Anda di halaman 1dari 9

1.

1 Pengertian Perpajakan

Pajak didefinisikan sebagai kontribusi wajib kepada Negara yang terutang oleh seorang
pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang. Undang-undang
Republik Indonesia nomor 6 tahun 1983 tentang ketentuan umum dan tata caraa
perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan undang-undang
Republik Indonesia nomor 16 tahun 2009, pasal 1 ayat 1.
Terdapat beberapa unsur penting pajak yang bisa definisikan:
 Pajak merupakan kontribusi wajib
 Pajak dibebankan kepada orang pribadi atau badan
 Pajak bersifat memaksa
 Pajak memiliki landasan hokum berupa undang-undang
 Kewajiban perpajakan tidak disertai imbalan secara langsung
 Pajak digunakan Negara untuk kemakmuran rakyat

Pajak berperan penting dalam dalam memenuhi pembiayaan pemerintah. Pemerintah


memperhitungkan besarnya tariff pajak , serta pihak mana saja yang diwajibkan
membayar pajak.

1.2 Sejarah Perpajakan

Sejarah pajak telah ada sejak zaman sebelum masehi, sebagai contoh pada Zaman Mesir
Kuno pada zaman fir’aun telah dikenal dengan istilah Scribe bagi para penarik pajak,
namun pengenaan pajak langsung sebagai cikal bakal dari pajak penghasilan terdapat
pada zaman Romawi Kuno, antara lain dengan adanya pungutan yang bernama tributum
yang berlaku sampai dengan tahun 167 Sebelum Masehi, dan ada juga istilah
Portoria,yaitu pemungutan pajak yang berhubungan dengan bea masuk barang.

Pada saat abad pertengahan,Inggris terkenal dengan perang yang berlangsung selama 100
tahun dengan Perancis yang berakhir sekitar tahun 1453 M.Pada saat itu,mulai dikenal
sistem pajak yang dikenakan atas penghasilan,pajak kekayaan,kantor dan pajak seorang
pendeta.Pada saat itu,pajak tanah juga mulai muncul pajak atas kepemilikan tanah dan
bangunan. Khusus Pengenaan pajak pajak penghasilan secara eksplisit yang diatur dalam
suatu Undang-undang sebagai Income Tax baru dapat ditemukan di Inggris pada tahun
1799. Di Amerika Serikat, pajak penghasilan untuk pertama kali dikenal di New
Plymouth pada tahun 1643, di mana dasar pengenaan pajak adalah ” a person’s faculty,
personal faculties and abilitites”, Pajak di Amerika Serikat diatur oleh Undang-Undang
Pajak Federal tahun 1861 yang selanjutnya telah beberapa kali mengalami tax reform,
terakhir dengan Tax Reform Act tahun 1986. Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan (tax
return) yang dibuat pada tahun 1860-an berdasarkan Undang-Undang Pajak Federal
tersebut telah dipergunakan sampai dengan tahun 1962.

Sejarah pengenaan Pajak Penghasilan di Indonesia dimulai dengan adanya tenement tax
(huistaks) pada tahun 1816, yakni sejenis pajak yang dikenakan sebagai sewa terhadap
mereka yang menggunakan bumi sebagai tempat berdirinya rumah atau bangunan. Pada
periode sampai dengan tahun 1908 terdapat perbedaan perlakuan perpajakan antara
penduduk pribumi dengan orang Asia dan Eropa, dengan kata lain dapat dikatakan bahwa
terdapat banyak perbedaan dan tidak ada uniformitas dalam perlakuan perpajakan
Tercatat beberapa jenis pajak yang hanya diperlakukan kepada orang Eropa seperti
“patent duty”. Sebaliknya business tax atau bedrijfsbelasting untuk orang pribumi. Sejak
tahun 1882 hingga 1916 dikenal adanya Poll Tax yang pengenaannya berdasarkan status
pribadi, pemilikan rumah dan tanah.

Pada zaman Perang Dunia II diberlakukan Oorlogsbelasting (Pajak perang) menggantikan


ordonansi yang ada dan pada tahun 1946 diganti dengan nama Overgangsbelasting (Pajak
Peralihan). Dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1957 nama Pajak Peralihan diganti
dengan nama Pajak Pendapatan tahun 1944 yang disingkat dengan Ord. PPd. 1944. Pajak
Pendapatan sendiri disingkat dengan PPd.

Ord. PPd. 1944 setelah beberapa kali mengalami perubahan terutama dengan perubahan
tahun 1968 yakni dengan adanya UU No. 8 tahun 1967 tentang Perubahan dan
Penyempurnaan Tatacara Pemungutan Pajak Pendapatan 1944, Pajak Kekayaan 1932 dan
Pajak Perseroan 1925, yang lebih terkenal dengan “UU MPO dan MPS”. Yang dimaksud
dengan tata cara Menghitung Pajak Sendiri (M.P.S.) dan Menghitung Pajak Orang Lain
(M.P.O.) tersebut ialah:

1. Menghitung Pajak Sendiri (M.P.S.) ialah tata cara, dimana wajib pajak menghitung dan
membayar sendiri jumlah pajak-pajak; Pendapatan/Kekayaan/Perseroan yang menurut
ordonansi-ordonansi pajak yang bersangkutan terhitung dalam suatu masa pajak.
2. Dalam rangka pelaksanaan tata cara Menghitung Pajak Sendiri (M.P.S.) tersebut diatas,
dapat ditunjuk orang/badan lain, yang melakukan perhitungan dan pembayaran pajak-
pajak yang menurut ordonansi-ordonansi pajak yang bersangkutan terhutang dalam suatu
masa pajak. Tata cara ini dinamakan Menghitung Pajak Orang Lain (M.P.O).

1.3 Sistem Perpajakan

Sejak tahun 1983, pemerintah Indonesia telah mengubah sistem pemungutan pajak
semula menggunakan official assessment (dipakai saat era kolonial Belanda) menjadi
selft assessment. Perbedaan dari dua sistem ini ialah pada sistem official assessment,
wewenang menetapkan besaran pajak ada pada pemerintah sedangkan pada selft
assessment wewenang tersebut ada pada wajib pajak.
Sebelum masuknya Belanda pajak dikenal dengan istilah upeti. Upeti dipungut oleh raja
untuk kepentingan pribadi dan oprasional kerajaannya. Misalnya untuk membangun
sebuah kerajaan atau membiayai rumah tangga kerajaan. Jenis pajak yang diberlakukan di
era ini misalnya pajak told an pajak candu.
Saat Indonesia dijajah Belanda kita mengenal sistem perpajakan modern. Salah satu jenis
pajak yang berlaku saat itu diantaranya pajak rumah tinggal yang diberlakukan tahun
1839 dan pajak usaha. Pemerintah kolonial Belanda juga membedakan besar tarif pajak
berdasarkan kewarganegaraan wajib pajak .
Dasar hukum yang mengatur perpajakan di Indonesia pada saat era kemerdekaan
diantaranya:
 Undang-undag ketentuan umum dan tata cara perpajakan yang diatur dalam UU
No. 6/1983 dan diperbaharui oleh UU No. 16/2000.
 Undang-undang pajak penghasilan (PPh) yang diatur dalam UU No. 7/1983 dan
diperbaharui oleh UU No. 17/2000.
 Undang-undang pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan yang diatur dalam
UU No. 8/1983 menjadi UU No. 18/2000
 Undang-undang penghasilan pajak dan surat paksa yang diatur dalam UU No.
19/1997 dan diganti menjadi UU No 19/2000.
 Undang undang pengadilan pajak yang diatur dalam UU No. 14/2002.

Selain memiliki dasar hukum pajak di Indonesia juga memiliki berbagai asas yang
berlaku, diantaranya :

 Asas finansial.
 Asas ekonomis.
 Asas yuridis.
 Asas umum.
 Asas sumber.
 Asas kebangsaan atau nasionalitas, dan
 Asas wilayah atau territorial.

1.4 Fungsi Dan Peranan Pajak Dalam Pembangunan

Pajak memiliki peranan yang signifikan dalam kehidupan bernegara, khususnya


pembangunan. Pajak merupakan sumber pendapatan negara dalam membiayai seluruh
pengeluaran yang dibutuhkan, termasuk pengeluaran untuk pembangunan. Sehingga
pajak mempunyai beberapa fungsi, antara lain:

1. Fungsi Anggaran (Fungsi Budgeter)

Pajak merupakan sumber pemasukan keuangan negara dengan cara mengumpulkan dana
atau uang dari wajib pajak ke kas negara untuk membiayai pembangunan nasional atau
pengeluaran negara lainnya. Sehingga fungsi pajak merupakan sumber pendapatan negara
yang memiliki tujuan menyeimbangkan pengeluaran negara dengan pendapatan negara.

2. Fungsi Mengatur (Fungsi Regulasi)

Pajak merupakan alat untuk melaksanakan atau mengatur kebijakan negara dalam
lapangan sosial dan ekonomi. Fungsi mengatur tersebut antara lain:

 Pajak dapat digunakan untuk menghambat laju inflasi.


 Pajak dapat digunakan sebagai alat untuk mendorong kegiatan ekspor, seperti: pajak
ekspor barang.
 Pajak dapat memberikan proteksi atau perlindungan terhadap barang produksi dari
dalam negeri, contohnya: Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
 Pajak dapat mengatur dan menarik investasi modal yang membantu perekonomian
agar semakin produktif.
3. Fungsi Pemerataan (Pajak Distribusi)

Pajak dapat digunakan untuk menyesuaikan dan menyeimbangkan antara pembagian


pendapatan dengan kebahagiaan dan kesejahteraan masyarakat.

4. Fungsi Stabilisasi

Pajak dapat digunakan untuk menstabilkan kondisi dan keadaan perekonomian, seperti:
untuk mengatasi inflasi, pemerintah menetapkan pajak yang tinggi, sehingga jumlah uang
yang beredar dapat dikurangi. Sedangkan untuk mengatasi kelesuan ekonomi atau deflasi,
pemerintah menurunkan pajak, sehingga jumlah uang yang beredar dapat ditambah dan
deflasi dapat di atasi.

1.5 Syarat Undang-Undang Bagi suatu Negara


A. Syarat Keadilan
Syarat pemungutan pajak pada umumnya harus adil dan merata, yaitu dikenakan
kepada orang-orang pribadi sebanding dengan kemampuannya untuk membayar
(ability to pay) pajak tersebut, sesuai dengan manfaat yang diterimanya.
Syarat keadilan dapat dibagi menjadi:
1. Keadilan HorizontalWajib Pajak yang mempunyai kemampuan membayar
(gaya pikul) sama harus dikenakan pajak yang sama
2. Wajib Pajak yang mempunyai kemampuan membayar (gaya pikul) tidak sama
harus dikenakan pajak yang tidak sama.
B. Syarat Yuridis
Pembayaran pajak harus seimbang dengan kekuatan membayar wajib pajak.

C. Syarat Ekonomis
Pungutan pajak harus menjaga keseimbangan kehidupan ekonomi dan tidak boleh
mengganggu kehidupan ekonomis dari si wajib pajak.

D. Syarat Finansial
Di mana pajak yang dipungut cukup untuk pengeluaran Negara dan hendaknya
pemungutan pajak tidak memakan biaya yang terlalu besar.
Dengan makin banyak perusahaan-perusahaan di Indonesia, maka kebutuhan akan
mengenakan pajak terhadap pendapatan karyawan perusahaan muncul. Maka pada tahun
1935 ditetapkanlah Ordonansi Pajak Pajak Upah (loonbelasting) yang memberi kewajiban
kepada majikan untuk memotong Pajak Upah/gaji pegawai yang mempunyai tarif progresif
dari 0% sampai dengan 15%. Pada zaman Perang Dunia II diberlakukan Oorlogsbelasting
(Pajak perang) menggantikan ordonansi yang ada dan pada tahun 1946 diganti dengan nama
Overgangsbelasting (Pajak Peralihan). Dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1957 nama
Pajak Peralihan diganti dengan nama Pajak Pendapatan tahun 1944 yang disingkat dengan
Ord. PPd. 1944. Pajak Pendapatan sendiri disingkat dengan PPd. saja.
Ord. PPd. 1944 setelah beberapa kali mengalami perubahan terutama dengan perubahan
tahun 1968 yakni dengan adanya UU No. 8 tahun 1967 tentang Perubahan dan
Penyempurnaan Tatacara Pemungutan Pajak Pendapatan 1944, Pajak Kekayaan 1932 dan
Pajak Perseroan 1925, yang lebih terkenal dengan “UU MPO dan MPS”. Yang dimaksud
dengan tata cara Menghitung Pajak Sendiri (M.P.S.) dan Menghitung Pajak Orang Lain
(M.P.O.) tersebut ialah:
1. Menghitung Pajak Sendiri (M.P.S.) ialah tata cara, dimana wajib pajak menghitung dan
membayar sendiri jumlah pajak-pajak; Pendapatan/Kekayaan/Perseroan yang menurut
ordonansi-ordonansi pajak yang bersangkutan terhitung dalam suatu masa pajak.
2. Dalam rangka pelaksanaan tata cara Menghitung Pajak Sendiri (M.P.S.) tersebut diatas,
dapat ditunjuk orang/badan lain, yang melakukan perhitungan dan pembayaran pajak-pajak
yang menurut ordonansi-ordonansi pajak yang bersangkutan terhutang dalam suatu masa
pajak. Tata cara ini dinamakan Menghitung Pajak Orang Lain (M.P.O).

Landasan dilakukan perubahan penyempurnaan pemungutan pajak karena saat itu banyak
keluhan masyarakat terhadap berbagai aspek perpajakan yang dasarnya adalah manifestasi
dari perubahan sikap yang fundamental terhadap arti pajak/perpajakan itu sendiri. Dalam
hubungan ini, maka suatu kesimpulan yang logis ialah keharusan diadakannya perubahan
yang menyeluruh, baik sistim, materi maupun tata cara pelaksanaan pajak, agar terjawablah
kehendak wajib pajak yang mendambakan pajak sesuai dengan kemampuan Rakyat, rasa
keadilan serta kebutuhan pengeluaran Negara sehingga akan terpupuklah kesadaran bahwa
membayar pajak adalah merupakan kewajiban kepada Negara. Sebelum perubahan tersebut,
pada permulaan tahun, wajib pajak dikenakan ketetapan sementara berdasarkan
perkiraan/taksiran pejabat pajak untuk tahun yang berjalan. Kemudian pada akhir tahun,
wajib pajak harus memasukkan surat pemberitahuan, dimana harus diberitahukan besarnya
obyek pajak yang bersangkutan.

Kegiatan pemungutan pajak trelalu dititik beratkan kepada aktivitas aparat pajak, para wajib
pajak, baru diwajibkan membayar pajak, bilamana kepada mereka telah dikenakan/diberik
an surat ketetapan pajak. Surat ketetapan pajak itu baru dapat dikenakan, bilamana wajib
pajak
telah terdaftar pada tata usaha Inspeksi Pajak. Akibatnya yang tidak terdaftar, dengan
sendirinya “lolos” dari pembayaran pajak.

Perubahan lainnya adalah dengan UU No. 9 tahun 1970 , salah satunya adalah perubahan
kata-kata pada ordonansi masing-masing , dimana kalimat Menteri Iuran Negara menjadi
Menteri Keuangan, begitu juga untuk Kepala Jawatan Pajak menjadi Direktur Jenderal Pajak,
Kepala Direktorat Pajak Langsung menjadi Direktur Jenderal Pajak, Kepala Inspeksi
Keuangan menjadi Kepala Inspeksi Pajak. Dan sejak saat itu perpajakan di Indonesia tidak
terlepas dari Organisasi Direktorat Jenderal Pajak yang mengadministrasikan, memberi
bimbingan serta melaksanakan kebijakan di bidang perpajakan dalam rangka mengamankan
target penerimaan pajak untuk pembiayaan pembangunan. Dalam hal ini Organisasi
Direktorat Jenderal Pajak merupakan perpaduan dari beberapa unit organisasi yaitu :
a) Jawatan Pajak yang bertugas melaksanakan pemungutan pajak berdasarkan perundang-
undangan dan melakukan tugas pemeriksaan kas Bendaharawan Pemerintah;
b) Jawatan Lelang yang bertugas melakukan pelelangan terhadap barang-barang sitaan guna
pelunasan piutang pajak Negara;
c) Jawatan Akuntan Pajak yang bertugas membantu Jawatan Pajak untuk melaksanakan
pemeriksaan pajak terhadap pembukuan Wajib Pajak Badan; dan
d) Jawatan Pajak Hasil Bumi (Direktorat Iuran Pembangunan Daerah pada Ditjen Moneter)
yang bertugas melakukan pungutan pajak hasil bumi dan pajak atas tanah yang pada tahun
1963 diubah menjadi Direktorat Pajak Hasil Bumi dan kemudian pada tahun 1965 berubah
lagi menjadi Direktorat Iuran Pembangunan Daerah (IPEDA).
UU No. 8 tahun 1967 dan Undang-Undang No. 9 tahun 1970 berlaku sampai dengan tanggal
31 Desember 1983, yakni dengan diadakannya reformasi pajak di Indonesia, dengan terbitnya
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 mengenai Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan
Dalam reformasi pajak tahun 1983, hal mendasar adalah di diterbitkannya Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1983 mengenai Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan , dan menjadi
landasan dalam diterbitkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 mengenai Pajak
penghasilan, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang
dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.. Dalam reformasi pajak di tahun 1983 ini
diperkenalkan self assesment, menyederhanakan dan menurunkan tarif PPh dan
memberlakukan PPN (Pajak Pertambahan Nilai) sebagai pengganti PPn (Pajak Penjualan).

Perubahan mendasar dalam system pemungutan pajak (tax system reform) dari yang berlaku
sebelumnya (sejak masa penjajahan), yakni dari official assesment system menjadi self
assesment system. Dimana Pemerintah memberikan kepercayaan kepada masyarakat
terutama Wajib Pajak untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya sendiri, mulai dari
mendaftarkan diri sebagai Wajib Pajak (WP), menghitung pajaknya sendiri, membayar pajak
yang terutang, serta melaporkan kewajiban pajaknya melalui Penyampaian Surat
Pemberitahuan (SPT).

Dalam perjalanan reformasi pajak sejak tahun 1983 , diikuti dengan diterbitkannya Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai serta Undang-Undang Nomor 12 Tahun
1985 mengenai Pajak Bumi dan Bangunan. Pada tanggal 27 Desember 1985 melalui Undang-
undang RI No. 12 tahun 1985 Direktorat IPEDA berganti nama menjadi Direktorat Pajak
Bumi dan Bangunan (PBB). Demikian juga unit kantor di daerah yang semula bernama
Inspeksi Ipeda diganti menjadi Inspeksi Pajak Bumi dan Bangunan, dan Kantor Dinas Luar
Ipeda diganti menjadi Kantor Dinas Luar PBB.

Reformasi pajak tahun 1983 , antara lain dilandasi bahwa sistem perpajakan yang merupakan
landasan pelaksanaan pemungutan pajak negara yang berlaku, tidak sesuai lagi dengan
tingkat kehidupan sosial-ekonomi masyarakat Indonesia baik dalam segi kegotongroyongan
nasional maupun dalam laju pembangunan nasional yang telah dicapai; selain itu bahwa
sistem perpajakan yang tertuang didalam ketentuan-ketentuan perpajakan yang berlaku belum
dapat menggerakan peran serta semua lapisan subjek pajak yang besar peranannya dalam
meningkatkan penerimaan dalam negeri dan sangat diperlukan guna mewujudkan
kelangsungan dan meningkatkan pembangunan nasional; dan sesuai dengan amanat yang
terkandung dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia Nomor II/MPR/1983), perlu diadakan pembaharuan sistem
perpajakan yang berlaku dengan sistem yang memberikan kepercayaan kepada subjek pajak
untuk melaksanakan kewajiban serta memenuhi haknya di bidang perpajakan, sehingga dapat
mewujudkan perluasan dan peningkatan kesadaran kewajiban perpajakan serta meratakan
pendapatan masyarakat;

Dalam reformasi pajak tahun 1983 terjadi perubahan mendasar, dimana upaya yang telah
dilakukan dalam pemungutan pajak untuk untuk mengubah berbagai peraturan perundang-
undangan perpajakan belumlah menjawab secara fundamental tuntutan dan kebutuhan rakyat
tentang perlunya seperangkat peraturan perundang-undangan perpajakan yang secara
mendasar.
Peraturan perundang-undangan yang dimaksud harus dilandasi falsafah Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945, yang didalamnya tertuang ketentuan yang menjunjung tinggi
hak warga negara dan menempatkan kewajiban perpajakan sebagai kewajiban kenegaraan
dan merupakan sarana peran serta rakyat dalam bidang kenegaraan. Petunjuk akan perlunya
perubahan yang mendasar sebenarnya telah tertuang jelas sebagai amanat rakyat, seperti
tersurat dan tersirat dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara yang antara lain berbunyi:
“Sistem perpajakan terus disempurnakan, pemungutan pajak diintensifkan dan aparat
perpajakan harus makin mampu dan bersih”.

Oleh karena itu dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagai suatu
undang-undang di bidang perpajakan yang dilandasi falsafah Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945, harus berbeda dengan undang-undang perpajakan yang dibuat di zaman kolonial.
Perbedaan tersebut akan nyata terlihat dalam sistem dan mekanisme serta cara pandang
terhadap Wajib Pajak, yang tidak dianggap sebagai “obyek”, tetapi merupakan subyek yang
harus dibina dan diarahkan agar mau dan mampu memenuhi kewajiban perpajakannya
sebagai pelaksana kewajiban kenegaraan. Di segi lain tuntutan masyarakat terhadap adanya
“aparatur perpajakan yang makin mampu dan bersih”, dituangkan dalam berbagai ketentuan
yang bersifat pangawasan dalam undang-undang ini.
pajak tersebut adalah:
a) bahwa pemungutan pajak merupakan perwujuda n dari pengabdian kewajiban dan peran
serta Wajib Pajak untuk secara langsung dan bersama-sama melaksanakan kewajiban
perpajakan yang diperlukan untuk pembiayaan negara dan pembangunan nasional;
b) tanggung jawab atas kewajiban pelaksanaan pajak, sebagai pencerminan kewajiban di
bidang perpajakan berada pada anggota masyarakat Wajib Pajak sendiri. Pemerintah, dalam
hal ini aparat perpajakan sesuai dengan fungsinya berkewajiban melakukan pembinaan,
penelitian, dan pengawasan terhadap pelaksanaan kewajiban perpajakan Wajib Pajak
berdasarkan ketentuan yang digariskan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan;
c) anggota masyarakat Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk dapat melaksanakan
kegotongroyongan nasional melalui sistem menghitung, memperhitungkan, dan membayar
sendiri pajak yang terhutang (self assessment), sehingga melalui sistem ini pelaksanaan
administrasi perpajakan diharapkan dapat dilaksanakan dengan lebih rapi, terkendali,
sederhana dan mudah untuk dipahami oleh anggota masyarakat Wajib Pajak.

Ciri dan corak sistem pemungutan pajak tersebut sangat berbeda dengan sistem lama warisan
zaman kolonial yang antara lain:
a) tanggung jawab pemungutan pajak terletak sepenuhnya pada penguasa pemerintahan
seperti yang tercermin dalam sistem penetapan pajak yang keseluruhannya menjadi
wewenang administrasi perpajakan;
b) pelaksanaan kewajiban perpajakan, dalam banyak hal sangat tergantung dari pelaksanaan
administrasi perpajakan yang dilakukan oleh aparat perpajakan, hal mana mengakibatkan
anggota masyarakat Wajib Pajak kurang mendapat pembinaan dan bimbingan terhadap
kewajiban perpajakan dan kurang ikut berperan serta dalam memikul beban negara dalam
mempertahankan kelangsungan pembangunan nasional. Jelaslah bahwa sistem pemungutan
pajak yang ditentukan menurut Undang-undang ini, memberi kepercayaan lebih besar kepada
anggota masyarakat Wajib Pajak untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya.
c) Selain itu jaminan dan kepastian hukum mengenai hak dan kewajiban perpajakan bagi
Wajib Pajak lebih diperhatikan, dengan demikian dapat merangsang peningkatan kesadaran
dan tanggung jawab perpajakan di masyarakat.
d) Tugas administrasi perpajakan tidak lagi seperti yang terjadi pada waktu yang lampau,
dimana administrasi perpajakan meletakkan kegiatannya pada tugas
merampungkan/menetapkan semua Surat Pemberitahuan guna menentukan jumlah pajak
yang terhutang dan jumlah pajak yang seharusnyadibayar, tetapi menurut ketentuan undang-
undang ini administrasi perpajakan, berperan aktif dalam melaksanakan pengendalian
administrasi pemungutan pajak yang meliputi tugas-tugas pembinaan, penelitian,
pengawasan, dan penerapan sanksi administrasi. Pembinaan masyarakat Wajib Pajak dapat
dilakukan melalui berbagai upaya, antara lain pemberian penyuluhan pengetahuan perpajakan
baik melalui media masa maupun penerangan langsung dalam masyarakat.

Sejak 1 Januari 1995 mulai berlaku Undang-Undang Nomor 9 tahun 1994 tentang Perubahan
atas undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 , hal ini dikarenakan dalam pelaksanaan Undang-
undang Nomor 6 Tahun 1983, disadari bahwa banyak masalah dihadapi yang ternyata belum
diatur dalam Undang-undang ini sehingga menuntut perlunya penyempurnaan.
Penyempurnaan tersebut sejalan dengan arah dan tujuan pembangunan nasional serta
kebijaksanaan Pemerintah dalam Pembangunan. Jangka Panjang Tahap II yang antara lain
berbunyi “Sistem perpajakan

Anda mungkin juga menyukai