Anda di halaman 1dari 3

Berbagai macam kekerasan dilakukan, mulai kekerasan fisik, nonfisik , hingga pelecehan dan kekerasan

seksual. Tidak sedikit guru yang beranggapan bahwa dengan cara menerapkan physical punishment
mereka akan mampu memenuhi tujuannya untuk melaksanakan pendidikan dan akan mengubah perilaku
siswanya. Tentu anggapan ini salah.

Bahkan, bahayanya adalah kebiasaan ketika siswa mengerjakan sesuatu bukan karena kesadarannya,
melainkan untuk menghindari hukuman. Yang lebih membahayakan lagi adalah jika terjadi dendam,
malu, terhina, atau hanya akan menimbulkan emosi negatif bagi siswa.

Tampaknya, hukuman fi sik, seperti menyuruh anak didik membersihkan WC, berdiri di lapangan sambil
menghormati matahari, menyuruh mereka berdiri di depan kelas, tendangan, pukulan, tamparan, dan lain-
lain masih menjadi tindakan yang tak jarang dilakukan oleh guru.

Hasil penelitian UNICEF di Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, dan Sumatra Utara pada 2006 yang
menunjukkan bahwa kekerasan terhadap anak sebagian besar dilakukan oleh guru, layak menjadi
perhatian kita. Hasil penelitian itu memberikan kesadaran bahwa kekerasan bisa terjadi di mana saja,
termasuk di lingkungan sekolah, tempat yang selama ini dipercaya paling aman dan terbaik untuk anak.

Selain itu, hasil penelitian tersebut memberikan kesadaran kepada kita bahwa kekerasan pada anak tidak
hanya berupa kekerasan fisik. Namun, bisa berupa kekerasan nonfi sik, seperti pemberian tugas
berlebihan, memberikan target prestasi terlalu tinggi, hingga memaksa anak melakukan sesuatu di luar
minatnya.

Perlu disadari, kekerasan seperti itu, sering tidak disertai niat jahat. Sebaliknya, tindakan itu malah
berselimut niat baik. Oleh karena itu, pada umumnya mereka yang melakukan kekerasan pada anak sama
sekali tidak merasa bersalah. Mereka merasa bahwa dirinya telah berbuat kebaikan. Telah memberikan
yang terbaik kepada anak.

Oleh karena itu, pengertian atau defi nisi kekerasan pada anak yang meliputi aspek fi sik dan nonfi sik
perlu dimengerti oleh mereka yang memiliki tugas mendidik anak, baik guru maupun orangtua.

Anak harus dilihat sebagai individu mandiri, yang berbeda dengan orangtua atau gurunya. Anak memiliki
bakat, kemampuan, minat, dan kebiasaan yang berbeda. Mereka bukanlah makhluk kecil yang merupakan
jelmaan guru atau orangtuanya.

Memang, tidak mudah untuk bisa memiliki pemahaman seperti itu. Guru maupun orangtua sering
memiliki sejumlah ambisi pribadi yang dibebankan di pundak anak. Mereka selalu berdalih demi masa
depan anak. Mereka menganggap anak sebagai benda mati yang masa depannya harus ditentukan guru
atau orangtua.

Khusus untuk guru, mereka terkadang juga dipaksa oleh keadaan, yakni adanya sistem pendidikan yang
tidak mengacu kepada kepentingan anak. Akan tetapi, lebih mengacu kepada kepentingan industri,
kepentingan kapitalis, maupun kepentingan penguasa.

Pamekasan memprotes tindakan Th alib, guru pendidikan agama yang dinilai mengarah pada pelecehan
seksual muridnya.Kedatangan wali murid ke sekolah itu membuat kaget KepalaSekolah SMPN 6, Budi
Trianto. Menurut pengakuan sejumlah wali murid, anak-anak mereka belakangan ini terlihat sedih.
Mereka mengaku takut kala bertemu Thalib, setelah dipanggil dan ditanya status keperawanannya.
Sebagai guru agama, tindakan itu tidak pantas dilakukan pada anak didiknya, apalagi tindakannya
mengarah pada pelecehan seksual. Persoalan perawan atau tidak, bukan urusan guru.

Salah seorang siswi, sebut saja Bunga mengungkapkan, ia dipanggil Thalib ke ruang UKS ditanyai
apakah sudah pacaran atau belum dan apa pernah berhubungan badan dengan laki-laki. Merasa dirinya
tidak pernah berhubungan badan dengan laki-laki, siswi itu menjawab dirinya masih perawan. Namun,
Thalib tidak percaya dan mengeluarkan sebuah benda persegi empat yang diakui sebagai jimat, alat untuk
mengetes keperawanan seseorang. Saat itu Bunga disuruh memegang jimat itu. Lalu, kaki kanan Pak Th
alib beberapa kali disentuhkan ke paha siswi itu. Hal senada diungkapkan Melati , siswi lainnya,
pertanyaan yang diajukan kepada Melati sama seperti kepada siswi lainnya. Hanya saja Melati pernah
ditawari Th alib diajak berhubungan badan, tapi dengan halus Melati menolaknya. Menurut ceritanya,
jimat itu ditempelkan ke perut kanan Melati. Karena ia betul-betul masih perawan, ia tidak takut dites.

Berbagai berita pelecehan seksual, pencabulan, dan pemerkosaan yang dilakukan oleh guru terhadap
murid belakangan ini semakin banyak kita lihat dan dengar. Itu hanya yang berhasil dikuak dan diliput
media. Tentu kasus-kasus yang sama juga masih banyak, tetapi tidak terkuak. Tentu saja ini sangat
membahayakan bagi dunia pendidikan kita.

Belum lagi, pelecehan seksual dilakukan oleh pelajar dengan pelajar lainnya, terutama siswa terhadap
siswi. Pelecehan seksual adalah gejala yang sangat banyak terjadi dalam masyarakat Indonesia yang bias
gender. Di satu sisi, perempuan masih dianggap sebagai objek seksual maupun sebagai pihak yang lemah,
dan karenanya dianggap sebagai kaum yang ditempatkan dalam posisi yang pinggiran. Pada sisi lainnya,
media kapitalisme juga memicu rangsangan seksual melalui tayangan-tayangan pornografi mulai di TV,
media cetak, hingga persebaran fi lm-fi lm porno yang secara sembunyi-sembunyi banyak dikonsumsi
oleh para pelajar.

Berbagai kekerasan di lembaga pendidikan semacam itu adalah wilayah kajian sosiogi yang harus mampu
memberikan pemahaman tentang sebab-sebab terjadi kekerasan di dunia pendidikan, apa kaitannya
dengan struktur sosial yang lebih besar. Sosiologi pendidikan tentunya adalah salah satu cabang ilmu
sosial yang punya kompetensi untuk mengkaji masalah tersebut.

E. MURID, SEKOLAH, DAN MASYARAKAT

Sosiologi pendidikan juga harus menempatkan hubungan antarmurid sebagai kajian yang harus dilakukan
secara teliti. Kekerasan antar-murid juga merupakan gejala sosial yang hingga saat ini masih terus saja
terjadi dan bahkan bisa dikatakan frekuensi dan intensitasnya kian meningkat.

Ada juga masalah gaya hidup yang tak kondusif bagi tujuan pendidikan. Perubahan struktur sosial sangat
memengaruhi perubahan situasi pelajar kita. Dalam struktur sosial yang opressif di bawah negara otoriter
Orde Baru, para murid sekolah dididik patuh oleh doktrin negara. Penataran P-4 merupakan aparatus
ideologis yang disosialisasikan lewat sekolah. Perubahan terjadi sejak pemerintahan otoriter Soeharto
tumbang, ketika masyarakat menjadi lebih terbuka tanpa intervensi campur tangan negara.
1.Hedonisme dan Trendisme Peserta Didik: Pengaruh Sistem Sosial Kapitalistis

Pendidikan liberal adalah kepanjangan tangan sistem ekonomi liberal kapitalis sehingga budayanya yang
dominan adalah budaya kapitalis liberal, yang bahkan sekolah pun bukan saja tak mampu melawannya,
melainkan malah menjadi tempat bagi menetasnya dan berkembangbiaknya ideologi dan kebudayaan
kapitalis.

Anak-anak yang kalah bersaing dalam ranah akademis dan prestasi kreatif, seperti sastra, olahraga,
keruhanian, dan lainlain justru akan lari pada kebiasaan hedonisme, seperti mencari kesenangan dengan
cara memamerkan kekayaan dengan cara menunjukkan pada teman-teman sekolahnya bahwa ia kaya. Ia
akan membawa mobilnya ke sekolah. Ia akan memamerkan HP atau benda-benda mewah lainnya. Ia akan
menunjukkan bahwa dirinya macho dan ganteng atau cantik dan seksi. Ia akan memakai pakaian-pakaian
yang trendi di luar pelajaran sekolah formal.

Gadis-gadis remaja usia sekolah yang tak merasa perlu membentuk karakter diri dengan meningkatkan
prestasi belajar, sebagian besar disebabkan kegilaan mereka terhadap produk dengan merek-merek
terkenal. Sekolah tak berkutik untuk menghadapi serangan masif budaya massa yang berpilar pada iklan
yang merayu remaja dan pelajar kita untuk meniru gaya hidup kapitalistis, hedonistis, dan liberalistis para
selebritis. Pada kenyataannya, selebritis lebih menjadi panutan, kata-kata dan teladannya lebih banyak
menginspirasi pelajar dibandingkan para guru di sekolah.Tiap hari secara bertubi-tubi para selebritis
mendoktrin gaya hidup dan jalan berpikir remaja kita.

Depot mulai mendukung Habitus by Humanity dan perusahaanTarget memperbolehkan konsumennya


mengajukan nama sekolah mana yang akan diberikan sumbangan 1% dari jumlah pembelian mereka.
Akibatnya, remaja memang merupakan sasaran paling diperhitungkan oleh para desainer budaya
konsumen dan tim pemasaran kapitalis. Efeknya adalah para remaja harus dapat didesain sesuai
kepentingan kapitalis—kalau perlu bodoh pun tidak mengapa karena kapitalisme tak membutuhkan orang
pintar, tetapi orang yang dapat diatur. Remaja adalah pasar paling potensial. Di AmerikaSerikat, pada
1951 Adverest Research of New Brunswick melakukan survei pada ibu rumah tangga. Hasilnya adalah
60% ibu berkata bahwa anak-anak mereka menginginkan produk yang diiklankan di televisi.

Sebagaimana dikisahkan oleh Allisa Quart, pada 1996 diInggris terjadi penentangan keras dari kalangan
orangtua murid, para politisi, intelektual, bahkan para pekerja iklan atas upaya kapitalis untuk
mengintervensi sekolah dengan iklan. Reaksi itu muncul karena adanya upaya «Imagination for School
Media Marketing» yang akan memberikan sumbangan dana pada sekolah yang mengizinkan lembaga
kapitalis ini untuk memasang iklan di aula, tempat olahraga, dan tempat makan sekolah.

Akan tetapi, kapitalis tidak menghentikan aksinya untuk secara langsung melancarkan aksi promosinya ke
dalam lembaga pendidikan. Pada 1998, perusahaan-perusahaan mulai menjalin kerja sama dengan
sekolah «terbelakang» melalui program yang disebut Education Action Zone. Pada akhirnya, mulai tahun
2000-an, pemasangan mesin penjualan otomatis telah menjadi hal yang lazim di aula-aula sekolah.

Anda mungkin juga menyukai