Informasi Umum
The Jewish Museum atau Museum Yahudi merupakan salah satu hasil dari sayembara anonim
pemerintah Berlin yang dimenangkan oleh Daniel Libeskind pada tahun 1988. The Jewish
Museum rancangan Daniel Libeskind merupakan ekspansi dari eksisting Museum Yahudi
yang ada di sebelahnya. Tujuan utama diadakannya sayembara tersebut adalah untuk
menghadirkan kembali eksistensi para Yahudi yang merupakan bagian dari Berlin setelah
perang dunia kedua. Rancangan Libeskind dipilih sebagai juara utama karena dinilai dapat
merancang suatu konsep yang menakjubkan untuk merepresentasikan gaya hidup orang
yahudi selama sebelum, sesaat, dan sesudah holocaust melalui rancangan yang formal
sekaligus radikal.
“The official name of the project is ‘Jewish Museum’ but I have named it ‘Between the
Lines’ because for me it’s about two lines of thinking, organization and relationship. One is a
straight line, but broken into many fragments, the other thing is a tortuous line, but continuing
indefinitely” - Daniel Libeskind, 1938
Pada bagian yang merupakan pertemuan garis lurus dan zig-zag saling berpotongan, terbentuk
void mass dari lantai dasar hingga atap. ekspresi ini digunakan untuk menceritakan gaya
hidup orang yahudi sebelum, ketika, dan sesudah Holocaust terjadi. Sementara, void mass
yang terbentuk memiliki makna filosofis yang mengekspresikan hilangnya kemanusiaan
selama holocaust terjadi.
3. FASAD
a. Pemilihan Material : History-based
Material utama bangunan menggunakan material beton cast-in-place. Kemudian,
seluruh bagian fasad dilapisi dengan zinc cladding. Kedua material tersebut dipilih
karena memiliki nilai lokalitas karena keduanya memiliki sejarah pankang dalam
sejarah arsitektur di Berlin.
Kulir bangunan yang terbuat dari beton berbalut zinc panel pada seluruh bagiannya
merupakan perumpamaan wujud sejarah Berlin di masa lalu. Sementara, ornamen
strip windows yang ada pada kulit bangunan sebenarnya adalah sebuah peta. Pola
yang terbentuk diambil dari matrix yang terbuat dari gabungan pemetaan alamat
rumah tokoh-tokoh Jerman dan Yahudi selama perang Berlin. Diantaranya: Heinrich
von Kleist, Heinrich Heine, Mies van der Rohe, Rahel Varnjagen, Walter Benjamin,
dan Arnold Schonberg.
Pola tidak beraturan yang akhirnya hadir sebagai suatu fragmentasi pada kulit
bangunan yang berbalut material mengkilap, beraturan, dan kokoh tersebut kemudian
dimaknai sebagai bentuk perwujudan realita bahwa tragedi holocaust yang banyak
mengorbankan kaum Yahudi tersebut bagaikan “luka” yang ada dalam sejarah Berlin.
4. PENATAAN RUANG
a. Enterance : Disconnected & connected
Seperti yang diketahui, Museum Yahudi yang dirancang oleh Libeskind merupakan
ekspansi dari eksisting yang ada di sebelahnya. Dari segi fasad, terdapat perbedaan
yang signifikan antara bangunan eksisting dengan bangunan yang baru. Bangunan
eksisting menggunakan langgam Baroque, sementara museum yang baru
menggunakan langgam post-modern. sehingga, dari segi eksterior, kedua bangunan
tersebut terlihat seperti dua bangunan yang berbeda dan tidak saling berhubungan
satu sama lain.
Namun, Meskipun fasad antara eksisting dengan museum baru begitu berbeda
hingga terlihat seperti dua bangunan yang tidak berhubungan satu sama lain, hal
tersebut berlawanan dengan fakta yang sebenarnya. Kedua bangunan saling
berhubungan satu sama lain, dan satu-satunya enterance Museum Yahudi yang baru
ada berada di dalam bangunan eksisting. Sehingga, para pengunjung harus masuk ke
dalam museum eksisting terlebih dahulu jika ingin mengakses The Jewish Museum
yang baru.
Kontradiksi eksterior eksisting dengan museum baru yang seperti memisahkan
kedua bangunan sebagai 2 entitas yang berbeda, namun disisi lain, terdapat koneksi
tersembunyi yang menunjukkan bahwa sebenarnya kedua bangunan saling
berhubungan merupakan penggambaran dari kompleksitas hubungan Jerman
dengan kaum Yahudi.
“The contradictory autonomy of both the old building and the new building on the
surface, while binding the two together in the depth time of time and space” –
Daniel Libenski
LIST REFERENSI