Anda di halaman 1dari 6

Sebagai respon dan bukti komitmen terhadap hal tersebut melalui Majelis Tarjih

dan Tajdid (MTT) Pimpinan Pusat Muhammadiyah, menerbitkan Fikih


Kebencanaan. Tujuannya agar masyarakat maupun stakeholder kebencanaan
lainnya memiliki panduan dalam menyikapi setiap bencana yang terjadi sesuai
dengan syariat agama.

Seperti halnya pandemi corona virus disease tahun 2019 (Covid-19) yang sedang


mewabah didunia termasuk Indonesia saat ini.  Badan Kesehatan Dunia WHO
telah menetapkannya sebagai pandemi. Pemerintah Indonesia telah menetapkan
sebagai jenis penyakit yang menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat. Dan
telah ditetapkan sebagai bencana nasional. Covid-19 termasuk bencana non-alam.

Muhammadiyah memandang Covid-19 tergolong dalam bencana non alam yang


disebabkan oleh perilaku manusia. Lazimnya bencana non alam terjadi akibat
kelalaian manusia dalam mengantisipasi dampak yang terjadi. Manusia yang
gagal menjalankan fungsi kekhalifahannya sebagai hamba Allah di muka bumi
ini. Harusnya manusia mampu mengendalikan dan menyeimbangkan hak dan
kewajiban pada alam semesta.

Jika kita cermati dari perspektif Fikih Kebencanaan, Covid-19 merupakan


bencana yang melumpuhkan sendi-sendi sosial yang selama ini sudah dibangun
untuk menopang kebutuhan-kebutuhan manusia baik secara fisik maupun mental.
Masjid, musala, sekolah, pasar, dan lain-lain mengalami disfungsi karena semua
kegiatan yang berkaitan dengan tempat-tempat ini sebisanya harus kita lakukan
dari rumah.

Untuk memfungsikan kembali sendi-sendi itu, selama vaksin Covid-19 belum


ditemukan maka akan sangat tergantung pada bagaimana kedisiplinan kita dalam
mematuhi berbagai protokol yang sudah ditetapkan pemerintah, juga fatwa-fatwa
yang telah dikeluarkan oleh para ulama baik dari MUI, Muhammadiyah, NU, dan
lain-lain.
Sangat manusiawi manakala kebijakan PSBB yang diikuti dengan phisikal
distancing dan stay at home yang diberlakukan pemerintah menimbulkan
ketidaknyamanan. Banyak warga yang tidak siap, tidak tahu harus melakukan apa,
kesal, bosan, dan bahkan setres dalam menghadapi situasi ini.  Tapi, yakinlah,
lorong segelap apa pun akan ada ujungnya. Agar kita menemukan titik terang di
ujung lorong gelap itu, dibutuhkan kerjasama berbagai pihak.

Cara yang bisa ditempuh: pertama, pemerintah sebagai pengemban amanah


otoritas tertinggi dalam mengatur urusan publik, harus mengerakkan semua
potensi yang dimiliki sebesarnya-besarnya untuk kepentingan rakyat. Negara
harus memenuhi hak-hak rakyat sesuai tujuan berdirinya negara ini yaitu untuk
“…melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah dara Indonesia.”

Kedua, bencana merupakan tanggung jawab kita bersama, pemerintah saja tidak
cukup, perlu didukung oleh komponen bangsa yang lain. Karena salah satu
kewajiban warga negara adalah melakukan bela negara dan saat ini negara sedang
memanggil kita, meminta sedikit saja rasa anasionalisme kita.

Lupakan ego sektoral karena bencana ini tidak mengenal batas sosial, ras, etnik,
bahasa, budaya serta agama. Bahaya Covid-19 harus dihadapi secara bersama-
sama, kita isi sisi yang kurang dari pemerintah. Inilah mengapa Muhammadiyah
(termasuk Aisyiyah) menggelorakan spirit ta’awun (gotong royong) dalam
menghadapi bahaya Covid-19 dengan membentuk MCCC (Muhammadiyah
Covid-19 Comand Center).

Ketiga, dengan meyakini bahwa bencana ini sebagai ujian dari Allah yang harus
kita hadapi dengan kesabaran yang proporsional. Artinya bukan hanya pasrah, tapi
tetap melakukan ikhtiar dengan selalu positif thinking, tetap melakukan segala hal
terbaik yang bisa kita lakukan kapanpun dan di manapun kita berada, Sabar juga
berarti menjaga bahkan meningkatkan ibadah.

Dan yang lebih penting lagi harus dibarengi dengan ikhlas dan tetap bersyukur
karena di balik wabah ini pasti terkandung hikmah yang luar biasa. Udara menjadi
lebih bersih, air menjadi lebih jernih, lingkungan lebih sehat, dan lain-lain. Kita
yakin bahwa apa yang terjadi di dunia ini semuanya atas kehendak Allah SWT.
Dia yang maha mengetahui apa terbaik untuk makhluk-Nya.

“Apakah manusia mengira bahwa ia akan dibiarkan sia-sia begitu saja?” Firman
Allah SWT dalam al-Quran surat al-Qiyamah ayat 36 mengisyaratkan bahwa
Allah akan ikut andil dalam menanggulangi bencana yang dihadapi manusia.
Bagaimana caranya? Dengan memberi kemudahan dalam beribadah, dengan
mengutamakan keselamatan nyawa dari segala-galanya.

Fikih Kebencanaan mengunakan dua prinsip umum yaitu kemudahan (taysir) dan
perubahan hukum sesuai dengan perubahan situasi (taghayyuru al-ahkam bi
taghayyuri al zaman wa al makan wa ah ahwal). Dalam situasi apapun manusia
harus tetap melaksanakan kewajibanya kepada Tuhan Nya, dalam batas maksimal
yang dimilikinya. Namun syariat Islam memberikan solusi kemudahan untuk
pelaksanaanya. Islam tidak membebani kewajiban yang berada diluar kapasitas
umatnya.

Yang lebih penting dari semua adalah bagaimana meluruskan persepsi kita dalam
memandang bencana. Cara pandang yang keliru akan melahirkan respon yang
kurang tepat juga. Kita harus yakin bahwa bencana merupakan ujian sekaligus
rahmat dari Allah, maka kita harus menyikapinya dengan positif, tidak menyalah-
nyalahkan dan berprasangka negatif terhadap Tuhan. Yakinlah bahwa bencana ini
akan berakhir. Keyakinan ini penting untuk terus kita tumbuhkan agar tetap
semangat dan optimistis melihat masa depan.

 Jenazah pasien Covid-19 termasuk jenazah yang berisiko tinggi menularkan virus
yang diidapnya. Oleh sebab itu, perlu perawatan khusus yang berbeda dengan
perawatan jenazah pada umumnya. Perawatan jenazah pasien Covid-19 hanya
dapat dilakukan oleh petugas dari rumah sakit. Seluruh petugas yang terlibat
dalam proses perawatan jenazah sejak dari memandikan sampai dengan
penguburan harus memakai Alat Pelindung Diri (APD) lengkap sesuai standar
medis dan tetap berhati-hati serta menjaga kebersihan maupun sterilitas diri,
peralatan dan tempat atau lingkungan yang digunakan untuk proses perawatan
jenazah hingga selesai penguburan. Tuntunan perawatan ini dilakukan untuk
jenazah pasien Covid-19, baik yang meninggal dunia setelah terkonfirmasi positif
maupun yang belum terkonfirmasi positif tetapi menunjukkan gejala yang sama
dengan gejala Covid-19 sebelum meninggal dunia.

1. Memandikan jenazah

a. Jenazah dimandikan dengan cara disiram atau disemprot dengan air dan cairan
disinfektan dari jarak tertentu yang aman dari risiko penularan. Dimulai dengan
menyiram/menyemprot anggota wudu dan setelah itu dimulai lagi dari anggota
badan sebelah kanan.

b. Sedapat mungkin petugas tidak menyentuh tubuh jenazah dan menghindari


cairan tubuh jenazah yang keluar dari mulut, hidung, mata, anus, kemaluan dan
luka di kulit.

c. Jenazah laki-laki dimandikan oleh petugas laki-laki, jenazah perempuan


dimandikan oleh petugas perempuan. Dalam keadaan darurat, petugas laki-laki
boleh memandikan jenazah perempuan, demikian pula sebaliknya, dengan syarat
aurat jenazah ditutup dengan kain atau selainnya yang dapat menutup aurat/alat
vitalnya.

d. Dalam keadaan darurat yang menuntut untuk tidak memandikan jenazah, maka
jenazah tidak perlu dimandikan.

2. Mengafani jenazah

a. Sebelum dikafani, jenazah dibungkus dengan plastik atau bahan serupa yang
kedap udara.

b. Jenazah dikafani dengan 1 (satu) lembar kain kafan warna putih atau warna lain
yang menutup seluruh tubuh. Apabila memungkinkan, jenazah laki-laki dikafani
dengan 3 (tiga) lembar kain kafan dan jenazah perempuan dikafani dengan 5
(lima) lembar kain kafan
c. Setelah dikafani, jenazah dibungkus lagi dengan plastik atau bahan serupa yang
kedap udara untuk yang kedua kalinya.

d. Jenazah dimasukkan ke dalam kantong jenazah yang sesuai standar medis.

e. Jenazah dimasukkan ke dalam peti kayu, dengan sebisa mungkin langsung


dihadapkan ke arah kiblat.

f. Peti jenazah ditutup rapat-rapat agar tidak bisa dibuka kembali.

3. Menyalatkan Jenazah

a. Shalat jenazah boleh dilakukan di tempat steril di rumah sakit atau lokasi
perawatan jenazah dengan izin dan pengawasan dari petugas rumah sakit.

b. Shalat diutamakan hanya oleh pihak keluarga secara sangat terbatas, dengan
tetap menjalankan seluruh protokol kesehatan terkait pencegahan Covid-19,
seperti tidak berkerumun, menjaga social distancing dan physical distancing, serta
menjaga kebersihan diri dan lingkungan, baik sebelum maupun sesudah shalat.

c. Dalam keadaan darurat, shalat jenazah dapat dilakukan di kuburan setelah


jenazah selesai dikuburkan, dengan tetap menjalankan seluruh protokol kesehatan
terkait pencegahan Covid-19 di atas.

4. Menguburkan Jenazah

a. Jenazah harus dikubur selambat-lambatnya 4 (empat) jam setelah kematian.

b. Jenazah langsung dibawa ke tempat pemakaman tanpa ditransitkan di mana


pun.

c. Jenazah dimasukkan ke liang lahat bersama peti jenazah tanpa membukanya.


d. Penguburan jenazah dilakukan dengan memperhatikan hal-hal yang dipandang
perlu sesuai kedaruratan serta kelaziman yang dituntunkan.

Anda mungkin juga menyukai