC
Perlakuan 2 : Suhu tinggi perairan pada ± 31 oC
Model Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang digunakan adalah:
Yij = µ + τi + εij
Keterangan:
Yij : data pengamatan perlakuan pemeliharaan ikan pada suhu ke-i, ulangan ke-j
µ : nilai tengah umum
τi : pengaruh pemberian perlakuan pemeliharaan ikan pada suhu ke-i
εij : galat percobaan pada perlakuan pemeliharaan ikan pada suhu ke-i, ulangan ke-j
i : perakuan pemeliharaan ikan K-, P1, P2
J : ulangan (1,2,3,4)
4. Ikan Uji
Ikan uji yang digunakan adalah larva gabus berumur 7 hari dengan ukuran (*dalam gram
dan mm), sebanyak 90 ekor untuk setiap ulangan. Karena, 2 ekor/l merupakan padat tebar
terbaik untuk pemeliharaan larva gabus (Mollah et al., 2009). Ikan dimasukkan secara
langsung kedalam media pemeliharaan yang sudah dalam kondisi suhu perlakuan (**). 20
sample ikan diukur setiap 2 pekan sekali untuk mengetahui performa pertumbuhan
(panjang dan bobot) untuk setiap perlakuan (Vahira, 2019). Untuk menganalisis ekspresi
igf-1 dan level kortisol, diambil sebanyak 1 individu untuk setiap ulangan (*) setiap 2 pekan
sekali. Jika terdapat ikan yang mati, maka dihitung jumlahnya serta panjang dan bobotnya.
Pita DNA yang terbentuk merupakan produk PCR yang telah diseparasi, kemudian
dipotong dari gel agarose dan dipurifikasi (*), sehingga dapat disimpan dalam freezer pada
suhu -20 oC, sehingga selanjutnya dapat dilakukan sekuensing untuk mengetahui sekuen
spesifik gen IGF-1 gabus. Proses ini dapat dilakukan menggunkan teknologi Next
Generation Sequencing (NGS) seperti Illumina Solexa sequencing technology. Untuk
mengetahui kesamaan sekuen dengan spesies ikan lain, dapat menggunakan program
BLAST® (https://blast.ncbi.nlm.nih.gov/Blast.cgi). Sekuen yang telah diketahui dapat
dijadikan sumber penentuan primer spesifik gen IGF-1 untuk analisis ekspresi gen.
7. Ekspresi gen dari setiap sample yang diambil, dapat diamati menggunakan metode real-
time PCR (qPCR). Untuk menghitung tingkat ekspresi gen, data hasil amplifikasi diolah
berdasarkan metode comparative Ct (Livak & Schmittgen, 2011), karena tidak
membutuhkan running kurva standar. Normalisasi menggunakan house keeping gene
(HKG) yaitu β-aktin.
Keterangan symbol
* dalam konfirmasi lebih lanjut
** membutuhkan referensi