Anda di halaman 1dari 21

TUGAS

INTERAKSI OBAT

“INTERAKSI FARMAKODINAMIK”

OLEH :

MUH. FADRIANSYAH AKBAR


PF21.039

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN PELITA IBU


PROGRAM STUDI S-1 FARMASI
2021
KATA PENGANTAR

Dengan segala kerendahan hati penulis memanjatkan puji syukur kehadirat Allah Ta’ala
atas berkat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan Tugas Interaksi
Farmakodinamik. Mungkin dalam pembuatan tugas ini masih banyak kekurangan baik itu dari
segi penulisan, isi dan lain sebagainya, maka penulis sangat mengharapkan kritikan dan saran
guna perbaikan untuk pembuatan tulisan untuk hari yang akan datang.

Demikianlah sebagai pengantar kata, dengan iringan serta harapan semoga tulisan
sederhana ini dapat diterima dan bermanfaat bagi pembaca. Atas semua ini penulis
mengucapkan ribuan terimakasih yang tidak terhingga, semoga segala bantuan dari semua pihak
mudah mudahan mendapat amal baik yang diberikan oleh Allah ta'ala.

Kendari, 17 Desember 2021

Penyusun
OBAT

Obat merupakan unsur yang sangat penting dalam upaya penyelenggaraan kesehatan.
Sebagian besar intervensi medik menggunakan obat, oleh karena itu diperlukan obat tersedia
pada saat diperlukan dalam jenis dan jumlah yang cukup, berkhasiat nyata dan berkualitas baik
(Sambara, 2007). Saat ini banyak sekali beredar berbagai macam jenis obat baik itu produk
generik maupun produk dagang, pada umumnya konsumen atau masyarakat lebih tertarik untuk
mengkonsumsi produk obat bermerk/produk dagang dibandingkan produk generik, hal itu
disebabkan adanya anggapan bahwa obat generik mutunya lebih rendah dari pada produk yang
bermerk dagang (Rahayu dkk, 2006).

Dokter juga sering kali memberikan resep non generik kepada pasien sebagai pilihan
untuk pengobatan, padahal harga produk merk dagang lebih mahal dari obat generik, sehingga
bagi pasien yang tidak mampu sering membeli setengah dari resep dokter. Hal ini sangat
berbahaya, terutama bila obat tersebut adalah antibiotik. Mutu dijadikan dasar acuan untuk
mendapatkan kebenaran khasiat (efikasi) dan keamanan (safety). Mutu sediaan obat dapat
ditinjau dari berbagai aspek, antara lain aspek teknologi yang meliputi stabilitas fisik dan kimia
dimana sediaan obat (tablet, kapsul, dan sediaan lainnya) harus memenuhi kriteria farmakope
(Harianto dkk, 2006).

Hasil Survei Ekonomi Nasional 2010 menunjukkan bahwa penduduk Indonesia yang
mengeluh sakit selama sebulan sebelum survai dilakukan sebesar 25,49% di perkotaan dan
pedesaan, keluhan terbanyak mencakup demam, sakit kepala, batuk, dan pilek. Perilaku
pencarian pengobatan yang dilakukan oleh penduduk Indonesia yang mengeluh sakit persentase
terbesar adalah pengobatan
sendiri (58,78%), terutama menggunakan obat (83,88%), sisanya menggunakan obat tradisional
dan atau cara tradisional (BPS, 2002).

Berkaitan dengan pengobatan sendiri, telah dikeluarkan berbagai peraturan perundangan,


antara lain pengobatan sendiri hanya boleh menggunakan obat yang termasuk golongan obat
bebas dan obat bebas terbatas (SK Menkes No.2380/1983). Semua obat yang termasuk golongan
obat bebas dan obat bebas terbatas wajib mencantumkan keterangan pada setiap kemasannya
tentang kandungan zat berkhasiat, kegunaan, aturan pemakaian, dosis, dan pernyataan lain yang
diperlukan (SK Menkes No.917/ 1993). Ada batas lama pengobatan sendiri untuk keluhan
tertentu. Semua kemasan obat bebas terbatas wajib mencantumkan tanda peringatan “apabila
sakit berlanjut segera hubungi dokter” (SK Menkes No.386/1994). Sumber obat yang paling
dominan adalah warung (44,35%) dan yang lainnya adalah puskesmas (15,85%), praktek
perawat/ bidan (11,44%), toko obat (9,31%), praktek dokter (8,41%), apotik (5,03%) dan RS
hanya 2,36%. Pada umumnya penggunaan obat ditujukan untuk mengobati penyakit (91,56%),
sedangkan untuk menjaga kesehatan 5,58% dan untuk keluarga berencana 1,16% (Depkes,
1999).
INTERAKSI OBAT

1. Definisi

Interaksi obat merupakan efek suatu obat yang disebabkan bila dua obat atau lebih
berinterasi dan dapat mempengaruhi respon tubuh terhadap pengobatan. Hasilnya berupa
peningkatan atau penurunan efek yang dapat mempengaruhi outcome terapi pasien (yasin et al
2005).

Interaksi obat merupakan suatu faktor yang dapat mempengaruhi respon tubuh terhadap
pengobatan. Obat dapat berinteraksi dengan makanan atau minuman, zat kimia atau dengan obat
lain. Dikatakan terjadi interaksi apabila makanan, minuman, zat kimia, dan obat lain tersebut
mengubah efek dari suatu obat yang diberikan bersamaan atau hampir bersamaan (Ganiswara,
2000).Interaksi Obat adalah suatu interaksi yang terjadi ketika efek suatu obat diubah oleh
kehadiran obat lain, obat herbal, makanan atau agen kimia lainnyan dalam lingkungannya.
Definisi yang lebih relevan kepada pasien adalah ketika obat bersaing satu dengan yang lainnya,
atau apa yang terjadi ketika obat hadir bersama satu dengan yang lainnya(Baxter,2008).

Meningkatnya kejadian interaksi obat bisa disebabkan makin banyaknya obat yang
digunakan ataupun makin seringnya Penggunaan obat (polipharmacy atau multiple drug
therapy). Farmasis yang mempunyai pengetahuan farmakologi dapat berperan untuk mencegah
interaksi obat akibat kombinasi obat dengan efek yang tidak diinginkan (Gapar, 2003).

Beberapa obat sering diberikan secara bersamaan pada penulisan resep, maka mungkin
terdapat obat yang kerjanya berlawanan. Obat pertama dapat memperkuat atau memperlemah,
memperpanjang atau memperpendek kerja obat kedua. Interaksi obat harus lebih diperhatikan,
karena interaksi obat pada terapi obat dapat menyebabkan kasus yang parah dan tingkat
kerusakan-kerusakan pada pasien, dengan demikian jumlah dan tingkat keparahan kasus
terjadinya interaksi obat dapat dikurangi (Mutschler, 1991).
Kejadian interaksi obat yang mungkin terjadi diperkirakan berkisar antara 2,2% sampai 30%
dalam penelitian pasien rawat inap di rumah sakit, dan berkisar antara 9,2% sampai 70,3% pada
pasien di masyarakat. Kemungkinan tersebut sampai 11,1% pasien yang benar-benar mengalami
gejala yang diakibatkan oleh interaksi obat (Fradgley, 2003).
Interaksi obat terjadi pada saat efek suatu obat (index drug) berubah akibat adanya suatu
interaksi dengan obat lain (precipitant drug), makanan, atau minuman. Perubahan ini dapat
berinteraksi menghasilkan efek yang dikehendaki (Desirable Drug Interaction), atau efek
sebaliknya yaitu tidak dikehendaki (Adverse Drug Interaction) (Ament et al., 2000).
Potensi terjadinya interaksi obat dalam suatu resep obat masih sering terjadi di seluruh
dunia termasuk Indonesia. Bahkan dilaporkan dalam penelitian di Amerika, terjadi kejadian
interaksi obat di rumah sakit sebesar 7,3 dan 88% di antaranya terjadi pada kelompok pasien
khusus (geriatri) (Juurlink et al., 2003). Dilaporkan bahwa kejadian interaksi obat banyak terjadi
pada pasien dewasa, tetapi laporan mengenai kejadian interaksi obat pada pasien anak masih
sedikit (Sjahadat dan Muthmainah, 2013)

Menurut Tatro (2006) interaksi obat dapat terjadi minimal melibatkan 2 jenis obat, yaitu :

a. Obat obyek, yaitu obat yang aksinya atau efenya dipengaruhi atau diubah oleh obat lain

b. Obat presipitan, yaitu obat yang mempengaruhi atau mengubah aksi atau efek obat lain.

2. Tipe interaksi obat

Menurut Hussar (2007) tipe interaksi obat-obat dibedakan menjadi 3 macam, yaitu :

a. Duplikasi yaitu kedua obat yang sama efeknya diberikan, efek samping mungkin dapat
meningkat.

b. Opposition yaitu ketika dua obat dengan aksi berlawanan diberikan bersamaan dapat
berinteraksi, akhirnya menurunkan efektivitas obat salah satu atau keduanya.

c. Alteration yaitu ketika suatu obat mungkin dirubah melalui absorbsi, distribusi, metabolisme,
dan ekskresi oleh obat lain.

Mekanisme interaksi obat

Berdasarkan mekanismenya, interaksi dapat dibagi menjadi interaksi yang melibatkan


aspek farmakokinetika obat dan interaksi yang mempengaruhi respon farmakodinamik obat.
Beberapa interaksi obat yang dikenal merupakan kombinasi lebih dari satu mekanisme
(Fradgley,2003)

FARMAKODINAMIK
Farmakodinamik ialah cabang ilmu yang mempelajari efek biokimia dan fisiologi obat
serta mekanisme kerjanya (setiawati dkk,1995) Tujuan mempelajari mekanisme kerja obat ialah
untuk meneliti efek utama obat, mengetahui interaksi obat dengan sel, dan mengetahui urutan
peristiwa serta spectrum efek dan respon yang terjadi. Pengetahuan yang baik mengenai hal ini
merupakan dasar terapi nasional dan berguna dalam sintesis obat baru.

Tujuan mempelajari mekanisme kerja obat adalah:

1. Meneliti efek utama obat.

2. Mengetahui interaksi obat dengan sel.

3. Mengetahui urutan peristiwa serta spektrum efek dan respon yang terjadi

Efek obat umumnya timbul karena interaksi obat dengan reseptor pada sel suatu
organisme. Interaksi obat dengan reseptornya ini mencetuskan perubahan biokimia dan fisiologi
yang merupakan respons yang khas untuk obat tersebut.

Reseptor Obat

Reseptor adalah makromolekul ((biopolimer)khas atau bagiannya dalam organisme yakni


tempat aktif obat terikat. Komponen yang paling penting dalam reseptor obat adalah protein.
struktur kimia suatu obat berhubungan erat dengan affinitasnya terhadap reseptor dan aktivitas
intrinsiknya, sehingga perubahan kecil dalam molekul obat dapat menimbulkan perubahan yang
besar.

Interaksi Obat Reseptor persyaratan untuk obat - reseptor adalah pembentukan kompleks
obat reseptor. apakah kompleks ini terbentuk dan seberapa besar terbentuknya tergantung pada
affinitas obat terhadap reseptor. kemampuan obat untuk menimbulkan suatu rangsang dan
membentuk kompleks dengan reseptor disebut aktivitas intrinsik. Agonis adalah obat yang
memilki baik afinitas dan aktivitas intrinsik. Pada teori reseptor obat sering dikemukakan bahwa
efek obat hanya dapat terjadi bila terjadi interaksi molekul obat dengan reseptornya. Lebih
mudahnya dirumuskan seperti ini.

Obat (O) + Reseptor (R) --> Kompleks obat reseptor (OR) ---> Efek-Efek Terapeutik

Tidak semua obat bersifat betul-betul menyembuhkan penyakit, beberapa obat memang
dibuat hanya untuk meniadakan atau meringankan gejala suatu penyakit. Berikut ini adalah tiga
jenis terapi obat:

Terapi Kausal, obat yang berfungsi untuk memusnahkan penyebab penyakit, obat inilah
yang digunakan untuk menyembuhkan penderita dari penyakit. contoh obat dengan terapi kausal
adalah antibiotik, anti malaria dan lain-lain. Terapi simptomatis, obat ini berguna untuk
meringankan gejala dari suatu penyakit. contoh obat jenis ini adalah analgesik, antipiritik, anti
emetik dan sebagainya.

Terapi subtitusi, obat yang digunakan untuk mengantikan zat yang lazim diproduksi oleh
tubuh. misal insulin pada penderita diabetes, hormon estrogen pada pasien hipo fungsi ovarium
dan obat-obat hormon lainnya.

Mekanisme Kerja Obat

Efek obat umumnya timbul karena interaksi obat dengan resptor pada sel suatu
organisme. interaksi obat dengan reseptornya ini mencetuskan perubahan biokimiawi dan
fisiologi yang merupakan respon khas untuk obat tersebut. Reseptor obat mencakup 2 konsep
penting. Pertama, bahwa obat dapat mengubah kecepatan kegiatan faal tubuh. Kedua, bahwa
obat tidak menimbulkan suatu fungsi baru, tetapi hanya memodulasi fungsi yang sudah ada.
Walaupun tidak berlaku bagi terapi gen secara umum konsep ini masih berlaku sampai sekarang,
setiap komponen makromolekul fungsional dapat berperan sebagai reseptor obat, tetapi
sekelompok reseptor obat tertentu juga berperan sebagai reseptor untuk ligand endrogen
(hormon, neurotransmitor). Substansi yang efeknya menyerupai senyawa endrogen disebut
agonis. Sebaiknya, senyawa yang tidak mempunyai aktivitas intrinsik tetapi menghambat secara
kompetitif efek suatu agonis ditempat ikatan agonis (agonist bind-ing site) disebut antagonis.
Reseptor Obat

1. Sifat Kimia

Komponen yang paling penting dalam reseptor obat ialah protein ( mis.asetilkoli nesterase, na+
K+ -A Tpase, Tubulin, dsb.). asam nukleat juga dapat merupakan reseptor obat yang penting
misalnya untuk sitostatika.iaktan obat reseptor dapat berupa ikatan ion, hidrogen, hidrofobik,van
der walls, atau kovalen, tetapi umumnya merupakan campuran berbagai ikatan diatas. Perlu
diperhatikan bahwa ikatan kovalen merupakan ikatan yang kuat sehingga lama kerja obat sering
kali, tetapi tidak selalu panjang. Walaupun demikian ikatan non kovalen yang afinitasnya tinggi
juga dapat bersifat permanen.

2.Hubungan Struktur-Aktivitas

Struktur kimia suatu obat berhubungan erat dengan afinitasnya terhadap reseptor dan aktifitas
intrinsiknya, sehingga perubahan kecil dalam molekul obat, misalnya perubahan stereoisomer,
dapat menimbulkan perubahan besar dalam sifat farmakologinya. Pengetahuan mengenai
hubungan struktur aktivitas bermanfaat dalam strategi pengembangan obat baru, sintesis obat
yang rasio terapinya lebih baik, atau sintesis obat yang selektif terhadap jaringan tertentu.

3. Reseptor Fisiologis

Istilah reseptor sebagai makro molekul seluler tempat terikatnya obat untuk menimbulkan
respons telah diuraikan diatas. Tetapi terdapat juga protein seluler yang berfungsi sebagai
reseptor fisiologik, bagi ligand endogen seperti hormon, neurotransmitor, dan autakoid. Fungsi
reseptor ini meliputi lipatan ligand yang sesuai (oleh ligand binding domain ) dan penghantar
sinyal ( oleh effektor domain ) yang dapat secara langsung menimbulkan efek intra sel atau secar
tidak langsung memulai sintesis maupun penglepasan molekul intrasel lain yang dikenal sebagai
second messenger.
Dalam keadaan tertentu, molekul reseptor berinteraksi secara erat dengan protein seluler lain
membentuk sistem resptor-efektor seluler lain menimbulkan respons. Contohnya, sistem adenilat
siklase : reseptor mengatur aktivitas adenilat siklase sedang kan efektornya mensitesis cAMP
sebagai second messenger. Dalam sistem ini protein G lah yang berfungsi sebagai perantara
reseptor dengan enzim tersebut. Terdapat dua macam protein G yang satu berfungsi sebagai
penghantaran yang lain berfungsi sebagai penghamabatan sinyal.

Penghantaran sinyal biologis ialah proses yang menyebabkan suatu substansi extra seluler
( extracellular chemical ) menimbulkan suatu respons seluler fisiologis yang spesifik. Sistem
penghantaran ini di mulai dengan pendudukan reseptor yang terdapat di membran sel atau di
dalam sitoplasma oleh transmitor. Kebanyakan messengger ini bersifat polar. Contoh transmitor
untuk reseptor yang terdapat di membran sel ialah katekolamin, TRH,LH; sedangkan untuk
reseptor yang terdapat di dalam sitoplasma ialah steroid (adrenal dan gonadal ), tiroksin, vitamin
D.

Reseptor di membran sel bekerja dengan cara mengikat ligand yang sesuai kemudian
meneruskan sinyalnya ke sel target itu, baik secara langsung ke intrasel atau dengan cara
memproduksi molekul pengatur lainnya ( second messenger ) di intrasel. Suatu reseptor mungkin
memerlukan suatu protein seluller tertentu untuk dapat berfugsi ( sistem reseptor-efektor )
misalnya adenilat siklase. Pada sistem ini, reseptor mengatur aktivitas adenilat siklase, dan
efektor mensintesis, siklik-AMP. Yang merupakan second messenger.

Reseptor yang terdapat dalam sitoplasma, merupakan protein terlarut pengikat DNA (solubble
DNA-binding protein ) yang mengatur transkripsi gen-gen tertentu. Pendudukan reseptor oleh
hormon yang sesuai akan meningkatkan sintesis protein tertentu. Reseptor hormon peptida yang
mengatur pertumbuhan, diferensiasi dan perkembangan (dan dalam keadaan akut juga aktivitas
metabolik ) umumnya ialah suatu protein kinase yang mengkatalisis fosforilasi protein target
pada residu tirosin. Kelompok reseptor ini meliputi reseptor cairan insulin, epidermal growth
factor, p[latelet-deri-ved growht dan limfokin tertentu. Reseptor hormon peptida yang terdapat di
membran plasma berhubungan dengan bagian katalitiknya yang berupa protein kinase intrasel,
melalui rantai pendek asam amino hidrovobik yang menembus membran plasma.
Pada reseptor untuk atrial natriuretic peptide, bagian komplek intrasel ini bukan protein kinase,
melainkan guanilat siklase yang mensintesis siklik-GMP. Sejumlah reseptor untuk
neutrotransmitor tertentu membentuk kanal ion selektif di membran plasma dan menyampaikan
sinyal biologisnya dengan cara mengubah potensial membran atau komposisi ion. Contoh
kelompok ini ialah nikotinik, gamma-amino butirad tipe A, glutamat, aspartap,dan glisin.
Reseptor ini

merupakan protein multi-subunit yang rantainya menembus membran beberapa kali membentuk
kanal ion. Mekanisme terikatnya suatu transmitor dengan kanal yang terdapat di bagian extracell
sehingga kanal menjadi terluka, belum di ketahui.

Sejumlah besar reseptor di membran plasma bekerja membantu protein efektor tertentu
dengan perantaraan sekelompok GTP biding protein yang di kenal sebagai protein G. Yang
termasuk kelompok ini ialah reseptor untuk aminbiogenik, eikosanoik,dan hormon protein
lainnya. Reseptor ini bekerja dengan memacu terikatnya GTP pada protein G spesifik yang
selanjutnya mengatur aktivitas efektor-efektor spesifik seperti adenilat siklase, fosfolipase A2
dan C, kanal Ca2+ , K2 atau Na+ , dan beberapa protein yang berfungsi dalam transportasi.
Suatu sel dapat mempunyai 5 atau lebih protein G yang masing-masing dapat memberikan
respon terhadap beberapa resptor yang berbeda, dan mengatur beberapa efektor yang berbeda
pula.

Second messenger sitoplasma. Penghantaran sinyal biologis dalam sitoplasma


dilansungkan dengan kerja second messenger antara lain berupa cAMP, ion Ca2+ , dan yang
akhir-akhir ini sudah diterima ialah 1,,5 inositol trisphosphate (IP3 ) dan diasilgliserol (DAG).
Substansi ini memenuhi kriteria sebagai second messenger yaitu diproduksi dengan sangat cepat,
bekerja pada kadar yang sangat rendah, dan setelah sinyal ekstenalnya tidak ada mengalami
penyingkiran secara spesifik. Siklik-AMP ialah second messenger yang pertama kali ditemukan.
Substansi ini dihasilkan melalui stimulasi adenilat siklase sebagai respons terhadap respon
terhadap aktivitas bermacam-macam reseptor.

Interaksi Obat – Reseptor


Ikatan antara obat dan reseptor misalnya ikatan substrat dengan enzim, biasanya
merupakan ikatan lemah (ikatan ion, hidrogen, van der waals) dan jarang berupa ikatan kovalen

1. Hubungan Dosis Dengan Intensitas Efek

Menurut teori pendudukan reseptor (reseptor occupancy), intensitas efek obat berbanding
lurus dengan fraksi reseptor yang diduduki atau diikatnya, dan intensitasnya efek mencapai
maksimal bila seluruh reseptor diduduki oleh obat. Oleh karena interaksi obat-reseptor ini analog
dengan interaksi substrat-enzim, maka di sini berlaku persamaan michaelis-menten.

Hubungan antara kadar atau dosis obat yaitu [D], dan besarnya efek E terlihat sebagai
kurva dosis-intensistas efek (graded dose-effect curve = DEC) yang berbentuk hiperbola. Tetapi
kurva log dosis-intesitas efek ( Log DEC) akan berbentuk sigmoid.. Bila efek yang diamati
merupakan gabungan beberapa efek, maka log DEC dapat bermacam-macam , tetapi masing-
masing berbentuk sigmoid. Log DEC lebih sering digunakan karena mencakup rentang dosis
yang luas dan mempunyai bagian yang linear, yakni pada besar efek = 16-8 % (= 50%± 1 SD ),
sehingga lebih mudah untuk memperbandingkan beberapa DEC. 1/KD menunjukan afinitas obat
terhadap reseptor, artinya kemampuan obat untuk berikatan dengan reseptor, artintnya
kemampuan obat untuk berikatan dengan reseptornya (kemampuan obat untuk membentuk
kompleks obat-reseptor). Jadi makin besar KD (= dosis yang menimbulkan ½ efek maksimal),
makin kecil afinitas obat terhadap reseptornya Emax menunjukan aktivitas intrinsik atau
efektivitas obat, yakni kemampuan intrinsik kompleks obat-reseptor untuk menimbulkan
aktivitas dan/atau efek farmakologik.

2. Variabel Hubungan Dosis-intensitas efek obat

Hubungan dosis dan intesitas efek dalam keadaan sesungguhnya tidaklah sederhana
karena banyak obat bekerja secara kompleks dalam menghasilkan efek. Efek antihipertensi,
misalnya merupakan kombinasi efek terhadap jantung, vaskular,dan sistem saraf. Walaupun
demikian, suatu kurva efek kompleks dapat diuraikan kedalam kurva-kurva sederhana untuk
masing- masing komponennya. Kurva sedrhana ini, bagaimana pun bentuknya, selalu
mempunyai 4 variabel yaitu potensi kecuramjan (slope), efek maksimal, dan variasi biologik.

Potensi menunjukan rentang dosis obat yang menimbulkan efek. Besarnya ditentukan
oleh kadar obat yang mencapai reseptor, yang tergantung dari sifat farmakokinetik obat, dan
afinitas obat terhadap reseptornya. Variabel ini relatif tidak penting karena dalam klinik
digunakan dosis yang sesuai dengan potensinya. Hanya, potensi yang terlalu rendah akan
merugikan karena dosis yang diperlukan terlalu besar.

Potensi yang terlalu tinggi justru merugikan atau membayangkan bila obatnya mudah
menguap atau di serap melalui kulit. Efek maksimal ialah respons yang maksimal yang
ditimbulkan obat bila diberikan pada dosis yang tinggi. Ini di tentukan oleh akyivitas intrinsik
obat dan di tunjukan oleh dataran (lpateau) pada DEC. Tetapi dalam klinik, dosisi obat di batasi
oleh timbulnya efek samping; dalam hal ini efek maksimal yand di capai dalam klinik mungkin
kurang dari efek maksimal yand sesunguhnya. Ini merupakan variabel yang penting. Misalnya
morfin dan aspirin berbeda dalam efektivitasnya sebagai analgesik; morfin dapat menghilangkan
rasa nyeri yang hebat, sedangkan aspirin tidak. Efek maksimal obat tidak selalu berhubungan
dengan potensinya.

Slope atau lereng log DEC merupakan variabel yang penting karena menunjukan batas
keamanan obat. Lereng yang curam, misalnnya untuk fenobarbital, menunjukan bahwa dosis
yang menimbulkan koma hanya sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan dosis yang
menimbulkan sedasi/tidur.

Variasi biologik adalah variasi antar individu dalam besarnya respons terhadap dosis
yang sama dari suatu obat. Suatu graded DEEC hanya berlaku untuk satu orang pada satu waktu,
tetapi dapat juga merupakan nilai rata-rata dari populasi. Dalam hal yang berakhir ini, variasi
biologik dapat di perhatikan sebagai garis horijontal atau vertikal. Garis horijontal menunjukkan
bahwa untuk menunjukan efek obat dengan intensitas tertentu pada suatu populasi di perlukan
suatu rentang dosis. Garis vertikal menunjukkan bahwa pemberian obat dengan dosis tertentu
pada populasi akan menimbulkan suatu intensitas efek
Kerja Obat yang Tidak Diperantai Reseptor

Dalam menimbulkan efek, obat tertentu tidak berikatan dengan reseptor. Obat-obat ini
mungkin mengubah sifat cairan tubuh, berinteraksi dengan ion molekul kecil, atau masuk
komponen sel.

1.Efek Nonspesifik dan Gangguan pada Membran

Perubahan sifat osmotik. Diueretik osmotik (urea manitol ), misalnya, meningkatkan osmolaritas
filtrat glomelurus sehingga mengurangi reabsorbsi air di tubuli ginjal dengan akibat terjadi efek
diuretik. Dengan demikian juga katartik

osmotik (MgSO4), gliserol yang mengurangi udem selebral, dan pegganti plasma (polivinil
pirolidon = PVP) untuk menambah volume intravaskuler

Perubahan sifat asam. Kerja ini diperlihatkan oleh antasid dalam menetralkan asam
lambung, NH4CL dalam mengasam kan urine, dan asam-asam organik sebagai antiseptik saluran
kemih atau sebagai antiseptik saluran kemih atau sebagai spermisid topikal dalam saluran
vagina. Kerusakan Nonspesifik. Zat perusak nonspesofik digunakan sebagai antiseptik dan
disenfektan, dan kontrasepsi, contohnya, (1) detergen merusak integritas membran lipoprotein;
(2) halogen, peroksida, dan oksidator lain merusak zat organik (3) denaturan merusak integritas
dan kapasitas sibseluler dan protein. Gangguan fungsi membran. Anestetik umum yang mudah
menguap misalnya eter, halotan, enfluran, dan metoksifluran bekerja dengan melarut dalam
lemak membran sel di SSP sehingga ektabilitasnya menurun.

2. Interkasi dengan Molekul Kecil atau Ion

Kerja ini diperhatikan oleh kelator ( Chelating agents) misalnya CaNa2 EDTA yang mengikat
Pb2+ bebas menjadi kelat yang inaktif pada kercunan Pb. Demikian juga kerja penisilamin yang
mengikat Cu2+ bebas pada penyakit wilson dan dimerkaprol ( BAL= British antilewisite) pada
keracuanan logam berat (As, Sb, Hg, Au, Bi). Kelat yang terbentuk larut dalam air sehingga
mudah dikelurkan melalui ginjal.

3. Masuk ke dalam Komponen Sel


Obat yang merupakan analog purin atau pirimidin dapat berinkoporasi ke dalam asam nukleat
sehingga mengganggu fungsinya. Obat yang bekerja seperti ini disebut antimetabolit misalnya 6-
merkaptopurinb, 5-fluorourasil, flusitosin dan anti kanker atau anti mokroba lain.

Terminologi

1. Spesifisitas dan Selektivitas

Suatu obat dikatakan spesifik bila kerjanya terbatas pada suatu jenis reseptor, dan
dikatakan selektif bila menghasilkan satu efek pada dosis rendah dan efek lain baru timbul pada
dosis yang lebih besar. Obat yang spesifik belum tentu selektif, tetapi obat yang tidak spesifik
dengan sendirinya tidak selektif.

Klorpromazin bukan obat yang spesifik karena ia bekerja pada berbagai jenis reseptor;
kolinergik, adrenergik dan histaminergik, selain pada reseptor dopaminergik di SSP. Atropin
adalah bloker spesifik untuk reseptor muskarinik, tetapi tidak selektif karena reseptor ini terdapat
di berbagai organ.salbutamol ialah agonis bheta-adrenergik yang spesifik dan relatif selektif,
obat ini memblok reseptor bheta2 dan pada dosis terapi hanya berefek di bronkus.

Selain tergantung dari dosis, selektivitas obat juga tergantung dari cara pemberian.
Pemberian obat langsung di tempat kerjanya akan meningkatkan selektivitas obat. Misalnya
salbutamol, selektivitas obat ini pada reseptor bheta2 di bronkus di tingkatkan bila di berikan
sebagai obat semprot langsung ke saluran napas.

2. Istilah Lain

Dosis rendah sekali cukup untuk penderita hipereaktif, sedangkan dosis tinggi sekali di
butuhkan oleh penderita yang hiporeaktif. Istilah hipersensitif digunakan untuk efek yang
berhubungan dengan alergi obat. Istilah supersensitif di gunakan untuk keadaan hiperaktif akibat
denervasi atau akibat pemberian kronik suatu bliker reseptor yang merupakan denervasi
farmakologik. Istilah toleransi digunakan untuk keadaan hiporeaktif akibat pajanan obat
bersangkutan sebelumnya. Toleransi yang terjadi dengan cepat setelah pemberian hanya
beberapa dosis obat di sebut toleransi akut atau takifilaksis. Bila toleransi timbul akibat
pembentukan antibodi terhadap obat, digunakan istilah resisten misalnya terhadap insulin. Istilah
idiosinkrasi di gunakan untuk efek obat yang aneh (bizzare), ringan maupun berat, tidak
tergantung dari besarnya dosis dan sangat jarang terjadi. Istilah ini sering kali digunakan secara
simpang siur maka sebaiknya istilah ini tidak di gunakan lagi

INTERAKSI FARMAKODINAMIK

Interaksi farmakodinamik adalah interaksi antara obat-obat yang  mempunyai efek


farmakologi atau efek samping yang serupa atau yang berlawanan. Interaksi ini dapat disebabkan
karena kompetisi pada reseptor yang sama, atau terjadi antara obat-obat yang bekerja pada sistem
fisiologik yang sama. Interaksi ini  biasanya dapat diperkirakan berdasarkan sifat farmakologi
obat-obat yang berinteraksi. Pada umumnya, interaksi yang terjadi dengan suatu obat akan terjadi
juga dengan obat sejenisnya. Interaksi ini terjadi dengan intensitas yang berbeda pada
kebanyakan pasien yang mendapat obat-obat yang saling berinteraksi.Interaksi farmakodinamik
adalah interaksi yang dapat mempengaruhi efek dari salah satu obat. Interaksi ini dapat
menimbulkan efek sinergi dan antagonis karena memiliki mekanisme aksi sama (Ismail et al.,
2013).
Interaksi farmakodinamik sinergi adalah apabila dua obat atau lebih digunakan secara
bersamaan dapat memberikan efek sinergi atau memberikan efek yang lebih menguntungkan
daripada penggunaan tunggal.Sebagai contoh adalah pemberian dua obat yang bersifat sedatif-
hipnotik seperti benzodiazepin dan antihistamin. Efek sedasi dan depresi SSP lebih meningkat
daripada penggunaan tunggal. tetapi, walaupun menguntungkan, tetap dapat menimbulkan efek
yang tidak diinginkan, maka penggunaan kombinasi harus secara tepat, hati-hati, dan terus
dikontrol.
Interaksi farmakodinamik antagonis terjadi ketika efek farmakologis dari salah satu obat
berkurang karena penggunaan obat secara bersamaan, tanpa menurunkan kadar obatnya di dalam
darah. Mekanisme interaksi farmakodinamik adalah dengan menempati sisi reseptor antagonis,
sehingga tidak akan menimbulkan efek farmakodinamik, namun menghalangi agonis endogen
untuk menempati reseptor dan menimbulkan efek farmakodinamik. Ini dapat mempengaruhi
theraupetic outcome. Contoh interaksi ini adalah kombinasi antara TCA dan guanetidin sebagai
antihipertensi yang dapat berakibat pada penurunan efikasi teraupetik.Mekanisme aksi TCA
adalah menghambat reuptake neurotransmitter pada sinapsis noradrenergik. Sisi aksi guanetidin
adalah pada presinap adrenergik neuron dimana aksinya adalah mengganti katekolamin yang
berisi gelembung dari native neurotransmitter, sehingga dapat menimbulkan efek antihipetensi.
Transporter yang dimediasi oleh reuptake norepineprin dihambat oleh TCA. Sehingga,
guanetidin tidak dapat menjangkau sisi aksi yang membuatnya tidak aktif lagi sebagai
antihipertensi. (Ciraulo et al., 2006)

Menurut Stockley et al (2003) kemungkinan efek yang dapat terjadi pada interaksi
farmakodinamik antara lain :

1. sirnegisme atau penambahan efek satu atau lebih obat.

2. Efek antagonisme satu atau lebih obat.

3. Penggantian efek satu atau lebih obat.

Interasi obat yang umum terjadi adalah sirnegisme antara dua obat yang bekerja pada
sistem, organ, sel atau enzim yang sama dengan efek farmakologi yang sama. Sebaliknya
antagonisme terjadi bila obat yang berinteraksi memiliki efek farmakologi yang berlawanan. Hal
ini mengakibatkan pengurangan hasil yang diinginkan dari satu atau lebih obat (Fradgley, 2003)

Berdasarkan tingkat keparahan interaksi obat atau drug-drug interaction (DDI) dibagi
menjadi tiga kategori, yaitu :

1. Major clinical significant


Interaksi ini tercantum atau terdokumentasi dengan baik karena dapat berpotensi
menimbulkan bahaya pada pasien.
2. Moderate clinical significant
Interaksi ini terdokumentasi dengan baik karena dapat berpotensi menimbulkan bahaya,
namun lebih rendah daripada major clinical significant.
3. Minor clinical significant
Interaksi ini kurang signifikan, karena hanya tercantum sedikit dalam dokumentasi,
potensi bahaya pada pasien terkadang diabaikan, dan kejadian interaksinya rendah. (Folb, 2012)

Strategi dalam penatalaksanaan interaksi obat meliputi :


a. Hindari kombinasi obat yang berinteraksi dengan resiko obat lebih besar daripada manfaatnya,
maka harus mempertimbangkan obat pengganti dengan pemilihan obat  pengganti tergantung
pada apakah interaksi obat tersebut merupakan interaksi yang  berkaitan dengan kelas obat
tersebut atau merupakan efek obat yang spesifik.  

b. Penyesuaian dosis, jika hasil interaksi obat meningkatkan atau mengurangi efek obat, maka
perlu dilakukan modifikasi dosis salah satu atau kedua obat untuk mengimbangi kenaikan atau
penurunan efek obat tersebut. Penyesuaian dosis diperlukan pada saat mulai atau menghentikan
penggunaan obat yang menyebabkan interaksi.

c. Memantau pasien,jika hal ini dianggap relevan dan praktis. Pemantauan dapat meliputi hal-hal
berikut ini :
a. Pemantauan klinis untuk menemukan berbagai efek yang tidak diinginkan. Hal ini dapat
dilakukan oleh seorang dokter dan informasi ditulis pada catatan medik  pasien.
b. Pengukuran kadar obat dalam darah. Hal ini dapat diperlukan bila tersedia sarana  pemantauan
yang memadai dan bila ada pertimbangan interaksi potensial yang  berbahaya.
c. Pengukuran indikator interaksi, contoh pemantauan international normalized ratio (INR) untuk
pasien yang memperoleh pengobatan dengan warfarin.
d. Melanjutkan pengobatan seperti sebelumnya bila interaksi obat tidak bermakna klinis, atau
jika kombinasi obat yang berinteraksi tersebut merupakan pengobatan yang optimal, pengobatan
pasien dapat diteruskan tanpa perubahan.

INTERAKSI OBAT DAN CARA MENCEGAHNYA

Ketika seseorang meminum dua jenis obat atau lebih secara bersamaan, obat itu bisa
menimbulkan interaksi atau efek yang tidak diinginkan. Inilah yang disebut dengan interaksi
obat. Menurut Food and Drugs Administration (FDA), interaksi obat bisa muncul akibat tiga
interaksi

1. Interaksi pertama adalah interaksi obat dengan obat yang lainnya, yang akan dijelaskan lebih
lanjut setelah ini.
2. Interaksi kedua adalah interaksi obat dengan makanan atau minuman yang dikonsumsi.
Misalnya, obat yang diminum dengan susu akan menurunkan efektivitas obat tersebut.

3. Interaksi ketiga adalah interaksi obat dengan kondisi medis seseorang. Misalnya pemberian
beberapa jenis obat flu akan memberikan efek samping yang kurang baik pada pasien dengan
tekanan darah tinggi.

Dilansir dari Pusat Informasi Obat Nasional Badan Pengawan Obat dan Makanan (Pionas
BPOM), interaksi farmakodinamik adalah interaksi antara obat-obatan yang mempunyai efek
farmakologi atau efek samping yang serupa atau yang berlawanan.

Interaksi ini terjadi karena obat bekerja pada reseptor atau tempat yang sama. Interaksi ini
dapat diprediksi dengan memahami klasifikasi mekanisme kerja obat. Contoh interaksi obat
farmakodinamik adalah penggunaan obar beta blocker untuk tekanan darah tinggi dengan
verapamil yang justru memicu gagal jantung atau bradikardi berat.

Secara umum, interaksi obat tidak berbahaya bagi pasien. Namun, pada beberapa pasien,
interaksi obat berpotensi membahayakan. Diantara kelompok pasien yang berisiko mengalami
interaksi obat adalah orang tua dan penderita gagal ginjal atau hati.
DAFTAR PUSTAKA

Baxter, K. 2010. Stockley’s Drug Interactions. London: Pharmaceutical Press

Gunawan, S. G., Setiabudy, R., Nafrialdi, Elysabeth. 2012, Farmakologi Dan Terapi, Edisi 5
(Cetak Ulang Dengan Tambahan), Departemen Farmakologi Dan Terapeutik, Fakultas
Kedokteran–Universitas Indonesia, Jakarta, pp. 11-12.

Rahayuningsih, N., Mulyadi, Y. 2017. Evaluasi penggunaan antibiotik sefalosporin di ruang perawatan

bedah salah satu rumah sakit di Kabupaten Tasikmalaya. Jurnal Kesehatan Bakti Tunas Husada, 17

(1):139-147.

Setiawati, A. 1995. Interaksi obat. Dalam: Ganiswara, S.G. (Ed.). Farmakologi dan Terapi. Edisi 4.
Jakarta: Fakultas Kedokteran UI.

Sjahadat, A.G., Muthmainah, S.S. 2013. Analisis interaksi obat pasien rawat inap anak di rumah sakit di

Palu. Jurnal Farmasi Klinik Indonesia, 2(4):1–6.

Tatro, D.S. 2008. Drug Interaction Facts 2009: The Authority on Drug Interactions. Saint Louis, Mo.:

Wolters Kluwer Health/Facts & Comparisons.

Tjay, T.H., Rahardja, K. 2015. Obat-obat Penting, Khasiat, Penggunaan dan Efek-Efek Sampingnya.

Edisi ketujuh. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.

Anda mungkin juga menyukai