Anda di halaman 1dari 6

UNIVERSITAS BENGKULU

FAKULTAS HUKUM

PEMENUHAN HAK-HAK ISTRI PRA DAN PASCA


PERCERAIAN PADA PERKARA CERAI TALAK

(STUDI PUTUSAN PENGADILAN AGAMA LUBUKLINGGAU


KELAS IB NO.710/Pdt.G/2020/PA.LLG)

Oleh :
Athala Novriska
B1A018316

BENGKULU
2021
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Manusia adalah makhluk yang selalu berinteraksi dengan sesamanya, manusia tidak
dapat mencapai apa yang diinginkan dengan dirinya sendiri, oleh karena itu pada pasal
28B ayat (1) Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa “Setiap orang
berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalu perkawinan yang sah.”
Perkawinan itu sendiri ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa hal ini tercantum pada Pasal 1 Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Setelah adanya akad perkawinan
maka banyak sekali berbagai konsekuensi yang timbul sebagai dampaknya. Hubungan
pernikahan juga melahirkan hak-hak baru bagi kedua belah pihak yang sebelumnya tidak
ada. Kewajiban-kewajiban baru tersebut di antaranya kewajiban seorang suami untuk
memberikan nafkah kepada istri.1 Nafkah yang utama yang diberi adalah pemenuhan
kebutuhan pokok kehidupan,yakni makanan, pakaian dan tempat tinggal. Kewajiban
memberi nafkah tersebut memberikan menurut kesanggupannya, hal ini dapat disesuaikan
dengan kebutuhan dan kemampuan agar selaras dengan keadaan dan standar kehidupan
mereka.2
Kewajiban dan tanggung jawab memberikan nafkah ini akan selalu mengikuti
dimanapun seorang suami berada, meskipun seorang suami harus pergi meninggalkan
keluarganya untuk beribadah, kewajiban tersebut tidak pernah gugur dan seorang suami
juga tidak diperbolehkan lalai untuk memberikan nafkah kepada keluarganya, meskipun
istrinya merupakan orang kaya. Apabila suami dengan sengaja melalaikan tanggung
jawabnya terhadap istri dan anaknya dengan tidak memberikan nafkah, maka hal tersebut
merupakan kesalahan dan dianggap perbuatan yang melanggar nilai serta norma agama
dan hukum karena telah melalaikan kewajibannya sebagai seorang suami dan ayah bagi
anak-anaknya. Istri atau anak dapat menuntut hak-haknya tersebut. Jika nafkah tersebut
tidak dapat dipenuhi dan diberikan oleh suami maka istri dapat menuntunya dengan
mengajukan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama.

1
Kisyik, Abdul Hamid, Bimbingan Islam untuk Mencapai Keluarga Sakinah, Bandung: Al-Bayan, 1995,
hlm.128
2
Bahri, Syamsudin, Konsep Nafkah dalam Hukum Islam kanun : Jurnal Ilmu Hukum No.66, Tahun XVII (Agustus
2015), hlm.382
Perceraian merupakan suatu perbuatan yang cenderung tidak disukai (makruh) Allah
SWT. Namun demikan, tidak dapat dipungkiri bahwa memang perceraian itu adalah
sebuah realitas sosial yang memang nyata dalam hubungan suami-istri. Perceraian di
Pengadilan Agama terbagi menjadi dua yaitu Cerai Talak dan Cerai Gugat. 3 Pembedaan
jenis cerai itu berdampak pada perbedaan hak-hak yang diperoleh istri setelah perceraian.
Jika perceraian diajukan oleh suami yaitu Cerai Talak maka mantan suami wajib untuk
memberikan mut’ah yang layak kepada mantan istrinya, baik berupa uang atau benda,
lalu wajib memberikan nafkah,maskan dan kiswah kepada mantan istri selama masa
iddah, melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya dan separuh, memberikan biaya
hadhanan untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun.4

Pada Pasal 39 ayat (2) UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi
“Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan,bahwa antara suami istri itu tidak
akan dapat hidup rukun sebagai suami istri.” Oleh karena itu pada dasarnya perceraian
dapat terjadi karena 1 alasan atau lebih contohnya ketika dalam rumah tangga itu sudah
tidak ada keharmonisan dan terus menerus terjadi perselisihan yang mengakibatkan
tujuan perkawinan tidak dapat terpenuhi. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan
sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil
mendamaikan kedua belah pihak.5

Pengadilan Agama sebagai salah satu lembaga peradilan di Indonesia yang memiliki
kewenangan untuk menangani masalah perceraian bagi warga negara yang beragama
Islam sudah seharusnya memenuhi hak-hak perempuan dalam perkara cerai talak. Selama
berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat,Pengadilan
Agama dapat : a) menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami; b) menentukan
hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak
bersama suami istri atau barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang
menjadi hal istri. 6Ketentuan ini diatur dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 136 ayat (2).

Salah satu Pengadilan Agama yang berwenang untuk mengadili persidangan cerai
talak adalah Pengadilan Agama Lubuklinggau Kelas IB,contoh kasus perceraian yang
ditangani oleh Pengadilan Agama Lubuklinggau Kelas IB yang bernomor perkara

3
Pasal 114 Kompilasi Hukum Islam
4
Pasal 149 Kompilasi Hukum Islam
5
Pasal 115 Kompilasi Hukum Islam
6
Pasal 136 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam
710/Pdt.G/2020/PA.LLG pada gugatan rekonvensinya istri sebagai pihak tergugat yang
dalam hal ini sebagai penggugat rekonvensi menggugat yang pada pokoknya adalah :
1. Nafkah selama masa iddah sejumlah Rp. 30.000,00 (tiga puluh ribu rupiah)
perhari x 3 bulan = Rp. 2.700.000,00 (dua juta tujuh ratus ribu rupiah);
2. Mut’ah, Penggugat minta bingkai photo prawedding;

Namun,menanggapi gugatan rekonvensi tersebut pihak tergugat rekonvensi yaitu


suami menyampaikan sebagai berikut :
1. Tentang nafkah iddah Tergugat hanya menyanggupi Rp.10.000,00 (sepuluh
ribu rupiah) perhari = Rp. 300.000,00 perbulan x 3 bulan = Rp.900.000,00
(sembilan ratus ribu rupiah);
2. Tentang bingkai photo prawedding Tergugat bersedia memberikannya.7

Seperti yang kita ketahui problem seputar hak-hak istri pasca perceraian sering kali
menjadi kasus yang tak kunjung usai,banyak terjadi dari pihak mantan suami lalai
memenuhi kewajibannya terhadap mantan istrinya,akibatnya pihak sering kali dirugikan.
Kasus yang sering mencuat ke permukaan masyarakat adalah disebabkan banyaknya istri
yang awam hukum diselesaikan begitu saja,sementara hak-haknya diabaikan. Hal tersebut
disebabkan karena masih banyak masyarakat yang belum paham hukum,terutama yang
berkaitan dengan hukum agama. Di sisi lain suami masih cenderung menyepelekan
kewajiban karena dianggap persoalan sudah selesai seiring dengan putusan cerai,sehingga
banyak yang tak memenuhi kewajibannya. Berdasarkan uraian diatas penulis tertarik
untuk meneliti lebih lanjut bagaimana pemenuhan hak-hak istri pasca perceraian pada
cerai talak perkara nomor 710/Pdt.G/2020/PA.LLG dan apa saja yang menjadi
pertimbangan hakim dalam menentukan besaran nafkah iddah istri,oleh karena itu penulis
memutuskan untuk melakukan penelitian dengan judul “PEMENUHAN HAK-HAK
ISTRI PRA DAN PASCA PERCERAIAN PADA PERKARA CERAI TALAK
(STUDI PUTUSAN PENGADILAN AGAMA LUBUKLINGGAU KELAS IB
NO.710/Pdt.G/2020/PA.LLG)”

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas maka dapat dirumuskan
permasalahannya sebagai berikut :

7
Putusan No.710/Pdt.G/2020/PA.LLG
1. Apa yang menjadi pertimbangan hakim dalam menentukan besaran nafkah iddah bagi
istri pada perkara No. 710/Pdt.G/2020/PA.LLG ?
2. Bagaimana langkah hakim dalam memenuhi hak-hak istri pra dan pasca perceraian
pada perkara cerai talak No. 710/Pdt.G/2020/PA.LLG ?
3. Bagaimana pelaksanaan pemenuhan hak-hak istri pra dan pasca perceraian pada
perkara cerai talak No. 710/Pdt.G/2020/PA.LLG ?

C. Tujuan dan Manfaat


1. Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam menentukan besaran nafkah iddah bagi
istri pada perkara No. 710/Pdt.G/2020/PA.LLG
2. Untuk mengetahui langkah hakim dalam memenuhi hak-hak istri pra dan pasca
perceraian pada perkara cerai talak No. 710/Pdt.G/2020/PA.LLG
3. Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan hak-hak istri pra dan pasca perceraian
pada perkara cerai talak No. 710/Pdt.G/2020/PA.LLG

D. Metode Penelitian
Dalam penelitian suatu penulisan tugas akhir dapat dilaksanakan berbagai macam jenis
penelitian. Adapun jenis penelitian yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah jenis
penelitian hukum normatif. menurut Soerjono Soekanto dalam bukunya yang berjudul
“Penelitian Hukum Normatif” adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti
bahan pustaka atau data sekunder belaka.8 Pendekatan penelitian ini penulis menggunakan
pendekatan undang-undang yakni mempelajari perundang-undangan yang berkorelasi
langsung bersama permasalahan pada penelitian ini, pendekatan kasus (case approach) yang
dilakukan dengan cara menelaah kasus yang berkaitan dengan permasalahan dalam
penelitian, dan metoda konseptual (conceptual approach) yaitu metoda yang memanfaatkan
pandangan-pandangann dan juga doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum.
Kemudian sumber hukum yang penulis gunakan adalah Sumber Primer yaitu Putusan Nomor
710/Pdt.G/2020/PA.LLG. Selain sumber utama diperlukan juga sumber lain yaitu sumber
sekunder dan tersier. Bahan hukum sekunder dalam penelitian inipun meliputi buku-buku,
jurnal, artikel, hasil penelitian, website, serta berbagai sumber sekunder lainnya yang terkait
dengan penelitian ini kemudian materi Tersier pada penelitian ini menggunakan kamus-
kamus seperti kamus hukum, kamus bahasa Indonesia, dan kamus bahasa Inggris

8
Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji. 2013. Penelitian Hukum Normatif. Jakarta: Raja Grafindo, hlm.13

Anda mungkin juga menyukai