Anda di halaman 1dari 15

ARTIKEL ILMIAH

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH RIAU

PEMIKIRAN PEMBAHARUAN JAMALUDDIN AL-AFGHANI

Dwi Fajar Mutiara, Hafizh Muharram, Juwita Darmawan, Nurul Ihksani*


Fakultas MIPA dan Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Riau, Pekanbaru, Indonesia

Abstrak
Paradigma epistemologi pemikiran Islam berkembang dari satu era ke era lainnya. Tulisan ini
mencoba mengungkap pemikiran Islam modern yang dikemukakan oleh Jamaluddin Al-Afghani
dalam merekonstruksi pemahaman qadha dan qadar (takdir) dari pemikiran fatalistik dan statis
menjadi pemikiran yang dinamis. Makna fana dan baqa dalam tasawuf, menurut pemikiran Al-
Afghani, adalah nyata. Iman bukan berarti menghindari kebutuhan hidup yang nyata, tetapi harus
memberdayakan kesejahteraan sosial dan meningkatkan kehidupan sosial. Al-Afghani
menyatakan bahwa akidah (qadha dan qadar) merupakan salah satu unsur dasar dalam teologi
yang tidak dapat dihindari, namun harus dipahami secara benar dan positif untuk mencapai
kebahagiaan di dunia dan kehidupan setelah kematian.
Kata kunci : pemikiran, iman, Jamaluddin Al-Afghani

Abstract

The epistemology paradigm of Islamic thoughts is developed from one era to another. This paper
tries to reveal the modern Islamic thoughts proposed by Jamaluddin Al-Afghani in reconstructing
the understanding of qadha and qadar (takdir) from fatalistic and statis thoughts into dynamic
thoughts. The meaning of fana and baqa in sufism, according to Al-Afghani’s thought, is real.
The faith does not mean avoiding the needs of real life, but it should empower the social welfare
and improve the social life. Al-Afghani states that the confession of the faith (qadha and qadar)
is one of the basic elements in theology which cannot be avoided, yet it should be understood
correctly and positively to reach the happiness in this world and the life after death.

Keywords : thoughts, faith, Jamaluddin Al-Afghani


A. Pendahuluan

Sejarah pertumbuhan dan perkembangan agama Islam pernah mengalami masa keemasan
dan kemunduran serta bangkit kembali atau pembaharuan. Hal ini bukan berarti ajaran agama
Islam yang berubah, tetapi di sebabkan oleh berbagai faktor yang muncul di kalangan umat Islam
yang melatarbelakangi pertumbuhan dan perkembangan Islam. Diantara faktor yang
menyebabkan kemunduruan ummat Islam di maksud adalah adanya dominasi Barat dengan
politik ado domba yang mengakibatkan perpecahan di kalangan umat Islam, adanya fanatisme
yang berlebihan terhadap mazhab dan aliran-aliran serta kesukuan. Adanya kemerosotan moral
para penguasa yang melenyapkan idintitas muslim,melakukan koropsi dan hidup mewah.

Situasi demikian diperparah lagi oleh penetrasi Barat, terutama Inggris dan Perancis ke
dunia Islam, cengkeraman dan campur tangan barat terhadap negara-negara Islam kian hari
bertambah kuat. Pada tahun 1798 M. Napoleon menduduki Mesir sebagai salah satu pusat Islam
yang terpenting, jatuhnya pusat Islam ini ketangan Barat menginsyafkan dunia Islam akan
kelemahannya dan menyadarkan ummat Islam bahwa Barat telah tumbuh peradaban yang lebih
tinggi dari peradaban Islam dan merupakan ancaman bagi ummat Islam itu sendiri.

Merespon kondisi ummat Islam yang menyedihkan, maka bangkitlah kaum muslimin di
negeri-negeri Islam di tandai dengan bangkitnya perhatian terhadap Islamsebagai idiologi yang
memiliki kekuatan dan dorongan pembebas. Kembali kepada Alqur’an dan Sunnah Nabi SAW
merupakan sumber pokok untuk membuat solusi bagi pelbagai problem, baik problem ekonomi
sosial politik yang mendesak . Para cendekiawan dan pemuka agama Islam melontarkan
pemikiran-pemikiran mareka,banyak tokoh tokoh pembaharu Islam yang lahir dengan lahir
dengan ide- ide cemerlang menentang tradisi lama yang dianggap telah mengusung kemerdekaan
individu umtuk berkreasi dan berinovasi bai tataran yang sempit maupun global. Ali Rahnema
mengetengahkan empat penyebab kemunduran ummat yang selanjutnya merupakan titik awal
pembaharuan itu sendiri yaitu: 1, erosi nilai Islam dan ketidak pedulian penguasa untuk
menerapkan peraturan sosio ekonomi dan etika Islam, 2. Sikap diam dan kerjasama lembaga
ulama dengan pemerintah yang pada hakekatnya tidak Islami. 3. Korupsi dan kezaliman kelas
penguasa atau keluarganya, 4. Kerjasama penguasa dan ketergantungan mereka pada kekuatan
npenjajah yang tidak Islami.

Para pembaharu Islam menghendaki semangat Islam seperti kasih sayang, solidaritas.
keadilan sosial bukan hanya dirasakan ditingkat atas tetapi juga ditingkat bawah yang selama ini
merasakan keterpurukan dan kemiskinan itu. Semangat ini dihubungkan dengan “zaman
keemasan” pada masa pemerintahan Nabi SAW oleh karena itu mareka merasa terbebani dan
ditantang untuk menyusun dan memperbaharui dan mensintesis Islam agar relevan dengan
kebutuhan, tuntutan dan keadaan yang sedang dihadapi seaui kemajuan zaman.

Di Mesir pergerakan pembaharuan Islam dimulai dengan pertemuan Syeikh Muhammad


Abduh ( 1849 -1905) dengan Jamaluddin Al-Afghani (1838- 1897), maka mareka memperluas
studi meliputi Filsafat dan Ilmu sosial politik. Pada awal ilmu ini tidak di gemari oleh tokoh-
tokoh agama, namun setelah menyadari bahwa kepentingan ilmu-ilmu tersebut untuk agama,
mareka menyadari problem terjadi dimasa ini akibat kekakuan pemikiran kaum muslimin.
Mareka harus bisa membedakan mana diantara pengalaman agama yang bisa dirubah dan mana
pula yang tidak bisa dirubah, metode untuk mewujudkan perubahan adalah dengan meyakinkan
kaum muslimin untuk tidak menyerah dalam keputusasaan dan kehancuran.

Salah seorang yang sangat peduli terhadap kondisi umat Islam dan berusaha sekuat tenaga
untuk memajukan kembali umat Islam adalah Sayyid Jamaluddin Al-Afghani yang di kenal
dalam dunia Islam sebagai seorang Mujaddid dan Mujahid. Dia sangat banyak merubah cara
berpikir umat Islam terutama sekali pada muridnya Muhammad Abduh, semangat dan udara baru
yang ditiupkan Sayyid Jamaluddin Al-Afghani kepada muridnya membuatnya sadar akan
tanggung jawab terhadap kemajuan umat Islam.

Pada tulisan ini kami para penulis berkeinginan melakukan kajian terhadap pemikiran
Sayyid Jamaluddin Al-Afghani dalam mewujudkan pembaharuan pemikiran di dunia Islam
terkhusus pemikiran kalam modern yang dikemukakannya, dalam hal ini diperlukan adanya
gambaran biografi dan ide pembaharuan serta karyanya.

B. Kajian Pustaka

1. Riwayat Hidup Al-Afghani Dan Karyanya

Nama lengkapnya Sayid Jamaluddin Al-Afghani, lahir di Asadabad pada tahun 1255 H/
1838 M, wafat pada tahun1315 H/ tanggal 9 Maret 1897 di Istanbul. Gelas Sayid menunjukkan
bahwa ia berasal dari keturunan Husain bin Ali bin Abi Thalib. Di samping nama Al-Afghani, ia
juga dikenal dengan nama Asabadi. Nama al-Afghani dinisbahkan kepada negeri kelahirannya,
ia lahir dari keluarga penganut Madzhab Hanafi .

Tentang tempat kelahirannya terdapat dua versi. Menurut pengakuannya bahwa ia


dilahirkan di As’adabad dekat kanar wilayah kabul Afghanistan. Menurut pendapat yang lain
bahwa ia lahir di As’adabad dekat hamadan wilayah persia. Al- Afghani mengaku orang
Afghanistan untuk menyelamatkan diri dari kesewenang- wenangan penguasa Persia. Menurut
Majid Fakhry, bahwa Al-Afghani dilahirkan di Asadabad Persia, kemudian hijrah dengan
keluargannya ke Qazwin dan kemudian ke Teheran, di situ ia belajar di bawah asuhan Aqashid
Shadiq, Teologi Syi’ah yang sangat terkemuka saat itu Teheran. Ayahnya bernama Sayid
Shaftar, satu di antara keturunan itu yang amat dihormati di negeri Afganistan. Silsilah keturunan
itu ditengahnya bertemu dengan perawi hadis yang masyhur, yaitu Sayid Ali At-Turmuzi dan di
antaranya sampailah kepada Husain Bin Abi Thalib.
Ali Rahnema mengemukakan bahwa tak ada sumber primer yang mendukung bahwa
tempat lahir atau besarnya Al-Afghan, tetapi banyak sumber yang mengatakan ia lahir dan
mendapat pendidikan syi’ah di Iran. Hal ini didukung dengan banyak tulisan tentang Al-Afgani
yang memperlihatkan bahwa Al-Afghani mendapat pendidikan di Iran dan hampir pasti di kota-
kota suci Syi’ah di Irak, dia piawai dalam filsafat islam dan dalam syi’ah dalam madzhab
Syaikhi yang merupakam ragam Syi’ah yang sangat filosofis pada abad kedelapan belas dan
kesembilan belas.

Al-Afghani dikenal dengan seorang banyak melakukan pengembaraan. Dari Teheran ia


pindah ke al-Najd di Irak, pusat studi keagamaan Syi’ah , disitulah ia menghabiskan waktunya
selama empat puluh tahun sebagai murid Murtadha al- Anshari, seorang teologi dan sarjana yang
terkenal. Pada tahun 1853 ia melawat ke India, dimana ia diperkenalkan dengan studi-studi ilmu-
ilmu Eropa. Ada waktu selanjutnya ia melakukan perlawatan ke berbagai negara di dunia, seperti
Hijaz, Mesir, Yaman, Turki, Russia, Inggris, dan Perancis. Salah satu yang paling berkesan dari
perjalanannya ini adalah kunjungan ke Mesir pada tahun 1869 dan di negeri ini ia memulai
memunculkan pemikiran pembaruan.

Al-Afghani seorang refornis dan modernis, dikenal pula sebagai seorang yang pernah aktif
dalam dunia politik. Hal ini dibuktikan pada tahun 1876 ia bergabung dengan para politikus di
Mesir pada tahun 1879 membentuk suatu partai politik dengan nama Hizb al-Wathani (partai
Kebangsaan). Dengan partai ini ia berusaha menanamkan kesadaran nasionalisme dalam diri
orang-orang mesir. Al- Afghani juga diakui sebagai seorang filosof, jurnalis dan sufi, namun
yang lebih banyak dipublikasikan adalah sebagai seorang politikus.

Karena berbagai ide pembaruan yang dimunculkannya, maka ia sering mendapat tekanan
bahkan dipenjara oleh para pengusaha yang tidak setuju terhadap ide yang diperjuangkannya.
Hal itu menimbulkan adanya mitos di seputar kematiannya, bahwa ia meninggal akbat diracuni
oleh Sultan. Namun bukti yang terdokumentasi dengan baik menyatakan bahwa Al-afghani
meninggal akibat penyakit kanker di dagunya . Dan pernah dioperasi .

2. Usaha Pembaruan Dan Karya Al-Afghani

Dengan luasnya wawasan ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh Al-Afghani yang
didapatnya dari sejumlah gurunya dan banyaknya pengalaman yang ia dapakan dari hasil
perlawatannya ke berbagai wilayah di penjuru dunia, maka munculah ide dan kemauan yang
sangat kuat untuk mengadakan pembaruan di dunia islam.

Salah satu latar belakang kultural yang mempengaruhi pemikiran Al- Afghani dalam
menggagas ide pembaruan adalah keterpurukan dunia islam (umat islam) dalam berbagai aspek
kehidupan, terjadi perpecahan atau disintegrasi hampir di semua wilayah kekuasaan islam, umat
islam telah meninggalkan ajaran islam yang sebenarnya, kuat berpegang pada taklid, bersifat
fatalistis dan melupakan ilmu pengetahuan. Hal ini terjadi sebagai akibat adanya kolonialisme
dan imperialisme yang dilakukan oleh dunia barat seperti Inggris dan Russia terhadap dunia
Islam. Pengaruh barat ini menimbulkan adanya kediktatoran dan depotisme oleh para raja dan
sultan di dunia Islam.

Gambaran kemunduran dan keterpurukan umat islam pada saat itu pernah dideskripsikan
dalam sebuah tulisan dengan judul “Masa lalu umat dan masa kininya, serta pengobatan bagi
penyakit-penyakitnya” yang diterjemahkan dan diedit oleh Nurcholish Madjid dalam buku yang
berjudul Khazanah Intelektual Islam. Dalam tulisan itu Al-Afghani menyebut bahwa umat Islam
pernah mengalami kemajuan dan kejayaan namun kondisi itu lenyapdan sirna setelah umat Islam
tidak memperpegang Al-Quran dan sunnah Nabi Muhammad SAW, secara konsekuen, hidup
penuh dengan taklid dan mengikuti tahyul dan bid’ah.

Al-Afghani menggambarkan kondisi umat islam sebagai seorang yang terserang banyak
penyakit. Oleh karena itu untuk dapat menyembuhkannya haruslah mengetahui macam penyakit
yang diderita, kemudian memilih alternatif pengobatan dan usaha penyembuhan. Hal itu
dinyatakannya tidaklah sesuatu hal yang mudah dan gampang dilakukan.Pada bagian akhir
tulisan itu, Al-Afghani mengherankan atas Ungkapan masyarakat bahwa prinsip-prinsip agama
yang benar adalah hasil yang terbebas dari berbagai bid’ah hasil ciptaan (manusia),maka akan
tumbuh pada umat kekuatan persatuan, keserasian kekompakkan, serta sikap lebih
mementingkan kehormatan ( umat) di atas kenikmatan hidup, membangkitnya untuk memiliki
keluhuran budi, meluaskan ruang lingkup pengetahuan dan mengantarkan ke puncak peradaban
yang tertinggi.

Usaha yang dilakukan oleh Al-Afghani dalam mewujudkan pembaruan ialah menyebarkan
ide-ide pembaruan kepada segenap lapisan umat islam. usaha dimaksud dilakuakan dengan
berbagai cara, antara lain: pertama, melalui pengajian yang diadakan di rumahnya di jalan Khan
Halili yang dihadiri oleh para ulama terkemuka seperti Syekh Muhammad Abdullah, Syekh
Abdul Kairm Salman, Syekh Ibrahim al-laqani, Sa’ad Zaglul dan lain-lain, dengan pembahasan
kitab- kitab politik, tasawuf, logika, dan filsafat. Cara kedua melalui ceramah-ceramah dan
diskusi yang sifatnya intelektual di frum persaudaraan, pada umumnya dihadiri oleh kalangan
sastrawan, seniman, budayawan, politikus dan agamawan, dengan pembahasan di sekitar sastra
dan perjuangan bangsa. Di sini ia berusaha membelokkan arah orientasi sastra yang pada saat itu
terarah kepada keagungan dan gemetrlapan kalangan atas (aristoktar) ke arah kalangan bawah
yaitu rakyat dengan segala penderitaan, keterbelakangan, dan kemiskinan.

Pada tahun 1883 ketika berada di Paris, Al-Afghani mendirikan suatu perkumpulan yang
diberi nama al-‘Urwah al-Wusqa (Ikatan Yang Kuat) yang anggotanya terdiri atas orang-orang
Islam dari India, Mesir, Suriah, Afrika Utara dan lain-lain. Perkumpulan bertujuan, antara lain
memperkuat rasa persaudaraan Islam. membela Islam dan membawa umat Islam kepada
kemajuan. Sebagai sarana untuk menyampaikan ide-ide dan kegiatannya, Al-Afghani bersama
Muhammad Abduh menerbitkan majalah berkala, yang diberi nama al-‘Urwah al-Wusqa sama
dengan nama organisasi persaudaraan Islam (Ikatan Yang Kuat). Majalah ini hanya berumur
delapan bulan karena dunia barat melarang pengedarannya di negeri- negeri Islam. Majalah ini
dinilai akan menimbulkan semangat dan persatuan orang- orang Islam.

Di antara tulisan Al-Afghani dalam majalah al-‘Urwah al’Wusqa adalah membahas


tentang beberapa ayat Al-Qur’an yang berhubungan tema-tema pembaruan yang
diperjuangkannya, antara lain tentang:

1. Berpegang dengan agama Allah dan tidak bercerai berai (li Imran:103 dan 105).
2. Jangan mengambil orang di luar islam untuk menjadi teman kepercayaan sendiri. (Ali
Imran: 118)
3. Jangan takut mati karena kematian pasti ditemui (Al-Nisa:78)
4. Taatlah kepada llah dan jangan bercerai berai (Al-Anfal :46).
5. Allah tidak mengubah nasib suatu kaum kecuali mereka berusaha merubahnya(al-Ra’d:11)
6. Orang yang beriman akan mendapat ujian keimanan(al-Ankabut:2).
7. Sunnatullah berlaku pada umat terdahulu dan sunnatullah tidak berubah (Al- Ahzab:62).
8. Umat Islam harus saling memperingati karena peringatan bermanfaat bagi orang-orang
beriman (al-Zariyat:55).
9. Bertawakal dan bertobat hanya kepada Allah (al-Mumtahanah:4).
10. Allah tidak akan menzhalimi manusia, kecuali mereka menzhalimi diri sendiri (al-
Baqarah:57).

Usaha pembaruan yang dilakukan al-Afghani selain yang dikemukakan di atas adalah
membuat karya tulis baik berupa buku atau artikel. Salah satu karya Al- Afghani yang berbentuk
buku yang diterbitkan adalah Al-Radd’ala al-Dahriyin yang aslinya ditulis dalam bahasa Presia.

Karya-karya lainnya : (1) Bab ma Ya’uiu Ilaihi Amr al-Muslimin (Pembahasan tentang
sesuatu yang melemahkan Orang-orang Islam), (2) Makidah al-Syarqiyah (Tipu Muslihat
Orientalis), (3) Risalah fi al-Raddu ‘Ala al-Masihiyin (Risalah Untuk Menjawab Golongan
Kristen : 1895), (4) Diya’ al-Khafiqain (Hilangnya Timur dan Barat;1892), (5) Haqiqah al-Insan
wa Haqiqah al-Watham (Hakikat Manusia dan Hakikat Tanah Air;1878).

3. Ide Pembaruan Dan Pemikiran Kalam Tentang Takdir Jamaluddin Al Afghani

Ide pembaruan dan pengembangan pemikiran kalam yang diperjuangkan oleh Al-Afghani
didasari atas keyakinan bahwa agama Islam sesuai untuk semua bangsa, zaman dan keadaan.
Tidak ada pertentangan antara ajaran islam dan kondisi yang disebabkan perubahan zaman.
Kalau kelihatan ada pertentangan antara keduanya, dilakukan penyesuaian dengan mengadakan
interprestasi baru terhadap ajaran-ajaran islam yang tercantum dalam Al-Qur’an dan Hadis.
Untuk mencapai hal itu dilakukan ijtihad dan pintu ijtihad menurutnya masih tetap terbuka.
Ide yang lebih dahulu diperjuangkannya adalah mempersatukan dunia islam, umat Islam di
seluruh penjuru dunia harus bersatu dalam menghadapi serangan pihak Barat. Nikki R.Keddie
memberikan komentar bahwa Sayyid Jamaluddin Al-Afghani adalah perintis modernisme Islam
khususnya aktivisme antiimperialis. Dia menganjurkan, memperjuangkan dan mempertahankan
persatuan Pan-Islam, karena hal itu merupakan sarana untuk memperkuat dunia muslim
menghadapi Barat.

Al-Afghani bersemangat untuk mewujudkan umat Islam yang kuat, dinamis dan maju. Ide
yang diajukan untuk bisa mewujudkan hal itu ialah dengan melenyapkan pengertian yang salah
yang dianut oleh umat Islam dan kembali kepada ajaran Islam yang sebenarnya. Menurut dia
Islam mencakup segala aspek kehidupan, baik ibadah, hukum, maupun sosial. Corak
pemerintahan autokrasi harus diubah dengan corak pemerintahan demokrasi dan persatuan umat
Islam harus diwujudkan kembali. Kekuatan dan kelanjutan hidup umat Islam tergantung kepada
keberhasilan membina persatuan dan kerjasama.

Pemikiran lain yang dimunculkan oleh Al-Afghani ialah idenya tentang adanya persamaan
antara pria dan wanita dalam beberapa hal. Wanita dan pria sama dalam pandangannya,
keduannya mempunyai akal untuk berfikir. Ia melihat tidak ada halangan bagi wanita untuk
bekerja di luar jika situasi menuntut untuk itu. Para wanita hendaknya berusaha untuk meraih
kemajuan dan mampu bekerja sama dengan pria untuk mewujudkan umat Islam yang maju dan
dinamis.

Pada aspek lain secara umum Al-Afghani memunculkan pemikiran untuk mengangkat
peran Al-Qur’an dan Hadis Rasulullah SAW. Dia melihat bahwa umat Islam pada saat itu tidak
banyak memahami Al-Qur’an dan Hadis, sehingga pemikiran dan tindak tanduk mereka keluar
dari garis-garis Al-Qur’an. Karena tidak memahami Al-Qur’an dengan benar maka umat Islam
mudah terjerumus ke dalam berbagai paham yang menyesatkan, serta paham jabariyah yang
tidak percaya diri dan cenderung meninggalkan usaha, paham sofistik yang tidak mengakui
dunia nyata, berbagai ajaran tasawuf yang mengerjakan khalwat, uzlah dan fana yang membawa
kelemahan bagi umat Islam.

Sebagai seorang pemikir di bidang kalam atau teologi, Al-Afghani melalui karyannya Al-
Radd ‘ala al-Dahriyyin (Penolakan Terhadap Kaum Materialis atau Naturalis) telah mengadakan
penolakan terhadap filsafat materialis dan naturalis yang tak bertuhan. Kemudian ia mengajukan
sumbangan pemikiran yang tak ternilai hargannya dalam usaha mencapai peradaban dan
kemajuan. Al-Afghani menjelaskan bahwa agama mengajarkan kepada manusia tiga kebenaran
fundamental: (1) sifat malaikat atau spiritrual manusia yang merupakan tuan segala makhluk; (2)
kepercayaan setiap umat beragama kepada keunggulannya sendiri atau segala kelompok yang
lainnya; dan (3) kesadaran bahwa kehidupan manusia di dunia ini hanyalah semata-mata suatu
persiapan bagi kehidupan lain yang lebih tinggi yang sama sekali bebas dari segala penderitaan
dan yang pada akhirnya manusia ditakdirkan menghuninya. Ketiga kebenaran fundamental
dimaksud dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Kebenaran pertama, akan menimbulkan dorongan yang kuat dalam diri manusia untuk
mengalahkan bermacam ragam kecendrungan hewani, dan mewujudkan hidup damai dan rukun
sesama manusia.

2. Kebenaran kedua, akan membangkitkan semangat daya saing dalam rangka mewujudkan
kehidupan individu dan masyarakat sesuai dngan kebenaran itu. Mereka akan senantiasa
berusaha memperbaiki nasib mereka dalam berbagai aspek kehidupan hingga mencapai
peradaban yang tinggi.

3. Kebenaran ketiga, akan membangkitkan suatu dorongan untuk menyempurnakan pandangan


hidup kedunia yang lebih tinggi, kemana akhirnya mereka akan kembali, untuk membersihkan
diri sendiri dari segala kejahatan dan kebencian dan untuk hidup sejalan dengan aturan
permainan, keadilan dan cinta.

Selain dari ketiga macam kebenaran yang dikumukakan di atas, Al-Afghani menjelaskan
juga bahwa agama telah menanamkan dalam diri pemeluknya tiga karakter, yaitu: (1)
Kerendahan hati, hal ini akan dapat memelihara diri dari semua tindakan jahat dan mendorong ke
arah tobat; (2) jujur, hal ini merupakan benteng bagi suatu negara hukum yang sehat; dan
(3)dapat dipercaya, tanpa sifat ini maka perhimpunan manusia pada hakikatnya tidak mungkin
terjadi.

Kepercayaan agama yang sejati, katanya, harus dibangun diatas demonstrasi yang kokoh
dan pembuktian yang sah, ketimbang angan-angan atau opini para pendahulu kita. Keunggulan
Islam terletak pada kenyataan bahwa ia memerintahkan para pemeluknya untuk tidak menerima
segala sesuatu tanpa pembuktian dan memperingatkan mereka agar tidak tersesat oleh angan-
angan atau pikiran-pikiran spontan.

Salah satu statemen Al-Afghani dalam Al-Radd ‘ala al-Dahriyyin yang dikutip oleh Majid
Fakhry sebagai berikut: Agama ini memerintahkan para pemeluknya untuk mencari suatu dasar
yang demonstratif bagi dasar-dasar kepercayaan. Oleh karena itu ia selalu menyebut-nyebut akal
dan mendasarkan aturan-aturannya padanya. Naskah-naskahnya dengan jelas menyatakan bahwa
kebahagiaan manusia merupakan hasil (produk) akal dan pengetahuan dan bahwa penderitaan
atau keterkutukan akibat kebodohan, tidak memperdulikan akal dan padanya cahaya
pengetahuan.

Kemunduran umat Islam bukanlah karena Islam, sebagaimana dianggap, tidak sesuai
dengan perubahan zaman dan kondisi baru. Ketertinggalan atau keterbelakangan umat Islam
karena telah meninggalkan ajaran Islam yang sebenarnya dan mengikuti ajaran-ajaran yang
datang dari luar lagi asing bagi Islam.

Ajaran-ajaran islam yang sebenarnya hanya tinggal dalam ucapan dan di atas kertas.
Sebagian dari ajaran-ajaran asing itu dibawa orang-orang yang berpura- pura besikap suci,
sebagian lain adalah orang-orang yang mempunyai keyakinan- keyakinan yang menyesatkan dan
sebagian lagi dari hadis-hadis buatan.

Paham takdir dalam beberapa pandangan aliran mengatakan seperti aliran jabariah
qadariyah mu’tazillah. Takdir secara umum yang di pakai oleh bangsa Arab yaitu paham yang
mengatakan bahwa nasib manusia telah di tentukan dan terlebih dahulu. Dalam perbuatan
perbuatannya manusia hanya bertindak menurut nasib yang telah di tentukan semenjak ajal
terhadap dirinya. Masyarakat Arab sangat di pengaruhi oleh faham fatalis, kehidupan bangsa
Arab saat itu sangat sederhana jauh dari pengetahuan mareka selalu terpaksa untuk mengalah
pada keganasan alam, panas yang menyengat serta tanah dan gunung yang gundul, mereka
merasa dirinya lemah tidak mampu menghadapi kesukaran hidup yang di timbulkan oleh
lingkungan sekitarnya.

Paham takdir dalam pandangan qadariyah bukan dalam pengertian takdir yang umum yang
dipakai oleh bangsa Arab. Menurut aliran ini paham takdir adalah ketentuan Allah yang
diciptakan-Nya berlaku untuk alam semestabeserta seluruh isinya semenjak ajal yaitu hukum
yang dalam istilah Al-quran adalah sunnatullah 25 pada dasar aliran ini menyatakan bahwa
segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri, manusia dalam hal ini
mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatannya atas kehendaknya sendiri, baik
berbuat baik maupun berbuat jahat, oleh karena itu ia berhak mendapatkan pahala atas kebaikan-
kebaikan yang dilakukan dan berhak pula memperoleh hukuman- hukuman atas kejahatan
kejahan yang dilakukan, dalam kaitan ini apabila seseorang diberi ganjaran baik dengan ganjaran
surga maupun diberi ganjaran siksa dengan balasan neraka kelak di akhirat berdasarkan pilihan
pribadinya, bukan oleh takdir Tuhan. Sungguh tidak pantas manusia menerima siksaan atau
tindakan salah yang dilakukan bukan atas keinginan dan kemampuannya.

Secara alamiah, memang manusia memiliki takdir yang tidak dapat diubah, manusia
dalam dimensi fisiknya tidak dapat berbuat lain kecuali mengikuti hukum alam, contohnya
manusia ditakdirkan mempunyai kaki untuk berjalan dan tidak menpunyai sayap seperti sayap
yang dimiliki burung untuk terbang, demikian pula manusia ditakdirkan tuhan tidak mempunyai
kekuatan seperti kekuatan gajah yang mampu mengankat barang yang berat, namun manusia di
takdirkan mempunyai daya pikir yang aktif dan kreatif. Dengan daya pikir yang kreatif dari
anggota tubuh lainnya dapat dilatih terampil sehingga manusia dapat tampil membuat
sesuatu,mampu meniru yang dimiliki oleh kemampuan makhluk yang lain seperti terbang di
udara seperti burung, berenang di air seperti ikan, dan dengan daya pikirnya kemampuan yang
ada padanya manusia bahkan mampu membawa barang seberat barang yang di bawa gajah
bahkan lebih dari itu. Maka terlihatlah disini semakin besar wilayah kebebasan yang dimiliki
manusia.

Paham Al-Afghani tentang takdir maka dia memberikan contoh tentang paham Qadha
terlebih dahulu, Qadha yaitu ketentuan Allah yang tercantum di lauh mahfuz/belum terjadi dan
qadar adalah ketentuan Allah yang telah terjadi dipahami menurut konsep jabariyah (fatalisme).
Paham itu menjadikan umat Islam tidak mau berusaha dengan sungguh-sungguh dan bekerja
lebih giat. Menurut pemikiran Al- Afghani, qadha dan qadar mengandung pengertian bahwa
segala sesuatu terjadi menurut sebab musabbab (kausalitas). Menurut dia bahwa kemauan
manusia sendiri merupakan salah satu mata rantai sebab-musabbab itu. Pada masa klasik
keyakinan umat Islam pada qadha dan qadar menjadi faktor pendorong keberanian dan kesabaran
dalam jiwa umat Islam untuk menghadapi segala bentuk bahaya dan kesukaran. Karena
kepercayaan itu maka umat Islam di masa yang silam bersifat dinamis dan dapat menimbulkan
peradaban yang tinggi.

Pemikiran tentang sebab-musabbab lebih diperjelas lagi dengan ungkapan kata taqdir dan
ikhtiar. Percaya kepada taqdir Ilahi, baik dan buruk semuanya datang dari Allah SWT. telah
menyebabkan timbulnya rasa pasif dan menyerah saja secara total. Hal ini menyebabkan umat
Islam menjadi pemalas dan menerima nasib malang dengan tidak berusaha untuk membebaskan
diri dari kemalangan dan berusaha untuk meraih yang lebih baik, hingga timbul kemelaratann,
kemiskinan, kezhaliman dan lain-lain, yang semuanya disandarkan kepada taqdir.

Al-Afghani sebagai seorang muslim mengakui bahwa kepercayaan kepada taqdir adalah
kepercayaan asasi. Kalau tidak ada kepercayaan kepada taqdir maka telah kehilangan salah satu
tonggak dari iman. Kepercayaan itulah yang menyebabkan umat islam pada zaman dahulu, Nabi
dan para sahabat serta salafu al-Shalih dapat maju dan mencapai zaman kekemasan. Mereka
dapat mengalahkan berbagai rintangan musuh, menguasai beberapa wilayah di belahan dunia
dengan semangat tidak takut mati. Bagi mereka hidup dan mati sama-sama sangat berharga
dalam rangka menegakkan agama Allah.

Percaya kepada takdir adalah pengakuan adanya hukum sebab akibat, adanya
persambungan dengan apa yang ada sekarang dengan yang akan datang. Manusia mempunyai
kemauan sendiri atau iradat yang bebas, dengan tidak melupakan hubungan kebebasan pribadi
itu dalam lingkungan kebebasan Allah SWT. Dengan ungkapan lain bahwa takdir kecil yang ada
pada manusia tetap berada dalam lingkup takdir besar pada Allah, pengatur maha besar dan
maha bijaksana. Sebuah contoh tentang pemahaman takdir yang dikemukakan diatas adalah :
apabila seseorang akan dirampas harta bendanya secara paksa, maka ia tidak dengan serta merta
begitu saja menyerahkannya, karena sudah “takdir”, tetapi berusaha untuk menyelamatkannya.
Apabila seseoranga diancam akan dibunuh maka ia tidak diam menyerah, karena sudah “takdir”,
tetapi berusaha menghindar atau lari sebagai ikhtiar melepaskan diri dari kematian. Bagi Al
Afghani , Dia menentang keras paham taklid, karena umat Islam mundur karena tidak menikuti
perkembangan zaman, Gaung pradaban Islam klasik masih melenakan mereka, sehingga tidak
menyadari bahwa pradaban baru timbul dengan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi ,
inilah penyebab utama bagi kemajuan Barat.

Pemikiran kalam yang berhubungan dengan sufisme yang menjadi sorotan Al-Afghani
ialah paham fana dan baqa. Sebagian dari kaum sufi memahami hal itu dengan melenyapkan diri,
meniadakan diri sendiri, menyatu dengan Tuhan, yang ada sebenarnya hanya Tuhan. Pemahaman
seperti itu membuat orang meninggalkan kehidupan duniawi, mengasingkan diri dari keramaian
masyarakat, mengkhususkan diri semata beribadah kepada Allah. Hal itu dilakukan dalam
rangka mencapai fana dan baqa.

Al-Afghani berkesimpulan bahwa pemahaman seperti itu bukan dari ajaran Islam dan
menimbulkan kemunduran umat Islam. menurut Al-Afghani pengertian fana yang sebenarnya
ialah berjuang di tengah masyarakat untuk kepentingan masyarakat itu sendiri dengan tidak
menampakkan diri sendiri dan tidak merasa lebih adanya diri. Fana adalah adanya hubungan
dengan Allah dan hubungan dengan masyarakat. Diri yang diperkuat oleh hubungan dengan
Tuhan, maka ia akan mendapatkan nur ilahi dan jiwa inilah yang dibawa ke tengah masyarakat
dan ditiadakan (fana) di tengah masyarakat.

C. Pembahasan

Ilmu pengetahuan akan mengalami krisis ketika teori –teori yang di bangun tidak dapat lagi
menjelaskan fakta-fakta yang ada, dalam situasi krisis seperti inilah para ilmuan akan melakukan
revolusi dan inovasi pemikiran sehingga melahirkan paradigma baru, dewasa ini terlihat jelas
krisis yang dialami oleh sains modern yang didominasi oleh paradigma berpikir yang kritis,
rasional, sehingga dialitika ilmu pengetahuan hanya bergerak untuk menguji teori atau
memverifikasinya bukan menghasilkan satu perspektif baru dari ilmu pengetahuan. Perspektif
baru tersebut tercapai bila cara pandang subjek maupun objek dapat dilampaui atau diketahui.

Paradigma pemikiran Islam yang menurut laporan sejarah mengalami perkembangan dari
zaman ke zaman, karena itu tulisan ini untuk merumuskan kontruksi pemikiran pembaharuan
Jamaluddin Alafghani yang berhubungan tentang Qada’dan Qadar (takdir) dengan analisis
historis induktif dengan merumuskan suatu teori atau pemikiran,sehingga di kemukakan
pemikiran pemikiran Al-Afghani tentang pemikiran Kalam mengenai Takdir.

Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa latar belakang lahirnya ide pembaharuan yang
termasuk di dalamnya pemikiran kalam modern dari Jamaluddin Al-Afghani bisa disorot dari
faktor kultural dan struktural. Pada faktor kultural tampak pada saat itu terjadinya disintegrasi di
kalangan umat islam. kondisi umat Islam yang sangat mengutamakan taklid dan mematikan
semangat ijtihad serta fanatisme terhadap mazhab dalam fiqh dan aliran dalam teologi sangat
kuat. Dalam persoalan kalam, pengaruh paham jabariyah yang dipahami sebagai ajaran yang
fatalistis total lebih mendominansi pemikiran umat islam. Disisi lain, konsep fana dan baqa
dalam sutisme dipahami dengan pendekatan yang anti pati dengan kenyataan kehidupan duniawi
dan hanya mengutamakan mengkonsentrasikan diri pada uzlah (mengasingkan diri/ menyendiri)
dan Ibadah untuk dapat mencapai fana dan baqa pada Tuhan. Adapun faktor struktural dapat
dilihat pada dua hal: Pertama bahwa banyak wilayah kekuasaan pemerintahan Islam yang berada
di bawah imperialisme dan kolinialisme dunia barat terutama Inggris dan Prancis. Kedua bahwa
para sultan yang berkuasa menjalankan sistem pemerintahan otokrasi, berkuasa mutlak dan
bertindak sewenang-wenang masyarakat atau rakyat tidak sama sekali ikut dalam memilih
pemimpin. Dan juga terjadi persaingan dan perebutan kekuasaan antar sultan.

Pendekatan yang dilakukan dalam memperjuangkan ide pemikiran adalah Pan-Islamisme


dan nasionalisme. Dengan cara ini diyakini akan dapat menimbulkan semangat anti terhadap
campur tangan pihak Barat terhadap dunia Islam dan berusaha mengangkat derajat umat Islam
dari berbagai ketertinggalan. Al-Afghani tidak menonjolkan paham yang dianutnya, oleh karena
itu ada kelompok yang mengatakan bahwa ia adalah seorang sunni dan ada pula kelompok yang
mengatakan bahwa ia adalah seorang syi’ah.

Pemikiran kalam modern yang diketengahkan oleh al-Afghani tidak mencakup semua
termasuk kalam yang diperbincangkan oleh mutakallimin pada masa sebelumnya. Ia hanya
menyorot dan merekonstruksikan pemahaman qadha dan qadar (takdir) yang fatalistis dan statis
menjadi bentuk pemahaman yang dinamis dan bersemangat modernis. Ia juga melakukan hal
yang sama terhadap pemahaman fana dan baqa dalam sufisme yang diaktualisasikan dengan arti
pasti bahkan menjauhi kenyataan kehidupan dunia (uzlah) menjadi pemahaman yang berisi
semangat memperjuangkan kesejahteraan masyarakat, bergaul dan berjuang bersama
masyarakat. Ia berpendapat bahwa iman terhadap takdir adalah salah satu elemen dasar dalam
teologi yang tidak perlu ditinggalkan, namun harus dipahami dengan pemahaman yang benar
yang memberikan dorongan positif untuk mencapai kebahagiaan kehidupan manusia baik di
dunia dan akhirat.

Al-Afghani tidak menyatakan dirinya sebagai menganut dan pendukung salah satu aliran
dari beberapa aliran kalam, namun dalam pemikiran kalam menurut pandangan penulis dia ada
kecendrungan pada metode salaf, yakni lebih mengutamakan dan mendahulukan dasar naqli
daripada dasar akli (rasio). Al-Afghani berpendapat bahwa dalil naqli (Al-Qur’an dan hadis)
tidak bertentangan dengan akal apabila terjadi pertentangan maka dilakukan reinterprestasi
terhadap interprestasi lama, dengan tidak menghilangkan subtansi yang terkandung dalam dalil
naqli. Sehubungan dengan itu menyatakan bahwa pintu ijtihad tetap terbuka ia berpendapat
bahwa untuk mencapai kemajuan dalam segala bidang umat Islam harus kembali kepada Al-
Qur’an dan Hadis

Sehubungan dengan itu umat Islam harus mempercayai (beriman) kepada qadha dan qadar
(takdir) Allah sebagai suatu hal yang fundamental dalam beragama. Untuk mencapai kemajuan
dalam berbagai bidang kehidupan umat Islam tidak harus meninggalkan kepercayaan terhadap
takdir Allah. Dalam hal ini Al-Afghani tampaknya ada kecendrungan pada paham Qadariyah
yang mengakui adanya kekuatan dan kemampuan manusia dalam berbuat. Al-Afghani mengakui
adanya kemampuan berbuat pada diri manusia namun tidak berarti bebas dari hubungan dengan
kekuasaan Allah. Menurut ungkapannya bahwa kudrat kecil yang dimiliki oleh manusia tidak
bisa lepas hubungannya dengan kudrat besar yang ada pada Allah. Takdir haruslah dipahami
sebagai hukum sebab akibat apa yang dilakukan sekarang akan berakibat pada akan datang.
Tidak tepat apabila takdir dipahami dengan sifat fatalis secara total
Pemikiran AL-Afghani tentang sufisme khusus pada ketentuan fana dan baqa tampak
adanya pemikiran yang relatif modern. Hal ini jika dilihat dari aspek kandungan pemahaman
yang membawa pada kemajuan kehidupan duniawi maka tampak perbedaan yang signifikan
dengan pemahaman (sebelumnya) yang memahaminya dengan langkah meninggalkan kehidupan
duniawi untuk mencapai fana dan baqa.

Sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern yang bercirikan
rasionalisme, apalagi jika dihubungkan dengan kekalahan dan kemunduran umat Islam dalam
arena politik dan ekonomi, Bangsa Eropa yang menganut rasionalisme setelah masa pencerahan
terus menerus mengalami kemajuan dalam berbagai bidang, sedangkan umat Islam makin
terpuruk akibat konflik internal yang berkepanjangan, maka pencerahan Pemikiran kalam
modern yang dikemukakan oleh Al-Afghani ini masih relevan untuk diaktualisasikan oleh umat
Islam masa kini bahkan mungkin masa akan datang. Konsep yang dimunculkan disemangati oleh
persatuan umat Islam dengan tidak mengemukakan atau mengunggulkan dan memihak pada
salah satu paham atau aliran yang pernah muncul pada masa sebelumnya.

D. Kesimpulan

Pemikiran kalam modern yang diketengahkan oleh al-Afghani tidak mencakup semua term
kalam yang diperbincangkan oleh mutakallimin pada masa sebelumnya. Ia hanya menyorot dan
,merekonstruksikan pemahaman qadha dan qadar (takdir) yang fatalistis dan statis menjadi
bentuk pemahaman yang dinamis dan bersemangat modernis. Takdir yang di tawarkan oleh Al-
Afghani bukanlah paham qadariyah yang berpendapat bahwa segala tingkah laku manusia
berkuasa atas perbuatannya, manusia yang melakukan baik atas kehendak maupun kekuasaaanya
dan manusia pula yang menjauhi perbuatan-perbuatan jahat atas kemauaan dan dayanya,
manusia hidup memiliki daya selagi manusia mempunyai daya ia berkuasa atas segala
perbuatannya.

Jamaluddin Al-Afghani juga tidak menawarkan paham takdir yang ada pada paham
jabariyah yaitu paham yang mengatakan bahwa nasib manusia telah di tentukan terlebih
dahulu.Dalam perbuatan-perbuatannya manusia hanya bertindak menurut nasib yang telah di
tentukan semenjak ajal terhadap dirinya.Secara alamiah memang manusia memiliki takdir yang
tidak dapat diubah, manusia dalam dimensi fisiknya tidak dapat berbuat lain kecuali mengikuti
hukum alam, namun manusia di takdirkan mempunyai daya pikir yang kreatif dan inovatif
sehingga manusia bisa berkembang maju , dinamis, aktif dan kreatif.

Ia juga melakukan hal yang sama terhadap pemahaman fana dan baqa dalam sufisme yang
mana kehidupan masyarakat menjauhi kehidupan kenyataan dengan beruzlah, pasif menerima
apa adanya, mengunkapkan pintu ijtihad telah tertutup dengan memberikan pencerahan
pemikirannya terhadap kaum muslimin pada saat itu dengan kehidupan diaktualisasikan dengan
arti kehidupan pasti bahkan menjauhi kenyataan kehidupan dunia (uzlah) menjadi pemahaman
yang berisi semangat memperjuangkan kesejahteraan masyarakat, dengan pemikiran yang maju
berkembang mengikuti perkembangan zaman dan bergaul serta berjuang bersama masyarakat.

Jamaluddin Al- Af ghani juga berpendapat bahwa iman terhadap takdir adalah salah satu
elemen dasar dalam teologi Islam yang merupakan rukun iman. untuk kesempurnaan iman maka
kaum muslimin perlu untuk menakininya bukan berarti ditinggalkan, namun harus dipahami
dengan pemahaman yang benar yang memberikan dorongan positif untuk mencapai kebahagiaan
kehidupan manusia baik di dunia dan akhirat.
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. Amin. Islamic Studies di Perguruan Tinggi, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2006
Abudin, Nata. Metodologi Studi Islam, Jakarta: Pt.Raja Grafindo Persada, 1999 Agustian, Ary
Ginanjar. Rahasia sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan
Spritual ESQ Emotional Spritual Quotiont. Jakarta: Penerbit Arga, 2001.
Ajid, Tohir. Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam. Jakarta: Grafindo Persada,
2005
Amin, Miska. Epistimologi Islam, Jakarta, Universitas Indonesia, 1983
Annemarie, Scimmel. Dimensi Mistik Dalam Islam. Terjemahan, Sapardi Djoko Pramono,
dkk, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986.
Arif, Syamsuddin. Manipulasi Dalam Kajian Tentang Sufisme. Jurnal Islamia Vol.
III/No. I, 2006.
Fahmi, M. Islam Transendental, Menelusuri Jejak-jejak Pemikiran Kontowijoyo, Yogyakarta:
Pilar Rilegi, 2005
Maksum, Ali. Pluralisme dan Multikulturalisme. Paradikma Baru pendidikan Agama Islam
di Indonesia, Yogyakarta: Aditya Media puslithing, 2011
Mulyati, Sri. Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia.
Jakarta: Kencana, 2006.
Munir, A. dkk. Aliran Modern Dalam Islam, Jakarta: Rineka Cipta 1994
Nasir, Sahilun. A. Pemikiran Kalam, Sejarah, Ajaran dan Perkembangannya, Jakarta, Raja
Grafindo Persada, 2010
Qamar, Mujamil. Pemikiran Islam Metodologis, Model pemikiran Alternatif dalam
Memajukan Peradaban Islam, Yogjakarta: Sukses Offset, Teras, 2012
Rahnema, Ali. ed. Pioneers Of Islamic Revival, Terj, Ilyas Hasan, Para Perintis Zaman Baru
Islam, Bandung: Mizan, 1995
Sani, Abdul. Lintasan Sejarah Pemikiran Perkembangan Modern Dalam Islam, Jakarta:
Grafindo Persada, 1998.
Shihab, Alwi. Membedah Islam di Barat Menepis tudingan meluruskan kesalah pahaman.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2004.
Sholihin, M. dan Anwar, Rosihan. Ilmu Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia, 2008. Soemargono.
Tokoh-tokoh Gerakan Kunci Islam kontemporer, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2002.
Suprayogo, Imam. Membangun Integrasi Ilmu dan Agama dalam Zainal Abidin Baqir dkk,
Bandung: Mizan, 2005

Anda mungkin juga menyukai