Anda di halaman 1dari 309

UP

GRO
E DIA
D A M
ENA
PR
ISBN 978-602-422-267-3

9 786024 222673
ISBN 978-602-422-268-0

9 786024 222680
ISBN 978-602-422-269-7
UP
A GRO
ED I
D A M
NA
PRE
UP
A G RO
ED I
D A M
NA
PRE

Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, sebagaimana yang telah
diatur dan diubah dari Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002, bahwa:
Kutipan Pasal 113
(1) Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi seba­gai­mana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1
(satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000,- (seratus juta rupiah).
(2) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan
pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud da­lam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f,
dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).
(3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan
pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e,
dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat)
tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,- (satu miliar rupiah).
(4) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dila­ ku­kan dalam bentuk
pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling
banyak Rp4.000.000.000,- (empat miliar rupiah).
UP
A G RO
ED I
D A M
NA Heri Herdiawanto
PRE Fokky Fuad Wasitaatmadja
Jumanta Hamdayama

Diterbitkan Atas Kerja Sama


SPIRITUALISME PANCASILA
Edisi Pertama
Copyright © 2018

P
ISBN 978-602-422-267-3

RO U
ISBN (E) 978-602-422-800-2
15 x 23 cm

G
xx, 288 hlm

I A
Cetakan ke-3, September 2019

A M ED
Kencana. 2018.0901

NA D Penulis

PRE
Fokky Fuad Wasitaatmadja
Jumanta Hamdayama
Heri Herdiawanto

Desain Sampul
Suwito

Penata Letak
Ria

Penerbit
Prenadamedia group
(Divisi Kencana)
Jl. Tambra Raya No. 23
Rawamangun - Jakarta Timur 13220
Telp: (021) 47864657 Faks: (021) 475-4134
e-mail: pmg@prenadamedia.com
www.prenadamedia.com
INDONESIA

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apa pun,
termasuk dengan cara penggunaan mesin fotokopi, tanpa izin sah dari penerbit.
Kata pengantar

P
asca tumbangnya Orde Baru sampai saat ini negara dan bangsa
kita memiliki segudang persoalan dan berbagai situasi pelik
yang menggemaskan. Saat ini, bangsa kita memasuki kondisi
dan arena distorsi parah dalam kehidupan dan penyelenggaraan ne­
gara. Konflik antarsuku, merebaknya kejahatan, konflik elit politik,

UP
korupsi yang merajalela dan menggurita, serta perilaku-perilaku lain

RO
yang bertentangan dengan kaidah dan norma dasar negara. Distorsi

I A G
ini kerap menghiasi layar kaca dan berbagai media, baik media dalam

ED
maupun luar negeri. Bangsa ini sekarang terkenal sebagai bangsa yang

A M
intoleran, bengis, rakus, kejam, tidak humanis dan vandalis. Dahulu,

NA D
bangsa ini diberi label sebagai bangsa yang santun, toleran, dan

PRE
beradab.
Dalam konteks kondisi di atas, Orde Reformasi ternyata telah
me­­munculkan dan menumbuhkan kondisi tersebut. Secara politik,
kenegaraan reformasi telah berhasil dengan membangun sistem, re­
gulasi, dan format kelembagaan politik yang jauh lebih baik dari masa
sebelumnya, akan tetapi reformasi yang didasari roh liberalisme telah
membuat fondasi moralitas, etika, dan mentalitas menjadi rontok. Hal
ini ditambah dengan reformasi tanpa didasari grand design atau arah
yang jelas baik secara jangka pendek maupun jangka panjang.
Berbagai persoalan yang menyeruak ke lapangan ini membuat
rakyat merindukan kembali sosok Pancasila-ideologi yang selama ini
ditinggalkan. Pancasila merupakan ideologi yang dibentuk berdasar­
kan karakter Indonesia yang multietnis, multigeografi, dan multikul­­tur
diharapkan mampu membentengi negara ini dari terpaan nilai-nilai
liberalisme yang berkedok globalisasi dan demokratisasi.
Buku ini hadir dalam upaya memberikan pengetahuan dan pe­
mahaman kembali akan eksistensi dan kukuhnya nilai-nilai Pancasila.
Dengan adanya buku ini diharapkan generasi muda, khususnya, dan
spiritualisme pancasila

masyarakat Indonesia pada umumnya memperoleh penyegaran kem­


bali tentang Pancasila sehingga mampu mengamalkannya dalam ke­
hidupan sehari-hari.
Akhirnya, kemampuan kami sebagai penulis dalam menyajikan
materi-materi yang ada dalam buku ini masih banyak kekurangan
baik aspek kebahasaan, substansi materi, maupun daftar rujukan.
Oleh karena itu, kami sebagai penulis menunggu kritik dan saran yang
membangun bagi penyempurnaan isi buku di masa yang akan datang.
Kami mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah
membantu sehingga buku ini hadir di tengah pembaca sekarang ini.

Jakarta, Desember 2017

UP
A G ROPenulis

ED I
D A M
NA
PRE

vi
Daftar Isi

daftar isi

KATA PENGANTAR v
PENDAHULUAN xi
BAB I PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI BANGSA
DAN NEGARA 1

P
A. Pengertian Ideologi 1
B. Pancasila sebagai ideologi Nasional

RO U 4

G
C. Pengertian Asal Mula Pancasila 6


ED I A
D. Bangsa Indonesia Berpancasila dalam Tri Prakara
E. Kedudukan dan Fungsi Pancasila
10
11

D A M
F. Pancasila dan Identitas Nasional 17

NA
BAB 2 PANCASILA DALAM KONTEKS SEJARAH PERJUANGAN

PRE
BANGSA INDONESIA 35
A. Masa Kerajaan Nasional di Indonesia 35
B. Masa Kerajaan Islam 45
C. Masa Penjajahan Hindia Belanda 50
D. Masa Perjuangan pada Masa Penjajahan 54
E. Masa Pergerakan Kemerdekaan 54
F. Masa Sekitar Proklamasi Kemerdekaan 64
G. Wawasan Keislaman—Kebangsaan 71
H. Konklusi 99
BAB 3 NILAI SPIRITUALISME DALAM FILSAFAT PANCASILA 101
A. Pengertian Filsafat 101
B. Pancasila sebagai Suatu Sistem Filsafat 110
C. Falsafah Pancasila Kontempelasi Spiritualisme 119
BAB 4 HAK ASASI MANUSIA DALAM PANCASILA 139
A. Sejarah Hak Asasi Manusia 139
B. Macam-macam Hak Asasi Manusia 144
C. Hak Asasi Manusia Berdasarkan Pancasila 144

vii
spiritualisme pancasila

D. Hak Asasi Manusia dalam UUD 1945 145


E. Hak Asasi Manusia Menurut UU No. 39 Tahun
1999 148
F. Instrumen Hukum Hak Asasi Manusia 148
G. Negara Hukum dan Hak Asasi 149
H. Pelanggaran Hak Asasi Manusia 150
BAB 5 PANCASILA DAN ETIKA KEHIDUPAN BERNEGARA 155
A. Pengertian Etika 155
B. Pengertian Nilai 156
C. Pengertian Moral 165
D. Pengertian Norma 166
BAB 6 PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA KEHIDUPAN
DALAM BERMASYARAKAT BERBANGSA DAN
BERNEGARA 169

P
A. Pengertian Paradigma 169
B. Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan

RO U 169

G
C. Pancasila sebagai Paradigma Reformasi 173

I A
D. Pancasila sebagai Paradigma Reformasi Hukum 175

ED
E. Pola dan Bentuk Demokrasi Ekonomi Pancasila 179

DAM
BAB 7 PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI 183

E NA A. Faktor Pendorong Keterbukaan Ideologi Pancasila 188

PR
B. Menampilkan Sikap Positif Terhadap Pancasila
sebagai Ideologi Terbuka 189
C. Pancasila dan Ideologi-ideologi Besar di Dunia 191
BAB 8 PANCASILA DAN PROKLAMASI KEMERDEKAAN
REPUBLIK INDONESIA 209
A. Latar Belakang 209
B. Arti dan Makna Proklamasi 216
BAB 9 DEMOKRASI PANCASILA 219
A. Sejarah Pertumbuhan Demokrasi Pancasila 219
B. Ciri-ciri Demokrasi Pancasila 220
BAB 10 PANCASILA DAN Amendemen UUD 1945 229
A. Pengertian Undang-Undang Dasar 1945 229
B. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 230
C. Makna Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 232
D. Pokok-pokok Pikiran dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 234

viii
Daftar Isi

E. Kedudukan Pembukaan UUD 1945 dengan Tertib


Hukum Indonesia 234
F. Hubungan Pembukaan dengan Batang Tubuh
Undang-Undang Dasar 1945 235
G. Kedudukan Pembukaan UUD 1945 Hubungannya
dengan Pasal-pasal 239
H. Tujuan Pembukaan UUD 1945 dengan Pancasila 239
I. Hubungan Pembukaan UUD 1945 dengan
Pancasila 240
J. Amendemen Undang-Undang Dasar 1945 240
BAB 11 PANCASILA DAN DINAMIKA KETATANEGARAAN
DI INDONESIA 253
A. Masa Awal Kemerdekaan 254
B. Periode Konstitusi RIS (1949-1950) 256
C. Masa Undang-Undang Dasar Sementara Tahun
1950

UP 257

RO
D. Masa Orde Lama (5 Juli 1959-11 Maret 1966) 265

A G
E. Masa Orde Baru (11 Maret 1966-21 Mei 1998)

I
268

ED
F. Masa Reformasi (21 Mei 1998- Sekarang) 270

DAM
DAFTAR PUSTAKA 279

A
TENTANG PENULIS 285

E N
PR

ix
spiritualisme pancasila

UP
A GRO
ED I
D A M
NA
PRE

x
Pendahuluan

Pendahuluan

M
empelajari Pancasila pada saat ini merupakan bagian dari
usaha untuk melestarikan, dan mengamalkannya dari kehi­
dupan sehari-hari. Pancasila sebagai ideologi bangsa dan
negara saat ini menghadapi tantangan yang sangat besar sekali baik
itu dari dalam maupun dari luar. Globalisasi yang semakin menggu­

U
rita di dunia menawarkan berbagai macam gaya hidup yang baru——­ta­
P
RO
tanan yang baru——dan sistem yang baru. Nilai-nilai globalisasi yang

I A G
mem­berikan gaya hidup modern, instan, dan hedonis telah menjadi

ED
ideologi yang banyak diminati oleh generasi muda. Di lain pihak, justru

A M
Pancasila sebagai ideologi negara semakin tergerus oleh perkembangan

NA D
zaman, dan kurang diminati untuk dipelajari dan diamalkan dalam

PRE
kehidup­­an sehari-hari.
Selain tantangan yang muncul dari luar yang sangat besar, Panca­
sila juga mengalami tantangan yang tak kalah kuatnya dari globali­sa­si.
Dinamika masyarakat yang semakin cepat, proses politik yang tanpa
arah dan bentuk, pergeseran nilai-nilai di masyarakat bahkan pola
sistem yang mulai muncul turut memberikan andil yang besar semakin
men­jauhkan Pancasila dari generasi muda dan masyarakat Indonesia.
Bila hal ini tidak diantisipasi secara cepat dengan resep yang tepat bisa
jadi kondisi bangsa dan negara semakin berada dalam pusaran ke­
hancuran. Oleh karena itu, dibutuhkan cara dan langkah yang cepat
da­lam mengantisipasi ini semua.
Salah satu metode yang ampuh dalam menanamkan nilai-nilai
Pan­casila melalui pendidikan yang berkesinambungan. Melalui pen­
didikan yang diajarkan dari tingkat sekolah dasar sampai dengan tingkat
perguruan tinggi diharapkan generasi muda sekarang memahami arti,
nilai-nilai, orientasi, dan mengimplementasikan dalam kehidupan
­se­hari-hari. Dengan adanya pemahaman mengenai ideologi Pan­casila
secara lebih mendalam, diharapkan akan menjadikan bangsa yang

xi
spiritualisme pancasila

mampu berpikir secara rasional, menjalankan kehidupan demo­kratis,


bertanggung jawab, dan selalu mengamalkan nilai-nilai Pancasila.
Seperti halnya dengan tujuan kita mempelajari sesuatu, lebih-
lebih jika sesuatu itu merupakan ilmu pengetahuan, maka tujuan kita
mempelajari Pancasila itu adalah ingin mengetahui Pancasila yang
benar, yakni yang dapat dipertanggungjawabkan baik secara yuridis-
konstitusional maupun objektif-ilmiah. Secara yuridis-konstitusional
karena Pancasila adalah dasar negara yang digunakan sebagai dasar
me­ngatur dan menyelenggarakan pemerintahan negara. Secara ob­
jektif-il­miah karena Pancasila adalah suatu paham filsafat sehingga
uraiannya harus dapat diterima secara rasional.
Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun
2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang diejawantahkan dalam
Per­aturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pen­­didikan yang menetapkan kurikulum tingkat Satuan Pendidikan

P
Tinggi wajib memuat matakuliah pendidikan agama, pendidikan ke­

RO U
war­ganegaraan dan bahasa Indonesia serta bahasa Inggris. Dalam hal

G
ini, pendidikan kewarganegaraan memuat pendidikan Pancasila di

I A
­da­lamnya sebagai landasan pengenalan mahasiswa terhadap ideologi
ne­gara.
ED
A M
Berdasarkan pertimbangan di atas, Direktorat Jendral Pendidikan

D
NA
Tinggi (DIKTI) memutuskan dengan SK No.43/DIKTI/Kep/2006 tentang

PRE
Rambu-rambu Pelaksanaan Kelompok Matakuliah Pengembangan Ke­
pribadian di Perguruan Tinggi.

A. Landasan Pendidikan Pancasila


1. Landasan Historis Pendidikan Pancasila
Landasan historis adalah landasan sejarah, Pancasila merupa­
kan refleksi masa lalu dan masa yang akan datang. Oleh karena itu,
pembahasan aspek historis atau sejarah Pancasila adalah sesuatu yang
mesti dilakukan oleh semua kalangan. Pendidikan Pancasila men­je­
laskan proses perjuangan bangsa Indonesia dalam membebas­kan diri
dari kungkungan penjajahan bangsa asing, merebut-mempertahankan
kemerdekaan, dan mengisi pembangunan.
Secara lebih luas, pembahasan aspek yuridis Pancasila memba­has
proses sejarah pembentukan bangsa Indonesia (Prasejarah, Keraja­an
Kuno, Kerajaan Islam, penjajahan, perjuangan kemerdekaan, ke­mer­
dekaan, dan seterusnya). Sejarah Perumusan Pancasila sebagai dasar

xii
Pendahuluan

negara sejak sidang BPUPKI I hingga sekarang.


Nilai-nilai Pancasila digali dari bangsa Indonesia sendiri, seperti
nilai-nilai ketuhanan (kepercayaan kepada Tuhan telah berkembang
dan sikap toleransi sudah lahir), dan nilai kemanusiaan yang adil dan
beradab dan sila-sila lainnya. Nilai-nilai Pancasila menjadi dasar ne­
gara Indonesia oleh para tokoh bangsa saat akan melahirkan negara RI.
Nilai-nilai Pancasila tetap tercantum dalam Pembukaan UUD
1945, biarpun perjalanan ketatanegaraan mengalami perubahan dan
per­gantian Undang-Undang Dasar dari UUD 1945, Konstitusi RIS
1949, UUD Sementara 1950, sampai kembali ke UUD 1945. Kebenaran
Nilai-nilai Pancasila diyakini tinggi, oleh karenanya nilai-nilai itu tetap
di­pertahankan dan terus diamalkan dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara. Penafsiran Pancasila berbeda-beda oleh se­
tiap rezim pemerintahan, yaitu:
– Masa Orla (5 Juli 1959-11 Maret 1966)
Pancasila ditafsirkan dengan nasakom (nasionalis——agama——ko­

UP
RO
munis) yang disebut trisila——kemudian diperas menjadi ekasila

G
(gotong royong);

ED I A
Masa Orba (11 Maret 1966-21 Mei 1998)

M
Pancasila harus dihayati dan diamalkan dengan berpedoman

D A
ke­­pada butir-butir yang ditetapkan oleh MPR melalui Tap MPR

NA
No.II/MPR/1978 tentang P4;

PRE
– Masa Reformasi (21 Mei 1998-Sekarang)
MPR melalui Tap MPR No.XVIII/MPR/1998 tentang Penegasan
Pancasila sebagai dasar negara, yang mengandung makna ideologi
nasional sebagai cita-cita dan tujuan negara.

2. Landasan Kultural
Landasan kultural adalah landasan yang digali dari nilai-nilai lu­
hur budaya bangsa yang sudah ada semenjak berabad-abad lamanya
di Indonesia. Sejak Indonesia masih berbentuk kerajaan-kerajaan di
bumi Nusantara, nilai-nilai Pancasila sudah digali dan dipraktikkan
dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Nilai-nilai seperti
kemanusiaan, nilai persatuan-kesatuan, nilai gotong royong, nilai
to­
leransi yang tinggi adalah contoh dari banyak nilai yang ada di
ma­­syarakat Indonesia yang sudah tumbuh dan berkembang dari
ma­­syarakat Indonesia yang akhirnya menjadi jiwa karakter dan ke­pri­
ba­dian bangsa Indonesia.
Pancasila sebagai kepribadian dan jati diri bangsa Indonesia me­

xiii
spiritualisme pancasila

rupakan pencerminan nilai-nilai yang tumbuh dalam kehidupan


bangsa Indonesia. Nilai-nilai yang dirumuskan dalam Pancasila meru­
pakan hasil pemikiran konseptual dari tokoh bangsa Indonesia seperti
Ir. Soekarno, Drs. Mohammad. Hatta, Mr. Muhammad Yamin, Prof.
Mr. Dr. Supomo, dan tokoh-tokoh lainnya.

3. Landasan Filosofis
Pancasila sebagai dasar filsafat negara dan pandangan filosofis
bangsa Indonesia, merupakan suatu keharusan moral untuk secara
konsisten merealisasikannya dalam setiap aspek kehidupan berma­
syarakat, berbangsa, dan bernegara.

4. Landasan Yuridis
Landasan yuridis pelaksanaan pendidikan Pancasila di perguruan
tinggi, yaitu:

UP
a. Pembukaan UUD 1945 alinea II (Cita-cita bangsa Indonesia) dan

RO
alinea IV (tujuan dan aspirasi kemerdekaan).

I A G
b. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31, yang isinya adalah bahwa

ED
setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.

A M
c. UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal

NA D
39 ayat 2 yang menyebutkan tentang isi kurikulum, jalur, dan

PRE
jenjang pendidikan wajib yang memuat:
1) Pendidikan Pancasila;
2) Pendidikan Agama; dan
3) Pendidikan Kewarganegaraan.
d. UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang
menetapkan kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat pendi­
dik­an agama, pendidikan kewarganegaraan, dan bahasa.
e. Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 30 Tahun
1990, menetapkan status pendidikan Pancasila dalam kurikulum
pen­didikan tinggi sebagai matakuliah wajib untuk setiap program
studi dan bersifat nasional.
f. PP No. 60 Tahun 1999 tentang Dikti Pasal 13 ayat 2.
g. Sejak 1983-1999 silabus pendidikan Pancasila banyak mengalami
perubahan sesuai dengan perubahan yang berlaku dalam masya­
rakat.
h. Keputusan Dirjen Dikti No. 265/Dikti/Kep/2000 tentang penyem­
purnaan Kurikulum Inti Matakuliah Pengembangan Kepribadian
Pendidikan Pancasila pada Perguruan Tinggi di Indonesia.

xiv
Pendahuluan

i. Kep. Mendiknas No. 232/U/2000 tentang Pedoman Penyusunan


Kurikulum Pendidikan Tinggi, dan Nomor 45/U/2002 tentang
Ku­­ri­kulum Inti Pendidikan Tinggi telah menetapkan Pendidikan
Aga­ma, Pendidikan Pancasila, dan Pendidikan Kewarganegaraan
menjadi kelompok matakuliah pengembangan kepribadian yang
wajib diberikan dalam kurikulum setiap program studi.

B. Tujuan Pendidikan Nasional


Dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke IV tercantum teks tujuan
nasional negara kita yaitu, “melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,
men­cerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban
dunia yang berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial“.
Secara normatif, pendidikan Pancasila memperoleh dasar legali­
tasnya dalam Pasal 3 Undang-Undang No.20 Tahun 2003 tentang Sis­
UP
RO
tem Pendidikan Nasional yang mengatakan: “Pendidikan Nasional

I A G
ber­fungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta

ED
per­adaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehi­

A M
dupan bangsa“. “...berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi

D
NA
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,

PRE
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab“.
UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal
4, dinyatakan tujuan pendidikan nasional, yaitu “Pendidikan Nasional
bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan
ma­­nusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan ber­
takwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, me­
mi­liki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani, dan ro­­hani,
kepribadian mantap dan mandiri, serta tanggung jawab ke­ ma­sya­
rakatan dan kebangsaan.“
Hal di atas sesuai dengan UUD 1945 Pasal 31 ayat 3:
“Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pen­
di­dikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta
akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang
diatur dengan undang-undang.“

Dalam rangka pelaksanaan pembangunan nasional dan peng­


amal­an Pancasila di bidang pendidikan, maka pendidikan nasional

xv
spiritualisme pancasila

meng­usahakan:
a. Pembentukan manusia Pancasila sebagai manusia pembangunan
yang tinggi kualitasnya dan mampu mandiri;
b. Pemberian dukungan bagi perkembangan masyarakat, bangsa,
dan negara Indonesia yang terwujud dalam ketahanan nasional
yang tangguh (mampu menangkal setiap ajaran, paham, dan ideo­
logi yang bertentangan dengan Pancasila).

C. Tujuan Pendidikan Pancasila


Berdasarkan Pasal 3 ayat 2, Keputusan Dirjen Dikti No. 38/Dik­
ti/Kep/2002 tersebut di atas, tentang kompetensi matakuliah pe­
ngembangan kepribadian adalah menguasai kemampuan berpikir,
ber­­­sikap rasional, dan dinamis, serta berpandangan luas sebagai ma­

P
nusia intelektual dengan cara mengantarkan mahasiswa:
a.

RO U
Memiliki kemampuan untuk mengambil sikap bertanggung jawab

G
sesuai hati nuraninya.

I A
b. Agar memiliki kemampuan untuk mengenali masalah hidup dan

ED
kesejahteraan serta cara-cara pemecahannya.

A M
c. Agar mampu mengenali perubahan-perubahan dan perkembangan

D
NA
ilmu pengetahuan dan teknologi.

PRE
d. Agar mampu memaknai peristiwa sejarah dan nilai-nilai budaya
bangsa untuk menggalang persatuan Indonesia.
Pendidikan Pancasila bertujuan menghasilkan peserta didik ber­
sikap dan berperilaku:
a. Beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME.
b. Berperikemanusiaan yang adil dan beradab.
c. Mendukung persatuan bangsa.
d. Mendukung kerakyatan yang mengutamakan kepentingan ber­
sama di atas kepentingan individu maupun golongan.
e. Mendukung upaya untuk mewujudkan suatu keadilan sosial da­
lam masyarakat.
Kompetensi pendidikan Pancasila bertujuan untuk menguasai:
a. Kemampuan berpikir.
b. Bersikap rasional.
c. Dinamis.
d. Berpandangan luas sebagai manusia intelektual.

xvi
Pendahuluan

e. Mengantarkan mahasiswa memiliki kemampuan untuk meng­am­


bil sikap bertanggung jawab sesuai hati nuraninya.
f. Mengenali masalah hidup dan kesejahteraan serta cara-cara pe­
me­­cahannya.
g. Mengenali perubahan-perubahan dan perkembangan iptek.
h. Memaknai peristiwa sejarah dan nilai-nilai budaya bangsa guna
menggalang persatuan Indonesia.

Tujuan Pembelajaran Umum


Mahasiswa diharapkan dapat memiliki pengetahuan dan mema­
hami landasan dan tujuan pendidikan Pancasila, Pancasila sebagai
karya besar bangsa Indonesia yang setingkat dengan ideologi besar
dunia lainnya. Pancasila sebagai paradigma dalam kehidupan ke­kar­
yaan, ke­masyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan, sehingga memper­
luas cakrawala pemikirannya, menumbuhkan sikap demokratis pada

UP
mereka dalam mengaktualisasikan nilai-nilai yang terkandung dalam

RO
Pancasila.

I A G
M
D. Tridharma Perguruan Tinggi

A ED
NA D
Pendidikan Tinggi sebagai institusi dalam masyarakat bukanlah

PRE
merupakan menara gading yang jauh dari kepentingan masyarakat
melainkan senantiasa mengemban dan mengabdi kepada masyarakat.
Menurut PP No. 60 Tahun 1999, perguruan tinggi memiliki tiga tugas
pokok yang disebut Tridharma Perguruan Tinggi, yang meliputi:

1. Pendidikan
Lembaga pendidikan tinggi memiliki tugas melaksanakan pendi­
dikan untuk menyiapkan, membentuk, dan menghasilkan sumber
daya yang berkualitas. Tugas pendidikan tinggi adalah:
a. Menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang me­
miliki kemampuan akademik dan/atau profesional yang dapat
menerapkan, mengembangkan dan/atau memperkaya khazanah
ilmu pengetahuan, teknologi, dan kesenian.
b. Mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, tekno­
logi, dan kesenian serta mengupayakan penggunaannya untuk
me­ ningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan memperkaya
ke­­budayaan nasional. Pengembangan ilmu di perguruan tinggi
bu­kanlah free value (bebas nilai), melainkan senantiasa terikat

xvii
spiritualisme pancasila

nilai yaitu nilai ketuhanan dan kemanusiaan. Oleh karena itu,


pen­­didikan tinggi haruslah menghasilkan ilmuwan, intelektual,
serta pakar yang bermoral ketuhanan yang mengabdi pada ke­
manusiaan.

2. Penelitian
Penelitian adalah suatu kegiatan telaah yang taat kaidah, bersifat
objektif dalam upaya untuk menemukan kebenaran dan menyelesai­
kan masalah dalam ilmu pengetahuan, teknologi, dan kesenian. Dalam
suatu kegiatan penelitian, seluruh unsur dalam penelitian senantiasa
men­dasarkan pada suatu paradigma tertentu, baik permasalahan, hi­
po­tesis, landasan teori maupun metode yang dikembangkannya.
Dalam khazanah ilmu pengetahuan terdapat berbagai macam
bidang ilmu pengetahuan yang masing-masing memiliki karakteristik
sendiri-sendiri, karena paradigma yang berbeda.

UP
Bahkan dalam suatu bidang ilmu terutama ilmu sosial, antropo­

RO
logi, dan politik terdapat beberapa pendekatan dengan paradigma yang

I A G
berbeda, misalnya pendekatan kualitatif dan pendekatan kuantitatif.

ED
Dasar-dasar nilai dalam Pancasila menjiwai moral peneliti se­

A M
hingga suatu penelitian harus bersifat objektif dan ilmiah. Seorang pe­

D
NA
neliti harus berpegangan pada moral kejujuran yang bersumber pada

PRE
ketuhanan dan kemanusiaan. Suatu hasil penelitian tidak boleh karena
motivasi uang, kekuasaan, ambisi atau bahkan kepentingan primordial
tertentu. Selain itu, asas manfaat penelitian harus demi kesejahteraan
umat manusia, sehingga dengan demikian suatu kegiatan penelitian
senantiasa harus diperhitungkan manfaatnya bagi masyarakat luas
ser­ta peningkatan harkat dan martabat kemanusiaan.

3. Pengabdian kepada Masyarakat


Pengabdian kepada masyarakat adalah suatu kegiatan yang me­
man­faatkan ilmu pengetahuan dalam upaya memberikan sumba­ngan
demi kemajuan masyarakat. Realisasi pengabdian kepada masya­ra­
kat dengan sendirinya disesuaikan dengan ciri khas, sifat serta ka­rak­
te­ristik bidang ilmu yang dikembangkan oleh perguruan tinggi yang
bersangkutan. Aktualisasi pengabdian kepada masyarakat ini, pada
ha­kikatnya merupakan suatu aktualisasi pengembangan ilmu pe­nge­­
tahuan demi kesejahteraan umat manusia. Kegiatan pengabdian ke­
pada masyarakat sebenarnya merupakan suatu aktualisasi kegiatan

xviii
Pendahuluan

masyarakat ilmiah perguruan tinggi yang dijiwai oleh nilai-nilai ketu­


hanan dan kemanusiaan sebagaimana terkandung dalam Panca­sila.

E. Budaya Akademik
Warga dari suatu perguruan tinggi adalah insan-insan yang me­
mi­liki wawasan dan integritas ilmiah. Oleh karena itu, masyarakat aka­
demik harus senantiasa mengembangkan budaya ilmiah yang meru­
pakan esensi pokok dari aktivitas perguruan tinggi. Terdapat sejumlah
ciri masyarakat ilmiah sebagai budaya akademik sebagai berikut:
a) Kritis, senantiasa mengembangkan sikap ingin tahu segala sesuatu
untuk selanjutnya diupayakan jawaban dan pemecahannya mela­
lui suatu kegiatan ilmiah penelitian.
b) Kreatif, senantiasa mengembangkan sikap inovatif, berupaya un­
tuk menemukan sesuatu yang baru dan bermanfaat bagi masya­
rakat.

UP
RO
c) Objektif, kegiatan ilmiah yang dilakukan harus benar-benar ber­

A G
dasarkan pada suatu kebenaran ilmiah, bukan karena kekua­saan,

I
ED
uang maupun ambisi pribadi.

M
d) Analitis, suatu kegiatan ilmiah harus dilakukan dengan suatu me­

D A
tode ilmiah yang merupakan suatu prasyarat untuk tercapainya

NA
suatu kebenaran ilmiah.

PRE
e) Konstruktif, harus benar-benar mampu mewujudkan suatu karya
baru yang memberikan asas kemanfaatan bagi masyarakat.
f) Dinamis, ciri ilmiah sebagai budaya akademik harus dikembang­
kan terus-menerus.
g) Dialogis, dalam proses transformasi ilmu pengetahuan dalam
masyarakat akademik harus memberikan ruang pada peserta di­
dik untuk mengembangkan diri, melakukan kritik serta mendis­
kusikannya.
h) Menerima kritik, sebagai suatu konsekuensi suasana dialogis yaitu
setiap insan akademik senantiasa bersifat terbuka terhadap kritik.
i) Menghargai prestasi ilmiah/akademik, masyarakat intelektual
aka­­demik harus menghargai prestasi akademik, yaitu prestasi dari
suatu kegiatan ilmiah.
j) Bebas dari prasangka, budaya akademik harus mengembangkan
moralitas ilmiah yaitu harus mendasarkan kebenaran pada suatu
kebenaran ilmiah.

xix
spiritualisme pancasila

k) Menghargai waktu, senantiasa memanfaatkan waktu seefektif dan


seefisien mungkin, terutama demi kegiatan ilmiah dan prestasi.
l) Memiliki dan menjunjung tinggi tradisi ilmiah, memiliki karakter
ilmiah sebagai inti pokok budaya akademik
m) Berorientasi ke masa depan, mampu mengantisipasi suatu ke­
giatan ilmiah ke masa depan dengan suatu perhitungan yang cer­
mat, realistis, dan rasional.
n) Kesejawatan/kemitraan, memiliki rasa persaudaraan yang kuat
untuk mewujudkan suatu kerja sama yang baik. Oleh karena itu,
budaya akademik senantiasa memegang dan menghargai tradisi
almamater sebagai suatu tanggung jawab moral masyarakat inte­
lektual akademik.

UP
A G RO
ED I
D A M
NA
PRE

xx
1  Pancasila sebagai Ideologi Bangsa dan Negara

1
pancasila sebagai ideologi
bangsa dan Negara

A. Pengertian Ideologi
Istilah ideologi berasal dari kata idea yang berarti gagasan, konsep,

UP
RO
pengertian dasar, cita-cita, dan logos yang berarti ilmu. Jadi secara har­

I A G
fiah, ideologi berarti ilmu tentang pengertian dasar, ide atau cita-cita.

ED
Cita-cita yang dimaksudkan adalah cita-cita yang tetap sifatnya dan

M
harus dapat dicapai sehingga cita-cita itu sekaligus merupakan da­sar,

D A
pandangan, dan paham.

NA
Kata ideologi pertama kali diperkenalkan oleh seorang filsuf Pe­

PRE
rancis, yakni Antoine Destutt de Tracy pada akhir abad ke-18 untuk
mendefinisikan “sains tentang ide”. Ideologi dapat dianggap sebagai
visi yang komprehensif. Ideologi merupakan cara memandang sega­
la sesuatu, sebagai akal sehat dan beberapa kecenderungan filosofis,
atau sebagai serangkaian ide yang dikemukakan oleh kelas masyarakat
do­­minan kepada seluruh anggota masyarakat (definisi ideologi Mar­
xisme). Ideologi terdiri dari berbagai keyakinan dan cita-cita yang dipe­
luk oleh suatu kelompok tertentu, kelas sosial, bangsa atau suatu ras.
Ideologi yang semula berarti gagasan, ide, cita-cita itu berkembang
menjadi suatu paham mengenai seperangkat nilai atau pemikiran yang
oleh seseorang atau sekelompok orang menjadi suatu pegangan hidup.

1. Beberapa Pengertian Ideologi


Pengertian ideologi bermacam-macam dan memiliki sudut pan­
dang sendiri-sendiri di antara para ahli, di antaranya:
a. Antoine Destutt de Tracy mendefinisikan ideologi sebagai ilmu
tentang pikiran manusia (sama seperti biologi dan zoologi yang

21
spiritualisme pancasila

merupakan ilmu spesies) yang mampu menunjukkan jalan yang


benar menuju masa depan.
b. A.S. Hornby mengatakan bahwa ideologi adalah seperangkat ga­
gasan yang membentuk landasan teori ekonomi dan politik atau
yang dipegangi oleh seorang atau sekelompok orang.
c. Marx dan Engels mengemukakan bahwa ideologi adalah sebuah
doktrin palsu, tepatnya sebuah penjelasan yang palsu guna me­
la­yani kepentingan kelas borjuis. Dalam pengertian sebagai “ke­
sadaran palsu” ini, ideologi berarti “kesadaran yang menyem­bu­
nyikan hubungan riil orang-orang dengan dunia mereka”. Perlu
dipahami bahwa ketika Marx dan Engels bicara tentang ideologi,
ia bicara dalam konteks masyarakat kapitalis, suatu sistem ma­
syarakat yang membagi masyarakat ke dalam dua kelas, yaitu
kelas borjuis dan kelas proletar. Dengan demikian, ketika mereka
berbicara ideologi masyarakat kapitalis, mereka berbicara tentang

P
kesadaran palsu yang mendominasi masyarakat kapitalis.
d. Soerjono Soekanto menyatakan bahwa secara umum ideologi

RO U
G
sebagai kumpulan gagasan, ide, keyakinan, kepercayaan yang me­

I A
nyeluruh dan sistematis, yang menyangkut bidang politik, sosial,
kebudayaan, dan agama.
ED
e.
A M
Frans Magnis Suseno mengatakan bahwa ideologi sebagai suatu

D
NA
sistem pemikiran yang dapat dibedakan menjadi ideologi tertutup

PRE
dan ideologi terbuka.
Ideologi tertutup, merupakan suatu sistem pemikiran tertutup.
Ciri-cirinya berupa cita-cita suatu kelompok orang untuk meng­ubah
dan memperbarui masyarakat; atas nama ideologi dibenarkan pe­
ngorbanan-pengorbanan yang dibebankan kepada masyarakat; isi­nya
bukan hanya nilai-nilai dan cita-cita tertentu, melainkan terdiri dari
tuntutan-tuntutan konkret dan operasional yang keras, yang di­aju­kan
dengan mutlak.
Ideologi terbuka, merupakan suatu pemikiran yang terbuka. Ciri-
cirinya, bahwa nilai-nilai dan cita-citanya tidak dapat dipaksakan
dari luar, tetapi digali dan diambil dari moral, budaya masyarakat itu
sendiri; dasarnya bukan keyakinan ideologis sekelompok orang, me­
lainkan hasil musyawarah dari konsensus masyarakat tersebut; nilai-
nilai itu sifatnya dasar, secara garis besar saja sehingga tidak lang­sung
operasional.
Dari pengertian di atas, dapat dilihat betapa beragamnya pe­nger­
tian ideologi. Hal ini disebabkan setiap orang mempunyai pan­dangan

22
1  Pancasila sebagai Ideologi Bangsa dan Negara

yang berbeda-beda dan tentunya dari sudut pandang yang berbeda-


beda. Dari beberapa definisi di atas, terdapat beberapa unsur yang
memberi batasan tentang ideologi. Unsur-unsur tersebut antara lain:
a. Sekumpulan ide atau gagasan.
b. Tersusun secara sistematis.
c. Bersumber dari pikiran manusia.
d. Mempunyai tujuan dan arah yang jelas.
e. Pedoman tentang cara hidup.
f. Dianut oleh masyarakat.
Koento Wibisono menemukan tiga unsur esensial yang termuat di
dalamnya, yaitu:
a. Keyakinan, dalam arti bahwa setiap ideologi selalu menunjuk ada­
nya gagasan vital yang sudah diyakini kebenarannya untuk di­
jadikan dasar dan arah strategi bagi tercapainya tujuan yang telah

P
ditentukan.
b. Mitos, dalam arti bahwa setiap konsep ideologi selalu memitoskan

RO U
G
suatu ajaran yang secara optimis dan deterministik pasti akan

I A
­men­jamin tercapainya tujuan melalui cara-cara yang telah diten­

ED
tukan pula.

A M
c. Loyalitas, dalam arti bahwa setiap ideologi selalu menuntut ke­

D
NA
terlibatan optimal atas dasar loyalitas dari para subjek pendu­duk­

PRE
nya (Koento Wibisono: 3).

2. Sifat Ideologi
Ada tiga dimensi sifat ideologi, yaitu dimensi realitas, dimensi
idealisme, dan dimensi fleksibilitas.
a. Dimensi Realitas: nilai yang terkandung dalam dirinya, bersumber
dari nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, terutama pada
wak­tu ideologi itu lahir, sehingga mereka betul-betul merasakan
dan menghayati bahwa nilai-nilai dasar itu adalah milik mereka
bersama. Pancasila mengandung sifat dimensi realitas ini dalam
dirinya.
b. Dimensi idealisme: ideologi itu mengandung cita-cita yang ingin
dicapai dalam berbagai bidang kehidupan bermasyarakat, ber­
bangsa, dan bernegara. Pancasila bukan saja memenuhi dimensi
idealisme ini, melainkan juga berkaitan dengan dimensi realitas.
c. Dimensi fleksibilitas: ideologi itu memberikan penyegaran, me­
melihara, dan memperkuat relevansinya dari waktu ke waktu se­

23
spiritualisme pancasila

hingga bersifat dinamis dan demokratis. Pancasila memiliki di­


mensi fleksibilitas karena memelihara, memperkuat relevansinya
dari masa ke masa.

3. Fungsi Ideologi
Fungsi utama ideologi dalam masyarakat menurut Ramlan Sur­
bakti (1999) ada dua, yaitu: sebagai tujuan atau cita-cita yang hendak
dicapai secara bersama oleh suatu masyarakat, dan sebagai pemersatu
masyarakat dan karenanya sebagai prosedur penyelesaian konflik yang
terjadi dalam masyarakat.
Soerjanto Poespowardojo menemukan ada enam fungsi ideologi,
yaitu:
a. Memberikan struktur kognitif, yakni keseluruhan pengetahuan
yang dapat merupakan landasan untuk memahami dan menaf­

P
sirkan dunia dan kejadian-kejadian dalam alam sekitarnya.
b. Memberikan orientasi dasar dengan membuka wawasan yang

RO U
G
mem­berikan makna serta menunjukkan tujuan dalam kehidupan

I A
manusia.

ED
c. Memberikan norma-norma yang menjadi pedoman dan pegang­

A M
an bagi seseorang untuk melangkah dan bertindak.

D
NA
d. Memberikan bekal dan jalan bagi seseorang untuk menentukan

PRE
identitasnya.
e. Memberikan kekuasaan yang mampu menyemangati dan men­
dorong seseorang untuk menjalankan kegiatan dan mencapai tu­
juan.
f. Memberikan pendidikan bagi seseorang atau masyarakat untuk
memahami, menghayati, serta memolakan tingkah lakunya se­
suai dengan orientasi dan norma-norma yang terkandung di da­
lamnya.

B. Pancasila sebagai ideologi Nasional


Ideologi Pancasila ditetapkan sebagai dasar negara juga sekaligus
ideologi nasional. Dalam Pancasila terkandung nilai-nilai luhur dan
cita-cita bangsa Indonesia. Pancasila diangkat dari nilai-nilai, adat
istiadat, kebudayaan, nilai-nilai moralitas yang terdapat dalam pan­
dangan hidup bangsa Indonesia. Dengan demikian, Pancasila sebagai
ideologi bangsa dan negara Indonesia berakar dari pandangan hidup

24
1  Pancasila sebagai Ideologi Bangsa dan Negara

dan budaya bangsa. Pancasila tidak mengadopsi dari ideologi yang ber­
asal dari luar. Justru, nilai-nilai Pancasila lebih unggul dibandingkan
dengan nilai-nilai ideologi dari luar.
Akan tetapi, dalam perjalanan waktu Pancasila dibuat sedemi­kian
rupa demi kepentingan penguasa dalam melanggengkan kekua­sa­an­
nya. Sering kali penguasa yang ada memanfaatkan Pancasila untuk ke­
pentingan politiknya dengan mengatasnamakan ideologi Pancasila.
Pada masa Orde Baru, Soeharto memperlakukan Pancasila sebagai
satu-satunya asas dan bersifat dogmatis sehingga Pancasila menjadi
berhala negara. Pancasila ditafsirkan secara subjektif dan tertutup bagi
kalangan masyarakat. Akibatnya rakyat tidak begitu mengindahkan
ideo­logi Pancasila pada masanya.
Jika mencermati kembali kondisi riil bangsa dan negara Indone­
sia, terdapat dua alasan yang mendukung pendapat bahwa Pancasila
masih sangat dibutuhkan, yaitu:
1) Secara kodrati, bangsa Indonesia memiliki tingkat pluralitas yang

UP
RO
sangat tinggi. Indonesia terdiri dari bermacam-macam suku, bu­

G
daya, agama, serta secara demografis kondisi wilayah Indonesia

ED I A
sangat luas dengan ribuan pulau dari Sabang sampai Merauke.

M
Kondisi ini dapat memberikan implikasi positif bagi tumbuh dan

D A
berkembangnya negara dan bangsa. Akan tetapi, keadaan ini akan

NA
juga berdampak negatif bagi per­satuan dan kesatuan bangsa. Di

PRE
sinilah peran Pancasila sebagai perekat bangsa harus mampu
me­ngikat mereka menjadi satu ke­satuan bangsa yaitu bangsa In­
donesia.
2) Era modern ditandai dengan kemajuan ilmu pengetahu­an dan
teknologi, telah menimbulkan beberapa perubahan yang ada di
dalam masyarakat. Salah satu dampak perubahan tersebut ada­
lah gaya hidup di masyarakat, dan transformasi budaya secara
berangsur-angsur. Dalam kondisi ini sering kali masyarakat sudah
tidak memedulikan nilai-nilai yang ada di masyarakat dan yang
selama ini dipegangnya. Sehubungan dengan hal ini, Pancasila
sebagai ideologi harus mampu menjadi pedoman hidup bagi
rak­yat Indonesia dalam mengarungi semua perkembangan yang
ter­jadi. Dengan masih dipegangnya nilai-nilai Pancasila, bangsa
Indonesia tidak terombang-ambing tanpa arah dan tujuan.
Makna Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia adalah bahwa
nilai-nilai yang terkandung dalam ideologi Pancasila itu menjadi cita-
cita normatif bagi penyelenggaraan bernegara. Dengan kata lain, visi

25
spiritualisme pancasila

atau arah dari penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara


Indo­nesia adalah terwujudnya kehidupan yang berketuhanan, yang
ber­kemanusiaan, yang bersatu, yang berkerakyatan, dan yang berke­
adilan.
Pancasila sebagai ideologi nasional selain berfungsi sebagai cita-
cita normatif penyelenggaraan bernegara, nilai-nilai yang terkandung
dalam Pancasila merupakan nilai yang disepakati bersama, karena itu
juga berfungsi sebagai sarana pemersatu masyarakat yang dapat mem­
persatukan berbagai golongan masyarakat di Indonesia.

C. Pengertian Asal Mula Pancasila


1. Secara Etimologis
Pancasila berasal dari bahasa India yakni bahasa Sansekerta, ba­

P
hasa kasta brahmana. Adapun bahasa rakyat jelata adalah prakerta.

RO
Menurut Prof. H. Moh. Yamin Pancasila ada dua macam arti, yaitu:
U
G
Panca : artinya lima

I A
Syila : dengan satu i, artinya batu sendi, alas atau dasar

ED
Syiila : dengan dua i, artinya peraturan yang penting, baik, atau se­

D A M
nonoh

NA
Dari kata syiila ini dalam bahasa Indonesia menjadi susila artinya

PRE
hal yang baik. Dengan demikian, maka perkataan Pancasyila berarti
batu sendi yang lima, berdasarkan yang lima, atau lima dasar. Adapun
Pancasyiila berarti lima aturan hal yang penting, baik, atau senonoh.

2. Secara Historis
Secara historis, istilah Pancasila mula-mula digunakan oleh ma­
syarakat India yang memeluk agama Buddha. Pancasila berarti lima
aturan (five moral principles) yang harus ditaati dan dilaksanakan oleh
para penganut biasa/awam agama buddha, yang dalam bahasa aslinya
yaitu bahasa Pali. Pancasila yang berisikan lima pantangan yang bu­
nyinya menurut ensiklopedia atau kamus Buddhisme:
1. Panatipata veramani sikkhapadam samadiyami
Jangan mencabut nyawa setiap yang hidup. Maksudnya dilarang
membunuh.
2. Adinnadana veramani sikkhapadam samadiyami
Janganlah me­­ngambil barang yang tidak diberikan. Maksudnya
dilarang men­curi

26
1  Pancasila sebagai Ideologi Bangsa dan Negara

3. Kameshu micchacara veramani sikkhapadam samadiyami.


Ja­ngan­lah berhubungan kelamin yang tidak sah dengan perem­
puan. Maksudnya dilarang berzina.
4. Musawada veramani sikkhapadam samadiyami.
Janganlah berkata palsu. Maksudnya dilarang berdusta.
5. Sura meraya-majja pamadattha veramani sikkhapadam samadi­
yami.
Janganlah meminum minuman yang menghilangkan pikir­ an.
Mak­sudnya dilarang minum minuman keras.
Selanjutnya istilah Pancasila masuk dalam khazanah kesusastraan
Jawa kuno pada zaman Majapahit di bawah pemerintahan Hayam
Wuruk dan Patih Gajah Mada. Istilah Pancasila terdapat dalam buku
keropak Negara Kertagama yang berupa syair pujian ditulis oleh pu­
jangga istana bernama Mpu Prapanca selesai pada 1365, yakni pada
sarga 53 bait 2 yang berbunyi sebagai berikut:
Yatnanggegwani pancasyila kertasangska rabhi sakakakrama,

UP
RO
­arti­nya: Raja menjalankan dengan setia kelima pantangan (pancasila)

A G
itu, begitu pula upacara-upacara adat dan penobatan-penobatan.

I
ED
Selain terdapat dalam buku Negara Kertagama yang masih dalam

M
zaman Majapahit, istilah Pancasila juga terdapat dalam buku Sutasoma

D A
karangan Mpu Tantular. Dalam buku Sutasoma ini, istilah Pancasila

NA
di samping mempunyai arti berbatu sendi yang lima (dalam bahasa

PRE
Sansekerta) juga mempunyai arti pelaksanaan kesusilaan yang lima,
Pancasila krama, yaitu:
1. Tidak boleh melakukan kekerasan.
2. Tidak boleh mencuri.
3. Tidak boleh berjiwa dengki.
4. Tidak boleh berbohong.
5. Tidak boleh mabuk minum minuman keras.
Demikianlah perkembangan istilah Pancasila dari bahasa Sanse­
kerta menjadi bahasa Jawa kuno yang artinya tetap sama dengan yang
terdapat di zaman Majapahit. Pada zaman Majapahit hidup berdam­
pingan secara damai kepercayaan tradisi agama Hindu Syiwa dengan
agama Buddha Mahayana dan campurannya, Tantrayana. Adapun
Mpu Prapanca sendiri kemudian menjabat dharmadyaksa ring kaso­
gatan yaitu penghulu (kepala urusan) agama Buddha.
Sesudah Majapahit runtuh dan Islam tersebar ke seluruh Indo­
nesia, maka sisa-sisa dari pengaruh ajaran moral Buddha yaitu Pan­
casila masih terdapat juga dan dikenal masyarakat Jawa sebagai lima

27
spiritualisme pancasila

larangan (pan­tangan, wewaler, pamali) dan isinya agak lain yaitu yang
disebut “Ma Lima” yaitu lima larangan yang dimulai dari kata “ma”.
Larangan tersebut adalah:
1. Mateni : artinya membunuh.
2. Maleng : artinya mencuri.
3. Madon : artinya berzina.
4. Madat : artinya menghisap candu.
5. Maen : artinya berjudi.
Lima larangan moral atau “Ma Lima” ini dalam masyarakat Jawa
masih dikenal dan masih juga menjadi pedoman moral, tetapi nama­
nya bukan Pancasila, tetapi tetap “Ma Lima”.

3. Secara Terminologis
Secara terminologis, yaitu dimulai sejak sidang BPUPKI tanggal

P
1 Juni 1945, Pancasila digunakan oleh Bung Karno untuk memberi

RO
nama pada lima prinsip dasar negara Indonesia yang diusulkannya.
U
G
Isti­lah tersebut sendiri diberikan dari seorang teman yang ahli bahasa

I A
terutama bahasa Sanksekerta.

ED
Pada 17 Agustus 1945 Indonesia merdeka, keesokan hari­nya 18

A M
Agustus 1945 disahkanlah UUD 1945 yang sebelumnya masih meru­

D
NA
pakan rencana di mana dalam pembukaannya memuat rumusan lima

PRE
dasar Negara Republik Indonesia yang diberi nama Pancasila. Artinya,
lima dasar yang dimaksud yakni dasar falsafah negara Republik In­
donesia yang isinya sebagaimana tertera dalam alinea IV bagian ak­hir
Pembukaan UUD 1945.
Pancasila yang semula berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti
lima aturan hal yang penting, dan selanjutnya “Ma Lima” dalam baha­
sa Jawa Kuno berarti lima pantangan yang kesemuanya itu digunakan
dalam agama Buddha, yang akhirnya Pancasila menjadi bahasa Indo­
nesia yang dipakai sebagai istilah untuk nama dasar filsafat negara Re­
publik Indonesia sampai sekarang.
Di samping perkembangan arti istilahnya, penulisannya pun me­
ngalami proses perkembangan. Menurut ejaan aslinya ditulis huruf
latin pertama-tama, ditulis dengan Panca-Syila. Kemudian dise­ su­
ai­kan dengan ejaan Bahasa Indonesia lama menjadi Pantja-Sila. Ka­
rena istilah Pancasila dipakai nama dasar filsafat negara yang isi­nya
merupakan satu kesatuan, maka menurut Prof. Notonagoro penu­
lisannya tidak dapat dipisahkan, tetapi harus dirangkai jadi satu yaitu

28
1  Pancasila sebagai Ideologi Bangsa dan Negara

“Pantjasila”. Dan, selanjutnya menurut ejaan yang disempurnakan pe­


nulisannya menjadi “Pancasila”.

4. Teori Asal Mula Pancasila


Kemajuan alam pikir manusia sebagai individu maupun kelom­
pok telah melahirkan persamaan pemikiran dan pemahaman ke arah
perbaikan nilai-nilai hidup manusia itu sendiri. Paham yang mendasar
dan konseptual mengenai cita-cita hidup manusia merupakan hakikat
ideologi. Dijadikannya manusia bersuku-suku dan berbangsa-bangsa
di dunia ternyata membawa dampak kepada ideologi yang berbeda-
beda sesuai dengan pemikiran, budaya, adat-istiadat, dan nilai-nilai
yang melekat dalam kehidupan masyarakat tersebut.
Indonesia terlahir melalui perjalanan yang sangat panjang, mulai
dari masa Kerajaan Kutai sampai masa keemasan Kerajaan Majapahit
serta munculnya kerajaan-kerajaan Islam. Kemudian mengalami masa

UP
penjajahan Belanda dan Jepang. Kondisi ini telah menimbulkan se­

RO
mangat berbangsa yang satu, bertanah air satu, dan berbahasa satu

G
yaitu Indonesia. Semangat ini akhirnya menjadi latar belakang para

ED I A
pemimpin yang mewakili atas nama bangsa Indonesia memandang

M
pen­tingnya dasar filsafat negara sebagai simbol nasionalisme.

D A
Kajian pengetahuan proses terjadinya Pancasila dapat ditinjau

NA
dari aspek kausalitasnya dan tinjauan perspektifnya dapat dibedakan

PRE
men­jadi dua, yaitu: aspek asal mula langsung dan aspek asal mula tidak
langsung.

a. Asal Mula Langsung


1. Asal Mula Bahan atau Kausa Materialis adalah bahwa Pancasila
bersumber dari nilai-nilai adat istiadat, budaya, dan nilai religius
yang ada dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia.
2. Asal Mula Bentuk atau Kausa Formalis adalah kaitan asal mula ben­
tuk, rumusan, dan nama Pancasila sebagaimana tertuang dalam
Pembukaan UUD 1945 yang merupakan pemikiran Ir. Soekarno,
Drs. Moh. Hatta, dan para anggota BPUPKI.
3. Asal Mula Karya atau Kausa Effisien adalah penetapan Pancasila
sebagai calon dasar negara menjadi dasar negara yang sah oleh
PPKI.
4. Asal Mula Tujuan atau Kausa Finalis adalah tujuan yang diingin­
kan BPUPKI, PPKI termasuk di dalamnya Ir. Soekarno dan Drs.

29
spiritualisme pancasila

Moh. Hatta dari rumusan Pancasila sebelum disahkan oleh PPKI


menjadi Dasar Negara yang sah.

b. Asal Mula Tak Langsung


Jauh sebelum proklamasi kemerdekaan, masyarakat Indonesia
telah hidup dalam tatanan kehidupan yang penuh dengan:
1. Nilai-nilai Ketuhanan, Nilai Kemanusiaan, Nilai Persatuan, Nilai
Kerakyatan, dan Nilai Keadilan.
2. Penuntun dan penunjuk arah bagi bangsa Indonesia dalam semua
kegiatan dan aktivitas hidup serta kehidupan di segala bidang.
Ni­lai-nilai tersebut merupakan nilai-nilai yang memaknai adat
is­tiadat, kebudayaan serta nilai religius dalam kehidupan sehari-
hari bangsa Indonesia.
3. Oleh karena itu, secara tidak langsung Pancasila merupakan pen­
jelmaan atau perwujudan bangsa Indonesia itu sendiri karena apa
yang terkandung dalam Pancasila merupakan kepribadian dan

UP
RO
pandangan hidup bangsa Indonesia seperti yang dilukiskan oleh

A G
Ir. Soekarno dalam tulisannya “Pancasila adalah lima mutiara ga­

I
ED
lian dari ribuan tahun sap-sapnya sejarah bangsa sendiri.”

D A M
NA
PRE
D. Bangsa Indonesia BerPancasila dalam
Tri Prakara
Dengan nilai adat istiadat, nilai budaya, dan nilai religius yang
telah digali dan diwujudkan dalam rumusan Pancasila yang kemudian
disahkan sebagai dasar negara tersebut pada hakikatnya telah menja­
dikan bangsa Indonesia ber-Pancasila dalam tiga prakara atau tiga asas:
a. Asas Kebudayaan
Secara yuridis Pancasila telah dimiliki oleh bangsa Indonesia da­
lam hal adat istiadat dan kebudayaan.
b. Asas Religius
Toleransi beragama yang didasarkan pada nilai-nilai religius telah
mengakar kuat dalam sehari-hari kehidupan masyarakat Indo­
nesia.
c. Asas Kenegaraan
Karena Pancasila merupakan jati diri bangsa dan disahkan men­
jadi dasar negara maka secara langsung Pancasila sebagai asas
kenegaraan.

30
1  Pancasila sebagai Ideologi Bangsa dan Negara

E. Kedudukan dan Fungsi Pancasila


Pancasila adalah lima nilai dasar luhur yang ada dan berkembang
bersama bangsa Indonesia sekaligus penggerak perjuangan bangsa
pada masa kolonialisme. Hal ini sekaligus menjadi warna dan sikap
serta pandangan hidup bangsa Indonesia hingga secara formal pada
18 Agustus 1945 sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945
disahkan menjadi Dasar Negara Republik Indonesia.

1. Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa


Setiap manusia di dunia pasti mempunyai pandangan hidup. Pan­
da­ngan hidup adalah suatu wawasan menyeluruh terhadap kehidupan
yang terdiri dari kesatuan rangkaian nilai-nilai luhur. Pandangan hidup
berfungsi sebagai alat untuk mengatur hubungan manusia dengan
Tuhannya.

P
Pandangan hidup yang diyakini suatu masyarakat maka akan ber­
kembang secara dinamis dan menghasilkan sebuah pandangan hi­dup

RO U
G
bangsa. Pandangan hidup bangsa adalah kristalisasi nilai-nilai yang

I A
diyakini kebenarannya maupun manfaatnya oleh suatu bangsa sehing­

ED
ga darinya mampu menumbuhkan tekad untuk mewujudkannya di

A M
dalam sikap hidup sehari-hari.

D
NA
Setiap bangsa di mana pun pasti selalu mempunyai pedoman

PRE
sikap hidup yang dijadikan acuan di dalam hidup bermasyarakat.
Demikian juga dengan bangsa Indonesia. Bagi bangsa Indonesia, sikap
hidup yang diyakini kebenarannya tersebut bernama Pancasila. Nilai-
nilai yang terkandung di dalam sila-sila Pancasila tersebut berasal
dari budaya masyarakat bangsa Indonesia sendiri. Oleh karena itu,
Pancasila sebagai inti dari nilai-nilai budaya Indonesia maka Pancasila
dapat disebut sebagai cita-cita moral bangsa Indonesia. Cita-cita moral
inilah yang kemudian memberikan pedoman, pegangan, atau kekuat­
an rohaniah kepada bangsa Indonesia di dalam hidup bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara. Pancasila di samping merupakan cita-cita
moral bagi bangsa Indonesia, juga sebagai perjanjian luhur bangsa In­
donesia. Pancasila sebagaimana termuat dalam Pembukaan Undang-
Undang Dasar 1945 adalah hasil kesepakatan bersama bangsa Indo­
nesia yang pada waktu itu diwakili oleh PPKI. Oleh karena Pancasila
merupakan kesepakatan bersama seluruh masyarakat Indonesia, maka
Pancasila sudah seharusnya dihormati dan dijunjung tinggi.
Pandangan hidup terdiri atas kesatuan rangkaian nilai-nilai luhur
merupakan suatu wawasan yang menyeluruh terhadap kehidupan itu

31
spiritualisme pancasila

sendiri. Fungsi Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa adalah:


a. Kerangka acuan baik untuk menata kehidupan diri pribadi mau­
pun dalam interaksi antarmanusia dalam masyarakat serta alam
sekitarnya
b. Pandangan hidup Pancasila ini dijadikan masyarakat Indonesia
untuk mengembangkan potensi kemanusiaannya sebagai makh­
luk individu dan makhluk sosial dalam rangka mewujudkan kehi­
dupan bersama menuju satu pandangan hidup bangsa dan satu
pandangan hidup negara, yaitu Pancasila.

2. Pancasila sebagai Dasar Negara Republik Indonesia


Dasar negara merupakan alas atau fundamen yang menjadi pijakan
dan mampu memberikan kekuatan kepada berdirinya sebuah negara.
Negara Indonesia dibangun juga berdasarkan pada suatu landasan

P
atau pijakan yaitu Pancasila. Pancasila, dalam fungsinya sebagai da­

RO
sar negara, merupakan sumber kaidah hukum yang mengatur negara
U
G
Re­publik Indonesia, termasuk di dalamnya seluruh unsur-unsurnya

I A
­yak­ni pemerintah, wilayah, dan rakyat. Pancasila dalam kedudukannya

ED
se­perti inilah yang merupakan dasar pijakan penyelenggaraan negara

A M
dan seluruh kehidupan negara Republik Indonesia.

D
NA
Pancasila sebagai dasar negara mempunyai arti menjadikan Pan­

PRE
casila sebagai dasar untuk mengatur penyelenggaraan pemerintahan.
Konsekuensinya adalah Pancasila merupakan sumber dari segala sum­
ber hukum. Hal ini menempatkan Pancasila sebagai dasar negara yang
berarti melaksanakan nilai-nilai Pancasila dalam semua peraturan per­
undang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu, sudah seharusnya
semua peraturan perundang-undangan di negara Republik Indonesia
bersumber pada Pancasila.
Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia mempunyai
implikasi bahwa Pancasila terikat oleh suatu kekuatan secara hukum,
terikat oleh struktur kekuasaan secara formal, dan meliputi suasana
kebatinan atau cita-cita hukum yang menguasai dasar negara (Suhadi,
1998). Cita-cita hukum atau suasana kebatinan tersebut terangkum di
dalam empat pokok pikiran Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945
di mana keempatnya sama hakikatnya dengan Pancasila. Empat po­kok
pikiran Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut lebih lan­
jut terjelma ke dalam pasal Undang-Undang Dasar 1945. Ba­ru­lah dari
pasal Undang-Undang Dasar 1945 itu diuraikan lagi ke dalam banyak

32
1  Pancasila sebagai Ideologi Bangsa dan Negara

peraturan perundang-undangan lainnya, seperti mi­salnya ketetapan


MPR, undang-undang, peraturan pemerintah, dan lain sebagainya.

3. Pancasila sebagai Jiwa dan Kepribadian


Bangsa Indonesia
Menurut Dewan Perancang Nasional, yang dimaksudkan dengan
kepribadian Indonesia yakni: Keseluruhan ciri-ciri khas bangsa Indo­
nesia, yang membedakan bangsa Indonesia dengan bangsa-bangsa
lainnya. Keseluruhan ciri-ciri khas bangsa Indonesia adalah pencer­
minan dari garis pertumbuhan dan perkembangan bangsa Indonesia
sepanjang masa.
Garis pertumbuhan dan perkembangan bangsa Indonesia yang di­
tentukan oleh kehidupan budi bangsa Indonesia dan dipengaruhi ­oleh
tempat, lingkungan, dan suasana waktu sepanjang masa. Walaupun
bangsa Indonesia sejak dahulu kala bergaul dengan berbagai peradaban
kebudayaan bangsa lain (Hindu, Tiongkok, Portugis, Spanyol, Belanda,

UP
RO
dan lain-lain) namun kepribadian bangsa Indonesia tetap hidup dan

I A G
berkembang. Mungkin di sana-sini, misalnya di daerah-daerah ter­

ED
tentu atau masyarakat kota kepribadian itu dapat dipengaruhi oleh

M
unsur-unsur asing, namun pada dasarnya bangsa Indonesia tetap hi­­

D A
dup dalam kepribadiannya sendiri. Bangsa Indonesia secara jelas da­

NA
pat dibedakan dari bangsa-bangsa lain. Apabila kita memperhatikan

PRE
tiap sila dari Pancasila, maka akan tampak dengan jelas bahwa tiap sila
Pan­casila itu adalah pencerminan dari bangsa kita.
Demikianlah, maka Pancasila yang kita gali dari bumi Indonesia
sendiri merupakan:
a. Dasar negara kita, Republik Indonesia, yang merupakan sumber
dari segala sumber hukum yang berlaku di negara kita.
b. Pandangan hidup bangsa Indonesia yang dapat mempersatukan
kita serta memberi petunjuk dalam masyarakat kita yang beraneka
ragam sifatnya.
c. Jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia, karena Pancasila mem­
be­rikan corak yang khas kepada bangsa Indonesia dan tak dapat
di­pi­
sahkan dari bangsa Indonesia, serta merupakan ciri khas
yang dapat membedakan bangsa Indonesia dari bangsa yang
lain. Terdapat kemungkinan bahwa tiap-tiap sila secara terlepas
dari yang lain bersifat universal, yang juga dimiliki oleh bangsa-
bangsa lain di dunia ini, akan tetapi kelima sila yang merupakan
satu kesatuan yang tidak terpisahkan itulah yang menjadi ciri khas
bangsa Indonesia.

33
spiritualisme pancasila

d. Tujuan yang akan dicapai oleh bangsa Indonesia, yakni suatu


masyarakat adil dan makmur yang merata material dan spiritual
berdasarkan Pancasila di dalam wadah Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang merdeka, berdaulat, bersatu, dan berkedaulatan
rakyat dalam suasana perikehidupan bangsa yang aman, tenteram,
tertib, dan dinamis serta dalam lingkungan pergaulan dunia yang
merdeka, bersahabat, tertib, dan damai.
e. Perjanjian luhur rakyat Indonesia yang disetujui oleh wakil-wa­
kil rakyat Indonesia menjelang dan sesudah Proklamasi Ke­mer­­­­
dekaan yang kita junjung tinggi, bukan sekadar karena ia di­­­temu­
kan kembali dari kandungan kepribadian dan cita-cita bangsa
Indonesia yang terpendam sejak berabad-abad yang lalu, me­
lainkan karena Pancasila itu telah mampu membuktikan kebenar­
annya setelah diuji oleh sejarah perjuangan bangsa.
Oleh karena itu, yang penting adalah bagaimana kita memahami,

U
menghayati, dan mengamalkan Pancasila dalam segala segi kehidup­
P
RO
an. Tanpa ini, maka Pancasila hanya akan merupakan rangkaian kata-

A G
kata indah yang tertulis dalam Pembukaan UUD 1945, yang merupakan

I
ED
perumusan yang beku dan mati, serta tidak mempunyai arti bagi kehi­

M
dupan bangsa kita.

D A
Apabila Pancasila tidak menyentuh kehidupan nyata, tidak kita

NA
rasakan wujudnya dalam kehidupan sehari-hari, maka lambat laun

PRE
kehidupannya akan kabur dan kesetiaan kita kepada Pancasila akan
luntur. Mungkin Pancasila akan hanya tertinggal dalam buku-buku
sejarah Indonesia. Apabila ini terjadi maka segala dosa dan noda akan
melekat pada kita yang hidup di masa kini, pada generasi yang telah
begitu banyak berkorban untuk menegakkan dan membela Pancasila.
Akhirnya, perlu juga ditegaskan, bahwa apabila dibicarakan me­
nge­­nai Pancasila, maka yang kita maksud adalah Pancasila yang diru­
muskan dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu:
a. Ketuhanan Yang Maha Esa.
b. Kemanusiaan yang adil dan beradab.
c. Persatuan Indonesia.
d. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam per­
musyawaratan/perwakilan.
e. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Rumusan Pancasila yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945
itulah yang kita gunakan, sebab rumusan yang demikian itulah yang
ditetapkan oleh wakil-wakil bangsa Indonesia pada 18 Agustus 1945

34
1  Pancasila sebagai Ideologi Bangsa dan Negara

dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Se­


perti yang telah ditunjukkan oleh Ketetapan MPR No. XI/MPR/1978,
Pancasila itu merupakan satu kesatuan yang bulat dan utuh dari kelima
silanya. Dikatakan sebagai kesatuan yang bulat dan utuh, karena ma­
sing-masing sila dari Pancasila itu tidak dapat dipahami dan diberi
arti secara sendiri-sendiri, terpisah dari keseluruhan sila-sila lainnya.
Memahami atau memberi arti setiap sila-sila secara terpisah dari
­sila-sila lainnya akan mendatangkan pengertian yang keliru tentang
Pan­casila.

4. Falsafah Pancasila sebagai Dasar Falsafah


Negara Indonesia
Falsafah Pancasila sebagai dasar falsafah negara Indonesia, dapat­
lah kita temukan dalam beberapa dokumen historis dan di dalam per­
undang-undangan negara Indonesia seperti di bawah ini:
a. Dalam Pidato Ir. Soekarno tanggal 1 Juni 1945.

UP
RO
b. Dalam Naskah Politik yang bersejarah, tanggal 22 Juni 1945 alinea

A G
IV yang kemudian dijadikan naskah rancangan Pembukaan UUD

I
ED
1945 (terkenal dengan sebutan Piagam Jakarta).

M
c. Dalam naskah Pembukaan UUD Proklamasi 1945, alinea IV.

D A
d. Dalam Mukadimah Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS)

NA
PRE
tanggal 27 Desember 1945, alinea IV.
e. Dalam Mukadimah UUD Sementara Republik Indonesia (UUDS
RI) tanggal 17 Agustus 1950.
f. Dalam Pembukaan UUD 1945, alinea IV setelah Dekrit Presiden RI
tanggal 5 Juli 1959.
Mengenai perumusan dan tata urutan Pancasila yang tercantum
dalam dokumen historis dan perundang-undangan negara tersebut
adalah agak berlainan tetapi inti dan fundamennya adalah tetap sama
sebagai berikut:
Ir. Soekarno dalam pidatonya pada 1 Juni 1945 untuk per­tama
kalinya mengusulkan falsafah negara Indonesia dengan peru­musan
dan tata-urutannya sebagai berikut:
a. Kebangsaan Indonesia.
b. Internasionalisme atau Perikemanusiaan.
c. Mufakat atau Demokrasi.
d. Kesejahteraan sosial.
e. Ketuhanan.

35
spiritualisme pancasila

Badan Penyelidik Persiapan Kemerdekaan (BPPK) yang istilah


­Je­pangnya Dokuritsu Jumbi Cosakai, telah membentuk beberapa pa­
nitia kerja yaitu:
a. Panitia Perumus terdiri atas 9 orang tokoh, pada 22 Juni 1945, telah
berhasil menyusun sebuah naskah politik yang sangat bersejarah
dengan nama Piagam Jakarta, selanjutnya pada 18 Agustus 1945,
naskah itulah yang ditetapkan sebagai naskah rancangan Pem­
bukaan UUD 1945.
b. Panitia Perancang Undang-Undang Dasar yang diketuai oleh Ir.
Soekarno yang kemudian membentuk Panitia Kecil Perancang
UUD yang diketuai oleh Prof. Mr. Dr. Soepomo, panitia ini berhasil
me­nyusun suatu rancangan UUD RI.
c. Panitia Ekonomi dan Keuangan yang diketuai oleh Drs. Mohammad
Hatta.
d. Panitia Pembelaan Tanah Air, yang diketuai oleh Abikusno
­Tjo­k­ro­sujoso.

UP
RO
Sesudah BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Ke­

I A G
merdekaan Indonesia) merampungkan tugasnya dengan baik, maka

ED
dibubarkan dan pada 9 Agustus 1945, sebagai penggantinya di­bentuk

A M
PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Pada tang­gal 17

D
NA
Agustus 1945, dikumandangkan Proklamasi Kemerdekaan Indo­nesia

PRE
oleh Ir. Soekarno di Pegangsaan Timur 56 Jakarta yang disak­sikan oleh
PPKI tersebut.
Keesokan harinya pada 18 Agustus 1945 PPKI mengadakan si­
dangnya yang pertama dengan mengambil keputusan penting:
a. Mengesahkan dan menetapkan Pembukaan UUD 1945.
b. Mengesahkan dan menetapkan UUD 1945.
c. Memilih dan mengangkat Ketua dan Wakil Ketua PPKI yaitu Ir.
Soe­ karno dan Drs. Mohammad Hatta, masing-masing sebagai
Pre­­siden RI dan Wakil Presiden RI.
d. Sebelum terbentuk MPR – DPR, Presiden dibantu oleh KNIP.
Tugas pekerjaan Presiden RI untuk sementara waktu dibantu oleh
sebuah badan yaitu KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) dan pada
19 Agustus 1945 PPKI memutuskan, pembagian wila­yah Indonesia ke
dalam 8 provinsi dan setiap provinsi dibagi dalam karesidenan-ka­
residenan. Juga menetapkan pembentukan departemen-departemen
Pemerintahan.

36
1  Pancasila sebagai Ideologi Bangsa dan Negara

F. Pancasila dan Identitas Nasional


Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang pernah menjadi bangsa
yang terjajah. Sejarah panjang penjajahan ini telah menumbuhkan rasa
kebangsaan (nasionalisme) yang membedakan wujud identitas bangsa
Indonesia dengan bangsa lain di dunia. Nasionalisme Indonesia sudah
tumbuh dalam kurun waktu yang berbeda, dalam bentuk dan format
yang berbeda, dan dalam perjuangan serta tantangan yang berbeda.
Wujud identitas nasional bangsa Indonesia berupa lambang atau
simbol kenegaraan yang sudah diterima dalam kehidupan negara In­
donesia. Identitas itu berupa bahasa Indonesia, bendera negara, lagu
kebangsaan, lambang negara, dan Pancasila sebagai dasar negara.
Melalui simbol simbol ekspresif seperti bendera, lagu kebangsaan,
dan ideologi negara, nilai-nilai yang abstrak dan tidak tampak menjadi
kekuatan sendiri bagi bangsa Indonesia.

1. Faktor yang Memengaruhi Pembentukan


UP
RO
Identitas Nasional

I A G
Pembentukan bangsa sangat berkaitan dengan identitas yang ada

ED
dalam suatu masyarakat. Demikian pula dengan pembentukan bangsa

A M
Indonesia. Faktor-faktor yang memengaruhi pembentukan iden­titas

D
NA
nasional bangsa Indonesia, meliputi primordial, sakral, tokoh, Bhin­

PRE
neka Tunggal Ika, konsep sejarah, perkembangan ekonomi, dan ke­
lemba­gaan. (Ramlan Surbakti, 1992)

a. Primordial
Ikatan kekerabatan (darah dan keluarga) dan kesamaan suku
bang­­sa, daerah, bahasa, dan adat istiadat merupakan faktor-faktor pri­
mor­­dial yang dapat membentuk negara bangsa.
Primordialisme tidak hanya menimbulkan pola perilaku yang sa­
ma, tetapi juga melahirkan persepsi yang sama tentang masyarakat-
negara yang dicita-citakan. Walaupun ikatan kekerabatan dan ke­sa­­­
maan budaya itu tidak menjamin terbentuknya suatu bangsa, na­­mun
kemajemukan secara budaya mempersulit pembentukan satu nasio­
nalitas baru (negara bangsa) karena perbedaan ini akan melahir­kan
konflik nilai.

b. Sakral
Kesamaan agama yang dianut oleh suatu masyarakat, atau ikatan

37
spiritualisme pancasila

ideologi yang kuat dalam masyarakat, juga merupakan faktor yang dapat
membentuk negara-bangsa. Namun, kadang terjadi kesamaan agama
dan ideologi suatu masyarakat juga menjadi faktor yang mempersulit
proses pembentukan negara-bangsa. Sebagai contoh dapat disebutkan
kesamaan agama Islam di beberapa negara Arab, kesamaan agama
Katolik di negara Amerika Latin, dan sejumlah negara komunis.

c. Tokoh
Kepemimpinan dari seorang tokoh yang disegani dan dihormati
secara luas oleh masyarakat dapat menjadi faktor yang menyatukan
suatu negara-bangsa. Pemimpin ini menjadi panutan, sebab ma­sya­
rakat mengidentifikasi diri kepada sang pemimpin, dan ia dianggap
sebagai ‘penyambung lidah rakyat’.
Pengalaman menunjukkan, suatu masyarakat yang sedang mem­
be­baskan diri dari belenggu penjajahan, biasanya muncul pemimpin
yang karismatik untuk menggerakkan massa rakyat dalam mencapai

UP
RO
kemerdekaannya. Kemudian, pemimpin ini muncul sebagai simbol

I A G
per­satuan bangsa, seperti dwitunggal Soekarno-Hatta di Indonesia,

ED
Yosep Bros Tito di Yugoslavia, dan Gamal Abdul Nasser di Mesir.

D
d. Sejarah
A M
NA
PRE
Persepsi yang sama tentang asal usul (nenek moyang) dan/atau
tentang pengalaman masa lalu, seperti penderitaan yang sama akibat
dari penjajahan, tidak hanya melahirkan solidaritas (sependeritaan
dan sepenanggungan), tetapi juga tekad dan tujuan yang sama antar­
ke­lompok suku bangsa.
Solidaritas, tekad, dan tujuan yang sama itu dapat menjadi identitas
yang menyatukan mereka sebagai bangsa, sebab dengan membentuk
konsep ke-kita-an dalam masyarakat. Sejarah tentang asal usul dan
pengalaman masa lalu ini biasanya dirumuskan dan disosialisasikan
kepada seluruh anggota masyarakat melalui media massa.

e. Bhinneka Tunggal Ika


Prinsip bersatu dalam perbedaan (unity in diversity) merupakan
salah satu faktor yang dapat membentuk bangsa-negara. Bersatu da­
lam perbedaan artinya kesediaan masyarakat untuk bersama dalam
suatu lembaga yang disebut dengan negara, atau pemerintahan wa­
laupun mereka memiliki suku bangsa, adat istiadat, ras, atau agama
yang berbeda.

38
1  Pancasila sebagai Ideologi Bangsa dan Negara

Setiap warga masyarakat akan memiliki kesetiaan ganda sesuai


dengan porsinya. Walaupun mereka tetap memiliki keterikatan pada
identitas kelompok, namun mereka menunjukkan kesetiaan yang lebih
besar pada kebersamaan yang berwujud dalam bentuk negara-bangsa
di bawah suatu pemerintahan yang sah.
Mereka sepakat untuk hidup bersama sebagai bangsa berdasarkan
kerangka politik dan prosedur hukum yang berlaku bagi anggota ma­
syarakat. Agar timbul keruwetan (konflik) antarberbagai kelompok di
kemudian hari, maka perlu dibuatkan peraturan-peraturan yang jelas
tentang soal-soal apa yang menjadi kewenangan negara. Aturan-aturan
ini dirumuskan dalam kerangka politik dan hukum negara tersebut.

f. Perkembangan Ekonomi
Perkembangan ekonomi (industrialisasi) akan melahirkan spe­
sia­l­i­sasi pekerjaan yang beraneka ragam sesuai dengan kebutuhan
ma­sya­rakat. Semakin tinggi mutu dan semakin bervariasi kebutuhan

UP
RO
ma­sya­rakat, semakin tinggi pula tingkat saling bergantung di antara

I A G
ber­bagai jenis pekerjaan. Setiap orang bergantung pada pihak lain

ED
dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Semakin kuat suasana saling

M
bergantung antar-anggota masyarakat karena perkembangan ekonomi,

D A
maka semakin besar pula solidaritas dan persatuan dalam masyarakat.

NA
PRE
g. Kelembagaan
Proses pembentukan bangsa berupa lembaga-lembaga pemerin­
tahan dan politik, seperti birokrasi, angkatan bersenjata, dan partai
politik. Setidaknya terdapat dua sumbangan birokrasi pemerintahan
(pegawai negeri) bagi proses pembentukan bangsa, yakni memperte­
mukan berbagai kepentingan dalam instansi pemerintah dengan ber­
bagai macam kepentingan di kalangan penduduk sehingga tersu­sun
suatu kepentingan nasional, watak kerja, dan pelayanan yang ber­sifat
impersonal, tidak membedakan di antara warga masyarakat. Ang­kat­
an bersenjata berideologi nasionalistis karena fungsinya me­me­lihara
dan mempertahankan keutuhan wilayah dan persatuan bangsa, per­
sonelnya direkrut dari berbagai etnis dan golongan dalam masya­rakat.
Selain soal ideologi, mutasi dan kehadirannya di seluruh wilayah ne­
gara merupakan sumbangan angkatan bersenjata bagi pembinaan
persatuan bangsa.
Keanggotaan partai politik bersifat umum (terbuka bagi warga ne­
gara yang berlainan etnis, agama, dan golongan), kehadiran cabang-

39
spiritualisme pancasila

cabangnya di wilayah negara, dan peranannya dalam menampung


dan memadukan berbagai kepentingan masyarakat menjadi suatu al­
ter­natif kebijakan umum merupakan kontribusi partai politik dalam
proses pembentukan bangsa.

2. Simbol-simbol Kenegaraan sebagai


Identitas Nasional
Simbol-simbol yang menjadi identitas nasional bangsa Indonesia
adalah bahasa Indonesia, bendera merah putih, lagu kebangsaan Indo­
nesia Raya, dan lambang negara Garuda Pancasila.

a. Bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, diangkat dari bahasa
melayu. Alasan diangkatnya bahasa melayu menjadi bahasa Indonesia
di antaranya: (a) bahasa melayu telah lama dipakai sebagai bahasa per­

UP
gaulan di antara suku-suku bangsa di Indonesia, (b) bahasa melayu

RO
banyak digunakan dalam berbagai prasasti yang tersebar di wilayah

I A G
Indonesia, (c) bahasa melayu telah lama digunakan dalam buku-buku

ED
bacaan yang tersebar di seluruh Indonesia (d) adanya sifat demo­kra­

A M
tik dalam bahasa melayu, yang memungkinkan diterima ke dalam ber­

D
NA
bagai kalangan masyarakat pengguna bahasa.

PRE
Bahasa Indonesia menjadi bahasa persatuan diakui keberadaan­
nya dengan dinyatakan dalam sumpah pemuda pada Oktober 1928.
Kemudian ditetapkannya UUD 1945 pada 18 Agus­tus 1945, bahasa
Indonesia menjadi bahasa negara (Pasal 36 UUD 1945). Penggunaan
bahasa Indonesia sebagai bahasa negara berarti ba­hasa resmi yang
berlaku di Indonesia adalah bahasa Indonesia de­ngan tidak menghi­
langkan keberadaan bahasa daerah yang tersebar di seluruh wilayah
Indonesia.
Bahasa Indonesia adalah bahasa persatuan, artinya bahasa yang
digunakan untuk mempersatukan keberadaan bangsa Indonesia mela­
lui pergaulan bersama secara nasional.

b. Bendera Negara
Sang Saka Merah Putih merupakan julukan kehormatan terhadap
bendera Merah Putih negara Indonesia. Pada mulanya sebutan ini
ditujukan untuk bendera Merah Putih yang dikibarkan pada 17 Agus­
tus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta, saat Proklamasi di­

40
1  Pancasila sebagai Ideologi Bangsa dan Negara

laksanakan. Akan tetapi, selanjutnya dalam penggunaan umum, Sang


Saka Merah Putih ditujukan kepada setiap bendera Merah Putih yang
diki­barkan dalam setiap upacara bendera.
Bendera pusaka dibuat oleh Ibu Fatmawati, istri Presiden Soe­
kar­no, pada 1944. Bendera berbahan katun Jepang (ada juga yang
menyebutkan bahan bendera tersebut adalah kain wol dari London
yang diperoleh dari seorang Jepang. Bahan ini memang pada saat itu
digunakan khusus untuk membuat bendera-bendera negara di dunia
karena terkenal dengan keawetannya) berukuran 276 x 200 cm. Sejak
tahun 1946 sampai dengan 1968, bendera tersebut hanya dikibarkan
pada setiap hari ulang tahun kemerdekaan RI. Sejak 1969, bendera itu
tidak pernah dikibarkan lagi dan sampai saat ini disimpan di Istana
Merdeka. Bendera itu sempat sobek di dua ujungnya, ujung berwarna
putih sobek sebesar 12 x 42 cm. Ujung berwarna merah sobek sebesar
15 x 47 cm. Lalu ada bolong-bolong kecil karena jamur dan gigitan

P
serangga, noda berwarna kecoklatan, hitam, dan putih. Karena terlalu
lama dilipat, lipatan-lipatan itu pun sobek dan warna di sekitar li­

RO U
G
patannya memudar.

I A
Setelah 1969, yang dikerek dan dikibarkan pada hari ulang tahun

ED
kemerdekaan RI adalah bendera duplikatnya yang terbuat dari sutra.

A M
Bendera pusaka turut pula dihadirkan namun ia hanya 'me­nyaksikan'

D
NA
dari dalam kotak penyimpanannya.

PRE
1) Sejarah
Warna Merah-Putih bendera negara diambil dari warna kerajaan
Majapahit. Sebenarnya tidak hanya kerajaan Majapahit saja yang me­
makai bendera Merah-Putih sebagai lambang kebesaran. Sebelum
Majapahit, kerajaan Kediri telah memakai panji-panji Merah-Putih.
Selain itu, bendera perang Sisingamangaraja IX dari tanah Batak pun
memakai warna Merah-Putih sebagai warna benderanya, bergambar
pedang kembar warna putih dengan dasar merah menyala dan putih.
Warna merah dan putih ini adalah bendera perang Sisingamangaraja
XII. Dua pedang kembar melambangkan piso gaja dompak, pusaka
raja-raja Sisingamangaraja I-XII. Ketika terjadi perang di Aceh, pe­
juang——pejuang Aceh telah menggunakan bendera perang berupa
umbul-umbul dengan warna merah dan putih, di bagian belakang
diaplikasikan gambar pedang, bulan sabit, matahari, dan bintang serta
beberapa ayat suci Al-Qur’an. Di zaman kerajaan Bugis Bone, Sula­
wesi Selatan sebelum Arung Palakka, bendera Merah Putih, adalah

41
spiritualisme pancasila

simbol kekuasaan dan kebesaran kerajaan Bone. Bendera Bone itu


dikenal dengan nama Woromporang. Pada waktu perang Jawa (1825-
1830 M) Pangeran Diponegoro memakai panji-panji berwarna Merah-
Putih dalam perjuangannya melawan Belanda. Kemudian, warna-
warna yang dihidupkan kembali oleh para mahasiswa dan kemudian
nasionalis di awal abad 20 sebagai ekspresi nasionalisme terhadap
Belanda. Bendera merah putih digunakan untuk pertama kalinya di
Jawa pada 1928. Di bawah pemerintahan kolonialisme, bendera itu
dilarang digunakan. Sistem ini diadopsi sebagai bendera nasional pada
17 Agustus 1945, ketika kemerdekaan diumumkan dan telah digunakan
sejak saat itu pula.

2) Arti Warna
Bendera Indonesia memiliki makna filosofis. Merah berarti berani,
putih berarti suci. Merah melambangkan tubuh manusia, sedangkan
putih melambangkan jiwa manusia. Keduanya saling melengkapi dan

UP
RO
menyempurnakan untuk Indonesia.

G
Ditinjau dari segi sejarah, sejak dahulu kala kedua warna merah

ED I A
dan putih mengandung makna yang suci. Warna merah mirip ­de­­n­gan

M
warna gula jawa/gula aren dan warna putih mirip dengan warna

D A
nasi. Kedua bahan ini adalah bahan utama dalam masakan Indone­

NA
sia, terutama di pulau Jawa. Ketika kerajaan Majapahit berjaya di Nu­

PRE
san­tara, warna panji-panji yang digunakan adalah merah dan putih
(umbul-umbul abang putih). Sejak dahulu warna merah dan putih
ini oleh orang Jawa digunakan untuk upacara selamatan kandungan
bayi sesudah berusia empat bulan di dalam rahim berupa bubur yang
diberi pewarna merah sebagian. Orang Jawa percaya bahwa kehamilan
dimulai sejak bersatunya unsur merah sebagai lambang ibu, yaitu
darah yang tumpah ketika sang jabang bayi lahir, dan unsur putih
­se­bagai lambang ayah, yang ditanam di gua garba.

42
1  Pancasila sebagai Ideologi Bangsa dan Negara

Gambar 1.1 .

P
Pengibaran Pertama Kali Sang Saka Merah Putih pada Hari Proklamasi,

RO U
Tanggal 17 Agustus 1945.
Sumber: Wikipedia Indonesia.

I A G
ED
Setiap orang dilarang:

M
a. Merusak, merobek, menginjak-injak, membakar, atau melakukan

D A
per­buatan lain dengan maksud menodai, menghina, atau meren­

NA
dahkan kehormatan Bendera Negara;

PRE
b. Memakai Bendera Negara untuk reklame atau iklan komersial;
c. Mengibarkan Bendera Negara yang rusak, robek, luntur, kusut,
atau kusam;
d. Mencetak, menyulam, dan menulis huruf, angka, gambar, atau
tanda lain, dan memasang lencana atau benda apa pun pada
Bendera Negara;
e. Memakai Bendera Negara untuk langit-langit, atap, pembungkus
barang, dan tutup barang yang dapat menurunkan kehormatan
Bendera Negara.

c. Lagu kebangsaan
Lagu kebangsaan Indonesia adalah Indonesia Raya. Lagu tersebut
diciptakan oleh Wage Rudolf Supratman. Penggunaan lagu kebangsaan
Indonesia Raya diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 44/1958. Le­
bih lanjut setelah UUD 1945 diamendemen, lagu kebangsaan yakni
Indonesia Raya, ditegaskan dalam Pasal 36B UUD 1945.

43
spiritualisme pancasila

d. Lambang Negara
Lambang negara Indonesia adalah Garuda Pancasila. Lambang
tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 66/1951 tentang
Ben­­tuk dan Ukuran Lambang Negara dan Tata Cara Penggunaannya
diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 43/1958. Setelah UUD 1945
di­
­ amendemen, lambang negara ditegaskan dalam Pasal 36A UUD
1945, bahwa lambang negara Indonesia adalah Garuda Pancasila de­
ngan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Lambang negara Indonesia adalah Garuda Pancasila dengan sem­
boyan Bhinneka Tunggal Ika. Lambang negara Indonesia berbentuk
burung Garuda yang kepalanya menoleh ke sebelah kanan (dari su­
dut pandang Garuda), perisai berbentuk menyerupai jantung yang
digantung dengan rantai pada leher Garuda, dan semboyan Bhinneka
Tunggal Ika yang berarti “Berbeda-beda tetapi tetap satu” ditulis di
atas pita yang dicengkeram oleh Garuda. Lambang ini dirancang oleh

UP
Sultan Hamid II dari Pontianak, yang kemudian disempurnakan oleh

RO
Presiden Soekarno, dan diresmikan pemakaiannya sebagai lambang

A G
negara pertama kali pada Sidang Kabinet Republik Indonesia Serikat

I
ED
tanggal 11 Februari 1950.

D A M
1) Sejarah Terbentuknya

NA
PRE
Garuda, kendaraan (wahana) Wishnu tampil di berbagai Candi
kuna di Indonesia, seperti Prambanan, Mendut, Sojiwan, Penataran,
Belahan, Sukuh, dan Cetho dalam bentuk relief atau arca. Di Prambanan
terdapat sebuah candi di muka candi Wishnu yang dipersembahkan
untuk Garuda, akan tetapi tidak ditemukan Arca Garuda di dalamnya.
Di Candi Siwa Prambanan terdapat relief episode Ramayana yang
meng­gambarkan keponakan Garuda yang juga bangsa dewa burung,
Jatayu, mencoba menyelamatkan Sinta dari cengkeraman Rahwana.
Arca Anumerta Airlangga yang digambarkan sebagai Wishnu tengah
mengendarai Garuda dari Candi Belahan mungkin adalah Arca Garuda
Jawa Kuna paling terkenal, kini arca ini disimpan di Museum Trowulan.
Garuda muncul dalam berbagai kisah, terutama di Jawa dan Bali.
Dalam banyak kisah, Garuda melambangkan kebajikan, pengetahu­
an, kekuatan, keberanian, kesetiaan, dan disiplin. Sebagai kendaraan
Wish­nu, Garuda juga memiliki sifat Wishnu sebagai pemelihara dan
pen­jaga tatanan alam semesta. Dalam tradisi Bali, Garuda dimuliakan
sebagai “Tuan segala makhluk yang dapat terbang” dan “Raja agung
para burung”. Di Bali ia biasanya digambarkan sebagai makhluk yang

44
1  Pancasila sebagai Ideologi Bangsa dan Negara

memiliki kepala, paruh, sayap, dan cakar elang, tetapi memiliki tubuh
dan lengan manusia. Biasanya digambarkan dalam ukiran yang halus
dan rumit dengan warna cerah keemasan, digambarkan dalam posisi
sebagai kendaraan Wishnu, atau dalam adegan pertempuran melawan
Naga. Posisi mulia Garuda dalam tradisi Indonesia sejak zaman kuna
telah menjadikan Garuda sebagai simbol nasional Indonesia, sebagai
perwujudan ideologi Pancasila.
Garuda juga dipilih sebagai nama maskapai penerbangan nasional
Indonesia, Garuda Indonesia. Selain Indonesia, Thailand juga meng­
gunakan Garuda sebagai lambang negara.
Setelah Perang Kemerdekaan Indonesia 1945-1949, disusul peng­
akuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda melalui Konferensi Meja
Bundar pada 1949, dirasakan perlunya Indonesia (saat itu Re­publik
Indonesia Serikat) memiliki lambang negara. Tanggal 10 Januari 1950
dibentuk Panitia Teknis dengan nama Panitia Lencana Negara di

P
bawah koordinator Menteri Negara Zonder Porto Folio Sultan Hamid
II dengan susunan panitia teknis Muhammad Yamin sebagai ke­

RO U
G
tua, Ki Hajar Dewantoro, M. A. Pellaupessy, Moh. Natsir, dan RM Ng

I A
Poerbatjaraka sebagai anggota. Panitia ini bertugas menyeleksi usul­

ED
an rancangan lambang negara untuk dipilih dan diajukan kepada

A
pemerintah.

D M
NA
Merujuk keterangan Bung Hatta dalam buku Bung Hatta Men­

PRE
jawab untuk melaksanakan Keputusan Sidang Kabinet tersebut Men­
teri Priyono melaksanakan sayembara. Terpilih dua rancangan lam­
bang negara terbaik, yaitu karya Sultan
Hamid II dan karya M Yamin. Pada proses
selanjutnya yang diterima pemerintah
dan DPR adalah rancangan Sultan Hamid
II. Karya M. Yamin ditolak karena me­
nyer­takan sinar-sinar matahari yang me­
nampakkan pengaruh Jepang.
Setelah rancangan terpilih, dialog
intensif antara perancang (Sul­tan Ha­mid
II), Presiden RIS Soekarno dan Perdana
Menteri Mohammad Hatta, terus dila­
kukan untuk keperluan penyem­purnaan
rancangan itu. Mereka bertiga sepakat
mengganti pita yang dicengkeram Ga­ Gambar 1.2 Sultan Hamid II
Perancang lambang negara
ruda, yang semula adalah pita merah Republik Indonesia.
putih menjadi pita putih dengan me­ Sumber: Wikipedia Indonesia.

45
spiritualisme pancasila

nambahkan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”. Tanggal 8 Februari


1950, rancangan lambang negara yang dibuat Menteri Negara RIS,
Sultan Hamid II diajukan kepada Presiden Soekarno. Rancangan
lambang negara tersebut mendapat masukan dari Partai Masyumi
untuk diper­timbangkan kembali, karena adanya keberatan terhadap
gambar bu­ rung Garuda dengan tangan dan bahu manusia yang
memegang perisai dan dianggap terlalu bersifat mitologis.
Sultan Hamid II kembali mengajukan rancangan gambar lambang
negara yang telah disempurnakan berdasarkan aspirasi yang ber­kem­­­­
bang, sehingga tercipta bentuk Rajawali-Garuda Pancasila. Di­ sin­
g­­
­
kat Garuda Pancasila. Presiden Soekarno kemudian menye­rah­­­­­­kan
rancangan tersebut kepada Kabinet RIS melalui Moh. Hatta se­­­bagai
perdana menteri. AG Pringgodigdo da­ lam bukunya Sekitar Pan­­­­ca­
sila ter­bitan Dep. Hankam, Pusat Sejarah ABRI menyebutkan, ran­
cangan lambang ne­gara karya Sultan Hamid II akhirnya di­res­mikan

P
pemakaiannya dalam Sidang Ka­binet RIS pada 11 Februari 1950. Ketika

RO U
itu gambar bentuk kepala Raja­wali Garuda Pancasila masih “gun­dul”

G
dan tidak berjambul seperti bentuk sekarang ini. Pre­siden Soekarno

I A
kemu­dian memperkenalkan untuk pertama kalinya lambang negara

ED
itu ke­pa­da kha­layak umum di Hotel Des Indes Jakarta pada 15 Februari
1950.

D A M
NA
Soekarno terus memperbaiki ben­tuk Garu­da Pancasila. Pada 20

PRE
Ma­ret 1950, Soekarno meme­rintahkan pelukis istana, Dullah, melukis
kem­bali rancangan tersebut, setelah sebelumnya diperbaiki antara lain
penambahan “jambul” pada kepala Garuda Pancasila, serta mengubah
posisi cakar kaki yang mencengkram pita dari semula di belakang pita
menjadi di depan pita, atas masukan Presiden Soekarno. Dipercaya
bahwa alasan Soekarno menambahkan jambul karena kepala Garuda
gundul dianggap terlalu mirip dengan Bald Eagle, Lambang Amerika
Serikat. Untuk terakhir kalinya, Sultan Hamid II menyelesaikan pe­
nyem­purnaan bentuk final gambar lambang negara, yaitu dengan me­
nambah skala ukuran dan tata warna gambar lambang negara. Ran­
cangan Garuda Pancasila terakhir ini dibuatkan patung besar dari
bahan perunggu berlapis emas yang disimpan dalam Ruang Ke­mer­
dekaan Monumen Nasional sebagai acuan, ditetapkan sebagai lam­
bang negara Republik Indonesia, dan desainnya tidak berubah hingga
kini.

46
1  Pancasila sebagai Ideologi Bangsa dan Negara

2) Deskripsi dan Arti filsufi

Sila Pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa, dilambangkan dengan cahaya


di bagian tengah perisai berbentuk bintang yang bersudut lima berlatar
hitam.
Sila Kedua: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, dilambangkan dengan
tali rantai bermata bulatan dan persegi di bagian kiri bawah perisai
berlatar merah.
Sila Ketiga: Persatuan Indonesia, dilambangkan dengan pohon beringin
di bagian kiri atas perisai berlatar putih.
Sila Keempat: Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan
dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dilambangkan dengan kepala ban­
teng di bagian kanan atas perisai berlatar merah.
Sila Kelima: Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, dilambangkan
dengan kapas dan padi di bagian kanan bawah perisai berlatar putih.

Garuda Pancasila sendiri adalah burung Garuda yang sudah di­

P
kenal melalui mitologi kuna dalam sejarah bangsa Indonesia, yaitu
ken­daraan Wishnu yang menyerupai burung elang rajawali. Garuda

RO U
G
digunakan sebagai lambang negara untuk menggambarkan bahwa

ED I A
­In­donesia adalah bangsa yang besar dan negara yang kuat.
Warna keemasan pada burung Garuda melambangkan keagungan

D A M
dan kejayaan. Garuda memiliki paruh, sayap, ekor, dan cakar yang me­

NA
lambangkan kekuatan dan tenaga pembangunan.

PRE
Jumlah bulu Garuda Pancasila melambangkan hari proklamasi
kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, antara lain:
• 17 helai bulu pada masing-masing sayap.
• 8 helai bulu pada ekor.
• 19 helai bulu di bawah perisai atau pada pangkal ekor.
• 45 helai bulu di leher.

d. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika


Bhinneka Tunggal Ika adalah moto atau semboyan Indonesia.
Frasa ini berasal dari bahasa Jawa Kuno dan sering kali diterjemahkan
dengan kalimat “Berbeda-beda tetapi tetap satu”. Apabila ini diterje­
mahkan per patah kata, kata Bhinneka berarti “beraneka ragam” atau
“berbeda-beda”. Kata neka dalam bahasa Jawa Kuno berarti “macam”
dan menjadi pembentuk kata “aneka” dalam bahasa Indonesia. Kata
Tunggal berarti “satu”. Kata Ika berarti “itu”. Secara harfiah, Bhinneka

47
spiritualisme pancasila

Tunggal Ika diterjemahkan “Beraneka Satu Itu”, yang bermakna mes­


kipun berbeda-beda tetapi pada hakikatnya bangsa Indonesia tetap
satu kesatuan. Semboyan ini digunakan untuk menggambarkan per­
satuan dan kesatuan Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indo­nesia
yang terdiri atas beraneka ragam budaya, bahasa daerah, ras, suku
bangsa, agama, dan kepercayaan.
Kalimat ini merupakan kutipan dari sebuah kakawin Jawa Kuno
yaitu Kakawin Sutasoma, karangan Mpu Tantular semasa kera­jaan
­Ma­ja­pahit sekitar abad ke-14. Kakawin ini istimewa karena meng­
ajarkan toleransi antara umat Hindu Siwa dengan umat Buddha.
Kutipan ini berasal dari pupuh 139, bait 5. Bait ini secara lengkap
seperti di bawah ini:
Rwãneka dhãtu winuwus Buddha Wiswa, Bhinnêki rakwa ring apan kena
parwanosen, Mangka ng Jinatwa kalawan siwatatwa tunggal, Bhinnêka
tunggal ika tan hana dharma mangrwa.

UP
RO
Terjemahan:

G
Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda. Mereka

ED I A
memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali? Sebab kebenaran
Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal Terpecah belahlah itu, tetapi satu

A M
jugalah itu. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran.

NA D
PRE
3. Pancasila sebagai Identitas Nasional
a. Ketuhanan Yang Maha Esa
Ketuhanan Yang Maha Esa mengandung pengertian bahwa warga
negara percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kepercayaan
dan ketakwaan itu bersifat aktif, sepenuh hati berusaha menjalankan
segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya menurut aga­
manya masing-masing.
Ketuhanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa diwu­
judkan dalam kehidupan sehari-hari. Melalui ajaran agama dan keper­
cayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa kita mendapatkan tuntunan
tingkah laku yang baik dalam hubungannya dengan Tuhan, dalam
­hu­bungannya dengan sesama manusia, serta hubungannya dengan
alam sekitarnya.
Bangsa Indonesia sudah sejak zaman dahulu dikenal sebagai
bang­sa yang religius, bangsa yang selalu meyakini adanya Tuhan Yang
Maha Esa, yaitu Tuhan yang menciptakan alam semesta dan Yang
Maha Bijak­sana, Maha Adil, Maha Pemurah, dan Maha Pencipta (causa

48
1  Pancasila sebagai Ideologi Bangsa dan Negara

prima). Manusia yang merupakan ciptaan Tuhan harus tunduk dan


patuh serta menjalan segala tuntunan agama masing-masing dalam
mendekatkan diri dengan Yang Maha Pencipta.
Pengakuan atas ketuhanan yang maha esa di Indonesia dinyatakan
dalam pembukaan UUD 1945 alinea 3, serta ditegaskan dalam UUD
1945 Pasal 29 ayat 1 dan 2. Hal ini membuktikan dan mempertegas
bahwa bangsa dan negara Indonesia adalah negara beragama, bukan
negara agama (teokrasi) apalagi negara tidak beragama (ateis).

b. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab


Kemanusiaan yang adil dan beradab menunjuk pada identitas
bangsa Indonesia akan sikap adil dan sikap beradab. Adil dalam hu­
bungan kemanusiaan adalah bersikap adil terhadap diri sendiri, ter­
hadap sesama, dan terhadap Tuhannya. Beradab adalah terlaksa­nanya
semua unsur-unsur manusia yang monopluralis.
Salah satu contoh penerapan identitas kemanusiaan yang adil dan

UP
RO
beradab dari bangsa Indonesia berupa pengakuan dan pelaksanaan

I A G
hak asasi manusia. Pelaksanaan hak dalam diri manusia Indonesia

ED
mengandung konsekuensi adanya keseimbangan dengan kewajiban

M
yang menjadi tanggung jawabnya. Hal ini diatur dalam Pasal 28A-28J

D A
UUD 1945, dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

NA
Manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa memiliki akal

PRE
budi dan kehendak, yang merupakan potensi untuk berkembang se­ca­
ra terus-menerus untuk menjadi pribadi yang sempurna. Keberadaan
ma­­nusia yang sempurna dalam pemahaman masyarakat Indonesia
ber­­sifat monopluralis.
Manusia Indonesia yang bersifat monopluralis memiliki unsur-
unsur sebagai berikut:
1. Susunan kodrat manusia, bahwa manusia terdiri atas raga dan jiwa.
Raga adalah tubuh manusia yang bersifat kebendaan, sedangkan
jiwa merupakan unsur manusia yang bersifat kerohanian yang
berupa akal, rasa, dan kehendak.
2. Sifat kodrat manusia, bahwa manusia merupakan makhluk in­
dividu dan makhluk sosial. Manusia sebagai makhluk individu
sebagai pribadi yang berupaya merealisasikan potensi pribadinya,
pada sisi lain sebagai makhluk sosial adalah manusia yang hidup
bermasyarakat.
3. Kedudukan kodrat manusia, bahwa manusia adalah makhluk yang
berdiri sendiri dan makhluk Tuhan. Manusia sebagai makhluk

49
spiritualisme pancasila

yang berdiri sendiri berkedudukan otonom, memiliki eksistensi,


dan pribadi sendiri, manusia sebagai makhluk tuhan berarti ma­
nusia adalah ciptaan Tuhan.

c. Persatuan Indonesia
Konsep persatuan Indonesia dinyatakan dalam pembukaan UUD
1945 alinea kedua dan keempat. Persatuan dan kesatuan bangsa Indo­
nesia mempunyai arti penting dikarenakan beberapa hal, di antaranya
sebagai berikut:
1. Kondisi masyarakat yang bersifat pluralistis (beraneka ragam) da­
lam hal memeluk agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa, suku bangsa, adat istiadat, bahasa daerah, dan tingkatan
sosial. Hal itu sangat memerlukan kesadaran masing-masing pihak
untuk saling menghormati dan bekerja sama, merasa sebagai satu
bangsa yang bertanggung jawab untuk mengemban terwujudnya

U
tujuan pembangunan nasional dengan berprinsip pada semboyan
P
RO
Bhinneka Tunggal Ika.

A G
2. Kondisi alamiah Nusantara yang berada pada posisi silang, di an­

I
ED
tara dua benua dan dua samudra, terdiri atas ribuan pulau yang

M
terbentang luas dari Sabang sampai Merauke. Kondisi geografis

D A
Indonesia yang berada di lintasan garis khatulistiwa mengakibatkan

NA
PRE
Indonesia merupakan salah satu wilayah yang sangat subur untuk
ditanami berbagai macam tanaman khatulistiwa. Berbagai macam
kondisi bangsa dan negara Indonesia ini memungkinkan berbagai
macam masalah yang muncul dari berbagai macam wilayah
yang mengancam eksistensi sebagai sebuah bangsa dan negara.
Ancaman ini bisa berasal dari dalam sendiri maupun yang sifatnya
datang dari luar masyarakat kita. Oleh karena itu, salah satu
cara untuk menghadapi ini baik yang bersifat preventif maupun
represif adalah penguatan identitas nasional dan ideologi negara.
3. Pengalaman sejarah bangsa Indonesia yang mengalami masa
penjajahan selama kurang lebih 3,5 abad oleh bangsa Belanda,
dan 3,5 tahun oleh bangsa Jepang memberikan pelajaran bagi
tumbuhnya kesadaran nasional.

d. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan


dalam Permu­syawaratan/Perwakilan
Pelaksanaan identitas kerakyatan sesuai dengan paham sila ke­
empat Pancasila antara lain diatur dalam penyelenggaraan pemerin­

50
1  Pancasila sebagai Ideologi Bangsa dan Negara

tahan Indonesia seperti tertuang dalam penjelasan UUD 1945.


Prinsip kerakyatan pada hakikatnya merupakan pelaksanaan prin­
sip demokrasi. Demokrasi yang dikembangkan di Indonesia sekarang
ini adalah demokrasi yang berdasarkan Pancasila, yaitu paham de­
mokrasi yang bersumber pada kepribadian dan filsafat bangsa Indo­
nesia yang perwujudannya seperti tertuang dalam UUD 1945.
Dalam demokrasi Pancasila, rakyat adalah subjek demokrasi
yang secara positif ditentukan dalam peraturan perundangan yang
­ber­laku. Aturan permainan dalam kehidupan demokrasi diatur secara
melembaga. Ini berarti bahwa keinginan-keinginan rakyat ­ter­se­but
disalurkan melalui lembaga perwakilan yang ada, yang diben­tuk me­
lalui pemilihan umum yang demokratis. Hasil dari pemilihan umum
itu mencerminkan keinginan rakyat untuk menentu­kan wakil-wakil
yang diharapkan akan menyuarakan aspirasinya.
Demokrasi Indonesia sebagai suatu sistem pemerintahan yang

P
berda­sarkan kedaulatan rakyatlah yang menentukan bentuk dan isi
pemerintahan yang dikehendaki sesuai dengan hati nuraninya. Dalam

RO U
G
hal ini, sudah sewajarnya pemerintah harus memfokuskan perhatian­

I A
nya kepada kepentingan rakyat banyak dalam rangka tercapainya
kemakmuran yang merata.
ED
D A M
NA
e. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia

PRE
Keadilan berasal dari kata adil yang artinya adalah mem­berikan
apa yang menjadi haknya, sesuai dengan peraturan per­un­dangan yang
berlaku, sesuai dengan kebenaran dan kejujuran.
Dalam keadilan terdapat adanya keseimbangan antara hak dan
kewajiban. Keadilan adalah kata sifat yang berarti perbuatan atau
perlakuan adil. Kata sosial berarti berkenaan dengan masyarakat atau
kemasyarakatan. Jadi, keadilan sosial berarti adanya keseimbangan
an­tara hak dan kewajiban di dalam masyarakat. Keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia, berarti adanya keseimbangan antara hak dan
kewajiban di dalam masyarakat.
Pada prinsipnya, sila keadilan sosial bagi seluruh Indonesia meng­
hendaki kemakmuran yang merata dan dinamis, artinya seluruh po­
tensi bangsa diolah bersama-sama menurut kemampuan di bidang
ma­sing masing yang kemudian dimanfaatkan sebesarnya untuk ke­
makmuran seluruh rakyat. Keadilan sosial berarti harus melindungi
yang lemah. Perlindungan yang diberikan adalah untuk mencegah
kesewenangan dari yang kuat dan untuk menjamin keadilan.

51
spiritualisme pancasila

Realisasi dari prinsip keadilan sosial tidak lain adalah dengan


pem­bangunan yang benar-benar dapat dilaksanakan, berguna, dan
dapat dinikmati seluruh rakyat. Oleh karena itu, kita harus berusaha
un­tuk meniadakan segala kepincangan sosial dan kepincangan dalam
pembagian pendapatan.
Nilai nilai yang terkandung dalam sila keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia antara sebagai berikut:
a. Perwujudan keadilan sosial dalam segala kehidupan sosial kema­
sya­rakatan, meliputi seluruh rakyat Indonesia.
b. Keadilan dalam kehidupan sosial terutama meliputi ideologi, po­
litik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan.
c. Cita cita masyarakat adil dan makmur, materiel dan spriritual yang
merata bagi seluruh rakyat Indonesia.
d. Keseimbangan antara hak dan kewajiban serta menghormati hak
orang lain.
e. Cinta akan kemajuan dan pembangunan tanpa meninggalkan ni­

UP
RO
lai-nilai luhur bangsa Indonesia.

I A G
ED
1. Analisis Kasus

A M
Menimbang SKB Menteri

D
NA
Kemajemukan dalam komposisi, cara pandang, dan sosiokultur rakyat

PRE
di negeri ini sudah diantisipasi sejak Republik dilahirkan. Sesuai dengan
Undang-Undang Dasar 1945, negara menjadi rumah bagi ke­bhi­nnekaan
warga negaranya. Namun, perjalanan sejarah bangsa menun­ jukkan,
kekerasan bernuansa suku, agama, ras, dan antargolongan ma­sih saja
berulang.

Ujian bagi kerukunan beragama tak datang pekan lalu saja, seba­gainya
terjadi di Cikeusik, Kabupaten Pandeglang, Banten, atau Te­mang­gung
Jawa Tengah. Kasus penyerangan terhadap warga Ahma­diyah, dalam
catatan Setara Institut, terjadi 276 kali selama tahun 2008-2010. Ini
belum termasuk kasus penyerangan, intimidasi, a ­tau­
pun penutupan
tempat ibadah milik warga minoritas.
Aksi negatif itu seolah menafikan peran negara yang sudah me­ner­
bit­ kan berbagai peraturan untuk meredam pertentangan dan “men­
ji­­
nak­ kan” perbedaan. Dalam konteks Ahmadiyah, pemerintah mener­
bit­kan Surat Keputusan Bersama (SKB) Nomor 3 Tahun 2008 dan No.
199/2008 ten­tang Peringatan dan Perintah kepada Penganut Jemaat
Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Masyarakat. SKB yang ditandatangani
Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri ini, antara lain,
memerintahkan pengikut JAI menghentikan kegiatannya dan warga lain
tidak melakukan kekerasan.

52
1  Pancasila sebagai Ideologi Bangsa dan Negara

Artinya, SKB yang keluar tiga tahun setelah Majelis Ulama Indo­nesia me­
ngeluarkan fatwa Ahmadiyah ajaran sesat itu semestinya adalah jaminan
negara atas keselamatan anggota JAI. Namun, di la­pangan, terpantau
berbagai komplikasi yang muncul pasca SKB. Sering dinyatakan adalah
kurangnya sosialisasi SKB, ketidakpatuhan pihak pada keputusan itu,
dan abainya penyelenggara negara pada maksud SKB.

• Campur Tangan Negara


Sejak Orde Baru, negara tampak berupaya mengendalikan dampak ne­
gatif gesekan antar-umat dengan menerbitkan SKB. Pertama terbit ada­
lah SKB dua menteri No.1/1969 yang mengatur pendirian tem­pat ibadah.
SKB ini jelas mengharuskan persetujuan penduduk setempat terhadap
pembangunan rumah ibadah.
Pada masa Reformasi, SKB ini digugat sejumlah agamawan dan lembaga
swadaya masyarakat. Mereka menilai muatan politis SKB memangkas
hak warga minoritas untuk beribadah. Akan tetapi, tidak sedikit warga
yang menginginkan campur tangan negara dalam mengatur pendirian

P
rumah ibadah.
Dalam perjalanan era Otonomi Daerah, pemerintah mengambil jalan

RO U
G
tengah dengan mengganti SKB No.1/1969 dengan Peraturan Bersama

I A
No.8/2006 dan No.9/2006 tentang pedoman pelaksanaan tugas kepala

ED
daerah atau wakil kepala daerah dalam pemeliharaan kerukunan ber­

M
agama, pemberdayaan forum kerukunan umat beragama, dan pen­dirian

D A
tempat beribadah. Peraturan ini menambahkan persyaratan pen­dirian

NA
rumah ibadah, yakni dukungan dari 90 nama pengguna dan 60 tanda

PRE
tangan warga sekitar.
Namun, kebijakan campur tangan negara itu sejauh ini tampaknya belum
memberikan solusi ideal kemajemukan umat beragama.

Kompas, 14-2-2011

Diskusikanlah kasus ini dengan teman dan orang lain yang peduli
dengan masalah kebangsaan dan kenegaraan, lalu coba Anda jawab
beberapa pertanyaan di bawah ini!
1. Mengapa kasus kekerasan dan konflik antar-umat beragama ma­
sih terus berlangsung sampai dengan sekarang?
2. Bagaimana peranan negara menyikapi hal di atas?
3. Bagaimana implementasi ideologi Pancasila dan UUD 1945 dalam
memelihara kerukunan umat beragama?
4. Solusi apa saja yang kelompok Anda tawarkan dalam memelihara
kerukunan umat beragama dan kebhinnekaan bangsa Indonesia.

53
UP
A GRO
ED I
D A M
NA
PRE
2  Pancasila dalam Konteks Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia

2
pancasila dalam
konteks sejarah perjuangan
bangsa indonesia

A. Masa Kerajaan Nasional di Indonesia


Dalam sejarah nenek moyang bangsa Indonesia, pada awal men­

UP
RO
dia­mi wilayah Indonesia hidup berburu dan mengumpulkan makan­an

I A G
(food gathering). Mereka hidup berkelompok dan mengembara, karena

ED
belum memiliki tempat tinggal tetap. Perkembangan selanjutnya, me­

M
re­­ka sudah bisa bercocok tanam dan hidup menetap (food produ­cing).

D A
Dalam kondisi ini, mereka hidup berdasarkan hubungan kekeluargaan

NA
dan selalu menerapkan prinsip kebersamaan dan gotong royong dalam

PRE
melakukan pekerjaan.
Adapun dari segi ras, orang Indonesia berasal dari ras melayu yang
datang dan kemudian menyebar mendiami berbagai wilayah yang ada
di Nusantara. Kehadiran mereka telah memberikan dasar pon­dasi ba­
gi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara kelak. Orang
Indo­­nesia memiliki kemiripan dengan orang yang ber­asal dari da­taran
Asia, khususnya Asia Tenggara. Persamaan inilah yang menjadi da­sar
hu­bungan yang erat antara satu daerah dengan daerah lainnya.
Nenek moyang kita secara jelas dari zaman dahulu telah menjalani
hidup dalam tata masyarakat yang teratur, bahkan sudah dalam ben­
tuk kerajaan kecil kuno, seperti kerajaan Kutai yang lahir pada abad
V di Kalimantan Timur, dengan rajanya yang terkenal Mulawarman.
Berikutnya adalah kerajaan Sriwijaya dan Majapahit yang memperoleh
masa kejayaan pada masanya masing-masing.

1. Kerajaan Sriwijaya (620-1270)


Pada abad VII, muncullah di Sumatra Selatan (Palembang) sebuah

35
spiritualisme pancasila

kerajaan yang bernama Sriwijaya sebagai kerajaan nasional pertama di


Indonesia di bawah dinasti Syailendra dengan rajanya yang terkenal
Balaputradewa. Sebagai negara maritim, Sriwijaya mempersatukan
Nu­ santara sampai abad XII. Sriwijaya memiliki pengaruh daerah
yang luas, meliputi Jambi, Aceh, dan Malaya bagian timur. Wilayah
ke­kuasaan pun cukup luas, di antaranya Semenanjung Melayu dan
­Fi­­lipina bagian selatan. Selain itu, kerajaan Sriwijaya telah menjalin
kerja sama dengan kerajaan yang ada di dataran Tiongkok.
Sejarah Sriwijaya justru banyak disusun berdasarkan berita-berita
dari pengelana asing, seperti dari Cina, India, atau Arab. Setidaknya ada
18 situs dari masa Sriwijaya di Palembang. Empat situs di antaranya
memiliki penanggalan sekitar abad ke-7 sampai ke-9, yaitu situs
Candi Angsoka, Prasasti Kedukan Bukit, Situs Kolam Pinishi, dan Situs
Tanjung Rawa. Beberapa prasasti juga telah ditemukan, yang isinya
men­ceritakan keberadaan Sriwijaya dan kutukan bagi para pembang­

P
kang. Beberapa peninggalan Sriwijaya juga ditemukan di Jambi, Lam­
pung, Riau, dan Thailand.

RO U
G
Sriwijaya adalah kerajaan Melayu kuno di pulau Sumatra yang

I A
ba­nyak berpengaruh di Nusantara. Bukti awal mengenai keberadaan

ED
kerajaan ini berasal dari abad ke-7; seorang pendeta Tiongkok, I-Tsing,

A M
menulis bahwa ia mengunjungi Sriwijaya tahun 671 selama 6 bulan.

D
NA
Pra­sasti pertama mengenai Sriwijaya juga berada pada abad ke-7, yaitu

PRE
Prasasti Kedukan Bukit di Palembang, Sumatra, pada 683. Kerajaan ini
mulai jatuh sekitar tahun 1200-1300 karena berbagai fak­tor, termasuk
ekspansi kerajaan Majapahit.
Setelah Sriwijaya jatuh, kerajaan ini terlupakan dan sejarawan tidak
mengetahui keberadaan kerajaan ini. Eksistensi Sriwijaya diketahui
secara resmi tahun 1918 oleh sejarawan Perancis George Coedès dari
École française d'Extrême-Orient. Sekitar 1992 hingga 1993, Pierre-
Yves Manguin membuktikan bahwa pusat Sriwijaya berada di Su­ngai
Musi antara Bukit Seguntang dan Sabokingking (terletak di pro­vinsi
Sumatra Selatan, Indonesia).
Sebuah prasasti di Khmer pada masa belakangan menyebutkan
bahwa Jayawarman II sebelum naik takhta telah mengunjungi Jawa.
Jelasnya, Jayawarman II adalah raja yang ditunjuk Sriwijaya sebagai
pengganti raja yang dihabisi oleh Sriwijaya tersebut yang sebelumnya
dibawa ke istana Syailendra untuk mengabdi dan dididik agar jangan
mengulangi perbuatan raja yang dipenggal kepalanya. Cerita ini terjadi
pada tahun 851, zaman keemasan Sriwijaya saat Sriwijaya juga ber­
kuasa atas Sumatra dan Jawa Tengah dengan bukti kemakmuran dan

36
2  Pancasila dalam Konteks Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia

kemegahan yang tak terbantah, yaitu telah membangun monumen


paling indah, Borobudur. Cerita ini dituliskan oleh orang Arab bernama
Abu Zaid Hasan, dari cerita pelayaran seorang pedagang bernama Su­
layman.
Pada 671 seorang pendeta Buddha dari negeri Cina bernama I
Tsing dalam perjalanannya ke India dia mampir ke Sriwijaya untuk
belajar tata bahasa Sansekerta, betapa pentingnya Sriwijaya waktu itu.
Dia mengatakan, di Sriwijaya ada lebih dari seribu pendeta. Setelah
tinggal selama 6 bulan di Sriwijaya, dia bertolak ke Nalanda, India
un­tuk belajar di Universitas Buddha mempelajari Mahayana, selama
13 tahun di sana. Kemudian pada 685 kembali ke Sriwijaya untuk
menerjemahkan teks Buddha ke dalam bahasa Cina dan menyusun
buku memoarnya yang memakan waktu 4 tahun di Sriwijaya. Pada
689 karena kebutuhan alat tulis dan pembantu maka I Tsing ber­tolak
ke Kanton dan kembali ke Sriwijaya dengan 4 orang teman untuk me­

P
rampungkan memoirnya yang akhirnya diselesaikan pada 692 dan
pada 695 ia kembali ke Cina.

RO U
G
Pada 1005 seorang raja Sriwijaya membangun Vihara di Nega­

I A
patam, Pantai Timur India, dan Raja Chola, menghadiahkan hasil pa­

ED
jak tahunannya, sebuah tempat bagi para saudagar Sriwijaya untuk

A M
singgah, berdiam dan memuja. Hal ini menunjukkan pada waktu itu

D
NA
sudah intensif hubungan dagang antara Sriwijaya dengan India. Pada

PRE
era bersama, ada sebuah catatan Cina yang mengatakan bahwa pada
masa itu hidup seorang reformis agama Buddha di Tibet bernama Atisa
yang mengatakan telah belajar di Sriwijaya dari tahun 1011 sampai
dengan 1023 pada seorang mahaguru, Dharmakirti namanya, seorang
kepala kuil Buddha di Sumatra. Dalam biografi Atisa disebutkan, Su­
matra merupakan pusat terbesar agama Buddha dan Dharmakirti sar­
jana ter­besar pada masa itu.

a. Silsilah
Salah satu cara untuk memperluas pengaruh kerajaan adalah de­
ngan melakukan perkawinan dengan kerajaan lain. Hal ini juga dila­
kukan oleh penguasa Sriwijaya. Dapunta Hyang yang berkuasa sejak
664 M, melakukan pernikahan dengan Sobakancana, putri kedua raja
kerajaan Tarumanegara, Linggawarman. Perkawinan ini melahirkan
seorang putra yang menjadi raja Sriwijaya berikutnya: Dharma Setu.
Dharma Setu kemudian memiliki putri yang bernama Dewi Tara.
Putri ini kemudian ia nikahkan dengan Samaratungga, raja kerajaan
Ma­taram Kuno dari Dinasti Syailendra. Dari pernikahan Dewi Setu

37
spiritualisme pancasila

dengan Samaratungga, kemudian lahir Bala Putra Dewa yang menjadi


raja di Sriwijaya dari 833 hingga 856 M. Berikut ini daftar silsilah para
raja Sriwijaya:
Dapunta Hyang Sri Yayanaga (Prasasti Kedukan Bukit 683, Talang
Tuo, 684).
1. Cri Indrawarman (berita Cina, 724).
2. Rudrawikrama (berita Cina, 728, 742)
3. Wishnu (prasasti Ligor, 775)
4. Maharaja (berita Arab, 851).
5. Balaputradewa (prasasti Nalanda, 860).
6. Cri Udayadityawarman (berita Cina, 960).
7. Cri Udayaditya (berita Cina, 962).
8. Cri Cudamaniwarmadewa (berita Cina, 1003, prasasti Lei­ den,
1044).
9. Maraviyayatunggawarman (prasasti Leiden, 1044).
10. Cri Sanggaramawijayatunggawarman (prasasti Chola, 1044).

UP
b. Wilayah Kekuasaan
A G RO
ED I
Dalam sejarahnya, kerajaan Sriwijaya menguasai bagian barat Nu­

A M
santara. Salah satu faktor yang menyebabkan Sriwijaya bisa menguasai

D
NA
seluruh bagian barat Nusantara adalah runtuhnya kerajaan Fu-nan di

PRE
Indocina. Sebelumnya, Fu-nan adalah satu-satunya pemegang ken­
dali di wilayah perairan Selat Malaka. Faktor lainnya adalah kekuatan
armada laut Sriwijaya yang mampu menguasai jalur lalu lintas perda­
gangan antara India dan Cina. Dengan kekuatan armada yang besar,
Sriwijaya kemudian melakukan ekspansi wilayah hingga ke Pulau Jawa.
Dalam sumber lain dikatakan bahwa, kekuasaan Sriwijaya sampai ke
Brunei di Pulau Borneo.
Dari prasasti Kota Kapur yang ditemukan JK Van der Meulen di
Pulau Bangka pada Desember 1892 M, diperoleh petunjuk mengenai
Kerajaan Sriwijaya yang sedang berusaha menaklukkan Bhumi Jawa.
Meskipun tidak dijelaskan wilayah mana yang dimaksud dengan
Bhumi Jawa dalam prasasti itu, beberapa arkeolog meyakini, yang
dimaksud Bhumi Jawa itu adalah Kerajaan Tarumanegara di Pantai
Utara Jawa Barat. Selain dari isi prasasti, wilayah kekuasaan Sri­wijaya
juga bisa diketahui dari persebaran lokasi prasasti-prasasti pe­ning­
galan Sriwjaya tersebut. Di daerah Lampung ditemukan prasasti Palas
Pasemah, di Jambi ada Karang Berahi, di Bangka ada Kota Ka­pur, di
Riau ada Muara Takus. Semua ini menunjukkan bahwa, dae­rah-daerah

38
2  Pancasila dalam Konteks Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia

tersebut pernah dikuasai Sriwijaya. Sumber lain ada yang mengatakan


bahwa, kekuasaan Sriwijaya sebenarnya mencapai Fi­lipina. Ini meru­
pakan bukti bahwa, Sriwijaya pernah menguasai seba­gian besar wi­
layah Nusantara.

c. Struktur Pemerintahan
Kekuasaan tertinggi di kerajaan Sriwijaya dipegang oleh raja. Un­
tuk menjadi raja, ada tiga persyaratan yaitu:
1. Samraj, artinya berdaulat atas rakyatnya.
2. Indratvam, artinya memerintah seperti Dewa Indra yang selalu
memberikan kesejahteraan pada rakyatnya.
3. Ekachattra. Eka berarti satu dan chattra berarti payung. Kata ini
bermakna mampu memayungi (melindungi) seluruh rakyatnya.
Penyamaan raja dengan Dewa Indra menunjukkan raja di Sriwijaya

P
memiliki kekuasaan yang bersifat transenden. Belum diketahui secara
jelas bagaimana struktur pemerintahan di bawah raja. Salah satu pem­

RO U
G
bantunya yang disebut secara jelas hanya senapati yang bertugas se­
bagai panglima perang.

ED I A
A M
d. Kehidupan Ekonomi, Sosial, Budaya

D
NA
Sebagai kerajaan besar yang menganut agama Buddha, di Sriwijaya

PRE
telah berkembang iklim yang kondusif untuk mengembangkan agama
Buddha tersebut. Dalam catatan perjalanan I-tsing disebutkan bahwa,
pada saat itu, di Sriwijaya terdapat seribu pendeta. Dalam perjalanan
pertamanya, I-tsing sempat bermukim selama enam bulan di Sriwijaya
untuk mendalami bahasa Sansekerta. I-tsing juga menganjurkan, jika
seorang pendeta Cina ingin belajar ke India, sebaiknya belajar dahulu
setahun atau dua tahun di Fo-shih (Palembang), baru kemudian bel­ajar
di India. Sepulangnya dari Nalanda, I-tsing menetap di Sriwijaya selama
tujuh tahun (688-695 M) dan menghasilkan dua karya besar yaitu Ta
T‘ang si-yu-ku-fa-kao-seng-chuan dan Nan-hai-chi-kuei-neifa-chuan
(A Record of the Budhist Religion as Practised in India and the Malay
Archipelago) yang selesai ditulis pada 692 M. Ini me­nunjukkan bahwa,
Sriwijaya merupakan salah satu pusat agama Buddha yang penting
pada saat itu.
Sampai awal abad ke-11 M, kerajaan Sriwijaya masih merupakan
pusat studi agama Buddha Mahayana. Dalam relasinya dengan India,
raja-raja Sriwijaya membangun bangunan suci agama Buddha di India.
Fakta ini tercantum dalam dua buah prasasti, yaitu prasasti Raja Dewa­

39
spiritualisme pancasila

paladewa dari Nalanda, yang diperkirakan berasal dari abad ke-9 M


dan prasasti Raja Rajaraja I yang berangka tahun 1044 M dan 1046 M.
Prasasti pertama menyebutkan tentang Raja Balaputradewa dari
Suwarnadwipa (Sriwijaya) yang membangun sebuah biara; sementara
prasasti kedua menyebutkan tentang Raja Kataha dan Sriwijaya, Mara­
wi­jayayottunggawarman yang memberi hadiah sebuah desa untuk di­
persembahkan kepada sang Buddha yang berada dalam biara Cuda­
maniwarna, Nagipattana, India.
Di bidang perdagangan, Kerajaan Sriwijaya mempunyai hubungan
perdagangan yang sangat baik dengan saudagar dari Cina, India, Arab,
dan Madagaskar. Hal itu bisa dipastikan dari temuan mata uang Cina,
mulai dari periode Dinasti Song (960-1279 M) sampai Dinasti Ming
(abad 14-17 M). Berkaitan dengan komoditas yang diperdagangkan,
berita Arab dari Ibn al-Fakih (902 M), Abu Zayd (916 M), dan Mas‘udi
(955 M) menyebutkan beberapa di antaranya, yaitu cengkeh, pala, ka­

P
pu­laga, lada, pinang, kayu gaharu, kayu cendana, kapur barus, gading,

RO
timah, emas, perak, kayu hitam, kayu sapan, rempah-rempah, dan
U
G
penyu. Barang-barang ini dibeli oleh pedagang asing, atau dibarter de­

I A
ngan porselen, kain katun, dan kain sutra.

ED
Pada abad ke-11 M, Sriwijaya mulai mengalami kemunduran.

A M
Pada 1006 M, Sriwijaya diserang oleh Dharmawangsa dari Jawa Timur.

D
NA
Serangan ini berhasil dipukul mundur, bahkan Sriwijaya mampu

PRE
mela­kukan serangan balasan dan berhasil menghancurkan kerajaan
Dharmawangsa. Pada 1025 M, Sriwijaya mendapat se­rangan yang me­
lumpuhkan dari kerajaan Cola, India. Walaupun de­mikian, serangan
tersebut belum mampu melenyapkan Sriwijaya dari muka bumi.
Hingga awal abad ke-13 M, Sriwijaya masih tetap berdiri, walaupun ke­
kuatan dan pengaruhnya sudah sangat jauh berkurang.

2. Kerajaan Majaphit (1293-1520)


Majapahit adalah sebuah kerajaan kuno di Indonesia yang per­
nah berdiri dari sekitar tahun 1293 hingga 1500 M. Kerajaan ini men­
capai puncak kejayaannya pada masa kekuasaan Hayam Wuruk, yang
berkuasa dari tahun 1350 hingga 1389. Majapahit menguasai kera­
jaan-kerajaan lainnya di Semenanjung Malaya, Borneo, Sumatra, Bali,
dan Filipina. Kerajaan Majapahit adalah kerajaan Hindu terakhir di
semenanjung Malaya dan dianggap sebagai salah satu dari negara ter­
besar dalam sejarah Indonesia. Kekuasaannya terbentang di Sumatra,
Semenanjung Malaya, Borneo, dan Indonesia Timur, meskipun wila­
yah kekuasaannya masih diperdebatkan.

40
2  Pancasila dalam Konteks Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia

a. Berdirinya Majapahit
Sesudah Singhasari mengusir Sriwijaya dari Jawa secara kese­lu­
ruhan pada 1290, Singhasari menjadi kerajaan paling kuat di wilayah
tersebut. Hal ini menjadi perhatian Kubilai Khan, penguasa Dinasti
Yuan di Tiongkok. Ia mengirim utusan yang bernama Meng Chi ke
Singhasari yang menuntut upeti. Kertanagara, penguasa kera­ jaan
Singhasari yang terakhir, menolak untuk membayar upeti dan mem­
permalukan utusan tersebut dengan merusak wajahnya dan me­mo­­
tong telinganya. Kublai Khan marah dan lalu memberangkatkan eks­
pedisi besar ke Jawa tahun 1293.
Ketika itu, Jayakatwang, adipati Kediri, sudah membunuh Kerta­
nagara. Atas saran Aria Wiraraja, Jayakatwang memberikan pengam­
punan kepada Raden Wijaya, menantu Kertanagara, yang datang
me­ nye­rahkan diri. Raden Wijaya kemudian diberi hutan Tarik. Ia
mem­buka hutan itu dan membangun desa baru. Desa itu dinamai
Maja­pahit, yang namanya diambil dari buah maja, dan rasa “pahit”
UP
RO
dari buah tersebut. Ketika pasukan Mongolia tiba, Wijaya bersekutu

A G
de­ngan pasukan Mongolia untuk bertempur melawan Jayakatwang.

I
ED
Raden Wijaya berbalik menyerang sekutu Mongolnya sehingga me­

M
maksa mereka menarik pulang kembali pasukannya secara kalang

D A
kabut karena mereka berada di teritori asing. Saat itu juga merupakan

NA
PRE
kesempatan terakhir mereka untuk menangkap angin muson agar
dapat pulang, atau mereka harus terpaksa menunggu enam bulan lagi
di pulau yang asing.
Tanggal pasti yang digunakan sebagai tanggal kelahiran kerajaan
Majapahit adalah hari penobatan Raden Wijaya sebagai raja, yaitu
pada 10 November 1293. Ia dinobatkan dengan nama resmi Ker­ta­­
ra­
jasa Jayawardhana. Kerajaan ini menghadapi masalah. B ­ ebe­
ra­
pa
orang terpercaya Kertarajasa, termasuk Ranggalawe, Sora, dan Nambi
memberontak melawannya, meskipun pemberontakan ter­se­but tidak
berhasil. Slamet Muljana menduga bahwa mahapatih Ha­ la­
yudha­
lah yang melakukan konspirasi untuk menjatuhkan semua orang
ter­percaya raja, agar ia dapat mencapai posisi tertinggi dalam peme­
rintahan. Namun, setelah kematian pemberontak terakhir (Kuti), Hala­
yudha ditangkap dan dipenjara, dan lalu dihukum mati. Raden Wijaya
meninggal dunia pada 1309.
Anak dan penerus Wijaya, Jayanegara, adalah penguasa yang jahat
dan amoral. Ia digelari Kala Gemet, yang berarti “penjahat lemah”.
Pada 1328, Jayanegara dibunuh oleh tabibnya, Tanca. Ibu tiri­ nya

41
spiritualisme pancasila

yaitu Gayatri Rajapatni seharusnya menggantikannya, akan tetapi


Raja­patni memilih mengundurkan diri dari istana dan menjadi pen­
deta wanita. Rajapatni menunjuk anak perempuannya Tribhuwana
Wija­yatunggadewi untuk menjadi ratu Majapahit. Selama kekuasaan
Tribhuwana, kerajaan Majapahit berkembang menjadi lebih besar dan
terkenal di daerah tersebut. Tribhuwana menguasai Majapahit sam­
pai kematian ibunya pada 1350. Ia diteruskan oleh putranya, Hayam
Wuruk.

b. Kejayaan Majapahit
Hayam Wuruk juga disebut Rajasanagara, memerintah Majapahit
dari tahun 1350 hingga 1389. Pada masanya, Majapahit mencapai pun­
cak kejayaannya dengan bantuan mahapatihnya, Gajah Mada. Di ba­
wah perintah Gajah Mada (1313–1364), Majapahit menguasai lebih
banyak wilayah. Pada 1377, beberapa tahun setelah kematian Gajah

UP
Mada, Majapahit melancarkan serangan laut ke Palembang, me­nye­­

RO
babkan runtuhnya sisa-sisa kerajaan Sriwijaya. Jenderal terkenal Maja­

I A G
pahit lainnya adalah Adityawarman, yang terkenal karena penak­luk­

ED
annya di Minangkabau.

M
Menurut Kakawin Nagarakretagama pupuh XIII-XV, daerah ke­

D A
kua­saan Majapahit meliputi Sumatra, Semenanjung Malaya, Borneo,

NA
Sulawesi, Kepulauan Nusa Tenggara, Maluku, Papua, dan sebagian

PRE
Kepulauan Filipina. Namun demikian, batasan alam dan ekonomi
me­nunjukkan bahwa daerah-daerah kekuasaan tersebut tampaknya
tidak­lah berada di bawah kekuasaan terpusat Majapahit, tetapi terhu­
bungkan satu sama lain oleh perdagangan yang mungkin berupa mo­
no­poli oleh raja. Majapahit juga memiliki hubungan dengan Campa,
Kamboja, Siam, Birma bagian selatan, dan Vietnam, dan bah­kan me­
ngirim duta-dutanya ke Tiongkok

c. Jatuhnya Majapahit
Sesudah mencapai puncaknya pada abad ke-14, kekuasaan Maja­
pahit berangsur-angsur melemah. Tampaknya terjadi perang saudara
(Perang Paregreg) pada 1405-1406, antara Wirabhumi melawan Wi­
kra­
mawardhana. Demikian pula telah terjadi pergantian raja yang
dipertengkarkan pada 1450-an, dan pemberontakan besar yang dilan­
carkan oleh seorang bangsawan pada tahun 1468.
Dalam tradisi Jawa, ada sebuah kronogram atau candrasengkala
yang berbunyi sirna ilang kretaning bumi. Sengkala ini konon adalah

42
2  Pancasila dalam Konteks Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia

tahun berakhirnya Majapahit dan harus dibaca sebagai 0041, yaitu


tahun 1400 Saka, atau 1478 Masehi. Arti sengkala, yaitu “sirna hilanglah
kemakmuran bumi”. Namun demikian, yang sebenarnya di­gambarkan
oleh candrasengkala tersebut yakni gugurnya Bre Kerta­bumi, raja ­ke-11
Majapahit, oleh Girindrawardhana.
Ketika Majapahit didirikan, pedagang Muslim dan para penyebar
agama sudah mulai memasuki nusantara. Pada akhir abad ke-14 dan
awal abad ke-15, pengaruh Majapahit di seluruh nusantara mulai ber­
kurang. Pada saat bersamaan, sebuah kerajaan perdagangan baru yang
berdasarkan agama Islam, yaitu Kesultanan Malaka, mulai muncul di
bagian Barat Nusantara. Catatan sejarah dari Tiongkok, Portugis, dan
Italia mengindikasikan bahwa telah terjadi perpindahan kekuasaan
Maja­pahit dari tangan penguasa Hindu ke tangan Adipati Unus, pe­
nguasa dari Kesultanan Demak, antara tahun 1518 dan 1521 M.

P
d. Sistem Perekonomian Majapahit
Majapahit merupakan negara agraris dan sekaligus negara perda­­

RO U
I A G
gangan. Majapahit memiliki pejabat sendiri untuk mengurusi peda­

ED
gang dari India dan Tiongkok yang menetap di ibukota kerajaan mau­

M
pun berbagai tempat lain di wilayah Majapahit di Jawa.

D A
Menurut catatan Wang Ta-yuan, pedagang Tiongkok, komoditas

NA
ekspor Jawa pada saat itu adalah lada, garam, kain, dan burung

PRE
kakak tua sedangkan komoditas impor adalah mutiara, emas, perak,
sutra, barang keramik, dan barang dari besi. Mata uang dibuat dari
campuran perak, timah putih, timah hitam, dan tembaga. Selain itu,
catatan Odorico da Pordenone biarawan Katolik Roma dari Italia yang
mengunjungi Jawa pada 1321 menyebutkan bahwa istana raja Jawa
penuh dengan perhiasan emas perak dan permata.

e. Kebudayaan Majapahit
Ibukota Majapahit di Trowulan merupakan kota besar dan ter­
kenal dengan perayaan besar keagamaan yang diselenggarakan tiap
tahun. Agama Buddha, Siwa, dan Waisnawa (pemuja Wisnu) dipeluk
oleh penduduk Majapahit dan raja dianggap sekaligus titisan Buddha
Siwa maupun Wisnu.
Walaupun batu bata telah digunakan dalam candi pada masa
se­
belum arsitek Majapahitlah yang paling ahli menggunakannya.
Candi-candi Majapahit berkualitas baik secara geometris dengan me­
man­faatkan getah tumbuhan merambat maupun gula merah sebagai

43
spiritualisme pancasila

perekat batu bata. Contoh candi Majapahit yang masih dapat ditemui
sekarang ada­lah Candi Tikus dan Candi Bajangratu di Trowulan
Mojokerto.

f. Struktur Pemerintahan Majapahit


Majapahit memiliki struktur pemerintahan dan susunan birokrasi
yang teratur pada masa pemerintahan Hayam Wuruk dan tampak
struktur dan birokrasi tersebut tak banyak berubah selama perkem­ba­
ngan sejarahnya. Raja dianggap sebagai penjelmaan dewa di dunia dan
ia memegang otoritas politik tertinggi.
Raja dibantu oleh sejumlah pejabat birokrasi dalam melaksanakan
pemerintahan dengan para putra dan kerabat dekat raja memiliki kedu­
dukan tinggi. Perintah raja biasa diturunkan kepada pejabat-pejabat di
bawah antara lain yaitu:
1. Rakryan Mahamantri Katrini biasa dijabat putra-putra raja.
2.

UP
Rakryan Mantri ri Pakira-kiran dewan menteri yang melaksanakan

RO
pemerintahan.
3.

A G
Dharmmadhyaksa para pejabat hukum keagamaan.

I
ED
4. Dharmma-upapatti para pejabat keagamaan.

A M
Dalam Rakryan Mantri ri Pakira-kiran terdapat seorang pejabat

D
NA
yang terpenting yaitu Rakryan Mapatih atau Patih Hamangkubhumi.

PRE
Pejabat ini dapat dikatakan sebagai perdana menteri yang bersama-
sama raja dapat ikut melaksanakan kebijaksanaan pemerintahan. Se­
lain itu, terdapat pula semacam dewan pertimbangan kerajaan yang
ang­gota para sanak saudara raja yang disebut Bhattara Saptaprabhu.
Di bawah raja Majapahit terdapat pula sejumlah raja daerah yang
disebut Paduka Bhattara. Mereka biasa merupakan saudara atau kera­
bat dekat raja dan bertugas dalam mengumpulkan penghasilan kera­
jaan penyerahan upeti dan pertahanan kerajaan di wilayah masing-
masing. Dalam Prasasti Wingun Pitu (1447 M) disebutkan bahwa
pe­­­me­rintahan Majapahit dibagi menjadi 14 daerah bawahan yang di­
pim­­pin oleh seseorang yang bergelar Bhre. Daerah-daerah bawahan
ter­­­se­but yaitu:
1. Kelinggapura.
2. Kembang Jenar.
3. Matahun.
4. Pajang.
5. Singhapura.
6. Tanjungpura.

44
2  Pancasila dalam Konteks Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia

7. Tumapel.
8. Wengker.
9. Daha.
10. Jagaraga.
11. Kabalan.
12. Kahuripan.
13. Keling.

g. Raja-raja Majapahit
Berikut adalah daftar penguasa Majapahit. Perhatikan bahwa ter­
dapat periode kekosongan antara pemerintahan Rajasawardhana (pe­
nguasa ke-8) dan Girishawardhana yang mungkin diakibatkan oleh
krisis suksesi yang memecahkan keluarga kerajaan Majapahit menjadi
dua kelompok.

P
1. Raden Wijaya bergelar Kertarajasa Jayawardhana (1293- 1309).
2. Kalagamet bergelar Sri Jayanagara (1309-1328).

RO U
G
3. Sri Gitarja bergelar Tribhuwana Wijayatunggadewi (1328- 1350).
4.
5.
I A
Hayam Wuruk bergelar Sri Rajasanagara (1350-1389).
Wikramawardhana (1389-1429).
ED
6.
A M
Suhita (1429-1447).

D
NA
7. Kertawijaya bergelar Brawijaya I (1447-1451).

PRE
8. Rajasawardhana bergelar Brawijaya II (1451-1453).
9. Purwawisesa atau Girishawardhana bergelar Brawijaya III (1456-
1466).
10. Pandanalas atau Suraprabhawa bergelar Brawijaya IV (1466-1468).
11. Kertabumi bergelar Brawijaya V (1468-1478).
12. Girindrawardhana bergelar Brawijaya VI (1478-1498).
13. Hudhara bergelar Brawijaya VII (1498-1518).

B. Masa Kerajaan Islam


Masuknya Islam ke bumi Nusantara terjadi pada waktu yang
ber­beda. Ketika kerajaan Sriwijaya masih jaya sekitar abad ke-7 dan
8, pedagang-pedagang Islam sudah berlayar di Selat Malaka. Hal ini
memungkinkan mereka membuat bandar-bandar perdagangan dan
perkampungan orang Islam. Sesudah pusat kerajaan Sriwijaya mele­
mah, maka banyak bandar yang melepaskan diri. Rupanya di bandar-
bandar itu banyak terdapat pedagang Islam yang bergaul dengan pe­

45
spiritualisme pancasila

dagang-pedagang lainnya. Bahkan tidak sedikit dari pedagang Islam


ini memiliki posisi dan kedudukan yang baik sehingga mereka menjadi
penguasa di bandar itu.
Adapun kota-kota dagang yang mula-mula menjadi Islam adalah
Perlak dan Samudra Pasai, kemudian disusul dengan kota-kota lainnya
seperti Gresik, Tuban, Cirebon, dan Banten. Bukti sejarah yang penting
tentang masuknya Islam ke Nusantara adalah ditemukannya batu ni­
san Fatimah Binti Ma’mun yang berangka tahun 1082 di Leran dekat
Gresik dan batu nisan Malik Ibrahim yang menerangkan tahun 1419
di Gresik.
Bukti lain masuknya Islam ke Nusantara adalah kesaksian yang
diberikan oleh Marco Polo seorang saudagar dari Venesia, Italia yang
pada 1292 singgah di Sumatra Utara. Menurut berita Marco Polo, Perlak
(Sumatra Utara) merupakan kota pertama yang menerima agama
Islam, tidak lama kemudian timbullah kerajaan Islam di sebelah barat

P
Perlak yaitu pusat perdagangan samudra dengan ibukotanya ada­lah
Pasai.

RO U
G
Adapun menurut berita Cina pada abad ke-7, pengaruh Islam

I A
masuk Nusantara melalui para pedagang Gujarat yang terletak di

ED
pesisir Pantai Barat (India). Penduduk Gujarat itu sendiri mendapat

A M
pengaruh Islam dari Persia. Adapun ulama Persia yang terkenal, Al-

D
NA
Gha­­zali, berusaha menyesuaikan beberapa hukum Islam dengan alam

PRE
pikiran orang Hindu.

1. Kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia


a. Kerajaan Samudera Pasai
Kerajaan Samudera Pasai adalah kerajaan pertama di Indonesia
yang menganut agama Islam. Secara geografis, letak kerajaan Samudera
Pasai di daerah pantai timur pulau Sumatra bagian Utara. Letak ini
dekat dengan jalur pelayaran perdagangan internasional pada masa
itu yaitu Selat Malaka.
Dengan posisi yang sangat strategis ini, kerajaan Samudera Pasai
berkembang menjadi kerajaan Islam yang cukup kuat pada waktu itu.
Perkembangan ini, didukung oleh hasil bumi dari kerajaan Samudera
Pasai seperti Lada. Di pihak lain, bandar-bandar dari kerajaan Samudera
Pasai juga dijadikan bandar penghubung antara para pedagang Islam
yang datang dari arah barat dengan para pedagang Islam yang datang
dari arah timur.

46
2  Pancasila dalam Konteks Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia

b. Kerajaan Malaka
Pada masa kejayaannya, kerajaan Malaka merupakan pusat perda­
gangan dan penyebaran agama Islam di Asia Tenggara. Perkembangan
kerajaan Malaka ini tidak dapat dipisahkan dengan posisi petak yang
sangat strategis dalam aktivitas pelayaran perdagangan pada masa itu,
yaitu terletak di Semenanjung Malaya dengan ibukotanya terletak di
tepi Selat Malaka. Letak yang sangat strategis ini, berpengaruh besar
terhadap perkembangan pada bidang politik, ekonomi, dan sosial
budaya.

c. Kerajaan Aceh
Kerajaan Aceh berkembang sebagai kerajaan Islam dan menga­lami
kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Perkem­
bangan pesat yang dicapai oleh kerajaan Aceh tidak terlepas dari letak

P
kerajaan yang sangat strategis dalam perdagangan pada saat itu.

RO U
G
d. Kerajaan Demak

ED I A
Kerajaan Demak merupakan kerajaan Islam pertama di Pulau

M
Jawa. Secara geografis, kerajaan Demak terletak di daerah Jawa Tengah,

D A
tetapi pada awal munculnya kerajaan Demak mendapat bantuan dari

NA
para bupati daerah pesisir Jawa Tengah dan Jawa Timur yang telah me­

PRE
nganut agama Islam.
Pada masa sebelumnya, daerah Demak bernama Bintaro meru­
pakan daerah vasal atau daerah di bawah kerajaan Majapahit. Kekua­
saan pemerintahannya diberikan kepada Raden Patah, salah seorang
keturunan Raja Brawijaya V (dari kerajaan Majapahit) yang ibunya me­
ng­anut agama Islam dan berasal dari Jeumpa daerah Pasai.

e. Kerajaan Banten
Dasar-dasar kerajaan Banten diletakkan oleh Hasanuddin (pu­tra
Fatahillah) dan mencapai kejayaannya pada masa Sultan Ageng Tirta­
yasa. Perkembangan kerajaan Banten yang demikian pesatnya tidak
lepas dari posisi letaknya yang strategis.
Secara geografis, kerajaan Banten terletak di daerah Jawa Barat ba­
gian utara. Kerajaan ini menjadi jalur perdagangan yang melalui Selat
Sunda. Dengan posisinya yang strategis ini, kerajaan Banten tumbuh
berkembang dan menjadi kerajaan besar.

47
spiritualisme pancasila

f. Kerajaan Mataram Islam


Kerajaan Mataram Islam ini tidak ada hubungannya dengan ke­
ra­jaan Mataram pada masa perkembangan Hindu-Buddha. Pada awal
perkembangannya, kerajaan Mataram adalah sebuah daerah kadipaten
yang berada di bawah kekuasaan kerajaan Pahang. Letak daerah ke­
rajaan Mataram adalah daerah Jawa Tengah bagian selatan dengan
pusat kota di Kota Gede atau Pasar Gede dekat daerah Yogyakarta
sekarang. Dari daerah inilah kerajaan Mataram terus berkembang
hing­ga akhirnya menjadi sebuah kerajaan besar dengan wilayah ke­
kua­saannya meliputi daerah Jawa Tengah, Jawa Timur, dan sebagian
daerah Jawa Barat.
Pada masa kekuasaan Mataram, aspek kebudayaan juga berkem­
bang pesat. Perkembangan ini memberikan dasar nilai dan dasar kebu­
dayaan pada masyarakat Jawa di kemudian hari. Salah satu bentuk
kebudayaan yang muncul adalah kebudayaan Kejawen yang merupa­

U
kan akulturasi (perpaduan) antara kebudayaan asli Hindu, Buddha,
P
RO
dan Islam. Upacara Grebeg Maulid yang bersumber pada pemujaan

A G
roh nenek moyang berupa kenduri gunungan yang merupakan tradisi

I
ED
se­jak zaman Majapahit waktu perayaannya pada hari raya Idul Fitri,

M
gre­beg Mulud pada bulan Rabiul Awal.

D A
NA
g. Kerajaan Goa dan Tallo

PRE
Kerajaan Goa dan Tallo lebih dikenal dengan sebutan kerajaan
Makassar. Kerajaan ini terletak di daerah Sulawesi Selatan. Secara geo­
grafis daerah Sulawesi Selatan memiliki posisi yang sangat penting ka­
rena dekat dengan jalur pelayaran perdagangan Nusantara. Bahkan
daerah Makassar menjadi pusat persinggahan para pedagang baik
yang berasal dari Indonesia bagian Timur maupun para pedagang yang
berasal dari Barat.

2. Nilai-nilai Peninggalan Kebudayaan


Masa Kerajaan Islam
Seperti telah diuraikan di atas, kebudayaan Indonesia pada masa
kerajaan Islam berkembang dengan pesat. Pengaruh Islam yang ber­
kem­­bang di Indonesia tidak meninggalkan tradisi lama, bahkan banyak
tradisi lama yang dikembangkan ke dalam budaya Islam, seperti seni
bangunan, seni ukir, dan seni sastra.
Selain kebudayaan dan kesenian yang diwariskan kerajaan Islam,

48
2  Pancasila dalam Konteks Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia

kerajaan ini juga meninggalkan nilai-nilai yang sangat baik. Nilai-nilai


itu antara lain:
a. Nilai Persatuan
Nilai persatuan yang muncul pada zaman Islam di Nusantara
terlihat dengan jelas, ketika kerajaan Islam mengusir bangsa asing.
Ketika mengusir bangsa Portugis dari Malaka bebe­rapa kerajaan
Islam membentuk suatu persekutuan, di antaranya adalah kera­
jaan Demak, Palembanhg, dan Aceh.
b. Nilai Musyawarah
Musyawarah merupakan suatu hal yang sangat penting dalam
pemerintahan kerajaan. Seorang raja tidak akan bertindak sendiri
tanpa memusyawarahkan segala rencananya kepada pejabat-peja­
bat istana atau kepada penasihat raja. Isu-isu kenegaraan seperti
perluasan wilayah, memperkuat pasukan, penerimaan pajak rak­
yat, dan lainnya selalu dimusyawarahkan terlebih dahulu.
c. Nilai Keadilan Sosial

UP
RO
Pada masa kekuasaan kerajaan Islam, kehidupan sosial masyara­

G
katnya dilandasi oleh ajaran-ajaran Islam seperti zakat dan se­

ED I A
dekah. Ajaran tentang zakat dan sedekah hingga kini tetap dilak­

M
sanakan di mana setiap orang yang mampu diharapkan dapat

D A
me­nyisihkan sebagian rezekinya untuk dizakatkan kepada orang

NA
yang tidak mampu.

PRE
d. Nilai Toleransi Beragama
Berkembangnya agama Islam di indonesia dilaksakanakan dengan
cara damai. Para pemeluk agama Islam di Indonesia dapat hidup
berdampingan dengan pemeluk agama lainnya. Bahkan di antara
mereka memiliki toleransi yang tinggi, saling menghargai, dan
menghormati.
e. Nilai Cinta Tanah Air
Kerajaan kerajaan Islam yang berkuasa pada abad ke-16 dan 17
memiliki peranan penting dalam mempertahankan wilayah ke­
kuasaannya dari pendudukan bangsa Eropa. Kerajaan Islam mela­
kukan berbagai bentuk perlawanan seperti perlawanan Sultan
Agung dari Mataram terhadap Belanda, perlawanan Hasa­nuddin
dan sebagainya.
f. Nilai Budaya
Perkembangan seni budaya pada masa kekuasaan Islam cukup
pesat. Terbukti dengan munculnya hasil karya budaya masyarakat
seperti seni kaligrafi, seni ukir, seni pahat dan seni bangunan.

49
spiritualisme pancasila

C. Masa Penjajahan Hindia Belanda


Pada awalnya, kedatangan bangsa Eropa ke Indonesia ada­lah un­
tuk mendapatkan rempah-rempah yang sangat mahal harga­nya di
Eropa pada saat itu. Sejak Lisabon sebagai pusat perdagangan rem­
pah-rempah tertutup bagi para pedagang Belanda, maka sejak saat itu
Belanda sudah mulai mencari sumber asal negeri rempah-rempah ini.
Mula-mula, usaha untuk mendapatkan rempah-rempah tersebut
di­pelopori oleh rombongan yang dipimpin oleh Von Nese. Usaha per­
tama ini akhirnya mengalami kegagalan. Penjelajahan selanjutnya di­
pim­pin oleh Cornelis de Houtman, seorang pelaut Belanda, yang per­
nah bekerja di kapal Portugis, sehingga akhirnya pencarian ini ber­hasil
mengantarkan ke bumi Nusantara.
Rombongan ini pertama kali mendarat di pelabuhan Banten yang
kebetulan pada saat itu merupakan pelabuhan yang bebas. Setelah
men­ darat di Banten dan membeli serta mengumpulkan rempah-
rempah, rombongan Cornelis de Houtman selanjutnya meneruskan
UP
RO
per­ja­lan­annya ke arah Indonesia bagian Timur (Maluku), dan kemu­

A G
dian kembali ke negeri Belanda dengan membawa sejumlah rempah-

I
ED
rempah yang mereka inginkan.

D A M
1. Lahirnya VOC

NA
PRE
Persaingan antara sesama pedagang Belanda dan pedagang Eropa
lainnya, misalnya Portugis, untuk mendapatkan rempah-rempah se­
banyak mungkin semakin hari semakin meningkat. Untuk memper­
kuat kongsi dagang, maka atas dukungan dan prakarsa pemerintahan
atau kerajaan Belanda, maka pada 1602 dibentuklah kongsi da­gang
yang bernama Vereenigde Oost Indische Compagnie yang ber­arti perse­
kutuan dagang Hindia Timur, kemudian lebih terkenal dengan nama
VOC.

a. Tujuan VOC
VOC didirikan dengan tujuan sebagai berikut:
1. Intern, untuk menghindari persaingan antara sesama pengusa Be­
landa.
2. Ekstern, menggalang kekuataan untuk menyaingi bangsa Spanyol-
Portugis yang merupakan musuh besar bangsa Indonesia.
Kenyataannya VOC berkembang dan bertahan lama di bumi Nu­
santara karena didukung oleh beberapa faktor sebagai berikut:

50
2  Pancasila dalam Konteks Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia

1. Hak istimewa untuk berdagang selama 21 tahun, kemudian


diperpanjang sampai 12 kali.
2. Sebagai perserikatan dagang, memperoleh hak monopoli antara
Tanjung Harapan sampai Magellan.
3. Membuat perjanjian dagang dengan raja-raja Indonesia.
4. Mengangkat pegawai yang dibutuhkan.
5. Mempunyai hak memelihara pertahanan diri.
6. Mendirikan benteng-benteng pertahanan.
7. Mencetak dan mengeluarkan mata uang.
8. Menyatakan perang.

b. Runtuhnya VOC
Pada akhir abad ke-18 VOC mengalami kemunduran, sebab-sebab
runtuhnya VOC, antara lain:

P
1. Gaji pegawai VOC terlalu rendah, sehingga banyak pejabat yang
ko­rup dan bertindak curang.

RO U
G
2. Dalam bidang perdagangan banyak saingan yang harus dihadapi

I A
VOC, yaitu bangsa Perancis (Compagnie Des Indies/CDI) dan Ing­

ED
gris (East Indian Company/EIC).

A M
3. Pembagian keuntungan tetap diberikan kepada pedagang-peda­

D
NA
gang, walaupun VOC pada waktu itu mengalami kerugian, karena

PRE
khawatir para pedagang tersebut menarik modalnya.
4. Terlalu banyak dana yang keluar untuk peperangan melawan para
raja dan sultan.
5. Karena kekuasaan VOC makin luas, maka perlu pegawai yang sa­
ngat besar pula.

2. Masa Pemerintahan Kolonial Belanda


Kondisi VOC bertambah parah saat Belanda menjadi negara bo­
neka Perancis. Untuk mempertahankan Indonesia, Napoleon meng­
angkat Hernan Williem Daendels sebagai gubernur jenderal. Selama
berkuasa, Daendels memerintah dengan tangan diktator yang menim­
bulkan penderitaan rakyat sangat parah. Selama berkuasa, Daendels
me­laksanakan beberapa kebijakan antara lain:
1. Melaksanakan sistem pemerintahan ala Barat.
2. Melakukan pembagian wilayah pulau Jawa menjadi sembilan ba­
gian.
3. Menjadikan para bupati sebagai pegawai negeri.

51
spiritualisme pancasila

4. Membentuk pengadilan keliling untuk warga pribumi.


5. Membangun benteng di daerah pedalaman.
6. Membangun jalan dari Anyer sampai Panarukan kurang lebih
1.000 km.
Tindakan-tindakan Daendels ini sangat keras, bengis, dan kejam,
akibatnya Daendels ditarik dari Hindia Belanda digantikan oleh Janssen
dengan mewarisi keadaan yang sangat sulit. Dalam keadaan seperti ini,
pengaruh kekuasaan Inggris mulai masuk dan berkuasa di Indonesia.

3. Politik Pemerintahan Belanda pada Abad ke-19


Politik pemerintahan Belanda pada abad ke-19 dilakukan secara
bertingkat-tingkat yaitu:
a. Politik Pemerasan (1800-1849)
Belanda berusaha mendapatkan keuntungan yang sebesar-be­

P
sarnya dengan mengeluarkan biaya yang sekecil-kecilnya, karena

RO
kas negara dalam keadaan kosong. Untuk menghimpun modal,
U
G
diterapkan sistem cultuur stelsel atau tanam paksa. Selama masa

I A
tanam paksa, bangsa Indonesia mengalami kesengsaraan yang

ED
sa­ngat dalam. Hal ini disebabkan para pribumi dijadikan pekerja

A M
rodi untuk menghidupi dan meningkatkan sektor ekonomi di ne­­

D
NA
geri Belanda.

PRE
b. Politik Liberal (1850-1890)
Politik liberal swasta Belanda menuntut adanya kebebasan dalam
perekonomian dan perdagangan. Kebijaksanaan ini merupakan
pengaruh Revolusi Perancis. Pengusaha Belanda mendapat ke­
sem­patan berusaha dan berdagang dengan bebas di Indonesia.
Akibatnya, rakyat Indonesia semakin menderita dan miskin, se­
lain itu, perlakuaan Belanda terhadap bangsa Indonesia tidak ber­­
perikemanusiaan karena mereka menganggap orang pribumi se­
bagai budak yang bisa dipekerjakan setiap waktu.
c. Politik Etika (1890-1918)
Politik etis muncul atas kebijakan liberal yang diterapkan oleh
pemerintah kolonial Belanda. Politik etis pada awal pembentukan
programnya adalah untuk membalas budi rakyat Indonesia karena
telah menyelamatkan Belanda dari kesulitan ekonomi. Namun,
karena jiwa yang tertanam dalam diri mereka bahwa mereka ada­
lah yang menjajah politik balas budi ini tetap diselewengkan untuk
kepentingan Belanda.

52
2  Pancasila dalam Konteks Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia

d. Sistem Tanam Paksa (cultuurstelsel)


Sistem tanam paksa muncul karena kas negeri Belanda dalam
keadaan kosong, hal ini akibat perang yang terjadi di Eropa dan
untuk menghalau berbagai macam pemberontakan dan perla­
wanan yang dilakukan bangsa Indonesia. Akibat perang ini, utang
Belanda bertambah banyak. Dalam keadaan seperti ini, Belanda
membutuhkan dana yang lebih besar untuk mengisi kekosongan
kas tersebut. Salah satu upaya ini dengan melakukan sistem tanam
paksa (cultuur stelsel), yaitu dengan menanam semua tanaman
yang laku di pasaran Eropa. Aturan-aturan yang ditetapkan dalam
sistem tanam paksa yaitu:
1. Belanda mengadakan kontrak dengan rakyat mengenai penye­
rahan sebagian tanah pertanian desa yang akan ditanami
tanaman yang laku di pasaran Eropa.
2. Luas tanah yang digunakan adalah seperlima dari lahan per­

P
tanian desa.
3. Tanah yang digunakan bebas dari pajak.

RO U
G
3. Tenaga yang digunakan untuk menanam tanaman tersebut


ED I A
tidak melebihi tenaga yang digunakan untuk menanam padi.
5. Waktu yang digunakan untuk memelihara tanaman cultuur

D A M
stelsel adalah 60 hari.

NA
6. Penduduk yang bukan petani diwajibkan bekerja di kebun, di

PRE
pabrik, atau untuk pengangkutan.
7. Hasil bumi yang telah ditentukan diserahkan kepada Belanda.
e. Penyelenggaraan Tanam Paksa
Sebetulnya, teori dan aturan tanam paksa ini baik, namun dalam
pelaksanaannya menjadi sangat buruk karena adanya sistem cul­
tuur procen. Sistem ini berupa semacam upah yang diberikan
kepada pegawai-pegawai Belanda atas banyaknya hasil tanaman
yang diserahkan, makin banyak pula mereka memperoleh upah.
Penyelewengan sistem tanam paksa ini membawa dampak sebagai
berikut:
1. Menurut teori, tanah desa yang digunakan adalah seperlima
bagian, tetapi dalam praktiknya sampai setengahnya atau
lebih.
2. Tanah subur untuk kepentingan pihak belanda, sedang tanah
yang tidak subur untuk kepentingan rakyat.
3. Waktu yang digunakan untuk memelihara tanaman melebihi
waktu menanam padi, sehingga waktu untuk mencari kebu­
tuhan keluarga semakin berkurang.

53
spiritualisme pancasila

4. Tempat bekerja sering terlalu jauh dari rumahnya, dan mereka


harus membawa bekal sendiri.
5. Bila panen gagal, walaupun bukan kesalahan rakyat kerugian
harus diganti oleh rakyat.
6. Sistem tanam paksa ini bukan hanya dilaksanakan di Pulau
Jawa, tetapi juga dilaksanakan di Sumatra Barat dan Sulawesi
Utara.
f. Akibat Tanam Paksa
Sistem tanam paksa membawa dampak negatif bagi bangsa In­
do­nesia, misalnya, kemiskinan, kesengsaraan, panen gagal, pe­
maksaan sewenang-wenang, dan kelaparan terjadi di mana-mana.
g. Reaksi Terhadap Tanam Paksa
Sistem tanam paksa menimbulkan reaksi dari bangsa Belanda
yang memiliki semangat perikemanusiaan, yaitu:
1. Baron Van Hoevel

P
Sekitar tahun 1847, ia tinggal di Indonesia sebagai seorang

RO U
pendeta. Dalam perjalanannya di Jawa, Bali, dan Madura, ia

G
menyaksikan langsung beban penderitaan, kesengsaraan,

I A
dan siksaan rakyat Indonesia akibat sistem tanam paksa. Me­

ED
nu­­rut Van Hoevel, sistem tanam paksa ini berlangsung tidak

A M
ma­nusiawi.

D
NA
2. Eduard Douwes Dekker

PRE
Ia adalah seorang politikus dan pernah menjabat sebagai
asis­ten Bupati Lebak di Banten. Ia sangat cinta dan simpati
ter­hadap bumiputera dari penindasan, penyiksaan, dan pe­
nganiyaan. Dengan memakai nama samaran Multatuli, pada
tahun 1859, ia mengarang sebuah buku dengan judul Max
Havelaar (lelang kopi persekutuan dagang Belanda).

D. Masa Perjuangan pada Masa Penjajahan


Perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajah dilakukan dengan
beberapa cara, yaitu dengan mengangkat senjata dan berdiplomasi.
Perjuangan melawan penjajah terbagi menjadi dua periode, yaitu per­
juangan sebelum abad ke-20 dan perjuangan pada abad ke-20.

E. Masa Pergerakan Kemerdekaan


Pergerakan nasional adalah suatu bentuk perlawanan terhadap

54
2  Pancasila dalam Konteks Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia

kaum penjajah yang dilaksanakan tidak dengan menggunakan ke­


kuatan bersenjata, tetapi menggunakan organisasi yang bergerak di
bidang sosial, budaya, ekonomi, dan politik. Perjuangan melalui sen­jata
memiliki rentang sejarah yang cukup lama namun belum menghasil­
kan kemerdekaan seperti yang diidamkan oleh para pejuangnya.
Pada awalnya, berdirinya organisasi ini tidak ditujukan untuk
perlawanan terhadap kaum penjajah, tetapi organisasi-organisasi ter­
sebut pada dasarnya didirikan dalam upaya meningkatkan kesejah­
teraan rakyat yang mengalami penderitaan akibat penjajahan, namun
pada akhirnya untuk mewujudkan kemerdekaan. Dalam perkem­bang­
annya, berbagai macam organisasi tumbuh subur dan memberikan
warna tersendiri dalam pergerakan di Indonessia saat itu.
Pergerakan nasional melawan penjajahan Belanda di Indonesia
awali pada permulaan abad ke-20, dengan berdirinya organisasi
di­
Budi Utomo, Syarikat Islam, dan berbagai macam organisasi lainnya.

P
Or­ganisasi-organisasi yang berdiri pada masa itu disebut sebagai orga­
nisasi pergerakan nasional, yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

RO U
G
a. Keanggotaan tidak didasarkan atas kelompok etnis (suku) tertentu
tetapi semua kelompok etnis.

ED I A
M
b. Sebagian besar pemimpin organisasi pergerakan nasional itu ber­

D A
asal dari kalangan terdidik yang memperoleh pendidikan Barat

NA
serta kelompok intelektual yang sudah bergaul dengan berbagai

PRE
bangsa, baik melalui sekolah dalam negeri, Belanda, maupun yang
telah menunaikan ibadah haji.
c. Organisasi-organisasi pergerakan nasional tersebut memiliki tu­
juan yang jelas bagi kepentingan seluruh bangsa di bidang sosial,
pendidikan, ekonomi, budaya, dan politik.
d. Organisasi-organisasi pergerakan nasional memiliki paham ke­
bang­saan atau nasionalisme (Nur Wahyu Rochmadi, 2008: 116).
Faktor Pendorong Munculnya Pergerakan Nasional Indonesia:
1. Faktor Ekstern
a. Munculnya kesadaran tentang pentingnya semangat ke­bang­
saan, semangat nasional, perasaan senasib sebagai bang­sa
terjajah, ser­ta keinginan untuk mendirikan negara ber­daulat
lepas dari ceng­­keraman imperalisme di seluruh negara-ne­
gara jajahan di Asia, Afrika, dan Amerika Latin pada akhir
abad ke-19 dan awal abad ke-20.
b. Fase tumbuhnya anti imperalisme tersebut berkembang ber­
sa­
maan dengan atau dipengaruhi oleh lahirnya golongan

55
spiritualisme pancasila

terpelajar yang memperoleh pengalaman pergaulan interna­


sional serta mendapatkan pemahaman tentang ide-ide baru
dalam kehidupan bernegara yang lahir di Eropa, seperti de­
mokrasi, liberalisme, sosia­ lisme, dan komunisme melalui
pen­didikan formal dari negara-negara Barat.
c. Paham-paham tersebut pada dasarnya mengajarkan tentang
be­tapa pentingnya persamaan derajat semua warga negara
tanpa membedakan warna kulit, asal usul keturunan, dan
perbedaan ke­yakinan beragama. Paham tersebut masuk ke
Indonesia dan dibawa oleh tokoh-tokoh Belanda yang ber­
pandangan maju, go­longan terpelajar Indonesia yang mem­
peroleh pendidikan Barat, serta alim ulama yang menunaikan
ibadah haji dan memiliki per­gaulan dengan sesama umat
Muslim di seluruh dunia.
d. Perang Dunia I (1914-1919) telah menyadarkan bangsa-bangsa

P
terjajah bahwa negara-negara imperalis telah berperang di

RO U
an­tara mereka sendiri. Perang tersebut merupakan perang

G
mempere­butkan daerah jajahan.

I A
e. Munculnya rumusan damai mengenai penentuan nasib sen­­

ED
diri (self determination) Presiden Amerika Serikat Woo­drom

D A M
Wilson pasca Perang Dunia I disambut tokoh-tokoh per­ge­

NA
rakan nasional Indonesia sebagai pijakan dalam per­ju­angan

PRE
mewujudkan kemer­dekaan.
f. Lahirnya komunisme di Rusia pada Oktober 1917 yang diikuti
dengan semangat anti kapitalisme dan imperalisme telah
memengaruhi tumbuhnya ideologi perlawanan di negara-
negara jajahan terhadap imperialisme, dan kapitalisme, Barat.
Konflik ideo­logi dunia antara kapitalisme dan imperalisme
sosialisme atau komunisme telah memberikan dorongan
bang­sa-bangsa terjajah untuk melawan kapitalisme dan kolo­
nisme yang dilakukan bangsa-bangsa Barat.
g. Munculnya nasionalisme di Asia dan di negara-negara ja­
jahan lainnya di seluruh dunia telah mengilhami tokoh-tokoh
pergerakan nasional untuk melakukan perlawanan terhadap
penjajahan Be­landa. Kemenangan Jepang atas Rusia pada
1905 telah mem­berikan keyakinan bagi tokoh nasionalis In­
donesia, bahwa bangsa kulit putih Eropa dapat dikalahkan
oleh bangsa kulit berwarna Asia. Demikian juga, model per­
gerakan nasional yang dilakukan oleh Mahatma Gandhi di
India, Mustafa Kemal Pasha di Turki, dan Dr. Sun Yat Sen di

56
2  Pancasila dalam Konteks Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia

Cina telah memberikan inspirasi bagi kalangan terpelajar na­


sionalis Indonesia bahwa imperalisme Belanda dapat dilawan
melalui organisasi modern dengan cara memajukan ekonomi,
pendidikan, sosial, budaya, dan politik pada bangsa Indonesia
sebelum memperjuangkan kemerdekaan.
2. Faktor Intern
a. Penjajahan mengakibatkan terjadinya penderitaan rakyat
In­do­nesia yang tidak terkira. Sistem penjajahan Barat yang
eksploitatif terhadap sumber daya alam dan manusia Indo­
nesia serta sewe­nang-wenang terhadap warga pribumi telah
menyadarkan pen­­ du­
duk Indonesia tentang adanya sistem
kolonialisme dan im­pe­ralisme Barat yang menerapkan keti­
daksamaan dan perla­kuan yang mem­beda-bedakan.
b. Kenangan akan kejayaan masa lampau. Rakyat Indonesia pada
umumnya menyadari bahwa mereka pernah memiliki negara

P
ke­kuasaan yang jaya dan berdaulat di masa lalu (Sriwijaya dan
Majapahit). Kejayaan ini menimbulkan kebanggaan dan me­

RO U
G
ning­katnya harga diri sebagai suatu bangsa. Oleh karena itu,

I A
rakyat Indonesia berusaha untuk mengembalikan kebanggaan

ED
dan harga diri sebagai suatu bangsa tersebut.

A M
c. Lahirnya kelompok terpelajar yang memperoleh pendidikan

D
NA
Barat dan Islam dari luar negeri. Kesempatan ini terbuka

PRE
setelah pe­ merintah kolonial Belanda pada awal abad ke-
20 menjalankan politik etis (edukasi, imigrasi, dan irigasi).
Orang-orang Indonesia yang memperoleh pendidikan Barat
ber­asal dari kalangan priayi abangan yang memiliki status
bangsawan. Sebagian lainnya ber­ asal dari kalangan priayi
dan santri yang secara sosial ekonomi memiliki kemampuan
untuk menunaikan ibadah haji serta mem­per­oleh pendidikan
di luar negeri.
d. Lahirnya kelompok terpelajar Islam telah menyadarkan
bangsa Indonesia terjajah yang sebagian besar penduduknya
ber­agama Islam. Kelompok intelektual Islam telah menjadi
agent of change atau agen pengubah cara pandang masyarakat,
bahwa nasib bangsa Indonesia yang terjajah tersebut tidak
dapat diperbaiki melalui belas kasihan penjajah, seperti po­
litik etis, misalnya. Nasib bangsa Indonesia harus diubah
oleh bangsa Indonesia sendiri dengan cara memberdayakan
bangsa melalui peningkatan taraf hidup di bidang ekonomi,
pendidikan, sosial, dan budaya.

57
spiritualisme pancasila

e. Menyebarnya paham-paham baru yang lahir di Eropa, seperti


de­mokrasi, liberalisme, sosialisme, dan komunisme di negeri
jajahan (Indonesia) yang dilakukan oleh kalangan terpelajar.
f. Muncul dan berkembangnya semangat persamaan derajat
pada masyarakat Indonesia dan berkembang menjadi gerakan
politik yang bersifat nasional. Tindakan pemerintah kolonial
yang se­makin represif seperti pembuangan para pemimpin
Indische Partij pada tahun 1913, ikut campurnya Belanda
dalam urusan intern Syarikat Islam, dan penangkapan to­koh-
tokoh nasionalis telah me­nimbulkan gerakan nasional untuk
memperoleh kebebasan ber­­bicara, berpolitik, serta menen­
tukan nasib sendiri tanpa di­ cam­puri pemerintah kolonial
Belanda.

1. Budi Utomo

U
Budi Utomo adalah organisasi modern pertama yang dipelopori
P
RO
oleh para mahasiswa Stovia (Sekolah Dokter Pribumi) di Jakarta

G
pada 20 Mei 1908. Kelahiran Budi Utomo tidak dapat dilepaskan dari

ED I A
gagasan tentang perlunya memperluas dan meningkatkan pendidikan

M
bangsa Indonesia. Tanggal kelahiran Budi Utomo diperingati sebagai

D A
hari kebangkitan nasional, karena melalui Budi Utomo gagasan untuk

NA
membangkitkan semangat perjuangan melalui organisasi modern.

PRE
Gagasan ini kemudian dikembangkan dan diperluas oleh para pelajar
Stovia, tidak hanya sebatas masalah pendidikan namun perjuangan­
nya kemudian melebar ke segi yang lain salah satunya adalah masalah
kebudayaan, perekonomian dan usaha-usaha lain di bidang sosial.
Dr.Wahidin Sudirohusodo adalah tokoh yang membidani lahir­nya
Budi Utomo melalui kegiatannya menghimpun dana beasiswa untuk
memberikan pendidikan Barat kepada golongan priayi Jawa. Kegiatan
yang dilakukan oleh Dr. Wahidin Sudirohusodo tersebut disambut oleh
Soetomo, seorang mahasiswa School Tot Opleiding van Indische Arsten
(Stovia).
Pada mulanya, organisasi ini dipimpin oleh anak-anak muda
dan mendapatkan simpati dari orang-orang yang berjiwa muda. Budi
Uto­mo mengadakan kongres pertama pada Oktober 1908, pada saat
kongres ini terjadi perdebatan mengenai arah dan tujuan per­juangan.
Dalam kongres ini, terbentuk pengurus yang diketuai oleh R.M. Tirtpok.
Bupati Karanganyar, seorang priayai yang moderat. Ke­putusan yang
diambil dalam kongres, antara lain penegasan bahwa keanggotaan B ­ udi
Utomo terbatas pada suku bangsa yang berkebudayaan Jawa (Suku

58
2  Pancasila dalam Konteks Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia

bangsa Jawa, Madura, Bali, dan Lokumawe). Ditegaskan pula bahwa


Budi Utomo hanya akan bergerak di bidang penegasan, pengajaran,
dan kebudayaan, tidak melibatkan diri dalam bidang politik.

2. Sarekat Islam
Sarekat Islam muncul dilatarbelakangi oleh adanya monopoli
pedagang-pedagang Cina dalam penjualan bahan baku yang dirasakan
oleh para pengusaha batik Indonesia khususnya di Solo. Keadaan ini
mendorong H. Samanhudi untuk menghimpun para pengusaha batik
dalam sebuah organisasi. Pada akhir 1911, di Solo berdiri organisasi
yang bercorak agama dan ekonomi seperti Sarekat Dagang Islam
(SDI). Kemudian pada 1912 nama SDI diganti menjadi SI, H. Umar
Said Cokroaminoto diangkat sebagai ketua sedangkan H. Saman­hudi
sebagai ketua kehormatan.
Dengan adanya pergantian nama itu, maka lingkup dan perjuang­
an organisasi bertambah luas. Kalau semula SDI hanya terbatas di kota

UP
RO
Solo, sejak bernama SI, organisasi ini melebarkan sayapnya ke daerah-

G
daerah lain. Kedudukan organisasi dipindahkan ke Surabaya.

ED I A
Keanggotaan SI terbuka untuk semua golongan dan suku bangsa

M
yang beragama Islam, berbeda dengan Budi Utomo 1908 yang mem­

D A
batasi keanggotaannya pada suku bangsa tertentu. Dengan demikian,

NA
bukan hanya orang-orang Indonesia yang beragama Islam yang me­

PRE
masuki SI, melainkan juga sebagian keturunan Arab.
Sarekat Islam bertujuan memajukan perdagangan, membantu
ang­gotanya yang mengalami kesukaran, dan memajukan kepentingan
Islam tanpa kepentingan rohani dan jasmani. Sejak diawal kelahiran­
nya sarekat Islam tidak menyatakan dirinya sebagai organisasi politik.
Sarekat Islam dalam perkembangannya menjadi partai massa.
Hal itu membuat pemerintah Belanda mulai hati-hati dan mewaspa­
dai organisasi ini. Berbagai peraturan dikeluarkan untuk menghambat
perkembangan Sarekat Islam. Selain itu, sistem keanggotaan rangkap
kecenderungan untuk lebih bergiat di bidang politik mengancam ke­
utuhan Sarekat Islam, sehingga pada 1920-an Sarekat Islam tidak lagi
menjadi organisasi yang kuat.

3. Indische Partij
Organisasi yang pertama yang secara terang-terangan menyata­
kan dirinya sebagai partai politik adalah indische partij. Organisasi ini
didirikan oleh Douwes Dekker (kemudian mengganti nama menjadi
Danudirja Setiabudi), Dr. Cipto Mangunkusumo, dan Suwardi Surya­

59
spiritualisme pancasila

ningrat (kemudian berganti nama menjadi Ki Hajar Dewantara) pada


tahun 1912.

4. Muhammadiyah
Salah satu organisasi Islam yang penting pada masa pergerakan
nasional adalah Muhammadiyah. Berbeda dengan Sarekat Islam, orga­
nisasi ini tidak berhaluan politik, namun kegiatannya bersifat sosial-
keagamaan.
Muhammadiyah didirikan di Yogyakarta pada 18 November
1912 oleh K.H. Ahmad Dahlan atas dorongan muridnya dan anggota
Budi Utomo. Tujuannya mengembalikan ajaran Islam sesuai dengan
Sunnah Rasul, memberantas kebiasaan-kebiasaan yang tidak sesuai
dengan ajaran agama yang benar, dan memajukan ilmu agama Islam
di kalangan anggota-anggotanya. Tujuan itu ingin dicapai dengan cara
men­­dirikan lembaga-lembaga pendidikan, sosial, mendirikan masjid-

UP
masjid, dan mengusahakan penerbitan.

RO
Pada mulanya, Muhammadiyah hanya terdapat di Yogyakarta,

G
na­mun sejak tahun 1917 pengaruhnya sudah menjalar ke berbagai

ED I A
macam daerah. Enam tahun kemudian tepatnya pada 1931, ­cabang­nya

M
berkembang menjadi 267 dengan anggota lebih dari 24.000 orang.

D A
Dengan perkembangan yang pesat ini, Muhammadiyah dapat di­

NA
terima secara baik di kalangan umat Islam. Hal ini didukung oleh dua

PRE
faktor utama yaitu; Pertama, pertentangan antara komunis dan Sarekat
Islam telah membuat jenuh masyarakat, justru Muhammadiyah hadir
dengan membawa kesejukan dan ketenangan dalam memengaruhi
hidup serta hidup sosial baik di masyarakat maupun pada level ber­
negara. Kedua, kesediaan para pemimpin Muhammadiyah untuk ber­
korban. Dalam usaha pembinaan pendidikan, banyak di antara mereka
yang menyerahkan tanah wakaf untuk mendirikan sekolah, ada juga
yang menyumbang sejumlah uang.

5. Partai Komunis Indonesia


Paham Marxis diperkenalkan di Indonesia oleh H.J. F.M. Sneev­
liat, orang Belanda yang tiba di Indonesia pada 1913. Mula-mula, ia
bekerja sebagai sekretaris di sebuah perusahaan dagang di Surabaya,
kemudian pindah ke Semarang. Pada 1914, dia mendirikan In­dische
Sociaal-Democratische Vereeging (ISDV). Melalui organisasi ini, dia
mengembangkan paham Marxis, terutama di kalangan buruh. Kemu­
dian, beberapa pemuda tokoh Sarekat Islam cabang Semarang, antara
lain Semaun dan Darsono terpengaruh oleh paham ini.

60
2  Pancasila dalam Konteks Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia

Sesudah revolusi di Rusia pada Oktober 1917, ISDV meng­ubah


namanya menjadi Partai Komunis Hindia. Nama ini kemudian diubah
lagi menjadi Partai Komunis Indonesia dan sebagai ketuanya terpilih
Semaun dan Darsono menjadi wakil ketua. Pada saat terpilih ini
sebenarnya Semaun dan Darsono masih terlibat aktif sebagai anggota
Sarekat Islam, tetapi karena Sarekat Islam mengizinkan keanggotaan
rangkap.
Dalam perkembangan selanjutnya, Semaun dan Darsono mena­
namkan paham marxis di tubuh Sarekat Islam. Akibatnya, dalam tubuh
Sarekat Islam terjadi perpecahan, dan tubuh organisasi terbagi menjadi
dua kutub utama. Di satu sisi, ada yang masih teguh memegang asas
keislaman dan di sisi lain timbul perkembangan dengan asas marxis.
Kelompok yang masih menginginkan asas keislaman disebut dengan SI
putih dan kelompok yang berhaluan marxis disebut dengan SI merah.
Pada 1924, Ali Archam dan Sardjono memimpin PKI. De­ngan ke­

P
pe­mimpinan yang baru, PKI mengorganisasikan berbagai aksi pemo­
gokan. Akan tetapi, karena pemogokan itu pula, sejak 1924 Pemerintah

RO U
G
Hindia Belanda mengawasi PKI dengan ketat. Ruang gerak aktivitas

I A
partai dipersempit dan tokoh-tokohnya diusir dan dibuang ke daerah
lain dan ke luar negeri.
ED
A M
Pada 25 Desember 1925, tokoh PKI yang masih bebas se­

D
perti

NA
Sadjono dan beberapa kawannya mengadakan rapat di Pram­banan.

PRE
Dalam rapat itu diputuskan bahwa mereka akan melakukan pem­
berontakan untuk menegakkan Negara Soviet Indonesia. Pem­ be­
ron­­takan ini direncanakan pada Juni 1926. Pembe­ron­takan akhirnya
benar-benar dilakukan oleh PKI walaupun kurang mendapat du­
kungan, baik pendukungnya maupun dari tokoh-tokoh PKI yang
lain. Karena pemberontakan ini tidak terorganisasi dengan baik,
maka pemberontakan ini dengan sangat mudah ditumpas dan di­
lum­­puhkan oleh pihak kolonial. Kegagalan ini sangat merugikan per­
juang­ an pergerakan nasional karena pemerintah Hindia Belanda
me­­lakukan pengawasan ketat terhadap partai-partai dan organisasi
lain­nya. Akibatnya, perjuangan pergerakan kemerdekaan pada saat itu
mengalami kemunduran.

6. Taman Siswa
Taman siswa didirikan oleh Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar De­
wantara) pada 3 Juli 1922 di Yogyakarta. Dalam melaksanakan pen­
didikan, Taman Siswa berpedoman kepada pernyataan asas yang di­
susun pada 1922. Pernyataan asas ini mengandung dasar ke­merdekaan

61
spiritualisme pancasila

bagi tiap-tiap orang untuk mengatur sendiri.


Pendidikan Taman Siswa didasarkan atas sistem Among. Dalam
sistem ini, guru bertindak sebagai pemimpin yang berada di belakang,
tetapi memengaruhi dan memberi kesempatan kepada anak didiknya
untuk berjalan sendiri. Sistem ini disebut dengan nama Tut Wuri Han­
dayani.
Pendidikan didirikan untuk menyiapkan rasa kebebasan dan
tanggung jawab pada diri anak didik. Mereka diharapkan akan tumbuh
menjadi orang yang merdeka, tetapi erat dengan budaya sendiri,
­men­jadi putra Tanah Air yang setia dan bersemangat. Taman Siswa
me­ngem­bangkan sistem pondok. Anak didik tinggal bersama dengan
guru dalam satu asrama.
Pendidikan kebangsaan yang diberikan sekolah-sekolah swasta
men­cemaskan pemerintah Belanda, sebab diperkirakan bahwa para
lulusan dari sekolah ini dikhawatirkan akan menjadi penentang Be­

P
landa di Indonesia. Untuk membatasi kegiatan tersebut, pada 1932

RO U
pemerintah mengeluarkan peraturan yang disebut Ordonansi Se­kolah

G
Liar. Dalam ordonansi itu, ditegaskan bahwa guru-guru yuang akan

I A
mengajar sekolah-sekolah harus mendapat izin dari pemerintah.

ED
Sekolah-sekolah swasta menganggap ordonansi ini dapat meng­

A M
hambat kegiatan dan aktivitas belajar dan pembelajaran. Dengan di­

D
NA
pe­lopori oleh Taman Siswa, perguruan swasta melancarkan protes

PRE
me­nuntut agar ordonasi tersebut dicabut. Karena kuatnya reaksi dari
perguruan-perguruan swasta dan juga dari kalangan pergerakan nasio­
nal, pemerintah akhirnya mencabut ordonansi tersebut.

7. Partai Nasional Indonesia


Selama kurang lebih enam bulan setelah pemberontakan PKI,
kondisi pergerakan nasional mengalami kemunduran dan tidak ber­
jalan. Pemerintah Hindia Belanda akhirnya melakukan kontrol dan pe­
ngetatan dalam berorganisasi dan beraktivitas. Kelesuan ini berakhir
dengan lahirnya Perserikatan Nasional Indonesia yang kemudian ber­
ganti nama menjadi Partai Nasional Indonesia di Bandung pada 14 Juli
1927. Organisasi ini didirikan oleh mantan Perhimpunan Indonesia.
Sasaran pokok dari PNI adalah mencapai kemerdekaan. Untuk
itu, semangat kebangsaan perlu dipadu menjadi kekuatan nasional.
Ca­ranya yakni dengan memperdalam keinsafan rakyat mengarahkan
mereka pada pergerakan yang sadar. Dari kesadaran itu akan lahir
kemauan yang satu, yakni kemauan nasional.
PNI menyatakan, bahwa imperalisme Belanda telah menjadikan

62
2  Pancasila dalam Konteks Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia

Indonesia sebagai tempat untuk mengambil bahan mentah, pasar


untuk menjual hasil industrinya, dan tempat menanamkan modal.
Prak­tik yang dilakukan imperalisme itu telah merusak struktur sosial,
po­litik, dan ekonomi bangsa Indonesia. Syarat utama memperbaiki
ke­adaan yang rusak itu ialah adanya kemerdekaan politik yang berarti
berakhirnya pemerintah hindia belanda.
PNI, khususnya pimpinannya Ir. Soekarno, mengembangkan teori
tentang nasionalisme. Nasionalisme yang dimaksud oleh Soekarno
bersifat anti penjajahan dan anti imperalisme yang berkembang men­
jadi anti unsur-unsur Barat. Nasionalisme berkembang di Barat ber­
beda dengan nasionalisme yang berkembang di Indionesia. Nasio­
nalisme yang berkembang di Indonesia disebabkan adanya kesamaan
nasib yaitu mengalami ketertindasan oleh bangsa lain.
Untuk memperoleh dukungan rakyat, PNI mengadakan rapat-
rapat umum. Dalam rapat umum itu, tokoh-tokoh PNI seperti Ir.

P
Soe­ karno berpidato membangkitkan semangat. Tema utama yakni
melawan imperalisme dan kolonialisme serta merebut kemerdekaan.

RO U
G
Rapat-rapat umum diadakan di berbagai daerah dan dihadiri oleh ri­

I A
buan orang. Dengan menyelenggarakan rapat-rapat umum, berarti

ED
PNI mela­kukan cara baru, yakni agitasi politik.

A M
Berkat agitasi-agitasinya, PNI cepat berkembang. Bahkan, partai ini

D
NA
berhasil memengaruhi sebagian pegawai negeri dan anggota angkatan

PRE
perang. Namun, perkembangan yang cepat itu juga mengandung yang
cepat dari pihak pemerintah. Pengawasan polisi terhadap rapat-rapat
PNI dan terhadap tokoh-tokohnya semakin diperketat.

Sumpah Pemuda 1928


Sumpah pemuda merupakan sumpah setia hasil rumusan rapat
Pemoeda-Pemoedi Indonesia atau dikenal dengan Kongres Pemuda
II. Sumpah ini dibacakan pada 28 Oktober 1928, tanggal ini kemudian
diperingati sebagai “hari sumpah pemuda”.
Rumusan Sumpah Pemuda disambut secara antusias oleh bangsa
Indonesia karena memang saat itu bangsa Indonesia menginginkan
terciptanya persatuan Indonesia dan dogma politis sebagai penggerak
dan pemersatu bangsa. Rumusan yang berbunyi bertanah air satu,
ber­bangsa satu, dan berbahasa satu Indonesia diterima sebagai ha­sil
kongres yang dihadiri sekitar 750 orang dari berbagai kalangan, orga­
nisasi politik, daerah, dan sebagainya.
Sumpah Pemuda telah membangkitkan semangat perjuangan
dalam bentuk deklarasi yang sederhana tetapi komprehensif, patriotik,

63
spiritualisme pancasila

dan dinamis. Di samping itu, Sumpah Pemuda telah mendorong


kalang­an muda untuk bersatu dengan menghilangkan segala atri­but
kesukuan dan kedaerahan dalam perjuangan menegakkan kemer­
dekaan.

F. Masa Sekitar Proklamasi Kemerdekaan


Kekalahan tentara Belanda 1942 kepada tentara Jepang di Kalijati
merupakan awal berakhirnya penjajahan Belanda di Indonesia. Keme­
nangan Jepang tersebut——semula——disambut gembira oleh rakyat
Indonesia yang sejak awal tidak mempunyai harapan merdeka di ba­
wah penjajahan Belanda. Harapan mereka, Jepang sebagai sesama
bangsa Asia akan memberi kemerdekaan kepada bangsa Indonesia da­
lam waktu dekat.
Strategi Jepang untuk menjajah Indonesia memang cukup bagus,
yaitu dengan membolehkan rakyat Indonesia mengibarkan bendera

UP
RO
merah putih, menyanyikan lagi Indonesia Raya, dan untuk meng­gan­

G
ti sementara tenaga administratifnya yang ditenggelamkan Sekutu,

ED I A
pegawai pangreh praja Indonesia dinaikkan pangkatnya meskipun di­

M
turunkan gajinya.

D A
Tentara Jepang menyebut dirinya sebagai saudara tua bangsa

NA
Indonesia. Dengan sangat strategis, tentara Jepang juga merekrut inte­

PRE
lektual Indonesia dengan memberinya wadah Komisi Penyelidik Adat
Istiadat dan Tata Negara tanggal 8 November 1942 yang bersama 13
orang Jepang mendiskusikan ide-ide mereka tentang nilai-nilai budaya
bangsa Indonesia, baik untuk kepentingan Jepang maupun untuk
kepentingan Indonesia merdeka yang mereka cita-citakan. Bah­kan,
setelah kegagalan Tiga A (Nippon Cahaya Asia, Nippon Pelin­dung Asia,
dan Nippon Pemimpin Asia, maka didirikanlah Pusat Tenaga Rakyat
(Putera) yang diketuai oleh empat serangkai, Soekar­no, Hatta, Ki Hajar
Dewantara, dan Mas Mansur, yang mendapat sambutan hangat dari
rakyat.
Setelah itu, dibentuklah berbagai organisasi massa seperti Sei­nen­
dan (Barisan Pemuda), Keibodan (Barisan Pembantu Polisi), Heiho yang
terkenal dengan PETA yang diprakarsai Gatot Mangkupraja. Semuanya
adalah strategi Jepang untuk ‘melunakkan’ hati rakyat Indonesia agar
mau membantu Jepang melawan Sekutu. ‘Kekalahan’ Jepang secara
beruntun dalam perang (PD II) melawan sekutu ‘memaksa’ pemimpin
administrasi militer di Indonesia, yaitu Hayashi menganjurkan kepada
Pemerintah Jepang memberi janji kemerdekaan kepada bangsa In­

64
2  Pancasila dalam Konteks Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia

donesia, sebab berdasarkan pengamatannya kesengsaraan bangsa


Indonesia di bawah pemerintah Tentara Pendudukan sudah tidak
tertahankan lagi. Maka, kalau Jepang secara eksplisit tidak memberikan
janji kemerdekaan itu kepada pemimpin-peminpin Indonesia tentu
mereka akan berbalik melawan Jepang. Kalau itu terjadi, maka keadaan
Jepang tentu tidak dapat diselamatkan lagi. Saran ini kemudian di­
terima oleh Pemerintah Jepang di bawah Perdana Menteri Koiso.
Maka pada 7 September 1944, Koiso mengumumkan ke seluruh dunia
di muka sidang ke-85 Parlemen Jepang, bahwa Indonesia akan diberi
kemerdekaan dalam waktu dekat.
Pemberian kemerdekaan dan bayangan kekalahan Jepang tersebut
akhirnya memaksa mereka untuk mengumumkan pembentukan Do­
ku­ritsu Zyumbi Tyoosakai yang disebut kemudian sebagai Badan
Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), pada
1 Maret 1945. Pengangkatan pada 29 April 1945, Dr. KRT. Rajiman

P
Wedyodiningrat diangkat ketua (kaityo), bukan Soekarno, yang pada
waktu itu dianggap sebagai pemimpin nasional yang utama. Peng­

RO U
G
angkatan tersebut disetujui oleh Soekarno, alasannya, sebagai anggota

I A
biasa akan lebih mempunyai banyak kesempatan untuk aktif dalam
diskusi-diskusi.
ED
D A M
NA
1. Sidang BPUPKI I (29 Mei – 1 Juni 1945)

PRE
Sidang pleno BPUPKI pertama diadakan dari tanggal 28 Mei
sampai dengan 1 Juni 1945. Tanggal 28 Mei sidang dibuka dengan
sam­butan Saiko Syikikan, Gunseikan, yang menasihati BPUPKI agar
mengadakan penelitian yang cermat terhadap dasar-dasar yang akan
digunakan sebagai landasan negara Indonesia merdeka sebagai suatu
mata rantai dalam lingkungan kemakmuran bersama di Asia Timur
Raya.
Dalam pidato pembukaannya, Dr. KRT. Radjiman Wedyodiningrat
antara lain mengajukan pertanyaan kepada anggota sidang: “Apa
dasar negara Indonesia yang akan kita bentuk ini?” Pertanyaan ini
menjadi persoalan yang paling dominan sepanjang 29 Mei-1 Juni 1945.
Bahkan, dalam rentang waktu tersebut hadir sejumlah pembicara yang
mengajukan sejumlah gagasan mengenai dasar filosofis atas negara
Indonesia yang hendak dibentuknya. Mereka, misalnya, Soekarno,
Moh. Yamin, dan Supomo yang secara argumentatif mengemukan
­pen­­da­patnya tentang dasar negara tersebut, yang pada akhirnya secara
ek­plisit tanggal 1 Juni 1945, Soekarno mengemukakan pidatonya yang
memberikan jawaban yang berisikan uraian tentang lima sila. Pidato

65
spiritualisme pancasila

kemudian diterbitkan dengan nama ‘Lahirnya Pancasila’. Menurut


Mohammad Hatta, pidato Soekarno itu dikatakan sebagai yang bersifat
kompromis, dapat meneduhkan pertentangan yang mulai tajam an­
tara pendapat yang mempertahankan Negara Islam dan mereka yang
meng­hendaki dasar negara sekuler, bebas dari corak agama.
Dalam persidangan BPUPKI I dibahas tentang dasar filsafat ne­ga­
ra Indonesia merdeka (philosopische grondslag). Di antara para tokoh
yang memberikan pandangannya sebagai berikut:
1. Mr. Moh. Yamin,
2. Ki Bagus Hadikoesoemo dan K.H. Wachid Hasyim,
3. Mr. Soepomo, dan
4. Ir. Soekarno.
Rumusan Mr. Moh. Yamin, disampaikan tanggal 29 Mei 1945, ter­
diri atas usulan secara lisan dan tertulis. Usulan lisannya adalah:

P
1. Peri kebangsaan.
2. Peri kemanusiaan.

RO U
G
3. Peri ketuhanan.

I A
4. Peri kerakyatan.

ED
5. Kesejahteraan rakyat.

D A M
Pada akhir pidatonya, ia menyerahkan naskah:

NA
PRE
1. Ketuhanan Yang Maha Esa.
2. Kebangsaan, Persatuan Indonesia.
3. Rasa kemanusiaan yang adil dan beradab.
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam pe­r­
musyawaratan perwakilan.
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Inonesia.
Pada 30 Mei 1945, Ki Bagoes Hadikoesoemo dan K.H. Wa­chid
Hasyim mengusulkan dasar negara Islam, akan tetapi tidak me­nyam­
paikan rumusan.
Prof Dr. Soepomo pada 31 Mei 1945 menyampaikan dasar negara
kebangsaan dengan berpaham negara integralistik. Ia mengemukakan
teori-teori negara, sebagai berikut:
1. Teori Negara Perorangan (Individualis)/Hobbes, Rousseau, H.
Spencer, Laski.
2. Paham Negara Kelas (Class theory)/Marx, Engels, Lenin.
3. Paham Negara Integralistik/Spinoza, Adam Muller, Hegel.
Sementara itu, Ir. Soekarno pada 1 Juni 1945 mengusulkan rumus­

66
2  Pancasila dalam Konteks Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia

annya yang beliau sebut dengan nama Pancasila (nama yang diusulkan
oleh teman ahli bahasa), yaitu:
1. Kebangsaan-Nasionalisme.
2. Perikemanusiaan atau Internasionalisme.
3. Mufakat atau Demokrasi.
4. Keadilan sosial.
5. Ketuhanan yang berkebudayaan.
Lima prinsip tersebut agar diberi nama “Pancasila”. Lima sila
tersebut dapat diperas menjadi Trisila yang meliputi: 1) Sosio nasionalis­
me, 2) Sosio Demokrasi, dan 3) Ketuhanan. Ia juga mengusulkan “Tri
Sila” dapat diperas menjadi “Eka Sila” yang intinya “gotong royong”
Untuk menindaklanjuti hasil persidangan BPUPKI I disepakati
untuk membentuk panitia kecil. Panitia ini bertugas menampung, me­
neliti, dan menyerahkan konsepsi para anggota ke sekretariat. Setelah
melalui pengelompokkan dihasilkan pokok-pokok masalah berikut:

UP
RO
1. Permintaan Indonesia merdeka secepatnya;

G
2. Usul mengenai dasar negara;

I A
3. Usul mengenai bentuk pemerintahan dan kepala negara;

ED
4. Usul mengenai unifikasi dan federasi;
5.

A M
Usul mengenai warga negara;

D
NA
6. Usul mengenai pemerintahan daerah;

PRE
7. Usul mengenai agama dan hubungannya dengan negara;
8. Usul mengenai pembelaan;
9. Usul mengenai keuangan.
Pada 22 Juni 1945 diadakan rapat antara panitia kecil de­ngan
anggota BPUPKI yang dihadiri oleh 38 orang. Rapat ini meng­hasilkan
hal-hal sebagai berikut:
1. Badan penyelidik menetapkan bentuk negara dan menyusun hu­
kum dasar;
2. Meminta pemerintah Jepang untuk segera mensahkan hukum
dasar;
3. Meminta pemerintah Jepang untuk secepatnya mengadakan ba­
dan persiapan kemerdekaan untuk menyelengarakan negara In­
do­nesia merdeka di atas hukum dasar yang telah disusun dan me­
lantik pemerintahan nasional;
4. Pembentukan tentara kebangsaan dan penetapan tentang ke­
uangan.
Dalam rapat ini pula berhasil dibentuk panitia kecil yang terdiri

67
spiritualisme pancasila

atas sembilan orang sehingga dikenal dengan Panitia Sembilan yang


bertugas merumuskan rancangan pembukaan hukum dasar. Panitia
ini berhasil merumuskan ”rancangan Pembukaan UUD” yang disebut
dengan Piagam Jakarta. Anggota dari Panitia Sembilan adalah:
1. Ir. Soekarno (ketua).
2. Drs.Moh. Hatta (wakil ketua).
3. K.H.Wachid Hasyim.
4. Abdoel Kahar Moezakar.
5. Mr. AA. Maramis.
6. Abikoesno Tjokrosoeyoso.
7. H. Agus Salim.
8. Mr. Achmad Soebardjo.
9. Mr.Muhammad Yamin.
Pada 22 Juni 1945, Panitia Sembilan ini mengadakan per­temuan.
Dari pertemuan tersebut dihasilkan suatu piagam yang ke­ mudian

UP
dikenal dengan nama Piagam Jakarta (Jakarta Charter) yang di dalam­

RO
nya berisi rumusan dasar negara sebagai berikut:

I A G
1. Ketuhanan dengan menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pe­

ED
meluknya.

A M
2. Kemanusiaan yang beradab.

D
NA
3. Persatuan Indonesia.

PRE
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam per­
musyawaratan/perwakilan.
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

2. Sidang BPUPKI Kedua (10-16 Juli 1945)


Pada sidang ini, ketua BPUPKI membentuk tiga panitia yang
terdiri atas;
1. Panitia perancang UUD, diketuai oleh Ir. Soekarno.
2. Panitia pembelaan Tanah Air, diketuai oleh Abikoesno Tjokro­
soejoso.
3. Panitia keuangan dan perekonomian, diketuai oleh Drs. Moh.
Hatta.
Pada 11 Juli 1945, panitia Perancang UUD menghasilkan putusan-
putusan sebagai berikut:
1. Pembentukan Panitia Perancang Declaration of Rights (ketua Mr.
Achmad Soebardjo, anggota dr. Soekiman dan Parada Harahap).
2. Pembentukan panitia Perancang Kecil perancang UUD (ketua

68
2  Pancasila dalam Konteks Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia

Prof. Dr. Soepomo, anggota Mr. Wongsonegoro, Mr. Achmad Soe­


bardjo, Mr. Alfred Andre Maramis, Mr. Singgih, Haji Agoes Salim,
dan dr. Soekiman).
Pada 12 Juli 1945 panitia perancang UUD berhasil me­ nyusun
naskah rancangan UUD. Pada 13 Juli 1945 dibentuk pa­nitia penghalus
bahasa yang terdiri dari Prof. Dr. P.A.H. Hoesin Djajadiningrat, Haji
Agoes Salim, dan Prof. Dr. Mr. Soepomo. Pada 14 Juli 1945 panitia pe­
rancang UUD menghasilkan tiga hal, yaitu:
1. Pernyataan Indonesia Merdeka;
2. Pembukaan UUD;
3. Batang Tubuh.
Pada 14 Juli 1945, ketua BPUPKI menerima sebulat-bulat­ nya
naskah Rancangan UUD dengan perubahan-perubahannya. Pada 17
Juli 1945, naskah tersebut diserahkan kepada pemerintah ba­la ­tentara

P
Jepang. Sesudah itu BPUPKI tidak mengadakan sidang lagi.

RO U
G
3. Sidang PPKI

ED I A
Badan ini dibentuk pada 9 Agustus 1945 oleh pemerintah Jepang

M
melalui Marsekal Muda Terauci dalam pertemuannya di Dalat (Viet­

D A
nam Selatan) dengan tiga tokoh pemimpin bangsa Indonesia, yaitu

NA
Dr. Radjiman Wedyodiningrat, Ir. Soekarno, dan Moh. Hatta. PPKI

PRE
dibentuk menyusul dibubarkannya BPUPKI pada 7 Agustus 1945. PPKI
semula beranggotakan 21 orang, dan setelah Jepang me­nyerah kepada
sekutu, anggotanya menjadi 27 orang. Badan ini dike­tuai Ir. Soekarno
dan wakilnya Drs. Moh. Hatta.
Sidang PPKI dilaksanakan pada 18 Agustus 1945. Persi­ dangan
ini dimanfaatkan untuk melengkapi syarat-syarat berdirinya negara
Republik Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agus­tus 1945. Ke­
giatan PPKI pada 18 Agustus 1945 pada prin­sipnya terdiri atas dua
kegiatan, yaitu pertama kegiatan sebelum persidangan, dan kedua ke­
giatan selama persidangan.
Kegiatan sebelum persidangan berupa rapat kecil yang terdiri atas
Moh. Hatta, Ki Bagus Hadikoesoemo, K.H. Wahid Hasyim, Mr. Kas­
man Singodimedjo, dan Teuku Moh. Hasan mereka mengadakan ra­
pat pendahuluan dan menghasilkan kesepakatan mengubah kalimat
“Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pe­­me­
luk-pemeluknya” dan menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Per­ubahan
ini dilakukan untuk mengakomodasi usulan dari wa­kil Indonesia Ti­
mur yang merasa keberatan dengan rumusan pada ran­cang­an dalam

69
spiritualisme pancasila

Piagam Jakarta. Dengan perubahan tersebut, rancangan UUD dapat


diterima oleh seluruh wilayah Indonesia. Dilakukannya perubahan
tersebut menunjukkan bahwa para pemimpin bangsa sangat meng­
utamakan persatuan dan kesatuan (semangat kebangsaan).
Kegiatan persidangan PPKI dipimpin oleh Ir. Soekarno dan Moh.
Hatta. Persidangan ini menghasilkan tiga keputusan penting, yaitu:
1. Menetapkan dan mengesahkan UUD 1945 setelah mengalami be­
berapa perubahan dari rancangan aslinya, termasuk menetapkan
dasar negara sebagaimana tercantum dalam Pembukaan;
2. Memilih dan mengangkat Ir. Soekarno dan Moh. Hatta sebagai
presiden dan wakil presiden;
3. Membentuk Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang ber­
fungsi membantu presiden dan wakil presiden sebelum terben­
tuk­nya secara resmi lembaga lembaga negara menurut UUD 1945.

UP
RO
 Latihan

I A G
ED
No. Nama Tokoh- Tahun Pola

M
Organisasi tokohnya Berdiri Perjuangan

D A
NA
PRE

70
2  Pancasila dalam Konteks Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia

Latihan:
Isilah bagan yang ada di bawah ini dengan benar!
No. Nama Tokoh Gagasan yang Landasan Teoretis
Dikemukakan yang Dibangun

1. Ir. Soekorno

2. Prof. Soepomo

3. Ki Bagus Hadikusumo

4. M. Natsir

5. Moh.Yasin

Essai
Terangkan secara singkat mengenai proses terbentuknya dasar negara
pancasila di Indonesia!

UP
A G RO
ED I
M
G. Wawasan Keislaman—Kebangsaan

D A
NA
1. Pengantar

PRE
Bapak Bangsa pendiri Republik Indonesia; Soekarno, Hatta, Buya
Hamka, Syafruddin Prawiranegara, M. Natsir, dan lainnya meletakkan
sebuah fondasi yang kuat melalui Islam dalam memandang konsep
bangsa. Internalisisai nilai-nilai Islam dalam wawasan kebangsaan
­In­do­nesia menjadi menarik untuk dikaji setidaknya disebabkan oleh
be­berapa hal.
Pertama, bahwa pemahaman atas nilai-nilai kebangsaan Indo­
nesia selama ini dinilai terpisah dari nilai-nilai spiritualisme Islam.
Terdapat ruang hampa di mana di sana hanya ada semangat kebang­
saan tunggal. Pemahaman atas konsep kebangsaan perlu digali untuk
melihat bangunan kebangsaan Indonesia secara utuh baik performa
mau­pun esensinya. Pemikiran para bapak bangsa diyakini hanyalah
berada dalam semangat duniawi dalam mengonstruksi bangunan ne­
gara. Pemaham ini menjadi berbahaya ketika pembacaan narasi ke­
bangsaan dijauhkan dari nilai spiritualismenya.
Kedua, bahwa pemahaman atas ketiadaan hubungan konstruktif
antara wawasan kebangsaan Indonesia dengan nilai-nilai spiritualisme
Islam menjadikan seolah-olah kebangsaan Indonesia yang terbentuk

71
spiritualisme pancasila

mengikuti alur cara berpikir sekulerisme yang memisahkan secara tegas


antara urusan rohani spiritual dengan ruang duniawi. Kemerdekaan
sebagai sebuah jembatan emas dengan meletakkan fondasi Pancasila
sebagai staatsfundamentalnorm hanyalah gagasan ide manusia se­ma­
ta. Ruang-ruang batiniah dan optik kebangsaan seakan terpisah dari
nilai-nilai spiritualisme khususnya konsep spiritualisme Islam.
Ketiga, bahwa pemahaman ketiadaan hubungan antara wawasan
kebangsaan Indonesia dengan nilai-nilai religius Islam sebagai jiwa
kebangsaan menjauhkan pemahaman manusia Indonesia kini dari
esensi spiritualnya. Kebangsaan hanya menjadi gerak mekanik sebagai
forma kebangsaan. Substansi nilai hilang dari optik kebangsaan gene­
rasi muda. Pada sisi lain, terdapat sekelompok manusia yang hendak
merubah Pancasila sebagai fondasi kebangsaan dengan nilai-nilai lain­
nya. Benturan nilai tidak terelakkan dan Pancasila pada akhirnya ha­
nya menjadi narasi tanpa substansi.

P
Historisitas wawasan kebangsaan Indonesia perlu digali kembali
secara mendalam, untuk mengetahui hubungan-hubungan dinamis

RO U
G
antara spiritualisme Islam dalam wacana-wacana kebangsaan. Gagasan

I A
keislaman para Bapak Bangsa akan digali secara mendalam. Wacana

ED
spiritualisme Islam dalam mendorong terciptanya konsep wawasan

A M
kebangsaan Indonesia perlu digali dari khazanah pemikiran para Ba­

D
NA
pak Bangsa Indonesia. Wawasan kebangsaan Islam menggunakan

PRE
Islam sebagai sumbernya, hal ini tampaknya bertentangan atau tidak
berkesesuaian dengan semangat universalisme Islam. Walaupun corak
Islam adalah universal dan bukan bersifat lokalitas, akan tetapi Islam
sebagai agama yang dianut oleh rakyat memberikan kekuatan bagi
rakyat untuk menuntut haknya. Struktur universalisme yang menolak
batas-batas demografi dalam Islam memperoleh asupan nilai-nilai
nasionalisme Barat. Masuknya nasionalisme ala Barat ke dunia Islam
melalui penjajahan. Pengaruh pendidikan Eropa dalam sistem pen­
didikan di negara-negara jajahannya menjadi ide terciptanya se­buah
kebangkitan nasional. Sentimen religius Islam kemudian diletak­kan
sekaligus menyelimuti semangat nasionalisme untuk melepaskan diri
dari sebuah penjajahan.1

1
Marcel Boisard, Humanisme dalam Islam, (Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1980),
h. 328- 332

72
2  Pancasila dalam Konteks Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia

2. Wawasan Keislaman-Kebangsaan Para


Bapak Bangsa
George Mc Turnan Kahin menyatakan bahwa sebuah faktor yang
mendukung tumbuh dan berkembangnya nasionalisme Indonesia
le­bih terpadu adalah tingginya derajat homogenitas keagamaan di
Indonesia. Lebih dari 90 persen penduduk Indonesia beragama Islam.
Adanya sekat-sekat kedaerahan yang sempit dinetralkan oleh soli­ ­
daritas kuat berdasarkan agama yang sama. Islam bukan hanya ber­
fungsi sebagai tali pengikat, melainkan juga Islam menjadi simbol
identitas kelompok dalam melawan penindas asing yang menganut
agama berbeda.2 Solidaritas terbangun atas dasar nilai religiusitas
Islam, sehingga lahirlah jiwa nasionalisme yang tertanam pada jiwa
Bapak Bangsa Indonesia. Be­berapa tokoh bangsa yang mengaitkan
erat relasi nasionalisme dan religiusitas, antara lain Tjokroaminoto,
Soekarno, Buya Hamka, M. Natsir, serta Syafruddin Prawiranegara.

UP
RO
a. H.O.S. Tjokroaminoto

I A G
Masuknya spiritualisme Islam yang mewarnai kebangsaan Indo­

ED
nesia tidak terlepas dari peran Pondok Pesantren yang berkembang

A M
di Indonesia sejak lama. Banyak pemimpin nasional Indonesia yang

D
NA
dilahirkan oleh pondok pesantren. Pesantren yang menerima santri

PRE
dari berbagai suku di Indonesia berperan pula menghapus semangat
etnosentrisme, dan sekaligus menjadikan Islam sebagai wawasan da­
sar nasionalisme Indonesia. Pesantren secara historis berfungsi tidak
saja sebagai pusat pembelajaran Islam. Pesantren berfungsi mem­
bang­ kitkan sebuah kesadaran nasional, mengajarkan kepada para
san­­tri dan para pendukungnya tentang arti penting mempertahankan
Tanah Air, meyelamatkan bangsa, dan merebut kemerdekaan.3
Spiritualisme Islam dalam wawasan kebangsaan Indonesia me­
nye­limuti gagasan Haji Oemar Said Tjokroaminoto. H.O.S. Tjokroa­
minoto lahir di Ponorogo, Jawa Timur, 16 Agustus 1882, dan meninggal
Yogyakarta, pada 17 Oktober 1934. Beliau mencoba dan ber­hasil mem­
bumikan nilai-nilai Islam dalam ruang dinamika sosial. Is­lam menjadi
membumi, yang dengan itu, dibangun sebuah kesadaran akan konsep
bangsa. Tjokroaminoto menuangkan pemikirannya da­­lam bukunya

2
George McTurnan Kahin, Nasionalisme dan Revolusi Indonesia, (Depok: Penerbit
Komuni­tas Bambu, 2013), h. 52.
3
Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah, (Bandung: Penerbit Salamadani, 2013),
Buku satu, h. 138-139.

73
spiritualisme pancasila

Islam dan Sosialisme. Beliau menjelaskan, bahwa so­sialisme bukan


sekadar pemahaman atas hubungan kebendaan se­mata. Sosialisme
juga memiliki akar kuat pada falsafah dan asas-asas keagamaan. So­
sialisme yang dimaksudkan olehnya adalah men­ cari keselamatan
dunia dan keselamatan akhirat. Sosialisme yang di­bangun atas ke­
4

rangka religius ini menempatkan Islam sebagai sumber ide dalam


mem­bangun sebuah komunitas manusia.
H.O.S. Tjokroaminoto dalam hal ini mampu meletakkan Islam ti­
dak hanya dalam ruang wacana, tetapi ia mampu meletakkan ga­gas­
an besar spiritualisme Islam dalam gerak praksis. Menurutnya, Nabi
Muhammad Saw telah menjadi figur utama dalam meletakkan gagas­
an sosialisme Islam. Nabi Muhammad Saw diutus sebagai rahmat bagi
sekalian alam semesta. Konsep rahmat bagi alam ini menghendaki se­­­
buah persatuan antarmanusia. Tjokroaminoto mengungkapkan pi­dato
Nabi Muhammad Saw pada masa Penaklukan Mekkah, bahwa semua

P
Muslim adalah bersaudara. Nabi Muhammad Saw adalah ­ma­nu­sia
yang melaksanakan amanah Allah. Beliau adalah manusia yang mele­

RO U
G
takkan hubungan relasi antarmanusia. Nabi Muhammad Saw da­lam

ED I A
gagasan Tjokroaminoto adalah manusia sempurna yang dijadi­ kan
se­bagai contoh bagi manusia lainnya. Menurutnya, sosialisme Islam

A M
ada­lah sebuah jalan kesempurnaan, karena sosialisme Islam ber­awal

D
NA
dari perubahan akhlak manusia terlebih dahulu. Sosialisme Islam me­

PRE
nurutnya adalah sebuah kebersamaan yang menghormati hak-hak
individu.5
Ruang kebersamaan manusia dalam sosialisme Islam ini akan
dengan mudah ditanamkan dalam sikap berbangsa. Menurutnya,
da­­lam sosialisme Islam ini tidak memandang suku, warna, kulit, ba­
hasa, negeri, bahkan benua sekalipun. Semua umat Islam diikat oleh
ke­samaan iman, yang dengan itu mewajibkan setiap umat Islam un­
tuk bekerja demi kemajuan negeri dan rakyatnya.6 Semangat untuk
bersama dalam naungan Islam menjadi bara api terciptanya semangat
nasiona­lisme. Islam menjadi sumber kebangkitan jiwa nasionalisme
Indonesia.7

4
HOS Tjokroaminoto, Islam dan Sosialisme, (Bandung: Penerbit Sega Arsy, 2010),
h. 19.
5
HOS Tjokroaminoto, Islam dan Sosialisme, (Bandung: Penerbit Sega Arsy, 2010),
h. 136-137.
6
HOS Tjokroaminoto, Islam dan Sosialisme, Penerbit Sega Arsy, (Bandung: 2010),
h. 139.
7
Kesadaran akan semangat berbangsa ini menjadikan H.O.S. Tjokroaminoto
diberi­kan amanah untuk memimpin Sarekat Islam pada 13 Mei 1912. Sebelumnya KH

74
2  Pancasila dalam Konteks Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia

b. Soekarno Muda
Tokoh lainnya yang memiliki semangat membangun kemerdekaan
adalah Soekarno. Soekarno lahir di Surabaya, 6 Juni 1901 dan Wafat
di Jakarta, 21 Juni 1970. Ia adalah salah seorang Bapak Bangsa yang
pernah kos di rumah H.O.S. Tjokroaminoto. Soekarno muda memiliki
semangat untuk membebaskan negeri melalui tulisan-tulisan yang
pernah dimuat dalam beberapa surat kabar. Soekarno menyatakan:
Islam yang sejati mewajibkan para pemeluknya mencintai dan bekerja
untuk negeri yang ia diami. Mencintai dan bekerja untuk rakyat di antara
mana ia hidup, selama negeri dan rakyat itu masuk Darul Islam? Sayid
Jamaludin al Afghani di mana-mana telah meng­khotbahkan nasionalisme
dan patriotisme, yang oleh musuhnya lantas sahaja disebut “fanatisme”.8

Islam menurut Soekarno yang dipengaruhi oleh pemikiran So­sia­


l­­isme Islam H.O.S. Tjokroaminoto menjelaskan adanya keterpaduan

P
an­tara Islam dan semangat nasionalisme membentuk sebuah negara
yang merdeka. Islam bukanlah sekadar agama yang hanya memuat

RO U
G
konsep-konsep ibadah, melainkan jauh dari itu yakni fungsi dinamika

I A
nilai religius Islam dalam menggerakkan semangat untuk membentuk

ED
bangsa Indonesia yang merdeka. Soekarno menjelaskan lebih jauh

A M
akan pemahamannya atas Islam:

D
NA
Pengeramatan manusia itu adalah salah satu sebab yang mematahkan

PRE
jiwanya sesuatu agama dan umat, oleh karena pengeramatan manusia
itu, melanggar tauhid. Kalau tauhid rapuh, datanglah kebencanaan.9

Tauhid sebagai landasan fundamental Islam, menurut Soekarno


menjadi landasan tegaknya agama. Islam meletakkan fondasi nilai

Samanhudi telah berhasil mendirikan Sarekat Dagang Islam pada 1905 dengan tujuan
melakukan perlawanan imperilisme ekonomi Eropa. Sarekat Islam (SI) yang di­pimpin
oleh Tjokroaminoto ini memiliki nilai semangat nasionalisme yang sangat kuat dengan
tujuan SI adalah Indonesia membangun pemerintahan sendiri (zelfbestuur). Indonesia
merdeka dari penjajahan secara politik dan ekonomi. Kemiskinan adalah ben­tuk dari
kebijakan ekonomi penjajahan. Semangat mendorong terciptanya Indonesia Merdeka
dengan konsep zelfbestuur ini sangat berbeda dengan tujuan Boedi Oetomo. Boedi
Oetomo dengan semboyan “Hidup Pulau Jawa, Hidup Bangsa Jawa, dan Hidup Boedi
Oetomo” berfokus pada perjuangan untuk meningkatkan taraf hidup orang Jawa dengan
berpijak pada filsufi Agama Jawa (kejawen). Selain itu, Boedi Oetomo menolak cita-
cita persatuan Indonesia. Beberapa anggotanya yang tidak sejalan akhirnya memilih
keluar dari Boedi Oetomo dan mendirikan Jong Islamieten Bond. Lihat: Ahmad Mansur.
Suryanegara, Api Sejarah, (Bandung: Penerbit Salamadana, 2013), h. 62.
8
Soekarno, “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme,” tulisan Di Bawah Bendera
Revolusi, Jilid Pertama, (Jakarta: Penerbit Yayasan Bung Karno, 2005), h. 10.
9
Soekarno, “Surat-surat Islam dari Endeh,” tulisan dalam Di Bawah Bendera
Revolusi, Jilid Pertama, (Jakarta: Penerbit Yayasan Bung Karno, 2005), h. 325.

75
spiritualisme pancasila

kemanusiaan, menurutnya tidak ada pemujaan atas manusia akan


merapuhkan semangat berislam. Dalam kaitannya tampak jelas, bahwa
Islam dengan nilai kemanusiaannya juga membangun jiwa manusia
selain fisik tubuh manusia. Jiwa menjadi substansi dari tubuh fisik.
Ketika jiwa itu hilang, maka tubuh fisik menjadi kehilangan makna.
Jiwa manusia sangat dibutuhkan untuk membangun sebuah bangsa.
Jiwa bangsa akan diisi oleh jiwa individu yang sehat. Sedangkan jiwa
yang sehat adalah jiwa yang selalu mendukung nilai-nilai tauhid. Maka
terdapat hubungan interaksional antara pembangunan jiwa individu
dengan pembangunan jiwa bangsa. Bukan semata membangun fisik
tubuh, melainkan jiwa yang terisi oleh nilai-nilai tauhid. Soekarno juga
menjelaskan:
Tak ada agama yang lebih rasional dan simplistis daripada Islam. Saya
ada sangkaan keras bahwa rantai taqlid yang merantaikan roh dan
semangat Islam dan yang merantaikan pintu-pintunya Bab el ijtihad

P
antara lain-lain, ialah hadits yang dhaif dan palsu itu.10

Soekarno melihat dengan jelas adanya penghargaan atas kapa­

RO U
A G
sitas akal dalam Islam. Soekarno melihat Islam dalam wujudnya yang

I
ED
rasional dan mudah untuk dilaksanakan. Rasionalitas menjadi kunci

M
dari kegemilangan Islam, karena darinya akan dilahirkan ilmu yang

D A
membuka wawasan pemahaman horizon manusia. Soekarno melihat

NA
PRE
bahwa Islam menjadi sumber tumbuh kembangnya nasionalisme ka­
rena rasionalitas manusia yang menolak penundukan akal pikir manusia
atas manusia (taqlid). Akal merdeka membuka ruang kesadaran untuk
menumbuhkembangkan kemerdekaan sebuah bangsa. Soekarno me­
li­hat api Islam melalui rasio akal dalam menumbuhkan semangat ke­
mer­dekaan.
Api Islam adalah jiwa Islam yang terkandung dalam Al-Qur’an, dan
bukan semata berpedoman pada kitab-kitab fikih. Manusia menjadi
hidup, menjadi bernyawa karena adanya roh. Masyarakat yang se­
mata-mata berpedoman pada fikih tanpa melihat pada Al-Qur’an
sama dengan masyarakat yang mati. Dunia Islam kini setengah mati,
tidak memiliki roh karena tenggelam di alam kitab fikih-nya. Soekarno
menjelaskan bahwa dirinya bukan pembenci kitab fikih melainkan
mem­benci pemikiran yang semata-mata hanya menggantungkan pa­
da kitab fikih. fikih hanyalah sebuah kendaraan saja, sedangkan ken­
daraan ini dikusiri oleh etika Islam dan Tauhid. Soekarno men­je­laskan,

10
Soekarno, “Surat-surat Islam dari Endeh,” tulisan dalam Di Bawah Bendera
Revolusi, Jilid Pertama, (Jakarta: Penerbit Yayasan Bung Karno, 2005), h. 327.

76
2  Pancasila dalam Konteks Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia

bahwa para pengikut fikih semata adalah penganut Islam Sontoloyo.11


Menurutnya, Islam adalah sebuah kemajuan, Islam is pro­gress!12 Ra­
sionalitas dan kemajuan Islam diwujudkan dalam konsep Ijtihad.
Perlu adanya ruang-ruang untuk membuka wacana pembaruan me­
lalui pintu ijtihad. Tertutupnya pintu ijtihad akan membinasakan se­
mua peradaban manusia. Soekarno juga berpendapat perlunya me­
mudakan pengertian-pengertian dalam Islam. Perlu pula melihat sisi
kesejarahan Islam masa kenabian di mana kaum muda saat itu men­
dorong dinamika kemajuan Islam.13

c. Buya Hamka
Buya Hamka adalah seorang ulama pejuang kemerdekaan
Indo­­nesia, sekaligus Pahlawan Nasional. Beliau lahir di Sungai Ba­
tang, Tanjung Raya Agam, Sumatra Barat, 17 Februari 1908. Beliau
me­ninggal di Jakarta, 24 Juli 1981. Pemahaman kuat Buya Hamka
atas iman dan rasa cinta kepada Tanah Air dipengaruhi oleh pe­mi­

UP
RO
kiran Jamaluddin al Afghany. Buya Hamka menjelaskan berda­sarkan

I A G
pemikiran Jamaluddin al Afghany, bahwa musuh besar yang harus

ED
dihadapi adalah penjajahan Barat yang pada hakikatnya adalah ke­

M
lanjutan dari Perang Salib. Untuk itulah, setiap kaum Muslimin wajib

D A
atasnya untuk menentang penjajahan, maka diperlukan kekuatan

NA
Islam yang menyatu walaupun memiliki Tanah Air yang berbeda-beda.

PRE
Perlunya kaum Muslimin untuk memiliki kesatuan pandangan, yaitu
kembali kepada ajaran Islam.14 Islam menjadi motor penggerak bagi
pembebasan atas penjajahan yang membelenggu kaum Muslimin.
Islam yang memiliki nilai-nilai universal (universalisme) mampu me­
nya­tukan ide-ide nasionalisme dalam sebuah semangat universal,
yaitu kesatuan ide: kemerdekaan dari penjajahan.15

11
Soekarno, “Islam Sontoloyo,” tulisan dalam Di Bawah Bendera Revolusi, Jilid Per­
tama, (Jakarta: Penerbit Yayasan Bung Karno, 2005), h. 497-502.
12
Soekarno, “Surat-surat Islam dari Endeh,” tulisan dalam Di Bawah Bendera
Revolusi, Jilid Pertama, (Jakarta: Penerbit Yayasan Bung Karno, 2005), h. 335.
13
Soekarno, “Me‘muda’kan Pengertian Islam,” tulisan dalam Di Bawah Bendera Re­
volusi, Jilid Pertama, (Jakarta: Penerbit Yayasan Bung Karno, 2005), h. 373.
14
Hamka, Said Jamaluddin al Afghany, (Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1981), h.
44.
15
Kemerdekaan atas penjajahan yang dilakukan oleh bangsa Eropa kepada ne­
geri-negeri Muslim, khususnya Indonesia, dimulai dari adanya perdagangan Eropa
untuk mencari cengkeh di Nusantara, khususnya. Masuknya Belanda pertama kali
men­darat di Pelabuhan Banten dipimpin oleh Cornelis de Houtman pada 1596. Sikap
kesombongan, tidak sopan serta kekurangajaran pedagang Belanda ini dilakukan de­ngan
cara menyeret perahu milik orang Jawa yang berdagang di pelabuhan Banten. Tin­dakan
ini mengakibatkan perselisihan antara Kesultanan Banten dan Belanda. Hubungan

77
spiritualisme pancasila

Beliau melihat adanya kewajiban yang harus ditunaikan oleh


manusia, khususnya Muslim. Salah satu kewajiban bagi setiap Muslim
adalah bertanah air. Menurutnya, iman melekat bersama dengan rasa
cinta pada tanah airnya. Buya Hamka menyatakan:
Hendaklah pemuda mencintai Tanah Airnya dan mengharap semoga
Tanah Air itu turut pula menyempurnakan bengkalai dunia yang tengah
disusahkan ini. Hendaklah ia menjadi bagian yang berguna dalam tanah
airnya, dan insaf bahwa pengorbanannya untuk persada Tanah Air walau
bagaimana kecilnya, akan disambut oleh Tanah Air dengan tangan ter­
buka karena tidaklah ibu menolak tiap-tiap persembahan putranya.16

Buya Hamka memiliki kesamaan dengan Soekarno dalam hal pe­


ran penting pemuda untuk membangun bangsanya. Pemuda men­
jadi tulang punggung sekaligus mesin penggerak peradaban sebuah
bangsa. Buya Hamka melihat adanya kesulitan yang dihadapi sebuah
bangsa mampu diubah ke arah kebaikan oleh kaum muda. Merubah

P
arah bangsa dari kesulitan, kepayahan, penderitaan menuju kebaikan
membutuh sebuah pengorbanan yang besar. Pengorbanan yang dila­

RO U
G
ku­kan oleh pemuda tentunya bukanlah pengorbanan yang sia-sia.

ED I A
Pengorbanan yang dilakukan para pemuda demi bangsanya tentu akan

M
diterima oleh ibu pertiwi Indonesia. Jiwa dan semangat berkorban ini

D A
dapat dilakukan oleh para pemuda ketika mereka memiliki iman yang

NA
kuat di dalam jiwa mereka. Iman menjadi landasan untuk membe­

PRE
bas­kan bangsa dari penderitaan akibat penjajahan yang dirasakan.
Per­juangan mempertahankan Tanah Air pada hakikatnya adalah per­
ju­angan mempertahankan akidah. Tanggung jawab melanjutkan per­­­­
juang­an itu berada di tangan angkatan muda Islam. Angkatan muda
Islam harus mampu mempertahankan akidah dari rongrongan paham
ma­­teria­lisme dan isme-isme lainnya yang akan melemahkan iman
Islam.17 Angkatan Muda, menurut Buya Hamka, adalah mereka yang
sanggup menjadi harapan bagi bangsanya. Angkatan muda yang tidak

inharmoni antara Banten dan Belanda semakin diperburuk dengan masuknya Portugis di
tengah kancah permusuhan tersebut. Perselisihan antara agama ikut mewarnai ketiganya;
Portugis Katolik, Belanda Protestan, dan Banten Islam semakin memperuncing suasana
permusuhan. Akhirnya, terjadilah kesepakatan antara pedagang Belanda dan Banten
un­tuk menyingkirkan Pedagang Portugis. Pedagang Portugis tersingkir ke Maluku, dan
Belanda segera membentuk VOC pada 1602 untuk memperkuat armada da­gangnya
di Kepulauan Nusantara. Inilah dimulainya penjajahan Belanda di Nusantara. Lihat:
Hamka, Sejarah Umat Islam, Pra Kenabian hingga Islam di Nusantara, (Jakarta: Penerbit
Gema Insani Press, 2016), h. 607-611.
16
Hamka, Dari Lembah Cita-cita, (Jakarta: Penerbit Gema Insani Press, 2016), h. 71-
72.
17
Hamka, Dari Hati ke Hati, tentang Agama, Sosial-Budaya, Politik, (Jakarta:
Penerbit Pustaka Panjimas, 2005), h. 141.

78
2  Pancasila dalam Konteks Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia

terikat oleh kecintaan kepada harta, kepada emas yang dengannya


terpenuhilah sebuah tempayan karena hujan emas. Angkatan muda
jangan terbuai oleh angan-angan, karena hakikat sebuah gunung akan
diketahui setelah gunung itu didaki.18
Dalam konteks bangsa yang sudah merdeka, pendapat Buya
Hamka ini juga dapat diletakkan dalam usaha keras para pemuda
untuk membebaskan negeri dari belenggu penajajahan ekonomi.
­Ke­­­ti­dakadilan, kemiskinan, ketergantungan ekonomi, kesejahteraan
yang rendah, kemakmuran yang sulit tercapai hendaknya membuka
se­buah ruang kesadaran pemuda. Ia dengan kekuatan iman, akalnya,
juga te­naga yang dimiliki harus mampu mengubah nasib bangsa me­
nuju pada kemakmuran dan kesejahteraan bangsa. Usaha keras pe­
muda membutuh kesepaduan gerak iman serta amal kebaikan. Iman
menjadi mesin yang menggerakkan tubuh fisik berpikir dan melangkah.
Dalam hal ini, pemuda meletakkan kekuatan spiritual dan daya fisik

P
untuk bergerak. Pemuda harus pula menyadari bahwa tidak sekadar
dibutuhkan kekuatan atas tubuh fisiknya, tetapi harus pula menyadari

RO U
G
sebuah kekuasaan Allah atas dirinya. Buya Hamka menjelaskan bah­

I A
wa makna shalat berjamaah di masjid ataupun surau mengandung

ED
dua hubungan keterkaitan: hubungan manusia dengan Allah dan

A M
hubungan sosial jamaah. Ketika selesai shalat dan menunggu waktu

D
NA
shalat berikutnya, manusia yang berkumpul di masjid membicarakan

PRE
persoalan-persoalan kemasyarakatan. Di sinilah terdapat upaya untuk
menjauhkan sifat-sifat individualisme dalam diri setiap manusia.19
Menurut Buya Hamka, pencapaian kesejahteraan bangsa melalui
capaian-capaian ekonomi haruslah menuju pada sebuah tujuan luhur,
yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Langkah pertama,
menurut Buya Hamka dalam mencapai sebuah kemakmuran bersama
adalah membangun jiwa bangsanya. Setiap orang harus membangun
jiwanya baik taraf individu, kelompok, komunitas, masyarakat hingga
taraf sebuah jiwa bangsa. Upaya mencapai kemakmuran tersebut di­­
mulai dengan menghormati hak kepemilikan individu. Hak ini di­
hor­­­­
mati sekaligus diatur agar tidak terjadi kecemburuan sosial, di
sinilah peran ulil amri atau penguasa yang adil untuk mengatur dan
mengendalikannya.20 Membangun jiwa bangsa oleh seorang ulil amri

18
Hamka, Angkatan Baru, (Jakarta: Penerbit Gema Insani Press, 2016), h. 18-34.
19
Hamka, Kesepaduan Iman dan Amal Saleh, (Jakarta: Penerbit Gema Insani Press,
2016), h. 83.
20
Hamka, Keadilan Sosial dalam Islam, (Jakarta: Penerbit Gema Insani Press, 2015),
h. 5-6.

79
spiritualisme pancasila

bukanlah perkara yang mudah. Banyak pemikiran dengan akal yang


lemah memandang bahwa melompati api yang berkobar serta meng­
hadapi ombak yang ganas adalah kebodohan dan kesia-siaan. Perlu
disadari menurut Buya Hamka bahwa melompati kobaran api demi
menyelamatkan anak yang terkurung dalam rumah yang terbakar,
melompati ombak ganas guna menolong orang yang tenggelam adalah
wajib. Tampil ke medan perang mengorbankan jiwa raga bagi ke­mu­
liaan Tanah Air agar bangsa hidup bahagia sepeninggal kita, adalah ke­
wajiban setiap jiwa bangsa. Ketika kewajiban ini dilalaikan, maka akan
mematikan budi manusia, sehingga rugilah semua umat ma­nu­sia.21
Ulil amri atau pemimpin mengemban amanah membangun se­
buah masyarakat yang adil, dan itu tidaklah mudah. Buya Hamka me­
nyatakan bahwa hambatan dalam mencapai tujuan kesejahteraan
rakyatnya sangat besar, salah satunya adalah korupsi. Untuk itu, begitu
pentingnya sebuah bangsa dalam memilih seorang ulil amri atau pe­

P
mimpin, menurutnya. Meskipun ada orang yang baik juga jujur, be­
lumlah tentu ia sanggup untuk memerintah negara sebagai sebuah

RO U
G
amanah. Setiap kesulitan yang dihadapi oleh bangsa dalam mencapai

I A
amanah kesejahteraan dan kemakmuran rakyat harus mampu diatasi
oleh sebuah pemerintahan yang kuat.22
ED
A M
Buya Hamka juga menjelaskan bahwa wajibnya seorang anggota

D
NA
bangsa untuk berbuat terhadap sesama manusia adalah kehendak

PRE
keadilan itu sendiri. Kita wajib berbuat demi kepentingan masyarakat,
sesama manusia karena kita berasal dari satu keturunan dan tabiat
yang sama, yaitu kemanusiaan dan setiap manusia memiliki tujuan
yang sama yaitu kemuliaan. Kita wajib saling menolong, karena Allah
meng­hendaki kita hidup bersama dengan manusia lainnya. Ia tidak
dapat tegak sendiri jika tidak dibantu dan ditolong orang yang lain.
Itulah kebajikan, tolong menolong di antara sesama manusia adalah
hak sekaligus kewajiban untuk mencapai masyarakat yang sempurna
dalam pergaulan antarbangsa.23
Mencapai masyarakat yang sempurna dalam tata pergaulan ma­
nusia dan antarbangsa tersebut tidaklah sekadar mencapai tujuan
akan pencapaian kepuasaan jasmani semata, melainkan manusia
mampu mencapai sebuah kepuasaan tertinggi, kepuasan mutlak yaitu
21
Hamka, Lembaga Budi, Menegakkan Budi, Membangun Jati Diri, Berdasar Tun­
tun­an Al-Quran dan Sunnah Nabi, (Jakarta: Penerbit Republika, 2016), h. 2-3.
22
Hamka, Keadilan Sosial dalam Islam, (Jakarta: Penerbit Gema Insani Press, 2015),
h. 12-16.
23
Hamka, Lembaga Hidup, Ikhtiar Sepenuh Hati, Memenuhi Ragam Kewajiban un­
tuk Hidup sesuai Ketentuan Ilahi, (Jakarta: Penerbit Republika, 2015), h. 157-158.

80
2  Pancasila dalam Konteks Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia

ke­puasan bersama Kebaikan Yang Esa (Allah).24 Kepuasaan tertinggi itu


dicapainya ketika ia mampu merasakan kehadiran-Nya dalam dirinya
dengan capaian pribadi individu, masyarakat, dan akhirnya ia mampu
merasakan kehadiran-Nya dalam dirinya. Dalam capaian tersebut kita
perlu memandang kemashlahatan masyarakat. Mencapainya tidak
me­ ng­utamakan diri sendiri atau bahkan mengutamakan yang lain
me­ lainkan mencapai keseimbangan antara kehendak diri pribadi,
ke­­­hendak masyarakat, dan tentunya ia tidak mengabaikan kehendak
Allah atas dirinya.25
Mencapai kemaslahatan, berguna bagi masyarakat, sulit tercapai
jika pribadi individunya tidak mampu menghadirkan pribadi indi­
vidu yang diharapkan oleh masyarakat: memiliki daya tarik bagi ma­
sya­rakatnya, memiliki kemampuan akal dan kecerdikan, memiliki rasa
empati, memiliki keberanian, memiliki cara pandang yang baik, me­
ngetahui potensi dirinya, memiliki tubuh fisik yang kuat, bijak da­lam

P
berbicara, serta percaya pada kemampuan dirinya.26
Hubungan interaksi positif yang tergali antara sesama manusia,

RO U
G
menurut beliau harus selalu dilandasi oleh semangat bertuhan. Ini­

I A
lah menurut beliau disebut sebagai hukum alam atau sunnatullah.

ED
Kita tak akan mampu mengendalikan apa-apa yang telah dikehendaki

A M
oleh Allah bagi alam semesta dan manusia. Alam semesta tunduk

D
NA
pada hukum yang dikehendaki-Nya. Semua telah diatur dalam sebuah

PRE
neraca keseimbangan atas izin dan kehendak-Nya. Manusia mengikuti
ke­hendak-Nya dengan daya kemampuan yang dimiliki. Manusia ha­
nya mampu berbuat yang terbaik, itulah keutamaan manusia: ia sadar
akan kepentingan dirinya, dan ada kepentingan kelompok kaumnya,
dan ada pula kepentingan bangsa pada dirinya. Untuk itulah ia selalu
di­tuntut untuk berbuat baik kepada setiap makhluk termasuk kepada
dirinya sendiri.27
Kesemua upaya dan kepayahan yang dilakukan dalam berbangsa
dan bernegara menurut Buya Hamka demi kecintaan setiap orang
kepada Tanah Airnya. Beliau menyatakan:
Bersatu Bangsaku menyeru Tuhan, memohon Tanah Air mem­peroleh
jaya. Terdengar azan di puncak menara, “hayya alal fa­lah”, marilah
bersama-sama mengejar kemenangan. Aku bersama bermiliun bangsaku

24
Hamka, Falsafah Hidup, Memecahkan Rahasia Kehidupan Berdasarkan Tuntunan
al Quran dan As-Sunnah, (Jakarta: Republika, 2015), h. 80.
25
Hamka, Tasawuf Modern, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2003), h. 271.
26
Hamka, Pribadi Hebat, (Jakarta: Gema Insani Press, 2014), h. 11-57.
27
Hamka, Falsafah Hidup, Memecahkan Rahasia Kehidupan Berdasarkan Tuntunan
al Quran dan As-Sunnah, (Jakarta: Republika, 2015), h. 80-82.

81
spiritualisme pancasila

pergi ke sana, mencecahkan dahi ke lantai, me­nyembah Tuhan. Sehabis


shalat, kumohon pada Tuhan agar tanah airku diber­kati. Tiada jauh
dari dekatku, saudaraku yang lain, berduyun pula pergi ke gereja karena
mendengar dengung lonceng. Dan, saudaraku yang lain, sedarahku yang
lain, memasang dupa di kuil sunyi, memuja, memuji, di tempat suci. Tapi
hanya satu pendirian kita, yaitu: cinta Tanah Air sebagian dari iman.
Demikian cintaku kepada Tanah Air.28

Inilah keutuhan cinta seorang Buya Hamka akan Allah sebagai


Tuhannya dan juga kecintaannya pada Tanah Airnya. Menurut beliau,
persatuan sebuah bangsa diikat oleh nilai religiusitas, menyeru kepada
Tuhan. Bunyi gema azan mengajak manusia menuju ke arah keme­
nangan dan kejayaan, diimplementasikan dalam kemenangan untuk
mewujudkan kejayaan negeri. Setiap manusia siapapun dia, agama
apapun yang dianut olehnya tentunya memiliki sebuah kesamaan
yaitu mencintai Tanah Air. Buya Hamka menjelaskan bahwasanya rasa
cinta pada Tanah Air adalah sebagian dari iman seorang Muslim. Wa­
laupun menurut beliau sanad Hadis ini lemah atau daif, tetapi kan­
UP
RO
dungan makna yang terdapat di dalamnya sangat sahih. Buya Hamka
menyatakan:

I A G
M ED
Kita percaya kepada Tuhan dan kita mengabdi kepada Tuhan. Kita

A
bersyukur kepada-Nya, karena kita dilahirkan di atas setumpuk dunia

NA D
yang indah. Tanah Air kita adalah nikmat Illahi kepada kita. Di atas

PRE
bumi-Nya kita dibesarkan, hasil bumi-Nya yang kita makan, air-Nya
yang mengalir yang kita minum.29

Keyakinan akan kebesaran Allah diwujudkan dengan mengabdi


kepada-Nya. Wajib adanya rasa syukur atas segala rahmat dan karunia
yang telah tercurah kepada bangsa Indonesia. Karunia terbesar adalah
pemberian Tanah Air bagi bangsa Indonesia, di bumi Indonesia inilah
kita hidup. Di bumi Indonesia pulalah kita memakan setiap hasil bumi
yang tumbuh. Bentuk rasa cinta Tanah Air bukanlah dengan meru­
saknya, melainkan dengan menjaga dan merawat karunia terbesar
Allah yaitu Tanah Air. Menjaga dan merawat Indonesia ini menjadi
kewajiban setiap individu Muslim dan semua pemeluk agama, tanpa
memandang laki-laki atau perempuan. Ketakwaan kepada Allah di­
wujudkan oleh manusia dengan memperhatikan lingkungan alam­
Nya. Ia meyakini bahwa dalam penciptaan, pengaturan atas ala mini

28
Hamka, Lembaga Hidup, Ikhtiar Sepenuh Hati, Memenuhi Ragam Kewajiban
untuk Hidup sesuai Ketentuan Ilahi, (Jakarta: Penerbit Republika, 2015), h. 320-321.
29
Hamka, Pandangan Hidup Muslim, (Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1992), h.
221.

82
2  Pancasila dalam Konteks Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia

ter­dapat Penguasa Yang Maha Tinggi, yaitu: Allah. Laki-laki dan pe­
rempuan wajib mengetahui hal ini, sebagai bentuk keimanan kepada
Allah dan kecintaannya pada tanah airnya. Maka keduanya memiliki
ke­
wajiban sekaligus memikul tanggung jawab untuk merawat dan
men­­jaganya.30

d. Mohammad Natsir
Natsir lahir di Kabupaten Solok, Sumatra Barat, 17 Juli 1908
dan meninggal di Jakarta, 14 Maret 1993. Natsir merupakan Bapak
Bangsa yang begitu kuat menanamkan spirit Islam dalam wawasan
ke­bangsaan Indonesia. Beliau menyatakan bahwa Islam adalah fon­
dasi utama dalam menjadikan tegaknya sebuah negara. Umat Islam
sebagai golongan yang terbanyak dari golongan rakyat Indonesia men­
jadi alasan, bahwa Islam diletakkan sebagai fon­dasi berbangsa dan
bernegara.31 Beliau menjelaskan terdapat hu­bungan yang erat antara
agama dan negara. Natsir menyatakan:

UP

G
Dfikalau membitfarakan urusan agama dan negara ini ialah, bahwa

A RO
I
dalam pengertian Islam fang dinamakan “agama” itu bukanlah semata-

ED
mata fang disebut “peribadatan” dalam istilah sehari-hari itu sadfa

M
seperti salat dan puasa itu, akan tetapi fang dinamakan “Agama” me­

D A
nurut pengertian Islam meliputi semua kaedah-kaedah, hudud-hudud

NA
(batas-batas) dalam muamallah (pergaulan) dalam masfarakat, menurut

PRE
garis-garis fang telah ditetapkan oleh Islam itu. Untuk mendfaga supafa
aturan-aturan dan patokan-patokan itu dapat berlaku dan berdfalan
sebagaimana mestinfa, perlu dan tidak boleh tidak ada suatu kekuatan di
dalam pergaulan hidup berupa kekuasaan dalam negara.32

Natsir melihat hubungan yang erat antara agama dan negara, dan
antara keduanya tidak terpisahkan. Agama dijalankan sebagai sebuah
pedoman dan kaidah hidup manusia. Untuk menguatkan agar ajaran
agama (Islam) dapat berjalan dengan benar, maka diperlukan sebuah
kekuasaan dalam bentuk negara. Negara mengatur, mengendalikan
setiap perilaku orang yang diukur berdasarkan batasan-batasan aga­
ma. Negara berupaya menjaga agar hukum Islam dapat diterapkan
dengan benar melalui negara. Di sinilah peran hubungan negara dan
agama. Pemisahan hubungan agama dan negara melalui sekularisasi
tidak dikenal dalam konsep Islam. Natsir juga melihat faktor penting

30
Hamka, Buya Hamka Berbicara tentang Perempuan, (Jakarta: Gema Insani Press,
2014), h. 3-9.
31
Mohammad Natsir, Islam sebagai Dasar Negara, (Bandung: Sega Arsy, 2014), h. 57.
32
M. Natsir, Arti Agama dalam Negara, tulisan dalam Capita Selecta, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1973), h. 436-437.

83
spiritualisme pancasila

dalam pencapaian kemerdekaan bangsa adalah berada di tangan para


pemudanya.
Oleh karena itu, wahai saudara-saudara, dfanganlah engkau mengha­
biskan masa dengan mentfoba memperbaiki keadaan mereka fang telah
tua Bangka, fang tak ada berkodrat lagi itu. Mereka mempunfai kefakinan,
bahwa dari pihak golongan pemuda tak ada fang akan terdengar, me­
lainkan hanfa pandangan-pandangan fang merusak, kelakuan-kela­
kuan fang dfahat, achlak fang kedfi. Mereka itu akan menfusahkan
pekerdfaanmu, akan tetapi mereka tidak akan berubah mendfadi baik.
Akan tetapi, atas pundakmulah terletaknfa suatu kewadfiban, fakni un­
tuk membuktikan bahwa sesungguhnfalah engkau ini seorang pemuda
fang bersanubari sutfi dan sehat.33

Natsir melihat, bahwasanya pemuda sulit sekali untuk diajak


berubah menjadi baik, akan tetapi ia melihat peran strategis pemuda
untuk merubah keadaan karena adanya semangat kuat dari para
pemuda. Mengharapkan perubahan melalui generasi tua dalam bang­
sanya adalah hal yang tidak mungkin. Generasi tua akan sulit untuk

UP
RO
melakukan sebuah gerakan perubahan sosial bagi masyarakatnya.

I A G
Pemi­kiran Natsir ini sangat tepat bahwa capaian kegemilangan sebuah

ED
bangsa ditentukan dari gerak dinamika aktif para pemudanya, dan

M
bukan di tangan golongan tuanya. Golongan muda memiliki energi

D A
yang kuat untuk mendobrak tatanan yang membelenggu, berupa pen­

NA
jajahan.

PRE
Beliau juga menjelaskan hubungan antara falsafah Pancasila
dengan Islam sebagai agama. Dalam kaitan dengan Tauhid Islam dan
Pancasila, beliau menjelaskan:
Pantasila memang mengandung tudjuan-tudjuan Islam, tetapi Pantjasila
itu bukanlah berarti Islam. Kita berkejakinan jang tak kundjung kering,
bahwa di atas tanah dan iklim Islamlah Pantjasila akan hidup subur.
Apabila Sila Pertama ini jang hakikatnja urat tunggal bagi Sila-ila beri­
kutnja sudah tumbang maka seluruhnja akan hampa, dan amorph, tidak
mempunjai bentuk jang tentu. Jang tunggal adalah jang mudah sekali
digunakan untuk penutup tiap-tiap langkah perbuatan jang tanpa sila,
tidak bekesusilaan sama sekali.34

Natsir melihat keterkaitan erat antara Pancasila dengan spirit


Islam, walaupun Pancasila bukanlah Islam. Pancasila, menurut beliau
menjadi hidup dan tumbuh dengan subur dalam iklim Islam. Sila

33
M. Natsir, “Ichwanus shofa,” tulisan dalam Capita Selecta, (Jakarta: Bulan Bintang,
1973), h. 206.
34
Natsir dalam Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah 2, (Bandung: Salamadani,
2010), h. 388.

84
2  Pancasila dalam Konteks Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia

pertama Pancasila adalah urat tunggang Pancasila, sama dengan ke­


yakinan pendirian Buya Hamka. Sila tersebut menjadi urat tunggang
yang dengannya terjiwailah seluruh nilai-nilai Pancasila. Maka tampak
jelas pandangan Natsir, bahwa Pancasila memiliki nilai Tauhid yang
terambil dari nilai religiusitas Islam. Pandangan Islam sebagai dasar
negara diungkapkannya pada Sidang Konstituante 1959, menurutnya,
Islam diterapkan langsung sebagai fundamen berbangsa dan ber­
negara. Pendapat beliau tentang Pancasila dan Islam agak berbeda
dengan pendapat yang pertama. Pada pendapatnya kali ini, Pancasila
mendapatkan roh spiritual Islam, dengan Tauhid yang terletak pada
sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Tanpa sila ini, maka Pancasila menjadi
tak memiliki makna. Kesamaan dari dua pendapat beliau adalah spi­
ritualisme Islam berupa Tauhid terdapat dalam falsafah berbangsa
Pan­casila, bahkan menjadi urat tunggangnya.
Pendapat beliau yang tegas adalah ketika beliau membantah

P
per­nyataan-pernyataan Soekarno mengenai Islam Sontoloyo. Beliau
menuangkannya dalam tulisan: Sikap Islam dalam Kemerdekaan Ber­­

RO U
G
pikir yang beliau tulis pada 1940. Menurut Natsir, bahwa ma­nusia

I A
wajib melindungi dan menghargai akal sebagai bentuk sarana untuk

ED
mengetahui Tuhan. Beragam ayat yang tersebar dalam Quran meme­

A M
rintahkan untuk akal dan pikirannya dengan baik. Manusia diminta-

D
NA
Nya untuk memperhatikan setiap gejala-gejala alam dengan tujuan

PRE
untuk melihat adanya kebesaran Tuhan. Untuk itulah, maka Islam
menurut beliau melarang taklid buta kepada paham apa pun yang
tidak berdasar pada wahyu. Akan tetapi akal juga harus ditempatkan
sesuai dengan porsinya. Seorang yang menyatakan, bahwa akal da­
pat menjawab semua masalah pada hakikatnya ia telah jatuh pada
sebuah taklid buta pula, yaitu taklid pada rasionalisme.35 Dengan
prin­sip rasionalisme semata, maka menurut beliau shalat akan hanya
dipahami sebagai gerak badan semata. Pada masa modern, gerak ba­
dan tersebut sudah dapat dilakukan melalui olahraga. Apakah shalat
dapat digantikan melalui badminton? Tentu saja tidak.36
Natsir juga berpendapat atas persatuan umat Muslim sedunia
untuk mengatasi penindasan penjajahan. Menurut beliau mengutip
pendapat Prof. Snouck Hurgronje dan Prof. Bousquet, bahwa periba­

35
Mohammad Natsir, Islam dan Akal Merdeka, Kritik atas Pemikiran Soekarno
tentang Islam Sontoloyo dan Seputar Pembaruan Pemikiran Islam Polemik 1934-1940,
(Bandung: Sega Arsy, 2015), h. 136-143.
36
Mohammad Natsir, Islam dan Akal Merdeka, Kritik atas Pemikiran Soekarno
tentang Islam Sontoloyo dan Seputar Pembaruan Pemikiran Islam Polemik 1934-1940,
(Bandung: Penerbit Sega Arsy, 2015), h. 156.

85
spiritualisme pancasila

datan Islam diberi keleluasaan untuk menjalankannya. Pemerintah


Kolonial telah berupaya untuk menghambat modernisasi Islam di
tanah jajahannya. Aturan hukum yang melarang pendi­rian sekolah
Islam swasta, pengawasan terhadap pondok pesantren be­serta seluruh
kyainya. Larangan berkumpul bagi umat Islam, akan tetapi pemerintah
tidak mungkin melarang umat Islam untuk pergi me­laksanakan iba­dah
haji. Ibadah haji menjadi sarana yang efektif dan cukup kuat untuk
menjalin sekaligus meneguhkan persatuan Muslimin sedunia. Selu­ruh
umat Muslim berkumpul dari beragam tempat di dunia ini. Menurut
Natsir benteng terakhir yang dimiliki oleh kaum Muslimin dalam
meng­hadapi penjajahan adalah ibadah.37
Konsep terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia me­ru­
pa­kan ide pemikiran Natsir. Beliau melihat, bahwa terbentuknya Ne­­
ga­ra Republik Indonesia Serikat (RIS) hasil Konferensi Meja Bundar ta­
hun 1949 menjadikan Indonesia terpecah-pecah dalam banyak negara

P
bagian. Banyak negara bagian terbentuk berada dalam kekuasaan
Be­lan­da. Pada 1950 banyak negara bagian yang menyatukan diri me­

RO U
G
reka untuk bergabung bersama RIS. Untuk mengatasi, adanya per­

I A
pecahan sekaligus mengakomodasi keinginan rakyat untuk bersatu,

ED
maka Natsir mengeluarkan Mosi Integral untuk membentuk sebuah

A M
Negara Kesatuan. Mosi tersebut diserahkan kepada Parlemen dan di­

D
NA
terima oleh Parlemen. Hasilnya adalah terbentuknya Negara Kesatu­an

PRE
Republik Indonesia, 17 Agustus 1950.38

e. Sjafruddin Prawiranegara
Bapak Bangsa Indonesia yang sempat menjabat sebagai Pejabat
Presiden RI Darurat adalah Sjafruddin Prawiranegara. Beliau dilahirkan
di Serang, Banten, 28 Februari 1911 dan meninggal di Jakarta, 15
Februari 1989. Sjafruddin melihat Islam sebagai kekuatan univer­sal
yang dengannya mampu mengalahkan segala ideologi yang ada di
du­nia. Islam, menurutnya, adalah kekuatan penyeimbang di tengah
kutub perdebatan antara ideologi komunisme dan kapitalisme. Sja­
frud­din melihat, bahwa cita-cita keadilan sosial yang tertuang dalam
marxisme terdapat pula dalam Islam. Nilai keadilan sosial dalam

37
M. Natsir, “Oleh-oleh dari Algiers”, tulisan dalam Capita Selecta, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1973), h. 197.
38
Waluyo, Dari Pemberontak menjadi Pahlawan Nasional; Mohammad Natsir dan
Perjuangan Politik Indonesia, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2009), h. 75-78. Lihat Pula:
Nugroho Dewanto, eds., Natsir, Politik Santun di antara Dua Rezim, (Jakarta: Penerbit
KPG-Tem­po, 2011), h. 51-57.

86
2  Pancasila dalam Konteks Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia

Islam dan Marxisme ini memerangi penindasan yang dilakukan oleh


kapitalisme. Islam, walaupun memiliki tujuan yang hampir serupa
dalam mewujudkan cita-cita keadilan sosial, metode pencapaiannya
sangat berbeda. Marxisme melakukan perjuangan kelas untuk meng­
hapus perbedaan kelas. Islam tetap melihat adanya perbedaan kelas
dalam masyarakat dan tidak mungkin dihapuskan. Perbedaan kelas
dalam Islam menurut beliau bersifat relatif. Keadaan kaya dan miskin
dapat berubah-ubah, tidak bersifat tetap.39
Islam tidaklah mencapai kesejahteraan sebatas pada ukuran du­
niawi, semata yang terdorong oleh perasaan kebencian terhadap
kelompok golongan kaya. Komunisme mengabaikan hak individu ma­
nusia serta terfokus pada pertentangan antarkelas. Komunisme tidak
melihat adanya sebuah kerja sama antarkelas berupa persatuan. Me­
nurut beliau marxisme pada hakikatnya hanyalah mengejar utopia
(khayalan) semata. Marxisme menghantam kelas yang hanya ada da­

P
lam pikirannya, yang sesungguhnya menderita dan menjadi korban
sesungguhnya bukanlah kelas, melainkan manusianya. Pada sisi lain­

RO U
G
nya terdapat kapitalisme yang menghancurkan nilai kemanusiaan
yang lahir dari etika Protestan.40

ED I A
Sjafruddin lebih jauh menjelaskan bahwa hal yang sangat penting

A M
dalam hidup manusia adalah keadilan. Manusia dapat bersikap dan

D
NA
berbuat adil ketika manusia sepenuhnya mengindahkan hak hidup

PRE
orang lain yang dikenal sebagai hak asasi manusia. Hak ini tidak dapat
dilanggar oleh siapapun termasuk oleh penguasa, karena me­langgar­
nya adalah sebuah kezaliman. Keadilan mendorong setiap orang orang
untuk berbuat adil pada dirinya sendiri yang terkadang me­­lampaui
batas dan adil dalam berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa.
Pembangunan sebuah bangsa dimulai dari pembangunan pen­didik­
annya, dengan kata lain pembangunan atas akhlak manusia. Manusia
yang memiliki akhlak akan merasa senasib sepenanggungan sehingga
rakyat akan dipersatukan dalam bangsa. Beliau melihat bahwa per­
juangan kemerdekaan Indonesia adalah merupakan sumbangan be­
sar umat Islam bagi bangsa. Umat Islamlah yang juga telah berhasil
menghancurkan komunisme di Indonesia.41

39
Sjafruddin Prawiranegara, “Islam dan Pergolakan Dunia” tulisan dalam Ajip
Rosidi, ed., Islam sebagai Pedoman Hidup, Kumpulan Karangan Terpilih, (Jakarta:
Pustaka Jaya, 2011), h. 44.
40
Sjafruddin Prawiranegara, “Islam dan Pergolakan Dunia” tulisan dalam Ajip
Rosidi, ed., Islam sebagai Pedoman Hidup, Kumpulan Karangan Terpilih, Jilid 1, (Jakarta:
Pustaka Jaya, 2011), h. 47-58.
41
Sjafruddin Prawiranegara, “Peranan Islam dalam Perjuangan Kemerdekaan dan

87
spiritualisme pancasila

Sjafruddin melihat peran penting Islam dalam pembangunan


ekonomi. Islam melindungi yang lemah, miskin, dan menderita, akan
tetapi perlindungan terhadap kaum yang lemah tersebut memiliki
batasan tertentu. Beliau berpendapat, bahwa kemiskinan yang diaki­
batkan oleh kemalasan tidak layak mendapatkan perlindungan. Un­
tuk melakukan pemberantasan kemiskinan tidaklah diajarkan ke­
ben­­­cian si miskin terhadap si kaya. Jika hal itu dilakukan, maka kita
mengajarkan manusia miskin menjadi hewan yang buas. Untuk me­
ngisi kemerdekaan, hendaklah dimulai dengan membersihkan pan­
dangan dan hati manusia dari kebencian terhadap siapapun.42 Pada
pola pencapaian kesejahteraan rakyat, maka dibangunlah kondisi jiwa
bangsa itu. Membangun jiwa bangsa Indonesia dengan menghilangkan
sifat-sifat dan rasa kebencian antarkelompok dalam masyarakat.
Sjafruddin menyatakan, bahwa harapan pembangunan bangsa In­
donesia adalah Islam semata. Hanya dengan berpedoman pada Is­lam,

P
kita dapat berharap kemerdekaan dapat bermanfaat bagi seluruh Rak­
yat Indonesia. Kewajiban pemerintah dalam Islam mengatur hubung­

RO U
G
an antara majikan dengan buruh agar tidak terjadi pemogokan akibat

I A
penindasan. Membangun negeri secara Islam berarti menghindarkan

ED
diri dari kesalahan yang dibuat oleh negara-negara demokrasi Barat

A M
dan negara-negara komunis. Membangun bangsa secara Islam berarti

D
NA
mendidik masyarakat untuk menggunakan pengetahuan dan teknologi

PRE
guna keselamatan manusia. Kemerdekaan yang hendak dicapai oleh
bangsa Indonesia bukanlah hanya untuk menjadi kaya, melainkan un­
tuk didistribusikan secara adil, untuk diamalkan kepada siapapun yang
membutuhkannya. Prinsip yang utama dalam Islam adalah tidak ada
perbedaan yang signifikan antara membangun dunia dan membangun
akhirat.43

3. Islam dan Kebangsaan Indonesia,


Reaksi atas Kolonialisme
Hubungan dinamis Islam dengan penguatan paham kebangsaan
Indonesia terjalin begitu erat. Hubungan ini terbangun sebagai sebuah

Pembangunan”, tulisan dalam Ajip Rosidi, ed., Islam sebagai Pedoman Hidup, Kumpulan
Karangan Terpilih, Jilid 1, (Jakarta: Penerbit Pustaka Jaya, 2011), h. 313.
42
Sjafruddin Prawiranegara, Masalah Negara dan Individu, tulisan dalam Ajip Ro­­
sidi, ed., Agama dan Bangsa, Pembangunan dan Masalah-Masalahnya, Kumpulan Ka­
rangan Terpilih, Jilid 3, (Jakarta: Pustaka Jaya, 2011), h. 98.
43
Sjafruddin Prawiranegara, “Membangun Secara Islam,” tulisan dalam Ajip Rosidi,
ed., Agama dan Bangsa, Pembangunan dan Masalah-Masalah-Nya, Kumpulan Karangan
Terpilih, Jilid 3, (Jakarta: Pustaka Jaya, 2011), h. 112-113.

88
2  Pancasila dalam Konteks Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia

kesadaran atas usaha untuk meraih, sekaligus mempertahankan ke­


mer­dekaan bangsa. Penguatan relasi keislaman dalam gerakan-gerak­
an kebangsaan sebelum era Kemerdekaan, dilakukan sebagai bentuk
identitas perlawanan bangsa terjajah yang memeluk Islam me­la­wan
bangsa Belanda sebagai pemeluk Kristen. Natsir melihat ada­nya pe­
netrasi ajaran Kristen hingga tingkat desa yang harus dihadapi. Be­liau
menuliskan:
Dan selama orang berkata bahwa aksi propagandis Kristen masuk
kampong keluar kampong, masuk rumah keluar rumah orang Islam
dengan membawa madjalah dan kitab-kitab jang menarik hati dan duit
untuk “Tentara Keselamatan”; bahwa aksi mereka dipinggir-pinggir djalan,
di tepi tanah-tanah lapang, dengan music teropet dan genderangnja,
dengan njanji-njanji jang merdu ataupun dengan hinaan-hinaan jang
mengiris djantung orang Islam, bahwa semua aksi ini mengingatkan
kaum muslimin kepada amanat agama mereka: Alangkah sukanja ke­
banjakan Ahli Kitab, djika mereka bisa mengembalikan kamu kepada

P
kekufuran, sesudahnja kamu beriman” (QS. Al Baqarah: 109), dan setelah

RO U
mengingat akan itu, terus mereka mulai mengumpulkan segala kekuatan
jang ada buat menangkis serangan jang datang, hal mana sudah lama

G
diperingatkandari dulu itu, kalau begitu maksud orang dengan perkataan

ED I A
aksi dan reaksi itu, kita tidak akan mungkiri. Sebab di sini aksi itu masih
tetap bersifat pantjingan dan reaksi masih tetap diakui sebagai seuatu

A M
kekuatan fang hidup dan mempunfai sumber fang tertentu pula, fakni

NA D
dalam Islam itu sendiri.44

PRE
Penjajahan tidak sekadar diartikan sebagai penjajahan atas tu­
buh fisik manusia semata, tetapi juga menghancurkan keimanan
Islam. Natsir melihat hal ini dengan penetrasi Kristen ke dalam per­
kam­ pungan Islam dengan beberapa aksi yang dilakukan oleh ke­
lom­pok yang menamakan dirinya “Tentara Keselamatan” (Salva­tion
Army). Hubungan antar-agama ini selalu menimbulkan kecuri­gaan
yang semakin menguatkan persatuan kelompok. Kaum musli­ min
meng­ gunakan panji Islam sebagai identitas pribumi dalam meng­
ha­dapi penjajah yang diidentifikasi sebagai Kristen. Faktor Islam ini
mendorong penguatan rasa kebersamaan kelompok, yang secara ti­
dak disadari menumbuhkan identitas kebangsaan untuk melawan
penindasan dan penjajahan. Sikap sentimen agama ini muncul ka­
rena pemerintah Kolonial Hindia Belanda memperlakukan penduduk
pri­bumi yang dijajah yang beragama Islam secara diskriminatif dan
congkak.45 Pada saat yang sama, homogenitas agama kelompok pribumi

44
M. Natsir, “Perguruan Partikelir Islam,” tulisan dalam Capita Selecta, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1973), h. 123.
45
Ridwan Lubis dan Muhammad Hisyam, “Islam dan Nasionalisme,” tulisan dalam

89
spiritualisme pancasila

sebagai kelompok terjajah yaitu Islam mendominasi masyarakat pri­


bumi sebagai bangsa terjajah.
Homogenitas religius Islam ini memudahkan kelompok Islam
yang berposisi sebagai terjajah untuk menerima konsep keislaman dan
kebangsaan. Penanaman nilai-nilai Islam untuk melawan penindasan
dilakukan oleh Jamaluddin al-Afghany. Beliau mengaktualisasikan
nilai-nilai Islam dalam bentuk praksis. Islam bukanlah sekadar me­
mi­liki kualitas ibadah semata, melainkan memiliki kekuatan gerak
dinamis untuk membebaskan umat dari belenggu-belenggu penin­
dasan akibat penjajahan. Al-Afghany menyatakan bahwa akal harus
dijalankan bersamaan dengan iman. Beliau menyatakan Islam seba­
gai sebuah kekuatan pembebas dari dominasi Barat serta mene­gak­­
kan kemerdekaan spiritual, intelektual, serta ekonomi. Islam harus
diletak­kan sebagai kekuatan pemersatu, sekaligus sebagai sen­ jata
dalam perjuangan melawan penjajahan.46 Islam, memuat gagas­an uni­

P
versalisme, dapat pula diletakkan dalam konsep-konsep nasio­nalisme.
Tanpa harus menghilangkan batas-batas negara, Islam diletak­kan da­

RO U
G
lam membangkitkan semangat berbangsa untuk melepas­­kan diri dari
belenggu penindasan.

ED I A
Proses penanaman nilai-nilai keislaman bagi terbentuknya sebuah

A M
bangsa Indonesia semakin dipercepat dengan masuknya penetrasi

D
NA
Kristen yang sudah terbaratkan. Penanaman nilai-nilai keislaman da­

PRE
lam membentuk sebuah nilai kebangsaan semakin membesar justru
ketika terjadi gelombang kristenisasi terhadap rakyat terjajah. Semakin
gencarnya proses kristenisasi Barat, meningkatkan pula proses-proses
penanaman nilai keislaman. Pertemuan antar-Islam dan Kristen di
Nu­santara sejatinya merupakan kelanjutan dari pertemuan keduanya
dalam kancah Perang Salib di Abad Pertengahan. Gaung Perang Salib
yang terjadi sejak dikumandangkan oleh Paus Urbanus II tahun 1095
memunculkan perseteruan yang tak berakhir antara Islam dan Kristen
hingga masuk ke Nusantara.47
Proses penetrasi agama Kristen dengan semangat penyelamatan
ini dibawa melalui jalur penjajahan. Penetrasi ini diwujudkan dengan
pembagian beras yang dilakukan oleh Jan Pieterszoon Coen selaku
Gu­bernur Jenderal VOC era 1619-1629. Coen untuk pertama ­ka­li­­nya

Taufik Abdullah, eds., Ensiklopedi Tematis Dunia Islam; Jilid 5: Asia Tenggara, (Jakarta: PT
Ichtiar Baru Van Hoeve, 2003), h. 394-395.
46
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara, Studi Tentang
Perdebatan dalam Konstituante, (Jakarta: Penerbit LP3ES, 2006), h. 43-44.
47
Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan, Se­
buah Refleksi Sejarah, (Bandung: Mizan, 2009), h. 80-81.

90
2  Pancasila dalam Konteks Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia

mengenalkan sistem “pembagian beras untuk iman” (rice Chris­


tian). Setiap anak yang belajar di sekolah Kristen akan diberikan satu
pound beras. Pada saat inilah orang dikatakan memeluk sebuah aga­
ma untuk kepentingan materi.48 Hubungan interaksi kedua agama ini
kini disimbolkan dalam hubungan antara penjajah dan terjajah. Secara
historis, hubungan antariman ini diwujudkan dalam interaksi ke­
kuasaan politik yang mengakibatkan relasi inharmonis di antara kedua
agama tersebut. M. Natsir menyatakan, bahwa proses internali­sasi
Islam dalam lingkup sosio-kultural lebih dapat diterima karena orang
Islam masuk dengan senjata jasmani yang didampingi oleh senjata
rohani.49
Relasi yang harmoni serta final antarkedua pemeluk agama ini
dalam ranah kebangsaan Indonesia terwujud dalam falsafah Panca­
sila yang menyatukan semua kelompok di dalamnya. Hubungan yang
terbangun dalam Pancasila tidaklah bersifat relasi vertikal antara pen­

P
jajah dan terjajah, sehingga melahirkan perlawanan ideologis yang
berujung pada perlawanan fisik. Kini hubungan diletakkan dalam ra­

RO U
G
nah bangsa yang merdeka, untuk saling menghormati. Fungsi agama

I A
(Islam) untuk memberi makna hidup, sebagai sumber nilai, moral, dan

ED
etika, serta wahana pemersatu anggota komunitas masyarakat, mem­

A M
berikan rasa aman dan percaya diri, serta memiliki motivasi yang kuat

D
NA
untuk melaksanakan kemaslahatan. Agama juga berperan sebagai in­

PRE
strumen perekat keutuhan bangsa. Di sinilah Islam memiliki daya ke­
kuatan penyatu dari beragam kulturmultietnik.50
Manusia secara fitrah memiliki dasar-dasar kesucian yang ter­ba­
ngun sejak manusia diciptakan dengan perjanjian suci antara manu­
sia dengan Tuhannya. Manusia dihadapan Allah berjanji untuk tun­
duk dan patuh menyembah kepada-Nya semata, Tuhan Yang Maha
Esa, Tauhid. Inilah makna hidup yang melahirkan keinsafan, bahwa
manusia berasal dari-Nya dan akan kembali kepada Allah.51 Nilai-nilai
ketuhanan diwujudkan untuk membebaskan manusia dari belenggu-
belenggu perbudakan manusia atas manusia. Proses dehumanisasi
de­ngan merendahkan martabat manusia dan kemanusiaan dikemba­

48
Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan, Se­
buah Refleksi Sejarah, (Bandung: Mizan, 2009), h. 81.
49
M. Nastir, Muhammad dan Charlemagne, tulisan dalam Capita Selecta, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1973), h. 63.
50
Nasaruddin Umar, Islam Fungsional, Revitalisasi dan Reatualisasi Nilai-Nilai Ke­
islam­an, (Jakarta: Penerbit Kompas Gramedia, 2014), h. 77-78.
51
Nurcholish Madjid, Islam, Agama Kemanusiaan, Membangun Tradisi dan Visi
Baru Islam Indonesia, (Jakarta: Dian Rakyat, 2010), h. 178.

91
spiritualisme pancasila

likan pada ruang sejatinya yaitu Tauhid. Bertauhid menjadikan semua


manusia berada di bawah kekuasaan dan kehendak-Nya. Tidak ada
yang lebih tinggi, tidak ada yang lebih rendah, kesemuanya sejajar di
hadapan-Nya kecuali ketakwaannya. Di sinilah operasionalisasi ni­lai-
nilai kemanusiaan Islam diaktualisasi untuk melawan segala jenis pe­
nindasan, perbudakan dalam sistem penjajahan.
Keunggulan manusia dengan akal, mental, serta jasmani yang di­
mi­likinya diberikan kemampuan oleh Allah untuk menerima tanggung
jawab dari-Nya. Akal dengan kemampuannya untuk menyesuaikan diri
manusia dengan kondisi yang selalu berubah. Kesanggupan berpikir,
membaca simbol-simbol budaya, menguasai, dan menundukkan alam
semesta ditujukan untuk kepentingan manusia dan kemanusiaan ka­
rena aktivitas gerak manusia tidaklah sama dengan aktivitas hewan
dalam bertindak.52 Dengan konsep akal yang dimiliki, ia melihat bahwa
ia hidup bersama dengan manusia lainnya. Kebersamaan yang terjadi

P
tercipta atas dasar kemanusiaan, kesederajatan manusia di antara
manusia lainnya. Relasi manusia untuk selalu menciptakan hubungan-

RO U
G
hubungan yang konstruktif atas nama Tuhan. Maka, ketika ruang di­

I A
na­mis manusia diisi oleh proses-proses dehumanisasi, penindasan

ED
manusia atas manusia lainnya, terjadilah penindasan atas kehendak

A M
kesederajatan manusia dan kehendak manusia. Penjajahan dengan

D
NA
proses dehumanisasi telah melawan arus kuat kemanusiaan sekaligus

PRE
nilai-nilai ketuhanan. Atas dasar nilai Ketuhanan Tauhid yang meya­
kini hanya Dialah Allah Sang Maha Penguasa, dan bukan satu pun
ma­nusia yang mampu menjadi penguasa, serta mengembalikan nilai
kesederajatan manusia beserta nilai-nilai kemanusiaan yang telah
binasa, para pejuang berupaya dengan sekerasnya untuk merebut ke­
merdekaan. Kemerdekaan bukanlah sekadar bebas, melainkan bentuk
tanggung jawab untuk melaksanakan amanah Allah sebagai manusia
yang beradab.
Kemerdekaan direbut oleh umat Islam, sekaligus dipertahankan
dari upaya-upaya untuk mengembalikan bangsa Indonesia ke dalam
penjajahan. Bagaimana proses Islam mampu menumbuhkan na­sio­­
na­l­is­me Indonesia? Hubungan Islam dengan terbentuknya semangat
­ke­juangan secara historis dapat dilacak ke masa abad ke-17. Pada masa
itu tercipta hubungan antara beberapa kerajaan Islam Nusantara yang
mengirimkan para pelajar untuk belajar di kawasan Timur Tengah,
serta perjalanan ibadah haji. Hubungan ibadah dan belajar ke kawasan

52
Soedewo, PK, Keesaan Ilahi, (Jakarta: CV Darul Kutubil Islamiyah, 2015), h. 150.

92
2  Pancasila dalam Konteks Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia

Timur Tengah khususnya Mekkah-Madinah menjadi semakin kukuh


sejak abad ke-19, dengan dibukanya Terusan Suez. Jumlah santri yang
belajar Islam ke Mekkah-Madinah serta para jamaah haji yang ber­
ibadah ke Tanah Suci menjadi sarana komunikasi antara umat Islam
Nusantara dengan Timur-Tengah. Para pelajar Islam yang pulang stu­
di di Timur-Tengah kemudian mendirikan pondok pesantren yang
bercorak ortodoks yang menggeser pondok pesantren yang bercorak
mistisisme. Bertambah pesatnya jumlah pondok pesantren ini sema­
kin menguatkan jaringan ulama Timur-Tengah dan Nusantara. Untuk
mengatasi semakin menguatnya hubungan antara Nusantara dengan
Timur-Tengah, maka Pemerintah Kolonial Hindia Belanda segera
memberlakukan Kebijakan Politik Etis. Politik yang sedianya sebagai
bentuk balas budi kepada pribumi Indonesia atas adanya penindasan
Kolonial Hindia Belanda juga diarahkan untuk mengantisipasi me­
nguatnya hubungan kuat ulama Timur-Tengah dan Ulama Santri

P
Nu­santara. Beberapa pelajar dikirimkan belajar ke Belanda, dan bah­
kan Belanda kemudian mendirikan beberapa perguruan tinggi di

RO U
G
Indonesia. salah satu tujuannya adalah mengatasi penetrasi pengaruh
kekuatan ulama Timur-Tengah di Nusantara.53

ED I A
Pengaruh haji dan interaksi ulama Nusantara dengan Timur-Te­

A M
ngah ini sangat menggusarkan para petinggi kolonial. Thomas Stam­

D
NA
ford Raffles, Letnan Jenderal Inggris yang berkuasa di Hindia Belanda

PRE
tahun 1811-1816, menyatakan:
Para Imam agama Muhammad tanpa terkecuali ditemukan dalam setiap
pemberontakan yang paling efektif. Kebanyakan dari mereka keturunan
campuran Arab dan pribumi yang pergi dari satu negeri ke negeri lain
di belahan timur dan pada umumnya, karena intrik dan desakan para
pemimpin lokal, tergerak untuk menyerang atau memerangi orang-orang
Eropa sebagai kafir dan pengacau.54

Pemerintah kolonial, baik Belanda maupun Inggris memandang


ulama dengan ibadah hajinya sebagai sebuah cara yang efektif untuk
melawan penindasan kolonial. Gerakan perlawanan atas kolonialisme
dan penetrasi Kristen di Nusantara mendapatkan perlawanan yang
sangat efektif ketika para ulama, dan juga para santri melakukan iba­
dah haji. Haji dilaksanakan tidak sekadar pada konsep ritual iba­dah,
tetapi diaktualisasikan dalam sebuah kesadaran akan pembe­basan.

53
Zainul Milal Bizawie, Laskar Ulama Santri dan Resolusi Jihad, Garda Depan Mene­
gakkan Indonesia (1945-1949), (Tangerang: Pustaka Compass, 2014), h. 59-81.
54
Jajat Burhanuddin, Ulama dan Kekuasaan, Pergumulan Elite Muslim dalam Seja­
rah Indonesia, (Bandung: Mizan, 2012), h. 104.

93
spiritualisme pancasila

Dalam menghadapi kolonialisme tersebut, para ulama menya­ dari


dengan sepenuhnya akan jatuhnya dunia Islam berada dalam do­minasi
Barat. Untuk menghadapi hal tersebut, umat Islam perlu me­nunjukkan
fanatisme Islam untuk menghadapi penakluk kafir ter­sebut.55 Jaringan
ulama harus diciptakan untuk membangun sebuah komunikasi antara
Timur-Tengah dan Nusantara. Maka, pemerintah kolonial mengambil
sikap untuk mengawasi haji. Haji dalam sudut pandang pemerintahan
kolonial kini perlu diawasi dengan membatasi jumlah jamaah yang
akan menunaikannya. Pengawasan dan kendali pemerintah kolonial
terhadap para jamaah haji tidak menyurutkan para jamaah untuk pergi
melaksanakan ibadah haji. Jumlah jamaah haji asal Hindia Belanda
antara tahun 1880-1885 mencapai 15 persen dari total jamaah haji di
Mekkah.56
Menguatnya peran ulama dan semakin tumbuhnya perlawanan
Islam memuncak dengan munculnya perlawanan-perlawanan pem­

P
be­rontakan yang menggunakan simbol sekaligus identitas Islam. Per­
lawanan Pangeran Diponegoro melawan kolonialisme dalam Perang

RO U
G
Jawa (1825-1830), memberikan gambaran yang nyata atas penggunaan

I A
identitas religius keislaman. Dalam Perang Jawa, Pangeran Diponegoro

ED
mencukur rambutnya sebagai tanda, bahwa ia ingin menjadi santri dan

A M
menjauhi tradis kaum ningrat Jawa yang memakai rambut panjang.

D
NA
Selama Perang Jawa, Diponegoro dan seluruh pengikutnya memakai

PRE
nama-nama Islam dan mencukur rambut agar serupa dengan paras
Nabi Saw. Ia pun mengganti busana kepangerannya dengan busana
santri sehari-hari, dengan seorban sebagai penutup kepala. Sebelum
pe­laksanaan perang, Diponegoro mengunjungi pesantren-pesantren
dan masjid-masjid di wilayah selatan Yogyakarta. Nama yang beliau
san­dang dalam Perang Jawa bukan menggunakan nama Diponegoro,
melainkan Pangeran Ngabdulkamit (Abbdul Hamid). Ia menggunakan
nama tersebut, karena memiliki kesamaan atau keterhubungan de­
ngan Abdul Hamid I, Sultan Ottoman Turki yang bergelar Khalifah.
Pasukan yang dipimpin olehnya menggunakan simbol-simbol tanda
pangkat dan resimen ala Kesultanan Turki, seperti: Bulio, Turkio,
dan Arkio.57 Perlawanan Pangeran Diponegoro menurut Lombard di­
sebut sebagai Perang Sabil. Dalam peperangan tersebut, Pangeran
55
Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888, (Depok: Penerbit
Komunitas Bambu 2015), h. 157.
56
Jajat Burhanuddin, Ulama dan Kekuasaan, Pergumulan Elite Muslim dalam Se­
jarah Indonesia, (Bandung: Mizan, 2012), h. 107.
57
Peter Carey, Takdir, Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855), (Jakarta: Kompas,
2015), h. 57-71.

94
2  Pancasila dalam Konteks Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia

Di­po­negoro didukung oleh 108 orang Kiai, 31 orang bergelar Haji,


serta 15 orang syekh, yang kesemuanya menginginkan tatanan Islam
yang sejati di Tanah Jawa. Beliau menyatakan dirinya sebagai Ratu
PanetegPanatagama, Raja Pelindung Agama Sejati (Islam). Dalam Pe­
rang Sabil ini, Pangeran Diponegoro dan para pendukungnya men­
cukur gundul rambut mereka sebagai tekad untuk melaksanakan
Perang sabil hingga titik darah terakhir. Mereka berzikir melancarkan
serangan.58
Pemberontakan Petani Banten tahun 1888 juga dilandasi oleh
ni­lai kejuangan Islam. Sartono Kartodirdjo menjelaskan, bahwa era
1850, haji menjadi sarana efektif untuk membangun komunikasi luas
dengan dunia Islam. Banten secara historis telah melakukan kontak
dengan Mekkah sejak paruh pertama abad ke-17. Pada akhir abad
ke-19, Banten menjadi pusat Islam Ortodoks, dan cara hidup yang se­
suai dengan ketentuan Islam sangat dihormati. Sentimen perla­wan­

P
an terhadap kolonial di Banten semakin memuncak sejalan dengan
bangkitnya kesadaran Islam di Banten. Pertumbuhan pesat jumlah

RO U
G
Pesantren di Banten menjadi pusat pendidikan bagi pihak yang akan

ED I A
terlibat dalam pergerakan kebangkitan Islam. Purifikasi Islam m
­ e­nguat
di kalangan terdidik Banten ketika mereka bermukim di Mekkah me­

A M
lalui Haji. Mereka mnyebarkan rasa permusuhan terhadap penguasa

D
NA
kolonial. Kembalinya jamaah haji ke Banten menjadikan kampanye

PRE
anti kolonial semakin gencar dan gigih dilakukan. Akhir atau ujung dari
kampanye anti kolonialisme ini adalah pemberontakan yang matang
terhadap para penguasa kafir. Pada saat menjelang pemberontakan
Banten, periode haji tahun 1880, 1885, dan 1888 adalah Periode Haji
Akbar, di mana periode ini menarik sangat banyak jamaah untuk
pergi beribadah haji ke tanah suci. Pada saat yang bersamaan, muncul
kebangkitan Islam pada akhir abad ke-19, semakin menguatkan per­
la­
wanan Rakyat Banten terhadap penguasa kolonial. Gerakan Ke­
bangkitan Islam semakin kuat dengan gerakan Fundamentalisme Islam
yang tumbuh di Tanah Suci turut menyuburkan rasa nasionalisme
di Nusantara, tidak terkecuali Banten. Muncul pula gerakan-gerakan
tarekat ikut menyemarakkan kebangkitan perlawanan terhadap pe­
me­rintah kolonial. Hingga pada titik tertentu, yaitu tahun 1888, mele­
daklah Perlawanan Petani Rakyat Banten terhadap pemerintah kolonial
Belanda.59

58
Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya, Jaringan Asia, Buku 2, (Jakarta: Gra­
media, 2008), h. 351.
59
Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888, (Depok: Komunitas

95
spiritualisme pancasila

Perlawanan Umat Islam terhadap Belanda pascakemerdekaan


yang sangat besar tercipta pada saat terjadinya Pertempuran Sura­baya,
10 November 1945. Kemerdekaan 17 Agustus 1945 menghadapi tan­
tangan berat ketika Tentara Sekutu mendarat di Indonesia Oktober-
November 1945.
Sebelum terjadinya Pertempuran Surabaya, telah terjadi serang­
kaian peristiwa ketegangan antara Pasukan Sekutu dengan para Pe­­mu­da
Surabaya. Pengibaran Bendera Belanda di Hotel Oranje Surabaya telah
menyulut kemarahan rakyat Surabaya. Kegentingan antara pemuda
Surabaya dengan Pasukan Sekutu semakin diperuncing dengan te­
was­nya Komandan Pasukan Inggris, Brigjen Mallaby di Surabaya.
Meningkatnya ketegangan tersebut menjadikan para kiai dan ulama
serta santri segera merapatkan diri. Dengan ketegangan yang semakin
meningkat, Jenderal Besar Soedirman meminta Presiden Soekarno
­un­tuk meminta fatwa kepada K.H. Hadaratussyaikh apakah perlawan­

P
an melawan penjajah yang akan merusak Kemerdekaan RI termasuk
jihad atau tidak. Maka Hadaratussyaikh mengundang seluruh Kiai

RO U
G
Pim­pinan Pondok Pesantren se Jawa-Madura berkumpul di Surabaya

I A
untuk merundingkan hal itu. Hasilnya adalah Resolusi Jihad membela

ED
Ke­merdekaan, yang berisi: pertama, hukumnya memerangi orang kafir

A M
yang merintangi kepada kemerdekaan kita sekarang ini adalah fardu

D
NA
ain bagi tiap-tiap orang Islam yang mungkin bagi orang fakir. Kedua:

PRE
hukumnya orang yang meninggal dalam peperangan melawan NICA
serta komplotan-komplotannya adalah mati syahid. Ketiga: hukumnya
orang yang memecah persatuan kita sekarang ini wajib dihukum
mati.60 Munculnya Resolusi Jihad ini semakin menguatkan keyakinan
untuk mempertahankan kemerdekaan. Perlawanan atas kedatangan
Pasukan Sekutu semakin gencar, dan pada 30 Oktober 1945 dilakukan
gencatan senjata antara Pemuda Surabaya dengan Pasukan Sekutu. Di
tengah gencatan senjata, tiba-tiba Brigjen Mallaby tewas oleh sebuah
ledakan granat yang tidak diketahu asal-usulnya. Gencatan senjata
pun berakhir dan pimpinan sekutu mengultimatum Pemuda Surabaya
untuk meyerahkan senjata yang dimiliki. Jika 10 November belum juga
diserahkan, maka Kota Surabaya akan dibumihanguskan Pasukan Se­
kutu. Ancaman tersebut dibalas dengan perlawanan keras dari para
Pemuda Surabaya. Bung Tomo pun menyerukan Perlawanan Jihad
dengan pidatonya yang membakar semangat Para Pemuda dan Laskar

Bam­bu, 2015), h. 159-183.


60
Zainul Milal Bizawie, Laskar Ulama Santri dan Resolusi Jihad, Garda Depan Me­
negakkan Indonesia 1945-1949, (Tangerang: Pustaka Compass, 2014), h. 205.

96
2  Pancasila dalam Konteks Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia

Ulama Santri dalam Pertempuran Surabaya:


Saudara-saudara rakyat jelata di seluruh Indonesia terutama saudara-
saudara penduduk kota Surabaya. Kita semuanya telah mengetahui.
Bah­wa hari ini tentara Inggris telah menyebarkan pamflet-pamflet yang
memberikan suatu ancaman kepada kita semua.
Kita diwajibkan untuk dalam waktu yang mereka tentukan, menyerahkan
senjata-senjata yang telah kita rebut dari tangannya tentara Jepang.
Mereka telah minta supaya kita datang pada mereka itu dengan
mengangkat tangan.
Mereka telah minta supaya kita semua datang pada mereka itu dengan
membawa bendera putih tanda bahwa kita menyerah kepada mereka
Di dalam pertempuran-pertempuran yang lampau kita sekalian telah
menunjukkan bahwa rakyat Indonesia di Surabaya.
Pemuda-pemuda yang berasal dari Maluku, Pemuda-pemuda yang
berawal dari Sulawesi, Pemuda-pemuda yang berasal dari Pulau Bali,
Pemuda-pemuda yang berasal dari Kalimantan, Pemuda-pemuda dari
seluruh Sumatra,
Pemuda Aceh, pemuda Tapanuli, dan seluruh pemuda Indonesia yang

UP
RO
ada di Surabaya ini. Di dalam pasukan-pasukan mereka masing-masing.

G
Dengan pasukan-pasukan rakyat yang dibentuk di kampung-kampung.

ED I A
Telah menunjukkan satu pertahanan yang tidak bisa dijebol.

M
Telah menunjukkan satu kekuatan sehingga mereka itu terjepit di mana-

D A
mana.

NA
PRE
Hanya karena taktik yang licik daripada mereka itu saudara-saudara.
Dengan mendatangkan Presiden dan pemimpin-pemimpin lainnya ke
Surabaya ini. Maka kita ini tunduk untuk memberhentikan pertempuran.
Tetapi pada masa itu mereka telah memperkuat diri.
Dan setelah kuat sekarang inilah keadaannya.

Saudara-saudara kita semuanya.


Kita bangsa indonesia yang ada di Surabaya ini akan menerima tan­
tangan tentara Inggris itu, dan kalau pimpinan tentara inggris yang ada
di Surabaya.
Ingin mendengarkan jawaban rakyat Indonesia.
Ingin mendengarkan jawaban seluruh pemuda Indonesia yang ada di
Surabaya ini.
Dengarkanlah ini tentara Inggris.
Ini jawaban kita.
Ini jawaban rakyat Surabaya.
Ini jawaban pemuda Indonesia kepada kau sekalian.

Hai tentara Inggris!


Kau menghendaki bahwa kita ini akan membawa bendera putih untuk
takluk kepadamu.
Kau menyuruh kita mengangkat tangan datang kepadamu.
Kau menyuruh kita membawa senjata2 yang telah kita rampas dari

97
spiritualisme pancasila

tentara jepang untuk diserahkan kepadamu


Tuntutan itu walaupun kita tahu bahwa kau sekali lagi akan mengancam
kita untuk menggempur kita dengan kekuatan yang ada tetapi inilah
jawaban kita:
Selama banteng-banteng Indonesia masih mempunyai darah merah
Yang dapat membikin secarik kain putih merah dan putih
Maka selama itu tidak akan kita akan mau menyerah kepada siapa pun
juga

Saudara-saudara rakyat Surabaya, siaplah keadaan genting!


Tetapi saya peringatkan sekali lagi.
Jangan mulai menembak,
Baru kalau kita ditembak,
Maka kita akan ganti menyerang mereka itukita tunjukkan bahwa kita
ini adalah benar-benar orang yang ingin merdeka.

Dan untuk kita saudara-saudara.


Lebih baik kita hancur lebur daripada tidak merdeka.
Semboyan kita tetap: merdeka atau mati!

UP
RO
Dan kita yakin saudara-saudara.
Pada akhirnya pastilah kemenangan akan jatuh ke tangan kita,

A G
Sebab Allah selalu berada di pihak yang benar. Percayalah saudara-sau­

I
ED
dara.

M
Tuhan akan melindungi kita sekalian.

A
Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar! Merdeka!!!

NA D
PRE
Inilah jihad Umat Islam atas masuknya penetrasi asing untuk
meng­ hancurkan kemerdekaan yang telah diproklamasikan tanggal
17 Agustus 1945 melalui perlawanan para ulama, santri dan seluruh
Pemuda Surabaya pada 10 November 1945. Pertempuran ini menim­
bulkan kerusakan yang cukup parah bagi Pasukan Sekutu. Se­ kitar
25.000 (dua puluh lima ribu) Pasukan Sekutu dengan persenjataan
militer yang sangat kuat dihadapi oleh 140.000 (seratus empat puluh
ribu) pejuang Jihad fi Sabilillah dengan persenjataan sederhana, di­
tambah dengan pasukan rakyat yang berjumlah tiga kali lipat be­sar­
nya.61 Akibatnya cukup fatal, Brigjen Robert Loder Symonds tewas
setelah pesawatnya ditembak jatuh di hari kedua pertempuran oleh
Pejuang Jihad fi Sabilillah Surabaya. Dalam pertempuran Surabaya ini,
tercatat dua Jenderal Sekutu tewas, Brigjen Mallaby dan Brigjen Robert
Loder Symonds. Dalam pertempuran di Front Eropa menghadapi Jer­
man, Sekutu tidak pernah kehilangan satu pun Jenderalnya. Dalam
Pertempuran Surabaya inilah untuk pertama kalinya sekutu langsung

61
Hario Kecik, Pemikiran Militer 1, Sepanjang Masa bangsa Indonesia, (Jakarta: Ya­
yasan Obor Indonesia, 2009), h. 237.

98
2  Pancasila dalam Konteks Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia

kehilangan dua jenderalnya di tangan pejuang Jihad fi Sabilillah. Per­


tempuran ini telah mengorbankan setidaknya 16.000 pejuang Jihad fi
Sabilillah gugur. Pasukan sekutu kehilangan sekitar 1.500 (seribu lima
ratus) pasukan tewas, serta sekitar 300 (tiga ratus) serdadu Muslim asal
India membelot ke pihak Indonesia setelah mengetahui bahwa pe­rang
yang dilaksanakan adalah Perang Jihad fi Sabilillah.

H. Konklusi
Islam dalam sejarah tidak sekadar meletakkan gagasan-gagasan
ibadah ritual, tetapi telah pula diletakkan pada nilai-nilai kema­
nusiaan. Islam menggerakkan nilai kemanusiaan untuk melawan se­
genap nilai dehumanisasi, penindasan manusia atas manusia. Islam
menjadi sumber yang menyalakan semangat kebangsaan bagi terben­
tuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Para pejuang Muslim di
Nusantara telah membuktikan kepada dunia bahwa Islam yang melekat

UP
RO
pada jiwa bangsa Indonesia menjadi api yang menyalakan semangat

G
cinta Tanah Air. Islam yang membentuk semangat Berketuhanan Yang

ED I A
Maha Esa serta membentuk Manusia-manusia yang penuh keadaban.

M
Inilah bakti kaum Muslimin terhadap bangsa Indonesia.

D A
NA
PRE

99
UP
A GRO
ED I
D A M
NA
PRE
3  Nilai Spiritualisme dalam Filsafat Pancasila

3
nilai SPIRITUALISME DALAM
Filsafat Pancasila

A. Pengertian Filsafat
Secara etimologis, istilah “filsafat” atau dalam bahasa Inggrisnya

UP
RO
“philosophi” berasal dari bahasa Yunani “philosophia” yang secara la­

I A G
zim diterjemahkan sebagai “cinta kearifan” kata philosophia tersebut

ED
ber­akar pada kata “philos” (pilia, cinta) dan “sophia” (kearifan). Berda­

M
sarkan pengertian bahasa tersebut, filsafat berarti cinta kearifan. Kata

D A
kearifan bisa juga berarti “wisdom” atau kebijaksanaan sehingga filsa­

NA
fat bisa juga berarti cinta kebijaksanaan. Berdasarkan makna kata

PRE
tersebut, maka mempelajari filsafat berarti merupakan upaya manusia
untuk mencari kebijaksanaan hidup yang nantinya bisa menjadi konsep
kebijakan hidup yang bermanfaat bagi peradaban manusia. Seorang
ahli pikir disebut filsuf, kata ini mula-mula dipakai oleh Herakleitos.
Filsafat adalah pandangan hidup seseorang atau sekelompok
orang yang merupakan konsep dasar mengenai kehidupan yang di­
cita-cita­kan. Filsafat juga diartikan sebagai suatu sikap seseorang yang
sadar dan dewasa dalam memikirkan segala sesuatu secara mendalam
dan ingin melihat dari segi yang luas dan menyeluruh dengan segala
hubungan.
Ciri-ciri berpikir filosofis:
a. Berpikir dengan menggunakan disiplin berpikir yang tinggi.
b. Berpikir secara sistematis.
c. Menyusun suatu skema konsepsi.
d. Menyeluruh.
Empat persoalan yang ingin dipecahkan oleh filsafat, yakni:
a. Apakah sebenarnya hakikat hidup itu? Pertanyaan ini dipelajari

101
spiritualisme pancasila

oleh Metafisika.
b. Apakah yang dapat saya ketahui? Permasalahan ini dikupas oleh
Epistemologi.
c. Apakah manusia itu? Masalah ini dibahas olen Antropologi Filsafat.
Beberapa ajaran filsafat yang telah mengisi dan tersimpan dalam
khazanah ilmu adalah:
a. Materialisme, yang berpendapat bahwa kenyatan yang sebenar­
nya adalah alam semesta badaniah. Aliran ini tidak mengakui
adanya kenyataan spiritual. Aliran materialisme memiliki dua va­
riasi, yaitu materialisme dialektik dan materialisme humanistis.
b. Idealisme yang berpendapat bahwa hakikat kenyataan dunia ada­
lah ide yang sifatnya rohani atau intelengesi. Variasi aliran ini
adalah idealisme subjektif dan idealisme objektif.
c. Realisme, aliran ini berpendapat bahwa dunia batin/rohani dan
dunia materi murupakan hakikat yang asli dan abadi.
d. Pragmatisme merupakan aliran paham dalam filsafat yang tidak
UP
RO
bersikap mutlak (absolut), tidak doktriner tetapi relatif tergantung
kepada kemampuan manusia.

I A G
A M ED
Manfaat filsafat dalam kehidupan, yakni:

D
a. Sebagai dasar dalam bertindak.

NA
b. Sebagai dasar dalam mengambil keputusan.

PRE
c. Untuk mengurangi salah paham dan konflik.
d. Untuk bersiap siaga menghadapi situasi dunia yang selalu ber­
ubah.

1. Pengertian Filsafat Menurut Para Ahli


Orang yang berfilsafat dapat diumpamakan sebagai seseorang
yang berpijak di bumi sedang tengadah ke bintang-bintang, ia ingin
me­ngetahui hakikat dirinya dalam kesemestaan alam. Karakteristiknya
berpikir filsafat yang pertama adalah menyeluruh, yang kedua men­
dasar.
Filsafat adalah ilmu yang berusaha mencari sebab yang sedalam-
dalamnya bagi segala sesuatu berdasarkan pikiran/rasio belaka. Di
bawah ini adalah beberapa pengertian filsafat menurut para ahli.
a. Menurut Harun Nasution, filsafat adalah berpikir menurut tata
tertib (logika) dengan bebas (tak terikat tradisi, dogma, atau aga­
ma) dan dengan sedalam-dalamnya sehingga sampai ke dasar-da­
sar persoalan.

102
3  Nilai Spiritualisme dalam Filsafat Pancasila

b. Menurut Plato (427-347 SM) filsafat adalah pengetahuan tentang


segala yang ada.
c. Aristoteles (384-322 SM) yang merupakan murid Plato menyata­
kan filsafat menyelidiki sebab dan asas segala benda.
d. Marcus Tullius Cicero (106–43 SM) mengatakan, bahwa filsafat
ada­lah pengetahuan tentang sesuatu yang maha agung dan usaha
untuk mencapainya.
e. Al-Farabi (wafat 950 M) filsuf Muslim terbesar sebelum Ibn Sina
menyatakan filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang alam dan
bertujuan menyelidiki hakikatnya yang sebenarnya.
f. Immanuel kant (1724–1804) menyatakan, bahwa filsafat adalah
ilmu pokok dan pangkal segala pengetahuan yang mencakup di
dalamnya 4 persoalan: yaitu (a) Apakah yang dapat kita ketahui
(dijawab dengan Metafisika); (b) Apakah yang boleh kita kerjakan
(dijawab dengan etika); (c) Sampai di manakah pengharapan kita

P
(dijawab dengan agama); (d) Apakah yang dinamakan manusia
(dijawab dengan antropologi).

RO U
G
g. Harold H. Titus mengemukakan 4 pengertian filsafat, yakni: (a)

I A
satu sikap tentang hidup dan tentang alam semesta (philosophy

ED
is an attitude toward life and the universe); (b) Filsafat adalah satu

A M
metode pemikiran reflektif dan penyelidikan akliah (philosophy is

D
NA
a method of reflective thinking and reasoned inquired); (c) Filsafat

PRE
adalah satu perangkat masalah (philosophy is a group of problems);
(d) Filsafat adalah satu perangkat teori atau isi pikiran (philosophy
is a group of system of thought).
8) Prof. Dr. Fuad Hassan, guru besar psikologi Universitas Indonesia,
menyimpulkan, bahwa filsafat adalah suatu ikhtiar untuk berpikir
radikal dalam arti mulai dari radiks suatu gejala dari akar suatu
hal yang hendak dimasalahkan, dan dengan jalan penjajakan
yang radikal, filsafat berusaha untuk sampai kepada kesimpulan-
kesimpulan yang universal.
9) Al-Farabi mengatakan bahwa filsafat adalah mengetahui semua
yang wujud karena ia wujud. (al-ilm bil maujudat bima­hiya mau­
judah). Tujuan terpenting mempelajari filsafat adalah menge­ta­­hui
tuhan, bahwa Ia Esa dan tidak Bergerak, bahwa Ia menjadi Sebab
yang Aktif Bagi Semua yang Ada, bahwa Ia Mengatur Alam Ini de­
ngan Kemurahan, Kebijaksanaan, dan Keadilan-Nya. Seorang filsuf
atau al hakim adalah orang yang mempunyai pengetahuan ten­
tang zat yang ada dengan sendirinya (al-wajibli-dzatihi), Wujud
selain Allah, yaitu mahluk adalah wujud yang tidak sempurna.

103
spiritualisme pancasila

2. Sejarah Filsafat
Filsafat yang dibahas dalam tulisan ini mula-mula merujuk pada
penelusuran secara historis tentang perkembangan filsafat yang
dimulai pada masa Yunani Kuno. Di masa Yunani Kuno (abad IV–VI
SM), anggapan berfilsafat selalu diartikan sebagai upaya manusia
da­lam mencari kebijaksanaan. Upaya ini sejalan dengan melihat se­
cara etimologis tentang arti filsafat, yaitu philosophia, yang artinya
senang, suka (philos) akan kebijaksanaan (sophia). Bagi orang Yunani,
senang akan kebijaksanaan selalu diarahkan dengan kepandaian yang
bersifat teoretis dan praktis. Kepandaian bersifat teoretis adalah upaya
manusia mencari pengetahuan yang penuh dengan gagasan dan
ide-ide, ataupun konsep-konsep yang tentunya sejalan dengan cara
atau alam pikiran mereka. Pada mulanya, gagasan ataupun ide-ide
bangsa Yunani diarahkan untuk memahami alam semesta ini dengan
cara membuat atau menghadirkan mitos-mitos. Di dalam mitos-mi­
tos itulah kekuatan alam semesta berada pada genggaman para pe­

UP
RO
nguasanya, yaitu para Dewa. Dengan demikian, manusia atau bangsa

I A G
Yunani sangat tergantung pada alam pikiran yang bersifat magis bah­

ED
kan dianggap tidak rasional, karena hanya di tangan para Dewalah

M
dunia dengan segala isinya itu hadir di antara mereka.

D A
Adapun kepandaian yang bersifat praktis adalah upaya mencari

NA
pengetahuan yang diarahkan untuk menemukan kegunaan dari pe­

PRE
nge­ tahuan itu. Apabila pengetahuan itu bermanfaat ataupun ber­
guna, maka peran ataupun fungsi pengetahuan sangatlah berarti bagi
manusia ataupun orang banyak. Bagi bangsa Yunani, pengetahuan
prak­tis adalah pengetahuan yang mendasarkan pada suatu keteram­
pilan dan memiliki tujuan tertentu. Keterampilan itu, misalnya, kete­
ram­pilan atau keahlian membuat suatu bangunan, suatu karya sas­
tra, suatu karya musik, atau seni suara, keterampilan olah tubuh atau
berolahraga dan sebagainya. Sebenarnya, di dalam pengetahuan prak­
tis tersebut, terdapat upaya bangsa Yunani untuk menemukan cara
bagaimana pengetahuan atau keterampilan praktis itu muncul, ber­
peran, berfungsi, dan berguna bagi kepentingan orang dengan optimal.
Dari perkembangan secara historis, bangsa Yunani mengalami
per­ubahan dalam cara berpikir, cara untuk mendapatkan pengetahu­
an yang berbeda dengan yang telah ada, yaitu mulai mengembangkan
daya penalaran yang lebih rasional dan logis. Penalaran tersebut di­
aktualisasikan atau diwujudkan dengan bentuk mencari sebab ter­
dalam atau “sebab pertama” dari alam semesta ini. Perubahan cara
berpikir dari mistis ke logos (rasional) memunculkan juga pandangan

104
3  Nilai Spiritualisme dalam Filsafat Pancasila

para filsuf yang berusaha menguak rahasia alam dengan berbagai pen­
dapat atau argumen tertentu yang lebih rasional. Seperti misalnya,
para filsuf alam yaitu Thales yang berpendapat bahwa asas di dunia
ini adalah air, sedang Anaximandros mengatakan asas itu adalah “yang
tidak terbatas” (apeiron) dan Anaximenes menyebut udara sebagai
asas pertama. Beberapa filsuf lainnya yang secara tidak langsung me­
wariskan pengetahuan pada umat di dunia ini seperti Plato (dengan
dunia idea). Aristoteles (teori materi bentuk-hilemorfisme), Phytagoras
(dasar perhitungan aritmatika dan dalil phytagoras) dan Hipocrates
(dianggap sebagai bapak kedokteran–ahli pengobatan).
Masa berikutnya adalah Abad Pertengahan (Middle Ages). Masa
ini merupakan masa yang berlangsung sekitar 9 abad, dan pada awal
Abad Masehi itu ditandai dengan munculnya para pujangga Kristen
dan mereka mendasarkan pengetahuan keagamaan secara teologis.
Alam pemikiran manusia di masa itu bersifat teosentris dan imago dei.

P
Bersifat teosentris artinya, dasar pengetahuan manusia diarahkan pada
ajaran teosentris atau agama, sedang imago dei memiliki pengertian

RO U
G
bahwa manusia di Abad Pertengahan dianggap sebagai citra Tuhan,

I A
manusia dalam bertindak, berperilaku haruslah sesuai dengan ke­

ED
ingin­an Tuhan, dan ajaran keagamaan. Pada Abad Pertengahan, ter­

A M
jadi pertukaran kebudayaan antara bangsa Timur dengan bangsa Ba­

D
NA
rat. Kebudayaan Arab mewarisi banyak karya Yunani Klasik. Banyak

PRE
filsuf Arab seperti Ibnu Sina sangat berminat dengan ajaran Aristoteles
dan ia memberikan dasar ilmu pengetahuan kedokteran di Barat.
Karya-karya bangsa Yunani, khususnya ajaran dari Aristoteles banyak
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh para filsuf Arab dan dari
sanalah para filsuf Barat menerjemahkan dan mempelajarinya dan
mengembangkannya ke dalam pemikiran para filsuf Barat.
Setelah Abad Pertengahan, muncul Abad Renaissance (X–XVII).
Abad ini merupakan abad yang sangat memperhatikan dan berpusat
pada “kekuatan” manusia, tidak hanya kekuatan yang bersifat fisik,
tetapi juga kemampuan akal budi manusia. Pengertian Renaissance
atau kelahiran kembali diartikan sebagai lahirnya atau dihidupkannya
kebudayaan Yunani Kuno dan Roma. Pada awalnya, Abad Renaissance
ditandai dengan gerakan kesenian, yaitu suatu gerakan yang mencoba
menghadirkan karya-karya seni yang bernapaskan atau bergaya Yuna­
ni Kuno dan Roma. Bebagai karya seni seperti seni pahat, seni lukis,
seni bangun——arsitektur, kesusasteraan, sangat mewarnai kehidupan
bangsa Eropa pada waktu itu. Gerakan kesenian tersebut, disebut juga
sebagai Gerakan Seni Humanisme, (memuncak pada abad XIV), yang

105
spiritualisme pancasila

pada karya-karya seni itu bercirikan harmonisasi di setiap bidang atau


bagian, baik dari struktur, bentuk, ragam hias, maupun estetisnya. Ciri
lainnya, yakni tampilnya nilai-nilai kemanusiaan, karya seni dan ma­
nusia dilihat secara alamiah atau natural serta nilai keagungan, yaitu
menampilkan karya seni dalam kemegahan dengan membangun ba­
ngunan ataupun patung, lukisan yang berukuran besar, tinggi, dan
penuh dengan ragam hias/detail yang sangat beragam. Dari gerakan
seni humanisme inilah, manusia Renaissance mulai mengadakan
penyelidikan tentang pengetahuan yang mengarah pada kekuatan
alam semesta. Timbul minat untuk menyelidiki ilmu pengetahuan ke­
alam­an dengan keinginan yang sangat besar untuk menguak rahasia
alam. Alam semesta diamati, diselidiki dengan ketelitian yang sangat
cermat dan didukung dengan pemikiran yang sangat rasional, bahkan
sangat kuantitatif. Inilah awal mula munculnya ilmu fisika, ilmu kimia,
ilmu kedokteran, dan biologi. Beberapa tokoh Abad Renaissance se­per­

P
ti Pertrarca, Bocasio, Eramus, Michelangelo, Leonardo da Vinci, Galileo

RO U
Galilei, Copernicus, J. Keppler sangat berperan dalam perkembangan

G
seni dan ilmu pengetahuan kealaman di dunia ini.

I A
Abad berikutnya adalah Abad Aufklaerung/Pencerahan (abad

ED
XVIII). Puncak kejayaan bangsa Eropa ditandai dengan hadirnya masa

A M
Auf­klaerung (yang disebut juga sebagai masa Pencerahan atau Fajar

D
NA
Budi). Abad ini merupakan abad kelanjutan dari masa Renaissance,

PRE
kemampuan akal budi manusia diaktualisasikan dengan munculnya
ilmu pengetahuan kealaman yang didukung dengan berbagai perco­
baan. Eksperimentasi yang berlandaskan aspek metodologis dan aka­
demis. Faktor akademis yang telah dirintis sejak Abad Renaissance
memunculkan kaum intelektual dari berbagai universitas di Eropa,
yang mencoba menggabungkan antara unsur teoretis dengan unsur
praktis. Mereka berupaya menginginkan bahwa ilmu pengetahuan
harus memiliki peran dan berguna bagi orang banyak. Gerakan inte­
lektual berkembang cepat di kawasan Eropa, seperti di Inggris, Pe­
rancis, Jerman, dan Belanda. Salah satu sumbangan bagi kemajuan
khazanah ilmu pengetahuan adalah munculnya kaum Ensiklopedis
yang berusaha menyusun pemikiran-pemikiran tentang ilmu pe­nge­
tahuan, kesenian, ke dalam sejumlah buku dan kelak kemudian lebih
dikenal sebagai Ensiklopedia. Salah satu ensiklopedia yang tertua ada­
lah Ensiklopedia Britanica. Tokoh yang sangat terkenal dalam bidang
fisika adalah Newton, David Hume tokoh Empirisme dari Inggris, serta
Voltaire, Montesquieu, dan J.J. Rousseau yang berasal dari Perancis,
me­reka adalah para ahli di bidang kenegaraan dan politik.

106
3  Nilai Spiritualisme dalam Filsafat Pancasila

Setelah masa Aufklaerung, muncul masa pasca Aufklaerung yang


mulai berlangsung pada abad XIX hingga abad XXI ini. Abad-abad
tersebut ditandai dengan kemajuan ilmu pengetahuan yang sangat
pesat. Ilmu filsafat telah berkembang sebagai ilmu filsafat yang otonom,
artinya memiliki objek, metode atau pendekatan yang disesuaikan
dengan perkembangan ilmu filsafat yang tetap berbasis kekritisan-nya
dalam menganalisis kajiannya. Adapun ilmu pengetahuan ber­­kem­
bang menjadi 3 kelompok besar, yaitu ilmu pengetahuan ke­alaman,
ilmu budaya, dan ilmu pengetahuan sosial. Ketiga cabang ilmu pe­
ngetahuan tersebut berkembang pula sehingga memiliki banyak ca­
bang ilmu. Seiring dengan perkembangan dan kemajuan manusia,
maka pendekatan yang sifatnya kajian lintas ilmu, multidisiplin me­
nyebabkan ilmu pengetahuan satu dengan lainnya saling bekerja sama
untuk menghadapi kebutuhan (juga intelektualitas) manusia di dunia
ini yang semakin kompleks. Untuk itulah para ilmuwan seakan-akan

P
berlomba menciptakan teknologi baru dalam mengantisipasi arus
globalisasi yang semakin cepat.

RO U
3. Pembagian Bidang Filsafat
I A G
M ED
Dalam tradisi filsafat Barat, dikenal adanya pembidangan dalam

A
D
filsafat yang menyangkut tema tertentu, yaitu;

NA
a. Metafisika mengkaji hakikat segala yang ada. Dalam bidang ini,

PRE
hakikat yang ada dan keberadaan (eksistensi) secara umum dikaji
secara khusus dalam ontologi. Adapun hakikat manusia dan alam
semesta dibahas dalam kosmologi.
b. Epistemologi mengkaji tentang hakikat dan wilayah pengetahuan
(episteme secara harfiah berarti “pengetahuan”). Epistemologi
membahas berbagai hal tentang pengetahuan seperti batas, sum­
ber, serta kebenaran suatu pengetahuan.
c. Aksiologi membahas masalah nilai atau norma yang berlaku pada
kehidupan manusia. Dari aksiologi lahirlah dua cabang filsafat
yang membahas aspek kualitas hidup manusia: etika dan estetika.
d. Etika, atau filsafat moral, membahas tentang bagaimana seharus­
nya manusia bertindak dan mempertanyakan bagaimana kebe­
naran dari dasar tindakan itu dapat diketahui. Beberapa topik
yang dibahas di sini adalah soal kebaikan, kebenaran, tanggung
jawab, suara hati, dan sebagainya.
e. Estetika membahas mengenai keindahan dan implikasinya pada
kehidupan. Dari estetika lahirlah berbagai macam teori mengenai
kesenian atau aspek seni dari berbagai macam hasil budaya.

107
spiritualisme pancasila

A. Sonny Keraf membedakan ilmu filsafat menjadi 5 cabang besar:


(1) Metafisika atau ilmu tentang yang ada sebagai ada; (2) Epistemologi
atau filsafat ilmu pengetahuan; (3) Etika atau filsafat moral yang berbi­
cara mengenai baik-buruknya perilaku manusia; (4) Logika berbicara
mengenai cara berpikir lurus dan tepat; (5) Estetika atau filsafat kein­
dahan berbicara tentang seni.
Aristoteles memasukkan ke dalam bidang filsafat: logika, etika,
estetika, psikologi, filsafat politik, fisika, dan metafisika. Pembagiannya
terhadap bidang-bidang ilmu, mempunyai tiga bagian: ilmu-ilmu teo­
retis, ilmu-ilmu praktis, dan ilmu-ilmu produktif.
Christian Wolff membagi filsafat menjadi: logika, filsafat pertama,
ontologi, teologi, kosmologi, psikologi rasional, etika, dan teori penge­
tahuan. Disiplin-disiplin ini dibagi menjadi tiga bagian: teoretis, prak­
tis, dan kriteriologis.
Dewasa ini, bidang-bidang filsafat diketahui meliputi kebanyakan

P
disiplin yang disebut di atas tadi, meski ada kekecualian, seperti fisika

RO U
dan psikologi telah mendapat privilesenya sendiri. Filsafat sering di­

G
anggap sebagai ilmu politik. Teologi telah digantikan oleh filsafat
agama.

ED I A
Di samping itu, tanggung jawab filsafat terhadap bidang-bidang

A M
lain semakin diakui melalui perkembangan filsafat, studi, dan kursus

D
NA
interdisipliner. Yang paling penuh perkembangannya adalah filsafat

PRE
ilmu pengetahuan. Disiplin ini mengandung anataf filsafat ilmu-ilmu
alam dan filsafat ilmu-ilmu sosial: filsafat sejarah, filsafat agama, filsafat
hukum, dan filsafat pendidikan.

4. Pengertian Filsafat Pancasila


Pancasila dapat digolongkan sebagai filsafat dalam arti produk,
sebagai pandangan hidup, dan dalam arti praktis. Ini berarti filsafat
Pancasila mempunyai fungsi dan peranan sebagai pedoman dan pe­
gangan dalam sikap, tingkah laku, dan perbuatan dalam kehidupan
sehari-hari, dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara bagi
bang­sa Indonesia.
Pancasila sebagai filsafat mengandung pandangan, nilai, dan pe­
mikiran yang dapat menjadi substansi dan isi pembentukan ideo­logi
Pancasila. Menurut Ruslan Abdul Gani, Pancasila dikatakan se­ ba­
gai filsafat, karena Pancasila merupakan hasil perenungan jiwa yang
mendalam yang dilakukan oleh the founding father kita, yang ditu­
angkan dalam suatu sistem.
Filsafat Pancasila dapat didefinisikan secara ringkas sebagai re­

108
3  Nilai Spiritualisme dalam Filsafat Pancasila

fleksi kritis dan rasional tentang Pancasila sebagai dasar negara dan
kenyataan budaya bangsa, dengan tujuan untuk mendapatkan pokok-
pokok pengertiannya yang mendasar dan menyeluruh. Filsafat Panca­
sila memberi pengetahuan dan pengertian ilmiah yaitu tentang hakikat
dari Pancasila (Notonegoro).
Kalau dibedakan antara filsafat yang religius dan nonreligius,
maka filsafat Pancasila tergolong filsafat yang religius. Ini berarti, bah­
wa filsafat Pancasila dalam hal kebijaksanaan dan kebenaran me­nge­
nal adanya kebenaran mutlak yang berasal dari Tuhan Yang Maha Esa
(kebenaran religius) dan sekaligus mengakui keterbatasan kemampuan
manusia, termasuk kemampuan berpikirnya.
Jika filsafat dibedakan dalam arti teoretis dan filsafat dalam arti
praktis, filsafat Pancasila digolongkan dalam arti praktis. Ini berarti,
bahwa filsafat Pancasila di dalam mengadakan pemikiran yang se­
dalam-dalamnya, tidak hanya bertujuan mencari kebenaran dan ke­

P
bi­jaksanaan, tidak sekadar untuk memenuhi hasrat ingin tahu dari
manusia yang tidak habis-habisnya, tetapi juga dan terutama hasil

RO U
G
pemikiran yang berwujud filsafat Pancasila tersebut digunakan se­

I A
bagai pedoman hidup sehari-hari (pandangan hidup, filsafat hidup,

ED
way of the life, dan Weltanschaung, agar hidupnya dapat men­capai

A M
kebahagiaan lahir dan batin, baik di dunia maupun di akhirat.

D
NA
Selanjutnya filsafat Pancasila mengukur adanya kebenaran yang

PRE
bermacam-macam dan bertingkat-tingkat sebagai berikut:
a. Kebenaran indra (pengetahuan biasa);
b. Kebenaran ilmiah (ilmu-ilmu pengetahuan);
c. Kebenaran filosofis (filsafat);
d. Kebenaran religius (religi).
Untuk lebih meyakinkan, bahwa Pancasila itu adalah ajaran fil­
safat, sebaiknya kita kutip ceramah Mr. Moh. Yamin pada Seminar
Pancasila di Yogyakarta tahun 1959 yang berjudul “Tinjauan Pancasila
Terhadap Revolusi Fungsional”, yang isinya antara lain sebagai berikut:
Tinjauan Pancasila adalah tersusun secara harmonis dalam sua­
tu sistem filsafat. Marilah kita peringatkan secara ringkas, bahwa
ajaran Pancasila itu dapat kita tinjau menurut ahli filsafat ulung, yaitu
Friedrich Hegel (1770-1831) bapak dari filsafat Evolusi Kebendaan
se­perti diajarkan oleh Karl Marx (1818-1883) dan menurut tinjauan
Evolusi Kehewanan menurut Darwin Haeckel, serta juga bersangkut
paut dengan filsafat kerohanian seperti diajarkan oleh Immanuel Kant
(1724-1804).

109
spiritualisme pancasila

Menurut Hegel, hakikat filsafatnya adalah suatu sintesis pikiran


yang lahir dari antitesis pikiran. Dari pertentangan pikiran lahirlah
paduan pendapat yang harmonis. Begitu pula dengan ajaran Pancasila
suatu sintesis negara yang lahir dari antitesis.
Saya tidak mau menyulap. Ingatlah kalimat pertama dan Muka­
dimah UUD Republik Indonesia 1945 yang disadurkan tadi dengan
bunyi: Bahwa sesungguhanya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa.
Oleh sebab itu, penjajahan harus dihapuskan karena bertentangan de­
ngan perikemanusiaan dan perikeadilan.
Kalimat pertama ini adalah sintesis yaitu antara penjajahan dan
perikemanusiaan dan perikeadilan. Pada saat sintese sudah hilang,
maka lahirlah kemerdekaan. Dan, kemerdekaan itu kita susun menu­
rut ajaran falsafah Pancasila yang disebutkan dengan terang dalam
Mukadimah Konstitusi RIS tahun 1950 itu yang berbunyi: Maka de­
ngan ini, kami menyusun kemerdekaan kami itu, dalam suatu Piagam

P
Negara yang berbentuk Republik Kesatuan berdasarkan ajaran Pan­

RO U
casila. Di sini disebut sila yang lima untuk mewujudkan kebahagia­

G
an, kesejahteraan, dan perdamaian dunia dan kemerdekaan. Kalimat

I A
ini jelas kalimat antitesis. Sintesis kemerdekaan dengan ajaran Pan­

ED
casila dan tujuan ke­jayaan bangsa yang bernama kebahagiaan dan

A M
kesejahteraan rakyat.

D
NA
PRE
B. Pancasila Sebagai Suatu Sistem Filsafat
Pembahasan mengenai Pancasila sebagai sistem filsafat dapat
dilakukan dengan cara deduktif dan induktif.
1. Cara deduktif yaitu dengan mencari hakikat Pancasila serta meng­
analisis dan menyusunnya secara sistematis menjadi keutuhan
pandangan yang komprehensif.
2. Cara induktif yaitu dengan mengamati gejala-gejala sosial budaya
masyarakat, merefleksikannya, dan menarik arti dan makna yang
hakiki dari gejala-gejala itu.
Pancasila yang terdiri atas lima sila pada hakikatnya merupakan
sistem filsafat. Yang dimaksud sistem adalah suatu kesatuan bagian-
bagian yang saling berhubungan, salilng bekerja sama untuk tujuan
tertentu dan secara keseluruhan merupakan suatu kesatuan yang utuh.
Sila-sila Pancasila yang merupakan sistem filsafat pada hakikatnya
merupakan suatu kesatuan organis. Artinya, antara sila-sila Pancasila
itu saling berkaitan, saling berhubungan bahkan saling mengkualifikasi.

110
3  Nilai Spiritualisme dalam Filsafat Pancasila

Pemikiran dasar yang terkandung dalam Pancasila, yaitu pemikiran


tentang manusia yang berhubungan dengan Tuhan, dengan diri sen­
diri, dengan sesama, dengan masyarakat bangsa yang nilai-nilai itu
diiliki oleh bangsa Indonesia.
Dengan demikian Pancasila sebagai sistem filsafat memiliki ciri
khas yang berbeda dengan sistem-sistem filsafat lainnya, seperti mate­
rialisme, idealisme, rasionalisme, liberalisme, komunisme dan seba­
gainya.

1. Ciri sistem Filsafat Pancasila


Sebagai filsafat, Pancasila memiliki karakteristik sistem filsafat
tersendiri yang berbeda dengan filsafat lainnya, yaitu antara lain:

UP
A G RO
I
3

ED
DAM
4

E NA
PR
5

Gambar 3.1

Dalam susunan yang lain dapat juga digambarkan sebagai berikut:

1 2 3 4 5

1 2 3 4 5

2 1 3 4 5

3 2 1 4 5

3 2 1 5

Gambar 3.2

111
spiritualisme pancasila

Atau, dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 3.3

a. Sila-sila Pancasila merupakan satu-kesatuan sistem yang bulat


dan utuh. Dengan kata lain, apabila tidak bulat dan utuh atau satu
sila dengan sila lainnya terpisah-pisah maka itu bukan Pancasila.
b. Susunan Pancasila dengan suatu sistem yang bulat dan utuh itu
dapat digambarkan sebagai berikut:

UP
RO
1) Sila 1, meliputi, mendasari dan menjiwai sila 2,3,4 dan 5;

I A G
2) Sila 2, diliputi, didasari, dijiwai sila 1, dan mendasari dan

ED
menjiwai sila 3, 4, dan 5;

A M
3) Sila 3, diliputi, didasari, dijiwai sila 1, 2, dan mendasari dan

NA Dmenjiwai sila 4, 5;

PRE
4) Sila 4, diliputi, didasari, dijiwai sila 1,2,3, dan mendasari dan
menjiwai sila 5;
5) Sila 5, diliputi, didasari, dijiwai sila 1,2,3,4.
Inti sila-sila Pancasila meliputi:
• Tuhan, yaitu sebagai kausa prima.
• Manusia, yaitu makhluk individu dan makhluk sosial Satu,
yaitu kesatuan memiliki kepribadian sendiri.
• Rakyat, yaitu unsur mutlak negara, harus bekerja sama dan
gotong royong.
• Adil, yaitu memberi keadilan kepada diri sendiri dan orang
lain yang menjadi haknya.
Wawasan filsafat meliputi bidang atau aspek penyelidikan onto­
logi, epistemologi, dan aksiologi. Ketiga bidang tersebut dapat dianggap
mencakup kesemestaan. Oleh karena itu, berikut ini akan dibahas lan­
dasan ontologis Pancasila, epistemologis Pancasila, dan aksiologis
Pancasila.

112
3  Nilai Spiritualisme dalam Filsafat Pancasila

Sistematika Filsafat

AXIOLOGY
Makna dan sumber nilai, wujud, jenis, tingkat, sifat nilai.
Hakikat nilai: manusia, materia, etika, estetika, politika,
budaya, agama, posthumous, dan Tuhan . . . (Allah Maha
Pencipta).

EPISTEMOLOGY
philosophy Makna dan sumber pengetahuan, proses, syarat
terbentuknya pengetahuan, validitas, batas, dan hakikat
pengetahuan, meliputi: semantika, gramatika, logika,
retorika, matematika, meta teori, philosophy of science,
Wissenschaftslehre . . .

ONTOLOGY
Makna dan sumber ada; proses, jenis, sifat, dan tingkat
ada: ada umum, terbatas, manusia, kosmologia; Ada tidak
terbatas, ADA mutlak . . . metafisika, posthumous.

UP
RO
2. Landasan Filsafat Pancasila
a. Landasan Ontologis Pancasila

I A G
ED
Ontologi, menurut Aristoteles adalah ilmu yang meyelidiki ha­ki­kat

A M
sesuatu atau tentang ada, keberadaan, atau eksistensi dan disama­kan

D
NA
artinya dengan metafisika. Bidang ontologi menyelidiki tentang makna

PRE
yang ada (eksistensi dan keberadaan) manusia, benda, alam semesta
(kosmologi), metafisika. Masalah ontologis antara lain: Apakah haki­kat
sesuatu itu? Apakah realitas yang ada tampak ini suatu realitas sebagai
wujudnya, yaitu benda? Apakah ada suatu rahasia di balik realitas itu,
sebagaimana yang tampak pada makhluk hidup?
Secara ontologis, penyelidikan Pancasila sebagai filsafat dimak­
sud­kan sebagai upaya untuk mengetahui hakikat dasar dari sila-sila
Pancasila. Pancasila yang terdiri atas lima sila, setiap sila bukanlah
me­rupakan asas yang berdiri sendiri-sendiri, melainkan memiliki satu
kesatuan dasar ontologis.
Dasar ontologis Pancasila pada hakikatnya adalah manusia, yang
memiliki hakikat mutlak yaitu monopluralis, atau monodualis, karena
itu juga disebut sebagai dasar antropologis. Subjek pendukung pokok
dari sila-sila Pancasila adalah manusia. Hal tersebut dapat dijelas­kan
bahwa yang berketuhanan Yang Maha Esa, yang berkemanusiaan yang
adil dan beradab, yang berpersatuan, yang berkerakyatan yang dipim­
pin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
serta yang berkeadilan sosial pada hakikatnya adalah manusia.

113
spiritualisme pancasila

Adapun manusia sebagai pendukung pokok sila-sila Pancasila


secara ontologis memiliki hal-hal yang mutlak, yaitu terdiri atas susunan
kodrat, raga dan jiwa, jasmani dan rohani. Sifat kodrat manusia adalah
sebagai makhluk individu dan makhluk sosial serta sebagai makhluk
pribadi dan makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Maka secara hierarkis sila
pertama mendasari dan menjiwai sila-sila Pancasila lainnya. (Lihat
Notonagoro, 1975: 53).

b. Landasan Epistemologis Pancasila


Epistemologi adalah cabang filsafat yang menyelidiki asal, syarat,
susunan, metode, dan validitas ilmu pengetahuan.
Epistemologi meneliti sumber pengetahuan, proses, dan syarat
terja­di­nya pengetahuan, batas, dan validitas ilmu pengetahuan. Episte­
mologi adalah ilmu tentang ilmu atau teori terjadinya ilmu atau science
of science.

UP
Menurut Titus (1984: 20) terdapat tiga persoalan yang mendasar

RO
dalam epistemologi, yaitu:
1.

A
Tentang sumber pengetahuan manusia;

I G
ED
2. Tentang teori kebenaran pengetahuan manusia;

M
3. Tentang watak pengetahuan manusia.

D A
NA
Secara epistemologis, kajian Pancasila sebagai filsafat dimaksudkan

PRE
sebagai upaya untuk mencari hakikat Pancasila sebagai suatu sistem
pengetahuan. Pancasila sebagai sistem filsafat pada hakikatnya juga
merupakan sistem pengetahuan. Ini berarti Pancasila telah menjadi
suatu belief system, sistem cita-cita, menjadi suatu ideologi. Oleh ka­
rena itu, Pancasila harus memiliki unsur rasionalitas terutama dalam
kedudukannya sebagai sistem pengetahuan.
Dasar epistemologis Pancasila pada hakikatnya tidak dapat di­pi­
sahkan dengan dasar ontologisnya. Maka, dasar epistemologis Panca­
sila sangat berkaitan erat dengan konsep dasarnya tentang haki­kat
manusia. Pancasila sebagai suatu objek pengetahuan pada haki­katnya
meliputi masalah sumber pengetahuan dan susunan pe­ ngetahuan
Pancasila.
Tentang sumber pengetahuan Pancasila, sebagaimana telah dipa­
hami bersama adalah nilai-nilai yang ada pada bangsa Indonesia
sen­diri. Nilai-nilai tersebut merupakan kausa materialis Pancasila.
Tentang susunan Pancasila sebagai suatu sistem pengetahuan, maka
Pan­casila memiliki susunan yang bersifat formal logis, baik dalam
arti susunan sila-sila Pancasila maupun isi arti dari sila-sila Pancasila

114
3  Nilai Spiritualisme dalam Filsafat Pancasila

itu. Susunan kesatuan sila-sila Pancasila adalah bersifat hierarkis dan


berbentuk piramidal.
Sifat hierarkis dan bentuk piramidal itu tampak dalam susunan
Pancasila, di mana sila pertama Pancasila mendasari dan menjiwai
keempat sila lainnya. Sila kedua didasari sila pertama dan mendasari
serta menjiwai sila ketiga, keempat dan kelima. Sila ketiga didasari
dan dijiwai sila pertama dan kedua, serta mendasari dan menjiwai sila
keempat dan kelima. Sila keempat didasari dan dijiwai sila pertama,
kedua dan ketiga, serta mendasari dan menjiwai sila kelima. Sila
kelima didasari dan dijiwai sila pertama, kedua, ketiga, dan keempat.
Dengan demikian, susunan Pancasila memiliki sistem logis baik yang
menyangkut kualitas maupun kuantitasnya.
Susunan isi arti Pancasila meliputi tiga hal, yaitu:
1. Isi arti Pancasila yang umum universal, yaitu hakikat sila-sila Pan­
casila yang merupakan intisari Pancasila sehingga merupakan
pangkal tolak dalam pelaksanaan dalam bidang kenegaraan dan

UP
RO
tertib hukum Indonesia serta dalam realisasi praksis dalam berba­

G
gai bidang kehidupan konkret.

ED I A
2. Isi arti Pancasila yang umum kolektif, yaitu isi arti Pancasila se­

M
bagai pedoman kolektif negara dan bangsa Indonesia terutama

D A
dalam tertib hukum Indonesia.

NA
3. Isi arti Pancasila yang bersifat khusus dan konkret, yaitu isi arti

PRE
Pancasila dalam realisasi praksis dalam berbagai bidang kehi­
dupan sehingga memiliki sifat khusus konkret serta dinamis (Lihat
Notonagoro, 1975: 36-40)
Menurut Pancasila, hakikat manusia adalah monopluralis, yaitu
hakikat manusia yang memiliki unsur pokok susunan kodrat yang
terdiri atas raga dan jiwa. Hakikat raga manusia memiliki unsur fisis
anorganis, vegetatif, dan animal. Hakikat jiwa memiliki unsur akal, rasa,
kehendak yang merupakan potensi sebagai sumber daya cipta manusia
yang melahirkan pengetahuan yang benar, berdasarkan pemikiran
memoris, reseptif, kritis, dan kreatif. Selain itu, potensi atau daya ter­
sebut mampu meresapkan pengetahuan dan menstranformasikan
pe­­ngetahuan dalam demonstrasi, imajinasi, asosiasi, analogi, refleksi,
intuisi, inspirasi, dan ilham.
Dasar-dasar rasional logis Pancasila menyangkut kualitas mau­pun
kuantitasnya, juga menyangkut isi arti Pancasila tersebut. Sila Ketu­
hanan Yang Maha Esa memberi landasan kebenaran pengetahuan ma­
nusia yang bersumber pada intuisi.

115
spiritualisme pancasila

Manusia pada hakikatnya kedudukan dan kodratnya adalah se­


bagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, maka sesuai dengan sila per­tama
Pancasila, epistemologi Pancasila juga mengakui kebenaran wahyu
yang bersifat mutlak. Hal ini sebagai tingkat kebenaran yang tinggi.
Dengan demikian, kebenaran dan pengetahuan manusia merupa­
kan suatu sintesis yang harmonis antara potensi-potensi kejiwaan
ma­nusia yaitu akal, rasa, dan kehendak manusia untuk mendapatkan
kebenaran yang tinggi. Selanjutnya, dalam sila ketiga, keempat, dan
kelima, maka epistemologi Pancasila mengakui kebenaran konsensus
terutama dalam kaitannya dengan hakikat sifat kodrat manusia seba­
gai makhluk individu dan makhluk sosial.
Sebagai suatu paham epistemologi, maka Pancasila mendasarkan
pada pandangannya, bahwa ilmu pengetahuan pada hakikatnya tidak
bebas nilai karena harus diletakkan pada kerangka moralitas kodrat
manusia serta moralitas religius dalam upaya untuk mendapatkan

P
suatu tingkatan pengetahuan yang mutlak dalam hidup manusia.

RO U
G
c. Landasan Aksiologis Pancasila

ED I A
Sila-sila Pancasila sebagai suatu sistem filsafat memiliki satu ke­

M
sa­tuan dasar aksiologis, yaitu nilai-nilai yang terkandung dalam Pan­

D A
casila pada hakikatnya juga merupakan suatu kesatuan. Aksiologi Pan­

NA
casila mengandung arti, bahwa kita membahas tentang filsafat nilai

PRE
Pancasila.
Istilah aksiologi berasal dari kata Yunani axios yang artinya nilai,
manfaat, dan logos yang artinya pikiran, ilmu, atau teori. Aksiologi
adalah teori nilai, yaitu sesuatu yang diinginkan, disukai atau yang
baik. Bidang yang diselidiki adalah hakikat nilai, kriteria nilai, dan ke­
dudukan metafisika suatu nilai.
Nilai (value dalam Inggris) berasal dari kata Latin valere yang arti­
nya kuat, baik, berharga. Dalam kajian filsafat merujuk pada sesuatu
yang sifatnya abstrak yang dapat diartikan sebagai “keberhargaan”
(worth) atau “kebaikan” (goodness). Nilai itu sesuatu yang berguna.
Ni­lai juga mengandung harapan akan sesuatu yang diinginkan. Nilai
adalah suatu kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda
untuk memuaskan manusia (dictionary of sosiology an related science).
Nilai itu suatu sifat atau kualitas yang melekat pada suatu objek.
Ada berbagai macam teori tentang nilai. Max Scheler menge­mu­
kakan, bahwa nilai ada tingkatannya, dan dapat dikelom­pokkan men­
jadi empat tingkatan, yaitu:

116
3  Nilai Spiritualisme dalam Filsafat Pancasila

1. Nilai-nilai kenikmatan: dalam tingkat ini terdapat nilai yang me­


ngenakkan dan nilai yang tidak mengenakkan, yang menye­babkan
orang senang atau menderita.
2. Nilai-nilai kehidupan: dalam tingkat ini terdapat nilai-nilai yang
penting dalam kehidupan, seperti kesejahteraan, keadilan, kese­
garan.
3. Nilai-nilai kejiwaan: dalam tingkat ini terdapat nilai-nilai kejiwaan
(geistige werte) yang sama sekali tidak tergantung dari keadaan
jasmani maupun lingkungan. Nilai-nilai semacam ini, misalnya,
ke­indahan, kebenaran, dan pengetahuan murni yang dicapai da­
lam filsafat.
4. Nilai-nilai kerohanian: dalam tingkat ini terdapat moralitas nilai
yang suci dan tidak suci. Nilai semacam ini terutama terdiri dari
nilai-nilai pribadi. (Driyarkara, 1978)
Adapun Notonagoro membagi nilai menjadi tiga macam, yaitu:
1. Nilai material, yaitu sesuatu yang berguna bagi manusia.
UP
RO
2. Nilai vital, yaitu sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat

I A
melaksanakana kegiatan atau aktivitas.
G
ED
3. Nilai kerohanian, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi rohani

A M
yang dapat dibedakan menjadi empat macam:

D
NA
a. Nilai kebenaran, yang bersumber pada akal (ratio, budi, cipta)

PRE
manusia.
b. Nilai keindahan, atau nilai estetis, yang bersumber pada unsur
perasaan (aesthetis, rasa) manusia.
c. Nilai kebaikan, atau nilai moral, yang bersumber pada unsur
kehendak (will, karsa) manusia.
d. Nilai religius, yang merupakan nilai kerohanian tertinggi dan
mutlak. Nilai religius ini bersumber kepada kepercayaan atau
keyakinan manusia.
Dalam filsafat Pancasila, disebutkan ada tiga tingkatan nilai, yaitu
nilai dasar, nilai instrumental, dan nilai praktis.
1. Nilai dasar, adalah asas-asas yang kita terima sebagai dalil yang
bersifat mutlak, sebagai sesuatu yang benar atau tidak perlu
dipertanyakan lagi. Nilai-nilai dasar dari Pancasila adalah nilai ke­
tu­hanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai kerakyatan, dan
nilai keadilan.
2. Nilai instrumental, adalah nilai yang berbentuk norma sosial dan
norma hukum yang selanjutnya akan terkristalisasi dalam per­
aturan dan mekanisme lembaga-lembaga negara.

117
spiritualisme pancasila

3. Nilai praksis, adalah nilai yang sesungguhnya kita laksanakan da­


lam kenyataan. Nilai ini merupakan batu ujian apakah nilai dasar
dan nilai instrumental itu benar-benar hidup dalam masyarakat.
Nila-nilai dalam Pancasila termasuk nilai etik atau nilai moral
merupakan nilai dasar yang mendasari nilai instrumental dan selan­
jutnya mendasari semua aktivitas kehidupan masyarakat, berbangsa,
dan bernegara. Secara aksiologis, bangsa Indonesia merupakan pen­­­du­
kung nilai-nilai Pancasila (subscriber of value Pancasila), yaitu bangsa
yang berketuhanan, yang berkemanusiaan, yang berpersa­tu­an, yang
berkerakyatan dan berkeadilan sosial. Pengakuan, penerimaan, dan
penghargaan atas nilai-nilai Pancasila itu tampak dalam sikap, ting­kah
laku, dan perbuatan bangsa Indonesia sehingga mencerminkan sifat
khas sebagai manusia Indonesia

3. Unsur Pancasila Menjiwai Perlawanan


terhadap Kolonialisme
UP
G RO
Jika pejuang bangsa Indonesia itu kita teliti dengan saksama, maka

A
I
unsur–unsur Pancasila merupakan semangat dan jiwa perjuangan ter­

ED
sebut di antaranya:

A M
a. Unsur Ketuhanan. Pada hakikatnya penjajahan bertentangan

D
NA
de­­­ngan ajaran Tuhan. Tuhan mengajarkan kesetaraan antarma­

PRE
nu­sia tidak ada yang lebih rendah derajatnya dan Tuhan pula
me­­ngajarkan sesama manusia harus saling mengasihi dan menya­
yangi antarmanusia. Penjajahan yang dilaksanakan oleh negara-
negara Barat justru mengeksploitasi manusia dan menjauh­kan­
nya dari sifat kemanusiaannya. Penjajahan tidak mengenal cinta,
­ka­sih, dan sayang sebagai mana diajarkan oleh Tuhan. Oleh karena
itu, perlawanan terhadap kolonialisme ada yang didorong oleh
keyakinan melaksanakan tugas-tugas agama.
b. Unsur Kemanusiaan. Penjajahan tidak mengenal perikemanusia­
an. Penjajahan pada hakikatnya adalah hendak menemukan kem­
bali nilai-nilai kemanusiaan yang telah dihancurkan oleh penjajah.
c. Unsur Persatuan. Di dalam kenyataan memang bangsa Indonesia
dipecah-belah oleh penjajah. Meskipun demikian, bangsa Indo­
nesia menyadari bahwa perpecahan akan mengakibatkan kerun­
tuhan sebagaimana semboyan yang berbunyi bersatu kita teguh
bercerai kita runtuh. Oleh karena itu, bagaimanapun juga persa­
tuan sebagai senjata ampuh tidak hancur sama sekali.
d. Unsur Kerakyatan. Kemerdekaan adalah hak segala bangsa pen­

118
3  Nilai Spiritualisme dalam Filsafat Pancasila

jajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan


perikeadilan penjajahan bertentangan dengan kemerdekaan dan
kebebasan.
e. Unsur Keadilan. Di atas sudah disebutkan bahwa penjajahan ti­
dak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Hal ini
terbukti pada pengalaman bangsa Indonesia yang selama dijajah
tidak pernah diperlakukan adil. Apalagi untuk mendapatkan pen­
didikan sebagaimana mestinya sangat dipersulit.

 Latihan
Jawablah beberapa pertanyaan di bawah ini
a. Bandingkan perbedaan filsafat yang berkembang pada masa Yu­
nani Kuno, pada masa Abad Pertengahan, zaman Renaissance,

P
dan pada masa Abad Pencerahan! (Dari segi isi yang dibahas, latar
belakangnya, maupun hasil yang dikembangkan).

RO U
G
b. Kajilah filsafat Pancasila, mengapa cocok dijadikan sebagai dasar

I A
negara dan ideologi bangsa Indonesia! (Hal-hal apa saja yang

ED
menjadikannya diterima oleh bangsa Indonesia).

A M
c. Uraikan secara singkat landasan ontologism, epistemologis, dan

D
NA
aksiologis Pancasila!

PRE
C. Falsafah Pancasila Kontempelasi
spiritualisme
1. Pendahuluan
Pancasila merupakan landasan berpikir sekaligus visi bangsa In­
donesia. Pancasila sebagai sistem nilai mengadopsi lima nilai dasar di
dalamnya: Nilai Ketuhanan, Nilai Kemanusiaan, Nilai Persatuan, Nilai
Demokrasi yang mengutamakan musyawarah, serta Nilai Keadilan
sosial. Kajian terhadap peletakan Pancasila sebagai nilai dasar ini me­
narik untuk dikaji setidaknya disebabkan oleh beberapa hal:
Pertama, bahwa Pancasila diletakkan sebagai sebuah falsafah se­
kaligus fundamen hukum berbangsa-bernegara berupaya untuk me­
warnai corak hukum di Indonesia dengan lima nilai dasar. Kelima
ni­lai dasar Pancasila akan diturunkan dalam bentuk peraturan-per­
aturan hukum di bawah Pancasila yang akan mengendalikan peri­laku-
perilaku dalam berbangsa dan bernegara. Peletakan Pancasila sebagai

119
spiritualisme pancasila

roh atau esensi dari terbentuknya aturan hukum ini menja­dikan semua
aturan hukum harus mengacu pada lima nilai dasar hukum Indonesia.
Kedua, bahwa nilai religiusitas ketuhanan dan komunalitas ke­
bhinnekaan Pancasila yang diambil dari lima nilai dasar tersebut selalu
memiliki ruang dinamika dengan fondasi nilai-nilai Tauhid Islam. Pada
titik-titik tertentu, relasi interaksi Islam dan Pancasila selalu diletak­
kan dalam dinamika konfrontatif. Pada titik lain dapat menunjukkan
dinamika keterhubungan. Perlu ditelusuri secara mendasar substansi
religiusitas Ketuhanan Yang Maha Esa dengan konsep Tauhid sebagai
pengakuan Ketunggalan Tuhan dalam religiusitas Islam.
Ketiga, bahwa Pancasila sebagai sebuah nilai dasar falsafah In­
donesia menghadapi tantangan berat ketika ia berhadapan dengan
masuknya beragam nilai-nilai yang ada di luar dirinya. Ia berhadapan
dengan beragam nilai baru seperti sosialisme, kapitalisme, dan seba­
gainya. Pancasila kini berhadapan dengan beragam sistem filsafat

P
lainnya, dengan beragam nilai lainnya untuk berupaya saling mewar­

RO
nai dan menanamkan nilai-nilainya. Nilai kapitalisme sebagai lawan
U
G
berat Pancasila berupaya terus menanamkan nilai-nilai dasarnya da­

I A
lam pembentukan beragam peraturan-peraturan hukum khususnya

ED
lapangan hukum ekonomi di Indonesia.

D A M
NA
2. Aspek Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi

PRE
Pancasila
Falsafah Pancasila tidak terlepas dari lima nilai dasar pemben­
tuknya yaitu Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Musyawarah, Ke­
adilan Sosial. Kelima nilai ini membentuk sebuah sistem falsafah,
yaitu falsafah Pancasila. Secara ontologis, falsafah Pancasila dimaknai
sebagai seperangkat nilai berisi nilai ketuhanan dan kemanusiaan
dalam sekelompok manusia yang bersatu, yang mengutamakan mu­
syawarah guna mencapai sebuah keadilan sosial. Nilai ketuhanan dan
kemanusiaan melekat sebagai substansi manusia (aspek ontologis).
Metode pencapaian dilakukan dengan cara bersatu dan selalu meng­
utamakan musyawarah (aspek epistemologis). Tujuan dan nilai guna
yang hendak dicapai adalah sebuah keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia (aspek aksiologis dan teleologis).

a. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa


Ketuhanan mengandung makna bahwa ketuhanan adalah sifat
yang melekat pada hakikat manusia akan eksistensi Tuhan pada diri­

120
3  Nilai Spiritualisme dalam Filsafat Pancasila

nya. Tuhan hadir dalam ruang batin manusia, ia dengan segala ke­
sadar­ an­nya merefleksikan kehendak-kehendak Allah pada dirinya.
Nilai ketuhanan melekat pada manusia, ketuhanan mengandung
sebuah konseku­ensi kepatuhan manusia atas kehendak-Nya. Maka
kita menyadari akan asal kesejatian manusia, berasal dari Tuhan
bekerja untuk dan atas nama Tuhan, serta kembali kepada Tuhan.
Proses bergulirnya hidup yang selalu bersama dengan-Nya. Sifat-
sifat ketuhanan yang melekat pada jiwa manusia ini mengakibatkan
manusia dalam ruang akalnya, ingin mengenal Tuhannya. Tuhan
yang seperti apa, bagaimana, dan untuk apa disembah? Tuhan Yang
Maha Esa adalah jawaban ontologis atas dimensi ruang akal manusia.
Tuhan Yang Hanya Satu, Dialah Allah. Perlu dipahami bahwa Panca­sila
bukanlah agama, walaupun ia men­jelaskan watak Tauhid, ia adalah
sistem falsafah yang memuat kon­struksi Tauhid yang melibat spiritual
dan moral agama khususnya Islam.1

P
Allah menyebutkan Diri-Nya sebagai Zat Yang Tunggal (Qs.
an-Nahl [16]: 22). Pengakuan sifat kemanusiaan akan eksistensi Zat

RO U
G
Yang Maha Tunggal menunjukkan sebuah konsep monoteisme (Qs.

I A
al-Iklash: 112). Konsep ini menuntut sebuah pengakuan akan ke­

ED
ber­bedaan manusia yang plural dengan Tuhan Yang Maha Tunggal.

A M
Berbeda akan sifat, di mana manusia berasal dari-Nya dan menuju

D
NA
pada-Nya. Pengakuan Tuhan Yang Maha Esa sekaligus menutup

PRE
ada­­nya pengakuan ketiadaan Tuhan. Ketiadaan Kausa materi meng­
akibatkan ketiadaan alam dan manusia. Dia yang menjadikan, me­
ngendalikan, serta menentukan struktur serta dimensi manusia dan
alam semesta. Allah adalah Tuhan yang dengan-Nya pula segalanya
menjadi ada. Wujud-Nya tergambar pada ciptaan-Nya, karena wujud-
Nya tidak muncul dalam jangkauan indrawi manusia. Ketika ia di­
personifikasikan dalam wujud benda yang memenuhi dimensi waktu
dan ruang, maka Tuhan menjadi materi. Adapun materi adalah sifat
manusia, tentunya ini bukan Tuhan hakiki, karena ada yang menyamai-
Nya (Qs. asy-Syuura [42]: 11). Dia ada bukan karena wujud materi, Dia
ada di atas segala dimensi ruang dan menembus dimensi segala waktu.
Dia yang menciptakan ruang dan waktu tentunya Dia tidak berada
dalam konsep ruang dan waktu.

1
Bandingkan dengan Yudi Latif, Negara Paripurna, Historisitas, Rasionalitas, dan
Aktualitas Pancasila, (Jakarta: Penerbit Gramedia, 2011), h. 110. Lihat pula: Adian Hu­
saini, Pancasila bukan untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam, (Jakarta: Gema
Insani Press, 2009), h. 147.

121
spiritualisme pancasila

Ketika wujud imateri tidak tampak, maka Allah karuniakan akal


untuk melihat tanda-tanda (signs) akan kehadiran-Nya. Pergerakan
alam semesta, perputaran langit dan bumi, bergantinya siang dan alam
sebagai tanda akan keberadaan-Nya (Qs. Ali Imran [3]: 190-191). Akal
manusia menangkap tanda kehadiran-Nya, akal membenarkan, tetapi
bukan sekadar penerimaan dalam ruang akal semata, ia jauh lebih
dalam lagi hingga mencapai hati yang terdalam berupa iman. Ketika
masuk ke dalam hati, kebenaran akal diresepsi oleh hati menjadi
­kebe­naran ideologis. Inilah keyakinan manusia Indonesia akan ke­
benaran hakiki. Nilai ketuhanan bermakna keterpaduan akal serta
hati terda­lam untuk mengetahui-Nya, yang dengan itu kita diminta-
Nya untuk menyembah-Nya (Qs. adz-Dzaariyaat [51]: 56). Inilah nilai
ketuhanan dalam diri manusia Indonesia. Nilai ketuhanan dalam
diri manusia menggerakkan manusia Indonesia untuk berbuat yang
terbaik bagi se­sama manusia dan kemanusiaan, inilah bentuk manusia

P
yang beradab.
Nilai-nilai ketuhanan memiliki empat makna: pengakuan atas

RO U
G
sebuah penciptaan oleh Tuhan, penyempurnaan oleh-Nya, segala Se­

I A
suatu diukur menurut ketentuan, serta konsep kepemimpinan untuk

ED
mencapai sebuah tujuan. Manusia Indonesia mengakui adanya peran

A M
Tuhan atas penciptaan sesuatu. Terbentuknya sebuah bangsa yaitu

D
NA
Indonesia terbentuk-tercipta atas kehendak-Nya. Tuhan menjadikan

PRE
segala sesuatu untuk disempurnakan. Cara serta faktor tercapainya
sebuah kesempurnaan bangsa berada di bawah kekuasaan-Nya. Segala
yang ada tercipta terbentuk menurut ukuran, yaitu dengan kesang­gup­
an yang tertanam dalam pembawaan masing-masing, dan ber­kem­
bang di bawah kendali-Nya.2
Pengakuan atas eksistensi Tuhan Yang Maha Esa merupakan gerak
dinamik olah akal pikir manusia Indonesia. Gerak dinamika ini dapat
diketahui dari pendekatan Comte, menurutnya manusia mengalami
tahap-tahap dalam peradabannya, yaitu: tahap teologis menuju tahap
berpikir metafisik hingga mencapai tahap positif, yang bercirikan per­
wujudan empiris melalui akal pengetahuan. Pada kasus masyarakat
Timur, proses alur berpikir tidak linear seperti apa yang dikemukakan
oleh Comte tersebut. Ketika kelompok masyarakat telah berada dalam
tahap positif dengan mengedepankan akal pengetahuan, pada saat
yang sama masih pula meyakini adanya kekuatan-kekuatan imateri
yang mengatur dan mengendalikan semesta.

2
Soedewo, PK, Keesaan Allah, (Jakarta: Darulkutubil Islamiyah, 2015), h. 5.

122
3  Nilai Spiritualisme dalam Filsafat Pancasila

Pengetahuan manusia Indonesia akan objek sesuatu selalu dikait­


kan dengan kekuatan-kekuatan gaib. Pengetahuan yang diperolehnya
ini tidak berada dalam struktur logis matematis, akan tetapi kekuatan
gaib bersumber pada ruang batin. Keyakinan akan pengendali atas
se­gala sesuatu ini dalam struktur ilmu pengetahuan Barat (tahap po­
si­tif) sulit untuk diterima karena ruang kebenaran menutup kebe­
nar­­­­an metafisik. Kebenaran adalah semata pada objek fisik, selama
pan­­­caindra mampu menangkap unsur gerak objek itulah yang be­nar.
Ke­yakinan akan eksistensi Tuhan Yang Maha Esa dalam ranah falsa­fah
dibuktikan dalam pembuktian akal melalui eksistensi objek ciptaan-
Nya. Gerak materi pada alam menunjukkan eksistensi wujud imateri
sebagai pengendalinya. Wujud Tuhan tidak ditampilkan da­lam objek
fi­sik-Nya, tetapi pada wujud ciptaan sebagai gejala-gejala kehadir­an-
Nya.
Pengakuan atas eksistensi ini tidak sekadar diletakkan dalam

P
ga­gasan ruang ide semata, tetapi jauh merasuk pada sisi materi ma­
nusia terdalam, yaitu jiwa. Manusia merasakan bahwa ia bersama

RO U
G
dengan Tuhannya karena ia menyadari bahwa ia berasal dari-Nya

I A
atas kehendak-Nya. Ia menjadi milik-Nya, dan memunculkan sebuah

ED
keyakinan bahwa Tuhannya adalah permulaan, dan dengan-Nya ia

A M
tertolong dan diteguhkan. Kepada-Nya pulalah tujuan dan akhir ma­

D
NA
nusia, bersama-Nya ia bertawakal dan bersandar. Pengakuan atas

PRE
Keesaan Tuhan dalam Sila Pertama ini adalah urat tunggang keselu­
ruhan sila Pancasila. Ia menjiwai sila-sila yang ada dalam Pancasila.
“Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa. Maka orang yang tidak
beriman, hati mereka mengingkari keesaan Allah, dan mereka adalah
orang yang sombong” (Qs. An Nahl [22]:16)

b. Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab


Kemanusiaan adalah sifat untuk menjunjung tinggi harkat ma­
nusia. Hubungan manusia dengan Allah selaku Tuhan Yang Maha Esa
ditentukan berdasarkan pada kualitas bangunan kemanusiaannya.
Ibadah kepada Allah tidak terhenti sebagai sebuah kebajikan tunggal.
Ibadah kepada-Nya diikuti oleh perilaku adil kepada sesama manusia.
Pernyataan pengakuan iman oleh hati akan keesaan Allah diikuti de­
ngan hubungan baik antarmanusia. Manusia diminta bertakwa se­
bagai titik optima peribadatan, sedangkan bentuk takwa dapat dilihat
dari bagaimana ia memperlakukan orang lain secara adil dan penuh
keadaban. Adil menjadi ukuran kedekatan ia pada titik optimumnya

123
spiritualisme pancasila

yaitu takwa (Qs. al-Maa’idah [5]: 8).


Keyakinan atas eksistensi Immateri Tuhan Yang Maha Esa dile­
takkan dalam proses relasi intersubjek. Manusia yang melakukan
hubungan interaksi akan diselimuti oleh pengakuan atas eksistensi
wujud imateri Tuhan. Menghadirkan nilai bertuhan dalam ruang
dinamika sosial sebagai pengendali tata laku manusia. Posisi nilai-
ketuhanan yang diletakkan dalam konteks masyarakat komunal, men­
jadikan gerak tata-lakunya selalu diiikat oleh nilai moral-moral ketu­
hanan. Nilai ketuhanan yang dilekatkan pada masyarakat komunal
akan menghasilkan sebuah masyarakat yang menjunjung nilai-nilai
keadaban.
Proses pencapaian sebuah masyarakat manusia yang beradab di­
lihat dari capaian ilmu pengetahuan. Ilmu Pengetahuan meletakkan
manusia pada posisinya yang tinggi. Ilmu tidak dikaitkan semata
de­­ngan pendekatan mekanika, tetapi berkaitan dengan pema­­ham­

P
an atas posisi kemanusiaan manusia yang membedakannya dengan
makhluk lainnya. Manusia yang menggunakan ilmu pengetahuan se­

RO U
G
kaligus kebaikan sebagai manusia beradab.3 Pemahaman atas sub­

I A
jek manusia dan objek benda akan ditransformasikan dalam ben­tuk

ED
perilaku-perilaku. Perilaku yang tampak adalah hasil dari ke­se­­­­luruhan

A M
pemahaman yang mengendap dalam ruang ide. Nilai ke­­adaban ini

D
NA
diukur dalam standar nilai, dan moral yang ditentukan secara ter­

PRE
struktur oleh budaya. Budaya suatu kaum akan menjelaskan pe­­lak­
sa­naan-pelaksanaan keadaban manusia. Pluralitas budaya me­ nim­
­
bulkan pluralitas persepsi atas adab perilaku manusia (Qs. al-Hu­juraat
[49]: 13). Pluralitas budaya tersebut bukan sebagai sarana pe­rusak in­
tegrasi antarmanusia, melainkan pemahaman untuk saling me­nolong,
bekerja untuk berbuat kebajikan (Qs. al-Maa’idah [5]: 2).
Relasi antarmanusia menjadi sarana membuktikan kualitas hu­
bungan baiknya dengan Tuhannya. Norma bergerak, dan bekerja
da­lam relasi-relasi antarmanusia. Norma menjadi struktur sarana
mem­­bentuk keadaban manusia. Kemanusiaan menunjukkan adanya
ru­ang kreasi manusia yang penuh keadilan dan keadaban. Dua bentuk
perilaku yang diharapkan oleh Allah kepada diri manusia, setelah
ia menyembah-Nya: berbuat adil, karena adil itu merupakan bukti
keadaban manusia.
Adil adalah perilaku yang tidak cenderung pada hawa nafsu yang
memicu kezaliman. Adil memiliki makna menempatkan sesuatu se­suai

3
Notonagoro, Pancasila Dasar Falsafah Negara, (Bandung: Bina Aksara, 1988), h. 22.

124
3  Nilai Spiritualisme dalam Filsafat Pancasila

dengan porsinya. Allah menghendaki bahwa berperilaku adil terha­dap


subjek siapapun, apakah individu ataukah kelompok sosial. Keben­
cian akan sesuatu terhadap subjek tidak menghalangi manusia untuk
berbuat adil. Dengan ini maka dapat dilihat tentunya dimensi relasi
vertikal akan terikat oleh dimensi kemanusiaan manusia. Parameter
adil menjadi ukuran kedekatan manusia dengan Allah selaku Tuhan
Yang Maha Esa. Di sinilah manusia sebagai makhluk monopluralis,
ma­nusia yang menyadari posisinya sebagai makhluk Tuhan, makhluk
individu, sekaligus makhluk sosial. Inilah relasi erat hablum minal
Allah dengan hablum minal an nas. Inilah susunan etik Sila Ketuhanan
Yang Maha Esa dengan Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab.
“Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak
keadilan karena Allah, ketika menjadi saksi dengan adil. Dan, janganlah
kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berbuat
tidak adil. Berlaku adillah. Karenna adil itu lebih dekat kepada takwa.

P
Dan, bertakwalah kepada Allah, sungguh Allah Mahateliti terhadap apa

RO U
yang kamu kerjakan” (Qs. Al-Maa’idah [5J:8).

c. Sila Persatuan Indonesia


I A G
M ED
Manusia dengan penuh keterbatasannya bekerja dalam ruang

A
D
relatif. Untuk itu ia menjadi manusia utuh ketika ia mampu hidup

NA
ber­sama dengan manusia lainnya. Hidup bersama ini adalah hidup

PRE
dinamis, untuk saling bekerja sama, tolong menolong dan bergotong
royong (Qs. al-Maa’idah [5]: 2) Ruang-ruang relasi dibangun untuk
menuju sebuah tujuan bersama, karena kerja optimum hanya ter­
capai melalui sebuah kekuatan yang dihimpun secara bersama. Ini­
lah hakikat persatuan yang menghendaki adanya kebersamaan untuk
membangun sebuah kekuatan. Persatuan di antara ruang-ruang per­
bedaan, untuk memahami budaya yang beragam (pluralitas budaya).
Corak suku bangsa Nusantara adalah kehendak Allah (Qs. al-Hujuraat
[49]: 13), yang dengannya kita menyadari akan kenyataan hidup ber­
sama, bekerja, membangun kebersamaan dalam rumah yang ber­
nama Indonesia. Kebersamaan di antara corak ragam suku bangsa ini
hakikatnya satu: bahwa ia adalah bangsa Indonesia, bahwa ia adalah
makhluk Allah yang beradab. Inilah Bhinneka Tunggal Ika. Perbedaan
keragaman yang menyatu dalam sebuah tubuh bangsa Indonesia.
Kesadaran akan hidup bersama, me­mahami bahwa kita memiliki ru­
ang yang sama. Kerja sama antarumat untuk mempertahankan ru­mah
yang ditempati secara bersama. Kekayaan alam yang dimiliki ada­lah
sebagai pendukung pembangun­an manusia Indonesia sendiri.

125
spiritualisme pancasila

Secara historis pertikaian antarsuku yang terjadi di Indonesia


mengakibatkan sulitnya membangun sebuah bangsa. Pada keadaan
sengketa antarkekuatan internal, bangsa semakin menyulitkan per­
satuan. Proses penjajahan dengan penindasan dan perbudakan anak
bangsa oleh bangsa Eropa semakin memperberat keadaan. Kesa­dar­­an
akan kebersamaan rasa sependeritaan ini diikat oleh rasa ketuhanan
dan persaudaraan yang menghasilkan semangat untuk ber­sama ber­
juang layaknya bangunan yang kuat dan kukuh (Qs. ash-Shaff [61]: 4).
Persatuan harus dipahami sebagai sebuah kesatuan jiwa yang utuh.
Kehendak untuk hidup bersama karena diikat oleh persatuan watak
dan karakter yang tumbuh karena adanya persatuan pengalaman.4
Persatuan tidak saja dibutuhkan saat bebas merdeka, tetapi te­ tap
diletakkan dalam struktur konstruksi kemerdekaan. Persatuan meng­­
hendaki adanya kebersamaan di antara beragam orang yang ber­
beda, dan menyadari akan sebuah kepentingan dan tujuan yang

P
se­rupa. Dinamika relasi antarbudaya dibangun untuk memahami an­
tarpendukung budaya. Kebersamaan kegotongroyongan tidak akan

RO U
G
tercipta ketika tidak ada kesepahaman di antara pendukung ke­bu­da­

I A
yaan yang berbeda. Sekat-sekat kecurigaan dan kesalahpaham­an di­

ED
hilangkan dengan membuka ruang-ruang dialog antarbudaya. Ini­lah

A M
hakikat Bhinneka Tunggal Ika, Bhina Ika Tunggal Ika, Beragam itu Satu

D
NA
itu, Beragam tetapi satu hakikatnya.

PRE
“Wahai manusia! Sungguh Kami telah menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-
bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal.” (Qs. Al-Hujuraat
[49]:13)

d. Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah


Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan
Perwakilan
Kerakyatan memiliki makna terdapatnya pusat gerak dinamis­
nya adalah rakyat, sekumpulan manusia yang memiliki kehendak
dan tujuan. Kehendak sekumpulan manusia ini diwujudkan melalui
bentuk negara. kerakyatan juga mengandung kerangka ide dimulai­
nya suatu perbuatan atas kehendak sekumpulan manusia yang me­
nyatakan dirinya sebagai rakyat. Kerakyatan menghendaki adanya
ke­hendak-kehendak bertindak dan berbuat secara kolektif. Karakter

4
Yudi Latif, Negara Paripurna, Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila,
(Jakarta: Gramedia, 2011), h. 370.

126
3  Nilai Spiritualisme dalam Filsafat Pancasila

kerakyatan adalah sistem kehendak melalui sarana-sarana demokrasi


perdesaan. Masyarakat desa memiliki konsep kepemilikan komunal
atas objek. Ruang kebersamaan dan kegotongroyongan secara dinamis
­di­­laksanakan untuk dapat memanfaatkan setiap jengkal sumber daya
yang ada di desa. Setiap kesulitan akan dibicarakan secara bersama
­da­lam bentuk musyawarah oleh setiap anggota individu (Qs. asy-Syu­
raa [42]: 38) yang dipimpin oleh seseorang yang memiliki kewibawaan.
Hikmah mengandung makna pengetahuan yang datang dari
Allah (Qs. al-Baqarah [2]: 129), dan dengan itu manusia berupaya
untuk menguak nilai-nilai kebenaran. Hikmah diletakkan bersama
dengan kebijaksanaan (wisdom), dan ini mengandung makna terda­
patnya pengetahuan akan moralitas sekelompok manusia. Demo­
kra­si dengan bentuk kebersamaan ala masyarakat desa ini harus di­
bimbing, diarahkan melalui pengetahuan yang datang dari-Nya dan
dilaksanakan secara bijaksana untuk mencapai suatu hasil kemu­fa­

P
katan.5 Dalam demokrasi kerakyatan desa ini, kesemuanya mengarah
kepada konsensus-konsensus yang di bangun di antara kelompok

RO U
G
dan individu pendukung masyarakat desa. Konsensus ini dibangun

I A
sebagai jalan untuk mengakomodasi kepentingan setiap kelompok

ED
maupun individu yang ada dalam masyarakat tersebut. Tujuan di­

A M
lakukan hal ini adalah untuk mencapai sebuah kemaslahatan umat.

D
NA
Kekuatan konsensus yang dibangun dalam demokrasi ini membuat

PRE
semua kekuatan-kekuatan sosial pendukung demokrasi tersebut ikut
merasa memiliki, bertanggung jawab, serta loyal terhadap keputusan
yang dihasilkan dalam musyawarah tersebut. Hikmah kebijaksanaan
juga menunjukkan adanya sebuah kearifan dalam menerima segala
perbedaan yang muncul dalam proses musyawarah.6
“Dan bagi orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhan dan
melaksanakan shalat, sedang urusan mereka diputuskan dengan mu­
syawarah antara mereka; dan mereka menginfakkan sebagian dari rezeki
yang Kami berikan kepada mereka” (Qs. As-Syuraa [42J: 38)

c. Sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia


Keadilan sosial menunjukkan sebuah ruang gerak interaksi an­
tarmanusia. Keadilan tidak saja diletakkan sebagai sebuah upaya

5
Lihat Kaelan, Negara Kebangsaan Pancasila, (Yogyakarta: Paradigma, 2013), h.
375.
6
Yudi Latif, Negara Paripurna, Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila,
(Jakarta: Gramedia, 2011), h. 475-488.

127
spiritualisme pancasila

men­dorong hak-hak individu dalam sebuah pertarungan bebas. Da­


lam struktur masyarakat yang bermusyawarah ini diletakkan ke­adil­
an secara sosial. Keadilan dalam makna pencapaian sebuah kese­
jah­teraan rakyat secara merata, adalah bentuk antitesis atas ben­tuk
pe­nguasaan kesejahteraan kepada penguasa kolonial. Keadilan yang
menyengsarakan rakyat terjajah. Keadilan sosial ini sekaligus meru­
pakan equilibrium atau titik keseimbangan dari keadilan indi­vidual
Barat dan keadilan kolektivisme komunis. Ruang keadilan pencapaian
kesejahteraan dalam bentuk kesejahteraan sosial ini meletakkan peng­
hargaan atas pencapaian kesejahteraan individu di tengah ma­syarakat.
Pada sisi lain keadilan ini, tidaklah bebas mutlak dalam perta­rungan
free fight liberalism yang mengutamakan kehendak bebas mutlak in­
dividu atas penguasaan mutlak ekonomi.
Kesejahteraan yang dicapai harus terdistribusikan secara adil, dan
dalam konsep ini tidak ada kepenguasaan mutlak oleh individu atas

P
setiap sumber daya yang berpotensi menimbulkan kerugian bagi orang
lain. Keadilan sosial menginginkan distribusi sumber daya secara adil

RO U
G
kepada individu lainnya dalam ruang kolektif (Qs. adz-Dzaariyaat [51]:

I A
19). Keadilan yang diharapkan mampu memutus kesenjangan antara

ED
si kaya dan si miskin dalam akses penguasaan sumber daya. Keadilan

A M
yang dicapai meliputi keadilan ekonomi, sosial, dan juga politik yang

D
NA
terwujud dalam negara kesejahteraan. Keadilan ini bukan sekadar

PRE
dalam perspektif hukum, melainkan diikuti oleh sebuah semangat
kasih sayang.7 Keadilan sosial ini mengandung penghormatan atas
hak-hak perseorangan atau individu.8 Perwujudan keadilan sosial ini
menjadi amanah bagi pemimpin yang adil untuk menggerakkan po­
tensi negara mewujudkan sebuah keadilan yang dapat dirasakan oleh
se­mua ka­ langan dan lapisan masyarakat. Pemimpin yang mampu
men­­dorong dan menyempurnakan masyarakat yang adil dan makmur.
Keadilan sosial adalah pencapaian keadilan terhadap manusia
In­donesia secara menyeluruh. Proses pencapaian keadilan sosial
ini tercapai melalui konsep musyawarah. Capaian keadilan sosial ini
mem­­buktikan, bahwa nilai-nilai ketuhanan tidaklah terpisah dari nilai
ke­­se­­jahteraan manusia. Unsur jiwa rohani tak terpisahkan dari unsur
tubuh fisik manusia. Musyawarah dilaksanakan untuk mencapai suatu
kesejahteraan secara menyeluruh bagi manusia Indonesia. Dalam
pencapaian keadilan sosial ini, musyawarah menjadi sarana untuk

7
Yudi Latif, Negara Paripurna, Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila,
(Jakarta: Gramedia, 2011), h. 584-586.
8
Hamka, Keadilan Sosial dalam Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2015), h. 79.

128
3  Nilai Spiritualisme dalam Filsafat Pancasila

mencapainya, sehingga keadilan dapat dirasakan oleh tiap individu.


Keadilan sosial dengan capaian kesejahteraan sosial tidak meng­
abaikan hak-hak individu atas kepemilikan benda. Benda sebagai harta
pada hakikatnya bukan dimiliki oleh manusia secara mutlak, karena
kemutlakannya menjadi milik Tuhan. Tuhan mendistribusikan milik-
Nya kepada manusia untuk diatur oleh manusia. Manusia sebagai pe­
ngatur dan distributor atas benda milik Tuhan ini selalu mendasarkan
distribusinya pada konsep keadilan. Keadilan yang tercipta tidak saja
dirasakan secara individu, tetapi juga ada keadilan yang diperoleh
masyarakat sosial. Setiap orang diakui kepemilikan individualnya, dan
ia berhak untuk mempertahankan apa yang menjadi hak miliknya.
Ne­gara dengan hukumnya wajib melindungi hak individu tersebut.
Kepemilikan individu diakui sebagai bagian dari kepemilikan sosial.
Keadilan sosial menempatkan individu-individunya yang koope­
ratif. Kepentingan sekelompok kecil orang yang memiliki kekuasaan

P
ekonomi tidaklah dapat mengganggu kepentingan rakyat banyak yang
miskin. Keadilan yang diharapkan adalah keadilan didasarkan atas

RO U
G
kemakmuran dan kebahagiaan. Prinsip negara yang terbangun dengan

I A
semangat nilai keadilan sosial ini adalah sebuah negara kesejahteraan.

ED
Dalam negara kesejahteraan, Indonesia yang dituntut adalah etika po­

A M
litiknya bukanlah penghapusan hak milik pribadi, melainkan bahwa

D
NA
hak milik pribadi itu memiliki fungsi sosial. Negara bertanggung jawab

PRE
atas kesejahteraan sosial. Sila Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat In­
donesia pada hakikatnya adalah aksiologis pelaksanaan Pancasila.
Ia adalah nilai guna dari nilai ketuhanan dan kemanusiaan, serta
bersatunya masyarakat Indonesia dengan melaksanakan musyawa­
rah, bertujuan sebuah nilai etik yaitu keadilan sosial. Kelima nilai ini
membentuk sebuah sistem kefilsafatan yang merasuki jiwa hukum
Indonesia berupa Falsafah Hukum Pancasila.
“Dan pada harta benda mereka ada hak untuk orang miskin yang me­
minta, dan orang miskin yang tidak meminta” (Qs. adz-Zaariyaat [51J:
19)

3. Nilai Religiusitas dan Komunalitas Falsafah


Hukum Pancasila
Falsafah hukum Pancasila tidak terlepas dari lima sila yang ter­
kandung dalam Pancasila. Nilai Ketuhanan, Nilai Kemanusiaan, Nilai
Persatuan, Nilai Musyawarah, dan Nilai Keadilan Sosial. Dari lima nilai
tersebut dapat dilihat terdapat dua inti nilai utama: Nilai Religiusitas

129
spiritualisme pancasila

dan Nilai Komunalitas. Nilai religiusitas mengandung makna adanya


sebuah konsep berpikir bahwa dalam ruang kosmik berpikir dan
berhukum selalu mengaitkan dengan nilai-nilai ketuhanan. Mele­tak­
kan Tuhan sebagai pusat dari gerak alam sekaligus gerak dinamika
berhukum masyarakat Indonesia. Nilai komunalitas adalah sebuah
ruang kosmik bahwa manusia Indonesia menyadari tak dapat hidup
sendiri. Dalam berkehidupan, ia selalu bersama dengan orang lain. Ia
menyadari bahwa eksistensi dirinya ada ketika ia hidup bersama dan
mengakui, menghormati sesamanya. Ia menjadi manusia justru ketika
ia hidup bersama dengan manusia lainnya. Bukankah hukum baru
muncul ketika ada lebih dari satu manusia yang hidup bersama? Nilai
komunalitas ini berpadu dengan nilai religiusitas membentuk sebuah
falsafah hukumnya sendiri yaitu: Falsafah Hukum Pancasila.
Falsafah Hukum Pancasila dapat diartikan sebagai norma-norma
dasar yang berisi nilai ketuhanan dan kemanusiaan, dalam seke­lom­

P
pok manusia yang bersatu dan mengutamakan musyawarah demi
terciptanya sebuah keadilan sosial.9 Di sinilah hukum tercipta, ter­

RO U
G
bentuk sesuai dengan ruang kosmik berpikir manusia Indonesia.

I A
falsafah hukum Pancasila ini tidak sekadar berada dalam konstruksi

ED
ilmu pengetahuan hukum saja, tetapi ia telah terefleksikan dalam gerak

A M
dinamika pikir, sikap-tindak, serta perilaku manusia Indonesia. Ruang

D
NA
kosmik ini tidak terlepas dari alam ketimuran yang selalu meletakkan

PRE
posisi dunia dan alam akhirat secara bersama dan tidak terpisah.
Tuhan bukan sekadar sebagai sebuah gagasan yang menghiasi akal,
melainkan juga ia tertanam dalam jiwa sehingga terefleksikan dalam
gerak ma­nusia Indonesia.10 Hubungan gerak manusia dalam kehendak
akal de­ngan kehendak Illahiah dapat dijelaskan melalui konsep-konsep
ilmu pengetahuan. Dalam struktur ilmu pengetahuan terdapat hierarki
ilmu pengetahuan. Pada lapisan atas terdapat ilmu-ilmu ketuhanan
melalui ilmu agama, dan pada lapisan kedua terdapat ilmu duniawi.

9
Fokky Fuad, Filsafat Hukum, Akar Religiositas Hukum, (Jakarta: PrenadaMedia,
2015), hlm. 252.
10
Hubungan antara agama dan filsafat menjadi menarik untuk ditelaah mengingat
kedua hubungan ini terkadang ditafsirkan dalam ruang yang berbeda. Filsafat mem­
buktikan kebenarannya dengan pendekatan akal, sedangkan agama membuktikan kebe­
narannya melalui hati yang bersifat imanen. Inti norma agama ditujukan pada sisi alam
gaib yang sulit dibuktikan melalui fakta-fakta empiris. Pada hakikatnya, agama yang
berasal dari Yang Maha Gaib kebenarannya acapkali juga gaib, akan tetapi kebenaran
yang diterima oleh hati menjadi sebuah kepercayaan dibawa ke alam pikir manusia untuk
dibuktikan kebenarannya. Ruang akal diberikan oleh agama secara kritik dan analitik
dengan tujuan memberikan alasan-alasan yang bersifat rasional untuk membenarkan
agama. Dalam hal ini, terdapat keselarasan antara logika, akal, dengan agama. Lihat: Sidi
Gazalba, Sistematika Filsafat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 70-71.

130
3  Nilai Spiritualisme dalam Filsafat Pancasila

Pada inti keilmuan terdapat asas kemanfaatan ilmu. Ilmu pengeta­


huan mencoba untuk menerangkan eksistensi Tuhan sebagai ilmu pe­
ngetahuan yang pertama. Menjelaskan hubungan-koneksitas antara
diri manusia dan Tuhan. Ilmu pengetahuan pada lapisan kedua akan
mampu membingungkan manusia, ketika ilmu pengetahuan pertama
tidak mampu membimbing ilmu pengetahuan kedua. Manusia akan
terjebak pada suasana pencarian tujuan dan makna kehidupan yang
penuh keraguan dan kesalahan.11
Manusia Indonesia yang berhukum dengan konsep–konsep nilai
religius komunal ini kini berhadapan dengan nilai-nilai baru. Nilai baru
berupa liberalisme berpikir menimbulkan kekagetan, euforia sehingga
menjadikan Pancasila sebagai sebuah falsafah tidak lagi mampu me­
narik perhatian para pembelajar. Gagasan kebebasan liberal sejak re­
formasi memengaruhi dinamika keilmuan Indonesia. Panca­sila men­
jadi begitu lamban dalam menghadapi penetrasi gagasan-gagasan

P
serta nilai-nilai baru dalam kosmik keilmuan. Gagasan keilmuan kini
jauh lebih logis, perhitungan-perhitungan mekanis menjadi pilihan

RO U
G
yang rasional.12 Kosmik Religiusitas hukum pun tergantikan oleh kos­

I A
mik logika mekanis karena religiusitas dianggap sebagai irasional.

ED
Ruang-ruang hukum kini lebih fokus pada perlindungan individual

A M
di­bandingkan perlindungan sekelompok manusia (komunal). Maka

D
NA
hukum kini menempatkan gagasan pembuktian logika, persidangan

PRE
pengadilan begitu jauh dari pemaknaan keadilan yang dirasakan
oleh masyarakat, karena ia memiliki logikanya sendiri. Ruang-ruang
per­­adilan tak mampu dipahami oleh kebanyakan manusia Indo­ne­
sia sendiri selaku subjek hukum. Pengadilan yang logis begitu sulit
menghadirkan keadilan sosial yang diharapkan oleh manusia Indo­
nesia. Paradigma hukum Barat dengan logika hukumnya yang me­
kanis tak dapat menerima ruang religius komunal. Di sinilah ruang
pengadilan yang menghadirkan gagasan keadilan individual hukum
Barat begitu asing dalam pemahaman berhukum manusia Indonesia.

11
Adian Husaini, Filsafat Ilmu, Perspektif Barat dan Islam, (Jakarta: Gema Insani
Press, 2013), h. 67-68.
12
Perubahan sosial yang begitu besar merubah pola pikir manusia khususnya sejak
masa Renaissance di Eropa. Hukum tidaklah sekadar ruang bertindak berdasarkan ide
dan kreastivitas Tuhan sehingga abai terhadap eksistensi akal manusia. Menempatkan
akal sebagai sumber kebenaran menjadi acuan utama sejak kejatuhaan Filsafat Hukum
Alam Irasional yang tergantikan oleh Filsafat Hukum Alam Rasional oleh Hugo Grotius.
Gerakan untuk menolak ide irasional dalam hukum menjadi semakin menguat sejak
kemunculan Mazhab Positivisme Hukum. Kebenaran hukum haruslah dapat diwujudkan
karena kewujudan itulah yang dapat diterima oleh ruang akal manusia. Lihat: Theo
Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, (Jakarta: Kanisius 1993).

131
spiritualisme pancasila

Kini, setelah lama liberalisme menikmati khazanah ruang pikir para


pembelajar, akhirnya mulai tersadarkan adanya nilai spiritual dan
hu­manisme yang hilang dalam ruang jiwa bangsa. Semangat untuk
mengembalikan roh religius dan kebersamaan ke-bhinnekatung­
galika-an muncul kembali. Tersadar kini, bahwa jiwa bangsa Panca­
sila yang hilang wajib dihadirkan kembali dalam wacana pikir ke­
indonesiaan. Menghadirkan kembali Pancasila sebagai roh jiwa yang
menghi­dupkan tubuh fisik manusia Indonesia, baik sebagai sistem
filsafat maupun ideologi berbangsa.
Dalam ruang falsafah Pancasila terdapat dua sifat: Sifat Konstanta
dan Sifat Dinamis. Sila ketuhanan mengandung sifat konstanta ka­
rena pengakuan atas eksistensi Tuhan sifatnya adalah pasti dan tidak
berubah. Sifat Dinamis diwujudkan dalam sila kedua hingga ke­lima,
karena sila kemanusiaan, sila persatuan, dan sila demokrasi mu­
syawarah hingga keadilan sosial menunjukkan dinamika antar dan

P
intersubjek. Sila ketiga-keempat adalah proses kebersatuan me­lalui
musyawarah menunjukkan sifat dinamis bangsa Indonesia da­

RO U lam

G
be­ragam kondisi. Konflik, sengketa, dan juga kerja sama antarsubjek

I A
me­nunjukkan sifat dinamis ini. Dalam proses interaksi untuk mem­

ED
bangun nilai-nilai kemanusiaan terjadi dinamika sesuai dengan sifat

A M
relativitas manusia. Sila kelima mengandung nilai keadilan so­sial, dan

D
NA
nilai terakhir ini adalah aksiologi dan teleologis dari nilai-nilai Pancasila

PRE
secara keseluruhan.
Dalam ruang kosmik religius-komunal-kebhinnekaan, apakah
meng­­hilangkan sama sekali ide atas perlindungan hak fundamental
manusia yaitu hak asasi manusia? Tidak sama sekali. Gagasan ber­
ketuhanan tidak pernah dilepaskan dalam hubungan ­kemanusia­an.
Berketuhanan tidak terlepas dari perikemanusiaan yang adil dan ber­
adab. Melindungi hak komunal sebagai perlindungan yang utama
juga menempatkan individu-individu di dalamnya untuk dilindungi
haknya. Untuk itu, yang lebih tepat adalah kemerdekaan individu se­
bagai pengganti kata kebebasan individu dalam hukum. Kebebasan
dapat berarti membuang jauh ide dan cita hukum religus-komunal-
kebhinnekaan dalam konstruksi falsafah hukum Pancasila.
Ia merdeka untuk berbuat, merasa, bersikap, dan bertindak selama
dalam bingkai kemerdekaannya sebagai manusia. Kemerdekaan di sini
bukanlah kebebasan tak berbatas, karena kebebasan mutlak hanyalah
utopia, ia akan selalu terbatasi kebebasannya oleh kebebasan orang
lain. Maka, ruang dinamika gerak manusia akan selalu berada dalam
bingkai optik ketuhanan dan sekaligus optik komunal: kebersamaan

132
3  Nilai Spiritualisme dalam Filsafat Pancasila

dengan manusia lainnya. Dua nilai yang akan selalu menjadi pembatas:
Kehendak Tuhan dan kehendak manusia lainnya.13 Ruang komunal ini
memiliki sebuah kekhasan tertentu, yaitu: keberagaman. Kebersamaan
ini merupakan ruang dinamis, di dalamnya terdapat kerja sama untuk
saling bergotong royong antar-individu dan kelompok. Kebersamaan
ini berada dalam ruang multikultur, multi-etnik, multibahasa, dan
multireligi. Maka ruang komunal ini menjadi ruang yang diisi oleh
proses penerimaan antar-beragam unsur budaya, religi, dan nilai-
nilai yang membentuknya. Layak apabila dinyatakan, bahwa komunal
bangsa Indonesia adalah komunal keragaman, komunal kebhin­ne­ka­
an. Jika dikaitkan dengan eksistensi keyakinan akan wujud Imma­teri
Tuhan, maka dapat dinyatakan sebagai: religius-komunal-kebhinne­
kaan. Ni­lai religius-komunal-kebhinnekaan ini diturunkan dari nilai
falsafah Pan­­casila sebagai staatsfundamentalnorm. Darinya akan di­
ben­tuk grun­dnorm yaitu Konstitusi, Undang-Undang Dasar.

P
Pada kondisi, inilah maka manusia Indonesia menyadari akan arti
penting falsafah hukum Pancasila sebagai sebuah kebenaran. Bahwa

RO U
G
manusia Indonesia menyadari akan posisinya dalam hubungannya

I A
dengan Allah sebagai bentuk Tauhid dan kebersamaan dengan manusia

ED
lainnya. Manusia Indonesia berhukum dengan dua nilai tersebut,

A M
sehingga ketika terdapat keberlakuan hukum yang menghilangkan

D
NA
konsep religius atau komunal-kebhinnekaan, maka ia akan terasing

PRE
de­ngan hukumnya sendiri. Hukum mengajarkan, bahwa ia lahir dan
berkembang bersama dengan jiwa bangsanya. Jiwa bangsa Indonesia
akan melahirkan hukum yang sesuai dengan ruang jiwa bangsa In­
donesia. Forma hukum baik hukum negara maupun hukum rakyat
secara ideal akan terisi oleh dua nilai utama sebagai esensi dari hukum:
Nilai Religiusitas dan Nilai Komunalitas-Kebhinnekaan.14

13
Kehendak bebas manusia selalu ditentangkan dengan kehendak absolut Tuhan
atas diri manusia. Keterikatan dan ketergantungan ataukah kebebasan? Hubungan ini
menjadi perdebatan dalam kalangan Islam terdidik, khususnya. Hakikat gerak manusia
selalu dikaitkan dengan fungsi akal yang menopang gerak kehendak manusia. Pada sisi
lain, terdapat kehendak Tuhan yang mengendalikan perilaku manusia dalam konsep
takdir Tuhan. Dalam hal ini, maka sesungguhnya kedua kehendak tersebut tidak perlu
dipertentangkan. Tuhan memberikan ruang kebebasan untuk berkreasi bertindak dengan
akalnya, akan tetapi ruang kreasi gerak itu tidaklah bebas secara penuh atau mutlak.
Kebebasan manusia adalah utopia karena tidak ada yang bebas mutlak, tetapi bebas
dalam keterikatannya atas kehendak Tuhan. Ia bebas dalam ruang keterbatasannya. Ia
selalu menghadirkan Tuhan untuk menyelaraskan hubungannya dengan Tuhan. Lihat:
Fokky Fuad, Filsafat Hukum, Akar Religiositas Hukum, (Jakarta: Kencana, PrenadaMedia
Group, 2015), h. 20-32.
14
Konsep hukum Barat melihat hubungan antara individu dan komunal bertolak
dari keyakinan bahwa manusia diciptakan sebagai makhluk yang bebas dan sederajat,
men are created free and equal. Konsep filsafat Pancasila bertolak dari sebuah konsep

133
spiritualisme pancasila

Mewujudkan nilai-nilai falsafah Pancasila sebagai sebuah nilai-


nilai fundamen hukum Indonesia bukanlah hal yang mudah untuk
dilakukan. Nilai-nilai hukum Barat yang sangat logis individual telah
tertanam dengan asas konkordansi secara empirik telah begitu jauh
dari ruang berpikir pembelajar hukum di Indonesia. Maka, untuk
membentuk kembali kesadaran akan gagasan falsafah hukum Pan­ca­
sila perlu kembali menuangkan pemikiran-pemikiran klasik dan kon­
temporer akan falsafah Pancasila.
Buya Hamka menjelaskan, bahwa Pancasila sebagai landasan fal­
safah bangsa Indonesia terbentuk oleh pengakuan manusia Indonesia
atas eksistensi Tuhan pada dirinya. Tuhan, menurut Buya Hamka, lebih
dahulu ada daripada manusia, dan Tuhan berkehendak atas bangsa
Indonesia berupa kemerdekaan. Ia menolak Pancasila semata hanya
dimaknai sebagai gotong royong seperti ide dan gagasan Soekarno,15
karena ketika hanya menempatkan gotong royong sebagai inti Pan­casila

P
berarti menafikan peran Tuhan dalam proses pembentukan bangsa
Indonesia. Buya Hamka bahkan menjelaskan, bahwa Ketuhanan Yang

RO U
G
Maha Esa sebagai urat tunggang Pancasila. Sila Ketuhanan Yang Maha
Esa melahirkan sila-sila Pancasila lainnya.16

ED I A
Pemikiran Buya Hamka ini membuktikan bahwa ruang kosmik

A M
manusia Indonesia tidaklah terlepas pada keyakinan atas eksistensi

D
NA
Yang Maha Gaib yaitu Allah. Manusia menyadari bahwa hubungan

PRE
interaksi manusia selalu tidak terlepas dari interaksinya kepada Allah
selaku Tuhannya. Membangun manusia tidak semata membangun
kon­sep-konsep akal budi sebagai gerak kendali perilaku, tetapi juga
dengan meletakkan gagasan ketuhanan sebagai kendali peri­ laku.
Gotong royong yang membangun nilai kebersamaan sesama manusia
sebagai sebuah gerak dinamis dikukuhkan pula oleh semangat ber­

bahwa manusia diciptakan dalam kebersamaan dengan sesamanya. Konsep Timur yang
terwujud dalam Pancasila ini sering kemudian disalahtafsirkan untuk menciptakan
sebuah kekuasaan yang otoriter ketika tidak memberikan ruang bagi individu. Kesalahan
utama adalah terciptanya misinterpretasi terhadap menerapkan gagasan Pancasila
dan UUD 1945. Lihat: Soediman Kartohadiprodjo, Pancasila sebagai Pandangan Hidup
Bangsa Indonesia, (Jakarta: Gatra Pustaka, 2010), h. 31.
15
Pada pidato dalam rapat BPUPKI Bung Karno menjelaskan gagasan agung Panca­
sila pada 1 Juni 1945. Beliau menjelaskan bahwa Pancasila dapat diperas menjadi Trisila
yaitu: Sosio-nationalisme, sociodemocratie, dan Ketuhanan dan kemudian Trisila dapat
diperas lagi menjadi Eka Sila yaitu: Gotong Royong. Gotong Royong adalah sifat komunal
dinamis bangsa Indonesia untuk menggambarkan satu usaha, satu amal, satu pekerjaan.
Lihat: Erman Rajagukguk, Sejarah Hukum Lahirnya Pancasila dan Masalahnya Dewasa
Ini, (Jakarta: Penerbit FHUI, 2016), h. 85-86.
16
Hamka, Dari Hati ke Hati tentang Agama, Sosial-Budaya, Politik, (Jakarta: Pustaka
Panji­mas, 2005), h. 242-244.

134
3  Nilai Spiritualisme dalam Filsafat Pancasila

tuhan untuk menyempurnakan peran akal dalam gerak dinamis ter­


sebut. Membangun manusia berarti membangun sebuah nilai-nilai
keadaban, manusia yang memahami bahwa ada kekuatan di luar diri­
nya yang mengendalikan, mengatur ruang kosmik hidupnya. Ia me­
nya­dari bahwa ia tak hidup sendiri, ia hidup bersama dengan lainnya
dalam rumah Indonesia dengan semangat kegotongroyongannya.
Ini­lah pencapaian kesempurnaan manusia Indonesia yang kini mulai
tergantikan oleh penanaman nilai baru berupa euforia kebebasan.
Kebebasan yang mengusung nilai-nilai baru memberikan ruang
baru bagi dinamika hukum. Ruang kesadaran baru dibuka dengan
meletakkan gagasan hukum liberal yang memberikan keleluasaan
­in­di­vidu. Hak komunal perlahan mulai tersingkirkan dalam wacana
pem­belajaran hukum. Ketentuan peraturan perundangan mulai meng­
adopsi gagasan-gagasan kebebasan individual untuk meng­eksploi­tasi
segenap sumber daya yang ada. Beragam peraturan hukum diberla­

P
ku­kan tidak lagi mengadopsi Pancasila sebagai staatsfundamental
norm. Peraturan perundangan sudah begitu asing dengan semangat

RO U
G
ke­adilan sosial sebagai sebuah aksiologi pembentukan hukum yang

I A
paripurna. Gagasan baru melalui penanaman nilai-nilai baru sudah

ED
tidak lagi memberikan ruang bagi nilai ketuhanan dalam hukum. Nilai

A M
ketuhanan tidak sekadar diartikan sebagai pelaksanaan perundangan

D
NA
syariah semata, tetapi jauh lebih dari itu memberikan ruang bagi

PRE
semangat berketuhanan melalui hukum dengan penanaman nilai-
nilai kebajikan moral. Ketika Pancasila dengan segenap nilainya su­
dah mulai kabur dalam pandangan optik hukum, sedangkan pada sisi
lainnya begitu besar ilmu hukum memberikan ruang bagi ekspresi
individu.
Dunia hukum menjadi semakin jauh dari nilai-nilai dasarnya,
semakin jauh moral dan roh falsafah Pancasila, semakin jauh dari
idealita, yang tersisa adalah pencapaian keuntungan ekonomi semata
sebagai motif utama. Penghilangan Pancasila dalam pembelajaran
studi ilmu hukum khususnya dalam kajian filsafat hukum juga ber­
dampak pada pelemahan pemahaman atas falsafah hukum Pan­
casila dalam ruang dogmatika hukum. Para Bapak Bangsa seperti:
Soe­karno, Buya Hamka, dan Natsir mengedepankan terlebih dahulu
lan­dasan-landasan falsafahnya terlebih dahulu, sebelum meletakkan
dogma hukum sebagai aturan pelaksanaan hukum secara empirik.
Reaktualisasi Pancasila dalam kehidupan berhukum dimulai dengan
reaktualisasi pendidikan falsafah hukum Pancasila sebagai akar fal­
safah bangsa Indonesia.

135
spiritualisme pancasila

Secara epistemologis, maka metode pembelajaran hukum kini


selayaknya memberikan ruang pada diskursus nilai religius-komunal
sebagai esensi Pancasila. Ia diajarkan tidak saja sebagai bentuk dari
kebutuhan ilmu pengetahuan hukum, tetapi lebih dari itu adalah ada­
nya keperluan untuk menanamkan nilai-nilai luhur Pancasila ke da­
lam beragam aturan hukum sebagai kebutuhan bangsa. Pendidikan
hukum harus memberikan ruang bagi penyadaran akan nilai-nilai
re­li­­giusitas, kegotong royongan, kekeluargaan, serta keadilan sosial
bagi pembelajar hukum. Pembelajaran hukum kembali menuangkan
lan­­dasan Pancasila dengan menanamkan nilai-nilai luhur bangsa
Indonesia sebagai penyeimbang dari konsep-konsep pembelajaran
hukum liberal. Pembelajaran ini menjadi begitu penting dalam stu­di
hukum untuk menyadarkan nilai-nilai luhur yang pernah di­ajar­kan
oleh para tua-tua, leluhur, dan kini merupakan momentum yang te­
pat mengingat mulai pudarnya nilai-nilai religiusitas dan kego­tong-

P
royongan di tengah masyarakat.17
Beberapa pertanyaan penting dalam kajian falsafah hukum Pan­

RO U
G
casila ini adalah: apakah falsafah hukum Pancasila sama dan sebangun

I A
dengan filsafat hukum alam? Filsafat hukum alam berintikan pada ajar­

ED
an moral yang meletakkan Tuhan sebagai kendali atas perilaku manu­

A M
sia. Hukum adalah benar ketika ia mampu merefleksikan ke­hendak-

D
NA
ke­hendak Tuhan. Dalam gagasan ini tampak, bahwa falsafah hukum

PRE
Pancasila sebangun dengan filsafat hukum alam. Perlu dipikirkan
lebih jauh, bahwa falsafah hukum Pancasila merupakan gagasan yang
me­letakkan dua komponen nilai utama: nilai religiusitas dan nilai
ko­munal. Nilai Religiusitas meletakkan nilai ketuhanan Yang Maha

17
Mengenai Pancasila, Bung Karno pernah menyatakan: buanglah sama sekali
paham individualism itu, janganlah dimasukkan dalam Undang-Undang Dasar kita
yang dinamakan rights of citizens, maka karena itu jikalau kita betul-betul hendak
melaksanakan negara kita pada paham kekeluargaan, paham tolong menolong, paham
gotong royong dan keadilan sosial, enyahkanlah tiap-tiap pikiran, tiap-tiap paham
individualism, dan liberalism daripadanya. Keberanian menunjukkan bahwa kita tidak
hanya membebek kepada contoh undang-undang yang baru, yang berisi kepahaman
keadilan, yang menentang individualism dan liberalism, yang berjiwa kekeluargaan dan
gotong royong. Pada keadaan ini tampak, bahwa Bung Karno menolak konsep hak asasi
manusia karena jiwa Pancasila adalah kekeluargaan. Lihat: Soediman Kartohadiprodjo,
Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia, (Jakarta: Penerbit Gatra Pustaka,
2010), h. 61-62. Pendapat Bung Karno ini memang perlu dikritisi dalam konteks keki­
nian, di mana gagasan dan konsep hak asasi manusia merupakan gagasan universal.
Penyelenggaraan kekuasaan yang terlalu kuat tanpa kendali pada satu sisi akan meng­
hancurkan nilai-nilai hak asasi manusia sebagai hak fundamental yang melekat pada
setiap diri manusia. Hak asasi manusia berupaya untuk melindungi nilai-nilai ke­ma­
nusiaan manusia. Dalam kaitan ini maka perlu terjadi titik temu antara gagasan dan
konsep religius-komunal dengan hak asasi manusia yang lebih melindungi individu.

136
3  Nilai Spiritualisme dalam Filsafat Pancasila

Esa sebagai nilai utama yang dengannya terbangun nilai berikutnya


yaitu nilai komunal. Nilai ketuhanan tampaknya sebangun ide Tuhan
dalam hukum alam, akan tetapi hukum alam religius menolak konsep
hak individu sehingga pendukung hak individu mendukung gagasan
Hukum Alam Rasional yang lebih melindungi hak-hak manusia. Dalam
gagasan hukum alam rasional, Tuhan diletakkan sebagai pendorong
akan gagasan kebajikan, baik buruk, benar-salah yang mengutamakan
akal manusia. Dalam falsafah hukum Pancasila, ide-ide Ketuhanan
dipadukan dengan keadaan hidup bersama manusia. Hukum yang be­
nar adalah hukum yang meletakkan fondasi ilahiah dan kemanusiaan
secara seimbang.
Dalam keadaan pengakuan kepada Allah Tuhan Yang Maha Esa,
bangsa Indonesia mengakui adanya kekuatan terhadap proses dina­
mika bangsa sejak penciptaan bangsa, kemudian berkembang dinamis
hingga mencapai kesempurnaan pada hakikatnya adalah berada da­

P
lam kehendak sekaligus kepemimpinan Tuhan. Nilai ketuhanan se­
lalu diikuti oleh nilai kemanusiaan, di mana manusia tercipta secara

RO U
G
bersama manusia lainnya atas kehendak-Nya. Di sinilah nilai ketuhan­
an kemudian menumbuhkan nilai-nilai komunal.

ED I A
Nilai-nilai komunal sebagai karakter falsafah keindonesiaan tidak

A M
tampak dalam gagasan hukum alam. Hukum alam meletakkan Tuhan

D
NA
sebagai penentu kebenaran gerak alam, sebagai contoh perilaku ke­

PRE
patuhan. Gagasan falsafah hukum Pancasila meletakkan sebuah ruang
ilahiah dan kegotong-royongan sebagai gerak dinamis manusia yang
tidak dapat terlepas dari manusia yang lain. Hak-hak asasi manusia
dalam konstruksi filsafat hukum alam rasional yang mengagungkan
akal pikir juga terealisasi dalam gagasan falsafah hukum Pancasila.
Ruang-ruang dinamika nilai individu berada dalam sebuah lingkaran
nilai komunal tanpa saling menindas di antara nilai individu dan nilai
komunal. Konsep manusia dalam falsafah hukum Pancasila adalah
monopluralis,18 ia menyadari kedudukannya sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dari arena-arena sosial. Ia sebagai pribadi yang harus di­
hormati hak-hak privatnya, pada saat yang bersamaan ia menyadari
posisinya sebagai bagian dari lingkungannya.
Dalam nilai komunal terdapat nilai individu, karena pada dasarnya
nilai komunal terbentuk dari satuan individu. Akan tetapi, mengingat
po­sisi nilai komunal berada pada lingkaran luarnya yang melindungi

18
Kaelan, Negara Kebangsaan Pancasila, Kultural, Historis, Filosofis, Yuridis, dan
Aktua­lisasinya, (Yogyakarta: Penerbit Paradigma, 2013), h. 516.

137
spiritualisme pancasila

nilai dan hak individu di dalamnya, maka nilai komunal tampak me­
miliki ruang yang lebih besar dibandingkan nilai individu. Di sinilah
pertemuan kedua nilai dalam falsafah hukum Pancasila. Kebenaran
dalam gagasan falsafah hukum Pancasila selalu melihat pada nilai
­ke­tuhanan sebagai kebenaran tertingginya. Kebenaran ini akan diak­­
tua­l­isasikan dalam ruang gerak dinamika sosial-komunal, dan kebe­
naran nilai komunal tidak mengabaikan nilai kebenaran individu.
Mengapa demikian? Karena aksiologi dalam falsafah hukum Pancasila
adalah mencapai sebuah keadilan sosial dan bukan keadilan individu
semata.

4. Konklusi
Falsafah hukum Pancasila adalah sebuah keniscayaan, ia ada
sebagai bentuk dari nilai-nilai luhur bangsa Indonesia. Dalam falsa­
fah hukum Pancasila dapat terlihat paduan utama nilai hukumnya

UP
yaitu: Nilai Religius dan Nilai Komunal. Nilai religius adalah sebuah

RO
pengakuan manusia atas eksistensi Tuhan yang mengendalikan alam

G
semesta dan manusia. Nilai ini menuntun manusia Indonesia dalam

ED I A
bertindak, berbuat, dan berinteraksi dengan sesama manusia, dan

M
dengan lingkungannya. Dalam hubungan interaksi dengan sesama dan

D A
lingkungannya, maka tercipta nilai kedua yaitu nilai komunal. Nilai

NA
kedua ini merupakan turunan dari nilai pertama sebagai nilai yang

PRE
utama dan pertama. Nilai komunal ini merupakan bentuk kesadaran
akan kebersamaan sebagai sebuah bangsa yang bersatu. Kesadaran
akan eksistensi Tuhan sebagai pengendali diwujudkan dalam nilai-
nilai komunal.
Pada hakikatnya, berbuat baik dan benar adalah dalam hubungan
erat dengan pelaksanaan kehendak-kehendak Tuhan. Dalam posisi ini
kebenaran hukum yang tercipta adalah kebenaran yang berkait de­
ngan fungsi nilai ketuhanan dan fungsi akal. Falsafah hukum Pancasila
mencoba menuangkan dua fungsi nilai tersebut secara operasional
dalam bentuknya yaitu peraturan perundang-undangan serta putusan-
putusan lembaga peradilan di Indonesia.

138
4
hak asasi manusia
dalam pancasila

A. Sejarah Hak Asasi Manusia


Awal mula perkembangan hak asasi manusia dimulai pada 1215

UP
RO
dengan munculnya Magna Charta (Piagam Agung), yaitu per­juangan

I A G
di kalangan para bangsawan Inggris yang membatasi kekua­saan Raja

ED
John. Demikian pula pada abad ke-17, ketika tidak ada harapan bahwa

M
keadilan dapat diwujudkan, perjuangan untuk menegakkan hak asasi

D A
manusia berjalan terus. Melalui pergolakan dan perundingan yang

NA
lama akhirnya Bill of Rights (Undang-Undang Hak) diterima oleh Raja

PRE
William III pada 1869. Bill of Rights merupakan suatu ­nas­kah per­
undang-undangan yang dihasilkan melalui suatu revolusi tak ber­darah
(the Glorius Revolution of 1688) terhadap Raja James II.
Perjuangan yang yang serupa juga berlangsung di Perancis dan
Amerika Serikat. Dengan gigih rakyat Perancis menentang Raja di­
nasti Bourbon yang memerintah dengan kekuasaan mutlak. Melalui
per­juangan yang dikenal dengan revolusi Perancis (1789) kemu­dian
menghasilkan Declaration droits de I’homme et du Citoyen (pernyataan
hak asasi manusia dan warga negara). Dalam tahun yang sama, per­
juangan rakyat Amerika Serikat berhasil membuahkan Bill of Rights
yang kemudian menjadi bagian dari Undang-Undang Dasar Amerika
Serikat pada 1791.
Timbulnya gagasan mengenai hak ini pada dasarnya merupakan
akibat dari perkembangan aliran rasionalisme. Pemikiran ini tercermin
dalam karya-karya Thomas Hobbes (1588-1679), John Locke (1632-
1704) keduanya dari Inggris dan Montesquieu (1689-1755) serta Rous­
seau (1712-1778) dari Perancis. Aliran pemikiran yang rasional ini ingin
spiritualisme pancasila

membebaskan zaman dari kungkungan masa feodal yang diseleng­


garakan oleh raja yang absolut dan kungkungan gereja. Dalam bidang
politik, aliran ini ingin mencari dasar yang rasional bagi kekuasaan.
Mereka menolak dasar pemikiran absolutisme bahwa kekuasaan raja
berlandaskan agama (divine right of the kings) dan karena itu tidak
boleh diganggu gugat. Sebaliknya, mereka berpendapat bahwa hu­bu­
ngan antara rakyat dan raja berdasarkan pertimbangan rasional.
Untuk mengembangkan gagasannya, akhirnya mereka kemudian
melahirkan teori baru untuk menghadapi masa pada waktu itu. Teori
yang muncul dan kemudian berkembang dinamakan dengan teori
kon­trak sosial (perjanjian masyarakat). Dalam teori ini, dinyatakan,
bahwa manusia memiliki hak alami yang perlu dilindungi jika manusia
ingin hidup secara beradab dan bermasyarakat. Untuk memperoleh
per­lindungan itu, manusia bersedia untuk menyerahkan sebagian dari
hak itu kepada raja atau pemimpin atas dasar semacam kontrak, de­

P
ngan ketentuan, bahwa manusia bersedia menaati raja, asalkan hak-
hak mereka dilindungi.

RO U
G
Di bawah ini akan diulas secara singkat pemikiran dari aliran kon­

I A
trak sosial yang berkembang pada waktu itu. Dalam penjabarannya,

ED
para filsuf ini tidak selalu sepaham. Hobbes misalnya berpendapat,

A M
bahwa manusia menyerahkan hampir semua haknya dan bahwa raja

D
NA
harus mempunyai kekuasaan yang besar untuk melaksanakan ke­ter­

PRE
tiban dalam masyarakat karena manusia bersifat egois dan me­ngejar
ke­pentingan diri sendiri. Dengan demikian, raja yang kuat ­ham­pir
mirip dengan raja yang absolut, sebaliknya Locke dan dan ­Mon­tesquieu
memperjuangkan pemerintahan yang terbatas.

1. Thomas Hobbes (1588-1679)


Hobbes mengemukakan bahwa kehidupan manusia terpisah
da­­lam dua zaman, yakni keadaan selama belum ada negara (state of
nature) dan keadaan setelah adanya negara. Keadaan sebelum adanya
ne­gara (state of nature), Hobbes menggambarkan suatu keadaan yang
sangat kacau jauh dari keadaan sentosa dan kemakmuran serta ke­
ter­tiban. Keadaan ini dilukiskan oleh Hobbes dengan Homo Ho­mini
Lupus (manusia yang satu merupakan serigala bagi manusia yang
lain­nya) serta antara satu manusia dengan manusia yang lain sa­ling
bermusuhan, saling berperang satu melawan yang lain (bellum om­
nium contra omnes). Dalam keadaan ini, hukum dibuat oleh mereka
yang secara fisik merupakan orang terkuat sehingga yang lemah men­
jadi mahluk yang inferior bagi yang lainnya.

140
4  Hak Asasi Manusia dalam Pancasila

Keadaan ini, menurut Hobbes, tidak bisa dibiarkan secara terus-


menerus, karena akan menghilangkan kelanjutan dan spesies mereka
sendiri. Untuk itu, di antara anggota masyarakat harus mengada­kan
perjanjian bersama. Dalam perjanjian itu semua orang harus menye­
rahkan semua hak-hak kodrat yang dimilikinya kepada sese­orang atau
sebuah badan.
Bagi Hobbes, hanya ada satu buah perjanjian yakni pactum sub­
jektionis atau perjanjian pemerintahan dengan cara segenap individu
yang berjanji menyerahkan semua hak-hak kodrat mereka yang di­
miliki ketika hidup dalam keadaan alamiah kepada seseorang atau
sekelompok orang yang ditunjuk untuk mengatur kehidupan mereka.
Akan tetapi, perjanjian saja belum cukup, orang atau sekelompok orang
yang ditunjuk itu harus diberikan kekuasaan. Negara atau seseorang
yang diberikan kekuasaan itu seperti Leviathan (Monster Laut yang
menakutkan yang memakan binatang yang berada di sekitarnya).

P
Kekuaasaan Leviathan ini bersifat mutlak atau absolut dan tidak bisa
ditandingi dan disaingi oleh kekuasaan apa pun. Atas dasar pemikiran

RO U
G
ini, maka Hobbes dikenal dengan peletak monarki absolut.

2. John Locke (1632-1704)


ED I A
D A M
Gagasan keadaan alamiah John Locke merujuk pada keadaan di

NA
mana manusia hidup dalam kedamaian, kebajikan, saling melindungi,

PRE
penuh kebebasan, tak ada rasa takut, dan penuh dengan kesetaraan.
Manusia dalam keadaan alamiah, menurut Locke, pada dasarnya baik,
selalu terobsesi untuk berdamai dan menciptakan perdamaian, saling
tolong menolong, dan telah mengenal hubungan sosial.
Keadaan alamiah yang penuh damai itu berubah setelah manusia
menemukan sistem moneter dan uang. Inilah sumber malapetaka bagi
manusia menurut Locke. Sebelum ditemukannya uang, perbedaan
kekayaan antara sesama manusia tidak begitu mencolok sebab orang
tidak akan mengumpulkan benda-benda kebutuhan hidupnya mele­
bihi apa yang dibutuhkan dan dikonsumsinya.
Locke adalah salah satu penganjur bagi suatu pemerintahan yang
terbatas. Dengan gagasannya yang terkenal monarki konstitusional,
Locke menghendaki kekuasaan raja yang terbatas. Kekuasaan raja
ini dibatasi oleh suatu perundang-undangan yang jelas sehingga raja
memiliki aturan main yang tidak dapat berbuat sekehendaknya. De­
ngan kekuasaan raja yang dibatasi, maka kemungkinan pelanggaran
hak asasi manusia yang dilakukan oleh raja dapat diminimalisasi.

141
spiritualisme pancasila

Pemikiran Locke inilah yang menjadi sumber inspirasi bagi rakyat


Amerika dalam perjuangan melawan raja Inggris.

3. Jean Jacques Rousseau (1712-1778)


Rousseau merupakan tokoh yang pertama kali menggunakan is­
tilah kontrak sosial dengan makna dan orisinalitas sendiri. Keadaan
alamiah, menurut Rousseau digambarkan dengan keadaan yang aman
dan bahagia. Dalam keadaan ini individu bebas dan sederajat, semua­
nya dihasilkan sendiri oleh individu dan individu merasa tidak puas.
Karena keadaan tidak dapat dipertahankan terus, maka manusia de­
ngan penuh kesadaran mengakhiri keadaan itu dengan suatu kontrak
sosial.
Rousseau hanya mengenal satu buah perjanjian masyarakat yaitu
pactum unionis. Pactum subjektionis yang membentuk pemerintah
yang harus ditaati tidak dikenal oleh Rousseau. Pemerintah, menurut

UP
Rousseau, tidak mengenal dasar kontraktual, hanya organisasi poli­

RO
tik­lah yang dibentuk dengan kontrak sosial. Pemerintah sebagai pim­

G
pinan organisasi itu dibentuk dan ditentukan oleh yang berdaulat dan

ED I A
merupakan wakil-wakilnya. Yang berdaulat menurut Rousseau ada­

M
lah seluruh rakyatnya melalui kemauan umum. Kemauan umum ini

D A
bersifat mutlak. Adakalanya terdapat perbedaan-perbedaan antara

NA
ke­­mauan umum dan kemauan seluruh rakyat. Kemauan umum selalu

PRE
benar dan ditujukan untuk kepentingan bersama, sedangkan kemauan
seluruh rakyat juga memperhatikan kepentingan individual.
Dengan konstruksi perjanjian masyarakat itu, Rousseau mengha­
silkan bentuk negara yang kedaulatannya berada dalam tangan rakyat
melalui kemauan umumnya. Ia adalah peletak dasar paham kedau­lat­­an
rakyat atau jenis negara yang demokratis, yakni rakyat yang berdaulat
dan penguasa-penguasa negara hanya merupakan wakil-wakil rakyat.
Pemikiran-pemikiran dari teori kontrak sosial ini telah banyak
mengilhami perjuangan rakyat, khususnya di Amerika Serikat, Inggris,
dan Perancis dalam melawan kekuasaan raja. Pemikiran mereka ini­
lah yang banyak mewarnai konstitusi di negara Amerika Serikat dan
perkembangan di banyak negara-negara lain. Gagasan pemerintahan
yang terbatas dan perlindungan hak asasi manusia merupakan suatu
pemikiran yang sejalan dengan kodrat manusia yang memiliki hak
asasi yang harus dilindungi oleh negara.
Dalam pada itu, pecah perang dunia II telah menggeser hak asasi
manusia ke pinggir kehidupan umat manusia. Penguasa fasis Jerman
dengan tegas menyangkal persamaan di antara umat manusia mau­

142
4  Hak Asasi Manusia dalam Pancasila

pun individu sebagai pribadi yang rasional. Kekejaman kaum fasis


telah melahirkan dimensi baru dalam perkembangan hak asasi ma­
nusia. Jika pada masa sebelumnya pemikiran hak asasi manusia ha­
nya berdasarkan dimensi politis, akan tetapi setelah adanya bahaya
fasisme kemudian bergeser ke masalah sosial, ekonomi, dan budaya.
Presiden Amerika Serikat, misalnya, pada permulaan perang dunia
II merumuskan empat kebebasan (the four freedom) yang terdiri atas
kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat, kebebasan beragama,
kebebasan dari rasa ketakutan, dan kebebasan rasa kemelaratan atau
kekurangan pangan.
Setelah berakhirnya perang dunia II, hak-hak tersebut dicantum­
kan dalam pernyataan sedunia mengenai hak asasi manusia (univer­
sal declaration of human rights), yang kemudian diterima oleh sidang
umum perserikatan bangsa-bangsa pada 1948. Tetapi per­nya­­taan ini
sendiri tidak sanggup menuntaskan masalah-masalah penin­dasan di

P
berbagai macam belahan negara yang ada di dunia. Sehingga, ke­mu­
dian perserikatan bangsa-bangsa berniat untuk merumuskan lan­­dasan

RO U
G
yuridis yang mempunyai kekuatan mengikat bagi seluruh negara di

I A
dunia. Maka, pada 1966 Sidang Umum PBB menyetu­jui dua per­jan­jian

ED
internasional, yaitu perjanjian tentang hak-hak ekonomi, sosial bu­da­

A M
ya, (covenat on economic, sosial and cultural rights) dan perjanjian ten­

D
NA
tang hak-hak sipil dan politik (covenant on civil and political rights).

PRE
Secara institusional, kedua perjanjian tersebut dapat dianggap
sebagai peraturan pelaksanaan dari naskah pokok pernyataan umum
mengenai hak asasi manusia. Sehingga, memberikan ratifikasi terha­
dap kedua perjanjian itu akan sangat penting, artinya secara yuridis,
sedikitnya sebagai bukti akan adanya hasrat yang tulus untuk mem­
perjuangkan dan berperan serta dalam menegakkan hak asasi manusia.
Perjanjian ini baru dapat dilaksanakan setelah 35 negara ikut menan­
datangani, karena salah satu syarat yang harus dipenuhi bagi perjanjian
tersebut minimal ditandatangani oleh 35 negara.
Kedua perjanjian ini telah memberikan pengaruh yang sangat
besar dalam mewarnai dinamika hubungan antarbangsa. Dengan
adanya perjanjian ini, maka setiap bangsa yang berada di dunia ha­rus
menghormati secara ekonomi, politik, sosial, dan budaya dari suatu
bangsa dan setiap orang. Oleh karena itu, semua tindakan yang ber­ten­
tangan tidak boleh dilakukan. Setelah adanya kedua perjanjian ini telah
mengilhami munculnya bentuk kesepakatan lain dalam melindungi
hak asasi manusia.

143
spiritualisme pancasila

B. Macam-macam Hak Asasi Manusia


Hak asasi manusia dapat dibagi atau dibedakan sebagai berikut:
1. Hak asasi pribadi atau personal right yang meliputi kebebasan
menyatakan pendapat, kebebasan memeluk agama, kebebasan
bergerak.
2. Hak asasi ekonomi atau proverty rights yaitu hak untuk memiliki
sesuatu, membeli, dan menjualnya serta memanfaatkannya.
3. Hak asasi untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum
dan pemerintahan atau yang biasa disebut dengan rights of legal
equality.
4. Hak asasi politik atau political rights yaitu hak untuk ikut serta
dalam pemerintahan, hak pilih (memilih dan dipilih dalam pe­
milu), hak mendirikan partai politik.
5. Hak asasi sosial dan kebudayaan atau social and culture rights,

P
misalnya hak untuk memilih pendidikan dan mengembangkan
kebu­da­yaan.

RO U
G
6. Hak asasi untuk mendapatkan tata cara peradilan dan perlin­dung­

I A
an atau procedural rights, misalnya peraturan dalam hal penang­

ED
kapan, penggledahan, peradilan dan sebagainya.

D A M
NA
PRE
C. Hak Asasi Manusia Berdasarkan Pancasila
Konsep hak asasi yang berlaku di Indonesia adalah penjabaran
dari sila kemanusiaan yang adil dan beradab dan disemangati oleh
sila-sila lainnya dari Pancasila. Hak asasi manusia ditinjau dari sila-sila
Pancasila mempunyai definisi sebagai berikut:
1. Hak asasi manusia menurut sila “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Sila ini mengandung pengakuan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
dan menjamin setiap orang untuk melakukan ibadah menurut
agama dan keyakinannya masing-masing. Sila ini, menjamin ke­
merdekaan beragama bagi setiap orang untuk memilih serta men­
jalankan agamanya masing-masing. Tuhan memandang sama
ter­hadap semua umat manusia, memerintahkan manusia untuk
berlaku adil terhadap yang lain, menghormati, dan tidak meram­
pas hak orang lain. Dengan demikian, sila ini mengandung pe­
ngakuan terhadap segenap hak asasi manusia sebagaimana ajar­an
Tuhan yang meliputi seluruh kehidupan. Ketuhanan Yang Maha
Esa adalah Kausa prima atau sebab pertama. Artinya, asal dari

144
4  Hak Asasi Manusia dalam Pancasila

segala kehidupan yang mengajarkan persamaan, keadilan, kasih


sayang, dan kehidupan yang tenteram.
2. Hak asasi manusia menurut sila kemanusiaan yang adil dan
beradab. Kemanusiaan yang adil dan beradab adalah sikap yang
menghendaki terlaksananya nilai-nilai kemanusiaan (human va­
lues), dalam arti pengakuan terhadap martabat manusia (digni­ty of
man), hak asasi manusia (human rights), dan kebebasan manusia
(human freedom).
3. Hak asasi manusia menurut sila persatuan Indonesia. Kesadar­
an kebangsaan Indonesia lahir dari keinginan untuk bersatu dari
suatu bangsa agar setiap orang menikmati hak-hak asasinya tanpa
pembatasan dan belenggu dari pihak mana pun datangnya.
4. Hak asasi manusia menurut sila kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Me­
nu­rut sila keempat, kedaulatan rakyat berarti kekuasaan dalam

P
negara berada di tangan rakyat. Kedaulatan rakyat itu terwujud
dalam bentuk hak asasi antara lain:

RO U
G
a. Hak mengeluarkan pendapat;


I A
b. Hak berkumpul dan mengadakan rapat;

ED
c. Hak ikut serta dalam pemerintahan;

A M
d. Hak menduduki jabatan.

D
NA
5. Hak asasi menurut sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat In­

PRE
do­nesia. Menurut sila kelima, setiap warga negara memiliki ke­
bebasan hak milik dan jaminan sosial, serta berhak mendapatkan
pekerjaan dan perlindungan kesehatan.

D. Hak Asasi Manusia Dalam UUD 1945


Pada 10 Desember 1948, PBB telah mengeluarkan per­ nyataan
yang bernama Universal Declaration of Human Rights. Indo­nesia se­
bagai anggota dari lembaga dunia ini juga memperhatikan masalah
ini. Walaupun kita ketahui, bahwa dasar dari deklarasi ini adalah in­
dividualisme dengan segala hak-hak yang dipunyainya, na­mun da­lam
kerangka pelaksanaannya di Indonesia, keseimbangan antara hak dan
kewajiban harus diutamakan.
Dalam alinea pertama, Pembukaan UUD 1945 dinyatakan tentang
hak kemerdekaan yang dimiliki oleh segala bangsa di dunia, maka oleh
sebab itu penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak se­
suai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.

145
spiritualisme pancasila

Di bawah ini adalah hak-hak warga negara yang ada dalam UUD
1945:
1. Hak di bidang hukum, pemerintahan, memperoleh pekerjaan, dan
upaya pembelaan negara.
a. Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam
hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan
pemerintahan itu dengan tidak ada pengecualian (Pasal 27
[1]).
b. Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidup­
an yang layak bagi kemanusiaan (Pasal 27 [2]).
c. Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya
pembelaan negara (Pasal 27 [3]**).
2. Hak di bidang politik dan hak asasi yang bersifat umum.
a. Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pi­
kir­an dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan
dengan undang-undang (Pasal 28).

UP
RO
b. Untuk hidup serta mempertahankan hidup dan kehidupan

G
(Pasal 28A) **.

ED I A
c. Membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan, hak anak

M
atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta

D A
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (Pasal 28B) **.

NA
d. Mengembangkan diri, mendapat pendidikan, memperoleh

PRE
man­faat dari IPTEK, seni dan budaya, memajukan diri secara
kolektif (Pasal 28C) **.
e. Pengakuan yang sama di hadapan hukum, hak untuk bekerja
dan kesempatan yang sama dalam pemerintahan, berhak atas
status kewarganegaraan (Pasal 28D) **.
f. Kebebasan memeluk agama, meyakini kepercayaan, memilih
kewarganegaraan, memilih tempat tinggal, kebebasan berse­
rikat, berkumpul dan berpendapat (Pasal 28E) **.
g. Berkomunikasi, memperoleh, mencari, memiliki, menyimpan,
mengolah, dan menyampaikan informasi (Pasal 28F) **.
h. Perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat,
harta benda, dan rasa aman serta untuk bebas dari penyik­
saan (Pasal 28G) **.
i. Hidup sejahtera lahir dan batin, memperoleh pelayanan ke­
sehatan, mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk
memperoleh kesempatan dan manfaat guna mencapai per­
samaan dan keadilan (Pasal 28H) **.

146
4  Hak Asasi Manusia dalam Pancasila

j. Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM


adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah (Pasal
28I) **.
k. Berkewajiban menghargai hak orang dan pihak lain serta tun­
duk kepada pembatasan yang ditetapkan UU (Pasal 28J) **.
3. Hak di bidang agama dan keyakinan terhadap Tuhan.
a. Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 29 [1])
b. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
me­­meluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat me­
nurut agamanya dan kepercayaannya itu (Pasal 29 [2])
4. Hak dan kewajiban bela negara.
a. Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam
usaha pertahanan dan keamanan negara (Pasal 30 [1]**).
b. Usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan me­
lalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh

P
TNI dan POLRI, sebagai kekuatan utama, dan rakyat, sebagai
kekuatan pendukung (Pasal 30 [2]**).

RO U
G
5. Hak pendidikan.

I A
1. Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan (Pasal
31 [1]****).
ED

A M
2. Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan

D
NA
pemerintah wajib membiayainya (Pasal 31 [2]****).

PRE
3. Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sis­
tem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan
ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang (Pasal
31 [3]****).
4. Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-ku­
rangnya 20 persen dari APBN dan APBD untuk memenuhi
ke­­butuhan penyelenggaraan pendidikan nasional (Pasal 31
[4]****).
5. Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi
de­ngan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan
bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat
manusia (Pasal 31 [5]****).
6. Hak mengembangkan budaya.
Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai
kekayaan budaya nasional (Pasal 32 [2]****).
f. Hak ekonomi
a. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas

147
spiritualisme pancasila

asas kekeluargaan (Pasal 33 [1]).


b. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan me­
nguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara (Pasal
33 [2]).
c. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat (Pasal 33 [3]).
d. Diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan
prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan,
ber­­wawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga
keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional
(Pasal 33 [4]****).
8. Hak jaminan sosial.
a. Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh
negara (Pasal 34 [1]****).

P
b. Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh

RO U
rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan ti­

G
dak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan (Pasal 34


[2]****).

ED I A
c. Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan

A M
kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak (Pasal 34

D
NA
[3]****).

PRE
E. Hak Asasi Manusia Menurut UU No. 39
Tahun 1999
Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada
hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha
Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung
ting­gi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap
orang demi kehormatan dan perlindungan harkat dan martabat
manusia.

F. Instrumen Hukum Hak Asasi Manusia


1. Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia.
2. UU No. 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Convention Against
Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Pu­

148
4  Hak Asasi Manusia dalam Pancasila

nishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau


Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Meren­
dahkan Martabat Manusia).
3. Keppres No. 181 Tahun 1998 tentang Komisi Nasional Anti Keke­
rasan Terhadap Perempuan.
4. Keppres No. 129 Tahun 1998 tentang Rencana Aksi Nasional Hak-
hak Asasi Manusia Indonesia.
5. Inpres No. 26 Tahun 1998 tentang Menghentikan Penggunaan Is­
tilah Pribumi dan Nonpribumi dalam Semua Perumusan dan Pe­
nyelenggaraan Kebijakan, Perencanaan Program, ataupun Pelak­
sanaan Kegiatan Penyelenggaraan Pemerintahan.
6. UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
7. UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
8. Amendemen kedua UUD 1945 (2000) Bab XA Pasal 28A—28J me­
ngatur secara eksplisit Pengakuan dan Jaminan Perlindungan Ter­

P
hadap Hak Asasi Manusia.

RO U
I A G
ED
G. Negara Hukum dan Hak Asasi

A M
Menjadi kewajiban dari pemerintah atau negara hukum untuk

D
NA
mengatur pelaksanaan hak asasi ini yang berarti menjamin pelaksa­

PRE
naannya, mengatur pembatasan pembatasannya demi kepentingan
umum, kepentingan bangsa dan negara. Ada kecenderungan bahwa
demi penghormatan akan perlindungan hak asasi manusia itu, maka
negara bertugas hanyalah menjaga ketertiban masyarakat, karena yang
penting dalam hal ini adalah negara tidak akan turut campur dalam
hal dianggap sebagai pelanggaran akan hak asasi itu, seperti masalah
setiap orang berjuang dan bersaing dalam kehidupan ekonomi. Dalam
hal ini, para anggota masyarakat dibiarkan bersaing dalam kehidupan
dengan suatu anggapan dasar, bahwa bila setiap orang berjuang dan
bersaing dengan melaksanakan hak asasinya, maka dengan sendirinya
masyarakat akan makmur.
Dengan menghormati hak asasi manusia itu, maka setiap orang
akan menggunakan haknya dengan sendirinya setiap orang berju­ang
untuk mencapai kemakmurannya masing-masing. Dengan ada­nya ke­
makmuran masing-masing, maka kemakmuran rakyat akan tercapai
dengan sendirinya di dalam masyarakat. Dalam hal ini, timbulah ma­
syarakat liberal, di mana individu di kedepankan peranannya.

149
spiritualisme pancasila

H. Pelanggaran Hak Asasi Manusia


Perihal pelanggaran berat yang dimaksudkan, sesuai dengan UU
No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, mencakup
Kejahatan Genosida dan Kejahatan Kemanusiaan.

1. Kejahatan Genosida
Setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghan­
curkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa,
ras, kelompok etnik, kelompok agama, dengan cara:
1) Membunuh anggota kelompok;
2) Mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap
anggota-anggota kelompok;
3) Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengaki­
batkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya;

P
4) Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kela­
hiran di dalam kelompok;

RO U
G
5) Memindahkan secara paksa anak-anak dan kelompok tertentu ke
kelompok lain.

ED I A
A M
2. Kejahatan Kemanusiaan

D
NA
Salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dan serangan

PRE
yang meluas atau sistematik yang diketahuinya, bahwa se­rangan ter­
sebut ditujukan langsung terhadap penduduk sipil, berupa:
a. Pembunuhan;
b. Pemusnahan;
c. Perbudakan;
d. Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
e. Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain
secara sewenang-wenang;
f. Penyiksaan;
g. Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemak­
saan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau
bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara;
h. Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkum­
pulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan,
etnis, budaya, agama, jenis kelamin, atau alasan lain yang telah
diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum
internasional;

150
4  Hak Asasi Manusia dalam Pancasila

i. Penghilangan orang secara paksa;


j. Kejahatan apartheid.

3. Peradilan HAM Berat


Pemeriksaan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat,
dilakukan oleh majelis hakim pengadilan HAM yang berjumlah lima
orang terdiri atas dua orang hakim pada pengadilan HAM yang ber­
sangkutan dan tiga orang hakim ad hoc.
Hakim ad hoc adalah hakim yang diangkat dan luar hakim karier
yang memenuhi persyaratan profesional, berdedikasi tinggi, meng­
hayati cita-cita negara hukum dan negara kesejahteraan yang berin­
tikan keadilan, memahami dan menghormati hak asasi manusia dan
kewajiban dasar manusia.

4. Peradilan HAM Internasional

UP
RO
Pada 1948 PBB mengeluarkan Deklarasi Universal Hak Asasi Ma­

G
nusia (Universal Declaration of Human Rights) yang menjadi dasar

I A
hukum internasional baru bagi persoalan HAM. Kemudian dibentuk­

ED
lah lembaga bernama International Criminal Court yang mulai bekerja

A M
pada 2002 untuk mengadili kejahatan perang, pembersihan etnik (ge­

D
NA
nosida), kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan agresi.

PRE
5. Proses Peradilan HAM Internasional
Dalam rangka menyelesaikan masalah pelanggaran HAM, PBB
mem­bentuk Komisi PBB untuk Hak Asasi manusia (The United Nations
Commission on Human Right). Cara kerja Komisi PBB untuk hak asasi
manusia untuk sampai pada proses peradilan internasional, mela­ku­
kan pengkajian (studies) terhadap pelanggaran-pelanggaran yang di­
la­kukan, baik dalam suatu negara tertentu maupun secara global. Ter­
hadap kasus-kasus pelanggaran yang terjadi, kegiatan komisi terba­tas
pada himbauan serta persuasi. Kekuatan himbauan dan persuasi ter­
letak pada tekanan opini dunia internasional terhadap pemerintah
yang bersangkutan.
Seluruh temuan komisi ini dimuat dalam Yearbook of Human
Rights yang disampaikan kepada Sidang Umum Perserikatan Bangsa-
Bangsa. Mahkamah Internasional sesuai dengan tugasnya, segera me­
nin­­daklanjuti baik pengaduan oleh anggota maupun warga negara
ang­gota PBB, serta hasil pengkajian dan temuan Komisi Hak Asasi

151
spiritualisme pancasila

Ma­nusia PBB untuk diadakan penyidikan, penahanan, dan proses


peradilan.

6. Proses Penegakan HAM di Indonesia


Berdasar sejarah perjuangan bangsa Indonesia, tampak adanya
upaya pemajuan, penghormatan, dan penegakan HAM di Indonesia.
Hal itu dilakukan oleh seluruh bangsa Indonesia sejak awal perjuang­
an pergerakan kemerdekaan Indonesia. Berikut ini gambaran tentang
pro­ses penegakan HAM di Indonesia.
a. Kebangkitan Nasional tanggal 20 Mei 1908 diawali dengan lahir­
nya berbagai pergerakan kemerdekaan pada awal abad XX. Peris­
tiwa ini menunjukkan kebangkitan bangsa Indonesia untuk
mem­bebaskan diri dari penjajahan bangsa lain. Dalam hal ini,
ber­arti bangsa Indonesia telah menuntut dihormatinya hak asasi
manusia yang dimiliki bangsa Indonesia berupa pembebasan diri
dari penjajahan bangsa lain.

UP
RO
b. Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928. Peristiwa ini mem­buk­

A G
tikan bahwa bangsa Indonesia menyadari haknya seba­gai bangsa

I
ED
yang bertanah air satu dan menjunjung satu baha­sa persatuan

M
Indonesia. Hal ini mencerminkan adanya upaya bangsa Indonesiaa

D A
untuk memajukan dan menegakkan hak atas kedaulatan yang

NA
dimiliki oleh negara Indonesia.

PRE
c. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus1945. Prokla­
masi ini merupakan puncak perjuangan pergerakan kemer­deka­­
an Indonesia yang diikuti dengan penetapan UUD 1945 pada
18 Agustus 1945, yang dalam Pembukaannya m ­ engama­nat­kan:
“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa,
dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus diha­
puskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan peri­
keadilan”. Selain itu, dalam pasal-pasal undang-undang da­sarnya
juga ditetapkan aturan dasar yang sangat pokok, termasuk hak
asasi manusia.
d. Pencantuman rumusan hak asasi manusia dalam UUD RIS dan
UUDS 1950. Dalam kedua konstitusi tersebut, rumusan HAM le­
bih terperinci daripada rumusan dalam UUD 1945. Hal ini ka­rena
ketentuan tentang HAM dalam konstitusi RIS 1945 dan UUDS
1950 diadopsi dari Universal Declaration of Human Rights. Peng­
adopsian ini dilakukan karena adanya kesadaran bahwa b ­ ang­sa
Indonesia sebagai anggota PBB mempunyai tanggung jawab untuk

152
4  Hak Asasi Manusia dalam Pancasila

menghormati ketentuan yang tercantum dalam de­klarasi tersebut.


e. Dengan tekad melaksanakan UUD 1945 secara murni dan kon­
se­kuen, pada sidang umum MPRS tahun 1966, telah ditetapkan
Ketetapan MPR Sementara Nomor XIV/MPRS/1966 tentang Pem­
bentukan Panitia Ad Hoc untuk menyiapkan dokumen rancangan
piagam.
f. Diterimanya hak asasi manusia serta hak dan kewajiban warga
negara untuk dibahas pada persidangan berikutnya. Hal ini dida­
sarkan pada keputusan pimpinan MPRS tanggal 6 Maret 1967
Nomor 24/B/1967, hasil kerja panitia AdHoc.
g. Terbentuknya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)
berdasarkan Keputusan Presiden No. 50 Tahun 1993.
h. Dalam sidang umum Majelis Permusyawaratan Rakyat tahun
1998, telah berhasil dirumuskan hak-hak asasi manusia dalam Ga­
ris-garis Besar Haluan Negara secara lebih terperinci.

P
i. MPR melaksanakan kewenangannya untuk mengamendemen
UUD 1945. Salah satu hasil amendemen UUD 1945 adalah menam­

RO U
G
bahkan Bab X A tentang Hak Asasi Manusia Pasal 28A-28J. Pasal-

I A
pasal tersebut secara khusus mengatur tentang hak asasi manusia.

ED
j. Pada 2000 dibentuk Undang-undang No. 26 yang mengatur ten­

A M
tang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

D
NA
PRE
7. Contoh Kasus Pelanggaran HAM di Indonesia
Banyak isu HAM mencuat di Indonesia. Isu HAM yang mencuat
di Indonesia tidak hanya berkaitan dengan pelanggaran HAM yang
dilakukan oleh pemerintah Orde Baru, tetapi juga pada masa Reformasi.
Contoh pelanggaran HAM pada Orde Baru, seperti kasus Tanjung
Priok, Haur Koneng, kasus 27 Juli tahun 1996, kasus Situbondo, kasus
Tasikmalaya, penangkapan dan pemenjaraaan atas aktivis pemuda dan
mahasiswa yang berbeda pendapat dengan pemerintah yang berkuasa,
DOM di Aceh, kasus Trisakti, dan Semanggi. Contoh pelanggaran HAM
pada era Reformasi seperti berlanjutnya penzaliman terhadap rumah-
rumah ibadah, pelanggaran HAM di Timor Leste, konflik terbuka an­
tara Dayak dan Madura di Kalimantan, konflik terbuka di Ambon dan
Poso, Perlawanan GAM di Aceh, aktivis OPM di Papua, dan kasus pem­
bunuhan Munir.
Itulah beberapa kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia.
Dari beberapa kasus pelanggaran HAM tersebut, ada yang sudah selesai
diadili seperti kasus pelanggaran HAM di Timor Leste, ada yang sedang

153
spiritualisme pancasila

dalam proses penekanan untuk diadili seperti kasus Tanjung Priok, ada
juga yang belum ditangani seperti kasus Trisakti dan Semanggi. Khusus
pelanggaran HAM di Timor Leste, penyelesaiannya dilakukan melalui
Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) Indonesia dan Timor Leste.
KKP Indonesia dan Timor Leste dibentuk berdasarkan kesepakatan
ber­sama dan Memorandum of Understanding (MoU) antara dua kepala
negara pada 14 Desember 2004.

 Latihan
Isilah latihan di bawah ini!
No. Konsep Penjelasan

1. Pengkajian

2. Penelitian

3. Penyuluhan

UP
G RO
4. Pemantauan

ED I A
5. Meditasi tentang HAM

A M
Jawablah pertanyaan di bawah ini!

D
NA
1. Mengapa pemerintah memiliki tanggung jawab utama dalam

PRE
penegakkan dan perlindungan HAM di Indonesia?
2. Jelaskan permasalahan yang dihadapi dalam penegakkan HAM
khususnya dalam bidang politik!
3. Mengapa HAM menjadi salah satu isu pokok dalam globalisasi
dewasa ini?
4. Jelaskan pentingnya kerja sama internasional dalam penegakkan
HAM?
5. Bagaimana peran LSM dalam rangka menegakkan HAM di In­do­
nesia?

154
5
pancasila dan
etika kehidupan bernegara

Pendahuluan

N UP
ilai, norma, dan moral adalah konsep-konsep yang saling ber­kait­

RO
an. Dalam hubungannya dengan Pancasila, maka ketiganya akan

I A G
memberikan pemahaman yang saling melengkapi sebagai sistem etika.

ED
Pancasila sebagai suatu sistem filsafat pada hakikatnya merupakan

M
suatu nilai yang menjadi sumber dari segala penjabaran norma, baik

D A
norma hukum, norma moral, maupun norma kenegaraan lainnya. Di

NA
samping itu, terkandung juga pemikiran-pemikiran yang bersifat kritis,

PRE
mendasar, rasional, sistematis, dan komprehensif. Oleh karena itu,
suatu pemikiran filsafat adalah suatu nilai-nilai yang bersifat mendasar
yang memberikan landasan bagi manusia dalam hidup bermasyara­kat,
berbangsa, dan bernegara.
Nilai-nilai tersebut dijabarkan dalam kehidupan yang bersifat
praksis atau kehidupan nyata dalam masyarakat, bangsa, dan negara
maka diwujudkan dalam norma-norma yang kemudian menjadi pe­
doman. Dengan demikian, Pancasila pada hakikatnya bukan meru­
pakan suatu pedoman yang langsung bersifat normatif ataupun praksis
melainkan merupakan suatu sistem nilai-nilai etika yang merupakan
sumber norma.

A. Pengertian Etika
Etika adalah kelompok filsafat praktis (filsafat yang membahas ba­
gaimana manusia bersikap terhadap apa yang ada) dan dibagi menjadi
dua kelompok. Etika merupakan suatu pemikiran kritis dan mendasar
spiritualisme pancasila

tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Etika adalah


ilmu yang membahas tentang bagaimana dan mengapa kita mengikuti
suatu ajaran tertentu atau bagaimana kita bersikap dan bertanggung
jawab dengan berbagai ajaran moral. Kedua kelompok etika itu sebagai
berikut:
1. Etika Umum, mempertanyakan prinsip-prinsip yang berlaku bagi
setiap tindakan manusia. Pemikiran etika beraneka ragam, te­
tapi pada prinsipnya membicarakan asas-asas dari tindakan dan
per­buatan manusia, serta sistem nilai apa yang terkandung di
dalamnya.
2. Etika Khusus, membahas prinsip-prinsip di atas dalam hubungan­
nya dengan berbagai aspek kehidupan manusia, baik sebagai
individu (etika individual) maupun mahluk sosial (etika sosial).
Etika khusus dibagi menjadi dua yaitu etika individual dan etika
sosial. Etika indvidual membahas kewajiban manusia ter­hadap
dirinya sendiri dan dengan kepercayaan agama yang di­anutnya

UP
RO
serta panggilan nuraninya, kewajibannya, dan tanggung jawabnya

G
terhadap Tuhannya. Etika sosial di lain hal membahas ke­wajiban

ED I A
serta norma-norma sosial yang seharusnya dipatuhi dalam hu­

M
bung­an sesama manusia, masyarakat, bangsa, dan ne­gara.

D A
NA
PRE
B. Pengertian Nilai
Nilai (value) adalah kemampuan yang dipercayai yang ada pada
suatu benda untuk memuaskan manusia. Sifat dari suatu benda yang
menyebabkan menarik minat seseorang atau kelompok. Jadi, nilai itu
pada hakikatnya adalah sifat dan kualitas yang melekat pada suatu
objeknya. Dengan demikian, maka nilai itu adalah suatu kenyataan
yang tersembunyi dibalik kenyataan-kenyataan lainnya. Menilai ber­
arti menimbang, suatu kegiatan manusia untuk menghubungkan se­
suatu dengan sesuatu yang lain kemudian untuk selanjutnya diambil
keputusan.
Nilai bersumber pada budi yang berfungsi mendorong dan me­
ngarahkan (motivator) sikap dan perilaku manusia. Nilai sebagai suatu
sistem merupakan salah satu wujud kebudayaan di samping sistem
sosial dan karya. Alport mengidentifikasikan enam nilai-nilai yang ter­
dapat dalam kehidupan masyarakat, yaitu: nilai teori, nilai ekonomi,
nilai estetika, nilai sosial, nilai politik, dan nilai religi. Adapun ciri-ciri
nilai:

156
5  Pancasila dan Etika Kehidupan Bernegara

a. Merupakan bentukan masyarakat sebagai hasil interaksi antar­


warga masyarakat.
b. Disebarkan di antara warga masyarakat (bukan bawaan sejak
lahir).
c. Terbentuk melalui sosialisasi (proses belajar).
d. Merupakan bagian dari usaha pemenuhan kebutuhan dan ke­
puasan sosial manusia.
e. Bervariasi antara kebudayaan yang satu dengan kebudayaan yang
lain (bersifat relatif).
f. Dapat memengaruhi perkembangan diri seseorang.
g. Memiliki pengaruh yang berbeda antarwarga masyarakat.
h. Cenderung berkaitan satu dengan yang lain dan membentuk sis­
tem nilai.

1. Hierarki Nilai
Hierarki nilai sangat tergantung pada titik tolak dan sudut pan­­dang
UP
RO
individu——masyarakat terhadap sesuatu objek. Misalnya, kalangan ma­

I A G
terialis memandang bahwa nilai tertinggi adalah nilai material.

ED
Max Scheler menyatakan bahwa nilai-nilai yang ada tidak sama

A M
tingginya dan luhurnya. Menurutnya, nilai-nilai dapat dikelompokan

D
NA
dalam empat tingkatan, yaitu:

PRE
a. Nilai kenikmatan adalah nilai-nilai yang berkaitan dengan indra
yang memunculkan rasa senang, menderita, atau tidak enak.
b. Nilai kehidupan yaitu nilai-nilai penting bagi kehidupan yakni:
jasmani, kesehatan, serta kesejahteraan umum.
c. Nilai kejiwaan adalah nilai-nilai yang berkaitan dengan kebenaran,
keindahan, dan pengetahuan murni.
d. Nilai kerohanian yaitu tingkatan ini terdapatlah modalitas nilai
dari yang suci.
Sementara itu, Notonagoro membedakan menjadi tiga, yaitu:
a. Nilai material yaitu segala sesuatu yang berguna bagi jasmani
manusia.
b. Nilai vital yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk
mengadakan suatu aktivitas atau kegiatan.
c. Nilai kerohanian yaitu segala sesuatu yang bersifat rohani ma­
nusia yang dibedakan dalam empat tingkatan sebagai berikut:
1. Nilai kebenaran yaitu nilai yang bersumber pada rasio, budi,
akal atau cipta manusia.

157
spiritualisme pancasila

2. Nilai keindahan/estetis yaitu nilai yang bersumber pada pera­


saan manusia.
3. Nilai kebaikan atau nilai moral yaitu nilai yang bersumber
pada unsur kehendak manusia.
4. Nilai religius yaitu nilai kerohanian tertinggi dan bersifat
mutlak.
Nilai berperan sebagai pedoman yang menentukan kehidupan
setiap manusia. Nilai manusia berada dalam hati nurani, kata hati,
dan pikiran sebagai suatu keyakinan dan kepercayaan yang bersumber
pada berbagai sistem nilai.
Notonegoro berpendapat, bahwa nilai-nilai Pancasila tergolong
ni­lai-nilai kerohanian, tetapi mengakui adanya nilai material dan nilai
vital. Dengan demikian, nilai-nilai Pancasila yang tergolong nilai ke­
rohanian itu juga mengandung nilai-nilai secara lengkap dan har­
monis, baik nilai vital, nilai material, nilai keindahan atau nilai estetis,

UP
nilai kebaikan atau nilai moral, maupun nilai kesucian yang sistematis-

RO
hierarkis, yang dimulai dari sila ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar

A G
sampai dengan sila keadilan sosial bagai seluruh rakyat Indonesia.

I
ED
Setiap nilai memiliki kedudukan atau hierarki yang lebih tinggi

M
dibandingkan nilai-nilai yang lain, ada yang lebih rendah, bahkan ada

D A
tingkatan nilai yang bersifat mutlak. Tetapi hal ini bergantung pada

NA
filsafat dari masyarakat atau bangsa sebagai subjek pendukung nilai-

PRE
nilai tersebut. Bagi bangsa Indonesia, nilai religius merupakan suatu
nilai yang tertinggi dan mutlak, artinya nilai religius tersebut hie­
rarkinya di atas segala nilai yang ada tidak bisa didasarkan pada akal
manusia, karena pada tingkatan tertentu nilai tersebut bersifat di atas
dan di luar kemampuan jangkauan akal pikiran manusia.
Pancasila mengandung nilai-nilai yang tidak diragukan lagi ke­
benarannya dan karena itulah dijadikan sebagai dasar negara, pan­
da­ngan hidup, dan ideologi negara. Nilai-nilai itu harus menjadi ke­
nyataan yang berwujud dalam kehidupan kita.
Oleh karena itu, tidak hanya menjadi tertib negara tetapi juga
sumber tertinggi hukum yang harus mengatur kehidupan bermasya­
rakat dan bernegara yang harus dituangkan dalam peraturan perun­
dangan. Selain tidak boleh bertentangan dengan Pancasila, juga harus
selaras dengan nilai Pancasila dan dijiwai olehnya sehingga menjadi
terlaksana, baik sebagai penerapan penjabaran maupun jaminan pe­
laksanaannya.

158
5  Pancasila dan Etika Kehidupan Bernegara

2. Nilai Dasar, Nilai Instrumental, dan Nilai Praksis


a. Nilai Dasar
Sekalipun nilai bersifat abstrak yang tidak dapat diamati melalui
pancaindra manusia, tetapi dalam kenyataannya nilai berhubungan
dengan tingkah laku atau berbagai aspek kehidupan manusia dalam
praktiknya. Setiap nilai memiliki nilai dasar yaitu berupa hakikat,
esensi, intisari atau makna yang dalam dari nilai-nilai tersebut. Nilai
dasar itu bersifat universal karena menyangkut kenyataan objektif
dari segala sesuatu. Contohnya: hakikat Tuhan, manusia, atau mahluk
lainnya.
Apabila nilai dasar itu berkaitan dengan hakikat Tuhan, maka nilai
dasar itu bersifat mutlak karena Tuhan adalah kausa prima (penyebab
pertama). Nilai dasar yang berkaitan dengan hakikat manusia maka
nilai-nilai itu harus bersumber pada hakikat kemanusiaan yang dija­

P
barkan dalam norma hukum yang diistilahkan dengan hak dasar (hak
asasi manusia). Dan, jika nilai dasar itu berdasarkan kepada ­haki­kat

RO U
G
suatu benda (kuantitas, aksi, ruang, dan waktu) maka nilai dasar itu

I A
dapat juga disebut sebagai norma yang direalisasikan dalam kehi­

ED
dupan yang praksis. Nilai dasar yang menjadi sumber etika bagi bangsa

A M
Indonesia adalah nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.

D
NA
PRE
b. Nilai Instrumental
Nilai instrumental adalah nilai yang menjadi pedoman pelaksa­
naan dari nilai dasar. Nilai dasar belum dapat bermakna sepenuhnya
apabila belum memiliki formulasi serta parameter atau ukuran yang
jelas dan konkret. Apabila nilai instrumental itu berkaitan dengan
tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari, maka nilai itu akan
menjadi norma moral. Namun, jika nilai instrumental itu berkaitan
de­ngan suatu organisasi atau negara, maka nilai instrumental itu me­
rupakan suatu arahan, kebijakan, atau strategi yang bersumber pada
nilai dasar sehingga dapat juga dikatakan bahwa nilai instrumental itu
merupakan suatu eksplisitasi dari nilai dasar.
Dalam kehidupan ketatanegaraan Republik Indonesia, nilai-nilai
instrumental dapat ditemukan dalam pasal undang-undang da­ sar
yang merupakan penjabaran Pancasila.

c. Nilai Praksis
Nilai praksis merupakan penjabaran lebih lanjut dari nilai instru­

159
spiritualisme pancasila

mental dalam kehidupan yang lebih nyata. Dengan demikian, nilai


prak­sis merupakan pelaksanaan secara nyata dari nilai-nilai dasar dan
nilai-nilai instrumental.
Dalam pemandangan filsafat nilai, sering dihubungkan dengan
masalah kebaikan. Sesuatu itu dikatakan bernilai apabila sesuatu itu
berguna, indah, baik, religius, dan sebagainya. Nilai itu merupakan
se­suatu yang abstrak sehingga tidak dapat disentuh oleh pancaindra
manusia. Adapun yang dapat dilihat adalah barang atau perbuatan
yang mengandung nilai tersebut.

3. Nilai-nilai yang Terkandung dalam Pancasila


Moerdiono (1995/1996) menunjukkan adanya tiga tataran nilai
da­lam ideologi Pancasila. Tiga tataran nilai itu adalah:
a. Pertama, nilai dasar, yaitu suatu nilai yang bersifat amat abstrak
dan tetap, yang terlepas dari pengaruh perubahan waktu. Nilai

UP
dasar merupakan prinsip, yang bersifat amat abstrak, bersifat amat

RO
umum, tidak terikat oleh waktu dan tempat, dengan kandungan

A G
kebenaran yang bagaikan aksioma. Dari segi kandungan nilai­

I
ED
nya, maka nilai dasar berkenaan dengan eksistensi sesuatu, yang

M
men­cakup cita-cita, tujuan, tatanan dasar, dan ciri khasnya. Nilai

D A
dasar Pancasila ditetapkan oleh para pendiri negara. Nilai dasar

NA
Pancasila tumbuh baik dari sejarah perjuangan bangsa Indonesia

PRE
melawan penjajahan yang telah menyengsarakan rakyat, mau­
pun dari cita-cita yang ditanamkan dalam agama dan tradisi ten­
tang suatu masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan ke­
bersamaan, persatuan, dan kesatuan seluruh warga masyarakat.
b. Kedua, nilai instrumental, yaitu suatu nilai yang bersifat kon­
tekstual. Nilai instrumental merupakan penjabaran dari nilai
dasar tersebut, yang merupakan arahan kinerjanya untuk kurun
waktu tertentu dan untuk kondisi tertentu. Nilai instrumental ini
dapat dan bahkan harus disesuaikan dengan tuntutan zaman.
Namun nilai instrumental haruslah mengacu pada nilai dasar
yang dijabarkannya. Penjabaran itu bisa dilakukan secara kreatif
dan dinamik dalam bentuk-bentuk baru untuk mewujudkan se­
mangat yang sama, dalam batas-batas yang dimungkinkan oleh
nilai dasar itu. Dari kandungan nilainya, maka nilai instrumental
merupakan kebijaksanaan, strategi, organisasi, sistem, rencana,
program, bahkan juga proyek-proyek yang menindaklanjuti nilai
dasar tersebut. Lembaga negara yang berwenang menyusun nilai
instrumental ini adalah MPR, Presiden, dan DPR.

160
5  Pancasila dan Etika Kehidupan Bernegara

c. Ketiga, nilai praksis, yaitu nilai yang terkandung dalam kenyataan


sehari-hari, berupa cara bagaimana rakyat melaksanakan (meng­
aktualisasikan) nilai Pancasila. Nilai praksis terdapat pada demi­
kian banyak wujud penerapan nilai-nilai Pancasila, baik secara
tertulis maupun tidak tertulis, baik oleh cabang eksekutif, legislatif,
maupun yudikatif, oleh organisasi kekuatan sosial politik, oleh
organisasi kemasyarakatan, oleh badan-badan ekonomi, oleh pim­
pinan kemasyarakatan, bahkan oleh warga negara secara perse­
orangan. Dari segi kandungan nilainya, nilai praksis merupakan
gelanggang pertarungan antara idealisme dan realitas.
Jika ditinjau dari segi pelaksanaan, nilai yang dianut, maka se­
sungguhnya pada nilai praksislah ditentukan tegak atau tidaknya nilai
dasar dan nilai instrumental itu. Ringkasnya bukan pada rumusan
abstrak, dan bukan juga pada kebijaksanaan, strategi, rencana, program
atau proyek itu sendiri terletak batu ujian terakhir dari nilai yang dianut,
tetapi pada kualitas pelaksanaannya di lapangan. Bagi suatu ideologi,

UP
RO
yang paling penting adalah bukti pengamalannya atau aktualisasinya

A G
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

I
ED
Suatu ideologi dapat mempunyai rumusan yang amat ideal de­

M
ngan ulasan yang amat logis serta konsisten pada tahap nilai dasar

D A
dan nilai instrumentalnya. Akan tetapi, jika pada nilai praksisnya ru­

NA
musan tersebut tidak dapat diaktualisasikan, maka ideologi tersebut

PRE
akan kehilangan kredibilitasnya. Bahkan, Moerdiono (1995/1996: 15)
menegaskan, bahwa tantangan terbesar bagi suatu ideologi adalah
menjaga konsistensi antara nilai dasar, nilai instrumental, dan nilai
praksisnya. Sudah barang tentu jika konsistensi ketiga nilai itu dapat
ditegakkan, maka terhadap ideologi itu tidak akan ada masalah.
Masalah baru timbul jika terdapat inkonsisitensi dalam tiga tataran
nilai tersebut.
Untuk menjaga konsistensi dalam mengaktualisasikan nilai Pan­
casila ke dalam praktik hidup berbangsa dan bernegara, maka perlu
Pancasila formal yang abstrak-umum-universal itu ditransformasikan
menjadi rumusan Pancasila yang umum kolektif, dan bahkan menjadi
Pancasila yang khusus individual (Suwarno, 1993: 108). Artinya, Pan­
casila menjadi sifat-sifat dari subjek kelompok dan individual, sehingga
menjiwai semua tingkah laku dalam lingkungan praksisnya dalam
bidang kenegaraan, politik, dan pribadi.
Secara kausalitas, nilai-nilai Pancasila bersifat objektif dan sub­
jektif. Artinya, esensi nilai-nilai Pancasila adalah bersifat universal

161
spiritualisme pancasila

yaitu ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan.


Adapun nilai-nilai Pancasila bersifat objektif dan dapat dijelaskan
seperti di bawah ini:
1. Rumusan dari sila-sila Pancasila itu sendiri sebenarnya hakikat
maknanya yang terdalam menunjukkan adanya sifat-sifat yang
umum, universal, dan abstrak karena merupakan nilai.
2. Inti dari nilai-nilai Pancasila akan tetap ada sepanjang masa dalam
kehidupan bangsa Indonesia dan mungkin juga pada bangsa lain
baik dalam adat istiadat, kebudayaan, kenegaraan, maupun dalam
kehidupan keagamaan.
3. Pancasila yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945, menurut
ilmu hukum memenuhi syarat sebagai pokok kaidah negara yang
fundamental sehingga merupakan suatu sumber hukum positif di
Indonesia.
4. Adapun nilai-nilai subjektif Pancasila diartikan bahwa keber­ada­
an nilai-nilai Pancasila bergantung atau melekat pada bangsa

UP
RO
Indonesia sendiri. Hal itu dijelaskan sebagai berikut:

G
a. Nilai-nilai Pancasila timbul dari bangsa Indonesia, sehingga

ED I A
bangsa Indonesia sebagai kausa matrealis. Nilai-nilai tersebut

M
sebagai hasil pemikiran, penilaian kritis, dan hasil refleksi fi­

D A
losofis bangsa Indonesia.

NA
b. Nilai-nilai Pancasila merupakan filsafat (pandangan hidup)

PRE
bangsa Indonesia sehingga merupakan jati diri bangsa, yang
diyakini sebagai sumber nilai atas kebenaran, kebaikan, ke­
adilan, dan kebijaksanaan dalam hidup bermasyarakat, ber­
bangsa, dan bernegara.
c. Nilai-nilai Pancasila di dalamnya terkandung ketujuh nilai-
nilai kerohanian yaitu nilai kebenaran, keadilan, kebaik­an,
kebijaksanaan, etis, estetis, dan nilai religius, yang manifes­
tasinya sesuai dengan budi nurani bangsa Indonesia karena
bersumber pada kepribadian bangsa.
Nilai-nilai Pancasila itu, bangsa Indonesia menjadi landasan,
dasar serta motivasi atas segala perbuatan baik dalam kehidupan se­
hari-hari, maupun dalam kehidupan bernegara. Dengan perkataan
lain bah­wa nilai-nilai Pancasila merupakan das sollen atau cita-cita
ten­tang kebaikan yang harus diwujudkan menjadi suatu kenyataan
atau das sein.
Pancasila merupakan suatu nilai sehingga merupakan sumber
dari segala penjabaran norma baik norma hukum, norma moral,

162
5  Pancasila dan Etika Kehidupan Bernegara

mau­pun norma kenegaraan lainnya. Sebagai sumber nilai, Pancasila


memberikan dasar-dasar yang bersifat fundamental dan universal bagi
manusia baik dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Nilai-nilai Pancasila ini dapat dijabarkan dalam kehidupan yang ber­
sifat praktis atau kehidupan yang nyata dalam masyarakat, bangsa, dan
negara. Nilai-nilai tersebut kemudian dijabarkan dalam suatu norma-
norma yang jelas, sehingga merupakan suatu pedoman. Pancasila
sebagai sumber nilai memuat dua hal.

a. Nilai dasar
Pada prinsipnya, Pancasila memuat lima nilai dasar mengenai
pe­nyelenggaraan negara. Nilai-nilai dasar tertuang dalam kelima sila
Pancasila, juga tercermin dalam pasal-pasal UUD 1945 yang sifatnya
relatif tidak berubah namun maknanya selalu dapat menyesuaikan
dengan perkembangan zaman.

UP
RO
1) Pengakuan dan Tanggung Jawab kepada

G
Tuhan Yang Maha Esa

ED I A
Hal ini diwujudkan dalam penolakan terhadap ajaran anti agama

M
(ateis) dalam kehidupan bernegara sebagaimana yang dikembang­

D A
kan oleh PKI dulu yang membawa dampak yang dahsyat terhadap

NA
pemerintahan negara. Penyelenggaraan hidup bernegara didasarkan

PRE
pada sikap dan budi pekerti yang luhur dengan menjunjung tinggi
nilai-nilai toleransi beragama. Tata nilai yang dijiwai oleh rasa tang­
gung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa akan melahirkan sikap
dan perilaku yang menjunjung tinggi nilai kebenaran, kebaikan, dan
keadilan. Dalam melaksanakan tugas pemerintahan, negara cenderung
mengedepankan kepentingan umum serta keseimbangan antara ke­bu­
tuhan jasmani dan rohaniah. Dalam penyusunan kebijakan harus da­
pat dipertanggungjawabkan secara moral pada Tuhan Yang Maha Esa
serta dilandasi oleh hati nurani yang luhur.

2) Menjunjung Tinggi Nilai Kemanusiaan yang Adil dan Beradab


Nilai ini bersumber dari ajaran Tuhan Yang Maha Esa yang me­
ng­ajarkan bahwa semua manusia itu memiliki harkat, derajat, dan
mar­tabat yang sama, mereka sama-sama Ciptaan Tuhan yang dibekali
daya cipta, rasa, karsa, dan karya sehingga dihargai, dihormati, dan
diperlakukan sama tanpa membeda-bedakan antara satu dengan yang
lainnya.

163
spiritualisme pancasila

3) Menjamin dan Menciptakan Persatuan dan Kesatuan Bangsa


Persatuan Indonesia adalah persatuan dari seluruh bangsa yang
menduduki wilayah tumpah darah Indonesia, dengan memiliki cita-­cita
yang sama untuk mewujudkan kemerdekaan dan tercapainya tujuan
negara, sebagaimana tertuang dalam alinea keempat Pembukaan UUD
1945 dan tujuan pembangunan nasional yaitu menciptakan masyara­
kat adil, makmur, merata baik materiel maupun spiritual dalam wadah
NKRI dan dalam suasana kehidupan yang aman, tenteram, damai, dan
harmonis. Paham persatuan yang diliputi nilai kebangsaan Indonesia
akan mengatasi munculnya berbagai paham golongan, etnis, agama,
dan asal usul keturunan. Semangat dan jiwa persatuan akan melahirkan
pemimpin dan masyarakat yang mengutamakan kepentingan negara
di atas kepentingan pribadi dan golongan.

4) Nilai Demokrasi yang Mengedapankan Musyawarah Mufakat


Dalam Pengambilan Keputusan

UP
RO
Nilai ini mengakui adanya persamaan kedudukan, hak dan ke­

I A G
wajiban bagi semua warga negara. Oleh karena itu, tidak boleh ada

ED
paksaan kehendak kepada orang lain. Untuk memutuskan perma­sa­­

A M
lahan yang berkaitan dengan kepentingan umum hendaknya diupa­

D
NA
yakan dengan cara musyawarah untuk mencapai mufakat. Musyawarah

PRE
mufakat ini diliputi oleh semangat kekeluargaan, serta menghormati,
dan melaksanakan hasil keputusan dengan penuh rasa tanggung
jawab. Adapun keputusan yang diambil dalam permusyawaratan ter­
sebut harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan
Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan derajat manusia, men­
junjung tinggi nilai kebenaran dan keadilan serta mengutamakan
persatuan dan kesatuan bangsa.

5) Mewujudkan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia


Nilai ini menghendaki terwujudnya keadilan seutuhnya (menca­
kup semua aspek kehidupan politik, ekonomi, sosial budaya, han­
kam, hukum dan agama) serta keadilan seluruhnya, yang meliputi
semua masyarakat Indonesia tanpa kecuali. Dengan demikian, selalu
diupayakan terwujudnya keseimbangan hak dan kewajiban, kebu­tuh­
an jasmani dan rohani, dihargainya hak asasi manusia serta dikem­
bangkannya kebebebasan yang bertanggung jawab.

164
5  Pancasila dan Etika Kehidupan Bernegara

b. Nilai Instrumental dan Nilai Praktis


Nilai instrumental adalah penjabaran dari nilai-nilai dasar yang
berlaku dalam kurun waktu tertentu dan kondisi tertentu, bersifat kon­
tekstual serta harus menyesuaikan dengan tuntutan zaman. In­strumen
ini berbentuk kebijakan, strategi, organisasi, sistem, rencana maupun
program yang menjabarkan nilai tersebut.
Nilai instrumental tercantum dalam seluruh dokumen kenegaraan
yang menindaklanjuti UUD 1945 dan belum termasuk nilai praksis
seperti undang-undang dan peraturan pelaksanaannya.
Adapun lembaga negara yang berwenang menyusun nilai instru­
men­tal adalah MPR, DPR, DPD, dan Presiden. Sebagai lembaga ek­
se­kutif berdasar pasal 4 ayat 1 UUD 1945, presiden dapat menindak­
lan­ juti undang-undang yang ada dengan mengeluarkan peraturan
pe­­laksanaannya.
Sesuai dengan asas hukum tentunya pelaksanaan tersebut tidak
boleh bertentangan dengan peraturan yang menjadi induknya. Jika
UP
RO
ternyata bertentangan, maka peraturan pelaksanaan itu batal secara

A G
hukum, harus dicabut lagi. Pihak yang dirugikan dapat mengadukan

I
ED
kepada lembaga pengadilan, termasuk kepada pengadilan tata usaha

M
negara dan mahkamah konstitusi.

D A
Nilai praksis merupakan penjabaran dari nilai instrumental dalam

NA
PRE
situasi konkret pada tempat dan situasi tertentu serta bersifat dinamis.
Nilai praksis ini tercermin dalam kenyataan hidup sehari-hari, yaitu
dalam melaksanakan nilai-nilai Pancasila dalam praktik hidup sehari-
hari. Pada dasarnya, ideologi Pancasila bagi bangsa Indonesia memiliki
empat fungsi pokok, yaitu:
1. Mempersatukan bangsa;
2. Memelihara dan mengukuhkan persatuan dan kesatuan;
3. Membimbing dan mengarahkan bangsa dalam mewujudkan tu­
juannya;
4. Melihat kenyataan hidup yang dihadapi dan mengkritisi dalam
upaya mewujudkan cita-cita yang terkandung dalam nilai-nilai
Pancasila itu sendiri.

C. Pengertian Moral
Moral berasal dari kata mos (mores) yang sinonim dengan kesu­
silaan, tabiat, atau kelakuan. Moral adalah ajaran tentang hal yang baik
dan buruk, yang menyangkut tingkah laku dan perbuatan manusia.

165
spiritualisme pancasila

Seorang pribadi yang taat kepada aturan-aturan, kaidah-kaidah, dan


norma yang berlaku dalam masyarakatnya, dianggap sesuai dan ber­
tindak benar secara moral. Jika sebaliknya yang terjadi maka pribadi
itu dianggap tidak bermoral.
Moral dalam perwujudannya dapat berupa peraturan dan/atau
prinsip-prinsip yang benar, baik terpuji dan mulia. Moral dapat be­
rupa kesetiaan, kepatuhan terhadap nilai dan norma yang mengikat
kehidupan masyarakat, bangsa dan negara.

D. Pengertian Norma
Norma adalah perwujudan martabat manusia sebagai mahluk
budaya, sosial, moral, dan religi. Norma merupakan suatu kesadaran
dan sikap luhur yang dikehendaki oleh tata nilai untuk dipatuhi. Oleh
karena itu, norma dalam perwujudannya dapat berupa norma agama,

UP
norma filsafat, norma kesusilaan, norma hukum, dan norma sosial.

RO
Norma memiliki kekuatan untuk dipatuhi karena adanya sanksi.

G
Norma adalah aturan atau pedoman bagi manusia sebagai per­

ED I A
wujudan dari nilai. Norma merupakan peraturan tentang bagaimana

M
seyogianya manusia berperilaku dalam kehidupan. Dengan demikian,

D A
norma berfungsi sebagai acuan, tuntunan dan pedoman tingkah laku

NA
manusia. Ada empat norma utama di dalam masyakat yang akan di­

PRE
bahas pada pembahasan selanjutnya.

1. Norma Kesusilaan
Norma susila merupakan serangkaian aturan yang berasal dari
hati nurani manusi. Norma susila bersumber dari hati nurani manusia.
Sanksi dari norma kesusilaan bersifat individual, artinya sanksi itu
bukan dijatuhkan oleh lembaga pengadilan ataupun masyarakat, me­
lainkan oleh orang yang bersangkutan.
Bentuk pelanggaran kesusilaan merupakan pengingkaran terha­
dap hati nurani. Sanksi atas pelanggaran norma kesusilaan muncul
berupa penyesalan dan kegelisahan. Bila bertindak bertentangan de­
ngan norma kesusilaan, maka perasaan hati kita tidak tenang dan di­
hantui oleh perasaan yang bersalah.

2. Norma Kesopanan
Norma kesopanan merupakan aturan hidup yang berasal dari
masyarakat dalam suatu komunitas tertentu dan berlaku hanya terbatas

166
5  Pancasila dan Etika Kehidupan Bernegara

dalam lingkungan tersebut. Norma kesopanan terwujud dalam aturan


sopan santun, etika pergaulan, dan tradisi (adat istiadat).
Pelanggaran terhadap norma kesopanan akan menimbulkan
sank­si dari masyarakat. Sanksi itu berupa pengucilan atau pengasingan
dalam masyarakat. Perbuatan yang bertentangan dengan norma keso­
panan misalnya, meludah sembarangan, berpakaian yang terlalu ketat
dan transparan.

3. Norma Agama
Norma agama merupakan serangkaian aturan hidup yang berasal
dari Tuhan yang diturunkan melalui para rasulnya. Aturan atau norma
ini tampil dalam bentuk ajaran agama tertentu. Norma agama berupa
perintah dan larangan yang ada dalam setiap kitab suci masing-ma­
sing agama. Pelanggaran terhadap norma agama disebut dengan dosa,
sedangkan perintah yang dijalankannya dinamakan dengan pahala.
Setiap dosa maupun pahala dalam norma agama diyakini akan ada

UP
RO
pembalasan pada waktu di akhirat.

I A G
ED
4. Norma Hukum

M
Norma hukum merupakan aturan hidup yang dibuat oleh ma­

D A
syarakat (negara) yang dapat dipaksakan berlakunya oleh pejabat yang

NA
berwenang. Norma hukum bersifat tegas dan mengikat, maksud­nya

PRE
hal-hal yang dilanggar dalam norma hukum akan mendapatkan hu­
kuman yang nyata dari para penegak hukumnya.
Pada dasarnya, norma hukum melengkapi dari norma-norma
yang lain yang ada dalam masyarakat. Norma hukum memperkuat
sanksi atas pelanggaran terhadap aturan dari ketiga norma yang lain.
Selain itu, norma hukum juga mengatur hal-hal yang belum diatur oleh
ketiga norma tersebut.
Dengan adanya norma hukum, maka keamanan dan ketertiban di
dalam masyarakat dapat ditegakkan. Dengan adanya sanksi yang jelas
dan para aparat penegak hukum, maka seseorang akan ditindak tegas
sesuai dengan pelanggaran dan kejahatan yang dilakukannya.
Operasionalisasi dari nilai dasar Pancasila menjadi norma dasar
bagi penyusunan norma hukum di Indonesia. Pancasila berkedudukan
sebagai norma dasar atau staats fundamental norm (norma funda­
mental negara) dalam jenjang norma hukum di Indonesia. Adapun
penjabaran dari nilai-nilai Pancasila itu berupa peraturan perundang-
un­dangan, ketetapan, keputusan, kebijakan pemerintah, program-
pro­­gram pembangunan, dan peraturan lainnya.

167
spiritualisme pancasila

Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Per­


aturan Perundang-undangan juga menyebutkan jenis dan hierarki per­
aturan perundang-undangan sebagai berikut:
1. Undang Undang Dasar 1945.
2. Ketetapan MPR RI.
3. Undang-Undang atau Perpu.
4. Peraturan Pemerintah.
5. Perpres.
6. Peraturan Daerah.

 Latihan 1
Jawablah beberapa pertanyaan di bawah ini!
1) Bagaimana hubungan antara nilai sosial dengan norma sosial?

P
2) Sebutkan dan jelaskan sumber-sumber nilai sosial dalam masya­
rakat!

RO U
G
3) Mengapa hukum yang dibuat oleh suatu negara harus sesuai
dengan norma moral?

ED I A
4) Nilai-nilai apa saja yang membuat keterbukaan Pancasila?

D A M
NA
PRE
 Latihan 2

Jelaskan nilai-nilai yang terkandung dalam tiap sila Pancasila!

Sila Pancasila Nilai yang Terkandung

Sila I

Sila II

Sila III

Sila IV

Sila V

168
6
pancasila sebagai paradigma
kehidupan dalam bermasyarakat
berbangsa dan bernegara

A. Pengertian Paradigma

UP
Secara terminologis, tokoh yang mengembangkan istilah tersebut

RO
dalam dunia ilmu pengetahuan adalah Thomas S. Khun dalam buku­nya

I A G
yang berjudul The Structure Of Scientific Revolution, paradigma adalah

ED
suatu asumsi-asumsi dasar dan teoretis yang umum (merupakan suatu

M
sumber nilai) sehingga merupakan suatu sumber hukum, me­tode serta

D A
penerapan dalam ilmu pengetahuan sehingga sangat me­ nentukan

NA
sifat, ciri, serta karakter ilmu pengetahuan itu sendiri.

PRE
Dalam ilmu-ilmu sosial, manakala suatu teori yang didasarkan
pada suatu hasil penelitian ilmiah yang mendasarkan pada metode
ku­antitatif yang mengkaji manusia dan masyarakat berdasarkan pada
sifat-sifat yang parsial, terukur, korelatif, dan positivistik, maka hasil
dari ilmu pengetahuan tersebut secara epistemologis hanya mengkaji
satu aspek saja dari objek ilmu pengetahuan yaitu manusia.
Dalam masalah yang populer, istilah paradigma berkembang
­men­jadi terminologi yang mengandung konotasi pengertian sumber
nilai, kerangka pikir, orientasi dasar, sumber asas, serta tujuan dari
suatu perkembangan, perubahan, serta proses dari suatu bidang ter­
tentu ter­masuk dalam bidang pembangunan dan pendidikan.

B. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan


Tujuan negara yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 adalah
“Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia”,
hal ini merupakan tujuan negara hukum formal. Adapun rumusan
spiritualisme pancasila

“Me­majukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa”,


hal ini merupakan tujuan negara hukum material, yang secara kese­
luruhan sebagai tujuan khusus atau nasional.
Adapun tujuan umum atau internasional adalah “ikut melaksa­
nakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi dan keadilan sosial”. Secara filosofis hakikat kedudukan Pan­
casila sebagai paradigma pembangunan nasional mengandung suatu
konsekuensi bahwa dalam segala aspek pembangunan nasional kita
harus mendasarkan pada hakikat nilai-nilai Pancasila. Unsur-unsur
hakikat manusia “monopluralis” meliputi susunan kodrat manusia,
ter­diri rohani (jiwa) dan jasmani (raga), sifat kodrat manusia terdiri
makhluk individu dan makhluk sosial serta kedudukan kodrat manusia
se­bagai makhluk pribadi berdiri sendiri dan makhluk Tuhan.

1. Pancasila sebagai Paradigma Pengembangan

P
IPTEK

RO U
Ilmu Pengetahuan dan Tekhnologi (Iptek) pada hakikatnya meru­

I A G
pakan suatu hasil kreativitas rohani manusia. Unsur rohani (jiwa) ma­

ED
nusia meliputi aspek akal, rasa, dan kehendak. Akal merupakan po­

M
tensi rohaniah manusia dalam hubungannya dengan intelektualitas,

D A
rasa dalam bidang estetis, dan kehendak dalam bidang moral (etika).

NA
Tujuan yang esensial dari Iptek adalah demi kesejahteraan umat ma­

PRE
nusia, sehingga Iptek pada hakikatnya tidak bebas nilai namun terikat
oleh nilai. Pengembangan Iptek sebagai hasil budaya manusia harus
didasarkan pada moral Ketuhanan dan Kemanusiaan yang adil dan
beradab.
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, mengomplementasikan ilmu pe­
ngetahuan, mencipta, keseimbangan antara rasional dan irasional,
antara akal, rasa, dan kehendak. Berdasarkan sila ini, Iptek tidak hanya
memikirkan apa yang ditemukan, dibuktikan, dan diciptakan tetapi
juga dipertimbangkan maksud dan akibatnya apakah merugikan ma­
nusia dengan sekitarnya.
Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, memberikan dasar-
dasar moralitas bahwa manusia dalam mengembangkan Iptek harus
bersifat beradab. Iptek adalah sebagai hasil budaya manusia yang ber­
adab dan bermoral.
Sila Persatuan Indonesia, mengomplementasikan universalia dan
internasionalisme (kemanusiaan) dalam sila-sila yang lain. Pengem­

170
6  Pancasila sebagai Paradigma Kehidupan dalam Bermasyarakat...

bangan Iptek hendaknya dapat mengembangkan rasa nasionalisme,


kebesaran bangsa serta keluhuran bangsa sebagai bagian dari umat
manusia di dunia.
Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/perwakilan, mendasari pengembangan Iptek secara
demokratis. Artinya, setiap ilmuwan harus memiliki kebebasan untuk
mengembangkan Iptek, juga harus menghormati dan menghargai ke­
bebasan orang lain dan harus memiliki sikap yang terbuka untuk di­
kritik, dikaji ulang, maupun dibandingkan dengan penemuan ilmu­wan
lainnya.
Sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, mengom­ple­
mentasikan pengembangan Iptek haruslah menjaga keseimbangan
keadilan dalam kehidupan kemanusiaan yaitu keseimbangan ke­adil­
an dalam hubungannya dengan dirinya sendiri, manusia dengan Tu­
hannya, manusia dengan manusia lainnya, manusia dengan ma­sya­

P
rakat bangsa dan negara serta manusia dengan alam lingkung­annya.

RO U
G
2. Pancasila sebagai Paradigma Pengembangan
Bidang Politik

ED I A
M
Pengembangan dan pembangunan bidang politik harus menda­

D A
sarkan pada tuntutan hak dasar kemanusiaan yang di dalam istilah

NA
ilmu hukum dan kenegaraan disebut hak asasi manusia.

PRE
Dalam sistem politik negara harus mendasarkan pada kekuasaan
yang bersumber pada penjelmaan hakikat manusia sebagai indivi­
du——makhluk sosial yang terjelma sebagai rakyat. Selain sistem politik,
negara Pancasila memberikan dasar-dasar moralitas politik negara. Drs.
Moh. Hatta, menyatakan, bahwa negara berdasarkan atas Ketuhanan
yang Maha Esa, atas dasar Kemanusiaan yang adil dan beradab. Hal ini
me­nurutnya agar memberikan dasar-dasar moral supaya negara tidak
berdasarkan kekuasaan.
Dalam sila-sila Pancasila tersusun atas urut-urutan sistematis,
bahwa dalam politik negara harus mendasarkan pada kerakyatan (sila
IV). Adapun pengembangan dan aktualisasi politik negara berdasar­kan
pada moralitas berturut-turut moral ketuhanan, moral kemanusia­
an (sila II), dan moral persatuan, yaitu ikatan moralitas sebagai suatu
bangsa (sila III). Adapun aktualisasi dan pengembangan politik negara
demi tercapainya keadilan dalam hidup bersama (sila V).

171
spiritualisme pancasila

3. Pancasila sebagai Paradigma Pengembangan


Ekonomi
Dalam dunia usaha, biasanya yang terjadi adalah persaingan be­
bas, dan yang kuat yang akan menang. Oleh karena itulah, di Indonesia
perkembangan ekonomi harus didasarkan pada usaha untuk mencip­
takan kesejahteraan manusia. Dan, untuk mewujudkan itu, maka sis­
tem ekonomi harus mendasarkan pada moralitas humanistik, eko­nomi
yang berkemanusiaan.
Pada dasarnya, tujuan ekonomi adalah untuk memenuhi kebutuh­
an manusia, agar manusia lebih sejahtera. Oleh karena itu, ekonomi
harus mendasarkan pada kemanusiaan yaitu demi kesejahteraan
ma­ nu­sia, serta menghindari pengembangan ekonomi yang hanya
mendasarkan pada persaingan bebas, monopoli, dan yang lainnnya
yang menimbulkan penderitaan pada manusia, dan menimbulkan
pe­nin­dasan terhadap manusia yang lainnya. Dan, bagi bangsa Indo­
nesia, untuk mewujudkan hal ini adalah melalui pelaksanaan sistem

UP
RO
ekonomi yang berdasarkan Pancasila, karena dengan cara ini, maka

A G
perekonomian dapat terlaksana dengan baik dan masyarakat Indonesia

I
ED
dapat hidup secara makmur dan sejahtera.

D A M
4. Pancasila sebagai Paradigma Pengembangan

NA
PRE
Sosial Budaya
Pancasila sebagai paradigma pengembangan sosial budaya. Da­
lam pengembangan sosial budaya pada masa Reformasi dewasa ini,
kita harus mengangkat nilai-nilai yang dimiliki bangsa Indonesia
sebagai dasar nilai yaitu nilai-nilai Pancasila itu sendiri. Prinsip etika
Pancasila pada hakikatnya bersifat humanistik, artinya nilai-nilai
Pan­casila ­men­dasarkan pada nilai yang bersumber pada harkat dan
mar­tabat manusia sebagai makhluk yang berbudaya. Dalam rangka
pengembangan sosial budaya, Pancasila sebagai kerangka kesadaran
yang dapat mendorong untuk universalisasi, yaitu melepaskan simbol-
simbol dari keterikatan struktur, dan transendentalisasi, yaitu mening­
katkan derajat kemerdekaan manusia, kebebasan spiritual.

5. Pancasila sebagai Paradigma Pengembangan Hankam


Pertahanan dan keamanan negara harus mendasarkan pada tu­
juan demi tercapainya kesejahteraan hidup manusia sebagai makhluk
Tuhan Yang Maha Esa. Pertahanan dan keamanan negara haruslah
mendasarkan pada tujuan demi kepentingan rakyat sebagai warga

172
6  Pancasila sebagai Paradigma Kehidupan dalam Bermasyarakat...

negara. Pertahanan dan keamanan harus menjamin hak-hak dasar,


persamaan derajat serta kebebasan kemanusiaan dan Hankam diper­
untukkan demi terwujudnya keadilan dalam masyarakat agar negara
benar-benar meletakkan pada fungsi yang sebenarnya sebagai suatu
ne­gara hukum dan bukannya suatu negara yang berdasarkan ke­kua­
saan.

6. Pancasila sebagai Paradigma Pengembangan


Kehidupan Beragama
Pancasila telah memberikan dasar-dasar nilai yang fundamental
bagi bangsa Indonesia untuk hidup secara damai dalam kehidupan
beragama di negara Indonesia. Dalam pengertian ini, maka negara
menegaskan dalam pokok pikiran ke IV, bahwa Negara berdasar atas
Ketuhanan Yang Maha Esa, ini berarti bahwa kehidupan dalam negara
mendasarkan pada nilai-nilai ketuhanan.

UP
C. Pancasila sebagai Paradigma Reformasi

A G RO
ED I
Negara Indonesia ingin mengadakan suatu perubahan, yaitu

M
menata kembali kehidupan berbangsa dan bernegara demi terwujud­

D A
nya masyarakat madani yang sejahtera, masyarakat yang bermar­tabat

NA
PRE
kemanusiaan yang menghargai hak-hak asasi manusia, masyarakat
yang demokratis yang bermoral religius serta masyarakat yang ber­
moral kemanusiaan dan beradab.
Reformasi adalah mengembalikan tatanan kenegaraan ke arah
sum­ber nilai yang merupakan platform kehidupan bersama bangsa
Indonesia, yang selama ini diselewengkan demi kekuasaan sekelompok
orang, baik pada masa Orde Lama maupun Orde Baru. Proses Reformasi
walaupun dalam lingkup pengertian reformasi total harus memiliki
platform dan sumber nilai yang jelas dan merupakan arah, tujuan,
serta cita-cita yaitu nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.

1. Gerakan Reformasi
Pelaksanaan GBHN 1998 pada Pembangunan Jangka Panjang II
Pelita ke tujuh bangsa Indonesia menghadapi bencana hebat, yaitu
dampak krisis ekonomi Asia terutama Asia Tenggara sehingga menye­
babkan stabilitas politik menjadi goyah.
Toritarian dan suatu sistem korporatik. Sistem ini ditandai de­
ngan konsentrasi kekuasaan dan partisipasi di dalam pembuatan ke­

173
spiritualisme pancasila

putusan-keputusan nasional yang berada hampir seluruhnya pada


tangan penguasa negara, kelompok militer, kelompok cerdik cende­
kiawan, dan kelompok pengusaha oligopolistis dan bekerja sama de­
ngan masyarakat bisnis internasional.
Awal keberhasilan gerakan reformasi tersebut ditandai dengan
mundurnya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998, yang kemu­dian di­
susul dengan dilantiknya Wakil Presiden Prof. Dr. B.J. Habibie meng­
gantikan kedudukan Presiden. Kemudian diikuti dengan pem­ben­tukan
Kabinet Reformasi Pembangunan.
Pemerintahan Habibie inilah yang merupakan pemerintahan
transisi yang akan mengantarkan rakyat Indonesia untuk melakukan
reformasi secara menyeluruh, terutama perubahan paket UU Politik
Tahun 1985, kemudian diikuti dengan reformasi ekonomi yang me­
nyang­kut perlindungan hukum. Yang lebih mendasar reformasi dila­
kukan pada kelembagaan tinggi dan tertinggi negara yaitu pada susun­

P
an DPR dan MPR, yang dengan sendirinya harus dilakukan melalui
Pemilu secepatnya.

RO U
I A G
2. Gerakan Reformasi dan Ideologi Pancasila

M ED
Arti reformasi secara etimologis berasal dari kata reformation de­

A
D
ngan akar kata reform yang artinya make or become better by removing

NA
or putting right what is bad or wrong. Secara harfiah, reformasi me­

PRE
miliki arti suatu gerakan untuk memformat ulang, menata ulang atau
menata kembali hal-hal yang menyimpang untuk dikembalikan pada
format atau bentuk semula sesuai dengan nilai-nilai ideal yang dicita-
citakan rakyat. Oleh karena itu, suatu gerakan reformasi memi­liki kon­
disi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Suatu gerakan reformasi dilakukan karena adanya suatu penyim­
pangan-penyimpangan. Misalnya, pada masa Orde Baru, asas ke­
ke­luargaan menjadi nepotisme, kolusi, dan korupsi yang tidak se­
suai dengan makna dan semangat UUD 1945.
b. Suatu gerakan reformasi dilakukan harus dengan suatu cita-cita
yang jelas (landasan ideologis) tertentu. Dalam hal ini, Pancasila
se­bagai ideologi bangsa dan negara Indonesia.
c. Suatu gerakan reformasi dilakukan dengan berdasarkan pada
suatu kerangka struktural tertentu (dalam hal ini UUD) sebagai
kerangka acuan reformasi.
d. Reformasi dilakukan ke arah suatu perubahan kondisi serta ke­
adaan yang lebih baik dalam segala aspek antara lain bidang po­
litik, ekonomi, sosial, budaya, serta kehidupan keagamaan.

174
6  Pancasila sebagai Paradigma Kehidupan dalam Bermasyarakat...

e. Reformasi dilakukan dengan suatu dasar moral dan etika sebagai


manusia yang berketuhanan yang maha esa, serta terjaminnya
persatuan dan kesatuan bangsa.

3. Pancasila sebagai Dasar Cita-cita Reformasi


Menurut Hamengkubuwono X, gerakan reformasi harus tetap
dile­takkan dalam kerangka perspektif Pancasila sebagai landasan cita-
cita dan ideologi, sebab tanpa adanya suatu dasar nilai yang jelas maka
suatu reformasi akan mengarah pada suatu disintegrasi, anarkisme,
brutalisme, yang akhirnya menuju pada kehancuran bangsa dan ne­
gara Indonesia. Maka, reformasi dalam perspektif Pancasila pada
hakikatnya harus berdasarkan pada nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha
Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Ber­
kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Per­mu­
syawaratan/perwakilan, serta Berkeadilan Sosial bagi Seluruh Rak­yat
Indonesia.

UP
RO
Pancasila sebagai sumber nilai memiliki sifat yang reformatif,

G
artinya memiliki aspek pelaksanaan yang senantiasa mampu menye­

ED I A
suaikan dengan dinamika aspirasi rakyat. Dalam mengantisipasi per­

M
kem­bangan zaman, yaitu dengan jalan menata kembali kebijaksana­

D A
an-kebijaksanaan yang tidak sesuai dengan aspirasi rakyat.

NA
PRE
D. Pancasila Sebagai Paradigma Reformasi Hukum
Setelah peristiwa 21 Mei 1998, saat runtuhnya kekuasaan Orde
Baru, salah satu subsistem yang mengalami kerusakan parah adalah
bi­dang hukum. Produk hukum, baik materi maupun penegaknya di­
rasakan semakin menjauh dari nilai-nilai kemanusiaan, kerakyatan,
serta keadilan.
Kerusakan atas subsistem hukum yang sangat menentukan dalam
berbagai bidang misalnya, politik, ekonomi, dan bidang lainnya, maka
bangsa Indonesia ingin melakukan suatu reformasi, menata kembali
subsistem yang mengalami kerusakan tersebut.

1. Pancasila sebagai Sumber Nilai Perubahan Hukum


Dalam negara terdapat suatu dasar fundamental atau pokok kai­
dah yang merupakan sumber hukum positif yang dalam ilmu hukum
tata negara disebut staats fundamenta norms. Sumber hukum positif di
Indonesia tidak lain adalah Pancasila.

175
spiritualisme pancasila

Hukum berfungsi sebagai pelayanan kebutuhan masyarakat, maka


hukum harus selalu diperbarui agar aktual atau sesuai dengan ke­
adaan serta kebutuhan masyarakat. Sebagai cita-cita hukum, Pancasila
dapat memenuhi fungsi konstitutif maupun fungsi regulatif. Dengan
fungsi regulatif, Pancasila menentukan dasar suatu tata hukum yang
memberi arti dan makna bagi hukum itu sendiri sehingga tanpa dasar
yang diberikan oleh Pancasila maka hukum akan kehilangan arti dan
maknanya sebagai hukum itu sendiri.
Fungsi regulatif Pancasila menentukan apakah suatu hukum
positif sebagai produk yang adil ataukah tidak adil. Sebagai staat funda­
mental norm, Pancasila merupakan pangkal tolak derivasi (sumber
penjabaran) dari tertib hukum di Indonesia termasuk UUD 1945. Da­
lam pengertian inilah menurut istilah ilmu hukum disebut sebagai
sumber dari segala peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Sumber hukum meliputi dua macam pengertian, sumber hukum

P
formal yaitu sumber hukum ditinjau dari bentuk dan tata cara pe­
nyusunan hukum, yang mengikat terhadap komunitasnya, misalnya

RO U
G
UU, Peraturan Pemerintah, Peraturan Daerah. Sumber hukum material

I A
yaitu suatu sumber hukum yang menentukan materi atau isi suatu
norma hukum.
ED
A M
Jika terjadi ketidakserasian atau pertentangan satu norma hukum

D
NA
dengan norma hukum lainnya, yang secara hierarkis lebih tinggi apa­

PRE
lagi dengan Pancasila sebagai sumbernya, berarti terjadi inkonsti­tu­­
sionalitas (unconstitutionality) dan ketidaklegalan (illegality) dan ka­
renanya norma hukum yang lebih rendah itu batal demi hukum.

2. Dasar Yuridis Reformasi Hukum


Reformasi total sering disalahartikan sebagai dapat melakukan
perubahan dalam bidang apa pun dengan jalan apa pun. Jika demikian
maka kita akan menjadi bangsa yang tidak beradab, tidak berbudaya,
masyarakat tanpa hukum, yang menurut Hobbes disebut keadaan
homo homini lupus, manusia akan menjadi serigala manusia lainnya
dan hukum yang berlaku adalah hukum rimba.
UUD 1945, beberapa pasalnya dalam praktik penyelenggaraan
negara bersifat multi-interpretable (penafsiran ganda), dan memberi­
kan porsi kekuasaan yang sangat besar kepada presiden (executive
heavy). Akibatnya, memberikan kontribusi atas terjadinya krisis politik
serta mandulnya fungsi hukum dalam negara RI.
Berdasarkan isi yang terkandung dalam Penjelasan UUD 1945,
Pembukaan UUD 1945 menciptakan pokok-pokok pikiran yang dija­

176
6  Pancasila sebagai Paradigma Kehidupan dalam Bermasyarakat...

barkan dalam pasal-pasal UUD 1945 secara normatif. Pokok-po­kok


pikiran tersebut merupakan suasana kebatinan dari UUD dan me­
rupakan cita-cita hukum yang menguasai baik hukum dasar tertulis
(UUD 1945) maupun hukum dasar tidak tertulis (convensi).
Selain itu, dasar yuridis Pancasila sebagai paradigma reformasi
hukum adalah Tap MPRS No. XX/MPRS/1966 yang menyatakan, bahwa
Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia,
yang berarti sebagai sumber produk serta proses penegakan hukum
yang harus senantiasa bersumber pada nilai-nilai Pancasila dan secara
eksplisit diperinci tata urutan peraturan perundang-undangan di In­
donesia yang bersumber pada nilai-nilai Pancasila.
Dalam era Reformasi, pelaksanaan hukum harus didasarkan pada
suatu nilai sebagai landasan operasionalnya. Reformasi pada dasarnya
untuk mengembalikan hakikat dan fungsi negara pada tujuan semula
yaitu melindungi seluruh bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia.

P
Negara, pada hakikatnya, secara formal harus melindungi hak-hak
warganya terutama hak kodrat sebagai suatu hak asasi yang merupa­

RO U
G
kan karunia Tuhan YME. Oleh karena itu, pelanggaran terhadap hak

I A
asasi manusia adalah sebagai pengingkaran terhadap dasar filosofis

ED
negara, misalnya pembungkaman demokrasi, penculikan, pembatasan

A M
ber­pen­­dapat berserikat, dan berunjuk rasa.

D
NA
Pelaksanaan hukum pada masa Reformasi harus benar-benar

PRE
dapat mewujudkan negara demokrasi dengan suatu supremasi hukum.
Artinya, pelaksanaan hukum harus mampu mewujudkan jaminan atas
terwujudnya keadilan (sila V) dalam suatu negara, yaitu keseimbangan
antara hak dan kewajiban bagi setiap warga negara, tidak memandang
pangkat, jabatan, golongan, etnisitas maupun agama. Setiap warga
negara bersamaan kedudukannya di muka hukum dan pemerintah
(Pasal 27 UUD 1945). Jaminan atas terwujudnya keadilan bagi setiap
warga negara dalam hidup bersama dalam suatu negara yang meliputi
seluruh unsur keadilan baik keadilan distributif, keadilan komulatif,
serta keadilan legal.
Landasan aksiologis (sumber nilai) sistem politik Indonesia ada­
lah dalam Pembukaan UUD 1945 alinea IV yang berbunyi, “......maka
disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Un­
dang-undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu
susunan Negara Republik Indonesia yang Berkedaulatan Rakyat dengan
berdasar kepada Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil
dan Beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang Dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta de­

177
spiritualisme pancasila

ngan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indo­nesia”.


Nilai demokrasi politik sebagaimana terkandung dalam Pancasila
sebagai fondasi bangunan negara yang dikehendaki oleh para pendiri
negara kita dalam kenyataannya tidak dilaksanakan berdasarkan sua­
sana kerohanian berdasarkan nilai-nilai tersebut. Berdasarkan se­ma­
ngat dari UUD 1945 esensi demokrasi adalah:
a. Rakyat merupakan pemegang kedaulatan tertinggi dalam negara.
b. Presiden dan wakil presiden dipilih oleh rakyat secara langsung.
c. Produk hukum apa pun yang dihasilkan oleh Presiden, baik sendiri
maupun bersama-sama lembaga lain kekuatannya berada di ba­
wah Majelis Permusyawatan Rakyat atau produk-produknya.
Kebijaksanaan ekonomi yang selama ini diterapkan hanya men­
dasarkan pada pertumbuhan dan mengabaikan prinsip nilai kese­jah­
teraan bersama seluruh bangsa, dalam kenyataannya hanya me­nyen­
tuh kesejahteraan sekelompok kecil orang bahkan penguasa.

UP
Pada era Ekonomi Global dewasa ini dalam kenyataannya tidak

RO
mampu bertahan. Krisis ekonomi yang terjadi di dunia dan melanda

I A G
In­donesia mengakibatkan ekonomi Indonesia terpuruk, sehingga ke­

ED
pai­litan yang diderita oleh para pengusaha harus ditanggung oleh
rakyat.

D A M
NA
Dalam kenyataannya, sektor ekonomi yang justru mampu ber­

PRE
tahan pada masa krisis dewasa ini adalah ekonomi kerakyatan, yaitu
ekonomi yang berbasis pada usaha rakyat. Langkah yang strategis dalam
upaya melakukan Reformasi Ekonomi yang berbasis pada ekonomi
rakyat yang berdasarkan nilai-nilai Pancasila yang mengutamakan
kesejahteraan seluruh bangsa, sebagai berikut:
a. Keamanan pangan dan mengembalikan kepercayaan, yaitu dila­­
kukan dengan program social safety net yang popular de­ ngan
program Jaring Pengaman Sosial (JPS). Sementara untuk me­
ngem­­­balikan kepercayaan rakyat terhadap pemerintah, maka pe­
merintah harus secara konsisten menghapuskan KKN, serta me­
ngadili bagi oknum pemerintah masa Orde Baru yang melaku­kan
pelanggaran. Hal ini akan memberikan kepercayaan dan kepastian
usaha.
b. Program rehabilitasi dan pemulihan ekonomi. Upaya ini dilaku­
kan dengan menciptakan kondisi kepastian usaha, yaitu dengan
diwujudkan perlindungan hukum serta undang-undang persaing­
an yang sehat. Untuk itu, pembenahan dan penyehatan dalam
sektor perbankan menjadi prioritas utama, karena perbankan me­

178
6  Pancasila sebagai Paradigma Kehidupan dalam Bermasyarakat...

ru­pakan jantung perekonomian.


c. Transformasi struktur, yaitu guna memperkuat ekonomi rakyat
maka perlu diciptakan sistem untuk mendorong percepatan
per­ubahan struktural (structural transformation). Transformasi
struktural ini meliputi proses perubahan dari ekonomi tradisional
ke ekonomi modern, dari ekonomi lemah ke ekonomi yang tang­
guh, dari ekonomi subsistem ke ekonomi pasar, dari ketergan­
tungan kepada kemandirian, dari orientasi dalam negeri ke orien­
tasi ekspor.
Dengan sendirinya intervensi birokrat pemerintahan yang ikut
dalam proses ekonomi melalui monopoli demi kepentingan pribadi
harus segera diakhiri. Dengan sistem ekonomi yang mendasarkan
nilai pada upaya terwujudnya kesejahteraan seluruh bangsa, maka pe­
ningkatan kesejahteraan akan dirasakan oleh sebagian besar rakyat,
sehingga dapat mengurangi kesenjangan ekonomi.

UP
E. Pola dan Bentuk Demokrasi

A G RO
Ekonomi Pancasila

ED I
A M
Pasal 33 UUD 1945 pada dasarnya merupakan landasan konsti­

D
NA
tu­sional bagi berkembangnya sistem perekonomian di Indonesia. Di

PRE
­da­lam Pasal 33 tersebut terkandung pola dan bentuk perekonomian
yang dianut oleh bangsa Indonesia. Berikut ini adalah isi dari Pasal 33
UUD 1945:
1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaan (Pasal 33 [1]).
2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai
hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara (Pasal 33 [2]).
3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemak­
muran rakyat (Pasal 33 [3]).
4) Perekonomian diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi
dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjut­
an, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga
keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional (Pasal
33 [4]****).
Dari isi Pasal 33 tersebut dapat disimpulkan bahwa perekonomian
yang dilaksanakan di Indonesia dinamakan ekonomi Pancasila yang
menganut pola berikut ini:

179
spiritualisme pancasila

1) Pelaksanaan kegiatan perekonomian dilaksanakan berdasarkan


asas kekeluargaan. Hal ini berarti, dalam demokrasi ekonomi pan­­
casila harus terjalin kemitraan antara pengusaha besar dan peng­
usaha kecil, antara majikan dan buruh, serta antara peme­rin­tah
dan para pelaku ekonomi.
2) Pelaksanaan kegiatan perekonomian harus mengutamakan ke­
makmuran rakyat dan bukan untuk kepentingan sekelompok ma­
syarakat tertentu, atau kemakmuran perorangan.
3) Produksi dikerjakan oleh semua untuk kepentingan bersama dan
di bawah pimpinan atau pengawasan anggota-anggota masyarakat
yang memegang peranan penting, bukan sebagai objek melainkan
sebagai subjek ekonomi.
4) Segala cabang produksi yang penting bagi negara dan yang
menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai negara, dan tidak
dimiliki oleh perusahaan perseorangan. Hal ini dimaksudkan, agar

P
tidak terjadi permainan dalam ekonomi yang dapat merugikan

RO
kepentingan umum. Cabang-cabang produksi yang kurang pen­
U
G
ting bagi negara dan tidak terlalu vital dapat dikelola oleh per­
usahaan perseorangan (swasta).

ED I A
5) Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya di­

A M
kuasai oleh negara. Hal ini disebabkan bumi dan air merupakan

D
NA
hal yang vital bagi kepentingan hidup manusia. Demikian halnya

PRE
dengan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Pengelolaan
barang-barang tambang, galian, dan hasil hutan harus mendapat
izin negara. Hal ini agar terjadi pengawasan yang ketat terhadap
sumber daya alam yang ada. Selain itu, dengan adanya kontrol
dari negara eksploitasi yang dilakukan oleh perusahaan swasta
dapat terarah dan dapat dipertanggungjawabkan.
6) Pelaksanaan perekonomian yang dibangun Indonesia sekarang ini
harus memperhatikan prinsip kebersamaan, efesiensi keadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta de­
ngan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi
nasional.

180
6  Pancasila sebagai Paradigma Kehidupan dalam Bermasyarakat...

 Latihan
Di bawah ini ada tabel, coba lakukan identifikasi mengenai pa­
radigma pembangunan, cari bahan-bahan referensi dengan menye­
butkan sumbernya untuk menyelesaikan latihan ini:

Pancasila sebagai Paradigma Makna dari Aspek-aspek


Pembangunan Paradigma Pembentuk
Paradigma

a. Politik

b. Ekonomi

c. Sosial Budaya

d. Hankam

e. Paradigma Pengembangan
Kehidupan Beragama

UP
A G RO
ED I
D A M
NA
PRE

181
UP
A GRO
ED I
D A M
NA
PRE
7
pancasila
sebagai ideologi

Pendahuluan

S ebagai suatu ideologi yang harus jadi pengawal Negara Republik

UP
RO
Indonesia, sekaligus sebagai pengarah perjalanan bangsa, Pan­

I A G
casila tidak boleh berubah jati dirinya menjadi sebuah ideologi yang

ED
tertutup, yang sekali tidak mau menerima penafsiran-penafsiran baru.

M
Apabila hal ini sampai terjadi, maka bagi bangsa dan negara Pan­

D A
ca­sila harus menjadi sebuah ideologi terbuka. Hanya dengan sikap

NA
mem­buka diri dari berbagai penafsiran atau interpertasi baru dalam

PRE
operasionalitasnya yang sesuai dengan tuntutan dan perkembangan
zamanlah Pancasila akan dapat mempertahankan relevansinya dengan
kebutuhan bangsa dan negara yang senantiasa berkembang dengan
cepatnya.
Sebagaimana pada ideologi-ideologi lainya yang bersikap ter­
buka, maka selaku ideologi terbuka Pancasila dapat menunjukkan
persyaratan sebagaimana diuraikan di atas:
1. Dimensi realitas, dalam arti bahwa ideologi Pancasila benar-
benar mencerminkan realitas yang hidup dan berkembang dalam
masyarakat bangsa Indonesia. Pancasila dirumuskan dengan cara
mengagregasikan nilai-nilai luhur yang terdapat ajaran agama
dan kebudayaan bangsa. Pancasila benar-benar menampilkan diri
sebagai kristalitasi dari nilai-nilai luhur yang dimiliki dan diyakini
oleh bangsa Indonesia.
2. Dimensi Idealisme, dalam arti kualitas idealisme yang tergantung
dalam Pancasila mampu menggugah harapan, memberikan op­
timis dan motivasi kepada para pendukungnya, hingga gagas­an
spiritualisme pancasila

vital yang terkandung di dalamnya bukan sekadar utopia, me­


lainkan sesuatu yang pada suatu ketika diwujudkan se­cara konkret
dan riil dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
3. Dimensi fleksibilitas, dalam arti bahwa ideologi Pancasila harus
memiliki sifat fleksibel, luwes, terbuka bagi interprestasi baru,
hingga ia tetap aktual dan fungsional dalam mengantisipasi se­
tiap tuntutan zaman tanpa hanyut dan tenggelam dalam arus
perubahan tidak terarah. Unsur inilah yang akan memberikan
peluang kepada setiap generasi dan pergi untuk memberikan
pengkayaan (enrichment) isi dan makna yang relevan, sesuai
dengan kebutuhan situasi dan kondisi. Pancasila tidak mungkin
dibuatkan penjabarannya sekaligus untuk selamanya. Pelaksanaan
nilai-nilai itu akan menyatu dengan proses, dan proses yang pro­
gresif (terus-menerus memuat kemajuan) hanya terjadi jika di­
jiwai oleh semangat keterbukaan, demikian dilandaskan oleh

P
Nurcholish Madjid (Nurcholish Madjid, 1991: 44). Senada dengan

RO U
pendapat Nurcholish Madjid, Syafii Maarif juga mengatakan bah­

G
wa, sebagai dasar negara dan ideologi politik Pancasila memang

I A
harus bersifat lentur dan terbuka untuk selalu dikaji ulang, asal

ED
semuanya itu dilakukan secara jujur dan bertanggung jawab

A M
(Musthafa Kamal, 1988). Dengan demikian, peran Pancasila se­

D
NA
ba­gai ideologi akan hadir sebagai “mitra dialog” dengan me­nun­

PRE
juk­kan nilai-nilai baru, norma-norma secara konkret, yang sangat
dibutuhkan sebagai dasar dan arah dalam melaksanakan kehi­dup­
an berbangsa dan bernegara (Koento Wibisono: idem).
Terkait dengan soal penafsiran ideologi, sebenarnya ada dua
watak ideologi, yaitu ideologi tertutup dan ideologi terbuka. Ideologi
tertutup adalah ideologi yang bersifat mutlak. Ideologi ini ciri-cirinya
sebagai berikut:
1. Bukan merupakan cita-cita yang sudah ada dan berkembang dalam
masyarakat, melainkan lebih merupakan cita-cita kelompok yang
digunakan sebagai dasar untuk mengubah masyarakat.
2. Apabila kelompok tersebut sudah berhasil menguasai negara, ide­
ologinya itu dipaksakan kepada masyarakat untuk mengikutnya.
Berbagai macam norma dan nilai dalam beberapa segi kehidupan
masyarakat akan diubah sesuai dengan ideologi tersebut.
3. Bersifat totaliter, artinya ideologi tersebut mengurusi/mencakup
semua bidang kehidupan. Oleh karena itu, ideologi tertutup ini
cenderung untuk cepat berusaha menguasai bidang informasi

184
7  Pancasila sebagai Ideologi

dan pendidikan, karena kedua bidang ini merupakan sarana yang


efektif untuk memengaruhi perilaku masyarakat.
4. Pluralisme pandangan dan kebudayaan ditiadakan, hak asasi ma­
nusia tidak dihormati.
5. Menuntut masyarakat untuk memiliki kesetiaan total dan kese­
diaan untuk berkorban bagi ideologi tersebut.
6. Ideologi tersebut tidak hanya berisikan tentang nilai-nilai dan
cita-cita, tetapi juga meliputi tuntutan-tuntutan konkret dan ope­
rasional yang keras, mutlak, dan total.
Suatu ideologi dikatakan sebagai ideologi terbuka apabila memiliki
ciri-ciri sebagai berikut:
1. Merupakan kekayaan rohani, moral, dan budaya seluruh ma­
syarakat.
2. Tidak diciptakan oleh negara maupun penguasa tetapi dite­mukan
dalam masyarakat sendiri, ia bisa digali dan ditemukan dalam
kehidupan masyarakat dan menjadi milik seluruh rakyat.
UP
RO
3. Isinya tidak langsung operasional, sehingga tiap generasi dapat

I A G
menggali kembali falsafah tersebut dan mencari implikasinya da­

ED
lam situasi yang sedang mereka jalani.

A M
4. Tidak pernah membatasi kebebasan dan tanggung jawab masya­

D
NA
rakat, tetapi memberi inspirasi pada masyarakat untuk hidup ber­

PRE
tanggung jawab sesuai dengan falsafah itu.
5. Menghargai pluralitas/perbedaan yang ada, sehingga dapat dite­
rima oleh warga masyarakat dari berbagai latar belakang budaya
dan agama.
Dari kelima jenis ciri-ciri tersebut kiranya dapat dipenuhi semua
dalam ideologi Pancasila. Untuk lebih jelasnya ini adalah penjelasan
lebih terperinci:
Pertama, Pancasila merupakan kekayaan rohani, moral, dan bu­
daya masyarakat. Pancasila merupakan pandangan hidup bangsa
yang berakar pada kesadaran masyarakat Indonesia yang nilai-nilai­
nya tercermin dalam kebiasaan dan praktik hidup sehari-hari dari
bangsa Indonesia sejak zaman dahulu kala dan menjadi milik bangsa
Indonesia.
Kedua, ideologi Pancasila ini tidak diciptakan negara. Telah kita
ketahui bahwa semua nilai yang terkandung dalam Pancasila ini kita
temukan dalam kebiasaan hidup bangsa Indonesia, baik nilai ketuhan­
an (religius), rasa kemanusiaan atau penghargaan harkat dan martabat
manusia, nilai persatuan (gotong royong dan kekeluargaan), nilai

185
spiritualisme pancasila

musya­warah dan keadilan maupun kesejahteraan sosial.


Ketiga, isinya tidak langsung operasional. Pancasila hanya dapat
memuat lima nilai dasar sebagai acuan dalam penyelenggaraan negara.
Penerapan kelima nilai tersebut memerlukan penafsiran lebih lanjut
sehingga dapat menyesuaikan dengan perkembangan zaman.
Keempat, tidak pernah memperkosa kebebasan dan tanggung ja­
wab masyarakat. Pancasila sangat menghargai adanya kebebasan tapi
yang bertanggung jawab, hal ini tercermin dalam kelima sila yang ada.
Kelima, menghargai pluralitas/perbedaan yang ada. Hal ini ter­­
bukti bahwa perumusan definitif Pancasila justru untuk tetap meng­
hargai pluralistik, ini dapat dilihat dalam perubahan sila perta­manya
sebagaimana tertuang dalam piagam Jakarta (Jakarta Charter) yaitu,
Ketu­hanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi peme­
luk-pemeluknya diganti dengan Ketuhanan Yang Maha Esa sesuai
dengan yang kita pakai saat ini.

P
Keenam, Pancasila juga bukan ideologi totaliter. Dalam sejarah

RO U
peru­musannya oleh para perumus Pancasila dan para pendiri negara

G
ini, Pancasila tidak dimaksudkan sebagai ideologi totaliter, yang

I A
mengurusi segala segi kehidupan dalam masyarakat. Pancasila meru­

ED
pakan ideologi politik, yaitu merupakan sebuah pedoman hidup dalam

A M
masyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pedoman tersebut menjawab

D
NA
lima masalah pokok tentang negara, yaitu:

PRE
1. Bagaimana kedudukan agama dan kepercayaan terhadap Tuhan
dalam kehidupan negara.
2. Bagaimana kedudukan/posisi manusia dalam negara.
3. Untuk siapa negara didirikan.
4. Siapakah yang berdaulat dalam negara dan bagaimanakah kepu­
tus­an dalam urusan mengenai negara diambil.
5. Apa tujuan dari negara tersebut.
Gagasan pertama mengenai Pancasila sebagai ideologi terbuka
secara formal ditampilkan pada 1985, meskipun semangatnya sendiri
dapat ditelusuri dari pembahasan para pendiri negara pada 1945. Pan­
dangan Pancasila sebagai ideologi terbuka didorong oleh tantangan
zaman. Sejarah menunjukkan, bahwa bila suatu ideo­logi tidak memiliki
dimensi fleksibilitas atau kelenturan, maka akan mengalami kesulitan
bahkan akan mengalami kehancuran dalam meng­hadapi tantangan
zaman.

186
7  Pancasila sebagai Ideologi

Sebagai ideologi terbuka, Pancasila senantiasa mampu berinteraksi


secara dinamis. Nilai-nilai Pancasila tidak boleh berubah, namun pe­
laksanaannya kita sesuaikan dengan kebutuhan dan tantangan nyata
yang kita hadapi dalam setiap kurun waktu.
Pemikiran Pancasila sebagai ideologi terbuka sudah tersirat da­
lam penjelasan UUD 1945 yang menyebutkan... “Maka telah cukup
jika Undang-Undang Dasar hanya memuat garis-garis besar sebagai
instruksi kepada pemerintah pusat dan lain-lain penyelenggara negara
untuk menyelenggarakan kehidupan negara dan kesejahteraan sosial,
terutama bagi negara baru dan negara muda, lebih baik hukum dasar
yang tertulis itu hanya memuat aturan-aturan pokok sedang aturan-
aturan penyelenggaraan/pelaksanaan aturan pokok itu diserahkan
kepada Undang-Undang yang lebih mudah cara membuat, mengubah,
dan mencabutnya”.
Dari kutipan tersebut dapat kita pahami bahwa UUD 1945 pada

P
hakikatnya memuat unsur keterbukaan. Karena sumber dari UUD 1945
adalah Pancasila, dan Pancasila juga merupakan hukum dasar yang

RO U
G
tertulis dan paling tinggi kedudukannya di Indonesia, maka Pancasila

I A
juga dapat dikatakan sebagai ideologi terbuka.

ED
Pada masa Orde Lama dan Orde Baru sifat terbukanya ideologi

A M
Pancasila ini pernah disimpangkan oleh penguasa dengan memono­

D
NA
poli penafsiran melalui (P4) Pedoman Penghayatan dan Pengamalan

PRE
Pancasila, di mana rakyat dipaksa memiliki pemahaman Pancasila se­
bagaimana yang dipahami oleh penguasa. Sebagai dampaknya, Pan­
casila dianggap sakral, kuno, tidak demokratis, tidak reformis, dan
tidak memiliki cita-cita baru.
Bangsa Indonesia yang sedang membangun saat ini dihadapkan
pada banyak masalah dalam negeri, misalnya kemiskinan, kesenjang­an
sosial, krisis moral, mau tidak mau ikut terseret dalam jaringan politik
dunia yang semakin dipengaruhi oleh kekuat­ an ekonomi raksasa.
Globalisasi yang dipicu oleh peningkatan ilmu pengetahuan, teknologi,
transportasi, dan komunikasi yang meru­pakan tantangan bagi bangsa
Indonesia dalam mewujudkan bangsa yang mandiri. Tantangan ini
hanya dapat diatasi apabila bangsa Indo­ nesia di satu pihak tetap
mempertahankan identitasnya dalam ikatan persatuan nasional dan di
lain pihak harus mampu mengem­bangkan dinamikanya agar mampu
bersaing dengan bangsa-bangsa lain.

187
spiritualisme pancasila

A. Faktor Pendorong Keterbukaan


Ideologi Pancasila
Kenyataan dalam proses pembangunan nasional dan dinamika
masyarakat yang berkembang secara cepat. Kenyataan menujukkan
bahwa bangkrutnya ideologi yang tertutup dan beku cenderung mere­
dupkan perkembangan dirinya. Pengalaman sejarah politik masa lam­
pau telah membuktikannya.
Tekad untuk memperkukuh kesadaran akan nilai-nilai dasar Pan­
casila yang bersifat abadi dan hasrat mengembangkan secara kreatif
dan dinamis dalam rangka mencapai tujuan nasional. Sekalipun Pan­
casila sebagai ideologi bersifat terbuka, namun ada batas-batas ke­
terbukaan yang tidak boleh dilanggar, yaitu:
1) Stabilitas nasional yang dinamis.
2) Larangan terhadap ideologi marxisme, leninnisme, dan komu­

P
nisme.
3) Mencegah berkembangnya paham liberalisme.

RO U
G
4) Larangan terhadap pandangan ekstrem yang menggelisahkan ke­

I A
hidupan bermasyarakat.

ED
5) Penciptaan norma-norma baru harus melalui konsensus.

D A M
Moerdiono (BP7 Pusat, 1992: 399) menyebutkan beberapa faktor

NA
yang mendorong pemikiran Pancasila sebagai ideologi terbuka.

PRE
1) Dalam proses pembangunan nasional berencana, dinamika ma­
syarakat kita berkembang amat cepat. Dengan demikian, tidak
se­mua persoalan kehidupan dapat ditemukan jawabannya secara
ideologis dalam pemikiran ideologi-ideologi sebelumnya.
2) Kenyataan bangkrutnya ideologi tertutup seperti marxisme-lenin­
isme/komunisme. Dewasa ini kubu komunisme dihadapkan pada
pilihan yang amat berat, menjadi suatu ideologi terbuka atau tetap
mempertahankan ideologi lainnya.
3) Pengalaman sejarah politik kita sendiri dengan pengaruh komu­
nisme sangat penting. Karena pengaruh ideologi komunisme
yang pada dasarnya bersifat tertutup, Pancasila pernah merosot
men­jadi semacam dogma yang kaku. Pancasila tidak lagi tampil
sebagai acuan bersama, tetapi sebagai senjata konseptual untuk
menyerang lawan-lawan politik. Kebijaksanaan pemerintah di saat
itu menjadi absolut. Konsekuensinya, perbedaan-perbedaan men­
jadi alasan untuk secara langsung dicap sebagai anti Pancasila.
4) Tekad kita untuk menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya

188
7  Pancasila sebagai Ideologi

asas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.


Sebagai catatan, istilah Pancasila sebagai satu-satunya asas te­lah
dicabut berdasarkan ketetapan MPR tahun 1999, namun pen­ca­
butan ini kita artikan sebagai pengembalian fungsi utama Pan­
casila sebagai dasar negara. Dalam kedudukannya sebagai dasar
negara, Pancasila harus dijadikan jiwa (volkgeits) bangsa Indo­
nesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara terutama dalam
pengembangan Pancasila sebagai ideologi terbuka. Di sam­ping
itu, ada faktor lain, yaitu adanya tekad bangsa Indonesia un­tuk
menjadikan Pancasila sebagai alternatif ideologi dunia.

B. Menampilkan Sikap Positif Terhadap Pancasila


Sebagai Ideologi Terbuka

P
Sebagai konsekuensi dari ideologi terbuka, maka semua komponen
masyarakat boleh untuk menafsirkannya. Dengan demikian, ideologi

RO U
G
tersebut perlu untuk dicari implikasinya sesuai dengan tuntutan za­

I A
man. Namun demikian, hal itu dapat pula membawa serangkaian ma­

ED
salah antara lain:

A M
1. Pancasila hanya akan dapat berkembang apabila segenap kom­

D
NA
ponen masyarakat bersedia proaktif, secara terus-menerus untuk

PRE
mengadakan penafsiran ulang terhadap Pancasila sesuai dengan
tuntutan masyarakat dan perkembangan zaman. Tanpa itu semua,
maka bisa jadi Pancasila akan kehilangan relevansinya, bahkan
bisa jadi berubah menjadi ideologi tertutup karena penafsirannya
didominasi oleh sekelompok orang tertentu untuk kepentingan
pribadi atau kelompoknya sebagaimana terjadi pada masa Orde
Lama dan Orde Baru.
2. Karena terbuka untuk ditafsirkan oleh siapa saja maka bisa jadi
Pancasila ditafsirkan sesuai dengan kepentingan si penafsir itu
sendiri, dan dampaknya kemungkinan Pancasila ditafsirkan me­
nu­rut ideologi lain.
Kedua tantangan itu menuntut kesediaan dari seluruh rakyat
untuk selalu pro aktif mengungkap pemahaman mengenai Pancasila
di samping juga pengawasan dari pemerintah mengenai berbagai pe­
nafsiran yang mungkin muncul, bahkan kalau perlu dibentuk lembaga
khusus yang bertugas mengontrol dan menyeleksi segala penafsiran
yang berkembang dari masa ke masa.

189
spiritualisme pancasila

Sikap positif lain yakni berupa kesediaan segenap komponen


bangsa untuk menjadikan nilai-nilai Pancasila makin tampak nyata
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam
ke­sehariannya. Ini berarti mewujudkan Pancasila sebagai kenyataan
sejarah bukan sekadar ucapan saja. Jadi, reinterpretasi Pancasila itu
tidak sekadar berhenti pada dialog teoretis saja tetapi harus dite­rap­kan
dalam praktik hidup nyata sehari-hari.
Penjabaran Pancasila sebagai ideologi terbuka dalam berbagai as­
pek kehidupan, terutama dalam menyongsong globalisasi perlu mem­­­
perhatikan beberapa hal, yaitu:
1. Perlunya perubahan kehidupan masyarakat agar tumbuh meka­
nisme sosial yang mampu menanggapi permasalahan dengan
adanya inovasi, kreasi, dan kompetisi.
2. Adanya demokratisasi dan kemandirian bangsa yang tercermin
dalam kemampuan melihat masalah lingkungannya, menganali­
sisnya, mengambil keputusan, dan melaksanakan hasil keputusan

UP
RO
dengan penuh tanggung jawab.

G
3. Perlunya memfungsikan lembaga-lembaga masyarakat dan lem­

ED I A
baga pemerintahan secara maksimal yang didukung oleh kerja

M
sama dan koordinasi yang seimbang di antara bagian-bagian sis­

D A
tem dalam masyarakat.

NA
PRE
Untuk menghindari segala bentuk penyimpangan penafsiran ter­
sebut semua kekuatan sosial politik dan semua organisasi kemasya­
rakatan telah menempatkan diri dalam pagar Pancasila. Keterbukaan
Pancasila bukanlah keterbukaan tanpa batas, melainkan Pancasila
justru merupakan batas, arah, dan tolok ukur bagi pemahaman, pemi­
kir­an, dan kegiatan bersama.
Beberapa dimensi yang menunjukkan ciri khas dalam ideologi
Pancasila:
1. Dimensi teologis, yaitu dimensi yang menunjukkan bahwa pem­
bangunan mempunyai tujuan yaitu mewujudkan cita-cita prokla­
masi kemerdekaan 1945, hidup bukan ditentukan oleh nasib
melainkan bergantung pada rahmat Tuhan Yang Maha Esa dan
usaha manusia.
2. Dimensi etis, yaitu dimensi yang menunjukkan bahwa dalam Pan­
casila manusia dan martabat manusia mempunyai kedudukan
yang sentral, yaitu seluruh proses pembangunan diarahkan untuk
mengangkat derajat manusia.
3. Dimensi Integral-Integratif, yaitu dimensi yang menempatkan ma­

190
7  Pancasila sebagai Ideologi

nusia tidak secara individualis, tetapi dalam konteks strukturnya.


Oleh karena itu, manusia harus dilihat dalam keseluruhan sisitem
yang meliputi masyarakat, dunia, dan lingkungannya.
Pancasila sebagai ideologi terbuka akan terwujud jika hal-hal beri­
kut dilaksanakan secara optimal:
1. Perlunya dinamisasi kehidupan masyarakat agar tumbuh meka­
nisme sosial yang mampu menanggapi permasalahan dengan
daya-daya inovasi, kreasi, dan kompetisi.
2. Perlunya demokratisasi masyarakat yang mampu membentuk
setiap warga negara menjadi dewasa dan mampu bertindak berda­
sarkan keputusan dan tanggung jawab pribadi.
3. Perlu terjadinya fungsionalisasi atau refungsionalisasi lembaga-
lembaga pemerintah dengan lembaga-lembaga masyarakat.
4. Perlu dilaksanakan institusionalisasi nilai-nilai yang membuat se­
luruh mekanisme masyarakat berjalan dengan wajar dan sehat.

UP
 Latihan

A G RO
ED I
1. Kunjungilah perpustakaan atau kajilah dari berbagai literatur dan

A M
bandingkan antara ideologi terbuka dan ideologi tertutup dari

D
NA
berbagai macam segi, di antaranya pemikiran yang melatarbe­la­

PRE
kanginya, sistem pemerintahan di negara yang menganutnya, dan
sebagainya.
2. Diskusikanlah dengan kelompok Anda mengenai konstitusi suatu
negara dan berikan analisis kelompok Anda apakah negara ter­
sebut menganut ideologi terbuka atau tertutup!

C. Pancasila Dan Ideologi-Ideologi Besar


Di Dunia
Dalam ilmu sosial, menurut Ramlan Surbakti (1992), dikenal dua
pengertian mengenai ideologi yaitu ideologi secara fungsional dan
secara struktural. Ideologi secara fungsional diartikan seperangkat ga­
gasan tentang kebaikan bersama, atau tentang masyarakat dan negara
yang dianggap paling baik, sedangkan ideologi struktural diartikan
se­bagai sistem pembenaran, seperti gagasan dan formula politik atas
setiap kebijakan dan tindakan yang diambil oleh penguasa.
Ideologi dalam arti fungsional digolongkan secara tipologi de­

191
spiritualisme pancasila

ngan dua tipe, yakni ideologi doktriner dan ideologi pragmatis. Suatu
ideologi dapat dikatakan doktriner apabila ajaran-ajaran yang ter­kan­
dung dalam ideologi itu dirumuskan secara sistematis dan terperinci
dengan jelas, diindoktrinasikan kepada warga masyarakat, dan pe­
lak­sanaannya diawasi secara ketat oleh aparat partai atau aparat pe­
merintah. Komunisme merupakan salah satu contoh ideologi dalam
arti fungsional ini. Biasanya sistem nilai atau ideologi yang diper­
kenankan hidup dalam masyarakat seperti ini hanyalah ideologi yang
doktriner. Akan tetapi, apabila ajaran-ajaran yang terkandung dalam
ideologi tersebut tidak dirumuskan secara sistematis dan terperinci,
tetapi dirumuskan secara umum. Dalam hal ini, ideologi tidak diin­
doktrinasikan, tetapi disosialisasikan secara fungsional melalui keluar­
ga, sistem pendidikan, sistem ekonomi, kehidupan agama, dan sistem
politik.
Berikut ini dijelaskan secara sekilas beberapa ideologi dunia, yakni

P
liberalisme, sosialisme, komunisme, dan fasisme.

RO U
G
1. Liberalisme

ED I A
Liberalisme merupakan falsafah ideologi yang mengajarkan bahwa

M
manusia adalah segala-galanya, memiliki hak hidup yang tinggi, serta

D A
hak kebebasan dalam arti luas. Negara dan hukum adalah lembaga

NA
dan sarana untuk manusia. Karena itu, negara dan hukum harus ada

PRE
persetujuan dan untuk kepentingan diri manusia. Ciri-ciri liberalisme
adalah kebebasan yang luas atas hak pribadi/individu. Paham ini di­
anut oleh masyarakat atau-negara negara di Eropa.
Liberalisme memandang manusia sebagai makhluk bebas yang
kebebasannya melalui unsur rasionalisme, materialisme, dan indivi­
dualisme merupakan milik yang sangat tinggi dan berharga. Ajaran
liberalisme bertitik tolak pada dasar hak asasi manusia yang dimiliki
sejak lahir dan bersifat mutlak, setiap individu memiliki kesempatan
dan kebebasan dalam mengejar kebahagiaan lahir dalam melimpahnya
kekayaan material. Negara dalam paham liberalisme hanya sebagai
alat atau sarana individu saja dalam mencapai tujuannya, sedangkan
manusia lain hanya sebagai pelengkap dalam mengatur negara secara
bersama. Urusan agama dalam negara liberal dipisahkan dari negara,
dalam hal ini negara liberal menganut paham sekular.
Dengan mengartikan liberal sebagai suatu paham kebebasan,
dalam perkembangannya akan muncul liberalisme politik, ekonomi,
kebudayaan, moral, dan sebagainya. Dari liberalisme politik lahirlah
konsepsi negara demokrasi, yaitu negara dikelola dari, oleh, dan untuk

192
7  Pancasila sebagai Ideologi

rakyat, sedangkan liberalisme di bidang ekonomi bertujuan meng­


hindari campur tangan pemerintah serta sistem ekonomi monopoli.
Dalam ideologi liberalisme kekuasaan yang absolut dan otoriter adalah
sesuatu yang diharamkan karena ideologi liberal menghendaki adanya
kebebasan individu. Dalam hal ini individu tidak mau dikekang oleh
kekuaasaan negara karena negara hanyalah sarana pemenuhan hak-
hak asasi individu.
Liberalisme di bidang politik dikembangkan oleh John Locke
dan Montesquieu. John Locke beranggapan bahwa negara terbentuk
sebagai akibat dari perjanjian antara individu yang merdeka dan pe­
nguasa yang diangkat. Montesquieu dalam bukunya The Spirit of Law
mengemukakan adanya pemisahan kekuasaan dalam negara, yaitu
legislatif, eksekutif, dan yudikatif dengan maksud untuk melindungi
kepentingan individu.
Perkembangan liberalisme semakin luas yang diprakarsai oleh

P
golongan borjuis setelah terjadinya revolusi di Inggris, Amerika, dan

RO
Perancis. Di Inggris muncul Bill of Right yang berisi jaminan atas hak
U
G
parlemen dan rakyat Inggris, di Amerika terjadi revolusi yang mela­

I A
hirkan suatu piagam hak asasi manusia dan kebebasan rakyat Amerika

ED
yang dikenal dengan Declaration of Indepence, serta di Perancis mun­

A M
cul revolusi dengan semboyan yang terkenal liberte, egalite, dan fra­

D
NA
ternite. Liberte artinya kebebasan, egalite artinya persamaan, dan

PRE
fraternite berarti persaudaraan. Ketiga semboyan ini sangat begitu
mem­­berikan motivasi, spirit, dan harapan bagi rakyat Perancis untuk
segera melepaskan dari kungkungan Raja Louis XIV.

a. Sistem Ekonomi Pasar Bebas atau Liberal


Liberalisme dalam bidang ekonomi melahirkan sistem perekono­
mian kapitalisme. Tokoh yang mengilhami munculnya sistem ini
ada­lah Adam Smith seorang Inggris yang terkenal dengan teori The
Wealth of Nation. Menurut Adam Smith, kemakmuran bangsa-bangsa
akan tercapai melalui ekonomi persaingan bebas dari campur tangan
negara. Kemudian, ideologi ini diperbarui oleh Keynes dengan teorinya
campur tangan negara dalam ekonomi khususnya dalam menciptakan
kesempatan kerja, masalah investasi tabungan dan sebagainya.
Paham kapitalisme menghendaki adanya pengawasan terhadap
lembaga parlemen sebagai pengganti sistem monarki. Menurut sistem
ekonomi, perdagangan bebas berdasarkan kapitalisme dan asas-asas
laissez faire (negara tidak campur tangan) sebagai pengganti merkan­
tilisme menginginkan agar semua orang mendapat kesempatan yang

193
spiritualisme pancasila

sama dalam mengembangkan diri tanpa adanya perbedaan seperti


derajat, pangkat, gelar.
Ekonomi pasar bebas adalah perekonomian yang kegiatan sepe­
nuhnya diatur oleh interaksi antara pembeli dan penjual di pasar.
Landasan dari sistem ekonomi ini adalah keyakinan bahwa apabila
setiap unit pelaku ekonomi diberikan kebebasan untuk melakukan
kegiatan-kegiatan akan memberikan keuntungan pada dirinya, maka
pada waktu yang sama masyarakat akan memperoleh keuntungan
juga.
Pada sistem ekonomi pasar bebas ini pemerintah sama sekali tidak
campur tangan dan tidak berusaha memengaruhi kegiatan ekonomi
yang dilakukan masyarakat. Seluruh sumber daya yang tersedia dimi­
liki dan dikuasai oleh anggota masyarakat, dan mereka memiliki kebe­
basan untuk menentukan bagaimana sumber daya tersebut akan digu­
nakan.

P
Karakteristik sistem perekonomian ini adalah: (1) Adanya pemi­

RO U
likan swasta atas aset produksi (tanah, pabrik, mesin, peralatan, dan

G
sebagainya) dan memperoleh jaminan hukum atas kepemilikan ter­

I A
sebut; (2) Free enterprise dan kompetitif yang memilki daya tembus

ED
ke dalam pasar; (3) Penjualan produksi komersial yang berlebihan di

A M
dalam pasar yang kompetitif; (4) Pengesampingan tingkah laku kon­

D
NA
sumen (behavioral objective) dalam rangka maksimalisasi laba bagi

PRE
produsen serta pemuasan bagi konsumen.
Sumber daya produksi dan barang ekonomi serta jasa dialokasikan
dan didistribusikan di antara berbagai aktivitas dan penggunaan oleh
apa yang dikenal dengan mekanisme pasar di dalam masyarakat ka­
pitalis.
Ciri-ciri sistem ekonomi kapitalis (kapitalisme) di antaranya:
1. Pengakuan yang luas atas hak-hak pribadi.
2. Pemilikan alat-alat produksi di tangan individu.
3. Individu bebas memilih pekerjaan/usaha yang dipandang baik
bagi dirinya.
4. Perekonomian diatur oleh mekanisme pasar.
5. Pasar berfungsi memberikan “signal” kepada produsen dan kon­
sumen dalam bentuk harga-harga.
6. Campur tangan pemerintah diusahakan sekecil mungkin. The In­
vi­sible Hand yang mengatur perekonomian menjadi efisien.
7. Motif yang menggerakkan perekonomian mencari laba.
8. Manusia dipandang sebagai mahluk homo-economicus, yang se­
lalu mengejar kepentingan (keuntungan) sendiri.

194
7  Pancasila sebagai Ideologi

9. Paham individualisme didasarkan materialisme, warisan zaman


Yunani Kuno (disebut hedonisme).
Adapun kebaikan-kebaikan kapitalisme sebagai berikut:
1. Lebih efisien dalam memanfaatkan sumber-sumber daya dan
distribusi barang-barang.
2. Kreativitas masyarakat menjadi tinggi karena adanya kebebasan
melakukan segala hal yang terbaik dirinya.
3. Pengawasan politik dan sosial minimal, karena tenaga waktu dan
biaya yang diperlukan lebih kecil.
Kelemahan-kelemahan kapitalisme sebagai berikut:
1. Tidak ada persaingan sempurna. Yang ada persaingan tidak sem­
purna dan persaingan monopolistik.
2. Sistem harga gagal mengalokasikan sumber-sumber secara efisien,
karena adanya faktor-faktor eksternalitas (tidak memperhitungkan
yang menekan upah buruh dan lain-lain).

UP
G RO
Dalam bidang politik di negara liberal yang memisahkan kekuasaan

A
I
negara menjadi tiga bentuk kekuasaan, yaitu kekuasaan membentuk

ED
perundang-undangan yang disebut dengan legislatif, kekuasaan men­

A M
jalankan pemerintahan atau menjalankan undang-undang yaitu ekse­

D
NA
kutif, dan kekuasaan untuk mengadili bagi mereka yang melanggar

PRE
perundang-undangan disebut dengan yudikatif. Lembaga legislatif
di­­pilih oleh rakyat yang memiliki hak yang sudah ditentukan dalam
perundang-undangan melalui suatu pemilihan yang bebas, umum,
dan rahasia.

b. Sejarah Liberalisme
Liberalisme adalah sebuah ideologi, pandangan filsafat, dan tradisi
politik yang didasarkan pada pemahaman bahwa kebebasan adalah
nilai politik yang utama. Liberalisme tumbuh dari konteks masyarakat
Eropa pada Abad Pertengahan. Ketika itu masyarakat ditandai dengan
dua karakteristik. Karakter yang pertama adalah anggota masyarakat
terikat satu sama lain dalam suatu sistem dominasi kompleks dan
kukuh, dan pola hubungan dalam sistem ini bersifat statis dan sukar
berubah.
Pemikiran liberal (liberalisme) berkembang sejak masa Reformasi
Gereja dan Renaisans yang menandai berakhirnya Abad Pertengahan
(abad V-XV). Disebut liberal, yang secara harfiah berarti bebas dari
batasan (free from restraint), karena liberalisme menawarkan konsep

195
spiritualisme pancasila

kehidupan yang bebas dari pengawasan gereja dan raja. Ini berkeba­
likan total dengan kehidupan Barat Abad Pertengahan ketika gereja
dan raja mendominasi seluruh segi kehidupan manusia.
Secara umum, liberalisme mencita-citakan suatu masyarakat yang
bebas, dicirikan oleh kebebasan berpikir bagi para individu. Paham li­
be­ralisme menolak adanya pembatasan, khususnya dari pemerintah
dan agama. Liberalisme menghendaki adanya, pertukaran gagasan
yang bebas, ekonomi pasar yang mendukung usaha pribadi (private
enterprise) yang relatif bebas, dan suatu sistem pemerintahan yang
transparan, dan menolak adanya pembatasan terhadap pemilikan in­
dividu. Oleh karena itu, paham liberalisme lebih lanjut menjadi dasar
bagi tumbuhnya kapitalisme.
Dalam masyarakat modern, liberalisme akan dapat tumbuh dalam
sistem demokrasi, hal ini dikarenakan keduanya sama-sama men­da­
sarkan kebebasan mayoritas. Bandingkan Oxford Manifesto dari Li­

P
beral International: Hak-hak dan kondisi ini hanya dapat diperoleh

RO U
melalui demokrasi yang sejati. Demokrasi sejati tidak terpisahkan dari

G
kebebasan politik dan didasarkan pada persetujuan yang dilakukan

I A
dengan sadar, bebas, dan yang diketahui benar (enlightened) dari ke­

ED
lompok mayoritas, yang diungkapkan melalui surat suara yang bebas

A M
dan rahasia, dengan menghargai kebebasan dan pandangan-pan­dang­

D
NA
an kaum minoritas.

PRE
Masyarakat yang terbaik (rezim terbaik), menurut paham libera­l­
is­me adalah yang memungkinkan individu mengembangkan kemam­
puan-kemampuan individu sepenuhnya. Dalam masyarakat yang
baik, semua individu harus dapat mengembangkan pikiran dan bakat-
bakatnya. Hal ini mengharuskan para individu untuk bertanggung
jawab atas tindakannya, dan tidak menyuruh seseorang melakukan
se­­suatu untuknya atau seseorang untuk mengatakan apa yang harus
di­lakukan.
Liberalisme merupakan paham yang menjunjung tinggi nilai
kebebasan terutama kebebasan individual. Segala sesuatu yang mem­
batasi kebebasan moral, agama, maupun sosial dianggap telah berten­
tangan dengan hak asasi manusia dan kebebasan yang notabene me­
rupakan milik setiap individu. Lain halnya dengan ideologi komunis
yang membatasi sekali kebebasan rakyatnya, kerapkali komunis juga
disebut antiliberalis.
Liberalisme merupakan salah satu aliran filsafat dan politik kuno
namun pada saat ini cukup dikenal. Dalam kamus politik, liberalisme
adalah sebuah aliran filsafat yang berpondasikan keyakinan pada

196
7  Pancasila sebagai Ideologi

esensi kebebasan. Liberalisme muncul secara tidak langsung di masa


renaissansce dan reformasi agama yang diprakarsai oleh Martin Luther
dan Jhon Calvin. Kata liberty sendiri diambil dari bahasa Latin yaitu
liberte. Berdasarkan definisi di atas, maka yang dimaksud dengan
penganut liberalisme adalah orang-orang pengusung kebebasan. De­
ngan kata lain, liberalisme merupakan sebuah aliran yang memi­liki
ideologi, pandangan, dan metode yang tujuan utamanya yakni me­
nyi­apkan kebebasan semaksimal mungkin bagi manusia dengan ber­
sandar pada konsep individualisme.

c. Substansi Liberalisme
Liberalisme sebagai suatu ideologi pragmatis muncul pada Abad
Pertengahan di kalangan masyarakat Eropa. Masyarakat Eropa pada
saat itu secara garis besar terbagi atas dua, yakni kaum aristokrat
dan para petani. Kaum aristokrat diperkenankan untuk memiliki ta­
nah, golongan feodal ini pula yang menguasai proses politik dan

UP
RO
ekonomi, sedangkan para petani berkedudukan sebagai penggarap

I A G
tanah yang dimiliki oleh patronnya, yang harus membayar pajak dan

ED
menyumbangkan tenaga bagi sang patron. Bahkan, di beberapa tempat

M
di Eropa, para petani tidak diperkenankan pindah ke tempat lain yang

D A
dikehendaki tanpa persetujuan sang patron (bangsawan).

NA
Akibatnya, mereka tidak lebih sebagai milik pribadi sang patron.

PRE
Sebaliknya, kesejahteraan para penggarap itu seharusnya ditanggung
oleh sang patron. Industri dikelola dalam bentuk gilde-gilde yang
mengatur secara ketat, bagaimana suatu barang diproduksi, berapa
jumlah dan distribusinya. Kegiatan itu dimonopoli oleh kaum aris­
to­krat. Maksudnya, pemilikan tanah oleh kaum bangsawan, hak-hak
istimewa gereja, peranan politik raja, dan kaum bangsawan, dan kekua­
saan gilde-gilde dalam ekonomi merupakan bentuk-bentuk dominasi
yang melembaga atas individu.
Dalam konteks perkembangan masyarakat itu, muncul industri dan
perdagangan dalam skala besar, setelah ditemukan beberapa tekno­logi
baru. Untuk mengelola industri dan perdagangan dalam skala besar-
besaran ini jelas diperlukan buruh yang bebas dan dalam jumlah yang
banyak, ruang gerak yang leluasa, mobilitas yang tinggi dan kebebas­
an berkreasi. Kebutuhan-kebutuhan baru itu terbentur pada aturan-
aturan yang diberlakukan secara melembaga oleh golongan feodal.
Yang membantu golongan ekonomi baru terlepas dari kesukaran itu
adalah munculnya paham liberal.

197
spiritualisme pancasila

Liberalisme tidak diciptakan oleh golongan pedagang dan indus­


tri, tetapi diciptakan oleh golongan intelektual yang digerakkan oleh
keresahan ilmiah dan artistik umum pada zaman itu. Keresahan in­
telektual tersebut disambut oleh golongan pedagang dan industri,
bahkan hal itu digunakan untuk membenarkan tuntutan politik yang
membatasi kekuasaan bangsawan, gereja, dan gilde-gilde. Mereka tidak
bertujuan semata-mata untuk dapat menjalankan kegiatan ekonomi
secara bebas, tetapi juga mencari keuntungan yang sebesar-besarnya.
Masyarakat yang terbaik (rezim terbaik), menurut paham liberal ada­
lah yang memungkinkan individu mengembangkan kemampuan-ke­
mampuan individu sepenuhnya. Dalam masyarakat yang baik, se­mua
individu harus dapat mengembangkan pikiran dan bakat-bakat­nya.
Hal ini mengharuskan para individu untuk bertanggung jawab
pada segala tindakannya, baik itu merupakan sesuatu untuknya atau
se­seorang. Seseorang yang bertindak atas tanggung jawab sendiri dapat

P
mengembangkan kemampuan bertindak. Menurut asumsi liberalisme

RO U
inilah, John Stuart Mill mengajukan argumen yang lebih mendukung

G
pemerintahan berdasarkan demokrasi liberal. Dia mengemukakan

I A
tujuan utama politik yakni mendorong setiap anggota masyarakat un­

ED
tuk bertanggung jawab dan menjadi dewasa. Hal ini hanya dapat ter­

A M
jadi manakala mereka ikut serta dalam pembuatan keputusan yang

D
NA
menyangkut hidup mereka.

PRE
Oleh karena itu, walaupun seorang raja yang bijaksana dan baik
hati, mungkin dapat membuat putusan yang lebih baik atas nama
rakyat dari pada rakyat itu sendiri, bagaimanapun juga demokrasi jauh
lebih baik karena dalam demokrasi rakyat membuat sendiri keputusan
bagi diri mereka, terlepas dari baik buruknya keputusan tersebut. Jadi,
ciri-ciri ideologi liberal sebagai berikut:
a. Pertama, demokrasi merupakan bentuk pemerintahan yang lebih
baik.
b. Kedua, anggota masyarakat memiliki kebebasan intelektual pe­
nuh, termasuk kebebasan berbicara, kebebasan beragama, dan
kebebasan pers.
c. Ketiga, pemerintah hanya mengatur kehidupan masyarakat se­
cara terbatas. Keputusan yang dibuat hanya sedikit untuk rakyat
sehingga rakyat dapat belajar membuat keputusan untuk diri
sendiri.
d. Keempat, kekuasaan dari seseorang terhadap orang lain meru­
pakan hal yang buruk. Oleh karena itu, pemerintahan dijalankan
sedemikian rupa sehingga penyalahgunaan kekuasaan dapat di­

198
7  Pancasila sebagai Ideologi

cegah. Pendek kata, kekuasaan dicurigai sebagai hal yang cende­


rung disalahgunakan, dan karena itu, sejauh mungkin dibatasi.
e. Kelima, suatu masyarakat dikatakan berbahagia apabila setiap
individu atau sebagian besar individu berbahagia. Walau masya­
rakat secara keseluruhan berbahagia, kebahagian sebagian besar
individu belum tentu maksimal. Dengan demikian, kebaikan sua­
tu masyarakat atau rezim diukur dari seberapa tinggi indivivu
berhasil mengembangkan kemampuan-kemampuan dan bakat-
bakatnya. Ideologi liberalisme ini dianut di Inggris dan koloni-
koloninya termasuk Amerika Serikat.

2. Komunisme
Sebelum kita masuk ke alam pemikiran Karl Marx, kita sempat
dipusingkan oleh campur aduknya mengenai komunisme dan marxis­
me. Pengertian dari kedua ini tidak sama. Komunisme juga disebut
komunisme internasional adalah gerakan kaum komunis. Komunis
UP
RO
adalah gerakan dan kekuatan politik partai-partai komunis yang sejak

I A G
revolusi Oktober 1917 menjadi kekuatan politis dan ideologis inter­

ED
nasional di bawah pimpinan Lenin. Sehingga kita mengenal sebutan

A M
Marxisme-Leninisme yang diklaim oleh kaum komunis sebagai “ideo­

D
NA
logi” resmi komunisme untuk memperlihatkan bahwa mereka sebagai

PRE
pewaris sah ajaran Marx.
Marxisme, istilah ini adalah sebutan bagi pembakuan ajaran resmi
Karl Marx yang terutama dilakukan oleh temannya Friedrich Engels dan
tokoh teori ini Karl Kautsky. Dalam pembakuan ini ajaran Marx tidak
mudah dimengerti atau disederhanakan agar sesuai sebagai ideologi
perjuangan kaum buruh. Jadi, Marxisme bukan hanya merupakan
­teo­ri tentang perlawanan dan perjuangan kelas buruh melawan kaum
kapitalis tetapi juga tentang kemenangan kaum sosialis.
Ajaran marxisme-leninisme sangat bertolak belakang dengan
ajar­an Pancasila, juga bertentangan dengan paham liberalisme dan
indi­vidual. Masyarakat yang diidamkan dan dicita-citakan komunis
dunia adalah masyarakat yang tidak dibatasi kesadaran nasional dan
komunis menghendaki masyarakat tanpa nasionalisme. Di samping
itu, ajaran komunis menyerukan kepada kaum buruh sedunia untuk
bersatu dan memerangi kapitalis dan agama karena agama juga bukan
masalah pribadi melainkan suatu gejala sosial bagian dari masyarakat
yang harus dirombak secara total.
Ajaran komunisme tertuang dalam dialektika materialisme dan

199
spiritualisme pancasila

bertitik tolak pada materi yang menjadi sumber keberadaan benda-


benda alamiah yang senantiasa bergerak dan berubah menuju kon­
disi atau tingkatan yang lebih tinggi melalui proses dialektik, yaitu
pertentangan-pertentangan di antara kelas dan saling berinteraksi
se­­­cara dialektis atau kelas kapitalis/penindas harus dilenyapkan yang
ber­­­ha­dapan dengan kelas buruh/proletar.
Komunisme juga mencanangkan suatu cita-cita bersifat utopis,
yaitu suatu masyarakat tanpa kelas, sama rasa, dan sama rata. Masya­
ra­kat tanpa kelas dapat digambarkan sebagai suatu masyarakat yang
dapat memberikan suasana hidup yang nyaman yang tanpa hak milik
pribadi, tanpa sarana dan alat produksi, tanpa pertentangan, dan tidak
mendasarkan kepada hak milik pribadi, tetapi kepada komunal.
Adapun ciri ciri umum yang dapat dikemukakan dari ideologi ko­
munis sebagai berikut:
a. Bersumber kepada akal, tetapi terbatas;
b. Perekonomian ada di tangan negara;

UP
RO
c. Hukum dibuat oleh manusia dan diterapkan oleh negara dengan

G
tangan besi;

ED I A
d. Menolak keberadaan agama/ateis, tidak percaya adanya Tuhan;

M
e. Manusia makhluk sosial, tanpa demokrasi individu dan manusia

D A
dianggap mesin;

NA
f. Masyarakat sebagai kesatuan manusia tanpa kelas, dengan lan­

PRE
dasan teori perjuangan/pertentangan kelas proletar berhadapan
dengan kaum kapitalis/tuan tanah;
g. Bersifat kosmopolitan, artinya menerapkan dan mengembangkan
hegemoninya ke seluruh pelosok dunia.
Komunisme adalah salah satu ideologi di dunia, selain kapitalisme
dan ideologi lainnya. Komunisme lahir sebagai reaksi terhadap kapita­
l­isme di abad ke-19, yang mana ideologi liberal-kapitalisme lebih me­
mentingkan individu pemilik dan mengesampingkan buruh.
Secara umum, komunisme sangat membatasi agama pada rakyat­
nya, dengan prinsip agama dianggap candu (the religion is opium of the
people) yang membuat orang berangan-angan yang membatasi rak­
yatnya dari pemikiran yang rasional dan nyata. Paham komunis ber­
keyakinan perubahan atas sistem kapitalisme harus dicapai dengan
cara-cara revolusi dan pemerintahan oleh diktator proletariat sangat di­­
perlukan pada masa transisi. Dalam masa transisi dengan ­ban­tuan ne­
gara di bawah diktator proletariat, seluruh hak milih pribadi ­di­ha­­­pus­­kan
dan diambil alih untuk selanjutnya berada dalam kontrol ne­gara.

200
7  Pancasila sebagai Ideologi

Komunisme sebagai ideologi mulai diterapkan saat meletusnya


Revolusi Bolshevik di Rusia, 7 November 1917. Sejak saat itu komunisme
diterapkan sebagai sebuah ideologi dan disebarluaskan ke negara
lain. Pada 2005 negara yang masih menganut paham komunis adalah
Tiongkok, Vietnam, Korea Utara, Kuba, dan Laos.

a. Ciri-ciri Ideologi Komunisme


Adapun ciri pokok pertama ajaran komunisme adalah sifatnya yang
ateis, tidak mengimani adanya Tuhan. Orang komunis menganggap
Tuhan tidak ada, kalau ia berpikir Tuhan tidak ada. Akan tetapi, kalau
ia berpikir Tuhan ada, jadilah Tuhan ada. Maka, keberadaan Tuhan
terserah kepada manusia. Ciri pokok kedua adalah sifatnya yang kurang
menghargai manusia sebagai individu. Manusia itu seperti mesin.
Kalau sudah tua, rusak, jadilah ia rongsokan tidak berguna seperti
rong­­sokan mesin. Komunisme juga kurang menghargai individu, ter­
buk­ti dari ajarannya yang tidak memperbolehkan ia menguasai alat-

UP
RO
alat produksi.

I A G
Komunisme mengajarkan teori perjuangan (pertentangan) kelas,

ED
misalnya proletariat melawan tuan tanah (borjuis) dan kapitalis. Pe­

M
merintah komunis di Rusia pada zaman Lenin pernah mengadakan

D A
pembersihan kaum kapitalis (1919-1921). Stalin pada 1927, meng­

NA
ada­kan pembersihan kaum feodal atau tuan tanah. Salah satu doktrin

PRE
ko­munis adalah the permanent atau continuous revolution (revo­lusi
terus-menerus). Revolusi itu menjalar ke seluruh dunia. Komu­nisme
me­mang memprogramkan tercapainya masyarakat yang mak­mur, ma­
syarakat komunis tanpa kelas (unless class community), semua orang
sama. Namun, untuk menuju ke sana, ada fase diktator prole­ta­riat
yang bertentangan dengan demokrasi. Salah satu peker­jaan dik­tator
proletariat adalah membersihkan kelas-kelas lawan ko­munis­me, khu­
susnya tuan-tuan tanah dan kapitalis.
Dalam dunia politik, komunisme menganut sistem politik satu
partai, yaitu partai komunis. Maka, di negara-negara komunis hanya
ada satu partai seperti, Partai Komunis Uni Soviet, Partai Komunis
Cina, PKI, dan Partai Komunis Vietnam, yang merupakan satu-satu­
nya partai di negara bersangkutan. Jadi, di negara komunis tidak
ada partai oposisi. Partai Komunis menjadi partai pemerintah yang
me­ngendalikan pemerintahan. Adapun pemilu yang ada hanyalah
sebatas formalisme politik semata, yang penuh dengan kecurangan
dan ketidakjujuran.

201
spiritualisme pancasila

Ideologi komunis merupakan paham yang muncul sebagai re­


aksi terhadap kapitalisme di abad ke-19, yang mana kapitalisme itu
mementingkan individu pemilik alat modal dan mengesampingkan
buruh atau kalangan kelas bawah. Tokoh yang banyak mengkritik
prak­­
­ tik kapitalisme adalah Karl Marx, seorang filsuf terkenal pada
zaman­nya. Sosok Marx amat membenci kapitalisme, betapa ia me­
lihat para ­anak-anak dan wanita-wanita termasuk keluarganya yang
dieksploitir para kapitalis sehingga sebagian besar dari mereka ter­
serang penyakit TBC dan tewas, karena beratnya penderitaan yang
mereka alami. Sementara hasil jerih payah mereka dinikmati oleh
para pemilik sumber daya (modal) yang disebutnya kaum borjuis.
Komunisme juga mengarah kepada paham politik yang mana rakyatnya
mempunyai kuasa mutlak untuk menjalankan negara dan segala alat
industri negara menjadi milik bersama rakyat.

P
b. Marxisme-Leninisme

RO U
Komunisme berideologi bukan hanya marxisme, melainkan juga

I A G
marxisme-leninisme. Artinya, marxisme sebagaimana dipersepsi Le­

ED
nin (1870-1924). Tambahan Lenin pada marxisme adalah ajaran ten­

M
tang pere­butan kekuasaan oleh Partai Komunis, hal yang tak pernah

D A
dipikirkan oleh Karl Marx (1818-1883). Ajaran Marx umum sifatnya,

NA
sementara Lenin bicara strategi dan taktik perjuangan proletariat

PRE
pimpinan Partai Komunis. Lenin dalam arti tertentu berhasil, karena
sukses “men­ciptakan” Revolusi Oktober tahun 1917.
Dalam komunisme, perubahan sosial harus dimulai dari peran
Partai Komunis. Logika secara ringkasnya, perubahan sosial dimulai
dari buruh, namun pengorganisasian Buruh hanya dapat berhasil
jika bernaung di bawah dominasi partai. Partai membutuhkan peran
Politbiro sebagai think-tank. Dapat diringkas perubahan sosial hanya
bisa berhasil jika dicetuskan oleh Politbiro. Inilah yang menyebabkan
komunisme menjadi “tumpul” dan tidak lagi diminati.
Komunisme sebagai anti kapitalisme menggunakan sistem sosia­
lisme sebagai alat kekuasaan, di mana kepemilikan modal atas indi­vidu
sangat dibatasi. Prinsip semua adalah milik rakyat dan dikuasai oleh
negara untuk kemakmuran rakyat secara merata. Komunisme sangat
mem­ batasi demokrasi pada rakyatnya, dan karenanya komunisme
juga disebut anti liberalisme.
Menurut Marx, ciri-ciri inti dari masyarakat komunis tersebut,
yakni:

202
7  Pancasila sebagai Ideologi

a. Penghapusan hak milik pribadi atas alat-alat produksi.


b. Penghapusan adanya kelas-kelas sosial.
c. Penghapusan pembagian kerja.
Menurut Marx, komunisme menitikberatkan pada empat, yakni:
1. Sekelumit kecil orang kaya hidup dalam kemewahan yang berlim­
pah, sedangkan kaum pekerja yang teramat banyak jumlahnya
hidup bergelimang pada kesengsaraan.
2. Cara untuk merombak ketidakadilan ini dengan jalan melaksa­
nakan sistem sosialis yaitu sistem di mana alat produksi dikuasai
negara dan bukannya oleh pribadi swasta.
3. Pada umumnya salah satunya jalan paling praktis untuk melak­
sanakan sistem sosialis ini adalah lewat revolusi kekerasan.
4. Untuk menjaga kelanggengan sistem sosialis harus diatur oleh
kediktatoran Partai Komunis dalam jangka waktu yang memadai.

P
Tiga dari ide pertama sudah dicetuskan dengan jelas sebelum Marx,
sedangkan ide keempat berasal dari gagasan Marx mengenai “dik­tatur

RO U
G
proletariat”. Sementara itu, masa kediktatoran Soviet lebih merupa­­

ED I A
kan hasil dari langkah-langkah Lenin dan Stalin daripada gagasan
Marx. ­Hal ini tampaknya menimbulkan anggapan bahwa pengaruh

D A M
Marx dalam komunisme lebih kecil dari kenyataan sebenarnya, dan

NA
penghargaan orang terhadap tulisan-tulisannya lebih menyerupai

PRE
sekadar etalase untuk membenarkan sifat “keilmiahan” daripada ide
dan politik yang sudah terlaksana dan diterima. Sementara boleh jadi
ada benarnya juga anggapan itu, namun tampaknya terlalu berlebihan.
Lenin misal­nya, tidak sekadar menganggap dirinya mengikuti ajaran-
ajaran Marx, tapi dia betul-betul membacanya, menghayatinya, dan
menerimanya. Dia yakin betul yang dilimpahkannya persis di atas rel
yang dibentangkan Marx. Begitu juga terjadi pada diri Mao Tse Tung
dan pemuka-pemuka Komunis lain. Memang benar, ide-ide Marx
mungkin sudah disalahartikan dan ditafsirkan lain.
Mungkin bisa diperdebatkan bahwa Lenin, politikus praktis yang
sesungguhnya mendirikan Negara Komunis, memegang saham besar
dalam hal membangun Komunisme sebagai suatu ideologi yang begitu
besar pengaruhnya di dunia. Pendapat ini masuk akal, Lenin be­nar-
benar seorang tokoh penting. Tapi tulisan-tulisan Marx begitu hebat
pengaruhnya terhadap jalan pikiran, bukan saja Lenin melainkan juga
pe­muka-pemuka Komunis lain. Akhirnya, sering dituding orang bahwa
teori Marxis di bidang ekonomi sangatlah buruk dan banyak keliru.

203
spiritualisme pancasila

Perbandingan Antara Ideologi Liberalisme, Komunisme, dan Pan­


casila.
Tabel 3

No. Hal Liberalisme Komunisme Pancasila

1. Kebebasan Pemerintah Ateis (tak Diatur dalam


beragama memberikan beragama) UUD 1945
kebebasan Pasal 29 ayat 2
kepada
warganya

2. Hak Perorangan Diakui oleh Tidak Diatur dalam


pemerintah diakui oleh UUD 1945
pemerintah

3. Kesejahteraan Ditanggung Hanya Ditanggung


individu oleh mementingkan oleh
individu sendiri golongan saja pemerintah
sesuai Pasal 34

4. Sistem Dwipartai Monopartai

UP
Multipartai

RO
kepartaian

A G
5. Paham yang Liberal Totaliter Demokrasi

ED I
dianut

M
6. Perekonomian Individu bebas Etatisme Diatur dalm

D A
berperan dalam UUD 1945

NA
perekonomian Pasal 33

PRE
3. Fasisme
a. Pengertian Ideologi Fasisme
Fasisme merupakan sebuah paham politik yang mengagungkan
kekuasaan absolut tanpa demokrasi. Dalam paham ini, nasionalisme
yang sangat fanatik dan juga otoriter sangat kentara. Kata fasisme di­
ambil dari bahasa Italia, fascio, sendirinya dari bahasa Latin, fascis,
yang berarti seikat tangkai-tangkai kayu. Ikatan kayu ini lalu tengahnya
ada kapaknya dan pada zaman Kekaisaran Romawi dibawa di depan
pe­jabat tinggi. Fascis merupakan simbol daripada kekuasaan pejabat
pemerintah.
Pada abad ke-20, fasisme muncul di Italia dalam bentuk Benito
Mussolini. Sementara itu di Jerman, juga muncul sebuah paham yang
masih bisa dihubungkan dengan fasisme, yaitu Nazisme pimpinan
Adolf Hitler. Nazisme berbeda dengan fasisme Italia karena yang dite­
kankan tidak hanya nasionalisme saja, tetapi bahkan rasialisme dan

204
7  Pancasila sebagai Ideologi

rasisme yang sangat sangat kuat. Begitu kuatnya nasionalisme sampai


mereka membantai bangsa-bangsa lain yang dianggap lebih rendah.
Fasisme dikenal sebagai ideologi yang lahir dan berkembang
subur pada abad ke-20. Ia menyebar dengan pesat di seluruh dunia
pada permulaan Perang Dunia I, dengan berkuasanya rezim fasis di
Jerman dan Italia pada khususnya, tetapi juga di negara-negara seperti
Yunani, Spanyol, dan Jepang, di mana rakyat sangat menderita oleh
cara-cara pemerintah yang penuh kekerasan. Berhadapan dengan
tekanan dan kekerasan ini, mereka hanya dapat gemetar ketakutan.
Diktator fasis dan pemerintahannya yang memimpin sistem semacam
itu——di mana kekuatan yang brutal, agresi, pertumpahan darah,
dan kekerasan menjadi hukum——mengirimkan gelombang teror ke
selu­ruh rakyat melalui polisi rahasia dan milisi fasis mereka, yang
melumpuhkan rakyat dengan rasa takut. Lebih jauh lagi, pemerintahan
fasis diterapkan dalam hampir semua tingkatan kemasyarakatan, dari

P
pendidikan hingga budaya, agama hingga seni, struktur pemerintah
hingga sistem militer, dan dari organisasi politik hingga kehidupan

RO U
G
pri­badi rakyatnya. Pada akhirnya, Perang Dunia II, yang dimulai oleh

I A
kaum fasis, merupakan salah satu malapetaka terbesar dalam sejarah

ED
umat manusia, yang merenggut nyawa 55 juta orang.

A M
Namun demikian, bukan berarti fasisme tidak memiliki ajaran.

D
NA
Setidaknya para pelopor fasisme meninggalkan jejak ajaran mereka

PRE
perihal fasisme. Hitler menulis Mein Kampft, sedangkan Mussolini
menulis Doktrine of Fascism. Ajaran fasis model Italialah yang kemu­
dian menjadi pegangan kaum fasis di dunia, karena wawasannya
yang bersifat moderat. Menurut Ebenstein, unsur-unsur pokok fasis­
me terdiri dari tujuh unsur: Pertama, ketidakpercayaan pada kemam­
puan nalar. Bagi fasisme, keyakinan yang bersifat fanatik dan dog­matik
adalah sesuatu yang sudah pasti benar dan tidak boleh lagi didis­
kusikan. Terutama pemusnahan nalar digunakan dalam rangka “tabu”
terhadap masalah ras, kerajaan, atau pemimpin.
Kedua, pengingkaran derajat kemanusiaan. Bagi fasisme manusia
tidaklah sama, justru pertidaksamaanlah yang mendorong muncul­nya
idealisme mereka. Bagi fasisme, pria melampaui wanita, militer me­
lampaui sipil, anggota partai melampaui bukan anggota partai, bangsa
yang satu melampaui bangsa yang lain dan yang kuat harus me­lampaui
yang lemah. Jadi fasisme menolak konsep persamaan tra­­disi Yahudi-
Kristen (dan juga Islam) yang berdasarkan aspek kemanusiaan, dan
menggantikan dengan ideologi yang mengedepankan kekuatan.
Ketiga, kode perilaku yang didasarkan pada kekerasan dan ke­

205
spiritualisme pancasila

bohongan. Dalam pandangan fasisme, negara adalah satu sehingga


tidak dikenal istilah “oposan”. Jika ada yang bertentangan dengan ke­
hendak negara, maka mereka adalah musuh yang harus dimus­nah­
kan. Dalam pendidikan mental, mereka mengenal adanya indok­trinasi
pada kamp-kamp konsentrasi. Setiap orang akan dipaksa dengan
jalan apa pun untuk mengakui kebenaran doktrin pemerintah. Hitler
pernah mengatakan, bahwa “kebenaran terletak pada perkataan yang
berulang-ulang”. Jadi, bukan terletak pada nilai objektif kebenarannya.
Keempat, pemerintahan oleh kelompok elit. Dalam prinsip fasis,
pemerintahan harus dipimpin oleh segelintir elite yang lebih tahu
keinginan seluruh anggota masyarakat. Jika ada pertentangan pen­
dapat, maka yang ber­laku adalah keinginan si-elite.
Kelima, totaliterisme. Untuk mencapai tujuannya, fasisme bersifat
total dalam meminggirkan sesuatu yang dianggap “kaum pinggiran”.
Hal inilah yang dialami kaum wanita, di mana mereka hanya ditem­

P
patkan pada wilayah 3 K yaitu: kinder (anak-anak), kuche (dapur), dan

RO U
kirche (gereja). Bagi anggota masyarakat, kaum fasis menerapkan pola

G
pengawasan yang sangat ketat. Adapun bagi kaum penentang, maka

I A
totaliterisme dimunculkan dengan aksi kekerasan seperti pembunuh­
an dan penganiayaan.
ED
A M
Keenam, rasialisme dan imperialisme. Menurut doktrin fasis,

D
NA
dalam suatu negara kaum elite lebih unggul dari dukungan massa dan

PRE
karenanya dapat memaksakan kekerasan kepada rakyatnya. Dalam
pergaulan antarnegara, maka mereka melihat bahwa bangsa elite,
yaitu mereka lebih berhak memerintah atas bangsa lainnya. Fasisme
juga merambah jalur keabsahan secara rasialis, bahwa ras mereka le­
bih unggul daripada lainnya, sehingga yang lain harus tunduk atau
dikuasai. Dengan demikian, hal ini memunculkan semangat imperia­
lisme.
Terakhir atau ketujuh, fasisme memiliki unsur menentang hukum
dan ketertiban internasional. Konsensus internasional adalah men­­cip­
takan pola hubungan antarnegara yang sejajar dan cinta damai. Ada­
pun fasis dengan jelas menolak adanya persamaan tersebut. Dengan
demikian, fasisme mengangkat perang sebagai derajat tertinggi bagi
peradaban manusia. Sehingga dengan kata lain, bertindak menen­tang
hukum dan ketertiban internasional.

206
7  Pancasila sebagai Ideologi

 latihan
Buatlah esai singkat mengenai pengaruh globalisasi terhadap
kehidupan di dalam masyarakat, bangsa, dan negara. Judul bisa di­
kembangkan sendiri. Untuk pengumpulan datanya bisa melakukan
kajian literatur, observasi, wawancara dengan tokoh yang kompeten.
Setelah itu presentasikan di depan kelas esai yang sudah dibuatnya!
Jawablah pertanyaan di bawah ini dengan benar!
1. Jelaskan latar belakang kemunculan ideologi liberal, fasis, dan
komunis!
2. Sebutkan ajaran yang dikembangkan oleh ideologi liberal, fasis,
dan komunis!
3. Mengapa kapitalisme dan demokrasi memiliki sifat dan ciri yang
mirip dengan liberalisme. Faktor-faktor apa yang menyebab­
kannya?
4. Apa hubungan antara pembangunan nasional suatu bangsa/ne­
gara dengan ideologi di negaranya?
UP
RO
5. Kajilah teori marxisme dan kaitkan dengan ideologi komunisme!

I A G
A M ED
NA D
PRE

207
UP
A GRO
ED I
D A M
NA
PRE
8
pancasila dan
proklamasi kemerdekaan
republik indonesia

A. Latar Belakang

UP
Pada tanggal 6 Agustus 1945, sebuah bom atom dijatuhkan di atas

RO
kota Hiroshima Jepang oleh Amerika Serikat yang mulai menurunkan

I A G
moral semangat tentara Jepang di seluruh dunia. Sehari kemudian,

ED
Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI),

M
atau Dokuritsu Junbi Cosakai, berganti nama menjadi PPKI (Panitia

D A
Persiapan Kemerdekaan Indonesia) atau disebut juga Dokuritsu Junbi

NA
Inkai dalam bahasa Jepang, untuk lebih menegaskan keinginan dan

PRE
tujuan mencapai kemerdekaan Indonesia.
Pada 9 Agustus 1945, bom atom kedua dijatuhkan di atas Naga­
saki sehingga menyebabkan Jepang menyerah kepada Amerika Serikat
dan sekutunya. Momen ini pun dimanfaatkan oleh Indonesia untuk
memproklamasikan kemerdekaannya. Soekarno—Hatta selaku pim­
pin­ an PPKI dan Radjiman Wedyodiningrat sebagai mantan ketua
BPUPKI diterbangkan ke Dalat, 250 km di sebelah Timur Laut Saigon,
Vietnam untuk bertemu Marsekal Terauchi. Mereka dikabarkan mene­
mui Jepang, bahwa pasukan Jepang sedang di ambang kekalahan dan
akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia.
Sementara itu di Indonesia, pada 10 Agustus 1945, Sutan Syahrir
telah mendengar berita lewat radio bahwa Jepang telah me­nyerah
kepada Sekutu. Para pejuang bawah tanah bersiap-siap mem­prokla­
masikan kemerdekaan RI, dan menolak bentuk kemer­dekaan yang
diberikan sebagai hadiah Jepang. Pada 12 Agustus 1945, Jepang me­
la­lui Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam, mengatakan ke­pada Soe­
karno, Hatta, dan Radjiman bahwa pemerintah Jepang akan s­e­gera
memberikan kemerdekaan kepada Indonesia dan proklamasi kemer­
spiritualisme pancasila

dekaan dapat dilaksanakan dalam beberapa hari, tergantung cara


ker­ja PPKI. Meskipun demikian, Jepang menginginkan kemerdekaan
Indonesia pada 24 Agustus 1945.
Dua hari kemudian, saat Soekarno, Hatta, dan Radjiman kembali
ke Tanah Air dari Dalat, Sutan Syahrir mendesak agar Soekarno se­
gera memproklamasikan kemerdekaan karena menganggap hasil per­
temuan di Dalat sebagai tipu muslihat Jepang, karena Jepang setiap
saat sudah harus menyerah kepada Sekutu dan demi menghindari
perpecahan dalam kubu nasionalis, antara yang anti dan pro Jepang.
Hatta menceritakan kepada Syahrir tentang hasil pertemuan di Dalat.
Soekarno belum yakin bahwa Jepang memang telah menyerah, dan
proklamasi kemerdekaan RI saat itu dapat menimbulkan pertumpahan
darah yang besar, dan dapat berakibat sangat fatal jika para pejuang
Indonesia belum siap. Soekarno mengingatkan Hatta, bahwa Syahrir
tidak berhak memproklamasikan kemerdekaan karena itu adalah hak

P
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Sementara itu, Syah­

RO
rir menganggap PPKI adalah badan buatan Jepang dan proklamasi
U
G
kemerdekaan oleh PPKI hanya merupakan 'hadiah' dari Jepang.

I A
Pada 14 Agustus 1945, Jepang menyerah kepada Sekutu. Tentara

ED
dan Angkatan Laut Jepang masih berkuasa di Indonesia karena Jepang

A M
telah berjanji akan mengembalikan kekuasaan di Indonesia ke tangan

D
NA
Sekutu. Sutan Syahrir, Wikana, Darwis, dan Chaerul Saleh mendengar

PRE
kabar ini melalui radio BBC. Setelah mendengar desas-de­sus Jepang
bakal bertekuk lutut, golongan muda mendesak golongan tua untuk
segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.
Namun golongan tua tidak ingin terburu-buru, mereka tidak me­
nginginkan terjadinya pertumpahan darah pada saat proklamasi. Kon­
sultasi pun dilakukan dalam bentuk rapat PPKI. Golongan muda tidak
menyetujui rapat itu, mengingat PPKI adalah sebuah badan yang di­
bentuk oleh Jepang. Mereka menginginkan kemerdekaan atas usaha
bangsa kita sendiri, bukan pemberian Jepang. Soekarno dan Hatta
mendatangi penguasa militer Jepang (Gunsei) untuk memperoleh kon­
firmasi di kantornya di Koningsplein (Medan Merdeka), akan tetapi
kantor tersebut kosong. Selanjutnya, Soekarno dan Hatta bersama
Soebardjo kemudian ke kantor Bukanfu, Laksamana Muda Maeda, di
Jalan Medan Merdeka Utara (Rumah Maeda di Jalan Imam Bonjol 1).
Maeda menyambut kedatangan mereka dengan ucapan selamat
atas keberhasilan mereka di Dalat. Sepulang dari Maeda, Soekarno
dan Hatta segera mempersiapkan pertemuan Panitia Persiapan Ke­

210
8  Pancasila dan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia

merdekaan Indonesia (PPKI) pada pukul 10 pagi 16 Agustus ke­esokan


harinya di kantor Jalan Pejambon No. 2 untuk membicarakan segala
sesuatu yang berhubungan dengan persiapan Proklamasi Ke­ mer­
dekaan. Sehari kemudian, gejolak tekanan yang menghendaki pe­ ­
ngambilalihan kekuasaan oleh Indonesia makin memuncak dilan­
carkan para pemuda dari beberapa golongan. Rapat PPKI pada 16
Agustus pukul 10 pagi tidak dilaksanakan karena Soekarno dan Hatta
tidak muncul, para peserta rapat tidak mengetahui bahwa telah terjadi
peristiwa Rengasdengklok.

1. Peristiwa Rengasdengklok
Para pemuda pejuang, termasuk Chaerul Saleh, Sukarni, dan
Wikana——yang konon kabarnya terbakar gelora heroismenya setelah
berdiskusi dengan Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka——yang tergabung
dalam gerakan bawah tanah kehilangan kesabaran untuk segera
mem­
­ proklamasikan kemerdekaan yang sudah ada di depan mata.

UP
RO
Ber­sama Shodanco Singgih, salah seorang anggota PETA (Pembela

G
Tanah Air) dan para pemuda lain, mereka membawa Soekarno (ber­

ED I A
sama Fatmawati dan Guntur yang baru berusia 9 bulan) dan Hatta, ke

M
Rengasdengklok, yang kemudian terkenal sebagai peristiwa Rengas­

D A
dengklok. Tujuan­nya adalah agar Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta

NA
tidak terpengaruh oleh Jepang. Di sini, mereka kembali meyakinkan

PRE
Soekarno bahwa Jepang telah menyerah dan para pejuang telah siap
untuk melawan Jepang, apa pun risikonya.
Di Jakarta, golongan muda, Wikana, dan golongan tua, yaitu Mr.
Ahmad Soebardjo melakukan perundingan. Mr. Ahmad Soebardjo
menyetujui untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Ja­
karta. Maka diutuslah Yusuf Kunto untuk mengantar Ahmad Soebar­
djo ke Rengasdengklok. Mereka menjemput Ir. Soekarno dan Drs. Moh.
Hatta kembali ke Jakarta. Mr. Ahmad Soebardjo berhasil meyakinkan
para pemuda untuk tidak terburu-buru memproklamasikan kemer­
dekaan.
Setelah tiba di Jakarta, mereka pulang ke rumah masing-masing.
Mengingat bahwa hotel Des Indes (sekarang kompleks pertokoan di
Harmoni) tidak dapat digunakan untuk pertemuan setelah pukul 10
malam, maka tawaran Laksamana Muda Maeda untuk menggunakan
rumahnya (sekarang gedung museum perumusan teks proklamasi)
sebagai tempat rapat PPKI diterima oleh para tokoh Indonesia.

211
spiritualisme pancasila

2. Pertemuan Soekarno/Hatta dengan Jenderal Mayor


Nishimura dan Laksamana Muda Maeda
Pada malam harinya, Soekarno dan Hatta kembali ke Jakarta.
Mayor Jenderal Moichiro Yamamoto, Kepala Staf Tentara ke XVI
(Ang­katan Darat) yang menjadi kepala pemerintahan militer Jepang
­(Gun­seikan) di Hindia Belanda tidak mau menerima Soekarno-Hatta
yang diantar oleh Maeda Tadashi dan memerintahkan agar Mayor
Jenderal Otoshi Nishimura, Kepala Departemen Urusan Umum pe­
merintahan militer Jepang, untuk menerima kedatangan rombongan
tersebut. Nishimura mengemukakan, bahwa sejak siang hari tanggal 16
Agustus 1945 telah diterima perintah dari Tokyo bahwa Jepang harus
menjaga status quo, tidak dapat memberi izin untuk mempersiapkan
proklamasi Kemerdekaan Indonesia sebagaimana telah dijanjikan oleh
Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam. Soekarno dan Hatta menyesali
keputusan itu dan menyindir Nishimura apakah itu sikap seorang

UP
perwira yang bersemangat Bushido, ingkar janji agar dikasihani oleh

RO
Sekutu. Akhirnya, Soekarno-Hatta meminta agar Nishimura jangan

A G
meng­halangi kerja PPKI, mungkin dengan cara pura-pura tidak tahu.

I
ED
Melihat perdebatan yang panas itu Maeda dengan diam-diam me­

M
ninggalkan ruangan karena diperingatkan oleh Nishimura agar Maeda

D A
mematuhi perintah Tokyo dan dia mengetahui sebagai perwira peng­

NA
PRE
hubung Angkatan Laut (Kaigun) di daerah Angkatan Darat (Rikugun)
dia tidak punya wewenang memutuskan.
Setelah dari rumah Nishimura, Soekarno-Hatta menuju rumah
Laksamana Maeda (kini Jalan Imam Bonjol No.1) diiringi oleh Myo­
shiguna melakukan rapat untuk menyiapkan teks Proklamasi. Sete­lah
menyapa Soekarno-Hatta yang ditinggalkan berdebat dengan Nishi­
mura, Maeda mengundurkan diri menuju kamar tidurnya. Penyu­
sunan teks Proklamasi dilakukan oleh Soekarno, M. Hatta, Achmad
Soebardjo dan disaksikan oleh Soekarni, B. M. Diah, Sudiro (Mbah),
dan Sayuti Melik. Myoshi yang setengah mabuk duduk di kursi be­
lakang mendengarkan penyusunan teks tersebut tetapi kemudian ada
kalimat dari Shigetada Nishijima seolah-olah dia ikut mencampuri
penyusunan teks proklamasi dan menyarankan agar pemindahan
kekuasaan itu hanya berarti kekuasaan administratif. Tentang hal ini
Bung Karno menegaskan, bahwa pemindahan kekuasaan itu berarti
transfer of power. Bung Hatta, Subardjo, B.M Diah, Sukarni, Sudiro dan
Sayuti Malik tidak ada yang membenarkan klaim Nishijima tetapi di
beberapa kalangan klaim Nishijima masih didengungkan.

212
8  Pancasila dan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia

Setelah konsep selesai disepakati, Sayuti menyalin dan mengetik


naskah tersebut menggunakan mesin ketik yang diambil dari kantor
perwakilan AL Jerman, milik Mayor (Laut) Dr. Hermann Kandeler. Pada
awalnya, pembacaan proklamasi akan dilakukan di Lapangan Ika­da,
namun berhubung alasan keamanan dipindahkan kekediaman Soe­
karno, Jalan Pegangsaan Timur 56 (sekarang Jalan Proklamasi No. 1).

3. Detik-detik Pembacaan Naskah Proklamasi


Perundingan antara golongan muda dan golongan tua dalam
penyusunan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia berlangsung
pukul 02.00-04.00 dini hari. Teks proklamasi ditulis di ruang makan
Laksamana Tadashi Maeda jalan Imam Bonjol No. 1, Jakarta. Para pe­
nyusun teks proklamasi itu adalah Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, dan
Mr. Ahmad Soebarjo. Konsep teks proklamasi ditulis oleh Ir. Soekarno
sendiri. Di ruang depan, hadir B.M Diah, Sayuti Melik, Sukarni, dan
Soediro. Sukarni mengusulkan agar yang menandatangani teks prok­

UP
RO
lamasi itu adalah Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta atas nama bangsa

G
Indonesia.

ED I A
Teks Proklamasi Indonesia itu kemudian diketik oleh Sayuti

M
Melik. Pagi harinya, 17 Agustus1945, di kediaman Soekarno, Jalan

D A
Pegangsaan Timur No. 56 telah hadir antara lain Soewirjo, Wilopo,

NA
Ga­far Pringgodigdo, Tabrani dan Trimurti. Acara dimulai pada pukul

PRE
10:00 dengan pembacaan proklamasi oleh Soekarno dan disambung
pidato singkat tanpa teks.
Prosesi selanjutnya adalah pengibaran bendera Merah Putih
yang telah dijahit oleh ibu Fatmawati, disusul dengan sambutan oleh
Soewirjo, Wakil Walikota Jakarta saat itu dan Moewardi, Pimpinan
Barisan Pelopor. Pada awalnya, Trimurti diminta untuk menaikkan
bendera, namun ia menolak dengan alasan pengerekan bendera se­
baiknya dilakukan oleh seorang prajurit. Oleh sebab itu, ditunjuklah
Latief Hendraningrat, seorang prajurit PETA, dibantu oleh Soehoed
untuk tugas tersebut. Seorang pemudi muncul dari belakang membawa
nampan berisi bendera Merah Putih (Sang Saka Merah Putih), yang
dijahit oleh Fatmawati beberapa hari sebelumnya. Setelah bendera
berkibar, hadirin menyanyikan lagu Indonesia Raya. Sampai saat ini,
bendera pusaka tersebut masih disimpan di Museum Tugu Monumen
Nasional.
Setelah upacara selesai berlangsung, kurang lebih 100 orang ang­
gota Barisan Pelopor yang dipimpin S. Brata datang terburu-buru
karena mereka tidak mengetahui perubahan tempat mendadak dari

213
spiritualisme pancasila

Ikada ke Pegangsaan. Mereka menuntut Soekarno mengulang pem­


bacaan Proklamasi, namun ditolak. Akhirnya Hatta memberikan ama­
nat singkat kepada mereka. Pada 18 Agustus 1945, Panitia Per­siapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengambil keputusan, me­ngesahkan
dan menetapkan Undang-Undang Dasar (UUD) sebagai da­sar negara
Republik Indonesia, yang selanjutnya dikenal sebagai UUD 1945.
Dengan demikian, terbentuklah Pemerintahan Negara Kesatuan
Indonesia yang berbentuk Republik (NKRI) dengan kedaulatan di ta­
ngan rakyat yang dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR) yang akan dibentuk kemudian. Setelah itu, Soekarno dan
M. Hatta terpilih atas usul dari Otto Iskandardinata dan persetujuan
dari PPKI sebagai presiden dan wakil presiden Republik Indonesia
yang pertama. Presiden dan wakil presiden akan dibantu oleh sebuah
Komite Nasional.
Golongan tua yang umumnya adalah anggota PPKI yang hadir

P
dalam perumusan naskah proklamasi pulang ke rumah masing-ma­

RO U
sing. Adapun, golongan pemuda di bawah pimpinan B. M. Diah mem­

G
perbanyak naskah proklamasi dan disebarluaskan dari rumah ke

I A
rumah. Karena kerja keras para pemuda tersebut, sebelum pukul 10.00

ED
rumah kediaman Ir. Soekarno dan sekitarnya telah dipadati oleh massa,

A M
terutama pemuda dan tokoh-tokoh PPKI untuk turut menyaksikan

D
NA
pembacaan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Adapun, pa­

PRE
sukan PETA dengan senjata lengkap siaga penuh mengamankan jalan­
nya upacara proklamasi yang akan dilaksanakan.
Mereka yang hadir dalam upacara pembacaan teks proklamasi
kemerdekaan Indonesia terdiri atas:
a. Golongan tua yang tergabung dalam PPKI seperti Ir. Soekarno,
Drs. Moh. Hatta, Abikusno Tjokrosoejoso, Sokardjo Wirjopranoto,
M. Soetadjo Kartohadikusumo, K.H. A.Wachid Hasyim, dan lain
lain.
b. Walikota Suwirjo.
c. Ibu Fatmawati.
d. Ny. S.K. Trimurti.
e. Para perwira PETA.
f. Barisan pelopor (Dr. Mawardi dan Asmara Hadi).
g. Barisan Pelopor Istimewa (Sudiro, Soehoed Sastrokoesoemo, Djo­
han Nur, dan Soepomo).
h. Pers (Soeroto, S.F. Mendur, dan Sjahrudin).
Upacara proklamasi kemerdekaan Indonesia yang merupakan pe­

214
8  Pancasila dan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia

ristiwa besar dalam sejarah bangsa Indonesia ini dilaksanakan seca­ra


sangat sederhana dengan urutan sebagai berikut:
a. Pembacaan teks proklamasi.
b. Pengibaran bendera Merah Putih.
c. Sambutan Walikota Soewirjo dan Dr. Mawardi.

UP
A G RO
ED I
D A M Gambar 8.1 Proklamasi

NA
PRE


Proklamasi
“Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indo­
nesia. Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain lain,
diselenggarakan dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-
singkatnya”.
Jakarta, hari 17 bulan 8 tahun 1945
Atas nama bangsa Indonesia

Soekarno – Hatta

“Demikian saudara-saudara! Kita sekarang sudah merdeka. Tidak ada


satu pun ikatan yang mengikat Tanah Air kita dan bangsa kita, mulai
saat ini kita menyusun negara kita, negara merdeka, kekal dan abadi.
Insya Allah Tuhan memberkati kemerdekaan kita itu ”.

Demikianlah, pidato singkat penuh makna yang disampaikan oleh


Ir. Soekarno dan didampingi oleh Drs. Moh. Hatta sebagai dwitunggal

215
spiritualisme pancasila

proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia. Upacara dilanjutkan de­


ngan pengibaran bendera Merah Putih yang diringi lagu Indonesia
Raya oleh seluruh peserta secara serentak.

B. Arti dan Makna Proklamasi


Kemerdekaan berarti kebebasan atau keadaan berdiri sendiri, be­
bas, lepas, dan tidak terjajah lagi. Kemerdekaan Indonesia maksudnya
adalah kebebasan atau keadaan berdiri sendiri dari penjajahan bangsa
asing dan membentuk dan memerintah negara sendiri.
Proklamasi kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia
pada 17 Agustus 1945 mengandung makna pokok bagi kehidupan po­
litik bangsa Indonesia, yaitu:
1. Sebagai puncak perjuangan bangsa Indonesia untuk melepaskan
diri dari kekuasaan penjajah;
2. Sebagai pernyataan politik bangsa Indonesia untuk melepaskan

UP
RO
diri dari kekuasaan penjajah;

A G
3. Sebagai tonggak sejarah berdirinya Negara Kesatuan Republik

I
ED
Indonesia;

M
4. Berubahnya sistem hukum kolonial menjadi sistem hukum na­

D
sional;
A
NA
5. Tonggak pemerintahan yang berkedaulatan rakyat dan negara

PRE
berdasarkan hukum;
6. Tonggak untuk dimulainya pembangunan bangsa dan negara.
Apabila kita simak, isi proklamasi memuat dua hal sebagai berikut:
1. Pernyataan kemerdekaan bangsa Indonesia;
2. Tindakan-tindakan yang harus segera dilakukan berkenaan de­
ngan pemindahan kekuasaan dan/atau penyelenggaraan peme­
rin­tahan negara Indonesia yang merdeka
Dengan demikian, proklamasi kemerdekaan merupakan pernya­
taan politik bangsa Indonesia untuk memulai kehidupan berbangsa
dan bernegara dalam suatu tatanan negara yang merdeka. Jadi, pro­
k­lamasi kemerdekaan adalah sumber hukum berdirinya Negara Indo­
nesia yang merdeka. Namun demikian, dalam naskah proklamasi tidak
dijelaskan tentang hakikat negara Indonesia yang merdeka tersebut
sebab naskah proklamasi hanya merupakan pernyataan politik ke­
merdekaan negara Indonesia dalam bentuk yang singkat. Penjelasan
tentang hakikat negara Indonesia yang merdeka itu dimuat dalam

216
8  Pancasila dan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia

Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun


1945 sebagai konstitusi negara yang pertama.
Kalau kita simak secara cermat, ternyata pernyataan kemerdekaan
bangsa Indonesia dalam bentuk yang terperinci itu terdapat dalam
UUD tahun 1945, yaitu pada bagian pembukaan. Pembukaan UUD 194
merupakan pernyataan kemerdekaan yang terperinci karena memuat
landasan filosofis negara Indonesia merdeka. Apabila kita simak isi
Pembukaan tersebut maka kita dapat mengetahui hal-hal sebagai
berikut:
Alinea pertama, memuat dasar atau alasan bangsa Indonesia
untuk merdeka. ....”kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh
sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena
tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”. Isi alinea
pertama ini dapat kita sebut sebagai asas kemanusiaan dan keadilan
dari kemerdekaan Indonesia.

P
Alinea kedua, memuat pernyataan bahwa kemerdekaan Indonesia
dicapai melalui perjuangan seluruh rakyat Indonesia. Jadi, alinea kedua

RO U
G
ini me­nyatakan asas perjuangan dari kemerdekaan bangsa Indonesia.

I A
Alinea ketiga, memuat pengakuan bahwa kemerdekaan bangsa

ED
Indo­nesia itu merupakan berkat rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa.

A M
Dengan demikian, kemerdekaan bangsa Indonesia itu dicapai berkat

D
NA
perjuangan bangsa Indonesia dan berkat pertolongan Allah Yang Maha

PRE
Kuasa. Bangsa Indonesia mengakui kekuasaan Tuhan yang memberkati
kemer­dekaannya. Jadi, alinea ketiga ini memuat azas ketuhanan dari
ke­merdekaan Indonesia.
Alinea keempat, memuat tujuan pemerintah negara Indonesia,
bentuk negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat (negara
de­mokrasi), dan dasar negara. Dengan kata lain, alinea keempat ini
memuat pokok-pokok kaidah negara Indonesia yang fundamental.
Oleh sebab itu, alinea keempat ini memuat asas kerohanian negara.
Kemerdekaan bangsa Indonesia pada 17 Agustus 1945 itu mem­
punyai arti dan makna yang sangat mendalam, karena:
a. Kemerdekaan dicapai dengan kekuatan dan tekad bangsa In­
donesia sendiri, tanpa campur tangan dari pihak mana pun.
b. Proklamasi kemerdekaan merupakan titik kulminasi dari per­
juangan panjang yang telah dilakukan bangsa Indonesia selama
berabad-abad dalam usahanya mengusir kaum imperalis dan
kolonialis asing.
c. Proklamasi kemerdekaan merupakan jembatan emas yang da­
pat dilalui bangsa Indonesia untuk membangun bangsa dan

217
spiritualisme pancasila

negaranya mencapai masyarakat adil dan makmur.


d. Proklamasi kemerdekaan merupakan sumber hukum bagi tegak
dan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
e. Proklamasi kemerdekaan merupakan momentum politik terbe­
basnya bangsa Indonesia dari belenggu penjajah asing dan menja­
dikan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang merdeka, berdaulat,
berdiri sama tinggi, duduk sama rendah dengan bangsa lain.
f. Proklamasi kemerdekaan merupakan manifesto politik nasional
dalam mewujudkan negara kesatuan Republik Indonesia yang
ber­satu, berdaulat, adil, dan makmur.

 latihan
Buatlah makalah yang berisi mengenai Nasionalisme Generasi
Muda saat ini. Makalah minimal harus mengulas masalah per­

UP
RO
kembangan nasionalisme di kalangan pemuda, bentuk-bentuk nasional

G
kekinian, cara meningkatkan nasionalisme, dan sejarah nasionalisme

ED I A
bangsa Indonesia secara singkat. Makalah ini untuk menyadarkan

M
kembali generasi muda akan peran pentingnya nasionalisme dalam

D A
pembangunan bangsa dan negara.

NA
Jawablah pertanyaan di bawah ini dengan benar!

PRE
1. Jelaskan latar belakang perbedaan pandangan tentang hari kemer­
dekaan antara golongan muda dan golongan tua.
2. Berikan pendapat Anda mengapa yang menandatangani teks
prok­­lamasi adalah Soekarno-Hatta!
3. Jelaskan arti proklamasi bagi bangsa Indonesia!
4. Uraikan secara singkat mengapa terjadi peristiwa Rengasdengklok!

218
9
demokrasi Pancasila

A. Sejarah Pertumbuhan Demokrasi Pancasila

UP
Bahasan mengenai demokrasi Pancasila tidak dapat dipisahkan

RO
dari pertumbuhan dan perkembangan falsafah Pancasila. Hal ini di­

I A G
karenakan nilai-nilai Pancasila diciptakan oleh masyarakat Indonesia

ED
dengan ciri-ciri yang masih murni diwarnai oleh watak dan hubungan

M
manusia-masyarkat Indonesia yang bersifat kekeluargaan. Watak atau

D A
karakter yang bersifat kekeluargaan yakni suatu hubungan hidup yang

NA
tercipta dari dalam kelompok manusia yang mengutamakan hubungan

PRE
batin di antara anggota kelompok masyarakat, oleh karenanya setiap
manusia siap berkorban untuk kepentingan manusia lainnya. Watak
masyarakat Indonesia seperti ini berbeda dengan watak masyarakat
komunal.
Demokrasi Pancasila dengan asas musyawarah mufakat pada
ha­­kikatnya merupakan prinsip dan nilai yang terkandung dalam fal­
safah Pancasila sehingga segala upaya pemahaman, penghayatan, dan
pengamalan demokrasi Pancasila terlebih dahulu harus diawali de­
ngan proses pemahaman dan penghayatan falsafah negara ideologi
Pancasila. Secara operasional, demokrasi Pancasila senantiasa dijiwai
dan berpedoman pada nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Sejarah
pertumbuhan demokrasi Pancasila, dapat dipandang dari dua aspek
yaitu aspek material dan aspek formal.

1. Aspek Material
Prinsip-prinsip dasar demokrasi Pancasila adalah hasil berpikir
dan ciptaan manusia-manusia Indonesia yang merupakan bagian
spiritualisme pancasila

inte­gral dari kebudayaan bangsa Indonesia. Pikiran-pikiran dasar de­


mokrasi Pancasila pada hakikatnya adalah hasil upaya bersama ma­
nusia-manusia Indonesia dalam rangka memecahkan masalah dalam
kehidupannya. Dalam hal ini, unsur kebersamaan yang dijiwai oleh
prinsip kekeluargaan menjadi faktor penentu utama sehingga hasil
pemecahan masalahnya tetap berada dalam konteks kegotongroyong­
an dan kebahagiaan hidup bersama. Dengan demikian, maka ­demo­kra­si
Pancasila berfungsi sebagai sarana manusia Indonesia dalam proses
penyelesaian masalah bersama demi kebahagiaan hidup ber­sama.
Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa nilai-nilai
demokrasi Pancasila adalah manifestasi nilai-nilai Pancasila dalam
bentuk demokrasi atau pemerintahan rakyat. Manifestasi nilai-nilai
Pancasila tidak hanya terbatas pada bidang kehidupan tertentu saja
akan tetapi pada semua bidang kehidupan.

P
2. Aspek Formal

RO U
Peristiwa Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, selain men­

G
da­tangkan kehidupan yang merdeka dan berdaulat bagi bangsa Indo­

ED I A
nesia, juga menghasilkan kehidupan berkonstitusi, khususnya kon­

M
stitusi tertulis/formal bagi bangsa Indonesia. Di dalam konstitusi telah

D A
menyepakati dan menetapkan berbagai prinsip hidup bernegara,

NA
antara lain tentang kedaulatan rakyat, pemerintah/penyelenggara ne­

PRE
gara, lembaga-lembaga negara, dan hak serta kewajiban negara.
Selama masa penjajahan berlangsung di Indonesia, konstitusi
yang berlaku di Indonesia adalah konstitusi Belanda berdasarkan
asas konkordansi. Konstitusi ini bersifat liberal dan diskriminatif, oleh
karena itu, demokrasi yang tumbuh dan berkembang pada masa itu
adalah demokrasi liberal yang cukup berpengaruh terhadap kehi­
dupan rakyat Indonesia. Itulah sebabnya, pada saat proklamasi kemer­
dekaan 17 Agustus 1945, falsafah/ideologi Pancasila dengan demokrasi
Pancasila muncul kembali ke permukaan dan dituangkan ke dalam
UUD 1945 untuk selanjutnya digunakan sebagai pedoman dalam peri­
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

B. Ciri-ciri Demokrasi Pancasila


Ciri-ciri demokrasi Pancasila adalah corak khas atau tanda-tanda
spesifik dari demokrasi Pancasila yang membedakannya dengan jenis-
jenis demokrasi lainnya. Ciri-ciri demokrasi Pancasila dapat ditinjau
dari ciri pokok dan ciri-ciri pancaran dari ciri pokoknya.

220
9  Demokrasi Pancasila

1. Ciri Pokok Demokrasi Pancasila


Ciri pokok demokrasi Pancasila adalah “musyawarah mufakat”.
Musyawarah untuk mufakat disebut sebagai ciri pokok karena prinsip
musyawarah mufakat pada hakikatnya adalah prinsip utama yang
hanya dapat ditemukan dalam demokrasi Pancasila. Dengan perkataan
ini, musyawarah mufakat adalah prinsip dasar yang membedakan
demokrasi Pancasila dengan demokrasi liberal yang menganut prinsip
voting (pemungutan suara) dan demokrasi rakyat yang menganut
prinsip pemusatan kekuasaan (otoriter).
Pengertian musyawarah untuk mufakat dapat dirumuskan sebagai
proses upaya bersama untuk mencari jalan keluar atau pemecahan
sesuatu masalah yang menyangkut kepentingan bersama pula. Ada­
pun mufakat adalah kesepakatan yang diperoleh atau dihasilkan
oleh mereka yang terlibat secara langsung atau tidak langsung dalam
proses musyawarah dalam rangka pemecahan masalah. Ungkapan
“tidak langsung” dengan maksud untuk mengingatkan bahwa dalam

UP
RO
kehidupan bernegara, prinsip musyawarah untuk mufakat digunakan

I A G
terutama oleh lembaga-lembaga perwakilan untuk mencari jalan ke

ED
luar pemecahan masalah-masalah rakyat banyak.

D A M
2. Ciri-ciri Pancaran Musyawarah untuk Mufakat

NA
PRE
Di dalam praktik pelaksanaan demokrasi Pancasila, kita menemu­
kan beberapa ciri operasional yang secara material mempunyai hu­
bungan organik dan fungsional dengan prinsip musyawarah untuk
mufakat. Atas dasar itulah maka di dalam karya ini disebut dengan ciri-
ciri pancaran musyawarah untuk mufakat.

a. Mengutamakan Kepentingan Negara


dan Masyarakat
Ciri ini mengisyaratkan bahwa prinsip kebersamaan mendapat
prioritas pertama dengan dasar pemikiran, bahwa kepentingan negara
dengan masyarakat meliputi kepentingan-kepentingan pribadi. Oleh
sebab itu, apabila ada masalah-masalah yang bertalian dengan kepen­
tingan negara/masyarakat, maka masalah itu harus dipandang seba­gai
masalah seluruh pribadi yang membentuk dan mengisi masyarakat/
negara. Sehubungan dengan itu, maka proses pemecahan masalah se­
rupa itu harus dituntun oleh sikap mengutamakan kepentingan negara
dan masyarakat atau kepentingan bersama.

221
spiritualisme pancasila

b. Tidak Memaksakan Kehendak Kepada Orang Lain


Ciri ini sesungguhnya berangkat dari prinsip yang hakiki dan
kodrati bahwa semua orang memiliki kedudukan, hak, dan kewajiban
yang sama sehingga tindakan memaksakan kehendak kepada orang
lain harus dipandang sebagai melanggar hak asasi manusia dan bakal
menimbulkan ketidakserasian negatif bagi kebersamaan.
Termasuk dalam pemaksanaan kehendak itu yakni pemungutan
suara (voting) yang biasanya menghasilkan kemenangan bagi pihak
mayoritas. Demokrasi Pancasila dengan musyawarah mufakat tidak
mengenal kalah atau menang. Kehendak atau pendapat yang timbul
dan berkembang di dalam proses musyawarah harus senantiasa di­
hargai, dihormati, dan dijunjung tinggi dengan sikap akhir bahwa
se­mua kehendak atau pendapat yang ada semuanya memberi corak
kepada kesepakatan yang dihasilkan oleh musyawarah.

c. Mengutamakan Musyawarah dalam Mengambil


UP
RO
Keputusan untuk Kepentingan Bersama

I A G
Ciri ini selain mengingatkan bahwa musyawarah adalah sarana

ED
strategis dalam proses pencapaian kesatuan pendapat, juga berorientasi

A M
atau berkiblat pada prinsip-prinsip atau aspek-aspek berikut ini:

D
NA
1. Untuk menjamin kebersamaan yang pada gilirannya akan ber­

PRE
muara pada rasa senasib dan sepenanggungan.
2. Untuk mendorong setiap pribadi agar ikut berpartisipasi dalam
pelaksanaan keputusan atau kesepakatan yang diambil sebagai
jalan keluar dalam pemecahan masalah-masalah bersama. De­
ngan perkataan lain, untuk menghindarkan sikap masa bodoh
dari mereka yang tidak terlibat langsung dalam musyawarah
ketika akan melaksanakan hasil musyawarah, dengan dalih yang
bermacam-macam.

d. Musyawarah untuk Mencapai Mufakat Diliputi


oleh Semangat Kekeluargaan
Ciri ini merupakan prasyarat utama bagi keberhasilan suatu
proses musyawarah dan prasyarat yang dapat mengikat semua peserta
musyawarah dalam ikut serta secara aktif melaksanakan kesepakatan
yang dihasilkan melalui musyawarah. Suasana kekeluargaan yang di­
maksudkan dalam butir ini adalah suasana yang menunjukkan:
1. Rasa persaudaraan di kalangan peserta musyawarah untuk mu­
fakat.

222
9  Demokrasi Pancasila

2. Rasa senasib dan sepenanggungan.


3. Saling menghormati dan menghargai.
4. Rasa saling bergantungan.
5. Penuh dengan sikap keterbukaan.

e. Dengan Iktikad Baik dan Rasa Tanggung Jawab


Menerima dan Melaksanakan Hasil Keputusan
Musyawarah
Ciri ini menunjukkan bahwa salah satu faktor utama yang di­
tuntut oleh demokrasi Pancasila melalui sarana musyawarah adalah
faktor kejujuran. Maksudnya, bahwa apa yang sudah disepakati atau
dimufakati bersama maka selanjutnya harus dilaksanakan sebagai hasil
bersama dan oleh karena itu harus aktif mematahui dan melaksanakan
keputusan tersebut tanpa berdalih dalam keadaan apa pun. Ciri ini juga
mengisyaratkan, bahwa demokrasi Pancasila membenarkan adanya
perbedaan pendapat di dalam proses musyawarah. Namun, apabila su­

UP
RO
dah dicapai mufakat/kesepakatan, maka semua perbedaan pendapat

I A G
harus dilupakan dan selanjutnya hanya ada semangat kebersamaan

ED
dalam kegiatan melaksanakan keputusan/kesepakatan yang menjadi

M
hasl bersama.

D A
NA
f. Musyawarah Dilakukan dengan Akal Sehat dan Sesuai

PRE
dengan Hati Nurani yang Luhur
Ciri ini menuntut agar di dalam proses musyawarah harus diupa­
yakan sehinga seluruh pembicaraan berlansgung secara objektif/ra­
sional dengan rasa keadilan yang mendasar. Hal ini penting untuk
menghindari kemungkinan adanya orientasi kepada kepentingan go­
longan atau pribadi yang pada akhirnya hanya akan menguntungkan
pihak-pihak tertentu saja dan merugikan kepentingan masyarakat,
bangsa, dan negara.

g. Keputusan yang Diambil Harus dapat Dipertanggung­


jawabkan secara Moral kepada Tuhan Yang Maha Esa,
Menjunjung Tinggi Harkat dan Martabat Manusia serta
Nilai-nilai Kebenaran dan Keadilan
Ciri ini menekankan kepada segi tanggung jawab yang meliputi:
1. Tanggung jawab kepada Tuhan pencipta alam semesta. Maksud­nya,
bahwa setiap mufakat yang dihasilkan tidak boleh bertentangan
dengan kehendak Tuhan atau tidak boleh bertentangan dengan

223
spiritualisme pancasila

hukum-hukum agama yang tercantum di dalam kitab-kitab suci.


2. Mufakat yang dihasilkan melalui musyawarah, sejauh mungkin
tidak boleh mengorbankan kepentingan dan kehormatan manusia
sebagai umat ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.
3. Mufakat yang diambil, sejauh mungkin harus bermanfaat bagi
kehidupan manusia sesuai dengan kebutuhannya dan serasi me­
nurut kepentingannya masing-masing.
Pancasila sebagai dasar falsafah negara Indonesia pada hakikatnya
merupakan satu kesatuan yang tersusun secara majemuk tunggal, yang
artinya terdiri atas bagian-bagian (lima sila) yang secara keseluruhan
merupakan satu kesatuan yang bulat dan utuh. Tiap-tiap sila pada
hakikatnya merupakan satu kesatuan dan terbentuklah kesatuan baru,
yaitu Pancasila. Rumusan singkat demokrasi Pancasila tercantum
dalam sila keempat yang berbunyi: Kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Dalam

UP
sila ke-4 ini, terkandung makna demokrasi yang luas yaitu sebagai

RO
berikut:

I A G
1. Kerakyatan, yakni sejiwa dengan rakyat.

ED
Negara berasaskan kerakyatan berarti negara untuk rakyat atau

A M
negara untuk kepentingan seluruh rakyat. Hal ini berarti negara

D
NA
melaksanakan persamaan bagi seluruh masyarakat baik di bidang

PRE
hukum, politik, ekonomi, maupun sosial budaya.
2. Permusyawaratan/perwakilan
Segala aspirasi rakyat dirumuskan dan diputuskan melalui meka­
nisme musyawarah rakyat atau melalui lembaga perwakilan rak­
yat.
Nilai-nilai dari setiap sila pada Pancasila sesuai dengan ajaran
demokrasi bukan ajaran otoritarian atau totalitaian. Jadi, Pancasila
sangat cocok untuk menjadi dasar dan mendukung demokrasi di In­
donesia. Nilai-nilai luhur Pancasila yang tertuang dalam Pembukaan
UUD 1945 sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi modern. Nilai-ni­
lai Pancasila tersebut sebagai berikut:
1. Kedaulatan rakyat
Hal ini berdasarkan pada bunyi Pembukaan UUD 1945 alinea ke
IV yaitu, “....yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik
Indonesia yang berkedaulatan rakyat.” Kedaulatan rakyat dalam
esensi dari demokrasi. Rakyat merupakan subjek dari demokrasi.
Rakyat memiliki hak ikut serta secara efektif dalam proses pe­
merintahan.

224
9  Demokrasi Pancasila

2. Republik
Hal ini didasarkan pada Pembukaan UUD 1945 alinea IV yang
berbunyi, “....yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Re­
publik Indonesia...”. Republik berarti republika atau negara untuk
kepentingan umum.
3. Negara berdasarkan atas hukum
Hal ini didasarkan pada Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi,
“....Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi, dan keadilan sosial...”. Negara hukum Indo­
nesia menganut hukum dalam arti luas dan material.
4. Pemerintahan yang konstitusional
Berdasarkan pada kalimat Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi,

P
“....maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu da­
lam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia....”. Undang-

RO U
G
undang Dasar Negara Indonesia 1945 adalah konstitusi negara.
5. Sistem perwakilan

ED I A
Berdasarkan pada sila keempat Pancasila yaitu kerakyatan yan

A M
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/

D
NA
perwakilan.

PRE
6. Prinsip musyawarah
Berdasarkan pada sila keempat Pancasila yaitu kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/
perwakilan.
Nilai-nilai ini sifatnya sangat ideal dan masih umum. Nilai-nilai
ini dijabarkan lebih lanjut dalam pasal-pasal UUD 1945. Dengan dasar
UUD 1945 itulah bangsa Indonesia menjalankan praktik pemerintahan
demokrasi. Jika kita lihat, maka nilai-nilai demokrasi Pancasila ini tidak
bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi sekarang ini. Dengan
demikian, terdapat kaitan yang erat antara demokrasi Indonesia yang
bersumber dari Pancasila dengan prinsip-prinsip demokrasi modern.
Prinsip-prinsip demokrasi Pancasila meliputi 10 hal yang sering
disebut dengan sepuluh Pilar Demokrasi Pancasila yang meliputi se­
bagai berikut:
1. Demokrasi yang berketuhanan Yang Maha Esa.
2. Demokrasi yang menjunjung hak asasi manusia.
3. Demokrasi yang mengutamakan kedaulatan rakyat.

225
spiritualisme pancasila

4. Demokrasi yang didukung oleh kecerdasan warga negara.


5. Demokrasi yang menetapkan pembagian kekuasaan warga negara.
6. Demokrasi yang menjadi otonomi daerah.
7. Demokrasi yang menerapkan konsep negara hukum.
8. Demokrasi dengan peradilan yang merdeka dan tidak memihak.
9. Demokrasi dengan kesejahteraan rakyat.
10. Demokrasi yang berkeadilan sosial.
Demokrasi Pancasila adalah suatu demokrasi yang diintegrasikan
(diliputi dan dijiwai) oleh sila-sila dalam Pancasila. Identitas demo­
krasi Pancasila adalah sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat ke­
jaksanaan dalam permuawaratan/perwakilan. Dalam demokrasi
bi­
Pan­casila terkandung 2 (dua) asas pokok, yakni asas kerakyatan dan
asas musyawarah mufakat. Pedoman operasional demokrasi Pancasila
adalah ketetapan-ketetapan MPRS/MPR. Unsur-unsur yang terkan­
dung dalam demokrasi Pancasila:
1. Kesadaran bereligius (Ketuhanan Yang Maha Esa) dan menolak
UP
RO
ateisme.

I A G
2. Berpangkal pada kebenaran dan kecintaan kepada Tanah Air dan

ED
bangsa.

A M
3. Berlandaskan budi pekerti yang luhur dan berkepribadian In­

D
NA
donesia.

PRE
4. Keseimbangan antara individu dan masyarakat, manusia dan
lingkungan, serta manusia dengan Tuhannya.
5. Berlandaskan tinjauan lahir batin.
Pelaksanaan demokrasi Pancasila dilandasi oleh semangat keke­
luargaan dan kegotong royongan sehingga dapat dihindari adanya
dominasi mayoritas dan tirani minoritas. Sebagi contoh, dalam me­
ngambil keputusan dilakukan dengan musyawarah untuk mufakat
se­hingga semua pendapat dapat ditampung, dihargai, dan dibahas
untuk kemudian diambil kata sepakat. Oleh karena itu, tidak ada pihak
yang kalah dan pihak yang menang. Musyawarah mufakat hendaknya
dilakukan dengan:
1. Semangat kekeluargaan dan kegotongroyongan.
2. Mengambil keputusan dengan seadil-adilnya.
3. Tetap menjaga keselarasan, keserasian, dan keseimbangan antara
hak dan kewajiban.
4. Menghargai dan menghormati pendapat, pikiran, atau gagasan
orang lain.

226
9  Demokrasi Pancasila

5. Semangat tolong menolong dan kerja sama untuk memecahkan


masalah yang dihadapi.
6. Berusaha bersama-sama mewujudkan kemajuan yang merata dan
berkeadilan sosial.
Demokrasi Pancasila tidak hanya diterapkan dalam kehidupan
politik yang mengatur tentang masalah politik negara, tetapi juga
me­ngatur masalah-masalah yang menyangkut kehidupan ekonomi,
sosial, dan budaya. Hal itu berarti demokrasi Pancasila dapat dikem­
bangkan dan diamalkan dalam berbagai kegiatan hidup, baik dalam
bidang kehidupan beragama, ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya
maupun pertahanan keamanan.
Membangun demokrasi Pancasila berarti membangun kehidupan
bangsa Indonesia yang adil, makmur, sejahtera, merata materiel dan
spiritual di seluruh wilayah Tanah Air Indonesia, sebagaimana diama­
natkan oleh Pancasila dan UUD 1945. Oleh karena itu, membangun
dan mengembangkan demokrasi Pancasila menjadi tanggung jawab

UP
RO
dan kewajiban seluruh Warga Negara Indonesia. Secara konkret be­

A G
rikut ini digambarkan pentingnya kepedulian dan peran aktif setiap

I
ED
warga negara dalam membangun demokrasi Pancasila, antara lain:

A M
1. Dapat mempertahankan keberadaan dan keterlaksanaan prinsip-

D
NA
prinsip demokrasi Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat,

PRE
berbangsa, dan bernegara.
2. Dapat mempertahankan kelangsungan hidup bangsa dan negara
Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
3. Terlaksananya kedaulatan rakyat dalam pemerintahan Negara
­Re­publik Indonesia.
4. Dapat meningkatkan semangat kebersamaan, kekeluargaan, ke­
go­tongroyongan, dan musyawarah mufakat dalam mengambil ke­
putusan yang menyangkut kepentingan bersama dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
5. Dapat memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia
yang ber-Bhinneka Tunggal Ika.
6. Terlaksananya pembangunan nasional untuk mencapai tujuan
nasional seperti termuat dalam Pembukaan UUD 1945, yakni ma­
syarakat yang adil, makmur, materiel dan spiritual berdasarkan
Pan­casila di seluruh pelosok Tanah Air Indonesia.
7. Semakin berfungsinya organisasi kemasyarakatan, organisasi po­
litik dan partai politik sebagai lembaga demokrasi.

227
spiritualisme pancasila

8. Terlaksananya pemilihan umum yang langsung, umum, bebas,


dan rahasia untuk memilih eksekutif dan legislatif.
9. Dapat menunjang terwujudnya ketahanan nasional dan stabilitas
nasional sebagai prasyarat terlaksananya pembangunan nasional.
10. Terlaksananya pembangunan nasional sebagai pengamalan Pan­
ca­sila serta membudayanya demokrasi Pancasila pada masya­rakat
Indonesia.

UP
A G RO
ED I
D A M
NA
PRE

228
10
pancasila dan
amendemen uud 1945

A. Pengertian Undang-Undang Dasar 1945


Yang dimaksud dengan Undang-Undang Dasar 1945 adalah hu­

UP
RO
kum dasar tertinggi yang berlaku di Indonesia yang terdiri atas Pem­

I A G
bukaan, Batang Tubuh, dan Penjelasan. Pembukaan terdiri atas em­

ED
pat alinea yang merupakan pokok kaidah fundamental atau norma

M
dasar. Pada alinea keempat terdapat rumusan Pancasila sebagaimana

D A
ditetapkan dalam Instruksi Presiden Nomor 12 Tahun 1968.

NA
Bagian inti adalah batang tubuh yang tersusun atas bab, pasal, ayat

PRE
serta aturan peralihan dan aturan tambahan. Batang tubuh terdri atas
dua bagian pokok, yaitu bagian pertama tentang sistem pemerintah­an
negara, dan bagian kedua memuat tentang hubungan negara dengan
warga negara dan penduduk Republik Indonesia, serta memuat konsep
negara di bidang politik.
Penjelasan terdiri atas penjelasan umum dan penjelasan pasal
demi pasal. Penjelasan umum isinya mengenai:
1. Undang-Undang Dasar sebagian dari hukum dasar.
2. Pokok-pokok pikiran yang terdapat dalam Pembukaan.
3. Undang-undang Dasar menciptakan pokok-pokok pikiran yang
terkandung dalam pembukaan ke dalam pasal-pasalnya.
4. Undang-Undang Dasar bersifat singkat dan supel.
5. Sistem pemerintahan negara.
Kedudukan Undang-Undang Dasar 1945 merupakan hukum da­
sar yang tertulis. Selain hukum dasar yang tertulis, ada hukum dasar
yang bersifat tidak tertulis yang biasa disebut dengan nama konvensi.
Konvensi merupakan aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara
spiritualisme pancasila

(dilakukan secara terus-menerus dan berulang-ulang) dalam praktik


penyelenggaraan negara, tidak bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar 1945, dan pelengkap atau pengisi kekosongan yang timbul dalam
praktik penyelenggaraan negara. Dalam kedudukannya, Undang- Un­
dang Dasar 1945 berfungsi sebagai:
1. Norma hukum. Undang-Undang Dasar 1945 bersifat mengikat
terhadap pemerintah, setiap lembaga negara ataupun warga ne­
gara dan penduduk Republik Indonesia.
2. Hukum dasar. Undang-Undang Dasar 1945 merupakan sumber
hukum tertinggi, artinya setiap produk hukum, seperti undang-
undang, peraturan pemerintah, keputusan presiden, dan setiap
ke­bijaksanaan pemerintah harus berlandaskan UUD 1945 dan se­
bagai alat kontrol, yaitu mengecek apakah norma hukum yang le­
bih rendah sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945.

UP
RO
B. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945

I A G
Pembukaan UUD 1945 mengandung nilai-nilai yang dijunjung

ED
tinggi oleh bangsa-bangsa yang berada di seluruh dunia. Selain itu,

A M
nilai-nilai tersebut mampu menampung dinamika masyarakat sehing­

D
NA
ga akan tetap menjadi landasan perjuangan bangsa dan negara selama

PRE
bangsa Indonesia masih setia terhadap Proklamasi 17 Agustus 1945.
Pembukaan UUD 1945 bagi bangsa Indonesia merupakan sumber
motivasi dan aspirasi, tekad dan semangat bangsa Indonesia, serta cita
hukum dan cita moral yang ingin ditegakkan dalam lingkungan na­
sional maupun internasional.
Pembukaan UUD 1945 memuat pokok-pokok kaidah negara yang
fundamental yang menerangkan hakikat negara Indonesia yang di­
proklamasikan, 17 Agustus 1945. Adapun pokok-pokok pi­kiran yang
terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 sebagai berikut:
1. Negara persatuan, negara mengatasi segala paham golongan dan
perorangan, negara melindungi segenap bangsa dan seluruh tum­
pah darah Indonesia.
2. Negara hendak mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indo­
nesia. Negara Indonesia menganut paham negara kesejahteraan
(welfare state).
3. Negara yang berkedaulatan rakyat. Negara Indonesia adalah
negara demokrasi.
4. Negara berdasarkan atas ketuhanan yang maha esa menurut dasar

230
10  Pancasila dan Amendemen UUD 1945

kemanusiaan yang adil dan beradab. Negara melindungi kehi­


dupan beragama, bukan negara ateis.
Dengan demikian, kedudukan Pembukaan UUD 1945 merupakan
satu rangkaian utuh dengan proklamasi kemerdekaan. Oleh sebab itu,
Pembukaan UUD 1945 tidak dapat diubah. Jika Pem­bukaan diubah,
berarti mengubah hakikat negara Indonesia yang di­ proklamasikan
pada 17 Agustus 1945.
Indonesia sebagai suatu negara, sejak dikumandangkannya Prok­
lamasi 17 Agustus 1945 dan disahkannya Undang-Undang Dasar
pada 18 Agustus 1945, Indonesia telah meletakkan pandangan hi­dup
bangsanya sebagaimana dapat dilihat dalam alinea keempat Pem­
bukaan UUD 1945. Dalam rumusan yang panjang tapi padat itu, alinea
keempat Pembukaan UUD 1945 memberikan penegasan tentang
fungsi dan tujuan negara Indonesia, bentuk negara, dan dasar falsafah
negara Indonesia. Hal ini dengan jelas dapat dilihat dalam kalimat
alinea keempat UUD 1945 sebagai berikut:

UP

G RO
“...Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintahan negara

A
I
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh

ED
tumpah darah Indonesia dan untuk mengajukan kesejahteraan umum,

M
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban

D A
dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan

NA
sosial maka disusun kemerdekaan kebangsaan Indonenesia itu dalam

PRE
suatu Undang-undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam
suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat
dengan berdasar kepada; Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang
Adil Dan Beradab Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan Yang dipimpin
Oleh Hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta
dengan mewujudkan suatu Keadilan Sosial Bagi seluruh Rakyat Indo­
nesia".

Pernyataan yang terkandung di dalam alinea keempat UUD 1945


itu memberikan arti bahwa fungsi, tujuan, dan bentuk negara Indonesia
dilandaskan kepada makna filosofis yang terkandung di dalam kalimat
sesudah kata-kata “dengan berdasar kepada” tersebut, yaitu suatu
rumusan yang akhirnya dikenal dengan Pancasila, yakni:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa.
2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.
3. Persatuan Indonesia.
4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan.
5. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

231
spiritualisme pancasila

C. Makna Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945


Makna yang terkandung pada UUD 1945, yaitu:
a. Sumber dari motivasi dan aspirasi perjuangan dan tekad bangsa
Indonesia untuk tetap hidup dalam suasan merdeka lahir batin.
b. Sumber dari cita hukum dan moral dalam lingkungan nasional
dan pergaulan bangsa-bangsa di dunia.
c. Mempunyai nilai-nilai:
1. Universal, artinya dijunjung tinggi oleh bangsa-bangsa di mu­
ka bumi.
2. Lestari, berarti:
a) Mampu menampung dinamika masyarakat,
b) Tetap menjadi landasan perjuangan bangsa dan negara
selama bangsa Indonesia tetap setia kepada Negara Prok­
lamasi 17 Agustus 1945.

UP
RO
1. Makna Alinea Pertama

G
Alinea pertama berbunyi:

ED I A
Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan

M
oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena

D A
tidak sesuai dengan pe­ri­kemanusiaan dan perikeadilan.

NA
PRE
a. Dalil objektif:
1. Penjajahan tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan peri­
keadilan.
2. Semua bangsa di dunia mempunyai hak asasi, yaitu hak untuk
merdeka.
2. Pernyataan subjektif. Aspirasi bangsa Indonesia untuk membe­
baskan diri dari penjajahan.
3. Landasan politik luar negeri. Berusaha melawan penjajahan, men­
dukung kemerdekaan setiap bangsa dan menentang hal-hal yang
tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.

2. Makna Alinea Kedua


Alinea kedua berbunyi:
Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah
kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan
rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia
yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

232
10  Pancasila dan Amendemen UUD 1945

a. Makna dari alinea kedua adalah:


1. Perjuangan pergerakan Indonesia sampai pada tingkat yang
menentukan.
2. Momentum harus dimanfaatkan untuk menyatakan kemer­
dekaan.
3. Kemerdekaan harrus diisi dengan mewujudkan negara In­
donesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.

3. Makna Alinea Ketiga


Alinea ketiga berbunyi:
Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan
oleh keinginan luhur supaya ber­kehidupan kebangsaan yang bebas,
maka rakyat Indonesia me­nyatakan dengan ini kemerdekaannya.

a. Makna alinea ketiga, yaitu:


1. Pengukuhan proklamasi kemerdekaan RI.

UP
RO
2. Motivasi spiritual yang luhur. Kehidupan yang berkeseim­

I A G
bangan material dan spiritual di dunia dan di akhirat.

ED
3. Ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Berkat ridha-Nya

M
bangsa Indonesia mencapai kemerdekaan.

D A
NA
PRE
4. Makna Alinea Keempat
Alinea ke-4 berbunyi:
Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintahan negara
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban
du­nia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
so­sial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam
suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat
dengan berdasarkan kepada ketuhanan yang maha esa, kemanusiaan
yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta
dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

a. Tujuan nasional:
1. Melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia.
2. Memajukan kesejahteraan umum.
3. Mencerdaskan kehidupan bangsa.
4. Ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasar kemerdekaan,
perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

233
spiritualisme pancasila

b. Prinsip dasar:
1. Kemerdekaan kebangsaan Indonesia dalam undang-undang
su­sunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rak­
yat.
2. Dasar falsafah negara adalah Pancasila.

D. Pokok-pokok Pikiran Dalam Pembukaan


Undang-Undang Dasar 1945
Ada empat pokok pikiran yang terdapat dalam Pembukaan UUD
1945, yaitu:
1. Negara melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia
dengan didasarkan pada persatuan dan untuk mewujudkan ke­
adilan sosial bagi seluruh bangsa Indonesia. Hal ini berarti:

P
a. Negara mengatasi segala paham golongan dan perorangan.
b. Negara menghendaki persatuan dan melindungi segenap

RO U
G
bangsa Indonesia.

I A
2. Negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.

ED
Hal ini berarti, manusia Indonesia mempunyai hak dan kewajiban

A M
yang sama untuk menciptakan keadilan sosial dalam kehidupan

D
NA
masyarakat.

PRE
3. Negara yang berkedaulatan rakyat berdasar kerakyatan dan per­
musyawaratan/perwakilan. Hal ini berarti, sistem negara yang ter­
bentuk dalam undang-undang harus berdasar kedaulatan rakyat
dan permusyawaratan perwakilan.
4. Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang
adil dan beradab. Hal ini berarti, mewajibkan pemerintah/penye­
lenggara negara untuk memelihara budi pekerti kemanusiaan
yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat luhur.

E. Kedudukan Pembukaan UUD 1945 dengan


Tertib Hukum Indonesia
a. Memberikan faktor-faktor mutlak bagi terwujudnya tertib hukum
Indonesia.
b. Memasukan diri dalam tertib hukum Indonesia sebagai tertib
hukum yang tertinggi.
c. Berdasarkan penjelasan tentang isi Pembukaan UUD 1945, yang

234
10  Pancasila dan Amendemen UUD 1945

termuat dalam Berita Republik Indonesia Tahun II No. 7, dijelas­kan,


bahwa “....Pembukaan UUD 1945 yang di dalamnya terkandung
pokok-pokok pikiran yang meliputi suasana kebatinan dari UUD
negara Indonesia, serta mewujudkan suatu cita-cita hukum, yang
menguasai hukum dasar yang tertulis dan yang tidak tertulis.”

1. Syarat-syarat Adanya Tertib Hukum


a. Adanya kesatuan subjek, yaitu penguasa yang mengadakan per­
aturan hukum. Hal ini terpenuhi dengan adanya suatu peme­
rintahan negara RI (alinea ke-4).
b. Adanya kesatuan asas kerohanian, yang merupakan suatu dasar
dari keseluruhan peraturan-peraturan hukum.
c. Adanya kesatuan daerah, di mana peraturan-peraturan hukum itu
berlaku, terpenuhi oleh kalimat seluruh tumpah darah Indonesia.
d. Adanya kesatuan waktu, di mana seluruh peraturan-peraturan
hukum itu berlaku.

UP
2. Unsur Mutlak Pokok Kaidah Negara yang

A G RO
ED I
Fundamental Menurut Hukum Tata Negara

M
a. Dari segi isinya, ditentukan oleh pembentuk negara dan terjelma

D A
dalam suatu pernyataan lahir sebagai penjelmaan kehendak pem­

NA
PRE
bentuk negara, untuk menjadikan hal-hal tertentu sebagai dasar-
dasar negara yang dibentuknya.
b. Dari segi isinya, memuat tujuan negara, bentuk negara, ketentuan
diadakannya UUD negara, dasar filsafat negara.

F. Hubungan Pembukaan dengan Batang Tubuh


Undang-Undang Dasar 1945
Dalam keterkaitan antara pembukaan dan batang tubuh UUD
1945 tercakup hal-hal sebagai berikut:
1. Suasana kebatinan
Pokok-pokok pikiran dalam pembukaan UUD 1945 meliputi sua­
sana kebatinan dari Undang-Undang Dasar RI.
2. Cita-cita hukum
Pokok-pokok pikiran dalam pembukaan Undang-Undang Dasar
1945, mewujudkan cita-cita hukum (rechts idee) yang menguasai
hukum dasar (yang tertulis dan yang tidak tertulis).
3. Pokok-pokok pikiran dijabarkan kedalam pasal-pasal

235
spiritualisme pancasila

Undang-un­ dang menjabarkan pokok-pokok pikiran ke dalam


pasal-pa­salnya.
Pancasila, dasar negara kita, dirumuskan dari nilai-nilai kehidupan
masyarakat Indonesia yang berasal dari pandangan hidup bangsa yang
merupakan kepribadian, bangsa perjanjian luhur, serta tujuan yang
hendak diwujudkan. Karena itu, Pancasila dijadikan ideologi negara.
Pancasila merupakan kesadaran cita-cita hukum serta cita-cita moral
luhur yang memiliki suasana kejiwaan serta watak bangsa Indonesia,
melandasi proklamasi kemerdekaan RI 17 Agustus 1945.
Untuk mewujudkan tujuan proklamasi kemerdekaan, maka Pa­
nitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) telah menetapkan UUD
1945 merupakan hukum dasar yang tertulis yang mengikat pemerintah,
setiap lembaga/masyarakat, warga negara dan penduduk RI pada
18 Agustus 1945, sehari setelah proklamasi kemerdekaan tersebut.
Dalam bagian pembukaannya terdapat pokok-pokok pikiran tentang

UP
kehidupan bermasyarakat, bernegara yang tiada lain adalah Pancasila,

RO
pokok-pokok pikiran tersebut yang diwujudkan dalam pa­ sal-pasal

A G
batang tubuh UUD 1945 yang merupakan aturan-aturan pokok dalam

I
ED
garis-garis besar sebagai instruksi kepada pemerintah dan lain-lain pe­

M
nyelenggara negara untuk melaksanakan tugasnya.

D A
Menurut penjelasan UUD 1945, pokok-pokok pikiran tersebut

NA
meliputi suasana kebatinan dari undang-undang negara Indonesia,

PRE
dan mewujudkan cita-cita hukum (rechtsidee) yang menguasai hukum
negara baik hukum yang tertulis maupun tidak tertulis. Pokok-pokok
pikiran itu dijelmakan dalam pasal-pasal dan UUD itu. Dengan de­
mikian dapat disimpulkan bahwa suasana kebatinan UUD1945 dan
cita-cita hukum UUD 1945 tidak lain adalah bersumber kepada atau
dijiwai dasar falsafah negara Pancasila.
Di sinilah arti dan fungsi Pancasila sebagai dasar negara. Atau,
dengan kata lain, bahwa Pembukaan UUD 1945 yang membuat dasar
falsafah negara Pancasila, merupakan satu kesatuan nilai dan norma
yang terpadu yang tidak dapat dipisahkan dengan rangkaian pasal-
pasal dan batang tubuh UUD 1945. Hal inilah yang harus kita ketahui,
dipahami, dan dihayati oleh setiap orang Indonesia. Jadi, Pancasila itu
di samping termuat dalam Pembukaan UUD 1945 (rumusannya dan
pokok-pokok pikiran yang terkandung di dalamnya) dijabarkan se­cara
pokok dalam wujud pasal-pasal batang tubuh UUD 1945.
Hal inilah yang termuat dalam penjelasan autentik UUD 1945.
Jadi, Pancasila adalah jiwa, ini sumber dan landasan UUD 1945. Secara
teknis dapat dikatakan bahwa pokok-pokok pikiran yang terdapat

236
10  Pancasila dan Amendemen UUD 1945

dalam Pembukaan UUD 1945 adalah garis besar cita——yang terkandung


dalam Pancasila. Batang tubuh UUD 1945 merupakan pokok-pokok
nilai-nilai Pancasila yang disusun dalam pasal-pasal.
Kedua bagian (komponan) UUD 1945 tersebut dijelaskan dalam
penjelasan autentik. Seperti telah dikemukakan bahwa yang dimaksud
dengan undang-undang dasar adalah hukum dasar yang tertulis. Hal
ini mengandung pengertian bahwa sebagai hukum, maka undang-
undang dasar adalah mengikat; mengikat pemerintah, mengikat lem­­
baga negara, dan lembaga masyarakat dan juga mengikat semua ne­
gara Indonesia di mana saja dan setiap penduduk warga Indonesia.
Dan sebagai hukum, maka undang-undang dasar berisi norma-norma,
aturan-aturan atau ketentuan-ketentuan yang harus dilaksanakan dan
ditaati.
UUD bukanlah hukum dasar biasa, melainkan hukum dasar yang
merupakan sumber hukum. Setiap produk hukum, misalnya un­dang-

P
undang, peraturan pemerintah, atau keputusan pemerintah, bahkan
setiap kebijaksanaan pemerintah haruslah berlandaskan atau bersum­

RO U
G
berkan pada peraturan yang lebih tinggi, yang pada akhirnya dapat

I A
dipertanggungjawabkan pada ketentuan UUD 1945.

ED
Dalam kedudukan yang demikianlah, UUD dalam kerangka tata

A M
urutan atau tata tingkatan norma hukum yang berlaku, merupakan

D
NA
hukum yang berlaku yang menempati kedudukan yang tinggi. Sehu­

PRE
bungan dengan undang-undang dasar juga berfungsi sebagai alat
kontrol untuk mengecek apakah norma hukum yang rendah yang ber­
laku sesuai atau tidak dengan ketentuan undang-undang dasar.
Selain dari apa yang diuraikan di muka dan sesuai pula dengan
penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, Pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945 mempunyai fungsi atau hubungan langsung dengan batang
tubuh undang-undang dasar 1945 itu sendiri. Bahwa, Pembukaan Un­
dang-Undang Dasar 1945 mengandung pokok-pokok pikiran itu di­
ciptakan oleh Undang-Undang Dasar 1945 dalam pasal-pasalnya.
Dengan tetap menyadari keagungan nilai-nilai yang terkandung
dalam Pancasila, dan dengan memperhatikan hubungan dengan ba­
tang tubuh UUD yang memuat dasar falsafah negara Pancasila dan
UUD 1945 merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan bahkan
merupakan rangkaian kesatuan nilai dan norma yang terpadu. UUD
1945 terdiri dari rangkaian pasal-pasal yang merupakan perwujudan
dari pokok-pokok pikiran terkandung dalam UUD1945 yang tidak lain
adalah pokok pikiran: persatuan Indonesia, keadilan sosial, kedaulatan
rakyat berdasarkan atas kerakyatan dan permusyawaratan perwakilan

237
spiritualisme pancasila

dan ketuhanan Yang Maha Esa menurut kemanusiaan yang adil dan
beradab, yang tidak lain adalah sila dari Pancasila, sedangkan Pan­
ca­sila itu sendiri memancarkan nilai-nilai luhur yang telah mampu
memberikan semangat kepada dan terpancang dengan khidmat dalam
perangkat UUD 1945. Semangat dan yang disemangati pada hakikat­
nya merupakan satu rangkaian kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Seperti telah disinggung di muka, bahwa di samping undang-
undang dasar, masih ada hukum dasar yang tidak tertulis yang juga
me­ rupakan sumber hukum, yang menurut penjelasan UUD 1945
merupakan ‘aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam
praktik penyelenggaraan negara, meskipun tidak tertulis’. Inilah yang
dimaksudkan dengan konvensi atau kebiasaan ketatanegaraan se­ba­
gai pelengkap atau pengisi kekosongan yang timbul dari praktik ke­
negaraan, karena aturan tersebut tidak terdapat dalam undang-undang
dasar.

P
UUD 1945 yang hanya terdiri dari 37 pasal ditambah dengan
empat pasal aturan peralihan dan dua ayat aturan tambahan, maka

RO U
G
UUD 1945 termasuk singkat dan bersifat supel atau fleksibel. Dalam

I A
hubungan ini, penjelasan UUD 1945 mengemukakan bahwa telah

ED
cukuplah kalau undang-undang dasar hanya memuat aturan-aturan

A M
pokok garis-garis besar sebagai instruksi kepada pemerintah pusat

D
NA
dan lain-lain penyelenggaraan negara untuk menyelenggarakan ke­

PRE
hi­
dupan negara. Undang-Undang Dasar yang disingkat itu sangat
menguntungkan bagi negara seperti Indonesia ini yang masih harus
terus berkembang secara dinamis, sehingga dengan aturan-aturan
pokok itu akan merupakan aturan yang luwes, kenyal, tidak mudah
ke­tinggalan zaman, sedang aturan-aturan yang menyelenggarakan
aturan-aturan pokok itu diserahkan kepada undang-undang yang
lebih mudah caranya membuat, mengubah, dan mencabut. Oleh ka­
rena itu, makin supel (elastic) sifatnya aturan itu makin baik. Jadi, kita
harus menjadi supaya sistem undang-undang dasar jangan sampai
ketinggalan zaman. Yang penting dalam pemerintahan dan dalam
hal hidupnya negara yakni semangat para pemimpin pemerintahan,
yaitu semangat yang dinamis, positif, dan konstruktif seperti yang di­
kehendaki oleh pembukaan UUD 1945.

238
10  Pancasila dan Amendemen UUD 1945

G. Kedudukan Pembukaan UUD 1945 Hubungannya


dengan Pasal-pasal
1. Dalam hubungannya dengan tertib hukum Indonesia, maka Pem­
bukaan UUD 1945 mempunyai hakikat kedudukan yang terpisah
dengan batang tubuh UUD 1945. Dalam kedudukannya sebagai
pokok kaidah negara yang fundamental, Pembukaan UUD 1945
mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari batang tubuh.
2. Pembukaan UUD 1945 merupakan suatu tertib hukum tertinggi
dan pada hakikatnya mempunyai kedudukan lebih tinggi dari­pada
batang tubuh UUD 1945.
3. Pembukaan UUD 1945 merupakan pokok kaidah negara yang
fundamental yang menentukan adanya UUD 1945, yang mengu­
asai hukum dasar negara baik yang tertulis maupun yang tidak,
jadi merupakan sumber hukum dasar negara.
4. Pembukaan UUD 1945 berkedudukan sebagai pokok kaidah ne­
gara yang fundamental mengandung pokok-pokok pikiran yang
UP
RO
harus dijabarkan kedalam pasal-pasal UUD 1945.

I A G
M ED
H. Tujuan Pembukaan UUD 1945 dengan Pancasila

A
NA D
1. Alinea I untuk mempertanggungjawabkan, bahwa kemerdekaan

PRE
sudah selayaknya, karena berdasarkan atas hak kodrat yang ber­
sifat mutlak dari moral bangsa Indonesia untuk merdeka.
2. Alinea II untuk menetapkan cita-cita bangsa Indonesia yang
ingin dicapai dengan kemerdekaan yaitu terpeliharanya secara
sungguh-sungguh kemerdekaan dan kedaulatan negara, kesatuan
bangsa, negara dan daerah atas keadilan hukum dan moral,
bagi diri sendiri dan pihak lain serta kemakmuran bersama yang
berkeadilan.
3. Alinea III untuk menegaskan bahwa proklamasi kemerdekaan,
menjadi permulaan dan dasar hidup kebangsaan dan kenegaraan
bagi seluruh orang Indonesia, yang luhur dan suci dalam lindungan
Tuhan YME.
4. Alinea IV untuk melaksanakan segala sesuatu dalam perwujudan
dasar-dasar tertentu yang tercantum dalam alinea IV Pembukaan
UUD 1945.

239
spiritualisme pancasila

I. Hubungan Pembukaan UUD 1945 dengan


Pancasila
1. Hubungan secara formal, dengan dicantumkannya pancasila se­
cara formal di dalam Pembukaan UUD 1945, maka Pancasila
memperoleh kedudukan sebagai norma dasar hukum positif.
2. Hubungan secara material, materi yang dibahas oleh BPUPKI
yang pertama adalah dasar filsafat Pancasila baru kemudian Pem­
bukaan UUD 1945. Tertib hukum Indonesia dijabarkan dari nilai-
nilai yang terkandung dalam Pancasila. Pancasila sebagai tertib
hukum Indonesia

J. Amendemen Undang-Undang Dasar 1945


Pada dasarnya, perubahan hukum (termasuk konstitusi dan

P
UUD) dapat melalui dua cara yaitu melalui perubahan formal dan

RO U
per­ubahan informal. Perubahan formal terjadi dengan tata cara yang

G
ditentukan dalam UUD yang bersangkutan seperti diatur dalam Pasal

I A
37 UUD 1945. Perubahan tidak formal adalah perubahan yang terjadi

ED
melalui praktik ketatanegaraan dalam bentuk kebiasan-kebiasaan ke­

A M
tatanegaraan (konvensi) atau putusan hakim (yurisprudensi).

D
NA
Oleh sebab itu, amendemen merupakan suatu proses perubahan

PRE
hukum (dalam konstitusi) yang dilakukan dengan cara formal. Amen­
demen sendiri merupakan prosedur penyempurnaan, baik yang si­
fatnya merevisi (memperbaiki) maupun mengganti atau mengubah
sama sekali. Amendemen dilakukan agar konstitusi selalu sesuai de­
ngan perubahan zaman dan karakter manusia.
Selama pemerintahan Orla dan Orba, UUD 1945 tidak pernah
me­­ngalami amendemen. Ketika bergulirnya Reformasi, masyarakat
meng­­­
hendaki adanya amendemen yaitu adanya kelemahan dalam
ke­tentuan pasal-pasal UUD 1945 yang dimanfaatkan oleh rezim yang
ber­kuasa untuk mempertahankan kekuasaannya.

1. Latar Belakang Perubahan


Amendemen UUD yang sudah dilakukan sebanyak empat kali
dilatarbelakngi oleh:
a. Kekuasaan tertinggi di tangan MPR.
b. Kekuasaan yang sangat besar pada Presiden.
c. Pasal-pasal yang terlalu “luwes” sehingga dapat menimbulkan
multitafsir.

240
10  Pancasila dan Amendemen UUD 1945

d. Kewenangan pada Presiden untuk mengatur hal-hal penting de­


ngan undang-undang.
e. Rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggara negara
belum cukup didukung ketentuan konstitusi.

2. Kesepakatan Dasar
Adapun pada saat amendemen UUD 1945 dari pertama sampai
amendemen keempat disepakati beberapa hal yang tidak mengalami
perubahan di antaranya:
a. Tidak mengubah Pembukaan UUD 1945.
b. Tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
c. Mempertegas sistem presidensiel.
d. Penjelasan UUD 1945 yang memuat hal-hal normatif akan dima­
sukan ke dalam pasal-pasal.
e. Perubahan dilakukan dengan cara “adendum”.

UP
RO
Telah terjadi empat kali perubahan UUD 1945, perubahan pertama

G
pada 19 Oktober 1999, sedangkan perubahan yang keempat pada 19

I A
Agustus 1945.

A M
a. Perubahan Pertama
ED
NA D
Perubahan pertama meliputi, antara lain:

PRE
1. Mengurangi, membatasi, serta mengendalikan kekuasaan pre­si­
den.
2. Hak membentuk undang-undang yang dahulu ada di tangan pre­
siden dan sekarang ada pada DPR, sedang presiden hanya berhak
mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR.
Pasal-pasal yang mengalami perubahan/penambahan pada per­
ubahan pertama adalah Pasal 5, ayat (1) diubah; Pasal 7 diubah; pasal
9 diubah; Pasal 13, ayat (2) diubah dan ditambah satu ayat; Pasal 14
diubah menjadi dua ayat; Pasal 15 diubah; Pasal 17, ayat (3) diubah dan
ditambah satu ayat; Pasal 20 diubah menjadi empat ayat; Pasal 21 ayat
(1) diubah.

b. Perubahan Kedua
Perubahan kedua meliputi, antara lain sebagai berikut:
1. Pemerintah daerah.
2. Keanggotaan, fungsi, hak, serta cara pengisian keanggotaan DPR.

241
spiritualisme pancasila

3. Wilayah negara.
4. Warga negara dan penduduk negara RI.
5. Hak asasi manusia.
6. Pertahanan keamanan negara.
7. Mengenai bendera, bahasa, lambang negara, dan lagu kebangsaan.
Adapun pasal-pasal yang diubah pada perubahan kedua adalah
Pasal 18 dan Bab IV ditambah 2 pasal; Pasal 19 diubah menjadi tiga ayat;
Pasal 20 ditambah satu (ayat 5) dan Bab VII ditambah satu pasal (20A/
empat ayat); Pasal 22 ditambah dua pasal (22A, 22B); Pasal 22 ditambah
dua pasal (22A, 22B); Pasal 25 ditambah satu bab dan ditambah satu
pasal, yaitu Bab IXA tentang Wilayah Negara (Pasal 25A), dan Bab X
diubah judul bab menjadi warga negara dan penduduk; Pa­sal 26 ayat
(2) diubah dan ditambah satu ayat (3); Pasal 27 satu ayat (3); Pasal 28
ditambah satu bab, yaitu Bab XA tentang Hak Asasi Manusia; Bab XII
judul bab diubah menjadi Pertahanan Keamanan Negara; Pasal 30
diubah; Bab XV judul bab diubah menjadi Bendera, Bahasa, Lambang

UP
RO
Negara serta Lagu Kebangsaan; Pasal 36 Bab XV ditambah 3 pasal (36A,
36B, 36C).

I A G
M
c. Perubahan ketiga

A ED
NA D
Perubahan ketiga meliputi, antara lain sebagai berikut:

PRE
1. Pelaksanaan kedaulatan.
2. Negara Indonesia adalah negara hukum.
3. Kedudukan dan kewenangan MPR.
4. Jabatan presiden dan wakil presiden.
5. Tata cara pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung
oleh rakyat.
6. Pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa
jabatan.
7. Pembentukan lembaga baru, seperti Mahkamah Konstitusi (MK).
Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Komisi Yudisial (KY).
8. Pengaturan tambahan untuk Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
9. Pemilihan umum (Pemilu).

242
10  Pancasila dan Amendemen UUD 1945

Adapun pasal-pasal yang terkena perubahan adalah Pasal 1, ayat


(2) diubah dan ditambah satu ayat; pasal 3 diubah dan ditambah tiga
ayat; Pasal 6 ayat (1) dan (2) diubah dan ditambah satu Pasal (Pasal 6A);
Pasal 7 ditambah tiga pasal (Pasal 7A, 7B, 7C); Pasal 8 diubah menjadi
dua ayat; Pasal 11 diubah; Pasal 17 ditambah satu ayat; Pasal 22 di­
tambah dua bab, yaitu Bab VIIA tentang Dewan Perwakilan Rakyat;
Pasal (22C, 22D); dan Bab VIIB tentang Pemilihan Umum; pasal (22E
terdiri dari enam ayat); Pasal 23 diubah dan ditambah dua pasal
(23A, 23C) dan satu Bab VIIIA tentang Badan Pemeriksa Keuangan
dengan tiga pasal (Pasal 23E, 23F, 23G); Pasal 24 diubah, Pasal 24 ayat
2 tentang Mahkamah Konstitusi (MK) dan ditambah tiga pasal yaitu
Pasal 24A, 24B (tentang Komisi Yudisial) dan 24C tentang Kewenangan
Mahkamah Konstitusi.

d. Perubahaan Keempat
Perubahan keempat dan terakhir ini antara lain sebagai berikut:

UP
RO
1. Keanggotaan MPR.
2.

A G
Pemilihan presiden dan wakil presiden tahap kedua.

I
ED
3. Kemungkinan presiden dan wakil presiden berhalangan tetap.

M
4. Kewenangan presiden.
5.
D A
Keuangan negara dan bank sentral.

NA
PRE
6. Pendidikan dan kebudayaan nasional.
7. Perekonomian nasional dan kesejahteraan rakyat.
8. Fakir miskin dan sistem jaminan sosial.
9. Aturan peralihan dan aturan tambahan.
10. Kedudukan penjelasan UUD 1945.
Adapun pasal-pasal yang terkena pada perubahan terakhir/keem­
pat adalah Pasal 2 ayat (1) diubah; Pasal 6A ditambah satu ayat; Pasal 8
ditambah satu ayat; Pasal 11 ditambah satu ayat; Pasal 16 diubah; Pasal
23 ditambah dua pasal (23B, 23D); Pasal 24 ditambah satu ayat (3); Pasal
32 diubah; Pasal 33 ditambah 2 ayat (4 dan 5); Pasal 34 diubah menjadi
empat ayat; Pasal 37 diubah menjadi lima ayat; kemudian perubahan
aturan peradilan diubah menjadi Pasal I, II, III, dan aturan tambahan
menjadi Pasal I dan II.

243
spiritualisme pancasila

Tabel 1
Masa Orde Baru Masa Reformasi
(Sebelum Amendemen UUD 1945) (Setelah Amendemen UUD 1945)

a. Indonesia adalah negara hukum a. Negara Indonesia adalah negara hukum


(rechtstaat) negara Indonesia tercantum dalam Pasal 1 ayat 3
berdasarkan atas hukum, tidak b. Sistem konstitusional. Secara eksplisit
berdasarkan atas kekuasaan belaka. tidak tertulis, namun secara substansi
Ini mengandung arti bahwa negara, bisa dilihat dalam Pasal 2 ayat 1, Pasal 3
termasuk di dalamnya pemerintah dan ayat 3, Pasal 4 ayat 1 serta Pasal 5 ayat
lembaga-lembaga negara lain dalam 1dan 2.
melaksanakan tugasnya atau tindakan c. Kekuasaan negara tertinggi di tangan
apa pun harus berdasarkan pada MPR. Kedaulatan berada di tangan
peraturan atau hukum yang berlaku. rakyat dilaksanakan menurut UUD.
b. Sistem konstitusional. Pemerintah d. Presiden adalah penyelenggara
berdasar atas sistem konstitusi (hukum pemerintahan negara tertinggi menurut
dasar). Maksudnya pemerintah di UUD.
dalam mengendalikan pemerintahannya e. Presiden tidak bertanggung jawab
dibatasi oleh ketentuan dalam konstitusi, kepada DPR.
juga hukum-hukum lain di bawahnya. f. Menteri negara adalah pembantu

P
c. Kekuasaan negara tertinggi di tangan presiden, menteri negara tidak

U
MPR, kedaulatan dipegang oleh MPR bertanggung jawab pada DPR.

RO
sebagai wakil rakyat. MPR sebagai g. Kekuasaan kepala negara tidak tak

G
lembaga tertinggi negara dan presiden terbatas.

I A
harus menjalankan GBHN yang telah

ED
ditetapkan oleh MPR, karena presiden
adalah mandataris MPR.

A M
d. Presiden adalah penyelenggara

D
pemerintahan tertinggi menurut

NA
UUD. Dalam menjalankan kekuasaan

PRE
pemerintah negara bertanggung jawab
penuh di tangan presiden.
e. Presiden tidak bertanggung jawab
kepada DPR.
f. Menteri negara ialah pembantu
presiden, menteri tidak bertanggung
jawab kepada DPR.
g. Kekuasaan kepala negara tidak tak
terbatas.

Amandemen UUD 1945 sebenarnya tidak mengubah sistem pe­


merintahan di Indonesia. Baik sebelum dan sesudah amendemen,
sistem pemerintahan Indonesia tetap presidensiel. Amendemen ter­
sebut mengubah peran dan hubungan antara Presiden dan DPR. Jika
dulu presiden memiliki peran dominan, bahkan ndalam praktiknya
presiden dapat menekan dan mendikte lembaga-lembaga negara yang
lain, sekarang UUD 1945 memberikan peran yang lebih proposional
terhadap lembaga-lembaga yang lain. Begitu pula kontrol terhadap
kekuasaan presiden menjadi lebih ketat. Hal ini membawa dampak
ter­hadap iklim publik yang berkembang di Indonesia, antara lain:

244
10  Pancasila dan Amendemen UUD 1945

a. Kebebasan berpendapat, berkreasi, dan partisipasi rakyat di­


lin­dungi UUD 1945, sehingga rakyat sekarang berani untuk me­
nyuarakan kepentingannya.
b. Dewan perwakilan rakyat tidak hanya berperan sebagai lembaga
yang mengikuti presiden, tetapi sebagai lembaga yang sangat ketat
dalam mengontrol kekuasaan.
c. Presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung oleh rakyat,
sehingga mereka memiliki legitimasi yang kuat, tidak hanya
menjalankan kehendak MPR.
d. Dibentuknya lembaga-lembaga baru seperti Mahkamah Kon­
stitusi, Komisi Yudisial guna mengontrol kinerja dari para pe­
ngelola ne­gara dan para penegak hukum.
Struktur kekuasaan di negara Republik Indonesia sebelum amen­
demen sebagai berikut:

Pancasila

UP
A G RO
I
UUD 1945

ED
DAM
MPR

E NA
PR MA BPK dpr

Gambar 10.1
Presiden dpa

Struktur kekuasaan di negara Republik Indonesia setelah aman­


demen adalah sebagai berikut:

Pancasila

UUD 1945

bpk mpr presiden & kehakiman


Dpr DpD wakil presiden MK ky ma

Legislatif eksekutif yudikatif

Gambar 10.2

245
spiritualisme pancasila

Beberapa perubahan yang mendasar dalam ketatanegaraan di In­


donesia setelah amendemen UUD 1945 adalah sebagai berikut:
a. Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilakukan menurut UUD
(Pasal 1).
b. Majelis Permusyawaratan Rakyat merupakan lembaga bikameral
yaitu terdiri dari Dewan Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Per­
wakilan Daerah (Pasal 2).
c. Presiden dan Wakil Presiden dipilih langsung oleh rakyat (Pasal 6).
d. Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan kemudian
bisa dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan (Pasal 7).
e. Dimuatnya hak asasi manusia (Pasal 28A-28J).
f. Penghapusan Dewan Pertimbangan Agung sebagai lembaga tinggi
negara ( Pasal 16).
g. Presiden bukan lagi mandataris MPR sehingga tidak lagi menyusun
Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).

UP
h. Dibentuknya Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial (Pasal 24

RO
B dan 24 C).

G
i. Anggaran pendidikan minimal 20 persen (Pasal 31).

ED I A
j. Negara kesatuan tidak boleh diubah (Pasal 37).

M
k. Tidak ada lagi lembaga tertinggi negara dan lembaga tinggi negara,

D A
yang ada adalah lembaga-lembaga negara dan mereka semua se­

NA
jajar posisinya.

PRE
l. Penjelasan UUD 1945 dihapus.
m. Penegasan demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efi­
si­ensi, keadilan berkelanjutan, berwawasan lingkungan, ke­man­
dirian, serta dengan menjaga kemajuan dan kesatuan eko­nomi
nasional (Pasal 33).
Dalam kehidupan bernegara di Indonesia, menerapkan prinsip
kedaulatan rakyat. Hal ini bersumber pada dua landasan: Pertama:
Pancasila (sila keempat). Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebi­
jaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Kedua: UUD 1945
(Pa­sal 1 ayat 2). Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut UUD.
Dari ketentuan Pasal 1 ayat 2 tersebut terkandung maksud bahwa
yang mempunyai kekuasaan tertinggi dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara di Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah rakyat
Indonesia. Dalam melaksanakan kedaulatannya dijalankan oleh lem­
baga-lembaga negara, yaitu:
a. Lembaga legislatif (pembuat undang-undang) dipegang oleh Ma­

246
10  Pancasila dan Amendemen UUD 1945

jelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat


(DPR), dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
b. Lembaga eksekutif (pelaksana undang-undang) dipegang oleh
Presiden dan Wakil Presiden.
c. Lembaga yudikatif (pengawas pelaksanaan undang-undang/me­
ng­­adili pelanggaran UU) dipegang Mahkamah Agung (MA), Mah­
kamah Konstitusi (MK), dan Komisi Yudisial (KY).
Untuk lebih jelasnya marilah kita bahas mengenai lembaga-lem­
baga tersebut:

1) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)


Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) termasuk lembaga legis­
latif, dalam hal ini MPR memiliki wewenang untuk:
a. Mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar (Pasal 3 ayat

P
1 UUD 1945).
b. Melantik Presiden dan Wakil Presiden, serta memberhentikan

RO U
G
Pre­siden dan Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut

I A
undang-undang dasar.

M ED
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tidak lagi berkedudukan

A
D
sebagai pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat. Ada dua perubahan

NA
dari kewenangan tersebut, antara lain:

PRE
a. MPR kini tidak lagi memilih Presiden dan Wakil Presiden (mereka
dipilih langsung oleh rakyat dalam pemilu yang luber dan jurdil).
b. MPR tidak lagi menyusun Garis-garis Besar Haluan Negara
(GBHN).
Dengan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung
oleh rakyat, maka setiap calon Presiden dan Wakil Presiden harus
menyusun sendiri GBHN yang akan dilaksanakan kalau nantinya ter­
pilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden.

2) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)


Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dikenal sebagai lembaga legisla­tif
karena lembaga ini memegang kekuasaan membentuk undang-un­dang
sebagaimana tertera dalam UUD 1945 Pasal 20 dan 21. Anggota DPR
berhak untuk mengajukan usul rancangan Undang-Undang (RUU),
dan setiap RUU dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapatkan
per­setujuan bersama.
Anggota DPR dipilih melalui pemilu yang diselenggarakan oleh

247
spiritualisme pancasila

Komisi Pemilihan Umum (KPU) setiap lima tahun sekali. Berdasarkan


UU Pemilu No. 12 Tahun 2003 ditetapkan bahwa jumlah anggota DPR
sebanyak 550 orang. Jumlah anggota DPRD provinsi sekurang-ku­
rang­nya 35 orang dan sebanyaknya 100 orang. Adapun untuk ­jum­lah
anggota DPRD kabupaten/kota paling sedikit 20 orang dan paling
banyak 45 orang.
Dewan perwakilan rakyat memiliki tiga fungsi, yaitu:
a. Fungsi legislasi, artinya DPR berfungsi sebagai pembuat per­un­
dang-undangan.
b. Fungsi anggaran (budget), artinya DPR berfungsi sebagai lembaga
yang berhak untuk menetapkan anggaran pendapatan belanja
negara (APBN).
c. Fungsi pengawasan (kontrol), artinya DPR berfungsi sebagai lem­
baga yang melakukan pengawasan terhadap pemerintah da­lam
menjalankan pemerintahannya.

UP
RO
3) Dewan Perwakilan Daerah (DPD)

I A G
Anggota DPD dipilih melalui pemilihan umum. Fungsinya adalah

ED
menyuarakan kepentingan daerah pada tingkat nasional. DPD meru­

A M
pakan wakil dari seluruh provinsi yang ada di Indonesia, di mana jumlah

D
NA
anggota DPD tidak lebih dari sepertiga dari jumlah anggota DPR. Setiap

PRE
anggota DPD menjadi anggota MPR. DPD bersidang sedikitnya sekali
dalam setahun. DPD dapat mengajukan Rancangan Undang-Undang
yang berkaitan dengan otonomi daerah kepada DPR, dan selanjutnya
DPD juga bisa melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-
undang tersebut. Selain itu, DPD juga ikut mencermati persoalan hu­
bungan pusat dengan pemerintah daerah, pembentukan, dan peng­ga­
bungan daerah baru, serta pengelolaan sumber daya ekonomi dae­rah.

4) Presiden dan Wakil Presiden


Menurut ketentuan UUD 1945, Presiden dan Wakil Presiden di­­pi­
lih secara langsung oleh rakyat dalam suatu pemilihan umum. Dengan
demikian, keduanya bisa disebut sebagai pelaksana kedaulatan rakyat.
Untuk menghindari tindakan sewenang-wenang oleh pelaksana
kedau­latan rakyat tersebut, maka UUD 1945 Pasal 4 ayat 1 memberi
ba­tasan yang jelas, bahwa Presiden Republik Indonesia memegang
kekuasaan pemerintahan menurut UUD.
Presiden dan Wakil Presiden menjalankan tugas dan kewajiban­nya
dalam suatu periode jabatan, yakni selama lima tahun dan sesudahnya

248
10  Pancasila dan Amendemen UUD 1945

dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali
masa jabatan (UUD 1945 Pasal 7). Sebagai kepala negara dan kepala
pemerintahan presiden memiliki kekuasaan sebagai berikut:
a. Kekuasaan Presiden dalam bidang eksekutif.
1. Pasal 4 ayat 1 UUD 1945, Presiden Republik Indonesia meme­
gang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang
Da­sar.
2. Pasal 5 ayat 2 UUD 1945, Presiden menetapkan Peraturan Pe­
merintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana
mestinya.
b. Kekuasaan Presiden dalam bidang legislatif.
Dalam bidang legislatif ini, Presiden bertindak sebagai mitra DPR,
artinya Presiden bekerja sama dengan DPR dalam membuat un­
dang-undang dan menetapkan anggaran pendapatan belanja ne­
gara (APBN).
c. Kekuasaan sebagai kepala negara.

UP
RO
Sebagai kepala negara, Presiden mempunyai tugas-tugas pokok

A G
yang diatur dalam UUD 1945, di antaranya sebagai berikut:

I
ED
1. Presiden memegang kekuasaan tertinggi atas angkatan darat,

M
angkatan laut, angkatan udara dan kepolisian.

D A
2. Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, mem­

NA
buat perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain.

PRE
3. Presiden menyatakan keadaan bahaya, syarat-syarat, dan aki­
batnya ditetapkan dengan undang-undang.
4. Presiden mengangkat duta dan konsul dengan memperha­
tikan pertimbangan DPR.
5. Presiden menerima penempatan duta dari negara lain.
6. Presiden memberikan grasi dan rehabilitasi dengan memper­
hatikan pertimbangan Mahkamah Agung.
7. Presiden memberikan amnesti dan abolisi dengan memper­
hatikan pertimbangan DPR.
8. Presiden memberi gelar, tanda jasa, dan lain-lain tanda ke­
hormatan yang diatur dengan undang-undang.
9. Presiden membentuk dewan pertimbangan. Dewan ini bertu­
gas memberi nasihat dan pertimbangan kepada Presiden.

5) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)


Badan pemeriksa keuangan (BPK) berkedudukan di ibukota ne­­gara,
dan memiliki perwakilan di beberapa provinsi. Berdasar keten­tuan UUD

249
spiritualisme pancasila

1945 Pasal 23 F, anggota BPK dipilih oleh DPR dengan memperhatikan


pertimbangan DPD dan selanjutnya diresmikan oleh Presiden. BPK
bertugas untuk memeriksa pengelolaan dan pertanggungjawaban ke­
uangan negara. Hasil pemeriksaanya selanjutnya diserahkan kepada
DPR, DPD, dan DPRD sesuai dengan kewenangannya. Hasil pemerik­
saan BPK tersebut kemudian ditindaklanjuti oleh lembaga per­wakilan
dan/atau bahan yang sesuai dengan undang-undang.
Badan ini memiliki kedudukan yang bebas, mandiri, dan tidak
­ter­pengaruh oleh badan atau lembaga apa pun, dan hanya semata-
mata untuk kepentingan rakyat, bangsa, dan negara.

6) Kekuasaan Kehakiman (Lembaga Yudikatif )


Lembaga yudikatif adalah sebuah lembaga yang bertugas meng­adili
pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan. Kekuasaan
kehakiman merupakan kekuasaan merdeka untuk menyelenggarakan

UP
per­adilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Kekuasaan ini di­

RO
lak­sanakan oleh Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi

G
Yudisial.
a. Mahkamah Agung (MA)

ED I A
M
1. Mengadili suatu perkara pada tingkat kasasi.

D A
2. Menguji peraturan perundang-undangan di bawah UU ter­

NA
hadap UU.

PRE
b. Mahkamah Konstitusi (MK)
1. Mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusan­
nya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap
un­dang-undang dasar.
2. Memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara yang ke­
wenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar.
3. Memutus pembubaran partai politik.
4. Memutus sengketa perselisihan hasil pemilu.
5. Memberi putusan atau pendapat DPR mengenai dugaan pe­
langgaran oleh Presiden/atau Wakil Presiden menurut UUD.
c. Komisi Yudisial (KY)
1. Mengusulkan pengangkatan hakim agung.
2. Menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran, dan mar­
tabat perilaku hakim.

250
10  Pancasila dan Amendemen UUD 1945

 Latihan
Buatlah perbandingan antara pasal-pasal UUD 1945 sebelum dan
se­sudah amendemen. Pilihlah salah satu pasal dan diskusikan dalam
kelompok, terutama dalam hubungannya dengan persoalan-persoalan
yang bisa diatur oleh pasal tersebut.
Jawablah pertanyaan di bawah ini dengan benar!
1. Bandingkan sistem presidensial Indonesia dengan AS, apa kelebih­
an dan kekurangannya!
2. Bandingkan sistem pemerintahan Indonesia sebelum dan sesu­
dah amen­demen UUD 1945!
3. Mengapa Pembukaan UUD 1945 salah satu hal yang menjadi ke­
se­pa­katan tidak dilakukan perubahan dalam amendemen UUD
1945!
4. Jelaskan hubungan Pancasila dengan Pembukaan UUD 1945 dan

P
pasal-pasal UUD 1945!
5. Mengapa setelah adanya Reformasi tahun 1998 harus dilakukan

RO U
G
amendemen UUD 1945!

ED I A
D A M
NA
PRE

251
UP
A GRO
ED I
D A M
NA
PRE
11
pancasila dan dinamika
ketatanegaraan
di indonesia

P
Pendahuluan

D RO U
inamika ketatanegaraan suatu negara dipengaruhi oleh bebe­rapa

I A G
hal, antara lain situasi politik tertentu yang mendorong peme­

ED
rintahan melakukan perubahan dan/atau penyimpangan terhadap

M
kon­stitusi negara yang resmi. Selain itu, perubahan nilai dalam negara

D A
dapat memengaruhi dinamika ketatanegaraan karena nilai yang ter­

NA
dapat dalam Undang-Undang Dasar sudah tidak lagi memadai.

PRE
Pembahasan mengenai perkembangan dan pelaksanaan ketata­
negaraan suatu negara dan secara lebih khusus Indonesia didasarkan
pada konstitusi negara atau UUD 1945. Perubahan konstitusi akan
merubah pola dan struktur ketatanegaraan yang ada. Begitu pula per­
jalanan bangsa dan negara Republik Indonesia diwarnai oleh dina­mi­
ka yang tajam. Hal ini diakibatkan situasi politik dan kondisinya yang
meng­ haruskan melakukan perubahan untuk mengantisipasi setiap
perubahan.
Di bawah ini adalah periode dinamika ketatanegaraan Indonesia
dari sejak kemerdekaan sampai dengan sekarang.
spiritualisme pancasila

Tabel 5
No. Periode Jenis Bentuk Bentuk Sistem
UUD Negara Pemerintahan Pemerintahan

1. 18 Agustus UUD 1945 Kesatuan Republik Presidensial


1945-27 kemudian
Desember berubah
1949 menjadi
parlementer

2. 27 Desember UUD RIS Serikat atau Uni Republik Parlementer


1949-17 1949 federal
Agustus 1950

3. 17 Agustus UUDS 1950 Kesatuan Republik Parlementer


1950-5 Juli
1959

4. 5 Juli 1959- 11 UUD 1945 Kesatuan Republik Presidensial


Maret 1966 (demokrasi
terpimpin)

5. 11 Maret UUD 1945 Kesatuan Republik

UP
Presidensial

RO
1966-Oktober (demokrasi

IA G
1999 Pancasila)

D
6. Oktober UUD Kesatuan Republik Presidensial

E
1999-Sekarang 1945 hasil (demokrasi

DA M
amendemen reformasi)

E NA
PR
A. Masa Awal Kemerdekaan
Setelah disahkannya UUD 1945 oleh PPKI pada tanggal 18 Agus­
tus 1945 maka secara resmi UUD 1945 berlaku di Indonesia, dan di da­
lamnya menyatakan bahwa sistem pemerintahan yang dianut ada­lah
sistem presidensial.
Dalam kurun waktu 1945-1949, baik mengenai bentuk negara
mau­pun bentuk pemerintahan, masih tetap berlaku ketentuan UUD
1945, yaitu bentuk negara kesatuan dan pemerintahan republik. Akan
tetapi, dalam pelaksanaan sistem pemerintahan ternyata terda­pat pe­
nyimpangan dari ketentuan UUD 1945, terutama karena faktor politik.
Akibat situasi konflik yang tak kunjung selesai dengan pihak Be­
landa, pemerintah tetap melaksanakan ketentuan Pasal IV Aturan
Per­alihan UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Sebelum Majelis Per­
musyawaratan, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Pertim­bangan
Agung dibentuk menurut Undang-Undang Dasar ini, segala kekuasaan

254
11  Pancasila dan Dinamika Ketatanegaraan di Indonesia

dijalankan oleh Presiden dengan bantuan sebuah Komite Nasional”.


Ketentuan pasal inilah yang mengakibatkan tidak sempat dibentuknya
lembaga-lembaga lain untuk melaksanakan kekuasaan legislatif. Da­
lam kurun waktu ini memang sempat diangkat anggota DPA sementara
dan Ketua Mahkamah Agung.
Ada beberapa praktik ketatanegaraan yang dalam kurun waktu
1945-1949 dianggap tidak sesuai dengan UUD 1945, antara lain:
a. Berubahnya fungsi Komite Nasional Pusat (dibentuk PPKI pada 22
Agustus dengan ketuanya adalah Mr. Kasman Singo­dimedjo) dari
pembantu Presiden menjadi badan yang diserahi kekuasaan le­
gislatif (seharusnya DPR), dan ikut menetapkan Garis-garis Besar
Haluan Negara (sesungguhnya wewenang MPR). Keputusan ini
ber­dasarkan Maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 16 Oktober
1945.
b. Terjadinya perubahan sistem kabinet presidensial menjadi ka­
binet parlementer berdasarkan usul Badan Pekerja Komite Na­

UP
RO
sio­nal Indonesia Pusat (BP-KNIP) pada 11 November 1945, yang

G
ke­mudian disetujui oleh presiden dan diumumkan dengan Mak­

ED I A
lu­mat Pemerintah pada 14 November 1945.

A M
Sejak 14 November 1945 kekuasaan pemerintah dipegang oleh

D
NA
per­dana menteri yang secara bersama-sama atau sendiri-sendiri ber­

PRE
tanggung jawab kepada KNIP yang berfungsi sebagai DPR dan tidak
bertanggung jawab kepada Presiden seperti yang dikehendaki oleh
UUD 1945. Kabinet yang pertama dipimpin oleh Sutan Syahrir dan
kemudian dilanjutkan oleh Kabinet Syahrir II dan III.
Sewaktu bubarnya Kabinet Syahrir III, sebagai akibat meruncing­
nya pertikaian antara Indonesia-Belanda, pemerintah membentuk
Kabinet Presidensial kembali (27 Juni 1947-3 Juli 1947). Namun, atas
desakan dari beberapa partai politik, Presiden kembali membentuk
Kabinet Parlementer seperti di bawah ini:
a. Kabinet Amir Syarifudin I tanggal 3 Juli 1947-11 November 1947.
b. Kabinet Amir Syarifudin II tanggal 11 November 1947-29 Januari
1948.
c. Kabinet Hatta I tanggal 29 Januari 1948-4 Agustus 1949.
d. Kabinet Darurat (Mr. Sjafrudin Prawiranegara) tanggal 19 De­
sember 1948-13 Juli 1949.
e. Kabinet Hatta II tanggal 4 Agutus 1949- 20 Desember 1949.

255
spiritualisme pancasila

B. Periode Konstitusi RIS (1949-1950)


Dalam perjalanannya, Belanda berusaha memecah-belah bangsa
Indonesia dengan cara membentuk negara Sumatra Timur, Negara
Indonesia Timur, Negara Pasundan, dan Negara Jawa Timur. Bahkan,
Belanda melakukan Agresi Militer I pada tahun 1947 (pendudukan
terhadap ibukota Jakarta) dan Agresi Militer II atas kota Yogyakarta
pada tahun 1948. Untuk menyelesaikan pertikaian Belanda dengan
RI, PBB turun tangan dengan menyelenggarakann Konferensi Meja
Bundar (KMB) di Den Haag (Belanda) pada tanggal 23 Agustus-2 No­
vember 1949. KMB menghasilkan 3 buah persetujuan pokok, yaitu:
1. didirikannya Negara Republik Indonesia Serikat.
2. penyerahan kedaulatan kpada Republik Indonesia Serikat.
3. didirikannya uni antara RIS dengan kerajaan Belanda.
Perubahan bentuk negara dari negara kesatuan menjadi negara

UP
serikat mengharuskan adanya penggantian UUD, sehingga disusunlah

RO
naskah UUD RIS dan dibuat oleh delegasi RI serta delegasi BFO pada

G
KMB. UUD yang diberi nama Konstitusi RIS tersebut mulai berlaku

ED I A
tanggal 27 Desember 1949, yang terdiri atas Mukadimah berisi 4 alinea,

M
Batang Tubuh yang berisi 6 bab dan 197 pasal, serta sebuah lampiran.

D A
Mengenai bentuk negara dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (1) Kon­

NA
stitusi RIS yang berbunyi “Republik Indonesia Serikat yang merdeka

PRE
& berdaulat adalah negara hukum yang demokratis dan berbentuk
federasi”. Dengan berubah menjadi negara serikat, maka di dalam
RIS terdapat beberapa negara bagian dan masing-masing memiliki
kekua­saan pemerintahan di wilayah negara bagiannya. Negara-negara
bagian itu adalah: Negara Republik Indonesia, Indonesia Timur, Pa­
sun­dan, Jawa Timur, Madura, Sumatra Timur, Sumatra Selatan. Selain
itu terdapat pula satuan kenegaraan yang berdiri sendiri, yaitu: Jawa
Tengah, Bangka, Belitung, Riau, Kalimantan Barat, Dayak Besar, Dae­
rah Banjar, Kalimantan Tenggara, dan Kalimantan Timur. Selama ber­
lakunya Konstitusi RIS 1949, UUD 1945 tetap berlaku hanya untuk
ne­­gara bagian RI yang meliputi Jawa dan Sumatra dengan ibukota
Yogyakarta.
Sistem pemerintahan yang digunakan pada masa berlakunya
Kon­stitusi RIS adalah sistem parlementer, sebagaimana diatur dalam
Pasal 118 ayat 1 dan 2 Konstitusi RIS. Pada ayat (1) ditegaskan bahwa
“Presiden tidak dapat diganggu gugat”. Artinya, Presiden tidak dapat
dimintai pertanggungjawaban atas tugas-tugas pemerintahan, karena
presiden adalah kepala negara, bukan kepala pemerintahan.

256
11  Pancasila dan Dinamika Ketatanegaraan di Indonesia

Pada Pasal 118 ayat (2) ditegaskan bahwa “Menteri-menteri ber­


tanggung jawab atas seluruh kebijaksanaan pemerintah baik bersama
sama untuk seluruhnya maupun masing-masing untuk dirinya sen­
diri”. Dengan demikian, yang melaksanakan dan bertanggung jawab
terhadap tugas-tugas pemerintahan adalah menteri-menteri. Dalam
sistem ini, kepala pemerintahan dijabat oleh Perdana Menteri, dengan
sistem pemerintahan parlementer, di mana pemerintah bertanggung
jawab terhadap parlemen (DPR).
Berikut lembaga-lembaga negara menurut Konstitusi RIS:
a. Presiden.
b. Menteri-menteri.
c. Senat.
d. DPR.
e. MA.
f. Dewan Pengawas Keuangan.
Penyimpangan yang terjadi, antara lain:
UP
G
1. Negara Kesatuan Republik Indonesia berubah menjadi Negara

A RO
I
Federasi Republik Indonesia Serikat (RIS). Perubahan tersebut

ED
ber­dasarkan pada Konstitusi RIS.

A M
2. Kekuasaan legislatif yang seharusnya dilaksanakan Presiden dan

D
NA
DPR dilaksanakan DPR dan Senat.

PRE
C. Masa Undang-Undang Dasar Sementara
Tahun 1950
Pada 1950 sampai dengan 1959, Indonesia menggu­nakan Undang-
Undang Dasar Sementara 1950 sebagai dasar negaranya. UUDS ter­
sebut dimulai pada 17 Agustus 1950 sampai dengan lahirnya dekrit
Presiden pada 5 Juli 1959 yang dikeluarkan Presiden Soekarno.
Pemberlakuan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 tersebut
dimulai pada saat Republik Indonesia Serikat berakhir karena adanya
demo besar-besaran dari rakyat yang menuntut kembalinya Indonesia
menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia, sehingga akhirnya pe­
me­ rintah membubarkan Republik Indonesia Serikat dan kembali
men­­jadi Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan menggunakan
Undang-Undang Dasar Sementara sejak 17 Agustus 1950, dengan me­
ng­anut sistem kabinet parlementer.
Pada 1955 berdasarkan hasil pemilu pertama, dibentuk se­buah
badan konstituante yang bertugas membuat dan menyusun Undang-

257
spiritualisme pancasila

Undang Dasar baru seperti yang diamanatkan UUDS 1950, namun


sampai akhir 1959, badan konstituante tersebut belum berhasil me­
rumuskan Undang-Undang Dasar yang baru, hingga ak­hirnya Pre­
si­
den Soekarno mengeluarkan dekrit pada 5 Juli 1959 yang isinya
membubarkan badan konstituante tersebut, sekaligus me­ ne­
gaskan
pada tahun itu juga, bahwa Indonesia kembali ke Undang-Undang
Dasar 1945, serta membentuk MPRS dan DPRS.
Pada masa Undang-Undang Dasar Sementara 1950 tersebut diber­
lakukan, gejolak politik yang panas menimbulkan berbagai gerakan
yang politik yang tidak stabil, sehingga kabinet pemerintahan pun ikut
kena imbasnya, tercatat pada periode 1950 hingga 1959 ada 7 kali per­
gantian kabinet, yaitu:
a. 1950-1951 : Kabinet Natsir.
b. 1951-1952 : Kabinet Sukiman Suwirjo.
c. 1952-1953 : Kabinet Wilopo.
d. 1953-1955 : Kabinet Ali Sastroamidjojo I.

UP
RO
e. 1955-1956 : Kabinet Burhanuddin Harahap.

G
f. 1956-1957 : Kabinet Ali Satroamidjojo II.
g.

ED
1957-1959 : Kabinet Djuanda.
I A
A M
Pada masa ini demokrasi yang berkembang adalah demokrasi

D
NA
par­
le­
menter atau demokrasi liberal yaitu paham demokrasi yang

PRE
menekankan pada kebebasan individu, persamaan hukum, dan hak
asasi manusia. Pada masa ini, bisa dikatakan bahwa unsur-unsur de­
mokrasi ditemukan dalam perwujudannya. Hal ini terlihat dari ba­
nyaknya jumlah partai politik yang ada, pemilu yang terlaksana dengan
luber dan jurdil, dan terjaminnya hak-hak politik rakyat.
Namun dalam pelaksanaannya, kabinet yang ada mengalami pa­
sang surut, dan terjadinya instabilitas politik yang mencakup berbagai
aspek kehidupan politik, ekonomi, maupun pertahanan keamanaan.
Ada beberapa kegagalan yang dialami pada masa demokrasi ini yaitu:
a. Dominannya politik aliran, artinya berbagai golongan politik dan
partai politik yang ada ternyata lebih mengutamakan kepentingan
sendiri dan golongan daripada kepentingan bangsa dan negara.
b. Landasan sosial ekonomi rakyat masih rendah. Pada saat itu ke­
adaan ekonomi rakyat masih sangat lemah, sehingga mereka lebih
tertarik mengurusi masalah politik daripada masalah ekonomi.
c. Tidak mampunya para anggota konstituante dalam menetapkan
dasar negara sehingga keadaan menjadi berlarut-larut.

258
11  Pancasila dan Dinamika Ketatanegaraan di Indonesia

Menurut UUDS 1950, Presiden bertindak sebagai kepala negara.


Presiden merupakan bagian dari pemerintahan tetapi pertanggung­
jawaban pemerintahan berada di perdana menteri bersama para
men­­terinya. Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat diganggu gugat.
Per­­tanggungjawaban pemerintah berada pada para menteri, dan se­
bagai imbangannyan pemerintah dapat meminta Presiden untuk
mem­­bubarkan DPR. Pada masa ini berlaku sistem pemerintahan par­
lementer.
Sementara para elite politik sibuk dengan kursi kekuasaan, rakyat
mengalami kesulitan karena adanya berbagai gangguan keamanan dan
beratnya perekonomian yang menimbulkan labilnya sosial-ekonomi.
Adapun gangguan-gangguan keamanan tersebut akan dibahas pada
pembahasan selanjutnya.

1. Pemberontakan Kahar Muza


Kahar Muzakar adalah putra Sulawesi yang pada zaman perang

UP
RO
ke­merdekaan berjuang di Jawa. Setelah kembali ke Sulawesi berga­

G
bung dengan Komando Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) dan pada

ED I A
1950 menuntut agar pasukannya masuk APRIS. Tuntutannya ditolak,

M
tetapi kepada anggotanya yang memenuhi syarat diperbolehkan ma­

D A
suk, sedangkan sisanya dimasukkan ke dalam Corps Cadangan Na­

NA
sional. Kahar akan diberikan pangkat letkol, tetapi saat pelantikan, 17

PRE
Agustus 1951, ia bersama anak buahnya melarikan diri ke hutan dan
mengacau. Januari 1952 menyatakan diri ikut sebagai bagian anggota
Kartosuwiryo. Selama 14 tahun memberontak, namun ak­hirnya ber­
hasil dilumpuhkan setelah salah seorang anak buahnya, yaitu Bahar
Matiliu menyerahkan diri. Ia berhasil ditembak oleh pa­sukan Divisi
Siliwangi pada Februari 1965.

2. Pemberontakan di Jawa Tengah


Pengaruh DI meluas di Jawa Tengah, yaitu di daerah Brebes,
Tegal, dan Pekalongan yang dihadapi pemerintah dengan operasi-
ope­rasi militer. Di Kebumen pemberontakan dilakukan oleh Angkatan
Umat Islam (AUI) di bawah pimpinan Kiai Somalangu, yang setelah
intinya dapat ditumpas, sisanya bergabung dengan DI/TII. Di ling­
kungan Angkatan Darat juga terjadi perembesan pemberontakan ini,
sehingga Batalyon 426 di Kudus dan Magelang juga memberontak dan
bergabung dengan DI/TII (Desember 1951). Sebagian dari mereka me­
ng­adakan gerilya di Merbabu-Merapi Complex (MMC). Untuk meng­­

259
spiritualisme pancasila

hadapi mereka, pemerintah membentuk pasukan khusus yang diberi


nama Banteng Raiders. Pada Juni 1954 kekuatan mereka bisa dipa­
tahkan.

3. Pemberontakan di Aceh
Pengikut DI di Aceh memproklamasikan daerahnya sebagai ba­
gian dari NII pada 20 September 1953. Pemimpinnya adalah Daud
Beureueh, seorang ulama dan pejuang kemerdekaan yang pernah
menjabat gubernur Militer Daerah Aceh 1947. Pada mulanya mereka
dapat menguasai sebagian besar daerah Aceh termasuk kota-kotanya.
Setelah pemerintah mengadakan operasi, mereka menyingkir ke hu­
tan. Panglima Kodam I/Iskandar Muda, Kol. M. Jasin mengambil pra­
karsa mengadakan Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh yang ber­hasil
mengembalikan Daud Beureueh ke masyarakat (Desember 1962).

P
4. Peristiwa 17 Oktober 1952

RO U
Peristiwa ini bersumber pada kericuhan yang terjadi di lingkung­

I A G
an Angkatan Darat. Kol. Bambang Supeno tidak menyetujui kebijaksa­

ED
naan Kol. A.H. Nasution selaku KSAD. Ia mengajukan surat kepada

M
Menteri Pertahanan dan Presiden dengan tembusan kepada parlemen

D A
berisi soal tersebut dan meminta agar Kol. A.H. Nasution diganti. Ma­nai

NA
Sophian selaku anggota parlemen mengajukan mosi agar pemerintah

PRE
segera membentuk panitia untuk mempelajari masalahnya dan me­
ngajukan pemecahannya. Hal ini dianggap usaha campur tangan par­
lemen terhadap tubuh Angkatan Darat. Pimpinan AD mendesak kepada
Presiden untuk membubarkan Parlemen. Desakan ini juga dilakukan
oleh rakyat dengan mengadakan demonstrasi ke gedung parlemen dan
Istana Merdeka. Presiden menolak tuntutan ini dengan alasan tidak
ingin menjadi seorang diktator, tetapi akan berusaha segera memper­
cepat pemilu. Kol. A.H. Nasution akhirnya mengundurkan diri, diikuti
oleh Mayjen T.B. Simatupang. Jabatan ini akhirnya digantikan oleh Kol.
Bambang Sugeng.

5. Peristiwa 27 Juni 1955


Peristiwa ini merupakan lanjutan peristiwa sebelumnya. Karena
dianggap bahwa pemerintah belum mampu menyelesaiakan persoalan
tersebut. Bambang Sugeng mengundurkan diri dari jabatannya. Se­
men­tara belum terpilih KSAD yang baru, pimpinan KSAD dipegang
oleh Wakil KSAD yaitu Kol. Zulkifli Lubis. Kemudian pemerintah meng­

260
11  Pancasila dan Dinamika Ketatanegaraan di Indonesia

angkat Kol. Bambang Utoyo sebagai KSAD yang baru, tetapi pada saat
pelantikannya, 27 Juni 1955, tidak ada satu pun perwira AD yang hadir.
Peristiwa ini menyebabkan kabinet Ali-Wongso jatuh. Kemudian pada
masa Kabinet Burhanudin Harahap, bekas KSAD yang lama, yaitu Kol.
A.H. Nasution, kembali diangkat menjadi KSAD (7 November 1955).
Peristiwa di Angkatan Perang yang bersifat liberal juga terjadi pada 14
Desember 1955, yaitu ketika Komodor Udara Hubertus Suyono dilantik
menjadi Staf Angkatan Udara di Pangkalan Udara Cililitan (Halim
Perdanakusuma), segerombolan prajurit pasukan ke­hormatan maju
dan menolak pelantikan tersebut. Kemudian mereka meninggalkan
baris dan diikuti oleh pasukan pembawa panji-panji Angkatan Udara,
sehingga upacara batal.

6. Dewan-dewan Daerah
Diawali dengan pembentukan Dewan Banteng oleh Kol (pensiun)
Ismail Lengah di Padang (20 November 1956), dengan ketuanya

UP
RO
Ahmad Husein, Komandan Resimen IV Tentara Teritorium (TT) I di Pa­

G
dang. Mereka mengajukan tuntutan kepada pemerintah pusat ten­tang

ED I A
otonomi daerah. Larangan KSAD agar tentara tidak berpolitik tidak

M
di­hiraukan. Mereka malah mengambil alih pemerintahan daerah Su­

D A
matra Tengah dari Gubernur Ruslan Mulyodiharjo (20 Desember 1956).

NA
Tindakan tersebut diikuti oleh daerah-daerah lain seperti pem­

PRE
bentukan Dewan Gajah di Sumatra Utara (Kol. M. Simbolon), Dewan
Garuda di Sumatra Selatan (Kol. Barlian), dan Dewan Manguni di
Sulawesi Utara (Letkol. H.N.V. Samual). Peristiwa-peristiwa ini dila­
tar­belakangi oleh pembangunan yang tidak merata, padahal dae­rah-
daerah tersebut telah memberikan devisa bagi negara. Peme­rintah ber­
usaha mengatasi masalah tersebut dengan mengadakan per­undingan
dan janji pemerataan pembangunan. Namun usaha ter­se­but tidak ber­
hasil. Akhirnya operasi militer pun dilancarkan (17 De­sember 1957).

7. Usaha Pembunuhan terhadap Kepala Negara


Rasa tidak puas golongan ekstrem kanan memuncak dan dilam­
piaskan dalam bentuk usaha pembunuhan terhadap Presiden Soekarno
di Perguruan Cikini Jakarta (30 November 1957). Usaha tersebut gagal,
tetapi menimbulkan banyak korban. Para pelaku dapat ditangkap dan
dijatuhi hukuman mati.
Usaha kedua terjadi pada saat Idhul Adha di halaman Istana
Jakarta. Kemudian terjadi lagi. Pelakunya Letnan Udara II D.A. Maukar

261
spiritualisme pancasila

dengan menggunakan pesawat Mig 17. Istana Merdeka dan Bogor


ditembakinya dari udara (9 Maret 1960). Dilakukan Maukar bersama
kelompoknya, Manguni, dengan tujuan agar pemerintah mau berun­
ding dengan PRRI dan Permesta.

8. Pemberontakan PRRI dan Permesta


Akhmad Husein, beserta para tokoh Masyumi dan dewan daerah
mengadakan rapat di Sungai Dareh, Sumatra Barat (9 Januari 1958).
Keesokan harinya pada saat rapat akbar di Padang, Akhmad Husein
mengul­timatum pemerintah agar Kabinet Juanda dalam waktu 5×24
jam menyerahkan mandat kepada Drs. Moh. Hatta dan Sultan Ha­
meng­ku Buwono IX agar membentuk zaken kabinet dan agar Presiden
kembali sebagai Presiden Konstitusional. Ultimatum tersebut ditolak
oleh pemerintah. Akhirnya Husein membentuk Pemerintahan Revolu­
sioner Republik Indonesia (PRRI) berikut pembentukan kabinetnya

UP
de­ngan Syafrudin Prawiranegara sebaga Perdana Menteri (15 Februari

RO
1958).

G
Hal tersebut diikuti oleh Sulawesi Utara di bawah pimpinan Letkol

ED I A
D.J. Somba yang membentuk Gerakan Piagam Perjuangan Semerta

M
(Permesta). Pemberontakan ini ditumpas dengan operasi militer sela­

D A
ma beberapa tahun.

NA
Selain gangguan keamanan, kesulitan juga dialami oleh Peme­

PRE
rintah dalam beberapa bidang. Sehingga pada akhir Demokrasi Liberal
terasa terjadi kemunduran. Kesulitan-kesulitan tersebut akan dibahas
pada pembahasan selanjutnya.

a. Politik
Politik sebagai panglima merupakan semboyan partai-partai pada
umumnya, sehingga berlomba-lombalah para partai politik untuk
memperebutkan posisi panglima ini. Lembaga seperti DPR dan Kon­
sti­
tuante hasil PEMILU merupakan forum utama politik, sehingga
per­soalan ekonomi kurang mendapat perhatian. Pemilihan umum
me­­rupakan salah satu program beberapa kabinet, tetapi karena umur
kabinet pada umumnya singkat program itu sulit dilakukan. Setelah
Peristiwa 17 Oktober 1952, pemerintah berusaha keras untuk melaksa­
na­kannya. Dalam suasana liberal, pemilu diikuti oleh puluhan partai,
organisasi, maupun perorangan. Anggota ABRI pun ikut serta sebagai
pemilih.

262
11  Pancasila dan Dinamika Ketatanegaraan di Indonesia

Pada 15 Desember 1955 pemilihan dilaksanakan dengan tenang


dan tertib. Ada empat partai yang memenangkan Pemilu, yaitu Mas­
yumi, PNI, Nahdatul Ulama, dan PKI. Namun, pada praktiknya, kedua
lembaga (DPR dan Konstituante) tidak memberikan hasil seperti yang
diharapkan. DPR tetap sebagai tempat perebutan pengaruh dan kursi
pemerintahan, sedangkan konstituante setelah lebih dari dua tahun be­
lum juga dapat menghasilkan UUD baru untuk menggantikan UUDS.
Politik Luar Negeri Indonesia semakin mantap setelah diterima
sebagai anggota PBB ke-60 (27 Desember 1950). Cara-cara damai yang
dilakukan pemerintah Indonesia terhadap Pemerintah Belanda tentang
Irian Jaya (Papua) tidak memperoleh penyelesaian yang memuaskan,
seperti telah tercantum dalam persetujuan KMB, sehingga secara se­
pihak Pemerintah Indonesia membatalkan perjanjian tersebut dengan
UU No.13 Tahun 1956. Sumbangan positif Indonesia dalam dunia
Internasional adalah dikirimkannya tentara Indonesia dalam United

P
Nations Amergency Forces (UNEF) untuk menjaga perdamaian di Timur
Tengah. Pasukan ini diberi nama Garuda I dan diberangkatkan Januari

RO U
G
1957.

b. Ekonomi
ED I A
D A M
Untuk menyehatkan perekonomian, dilakukan penyehatan ke­

NA
uang­an dengan mengadakan sanering yang dikenal dengan Gunting

PRE
Syafrudin (19 Maret 1950). Uang Rp. 500 ke atas dinyatakan hanya ber­
nilai setengahnya, sedangkan setengahnya lagi merupakan obligasi.
Dari tindakan tersebut pemerintah dapat menarik peredaran uang se­
banyak Rp. 1,5 milyar untuk menekan inflasi.
Pemerintah juga mengeluarkan peraturan tentang Bukti Ekspor
(BE) untuk mengimbangi impor. Eksportir yang telah mengekspor
kemudian memperoleh BE yang dapat diperjualbelikan. Harga BE
meningkat, sehingga pemerintah membatasinya sampai 32,5 persen.
Karena ternyata BE tidak berhasil meningkatkan perekonomian, akhir­
nya peraturan tersebut dihapuskan (1959).
Pemerintah kemudian membentuk Dewan Perancang Nasional
(Depernas) yang bertugas menyusun rencana pembangunan Nasional
untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur (1959). Tetapi pe­
ningkatan belum juga terjadi, karena labilnya politik dan inflasi yang
mengganas. Pemerintah juga cenderung bersikap konsumtif, jaminan
emas menurun, sehingga rupiah merosot.

263
spiritualisme pancasila

c. Sosial
Partai Politik menggalakkan masyarakat dengan membentuk or­
ganisasi massa (ormas), khususnya dalam menghadapi Pemilu tahun
1955. Keadaan sosial-ekonomi yang kian merosot menguntungkan
partai-partai kiri yang tidak duduk dalam pemerintahan karena dapat
menguasai massa. PKI makin berkembang, dalam Pemilu tahun 1955
merupakan salah satu dari empat besar dan kegiatannya diting­katkan
yang mengarah pada perebutan kekuasaan (1965).

d. Budaya
Meskipun banyak kesulitan yang dihadapi, pemerintah dianggap
berhasil dalam bidang budaya ini. Untuk mencukupi tenaga terdidik
dari perguruan tinggi, pemerintah membuka banyak universitas yang
disebarkan di daerah. Prestasi lain adalah dalam bidang olahraga. Da­lam

P
perebutan Piala Thomas (Thomas Cup) Indonesia yang baru pertama

RO U
kali mengikuti kejuaraan ini berhasil memperoleh piala tersebut (Juni

G
1958). Selain itu, juga Indonesia berhasil menyelenggarakan Konferensi

I A
Asia-Afrika dengan sukses.

ED
Karena wilayah Indonesia berupa kepualauan, maka pemerintah

A M
mengubah peraturan dari pemerintah kolonial Belanda, yaitu Per­

D
NA
atur­an Wilayah Laut dan Lingkungan Maritim Tahun 1939, yang me­

PRE
nyebutkan wilayah teritorial Hindia-Belanda dihitung tiga mil laut
diukur dari garis rendah pulau-pulau dan bagian pulau yang merupa­
kan wilayah daratannya. Peraturan ini dinilai sangat merugikan bangsa
Indonesia. Karena itu, Pemerintah Indonesia mengeluarkan Deklarasi
13 Desember 1957 yang juga disebut sebagai Deklarasi Juanda tentang
Wilayah Perairan Indonesia. Indonesia juga membuat peraturan ten­
tang landas kontinen, yaitu peraturan tentang batas wilayah perair­an
yang boleh diambil kekayaannya. Peraturan ini tertuang dalam Peng­
u­muman Pemerintah tentang Landas Kontinen 17 Februari 1969.
Peme­­­rintah Indonesia mengadakan perjanjian dengan negara-negara
te­tangga tentang batas-batas Landas Kontinen agar kelak tidak terjadi
ke­salah­pahaman.
Keadaan ini yang pada akhirnya membuat Presiden Soekarno me­
ngeluarkan dekrit presiden pada 5 Juli 1959 yang isinya sebagai berikut:
1. Pembubaran partai politik.
2. Berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya UUDS tahun
1950.
3. Dibentuknya lembaga MPRS dan DPAS.

264
11  Pancasila dan Dinamika Ketatanegaraan di Indonesia

D. Masa Orde Lama (5 Juli 1959-11 Maret 1966)


Masa ini berlangsung antara 1959 sampai 1965. Ide demokrasi
terpimpin merupakan reaksi atau koreksi terhadap pelak­sanaan de­
mokrasi liberal yang menonjolkan kebebasan politik rakyat sehingga
kondisi pada saat itu sangat tidak stabil.
Selain itu, ada rasa ketidakpuasan rakyat terhadap partai-partai
politik yang ternyata lebih mengutamakan kepentingan golongan dari­
pada kepentingan rakyat.
Demokrasi yang dijalankan pada masa ini dinamakan dengan
nama demokrasi terpimpin. Demokrasi terpimpin diartikan sebagai
paham demokrasi yang berdasarkan kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan yang ber­
in­tikan musyawarah untuk mufakat atau gotong royong antara semua
kekuatan nasional yang progresif revolusioner berporoskan nasa­kom.
Adapun ciri-ciri dari demokrasi terpimpin antara lain sebagai
berikut:
UP
G
1. Dominasi presiden, Presiden Soekarno berperan besar dalam pe­

A RO
I
nyelenggaraan pemerintahan.

ED
2. Terbatasnya peran partai.

A M
3. Berkembangnya pengaruh partai komunis (PKI).

D
NA
4. Meluasnya peran militer sebagai unsur sosial politik.

PRE
Secara ringkas mengenai lahirnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959
sebagai berikut:
1. Walaupun lebih dari dua tahun bersidang, konstituante belum
berhasil merumuskan Rancangan Undang-Undang Dasar yang
baru. Perbedaan pendapat mengenai dasar negara yang menjadi
perdebatan di dalam sidang konstituante telah menjalar ke luar
gedung dan dikhawatirkan akan dapat menimbulkan ketegangan
politik dan perpecahan bangsa. Dalam suasana seperti itu, pada
22 April 1959 di depan sidang konstituante, Presiden Soe­karno
menyarankan untuk kembali ke UUD 1945.
2. Saran tersebut pada umumnya diterima, hanya masih terjadi per­
bedaan pendapat di antara anggota konstituante. Ada sejumlah
golongan yang secara utuh menerima UUD 1945 tersebut. Akan
tetapi, ada juga yang mau menerima dengan amendemen dima­
sukkannya lagi tujuh kata di belakang sila pertama (seperti diktum
piagam Jakarta).
3. Akibat ketidakmufakatan di antara golongan-golongan tersebut,
sidang konstituante mengadakan pemungutan suara terhadap

265
spiritualisme pancasila

usul pemerintah untuk kembali ke UUD 1945. Pemungutan suara


yang pertama dilakukan pada 30 Mei 1959, kedua pada 1 Juni
1959, dan ketiga pada 2 Juni 1959, hasilnya ternyata tidak me­me­
nuhi persyaratan Pasal 137 UUDS 1950 (2/3 anggota hadir dan
menyetujuinya).
4. Mulai 3 Juni 1959, ternyata anggota konstituante meng­adakan
re­ses yang berkepanjangan, serta menyatakan tidak akan meng­
hadiri sidang lagi (lebih dari separuh anggota). Ini berarti, konsti­
tu­ante telah gagal dalam tugasnya untuk menetapkan Un­dang-
Un­­ dang Dasar sebagai pengganti UUDS 1950. Kegagalan ini
mem­ba­hayakan persatuan dan keselamatan bangsa dan negara
ser­­ta pembangunan nasional.
5. Dengan dasar dukungan dari sebagian besar rakyat Indonesia,
pada 5 Juli 1959 dikeluarkanlah Dekrit Presiden, yang mengem­
balikan ke UUD 1945, juga mengeluarkan perintah harian yang di­

P
tujukan kepada seluruh jajaran TNI/AD untuk melaksanakan dan
mengamankan Dekrit Presiden tersebut.

RO U
G
6. Mahkamah Agung juga membenarkan tindakan Presiden yang

I A
mengeluarkan dekrit tersebut yang didasarkan pada hukum da­

ED
rurat negara (staatsnoodrecht). Hukum darurat yang dimaksud

A M
adalah hukum darurat subjektif (hukum darurat negara yang di­

D
NA
berikan kepada penguasa untuk mengambil tindakan secara ob­

PRE
jektif karena peraturannya belum ada). Selanjutnya, dekrit ter­
sebut mendapat persetujuan dari seluruh rakyat Indonesia melalui
persetujuan DPR hasil pemilu dalam sidang DPR pada 22 Juli 1959.
Hal ini mengingat keadaan ketatanegaraan yang membahayakan
keselamatan bangsa dan negara. Demikian juga DPR, hasil pemilu
1955 dalam sidangnya pada 27 Juli 1959 secara aklamasi menya­
takan kesediaanya untuk bekerja terus berdasarkan UUD 1945.
Sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka di Indonesia berlaku kem­
bali UUD 1945, dan berlaku pula sistem pemerintahan presidensial
yang berdasar pada Pancasila dan UUD 1945. Sebagai bagian dari
demokrasi terpimpin, maka pelaksanaan sistem pemerintahan saat
itu juga mengalami penyimpangan terhadap Pancasila dan UUD 1945,
antara lain:
1. Penyimpangan ideologis, yakni konsepsi Pancasila berubah men­
jadi konsepsi Nasakom (Nasionalis, agama, dan komunis).

266
11  Pancasila dan Dinamika Ketatanegaraan di Indonesia

2. MPRS melalui ketetapan MPRS No. JJJ/MPRS/1963, mengangkat


Ir. Soekarno sebagai presiden semur hidup.
3. Pelaksanaan demokrasi terpimpin cenderung bergeser menjadi
pe­musatan kekuasaan pada presiden/pemimpin besar revolusi
de­ngan wewenang yang melebihi yang ditentukan oleh UUD
1945, yaitu mengeluarkan produk hukum yang setingkat undang-
undang tanpa persetujuan DPR, dalam bentuk penetapan presiden
(Penpres), misalnya pembentukan MPRS dengan Penpres No. 2
Tahun 1959, DPAS dengan Penpres No. 3 Tahun 1959 dan DPR-GR
dengan Penpres No. 3 Tahun 1960.
4. Pimpinan MPR, DPR, BPK, dan MA diberi kedudukan sebagai
menteri sehingga berada di bawah kendali Presiden, dan bila
da­lam mekanisme MPR dan DPR, jika MPR dan DPR tidak ber­
hasil mengambil keputusan, maka persoalan diserahkan untuk
diputuskan Presiden. Dengan demikian, sesuai dengan UUD 1945

P
yang mestinya Presiden bertanggung jawab kepada MPR karena
MPR sebagai lembaga tertinggi negara menjadi terbalik MPR ber­

RO U
G
tanggung jawab kepada Presiden.

I A
5. Lembaga-lembaga negara yang lain seperti DPR, DPA, dan BPK

ED
yang seharusnya sejajar dengan Presiden kedudukannya menjadi

A M
di bawah Presiden.

D
NA
6. Pada 1960 Presiden membubarkan DPR karena DPR tidak mau

PRE
menyetujui RAPBN yang diusulkan pemerintah, padahal se­suai
dengan UUD 1945, bila RAPBN tidak disetujui DPR maka meng­
gunakan APBN tahun yang lalu dan mestinya Presiden tidak ber­
hak membubarkan DPR.
7. Banyak ketentuan-ketentuan yang seharusnya mendapat persetu­
juan dahulu oleh DPR namun presiden langsung menetapkan
tanpa memperhatikan DPR.
8. Presiden juga memperluas kekuasaan melalui UU No. 19 Tahun
1964 yaitu demi kepentingan revolusi Presiden berhak untuk men­
campuri urusan peradilan.
Dua hal keberhasilan yang dicapai pada masa demokrasi ter­
pimpin, yaitu:
1. Keberhasilan pemerintah dalam menumpas pemberontakan DI/
TII yang telah berlangsung selama 16 tahun.
2. Keberhasilan dalam menyatukan Irian Barat ke dalam pangkuan
RI setelah cukup lama menjadi sengketa dengan pihak Belanda.

267
spiritualisme pancasila

E. Masa Orde Baru (11 Maret 1966-21 Mei 1998)


Orde baru kelahirannya dilatarbelakangi oleh semangat dan te­
kad untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan
konsekuen dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan berne­
gara. Demokrasi yang dijalankan pada masa ini dikenal dengan nama
demokrasi Pancasila. Demokrasi Pancasila adalah paham demokrasi
yang bersumber, dijiwai, dan diintegrasikan dengan nilai-nilai Pan­
casila.
Keluarnya Surat Perintah 11 Maret 1966 kemudian diikuti oleh
pengangkatan Jenderal Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia
yang kedua. Pada masa Orde Baru ini, rakyat mempunyai harapan
yang besar dilaksanakannya pemerintah yang demokratis, yang benar-
be­nar berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, apalagi rakyat merasakan
kekecawaan atas kegagalan yang dilakukan oleh Orde Lama.
Pada masa pemerintahan Orde Baru, sering disebut dengan Orde
Pembangunan karena memang pada saat itu pembangunan khusus­
UP
RO
nya bidang ekonomi berjalan dengan pesatnya. Selain itu, berbagai

A G
infrastruktur, sarana, dan prasarana juga sangat meningkat tajam.

I
ED
Pem­bangunan yang berjalan tidak memperhatikan mental khususnya

M
bagi para pemegang kekuasaan sehingga praktik-praktik KKN sangat

D A
NA
merebak dan menjamur di sana sini.

PRE
Namun dalam pelaksanaannya, pemerintah Orde Baru justru
me­­­ngarah pada pemerintahan yang sentralistik yang diarahkan dan
dise­suaikan dengan kepentingan atau kehendak pemerintah/pengu­
asa. Hal ini dapat dilihat pada makin menguatnya kekuasaan presiden
dalam menopang dan mengatur seluruh proses politik terjadi. Selain
itu, lembaga kepresidenan menjadi pusat dari seluruh proses politik
dan menjadi pembentuk dan penentu agenda nasional, mengontrol
kegiatan politik, dan pemberi legalitas bagi seluruh pemerintahan ne­­
gara. Akibatnya, harapan tentang majunya kehidupan demokrasi jus­
tru mengalami penurunan.
Ada beberapa sebab mengapa demokrasi tidak terwujud pada
masa Orde Baru yaitu sebagai berikut:
1. Rekruitmen politik yang tertutup.
2. Pemilu yang jauh dari semangat demokrasi.
3. Pengakuan terhadap hak-hak dasar yang masih terbatas.
4. Pers yang dibelenggu.
5. Rotasi kekuasaan eksekutif hampir tidak ada.
Pemerintahan Orde Baru menerapkan tatanan kehidupan politik

268
11  Pancasila dan Dinamika Ketatanegaraan di Indonesia

yang diarahkan kepada kepentingan pemerintah dan diartikan se­


bagai kepentingan umum. Lembaga eksekutif juga lebih dominan
dan mengendalikan lembaga legislatif (DPR) dan lembaga yudikatif
(kehakiman). Akibatnya, kontrol terhadap pemerintah sangat lemah
ka­rena semua kekuatan politik yang ada sudah berada di bawah ke­
kuasaan lembaga kepresidenan. Keadaan ini diperparah dengan mo­
ra­litas yang rendah di kalangan para pejabat negara yang semakin hari
semakin berkembang praktik-praktik KKN (korupsi, kolusi, dan ne­
potisme).
Pada masa Orde Baru, semua kehidupan kenegaraan dikendalikan
oleh lembaga eksekutif. Warga negara yang mengkritik dan melakukan
perlawanan langsung ditangkap baik dari kalangan politikus, aka­
demisi, aktivis, maupun rakyat sendiri dan dimasukan ke dalam pen­
jara. Bahkan, tidak jarang ada yang disiksa, dikerdilkan dalam masya­
rakat, dan ada juga yang dibunuh.

P
Adapun beberapa penyebab kegagalan masa Orde Baru antara
lain:

RO U
G
1. Hancurnya ekonomi Nasional yang ditandai terjadinya krisis eko­
nomi yang tak kunjung teratasi.

ED I A
M
2. Tidak bersatunya lagi pilar-pilar pendukung Orde Baru. Para men­

D A
teri tidak lagi memihak pemerintahan, serta militer/TNI tidak lagi

NA
bersedia menjadi alat kekuasaan Orde Baru.

PRE
3. Terjadinya krisis politik dan runtuhnya legitimasi politik. Rakyat
yang sudah trauma sejak masa sebelumnya menjadi semakin ke­
cewa dan menderita.
4. Desakan semangat demokratis dari para pendukung demokrasi.
Para pendukung demokrasi terutama adalah para lawan po­litik
Orde Baru yang tampil menuntut adanya reformasi dan pem­bu­
baran pemerintah yang ada.
5. Adanya berbagai krisis yang terjadi, yang dimulai dari krisis mo­
neter, kemudian ekonomi sampai akhirnya menjadi krisis multi­
dimensi.
Semangat dan dorongan agar Orde Baru melepaskan kekuasaan­nya
semakin melebar dan mendapat dukungan semua elemen masyarakat.
Aksi demonstrasi besar-besaran setiap hari terus mewarnai di berbagai
macam kota yang diprakarsai dan dimotori oleh para kaum intelektual.
Mereka menuntut Soeharto mengundurkan diri dan para pejabat poli­
tik yang diduga melakukan KKN agar segera diusut dan diadili, ka­rena
rakyat sudah tidak tahan dengan penderitaan yang terus berlarut-larut

269
spiritualisme pancasila

dan tidak menampakkan akan segera berakhir.


Akhirnya, tuntutan rakyat disambut oleh penguasa pada saat
itu dengan mengundurkan diri secara resmi pada 21 Mei 1998. Sejak
saat inilah periode reformasi dimulai dengan munculnya B. J. Habibie
sebagai pengganti Soeharto. Kelak, Habibie memberikan dasar dari
berbagai macam perubahan kehidupan politik, ekonomi, dan praktik
ketatanegaraan di Tanah Air.

F. Masa Reformasi (21 Mei 1998-Sekarang)


Munculnya Preiden B. J. Habibie menggantikan Presiden Soeharto
didasarkan atas bunyi Pasal 8 UUD 1945 yang menyatakan, bahwa jika
presiden mangkat, berhenti, dan tidak dapat melakukan kewajibannya
dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh wakil presiden sampai ha­
bis waktunya. Dengan naiknya Habibie sebagai presiden, Indonesia
memasuki masa transisi yaitu masa perpindahan pemerintahan.

UP
RO
Era reformasi memberi harapan akan terjadinya perubahan, dari

G
penyelenggaraan negara yang otoriter menuju penyelenggaraan ke­

ED I A
hidupan bernegara yang demokratis. Orde Reformasi ini muncul ka­

M
rena adanya tuntutan perubahan kehidupan berbangsa dan ber­negara

D A
dalam berbagai bidang kehidupan, baik bidang politik, eko­nomi, sosial

NA
budaya, hukum maupun bidang agama.

PRE
Kegagalan kehidupan demokrasi sebelumnya, selain disebabkan
oleh moral penguasa juga terdapat beberapa kelemahan yang terkan­
dung dalam UUD 1945. Oleh karena itu, selain melakukan reformasi
dalam bidang politik juga diperlukan amendemen UUD 1945.
Untuk mewujudkan cita-cita tersebut, maka berkembanglah tun­
tutan untuk melakukan amendemen terhadap UUD 1945. Hal tersebut
diwujudkan dalam satu tahapan reformasi terhadap konstitusi yang
dilakukan secara sistematis dalam empat perubahan konstitusi dalam
empat sidang MPR.
Pada masa pemerintahan Habibie yang merupakan pemerintahan
transisi banyak melakukan perubahan ke arah kehidupan yang lebih
demokratis. Adapun beberapa hal yang terjadi pada masa Presiden
Habibie antara lain:
1. Keluarnya ketetapan-ketetapan MPR RI dalam Sidang Istimewa
pada November 1998 sebagai awal perubahan sistem demokrasi
secara konstitusional.
2. Ditetapkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah

270
11  Pancasila dan Dinamika Ketatanegaraan di Indonesia

dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara


Pusat dan Daerah.
3. Keluarnya UU politik yaitu UU No. 2 Tahun 1999 tentang Partai
Politik, UU No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilu, dan UU No. 4 Tahun
1999 tentang Susduk MPR, DPR, dan DPRD.
4. Mengadakan proses peradilan terhadap pejabat yang diduga me­
la­­kukan KKN serta penyelewenangan kekuasaan.
5. Adanya jaminan kebebasan pendirian partai politik ataupun
ormas.
6. Pembebasan sejumlah tahanan politik pada masa Orde Baru.
7. Melaksanakan pemilu tahun 1999 yang dinilai paling demokratis
setelah pemilu tahun 1955.
8. Kebebasan pers yang luas dan tidak ada lagi pencabutan SIUPP
(Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers).
9. Terbukanya kesempatan yang luas dan bebas untuk warga negara

P
dalam melaksanakan demokrasi di berbagai daearah.
Pada masa Reformasi rakyat menginginkan kehidupan masyara­

RO U
A G
kat yang demokratis, dengan peran rakyat lebih mendominasi dalam

I
ED
struktur pemerintahan. Rakyat pun menuntut adanya keterbukaan dari

M
pe­merintahan dalam menentukan kebijakan atau menyelenggarakan

D A
pemerintahan yang mencakup berbagai bidang kehidupan.

NA
PRE
1. Bidang Ideologi dan Konstitusi (UUD 1945)
Berdasarkan Ketetapan MPR No. II/MPR/1983 tentang GBHN
yang kemudian ditindaklanjuti dengan UU No. 3 Tahun 1985 tentang
Partai Politik dan Golkar, serta UU No. 8 Tahun 1985 tentang Ormas,
disebut­kan bahwa Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi semua
parpol dan Golkar serta semua organisasi kemasyarakatan. Ini meng­
in­
dikasikan bahwa interpretasi mengenai ideologi Pancasila hanya
ditentukan secara monopoli oleh pemerintah, yang selanjutnya telah
menimbulkan manipulasi interpretasi ideologi untuk kepentingan
status quo penguasa. Oleh karena itu, di masa Reformasi ini menghen­
daki kebebasan menginterpretasikan ideologi Pancasila oleh masya­
rakat dengan menghilangkan semua tafsir yang bertentangan dengan
demokrasi.
Adapun UUD 1945 pada masa Orde Baru seolah-olah disakralkan
sehingga tertutup untuk masuknya ide-ide atau pemikiran baru atas
perubahan-perubahan UUD 1945 tersebut. Dalam UUD 1945 memberi
wewenang penuh terhadap eksekutif dan mengabaikan kekuasaan

271
spiritualisme pancasila

yudikatif. Sementara kekuasaan rakyat dan lembaga legislatif amat


rendah terhadap negara dan eksekutif.
Pada masa Reformasi ini perlu dikembangkan pemikiran-pemikir­
an tentang keberadaaan UUD 1945 apakah sudah sesuai dengan tujuan
dan cita-cita yang diidam-idamkan oleh rakyat Indonesia. Selain itu,
terhadap Pancasila juga diharapkan dapat dipahami serta diamalkan
sepenuhnya oleh rakyat, karena Pancasila mencerminkan jiwa dan
kepribadian bangsa Indonesia.

2. Pengisian Anggota MPR, DPR, DPRD, dan DPD


Pasal 2 ayat 1 UUD 1945 (sebelum amendemen ke-4) menyatakan
MPR terdiri atas anggota DPR, ditambah dengan utusan-utusan dari
daerah-daerah dan golongan-golongan menurut aturan yang dite­
tapkan dengan undang-undang. Dari ketentuan ini, muncul persoalan
yaitu bagaimana cara pengisian anggota MPR/DPR serta apa maksud
diadakannya utusan daerah dan utusan golongan. UUD 1945 sendiri

UP
RO
tidak merumuskan secara pasti apakah tata cara pengisian lembaga

G
MPR tersebut hanya dapat dilakukan dengan melalui pemi­lihan semata
atau dengan cara yang lain.

ED I A
M
Unsur keanggotaan MPR yang berasal dari DPR merupakan wakil

D A
kekuatan politik di masyarakat, tidak ada pilihan lain kecuali dipilih

NA
dalam pemilu. Adapun unsur golongan dapat diisi dengan melalui

PRE
mekanisme pengangkatan. Utusan golongan dan utusan daerah baik
ditinjau dari segi strukktur bahasa Pasal 2 ayat 1 UUD 1945 yaitu “di­
tambah dengan....” maupun dikaitkan dengan asas kedaulatan rakyat,
semestinya menjadi pelengkap saja. Komposisi MPR seperti yang di­
kemukakan Ismail Suny, yakni sekurang-kurangnya yang dipilih oleh
rakyat haruslah lebih banyak jumlahnya daripada yang ditunjuk.
Namun, kenyataannya di masa Orde Baru komposisi MPR me­nun­
jukkan keganjilan, karena lebih banyak anggota MPR diisi dengan cara
diangkat/ditunjuk. Dari 1.000 orang anggota MPR, hanya 425 (42,5%)
orang yang dipilih melalui pemilu, sedangkan yang diangkat se­banyak
575 orang. Akibatnya, terlontar kritik bahwa kedaulatan rak­yat di In­
donesia hanya 42,5% untuk itu perlu dicarikan jalan keluar terbaik dari
masalah ini agar mencerminkan semangat demokrasi.
Sementara itu, dari pemilu ke pemilu berikutnya susunan ke­
ang­gotaan DPR berubah. Memang, dari segi tingkat pendidikan dan
popularitas semakin baik dari tiap periode. Namun, dari segi repre­sen­
tasi dan proporsionalitas, kualitas DPR tampaknya terus me­rosot. Hal
ini disebabkan undang-undang paket politik, baik sistem ke­partaian,

272
11  Pancasila dan Dinamika Ketatanegaraan di Indonesia

pemilu, maupun susduk MPR-DPR sangat menguntungkan penguasa


dan kroninya.
Dengan kondisi yang seperti ini, fungsi dan kinerja MPR maupun
DPR tidak seperti yang diharapkan. Dalam aturan yang ada di dalam
UUD 1945 peran dan tugas terpenting dari DPR adalah melakukan
kontrol politik terhadapa pemerintah. Tanpa kontrol politik DPR,
maka sampai kapan pun tidak akan ada pertanggungjawaban politik
pemerintah kepada rakyat melalui wakil-wakilnya. Namun, yang terjadi
kekuasaan eksekutif justru yang mampu mengendalikan kekuasaan
legislatif. Hal ini berakibat kekuasaan legislatif mandul, tidak ada
kreativitas, dan hanya formalitas belaka. Dengan kondisi pemerintah
tidak ada yang mengontrol, kekuasaan ini banyak melakukan penya­
lahgunaan kekuasaan dengan melakukan KKN.
Atas dasar keadaan demikian, maka Reformasi di lembaga MPR,
DPR, dan DPRD dimaksudkan agar lembaga tersebut benar-benar

P
dapat melaksanakan fungsinya dengan baik. Untuk itu perlu ditempuh
langkah-langkah sebagai berikut:

RO U
G
a. Anggota DPR harus benar-benar dipilih melalui pemilu yang luber

ED I A
dan jurdil. Tidak ada lagi anggota DPR yang diangkat. Dari sini

M
dapat dihasilkan lembaga legislatif yang memiliki keabsahan tinggi

D A
di mata rakyat. Di samping itu, karena kehadirannya di lembaga

NA
ini sepenuhnya berasal dari rakyat, maka mereka mempunyai rasa

PRE
tanggung jawab yang besar kepada rakyat sehingga mereka me­
laksanakan tugasnya dengan baik.
b. Perlu dilakukan perubahan tata tertib DPR yang selama ini meng­
hambat kinerja anggota DPR.
c. Untuk memberdayakan MPR, hendaknya seluruh anggota MPR
dipilih melalui pemilu. Dengan mekanisme seperti ini, MPR dapat
me­ laksanakan fungsinya sebagai pelaksana kedaulatan rakyat
yang memiliki wewenang sesuai dengan peraturan yang ada.
d. Perlu pemisahan jabatan ketua MPR dan DPR, dengan maksud
agar MPR dapat lebih efektif melakukan tugasnya, begitu pula
dengan DPR agar kinerjanya lebih optiomal sebagai partner kerja
lembaga eksekutif.

3. Keterbukaan Lembaga Kepresidenan


Pada masa Orde Baru, penyelenggaraan pemerintahan seolah-olah
hanya berpusat pada lembaga kepresidenan. Hal ini mengakibatkan
hak-hak dasar rakyat tidak lagi diakui, sementara itu di bidang hukum,

273
spiritualisme pancasila

peraturan perundang-undangan mengenai pembatasan kekuasaan


presiden seolah olah tidak berjalan sebagaimana mestinya, dan pe­
negakan hukum juga tidak terlaksana dnegan baik. Akibatnya, ba­nyak
terjadi penyelewengan kekuasaan bahkan merembet pada marak­nya
tindak pidana korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Kekuasaan lembaga kepresidenan pada masa Orde Baru bersifat
sentralistis dibandingkan kekuasaan pada lembaga tinggi dan tertinggi.
Segala keputusan dan kebijakan seolah-olah bermuara pada presi­
den, serta mendominasi dalam berbagai aspek kehidupan mencakup
bidang politik, ekonomi, sosial budaya, bahkan kemiliteran. Oleh ka­
rena itu, untuk mengakhiri berbagai macam penyimpangan, maka la­
hirlah era Reformasi dengan tuntutannya antara lain:
a. Pembatasan masa jabatan presiden;
b. Pergantian presiden secara demokratis;
c. Membatasi penggunaan hak prerogatif presiden;
d.

UP
Menghapus kewenangan khusus presiden yang berbentuk Keppres

RO
dan Inpres;

G
e. Menyusun kode etik kepresidenan.

ED I A
A M
4. Keterbukaan dalam Penyelenggaraan Pemilu

D
NA
Pemilu merupakan pelaksanaan hak asasi warga negara yang

PRE
sudah memenuhi syarat. Dalam pemilu, ada hak pilih yaitu hak dipilih
dan hak memilih. Kedua hak ini dapat digunakan secara bersamaan
pada saat pemilu digelar. Pemilu juga merupakan sarana sirkulasi ke­
kuasaan yang sah dan legitimit. Oleh karena itu, pelaksanaan pemilu
harus didasarkan atas asas-asas tertentu sehingga hasilnya dapat di­
pertanggungjawabkan kepada konstituennya.
Praktik penyelenggaraan pemilu pada masa Orde Baru telah me­
nyim­pang jauh dari asas-asasnya. Bahkan seolah hasil pemilu di­re­
kayasa sehingga fungsi dan tujuan pemilu telah menyimpang dari sa­
sarannya. Pemilu pada masa Orde Baru seakan makin memperkukuh
status rezim Orde Baru.
Dalam negara demokrasi, pemilu berkaitan dengan dua aspek,
yaitu aspek legal dan aspek penyelenggaraan. Aspek legal yaitu adanya
hukum yang mengatur keseluruhan proses pemilu, sedangkan aspek
penyelenggaraan atau pelaksanaan di lapangan dari tahap awal sampai
tahap akhir. Pemilu berkaitan dengan kelangsung, keberadaan, dan
eksisten lembaga negara. Oleh karena itu, pelaksanaan pemilu mutlak
dilaksanakan di dalam suatu negara.

274
11  Pancasila dan Dinamika Ketatanegaraan di Indonesia

Pemilu pada saat Orde Baru dari segi penyelenggaraannya dirasa­


kan kurang demokratis. Hal ini disebabkan banyaknya aspek kesalahan
dan penyelewenangan pada aspek pelaksanaan di lapangan. Segala
sesuatu yang telah dirancang atau diatur, tetapi dalam pelaksanaannya
tidak berlangsung baik.
Oleh karena itu, untuk dapat mencapai tujuan pemilu, perlu
diadakan perubahan pada pelaksanaannya yaitu sebagai berikut:
a. Kemerdekaan kepanitiaan pemilu. Komisi pemilihan umum men­
jadi lembaga yang berdiri sendiri, artinya lepas dari pengaruh atau
intervensi pihak lain termasuk birokrasi maupun pemerintah.
b. Didirikannya tim pemantau pemilu yang merupakan lembaga non
pemerintah.
c. Memberlakukan tata tertib pemilu secara adil bagi semua peserta
pemilu.
d. Proses pelaksanaan dari tahap awal sampai tahap akhir (yaitu dari
pendataan jumlah pemilih, pencoblosan, sampai penghitungan)

UP
RO
diusahakan semaksimal mungkin terjamin kejujuran dan keraha­

G
siaanya.

ED I A
e. Adanya tindakan khusus (sanksi) yang tegas jika terbukti ada partai

M
politik yang melakukan suap, tekanan, atau bahkan ancaman

D A
kepada masyarakat ketika menggunakan hak pilih mereka.

NA
PRE
5. Hubungan Pemerintah Pusat dengan Daerah
Pada masa Orde Baru, kekuasaan bersifat sentralistis, artinya se­
gala sesuatu bersumber pada pemerintah pusat. Hal inilah yang meng­
hambat perkembangan dan kemajuan daerah dan menimbulkan ke­
tergantungan kepada pemerintah pusat. Keadaan ini dapat berdam­pak
terwujudnya keadilan dan hasil pembangunan serta penerapan oto­
nomi daerah yang maksimal.
Oleh karena itu, pada masa Reformasi diperlukan perubahan me­
kanisme penyelenggaraan pemerintahan yang tidak bersumber pada
pemerintah pusat saja, tetapi memberikan kesempatan yang luas dan
bertanggung jawab kepada daerah untuk mengadakan pe­merintahan
sendiri (otonomi daerah) dengan berpegang pada asas de­sentralisasi.
Sedangkan reformasi pemerintahan daerah dilakukan dengan peng­
aturan institusi daerah yang mendukung ke arah desentralisasi itu.
Adapun cara untuk mewujudkannya adalah sebagai berikut:
a. Penentuan daerah otonomi hanya pada daerah tingkat II saja. Hal
ini dimaksudkan agar lebih memberdayakan wilayah kabupaten/

275
spiritualisme pancasila

kota, sebab pemerintahan tingkat II inilah yang berhubungan


secara langsung dengan rakyat di daerahnya.
b. Pemilihan kepala daerah ini dilakukan secara langsung oleh rakyat
di daerahnya dan tidak lagi diwakilkan kepada anggota DPRD,
sehingga kepala daerah adalah orang atau figur yang diinginkan
oleh masyarakat.
Dengan berbagai cara di atas, maka selanjutnya tiap-tiap daerah
dapat menentukan kelangsungan hidupnya dengan memanfaatkan
potensi yang dimiliki, baik sumber daya manusia maupun sumber daya
alamnya, serta partisipasi rakyat sangat berarti dalam penyelenggaraan
pemerintahan. Dengan kondisi ini, diharapkan daerah-daerah dapat
berkembang secara baik, rakyat bisa merasakan hasil pembangunan,
dan hasil potensi daerahnya menuju masyarakat yang adil, makmur,
dan sejahtera.

6. Militer dan Dwifungsi ABRI


UP
RO
Pada masa Orde Baru, keberadaan ABRI (TNI dan Polri) difungsikan

I A G
sebagai kekuatan pertahanan, keamanan, dan kekuatan sosial-politik

ED
(dwifungsi ABRI). ABRI lebih banyak dimanfaatkan sebagai alat un­

A M
tuk mempertahankan kekuasaan oleh pengusa, daripada sebagai

D
NA
alat negara penjaga dan pengawal keutuhan maupun pelindung dan

PRE
penga­yom masyarakat.
Untuk itulah perlu diadakan reformasi atau perubahan pada ABRI
untuk mengurangi peran sosial-politiknya, sehingga di masa yang akan
datang peran dan fungsi ABRI hanya terpusat untuk menjalankan peran
peratahanan dan keamanan. Hal ini perlu dilakukan karena mengingat,
bahwa keamanan negara kita akhir-akhir ini cukup mengkhawatirkan
apalagi dengan adanya globalisasi.

7. Reformasi Sistem Kepartaian


Partai politik pada negara modern merupakan suatu keniscayaan.
Partai politik hadir untuk menggantikan sistem feodal dan keabsolut­
an raja pada saat itu. Partai politik adalah gambaran kekuatan politik
yang ada pada suatu negara. Oleh karenanya, keberadaannya di zaman
sekarang mutlak diperlukan. Di negara demokrasi partai politik me­
miliki fungsi antara lain:
a. Sebagai sarana rekruitmen politik.
b. Sebagai sarana sosialisasi politik.
c. Sebagai sarana komunikasi politik.

276
11  Pancasila dan Dinamika Ketatanegaraan di Indonesia

d. Sebagai pengatur konflik.


e. Sebagai artikulasi kepentingan di masyarakat.
Pada masa Orde Baru sistem kepartaian kita menganut sistem dua
partai dan satu golongan karya. Pada masa ini, peran dan fungsi partai
dalam negara demokrasi tidak berjalan sebagaimana mestinya. Partai
politik hanyalah pelengkap kehidupan politik kenegaraan dan sebagai
alat legitimasi kekuasaan pemerintah.
Untuk itulah, di era Reformasi dilakukan perubahan sistem ke­par­
taian. UU No. 2 Tahun 1999 memberikan kebebasan warga negara untuk
mendirikan partai politik. Akhirnya, dalam waktu yang sangat singkat
partai politik berjumlah ratusan dengan berbagai macam platform,
asas, serta visi dan misi. Dengan perubahan ini diharapkan akan tercipta
kehidupan demokrasi berjalan lebih dinamis dan demokratis. Selain
itu, partai politik benar-benar mampu mencerminkan aspirasi rakyat,
dan menjadi penyambung lidah antara masyarakat dengan penguasa.
Sehingga, dapat meningkatkan dukungan dan rasa tangggung jawab

UP
RO
rakyat akan pemerintahan, karena pada dasarnya keberadaan partai

A G
politik menjadi indikasi terwujudnya suatu negara demokrasi.

I
M
8. Penyelenggaraan Perekonomian Negara

A ED
NA D
Berbicara mengenai perekonomian negara, tidak lepas dari UUD

PRE
1945 Pasal 33 yang mengatur hal ini. Pada pasal tersebut dijelaskan
bah­wa perekonomian negara dikelola untuk kesejahteraan rakyat. Pada
ayat 4 pasal ini diuraikan, “Perekonomian nasional diselenggarakan
oleh negara berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersa­
maan, efesiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,
keman­dirian, serta dengan menjaga keseimbangan, kemajuan dan ke­
sa­tuan ekonomi nasional”.
Pada ayat ini jelas terlihat bahwa perekonomian harus dikelola
dengan adil untuk kemajuan dan kesejahteraan rakyat. Namun, dalam
praktiknya, seringkali perekonomian dikuasai oleh beberapa orang
yang berafilasi dengan kekuasaan. Para pengusaha memiliki jaringan
atau kenalan dengan pejabat negara yang seringkali mereka mendapat
berbagai keistimewaan dalam mengembangkan bisnisnya.
Di era Reformasi ini, tentu saja kondisi seperti ini harus mengalami
perubahan. Pemerintah harus memperhatikan perkembangan, kema­
juan dan pertumbuhan rakyat secara keseluruhan, karena memang
secara riil perekonomian secara garis besar berjalan atas dasar fondasi
perekonomian rakyat. Untuk mewujudkan hal ini, dapat ditempuh de­

277
spiritualisme pancasila

ngan cara sebagai berikut:


a. Mengembangkan sumber ekonomi lokal/daerah untuk dapat
tum­­buh pada sektor ekonomi global.
b. Mengikutsertakan rakyat dalam kegiatan perekonomian.
c. Memberikan pelatihan-pelatihan, sarana maupun subsidi untuk
mem­ persiapkan pelaku-pelaku ekonomi dalam bersaing pada
tingkat global.
d. Memberdayakan pengusaha kecil, menengah, maupun koperasi
agar bisa lebih produktif, efesien, dengan menciptakan iklim yang
kondusif, serta lapangan usaha sebesar-besarnya.
e. Menjalin kerja sama yang baik antara koperasi, swasta, dan BUMN,
serta para pelaku usaha kecil, menengah maupun besar untuk da­
pat memperkukuh struktur ekonomi nasional.

 Latihan
UP
G
Jawablah pertanyaan di bawah ini dengan benar!

A RO
I
1. Uraikanlah latar belakang munculnya Maklumat Wapres No. X

A M ED
dan munculnya Maklumat Pemerintah tahun 1945!
2. Bandingkan sistem ketatanegaraan yang terjadi pada masa Orde

NA D
Lama dan Orde Baru!

PRE
3. Mengapa pada masa awal kemerdekaan sampai dengan masa
UUDS 1950 terjadi banyak pemberontakan didalam negeri?
4. Sebutkan penyimpangan konstitusional yang dilakukan Orde
Lama dan penyimpangan hukum yang dilakukan Orde Baru!
5. Bandingkan sistem pemerintahan yang terjadi pada masa Orde
Baru dan Reformasi!

278
Daftar Pustaka

daftar pustaka

Ahmad, Ma’shum. 2009. Politik Hukum Kekuasaan Kehakiman Pasca


Amendemen UUD 1945. Yogyakarta: Total Media.
Alfian. 1981. Beberapa Masalah Pembangunan Politik di Indonesia. Ja­
karta: CV Rajawali.
Almond. Gabriel dan Sydney Verba. 1990. Budaya Politik: Tingkah Laku
Politik dan Demokrasi di Lima Negara. Jakarta: Bina Cipta.
Aron, Raymond. 1993. Kebebasan dan Martabat Manusia. Jakarta: Ya­
yasan Obor Indonesia

UP
RO
Badrika, I Wayan. 2003. Sejarah Nasional Indonesia. Jakarta: Erlangga.

I A G
Bakry, Noor Ms. 2009. Pendidikan Kewarganegaraan. Yogyakarta: Pus­

ED
taka Pelajar.

M
Budiyanto. 2004. Kewarganegaraan Untuk SMA Kelas X. Jakarta: Er­

D A
langga.

NA
Budiardjo, Miriam. 1996. Demokrasi Di Indonesia, Demokrasi Parle­

PRE
menter dan Pancasila. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Bizawie, Zainul Milal. 2014. Laskar Ulama Santri dan Resolusi Jihad,
Garda Depan Menegakkan Indonesia (1945-1949). Tange­rang:
Pustaka Compass.
Boisard, Marcel. 1980. Humanisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Burhanuddin, Jajat. 2012. Ulama dan Kekuasaan, Pergumulan Elite
Muslim dalam Sejarah Indonesia. Bandung: Mizan.
Carey, Peter. 2015. Takdir, Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855).
Jakarta: Kom­pas.
Chaniago, Andrinof. 2001. Gagalnya Pembangunan Kajian Ekonomi
Po­litik Terhadap Akar Krisis Indonesia. Jakarta: LP3S.
Darmodihardjo, Darji. 1983. Pancasila Suatu Orientasi Singkat. Jakarta:
Aries Lima.
Dewanto, Nugroho, (Ed). 2011. Natsir, Politik Santun di antara Dua
Rezim. Jakarta: KPG-Tempo.
Frederick, William H dan Soerto Soeri. 2005. Pemahaman Sejarah Indo­
nesia Sebelum dan Sesudah Revolusi. Jakarta: LP3S.

279
spiritualisme pancasila

Hadad, Ismid (Ed). 1979. Kebudayaan Politik dan Keadilan Sosial In­
donesia. Jakarta: LP3ES.
Hamka. 2016. Angkatan Baru. Jakarta: Gema Insani Press.
———————. 2014. Buya Hamka Berbicara tentang Perempuan. Jakarta:
Gema Insani Press.
———————. 2005. Dari Hati ke Hati, tentang Agama, Sosial-Budaya, Politik.
Jakarta: Pustaka Panjimas.
———————. 2016. Dari Lembah Cita-cita. Jakarta: Gema Insani Press.
———————. 2015. Falsafah Hidup, Memecahkan Rahasia Kehidupan Berda­
sarkan Tuntunan al Quran dan As-Sunnah. Jakarta: Republika.
———————. 2015. Keadilan Sosial dalam Islam. Jakarta: Gema Insani Press.
———————. 2016. Kesepaduan Iman dan Amal Saleh. Jakarta: Gema Insani
Press.
———————. 2016. Lembaga Budi, Menegakkan Budi, Membangun Jati
Diri, Berdasar Tuntunan Al-Quran dan Sunnah Nabi. Jakarta: Re­

P
publika.
———————. 2015. Lembaga Hidup, Ikhtiar Sepenuh Hati, Memenuhi

RO U
G
Ragam Kewajiban untuk Hidup sesuai Ketentuan Ilahi. Jakarta:
Republika.

ED I A
———————. 1992. Pandangan Hidup Muslim. Jakarta: Bulan Bintang.

A M
———————. 2014. Pribadi Hebat. Jakarta: Gema Insani Press.

D
NA
———————. 1981. Said Jamaluddin al Afghany. Jakarta: Bulan Bintang.

PRE
———————. 2016. Sejarah Umat Islam, Pra Kenabian hingga Islam di
Nusantara. Jakarta: Gema Insani Press.
———————. 2003. Tasauf Modern. Jakarta: Pustaka Panjimas.
Herdiawanto, Heri dan Hamdayama, Jumanta. 2010. Cerdas, Kritis, dan
Aktif Berwarganegara. Jakarta: Erlangga.
Kahin, George McTurnan. 2013. Nasionalisme dan Revolusi Indonesia.
Depok: Komunitas Bambu.
Kaelan. 2004. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma.
Kattsoff, Louis O. 2004. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Koentjaraningrat. 1980. Manusia dan Kebudayaan Indonesia. Jakarta:
PT Gramedia.
Kartodirdjo, Sartono. 2015. Pemberontakan Petani Banten 1888. Depok:
Komunitas Bambu.
Kecik, Hario. 2009. Pemikiran Militer 1, Sepanjang Masa bangsa
Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Lubis, Ridwan dan Muhammad Hisyam, Islam dan Nasionalisme, tu­
lisan dalam Taufik Abdullah, (Ed). 2003. Ensiklopedi Tematis Dunia

280
Daftar Pustaka

Islam; Jilid 5. Asia Tenggara. Jakarta: Penerbit PT Ichtiar Baru Van


Hoeve.
Lombard, Denys. 2008. Nusa Jawa. Silang Budaya, Jaringan Asia. Buku
2. Jakarta: Gramedia.
Maarif, Ahmad Syafii. 2009. Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan
Kemanusiaan, Sebuah Refleksi Sejarah. Bandung: Penerbit Mizan.
———————. 2006. Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara, Studi Ten­tang
Perdebatan dalam Konstituante. Jakarta: LP3ES.
Madjid, Nurcholish. 2010. Islam, Agama Kemanusiaan, Membangun
Tra­disi dan Visi Baru Islam Indonesia. Jakarta: Penerbit Dian Rak­
yat.
Mahmud Shubhi. 2001. Filsafat Etika, Jakarta: Serambi.
Madjid, Nurcholis, 1991. Islam Kemoderenan dan Keindonesiaan. Ban­
dung: Mizan.
Machmud, Amir. 1986. Pembangunan Politik Negeri Indonesia. Jakarta:

P
PT Gramedia.
Mahmud MD. Moh. 1997. Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi. Yogya­

RO U
G
karta: Gama Media.

I A
Makalah-makalah dalam Kongres Pancasila Diselenggarakan oleh

ED
UGM-MK RI Tanggal 30, 31 dan 1 Juni di Kampus UGM.

A M
Majalah Filsafat Drijarkara, Th XXII No.3.

D
NA
Natsir, Mohammad. 1973. Capita Selecta. Jakarta: Bulan Bintang.

PRE
———————. 2015. Islam dan Akal Merdeka, Kritik atas Pemikiran Soekarno
tentang Islam Sontoloyo dan Seputar Pembaruan Pemikiran Islam
Polemik 1934-1940. Bandung: Sega Arsy.
———————. 2014. Islam sebagai Dasar Negara. Bandung: Sega Arsy.
Notonagoro. 1980. Beberapa Hal Mengenai Falsafah Pancasila. Cet. 9.
Jakarta: Pantjoran Tujuh.
Notosusanto, Nugroho. 1992. Sejarah Nasional Indonesia. Jakarta:
Dep­dikbud.
Nurdin Muhamad, Hendara M. Saragih, dan Imran Husnayan. 2006.
Pendidikan Kewarganegaraan Kelas XII. Jakarta: Widaya Utama.
Nugroho, Riant dan Tri Hanurita S. 2005. Tantangan Indonesia:
Solusi Pembangunan Politik Negara Berkembang. Jakarta: Elex Media
Komputindo.
Nurtjahjo, Hendra. 2006. Filsafat Demokrasi. Jakarta: Bumi Aksara.
Oetojo Oesman dan Alfian. 1996. Pancasila Sebagai Ideologi
dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Ber­
negara. Jakarta: BP-7 Pusat.

281
spiritualisme pancasila

Pakpahan, Muchtar. 2002. Potret Negara Indonesia. Jakarta: Bumi Intan


Sejahtera.
Poespowardojo, Soerjanto. 1989. Filsafat Pancasila. Jakarta: Gramedia.
Prawiranegara, Sjafruddin. 2011. Islam sebagai Pedoman Hidup, Kum­
pulan Karangan Terpilih. Jakarta: Pustaka Jaya.
Rahardjo, Dawam (Ed). 1987. Kapitalisme Dulu dan Sekarang, Jakarta:
LP3S.
Rochmadi, Nur Wahyu. 2008. Ilmu Pengetahuan Sosial. Jakarta: Direk­
torat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan, Depdiknas.
Salam, H. Burhanuddin. 1998. Filsafat Pancasilaisme. Jakarta: Rineka
Cipta.
Santosa, Kholid O, (Ed). 2006. Mencari Demokrasi Gagasan dan Pikiran.
Bandung: Sega Arsy.
Sastroatmodjo, Sudijono. 1995. Perilaku Politik. Semarang: IKIP Se­
marang Press.

P
Setijo, Pandji. 2006. Pendidikan Pancasila Perspektif Sejarah Perjuangan
Bangsa. Jakarta: Kompas Gramedia.

RO U
G
Subekti, Valina Singka. 2014. Partai Syarikat Islam Indonesia. Jakarta:
Pustaka Yayasan Obor Indonesia.

ED I A
Simamora, Sahat. 1985. Pembangunan Politik dalam Perspektif. Jakarta:

A M
Bina Aksara.

D
NA
Suhelmi, Ahmad. 1999. Pemikiran Politik Barat, Bandung: Darul Falah.

PRE
Suwarno, PJ. 1993. Pancasila Budaya Bangsa Indonesia. Yogyakarta:
Kanisius.
Surapto, Bibit. 1985. Perkembangan Kabinet dan Pemerintahan di In­
donesia. T.P.: Ghalia Indonesia.
Surbakti, Ramlan. 1992. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia.
Sutirto, Tunjung W. 2000. Perwujudan Kesukubangsaan Kelompok Et­
nik Pendatang. Surakarta: Pustaka Cakra.
Stiglitz, Josep E. 2007. Making Globalization Work Menyiasati Globalisasi
Menuju Dunia yang Lebih Adil. Bandung: Mizan.
Soedewo. 2015. Keesaan Illahi. Jakarta: CV Darul Kutubil Islamiyah.
Soekarno. 2005. “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme,” tulisan
Di Bawah Bendera Revolusi, Jilid Pertama. Jakarta: Yayasan Bung
Karno.
Suryanegara, Ahmad Mansur. 2010. Api Sejarah 2. Bandung: Salama­
dani.
———————. 2013. Api Sejarah. Buku 1. Bandung: Salamadani.
Tri Pranoto, Marimin. 2006. Pendidikan Pancasila. Jakarta: Cakrawala
Maha Karya.

282
Daftar Pustaka

Tim Cidesindo. 1999. Membuka Lipatan Sejarah Menguak Fakta Ge­rak­


an PKI. Jakarta: Cidesindo dan Perhimpunan KB-PII.
Tjokroaminoto, HOS. 2010. Islam dan Sosialisme. Bandung: Sega Arsy.
Umar, Nasaruddin. 2014. Islam Fungsional, Revitalisasi dan Reatualisasi
Nilai-Nilai Keislaman. Jakarta: Kompas Gramedia.
Waluyo. 2009. Dari Pemberontak menjadi Pahlawan Nasional: Mo­
hammad Natsir dan Perjuangan Politik Indonesia. Yogyakarta:
Ombak.
Wahana, P. 1996. Filsafat Pancasila. Yogyakarta: Kanisius.
Wibisono Siswomohardjo Koento. 1989. “Pancasila sebagai Ideologi
Terbuka,” Makalah pada lokakarya Dosen-dosen Pancasila di PTN
dan PTS se-Kopertis Wilayah V, Yogyakarta.
Yahya, Harun. 2004. Menyingkap Tabir Fasisme. Bandung: Dzikra.
Yuniarto. 1967. Demokrasi dan Sistem Pemerintahan Negara. Yogya­
karta: Yayasan Badan Penerbitan Gajah Mada.

UP
RO
Situs Internet
http://wikipedia.org.

I A G
ED
http://id.shvoong.com/books/mythology-ancient-literature

M
/1946472-sejarah-berdirinya-kerajaan-majapahit/.

D A
http://dot-majapahit.blogspot.com/2010/03/sejarah-kerajaan

NA
majapahit.html.

PRE

283
spiritualisme pancasila

UP
A GRO
ED I
D A M
NA
PRE

284
Tentang Penulis

tentang penulis

Dr. Fokky Fuad, lahir di Malang pada


1973. Menyelesaikan Pendidikan Sarjana
Hu­ kum (1997) dan Magister Hukum (2001)
dari Universitas Brawijaya Malang. Meraih
gelar Doktor Hukum dari Fakultas Hukum
Universitas Indonesia (2012). Saat ini sebagai
dosen tetap pada Fakultas Hukum dan Pro­
gram Magister Hukum Universitas Al-Azhar

UP
RO
Indonesia (UAI). Menjadi Koordinator mata­
ku­

A G
liah Pancasila dan Kewarganegaraan

I
ED
(PPKn) UAI. Anggota Forum Internalisasi Nilai-nilai Kebangsaan

M
(Fornika). Menjadi peneliti bidang kebijakan pada Laboratorium Peng­

D A
ukur­an Ketahanan Nasional, Lembaga Ketahanan Nasional Re­publik

NA
Indonesia (Labkurtannas Lemhannas RI, 2009-2010) dan Mahkamah

PRE
Konstitusi Republik Indonesia (2005). Meraih Predikat Dosen Ber­
prestasi FH Universitas Al-Azhar Indonesia (2012). Pada 2009 meng­
ikuti shortcourse pada Japan Patent Office (JPO) dan Kyoto Uni­versity.
Mengikuti Training of Trainers Dosen Wawasan Kebangsaan pada
Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia (2014).
Buku lain yang pernah ditulis dan diterbitkan, yaitu: Legal Stan­
ding Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dalam Berperkara di Mahka­
mah Konstitusi, (Jakarta: Salemba Humanika, 2010). Budaya Hukum
Pedagang Kecil Gina Benteng Kampung Sewan (FHUI, Jakarta: Lembaga
Studi Hukum Ekonomi, 2012). Pancasila, Suatu Tinjauan Historis, Fi­
losofis, dan Hukum, (Jakarta: Media Hutomo, 2012). Hukum dalam
Dinamika Socio Legal di Indonesia, jilid 1 dan 2, (T.P. FH Universitas
Al-Azhar Indonesia, 2012, edisi Re­visi 2014).
Penghargaan Dikti “Insentif Penulisan Buku Ajar” untuk judul
Pancasila, Suatu Analisis, Yuridis, Historis, dan Filosofis. Penerbit Har­
tomo Media Pustaka Jakarta. 2011.

285
spiritualisme pancasila

Jumanta Hamdayama, M.Si., dilahirkan di


Lemah Abang, 5 Oktober 1980. Menamatkan
S-1 Jurusan Ilmu Sosial Politik Program Studi
Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) di Uni­
ver­sitas Negeri Jakarta pada 2004 dengan pre­
dikat kelulusan cum laude. Pada tahun ini pula
penulis terpilih sebagai mahasiswa ber­pres­tasi I
Fakultas Ilmu Sosial Universitas Ne­geri Jakarta.
Kemudian meneruskan studi di program pasca
sarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia dan
selesai pada 2007. Sejak mahasiswa sudah aktif di ber­bagai macam
organisasi baik intra maupun ekstra kampus seperti BEM, BPM, LKM,
dan HMI. Dunia pendidikan sudah digeluti sejak masih duduk di bangku
perkuliahan dengan mengajar di beberapa sekolah dan perguruan
tinggi. Adapun mata pelajaran atau mataku­liah yang dipegang adalah

P
Pendidikan Kewarganegaraan, Tata Negara dan Pendidikan Pancasila
dan Pemantapan Kemampuan Mengajar, Pemantapan Kemampuan

RO U
G
Profesional, Pembelajaran Kelas Rangkap.

I A
Karya tulis yang sudah dihasilkan di antaranya adalah “Peranan

ED
Wanita dalam Partai Partai Politik” (Skripsi: 2004), “Konflik dan Ke­

A M
kerasan Po­litik dalam Pilkada Langsung” (Tesis: 2007), “Tingkat Parti­

D
NA
sipasi Politik Pelajar dalam Pemilu 2009” (Proyek Penelitian), Pancasila

PRE
Suatu Telaah Yuridis, Historis, dan Filosofis (Hartomo Media: 2012),
Cerdas Kritis dan Aktif Berwarga Negara (Erlangga: 2010), Model dan
Metode Pem­belajaran Kreatif dan Berkarakter (Ghalia: 2014), akan terbit
Meto­dologi Pengajaran (Bumi Aksara: 2015), serta puluhan artikel dan
ma­kalah yang dipublikasikan maupun yang diseminarkan. Selain aktif
mengajar, penulis juga sering menjadi peserta dan pembicara dalam
berbagai pelatihan. Untuk bisa berkomunikasi dengan penulis silakan
kirim ke email jumantahamdayama@ yahoo.com.

Heri Herdiawanto, M.Si., on going Program


Doktor Universitas Indonesia, meraih gelar
Master dalam bidang Ilmu Politik dari Univer­
sitas Indonesia (UI tahun 2006), dengan tercatat
sebagai mahasiswa lulus tercepat diangkatan­
nya. Lahir di Kuningan, 14 Februari 1973. Se­
masa mahasiswa dikenal sebagai; Aktivis intra
dan ekstra kampus seperti Kordinator lapangan
gerakan MaHaSisWa Mei 1998, Inisiator Forum

286
Tentang Penulis

Diskusi Pasca Sarjana UI Salemba 2005, dan Ketua Umum Lapenmi


HMI Cabang Jakarta 1995-1997. Tercatat juga sebagai pengurus Na­
sional MASIKA ICMI 2009. Kemudian menjadi pembicara di forum-
forum ormas kepemudaan dan kemahasiswaan sejak 1996, misalnya
Teknik Tata Cara Bersidang dan metode diskusi. Saat mahasiswa
memenangkan lomba diskusi tingkat nasional P2P4 sebagai utusan
DKI Jakarta dan Raja Kampus 1995. Saat ini sebagai dosen tetap di
program studi Hubungan Internasional dengan mengajar matakuliah
Pengantar Ilmu Politik, Dasar Logika, Militer dan Politik, Ide-ide politik
Barat, Manajemen Komunikasi Lintas Budaya juga (MKU) Matakuliah
Umum PKn dan JK.3 di Universitas Al-Azhar Indonesia sejak tahun
2006, serta aktif di lembaga riset dan pendidikan YPI Al Azhar sejak
1999. Pendamping festival kebudayaan di Yalova, Cinarcyk, Istambul
(Turki), Orly, Paris (Perancis), Brussel (Belgia), dan Volendam (Belanda
tahun 2005). Perjalanan Internasional lainnya (Arab Saudi, Sarjah,

P
ABuddhabi tahun 2007), Brunei, Singapura, (2010-2013). Alamat pe­
nulis di Ciputat-Tangsel, Banten. Email: heriherdiawanto@yahoo.

RO U
G
co.id/08128729173.

ED I A
Penghargaan Dikti untuk buku Cerdas, Kritis, dan Aktif Berwar­

M
ganegara: Pendidikan Kewarganegaraan Untuk Perguruan Tinggi

D A
(Erlangga, 2010).

NA
• Finalis National Program Inovasi Citi Succes Fund 2004. Tentang

PRE
Tema “Berbeda Itu Indah”.

287
UP
A GRO
ED I
D A M
NA
PRE

Anda mungkin juga menyukai