Anda di halaman 1dari 64

0

HUKUM PERTANAHAN PADA ERA REFORMASI


DALAM PERSPEKTIF SEJARAH HUKUM
DI INDONESIA

MAKALAH INDIVIDUAL
Disusun untuk memenuhi persyaratan dalam mengikuti
Matakuliah SEJARAH HUKUM pada Program Magister Ilmu Hukum
Pascasarjana Universitas Islam As-Syafi’iyyah (UIA) Jakarta

Dosen : Prof. Dr. Satya Arinanto, S.H.,M.H

Disusun Oleh :

Muhammad Eko Purwanto


NIM : 2220150017

PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER ILMU HUKUM,


UNIVERSITAS ISLAM AS-SYAFI’IYYAH
JAKARTA, 2017

KATA PENGANTAR
1

Alhamdulillah, puji dan syukur kehadirat Allah Swt, berkat karunia dan
hidayah-Nya, makalah saya yang berjudul HUKUM PERTANAHAN PADA ERA
REFORMASI, DALAM PERSPEKTIF SEJARAH HUKUM DI INDONESIA, bisa
saya selesaikan, meskipun masih banyak kekurangan disana-sini. Semoga
makalah ini dapat memenuhi tugas saya selaku Mahasiswa Magister Ilmu
Hukum, pada Pasca Sarjana (S2) Universitas Islam As-Syafi’iyyah (UIA).
Dalam makalah ini, saya mencoba menjawab dua pokok permasalahan,
yaitu : Bagaimana Politik Hukum Pertanahan di Indonesia ?, dan Bagaimana
Hukum Pertanahan pada Era Reformasi Dalam Perspektif Sejarah Hukum di
Indonesia ?. Guna menjawab pokok permasalahan tersebut, penulis mengguna-
kan pendekatan deskriptif-kualitatif.
Terkait dengan data-data dalam makalah ini, penulis peroleh dengan
menggunakan metode penelitian kepustakaan (Library Research). Metode ini
dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder, yang terdiri
dari : Bahan-bahan primer, yaitu bahan-bahan yang mengikat dan terdiri dari
buku-buku, jurnal, dan lain-lain, yang terkait dengan masalah yang dibahas.
Dan, Bahan-bahan sekunder, yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan
terhadap bahan-bahan primer berupa artikel-artikel hasil-hasil penelitian, atau
pendapat pakar hukum lainnya.
Akhirnya, penulis berharap semoga makalah ini dapat menjadi sumber
inspirasi dan rujukan guna melakukan penelitian lebih dalam, tentang sejarah
dan perkembangan Undang-Undang Pertanahan di Indonesia.
Billaahit Taufiq wal Hidaayah,
Jakarta, 01 Juni 2017.
Penulis,

Muhammad Eko Purwanto


DAFTAR ISI
2

Kata Pengantar ........................................................................................ 1

Daftar Isi ................................................................................................... 2

BAB I : PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang ............................................................ 3

1.2. Poko Permasalahan ................................................... 8

1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian ................................... 8

1.4. Kerangka Teori dan Kerangka Konsep ....................... 8

1.5. Metode Penelitian ....................................................... 23

1.6. Sistematika Penulisan / Pembahasan ....................... 24

BAB II : Politik Hukum Pertanahan di Indonesia .......................... 26

BAB III : Periodisasi Hukum Pertanahan di Indonesia

3.1. Masa Di Akhir Kekuasaan Orde Baru ........................ 32

3.2. Masa Awal Reformasi 1998 ....................................... 38

3.3. Masa Pasca Lahirnya TAP MPR No.IX/MPR/2001 .... 44

BAB IV : Penutup

1. Kesimpulan ................................................................ 50

2. Saran ......................................................................... 60

DAFTAR PUSTAKA

BAB I

PENDAHULUAN
3

1.1. Latar Belakang Penelitian

Tanah mempunyai arti penting dalam kehidupan manusia. Dalam ajaran

agama Islam diyakini bahwa manusia sendiri berasal dari tanah dan akan

kembali ke tanah. Dalam kehidupan manusia sehari-hari tidak sedikit terjadi

pertumpahan darah yang disebabkan oleh sengketa kepemilikan tanah, bahkan

satu keluarga terkadang bisa retak akibat persengketaan tanah. “Di masyarakat

hukum etinis Jawa terkenal filosofi yang menyatkan sedumuk batuk senyari

bumi, yen perlu ditohi pati (biar sejengkal tanah miliknya bila perlu

dipertahankan sampai mati)”1

Tanah memang menjadi salah satu sumber utama kehidupan manusia.

Buah-buahan dan tumbuh-tumbuhan yang dikonsumsi manusia adalah hasil

dari tanah baik itu tanah persawahan maupun perkebunanan. Intinya manusia

dalam kehidupannya tidak bisa terlepas dari tanah, karena manusia hidup dan

beraktifitas di atas tanah. Dalam hal ini masyarakat hukum etnis Batak

menyatakan tanah sebagai ulos na sora buruk (kain yang tak akan pernah

lapuk).2

Menurut Soerojo Wignjodipoero3 ada dua hal yang menyebabkan tanah

itu memiliki kedudukan yang sangat penting dalam hukum adat, yaitu pertama,

karena sifatnya, dimana tanah merupakan satu-satunya benda kekayaan yang


1
Tampil Anshari Siregar, 2011, Pendaftaran Tanah Kepastian Hak, Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara, Medan, Hal. 1.
2
Ibid. Hlm. 1
3
Soerojo Wignjodipoero, 1983, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, PT. Gunung Agung,
Jakarta. Hlm.197.
4

meskipun mengalami keadaan yang bagaimanapun juga, toh masih bersifat

tetap dalam keadaannya, bahkan terkadang semakin lama harganya bisa

semakin mahal. Kedua, karena fakta bahwa tanah merupakan tempat tinggal

persekutuan, bisa memberikan penghidupan kepada persekutuan, tempat

dimana para warga persekutuan yang meninggal dunia dikebumikan, serta

tempat tinggal dayang-dayang pelindung persekutuan dan roh leluhur

persekutuan.

Pada zaman dahulu ketika penduduk bumi masih jarang manusia bebas

mengusahai tanah yang dianggapnya subur untuk bercocok tanam dan

beraktifitas. Seiring dengan perkembangan zaman, pada masa pemerintahan

kerajaan-kerajaan dahulu di nusantara rakyat juga bebas membuka lahan dan

mengusahai tanahnya atas seizin dari raja/sultan. Pada masa itu sultan/raja

memang memilki otoritas yang relatif besar atas tanah. Menurut Soemarsaid

Martono sebagaimana dikutip oleh Soeprijadi, “raja mempunyai dua hak atas

tanah. pertama, berupa hak politik atau hak publik yang mengatur dan

menetapkan masalah luas daerah dan batas-batas kekuasaannya. Kedua,


4
adalah hak untuk mengatur hasil tanah sesuai dengan adat.”

Seiring dengan perkembangan zaman dan masuknya pengaruh-

pengaruh asing terhadap tatanan kehidupan masyarakat adat, penguasaan atas

tanah di Indonesia juga mulai berubah. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh

Siregar sebagai berikut :

4
Soeprijadi, 1996, Reorganisasi Tanah serta Keresahan Petani dan Bangsawan di Surakarta 1911-
1940, Tesis, UGM, Yogyakarta, Hal.1-2
5

Menurut konsep hukum adat awalnya semua tanah adalah milik raja

yang kemudian kepada rakyat diberi hak menggunakan atau

memakainya. Tetapi selanjutnya hal itu mengalami perubahan sejalan

dengan masuknya hukum-hukum lain lewat penjajahan kolonial dan

masuknya agama yang nilai-nilainya diresepsi (diterima) oleh hukum adat

sehingga kebebasan para anggota masyarakat untuk membuka dan

mempergunakan tanah tersebut semakin bebas. 5

Selanjutnya, kajian terhadap Hukum Pertanahan sudah banyak dilakukan

oleh berbagai kalangan, baik dalam bentuk buku-buku referensi, jurnal ilmiah

dan di dalam seminar-seminar serta simposium yang bertajuk Agraria. Tetapi

kajian-kajian tersebut tidak begitu fokus mengkaji tentang sejarah hukum

agraria, bagaimana lahirnya hukum agraria di Indonesia sampai terbentuknya

Undang-undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960. Bahkan wacana untuk

mengamandemen Undang-undang Pokok Agraria, yang selanjutnya dalam

makalah ini disebut UUPA, terus dilakukan guna menyesuaikan peraturan-

peraturan di bidang ke-agraria-an yang sudah dianggap tidak mengakomodir

perkembangan masyarakat. Ini membuktikan bahwa hukum, khususnya hukum

agararia atau pertanahan, terus berkembang seiring dengan perkembangan dan

kebutuhan masayarakat, untuk itu diperlukan suatu kajian ilmiah tentang

bagaimana rangkaian sejarah (hukum) hukum agraria Indonesia guna

mengetahui setiap perkembangan yang terjadi di bidang agraria. Dengan

demikian setidaknya dari kajian itu dapat diperoleh bahan untuk dijadikan
5
Siregar, Pendaftaran Tanah, Op.Cit. Hlm.11.
6

pegangan dalam melakukan pembaharuan (hukum) terhadap hukum agraria

atau pertanahan.

Substansi yang akan dibahas di dalam makalah singkat ini terfokus

kepada sejarah hukum pertanahan sebagai salah satu bagian yang integral dari

sistem hukum Indonesia yang memainkan peranan penting dalam upaya

pembangunan masyarakat guna mewujudkan cita-cita dan tujuan Negara.

Dalam kajian terhadap hukum pertanahan ini, penulis melakukan kajian dari

pendekatan sejarah. Hal ini penulis anggap penting karena perkembangan

hukum Pertanahan kedepan tidak akan terlepas dari proses dan pergelutan

yang melatarbelakangi lahirnya hukum agraria ini. Lebih lanjut kenapa

pendekatan sejarah hukum ini diperlukan adalah disebabkan beberapa alasan

sebagai berikut :6

1. Hukum tidak hanya berubah dalam ruang dan letak, melainkan juga

dalam lintasan kala dan waktu. Hal ini berlaku bagi sumber-sumber

hukum formil, yakni bentuk-bentuk penampakan diri norma-norma

hukum, maupun isi norma-norma hukum itu sendiri (sumber-sumber

hukum materil).

2. Norma-norma hukum dewasa ini seringkali hanya dapat dimengerti

melalui sejarah hukum. Henri De Page penulis sebuah karya penting

perihal Traite Elementaire de Droit Civil yang diterbitkan pada tahun-

6
John Gilissen†, 2005, Frits Gorle dan Freddy Tengker, Sejarah Hukum : Suatu Pengantar, Refika
Aditama, Bandung, hal. 1 dst.
7

tahun 1930-1950, mengemukakan bahwa semakin ia memperdalam studi

hukum perdata, semakin ia berkeyakinan bahwa sejarah hukum, lebih

dahulu daripada logika dan ajaran hukum sendiri mampu menjelaskan

mengapa dan bagaimana lembaga-lembaga hukum kita mucul ke

permukaan seperti keberadaannya sekarang ini.

3. Sedikit banyak mempunyai pengertian mengenai sejarah hukum, pada

hakikatnya merupakan suatu pegangan penting bagi para yuris pemula

untuk mengenal budaya dan pranata umum.

4. Hal ikhwal yang teramat penting di sini adalah perlindungan hak asasi

manusia terhadap perbuatan semena-mena, bahwa hukum diletakkan

dalam perkembangan sejarahnya serta diakui sepenuhnya sebagai suatu

gejala historis.

Dari uraian diatas, maka saya tertarik untuk menyusun makalah ini

dengan judul, “Hukum Pertanahan Pada Era Reformasi Dalam Perspektif

Sejarah Hukum Di Indonesia.”

1.2. Pokok Permasalahan

Dari latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam makalah ini

dapat dirumuskan, sebagai berikut :

1. Bagaimana Politik Hukum Pertanahan di Indonesia ?


8

2. Bagaimana Hukum Pertanahan pada Era Reformasi Dalam Perspektif

Sejarah Hukum di Indonesia ?

1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian

Sedangkan tujuan penyusunan makalah ini, yaitu :

1. Untuk memahami Politik Hukum Pertanahan di Indonesia.

2. Untuk memahami Hukum Pertanahan pada Era Reformasi Dalam

Perspektif Sejarah Hukum di Indonesia.

1.4. Kerangka Teori dan Kerangka Konsep

Dalam membahas permasalahan penelitian didasarkan pada kerangka

teoritik yang merupakan landasan teoritis, dan landasan ini adalah upaya untuk

mengidentifikasi teori hukum umum/khusus, konsep-konsep hukum, azas-azas

hukum dan lain-lain yang akan dipakai sebagai landasan untuk membahas

permasalahan penelitian.7

Sebagai suatu kegiatan ilmiah, maka dalam suatu penelitian diperlukan

teori yang berupa asumsi, konsep, definisi dan proposisi untuk menerangkan

suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan

antar konsep.8 Suatu teori merupakan hubungan antar dua variable atau lebih

7
Supasti Dharmawan Ni Ketut, 2006, Metodologi Penelitian Hukum Empiris, Makalah Kedua
dipresentasikan pada Lokakarya pascasarjana Universitas Udayana.
8
Burhan Ashshofa, 2004, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, hal. 19.
9

yang telah diuji kebenarannya. Fungsi teori dalam suatu penelitian adalah untuk

memberikan arah kepada penelitian yang akan dilakukan. 9

Dalam pasal 33 ayat 3 UUD 1945, dinyatakan bahwa, “Bumi dan air dan

kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan

untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Berdasarkan bunyi pasal 33 tersebut

dapat dipahami bahwa segala tanah air Indonesia berada di bawah kekuasaan

negara, dan sebagai konskwensinya negara berkewajiban untuk memperguna-

kan tanah air tersebut bagi kemakmuran rakyatnya.

Tanah memang menjadi hal penting dalam kehidupan manusia, untuk itu

penting diatur keberadaannya, dan negara sebagai penguasa tanah

bertanggungjawab untuk membuat peraturan tentang pertanahan tersebut.

maka setelah Indonesia merdeka dan situasi politik agak normal, pada tanggal

24 September 1960 disusunlah UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar

Pokok-Pokok Agraria yang kemudian dikenal dengan Undang Undang Pokok

Agraria (UUPA).

UUPA sebagai turunan dari pasal 33 ayat 3 UUD 1945 mengandung

asas (prinsip) bahwa semua hak atas tanah dikuasi oleh negara, dan asas

bahwa hak milik atas tanah “dapat dicabut untuk kepentingan umum”. Prinsip ini

tertuang dalam pasal 2 dan pasal 18 UUPA. Berdasarkan pasal 2 UUPA ini

negara menjadi pengganti semua pihak yang mengaku sebagai penguasa tanah

yang sah. Negara dalam hal ini merupakan lembaga hukum sebagai organisasi

9
Soerjono Soekanto, 2001, Sosiologi Suatu Pengantar, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 30.
10

seluruh rakyat Indonesia. Pemerintah sebagai lembaga pelaksana UU negara

dalam proses ini bertindak sebagai pihak yang melaksanakan dan menerapkan

ketentuan yang terdapat dalam pasal 2 UUPA tersebut. 10

Dengan demikian Menurut Syafruddin Kalo, “pemerintah menjadi pihak

yang wajib dan berwenang mengatasi dan menengahi sengketa hak

penguasaan atas tanah yang muncul sekaligus menjadi fasilitator bagi pihak-

pihak yang terlibat dalam sengketa”. Kewenangan keagrariaan ada pada

pemerintah pusat namun, pada pelaksanaannya dapat dilimpahkan pada

pemerintah daerah ataupun kepada persekutuan masyarakat hukum adat. 11

Status kepemilikan tanah sering menjadi muasal dari perselisihan di

Indonesia, yang barangkali disebabkan oleh tidak adanya ketegasan

penyelenggara negara mengenai kepemilikan ini. Untuk itu berikut ini akan

dikemukakan mengenai teori kepemilikan/penguasaan tanah di Indonesia.

Dalam sejarah hukum pertanahan di Indonesia sejak zaman kesultanan,

zaman kolonial, sampai zaman kemerdekaan, dalam prakteknya diperlakukan 3

(tiga) teori penguasaan tanah yakni Teori Eropa, Teori Adat dan Teori Hukum

Nasional.12 Ketiga teori ini silih berganti diterapkan di Indonesia sesuai dengan

zamannya masing-masing.

1. Teori Eropa.

10
Syafruddin Kalo, “Perbedaan Persepsi Mengenai Penguasaan Tanah dan Akibatnya Terhadap
Masyarakat Petani di Sumatera Timur pada Masa Kolonial yang Berlanjut pada Masa Kemerdekaan,
Orde Baru dan Reformasi”, Program Studi Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara, t.t. hal. 3.
11
Umar Kusumo Haryono, “Eksistensi Tanah Kasultanan (Sultan Ground) Yogyakarta Setelah
Berlakunya UU No. 5 / 1960”, Yustisia Edisi Nomor 68 Mei - Agustus 2006, hal. 3.
12
Kalo, Op.Cit. halaman 7.
11

Teori Eropa merupakan penguasaan atas tanah berdasarkan pemikiran

orang eropa. Sebagaimana diketahui, bahwa pada masa lalu wilayah nusantara

pernah menjadi bahagian dari wilayah kekuasaan bangsa eropa sehingga

hukum pertanahan yang diterapkan oleh penguasa eropa tersebut dipengaruhi

oleh pemikiran orang eropa. Sejarah eropa telah mencatat bahwa sebelum

terjadinya Revolusi Prancis, di Eropa berlaku doktrin bahwa raja adalah wakil

Tuhan di bumi, sehingga pada masa itu raja-raja di eropa memiliki kekuasaan

yang sangat tinggi untuk mengatur negaranya, bahkan raja dianggap berkuasa

atas segala hal, raja adalah penguasa negara dan raja pula berkuasa atas

tanah-tanah di negaranya.

Seiring dengan berkuasanya bangsa-bangsa eropa di Indonesia, maka

pemikiran bahwa raja adalah penguasa mutlak atas tanah negara diberlakukan

juga di Indonesia oleh penguasa bangsa eropa tersebut. dalam hal ini Kalo

mencatat sebagai berikut :

Di Eropa sebelum masa Revolusi Perancis berlaku doktrin bahwa raja

adalah penguasa segala hal di negaranya dengan semboyan “L’etat c’est

Moi” atau Negara adalah Saya. Teori ini mencerminkan kekuasaan yang

besar atas tanah. Raja dianggap sebagai wakil negara dan pemilik tanah

adalah negara. Teori ini juga berlaku di Inggris dan Belanda. Indonesia

sebagai negara jajahan Belanda memberlakukan teori ini di Indonesia,

yang berarti bahwa semua tanah di Indonesia adalah milik raja dan

dengan demikian oleh karena raja takluk kepada pemerintahan kolonial,


12

maka semua tanah di negara jajahan dikonversi menjadi milik raja

Belanda. Oleh karena itu pemerintah Kolonial menganggap semua tanah

yang ada di Indonesia adalah milik penguasa kolonial. Dengan

memberlakukan azas domein verklaring, dengan arti bahwa semua

tanah-tanah tidak dapat dibuktikan siapa pemiliknya adalah menjadi

tanah negara. Atas dasar teori ini maka pemerintah kolonial dapat

menyewakan tanah-tanah kepada perusahaan onderneming dengan

skala besar.13

Kebijakan pemberlakuan teori domein verklaring didasari atas alasan-

alasan karena pemerintah Belanda menganggap raja-raja di Indonesia yang

mempunyai kekuasaan hak domein atas tanah maka dengan sendirinya hak

domein itu juga diambil over oleh Belanda karena Belanda memegang

kedaulatan di Indonesia. Teori ini sengaja diterapkan agar pemerintah Hindia

Belanda dapat memiliki tanah-tanah rakyat indonesia yang pada waktu hampir

seluruhnya masih menerapkan sistem hukum adat. Karena pemilikan atas tanah

berdasarkan sistem adat tidak ada satupun yang menyamai hak eigendom. 14

Dasar hukum pemberlakuan domeinverklaring oleh pemerintah Hindia

Belanda di dasarkan kepada Agrarische Wet (staatblad 1870 nomor 118) yang

terkait dengan Agrarische Wet (staatblad 1870 nomor 55). Pasal 1 Agrarische

13
Ibid, hlm. 7.
14
Zuryawan Isvandiar Zoebir, “Bayang-Bayang Cultuurstelsel Dan Domein Verklaring Dalam Praktik
Politik Agraria,” http://zuryawanisvandiarzoebir.wordpress.com/2008/11/07/bayang-bayang-
cultuurstelsel-dan-domein-verklaring-dalam-praktik-politik-agraria/, (07 April 2017).
13

Besluit menentukan bahwa terhadap tanah-tanah yang tidak dapat dibuktikan

kepemilikannya akan menjadi milik negara.

Kebijakan pemerintah Belanda dalam memperlakukan teori domein

verklaring ini sangat merugikan rakyat karena domein diperlakukan di atas

tanah rakyat dan memungkinkan tanah-tanah hak ulayat diberikan kepada

orang asing dengan hak sewa (erfacht).15 Dalam hal ini ada dua hal penting

yang terkait dengan domein verklaring, yaitu:

a. Hubungan antara negara dengan tanah dipersamakan dengan hubungan

antara tanah dengan perseorangan yang bersifat privaattreefhtelijk.

b. Domein verklaring tidak lebih ditujukan terhadap tanah yang tunduk pada

hukum adat, mengingat dalam sistem hukum adat tidak dikenal dengan

sistem pembuktian kepemilikan secara tertulis seperti yang dikenal dalam

hukum barat.16

Berdasarkan teori domeinverklaring ini, maka tanah-tanah adat dianggap

sebagai milik negara. Akibatnya pemerintahan negara menganggap negara

berwenang untuk memberikan hak erfphacht kepada investor untuk

mengusahakan tanah-tanah adat tersebut, demikian juga para investor merasa

sah untuk menguasai dan mengusahakan tanah-tanah tersebut. Di sisi lain

anggota masyarakat hukum adat merasa bahwa tanah-tanah tersebut masih

merupakan milik mereka karena memang anggota-anggota masayarakat

tersebut tidak pernah melepaskan haknya atas tanah-tanah adatnya itu.


15
Heru Kuswanto, 2011, Hukum Agraria, (Modul) Fakultas Hukum Universitas Narotama,
Surabaya, hal. 2.
16
Op.cit., hal. 2.
14

Pemberlakuan teori domeinverklaring ini jelas sangat merugikan rakyat

pribumi (masyarakat hukum adat) karena akibat dari pemberlakuan teori

tersebut maka tanah adat (ulayat) yang meskipun menurut kenyataannya masih

ada dan ditaati oleh masyarakat hukum adat, tidak diakui lagi keberadaannya,

karena tanah tersebut telah dikategorikan sebagai domein negara, yaitu tanah

negara bebas (vrij lands domein).17

2. Teori Adat

Teori pemilikan tanah berdasarkan hukum adat adalah tanah merupakan

milik komunal atau persekutuan hukum (beschikkingsrecht). Dalam hal ini setiap

anggota persekutuan dapat mengerjakan tanah dengan jalan membuka tanah

terlebih dahulu dan jika mereka mengerjakan tanah tersebut secara terus-

menerus maka tanah tersebut dapat menjadi hak milik secara individual. 18

Tentang pemilikan tanah adat ini, Ter Haar sebagaimana dikutip oleh

Kalo menjelaskan sebagai berikut:

Hukum adat memberikan hak terdahulu kepada orang yang dulu

menaruh tanda pelarangannya atau mula-mula membuka tanah;

bilamana ia tidak mengerjakan pekerjaan-pekerjaan penebangan dan

pembakaran menurut musimnya, maka orang lain bisa mendesaknya

supaya memilih: mengerjakan terus atau menyerahkan tanahnya

kepadanya. Jadi tuntutan pemilikan hak milik ini lenyap sama sekali

17
Boedi Harsono, 1999, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, hal. 46.
18
Kalo, Op.cit., halaman 9
15

bilamana ada lain orang sesama anggota yang menginginkannya dan

mendesak dia memilih satu antara kedua pilihan itu.19

Menurut Wignjodipoero, hak persekutuan atas tanah ini disebut juga hak

pertuanan atau hak ulayat, sementara Van Vollenhoven menyebutnya dengan

istilah bescikkingsrecht.20 Lebih lanjut Wignjodipoero mengatakan bahwa “hak

ulayat ini dalam bentuk dasarnya adalah suatu hak daripada persekutuan atas

tanah yang didiami, sedangkan pelaksanaannya dilakukan atau oleh

persekutuan itu sendiri atau oleh kepala persekutuan atas nama persekutuan.” 21

Dalam hal ini pengertian hak ulayat disebutkan sebagai berikut:

Hak ulayat adalah hak suatu masyarakat hukum adat untuk menguasai

tanah yang masih merupakan hutan belukar di dalam wilayahnya untuk

kepentingan masayarakat hukum itu sendiri dengan para anggotanya

atau untuk kepentingan orang luar masyarakat hukum itu dengan

membayar uang pengakuan yang disebut atau bisa disamakan dengan

recognitie.22

Sebagai tanah ulayat persekutuan hukum adat, maka pada prinsipnya

hanya anggota masyarakat hukum adat (persekutuan) itu sendiri yang boleh

menggarap tanah ulayat tersebut. dalam hal ini Wignjodiopero menjelaskan

sebagai berikut:

19
Ibid., halaman 9-10.
20
Soerojo Wignjodipoero, Op.Cit., halaman 198.
21
ibid., halaman 199.
22
Tampil Anshari Siregar, 2011, Undang Undang Pokok Agraria dalam Bagan, Kelompok Studi
Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum USU, Medan, hal. 20.
16

Beschikkingsrechts atapun hak ulayat ini berlaku ke luar dan ke dalam.

Berlaku ke luar karena bukan warga persekutuan pada prinsipnya tidak

diperbolehkan turut mengenyam/menggarap tanah yang merupakan

wilayah kekuasaan persekutuan yang bersangkutan; hanya dengan

seizin persekutuan serta setelah membayar pancang (uang pemasukan)

dan kemudian memberikan ganti rugi, orang luar bukan warga

persekutuan dapat memperoleh kesempatan untuk turut serta

menggunakan tanah wilayah persekutuan.

Berlaku ke dalam karena persekutuan sebagai suatu keseluruhan yang

berarti semua warga persekutuan bersama-sama sebagai suatu kesatuan,

melakukan hak ulayat dimaksud dengan memetik hasil daripada tanah beserta

segala tumbuh-tumbuhan dan binatang liar yang hidup atasnya. 23

Adapun mengani luas wilayah tanah ulayat ini, Erman Rajagukguk

sebagaimana dikutip oleh Kalo mengatakan sebagai berikut:

Semua tanah, hutan, jika perlu sampai ke puncak gunung, jika penduduk

mempunyai hak baik yang nyata maupun yang secara diam-diam diakui,

tanah itu bukan tanah negara. Menurut hukum adat, desa mempunyai

hak untuk menguasai tanah di luar perbatasan desa, penduduk desa

mempunyai hak untuk menggarap atau mencari nafkah dari hutan

dengan izin kepala desa. Menurut penafsiran Trenite, tanah tersebut

23
Ibid., hal. 198.
17

milik negara, namun menurut pandangan Van Vollenhoven, Logeman

dan Ter Haar tanah tersebut tidak di bawah kekuasaan negara.24

Lebih jelasnya tentang hak ulayat ini, Siregar menguraikan ciri-ciri hak

ulayat sebagai berikut :

a. Masyarakat hukum dan para anggota-anggotanya berhak untuk dapat

mempergunakan tanah hutan belukar di dalam lingkungan wilayahnya

dengan bebas, yaitu bebas untuk membuka tanah, memungut hasil,

berburu, mengambil ikan menggembala ternak dan lain sebagainya.

b. Bukan anggota masyarakat hukum dapat pula mempergunakan hak-hak

tersebut hanya saja harus mendapat izin terlebih dahulu dari kepala

masyarakat hukum dan membayar uang pengakuan atau recognite

(diakui setelah memenuhi kewajibannya).

c. Masyarakat hukum beratnggungjawab atas kejahatan-kejahatan yang

terjadi dalam lingkungan wilayahnya apabila pelakunya tidak dapat

dikenal.

d. Masyarakat hukum tidak dapat menjual atau mengalihkan hak ulayat

untuk selama-lamanya kepada siapa saja.

e. Masyarakat hukum mempunyai hak campur tangan terhadap tanah-tanah

yang digarap dan dimiliki oleh para anggota-anggotanya seperti dalam

hal jual beli tanah dan sebagainya.

Van Vollenhoven sebagaimana dikutip oleh Siregar mengatakan bahwa

hak milik bumi putera (Inlands bezitrecht) terbagi kepada dua macam yaitu:
24
Kalo, Op.Cit., hal. 10.
18

a. Communaal bezitrecht (hak milik komunal) bila hak itu ada pada

masyarakat hukum.

b. Ervelijk individueel bezitrecht (hak milik perorangan) bila hak milik itu ada

pada anggota masyarakat hukum secara perorangan.

Berdasarkan teori ini maka hak-hak individual dan persekutuan terhadap

tanah dan tetap diakui keberadannya yang mana hak itu diwariskan secara

turun temurun terhadap anggota keturunan masyarakat persekutuan yang

mengikatkan dirinya terhadap persekutuan adat tersebut. 25

3. Teori Hukum Nasional

Teori hukum nasional yang dimaksudkan disini adalah hak penguasaan

tanah yang didasarkan kepada UUPA Nomor 5 Tahun 1960. Dalam hal ini Hak

penguasaan tanah yang berlaku secara yuridis di Indonesia tertuang dalam

pasal 2 UUPA :

a. Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar dan

hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air dan ruang

angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu, pada

tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasi seluruh

rakyat.

b. Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat 1 pasal ini memberi

wewenang untuk :

25
Siregar, Undang-Undang, Op.Cit., hal. 20-21.
19

1). mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,

persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa

tersebut;

2). menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara

orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa.

c. Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari negara tersebut

pada ayat 2 pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar

kemakmuran rakyat, dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan

kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara Hukum Indonesia yang

merdeka, berdaulat, adil dan makmur.

d. Hak menguasai dari Negara tersebut diatas pelaksanaannya dapat

dikuasakan kepada Daerah-daerah Swastantra dan masyarakat-

masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan

dengan kepentingan nasional, menuntut ketentuan-ketentuan Peraturan

Pemerintah.26

Dengan berlakunya UUPA maka peraturan-peraturan pertanahan yang

merupakan produk pemerintahan Hindia Belanda seperti Agrarische Wet,

Agrarische Besluit, dan Buku II BW yang mengatur tentang pertanahan menjadi

tidak berlaku lagi, karena memang UUPA dimaksudkan sebagai pengganti dari

ketentuan-ketentuan pertanahan produk pemerintah Hindia Belanda yang

terkesan imperealistik, kapitalistik dan feodalistik. Tentang kelahiran UUPA

26
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, Pasal 2
20

dalam semangat anti imprealistik, kapitalistik dan feodalistik ini Boedi Harsono

sebagaimana dikutip Liliz Nur Faizah mencatat sebagai berikut:

UUPA sendiri lahir dalam konteks “...perjuangan perombakan hukum

agraria nasional berjalan erat dengan sejarah perjuangan bangsa

Indonesia untuk melepaskan diri dari cengkraman, pengaruh, dan sisa-

sisa penjajahan; khususnya perjuangan rakyat tani untuk membebaskan

diri dari kekangan-kekangan sistem feodal atas tanah dan pemerasan

kaum modal asing...”

Semangat menentang strategi kapitalisme dan kolonialisme yang telah

menyebabkan terjadinya “penghisapan manusia atas manusia”

(exploitation de l’homme par l’homme) di satu sisi; dan sekaligus

menentang strategi sosialisme yang dianggap “meniadakan hak-hak

individual atas tanah” di sisi lain menjadi landasan ideologis dan filosofis

pembentukan UUPA. Selain itu, salah satu arti penting UUPA lainnya,

bahwa hukum agraria nasional adalah berdasar hukum adat dan tidak

lepas dari konteks landreform yang menjadi agenda pokok pembentukan

struktur agraria saat itu.27

Menurut Subekti,28 UUPA dimaksudkan untuk mengadakan Hukum

Agraria Nasiona yang berdasarkan hukum adat tentang tanah, dengan kelahiran

UUPA maka tercapailah suatu keseragaman menganai hukum tanah, sehingga


27
Liliz Nur Faizah, Hak Menguasai Negara Suatu Pendekatan Historis-Filosofis, (rangkuman dari
Bab II tentang Hak Menguasai Negara, dalam skripsi ”Perkembangan Konsep Kepentingan Umum
dalam Hukum Pengambilalihan Hak atas Tanah di Indonesia (1960-2006)” di Fakultas Hukum UGM
Yogyakarta pada tahun 2007). http://zeilla.files.wordpress.com/2008/05/ hmn_filosofis.pdf. hal. 4.
28
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 1985, hal. 93.
21

tidak ada lagi hak atas tanah menurut hukum Barat disamping hak atas tanah

menurut hukum adat.

Hal penting tentang penguasaan tanah dalam UUPA adalah

ditegaskannya hak pengusaan negara terhadap tanah, akan tetapi kendati

negara diakui sebagai penguasa atas tanah bukanlah berarti negara bisa

bertindak sewenang-wenang atas seluruh tanah yang ada di negara ini.

Penguasaan negara ini dibatasi oleh adanya hak individu dan hak persekutuan

hukum adat terhadap tanah. Dalam hal ini Kalo menjelaskan sebagai berikut:

Kekuasaan negara terhadap tanah yang sudah dipunyai orang dengan

sesuatu hak dibatasi oleh isi dari hak itu, artinya sampai seberapa negara

memberikan kekuasaan kepada seorang yang mempunyainya untuk

menggunakan haknya. Sedangkan kekuasaan negara atas tanah yang tidak

dipunyai dengan sesuatu hak oleh seseorang atau pihak lain adalah sangat luas

dan penuh. Misalnya negara dapat memberikan tanah yang sedemikian itu

kepada seseorang atau badan hukum dengan suatu hak menurut

peruntukkannya dan keperluannya, misalnya Hak Milik dan Hak Guna Usaha,

Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai ataupun dengan memberikan hak

pengelolaan pada suatu badan penguasa. Selain itu, kekuasaan negara atas

tanah-tanah ini sedikit atau banyak dibatasi pula oleh hak ulayat dari kesatuan-

kesatuan masyarakat hukum sepanjang kenyataan hak ulayat itu masih ada. 29

Berdasarkan ulasan diatas, maka penguasaan negara atas tanah

dibedakan menjadi dua penguasaan yaitu penguasaan langsung dan


29
Kalo, Op.Cit., halaman 12.
22

penguasaan tidak langsung. Penguasaan langsung adalah penguasaan negara

terhadap tanah yang belum dihaki perseorangan, Menurut Sunarjati Hartono 30

tanah seperti ini disebut dengan istilah “tanah yang dikuasai langsung oleh

negara” atau kemudian disebut secara singkat sebagai “tanah negara”. Adapun

hak menguasai negara secara tidak langsung adalah hak menguasai negara

terhadap tanah yang telah dihaki perseorangan, atau disebut dengan “tanah

yang dikuasai tidak langsung oleh negara” atau “tanah negara tidak bebas”

Menurut Imam Sutiknjo, kewenangan terhadap tanah yang sudah dimiliki

perseorangan ini pada dasarnya bersifat pasif, kecuali jika tanah itu dibiarkan

tidak diurus/ditelantarkan. Sehingga negara dapat mengaturnya supaya

produktif.31 Dengan lahirnya UUPA maka hak-hak atas tanah di Indonesia

dibatasi kepada lima macam hak yaitu, hak milik, hak guna usaha, hak guna

bangunan, hak pakai, dan hak sewa.

1.5. Metode Penelitian

1. Metode Pengumpulan Data.

Data-data dalam makalah ini diperoleh dengan menggunakan metode

penelitian kepustakaan (Library Research). Metode ini dilakukan dengan cara

meneliti bahan pustaka atau data sekunder, yang terdiri dari :

30
Sunarjati Hartono, Kapita Selekta Perbandingan Hukum, Alumni, Bandung, 1986, halaman 63.
31
Imam Sutiknjo, 1994, Politik Agraria Nasional, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, hal.
53.
23

a. Bahan-bahan primer, yaitu bahan-bahan yang mengikat dan terdiri dari

buku-buku, jurnal, dan lain-lain, yang terkait dengan masalah yang

dibahas.

b. Bahan-bahan sekunder, yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan

terhadap bahan-bahan primer berupa artikel-artikel hasil-hasil penelitian,

atau pendapat pakar hukum lainnya.

2. Prosedur Pengumpulan Data.

Untuk memperoleh data yang relevan dengan permasalahan pada

makalah ini, maka pengumpulan bahan-bahan referensi dilakukan dalam rangka

memperoleh data sekunder. Langkah awalnya adalah dengan melakukan

inventarisasi terhadap sumber-sumber sebagai referensi, kemudian

menuliskannya secara sistematis.

3. Analisis Data.

Pada makalah ini, analisis dilakukan secara deskriptif-kualitatif,

sedangkan pengolahan data, yang dilakukan dengan cara mensistematika

bahan-bahan atau buku-buku. Sistematisasi berarti membuat klasifikasi

terhadap bahan-bahan yang ada, tersebut untuk memudahkan analisis dan

merumuskan konstruk atau konsep.32

1.6. Sistematika Penulisan

32
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. 2001. Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat).
Rajawali Pers, Jakarta. Hlm. 251-252.
24

Sistematika penulisan dalam makalah ini disusun berdasarkan pokok

permasalahan yang telah dirumuskan diatas, oleh karena itu sistematika pada

makalah ini adalah sebagai berikut :

BAB I Pada bab ini, peneliti memaparkan tentang latar belakang penelitian

dengan mendeskripsikan peran dan fungsi tanah dalam kehidupan

manusia sehari-hari, oleh karena itu perlu aturan agar pengelolaan

dan pendistribusian tanah bagi kesejahteraan manusia bisa dilakukan

dengan baik. Selain itu, pada bab 1 ini, peneliti juga mengemukakan

pokok-pokok permasalahan yang nantinya menjadi bahasan penting

dalam makalah ini. Berikutnya, peneliti juga mengemukakan maksud

dan tujuan, kerangka teori dan kerangka konsep, metode penelitian

dan sistematika penulisan.

BAB II Pada bab II ini, peneliti mengemukakan tentang politik hukum

pertanahan yang ada di Indonesia, sejak kemerdekaannya. Pada bab

ini pula, peneliti mendeskripsikan tentang awal mula hukum nasional

Indonesia ditetapkan yakni, UU No. 5 tahun 1960, tentang Peraturan

Dasar Pokok-Pokok Agraria, atau yang lebih populer disebut dengan,

Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA).

BAB III Pada bab ini, peneliti memaparkan tentang periodisasi sejarah hukum

pertanahan di Indoneisa, antara lain, pada akhir masa kekuasaan

Orde Baru, masa di awal reformasi 1998, dan masa pasca lahirnya

TAP MPR RI No. IX/MPR/2001.


25

BAB IV Pada bab akhir ini, penulis meyimpulkan apa yang sudah peneliti

paparkan dalam makalah ini, sekaligus memberikan saran atau

rekomendasi.

BAB II

POLITIK HUKUM PERTANAHAN DI INDONESIA

Titik awal untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang dicanangkan

oleh para “Founding Fahter” bangsa Indonesia secara Politik pada tanggal 17

Agustus 1945, adalah dalam bentuk “Deklarasi Kemerdekaan.” Kemudian,

secara yuridis pada tanggal 18 Agustus 1945, Tujuan Negara Republik

Indonesia tercantum di dalam alinea ke-4 Preambule Undang Undang Dasar

1945, antara lain berbunyi:

”Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu pemerintah Negara

Indonesia yang melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah

Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan

kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang

berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social, maka

disusunlah kemerdekaan itu dalam suatu Undang Undang Dasar Negara

Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik

Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan

kepada . . . . . . . . . dan seterusnya“.


26

Guna mewujudkan maksud sebagaimana pada alinea 4 Pembukaan

Undang-Undang Dasar 1945 diatas, para pendahulu kita mengamanatkan

kembali pada Konstitusi Negara, yaitu Pasal 33 ayat (3) Undang Dasar 1945

yang berbunyi : “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya

dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran

rakyat.”

Sebenarnya momentum pertama upaya mewujudkan kesejahteraan

rakyat, yakni melalui pembentukan aturan dengan dikeluarkannya Undang

Undang no. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria yang

lebih popular dengan sebutan UUPA. Hanya saja dalam perjalanannya UUPA

pada masa Pemerintah Orde Baru, khususnya dalam “action”nya mulai

meninggalkan keberpihakan kepada masyarakat kecil, kelompok terbesar dari

penduduk negeri ini. Sementara itu, banyak kalangan berpendapat di era 1960,

saat terbentuknya UUPA adalah prestasi besar bangsa Indonesia karena telah

berhasil “mendobrak” tatanan hukum agraria peninggalan Pemerintah Kolonial.

Setelah tumbangnya rezim Orde Baru, hakikat UUPA itu secara perlahan

dikembalikan kepada maksud dan tujuannya semula, yang pada intinya sektor

keagrariaan (pertanahan) merupakan salah satu sector yang turut menyumbang

terwujudnya masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur. 33

33
Dalam Konsiderans UU No. 5 Tahun 1960 disebutkan : “bahwa di dalam Negara Republik
Indonesia yang susunan kehidupan rakyatnya, termasuk perekonomiannya, terutama masih bercorak
agraris, bumi, air dan ruang angkasa sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa mempunyai fungsi yang
amat penting dalam membangun mansyarakat yang adil dan makmur.”
27

Tentu saja sektor-sektor lain dalam rangka mewujudkan kesejahteraan

sosial juga harus pula berjalan seperti sektor pendidikan, kesehatan dan tidak

lepas pula sektor perekonomian serta sektor-sektor lainnya. Sektor agrarian

merupakan issue sentral, mengingat dari sumber agrarialah kebutuhan pokok

bangsa ini, khususnya pangan, bisa terpenuhi dengan baik.

Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-

pokok Agraria (UUPA), yang sejak awal berciri populis sebagaimana tampak

dalam prinsip-prinsip dasarnya, dalam perjalanan waktu mengalami berbagai

tantangan seiring dengan pergeseran kebijakan pertanahan yang terwujud

dalam berbagai peraturan pelaksanaan terkait karena berbagai pertimbangan

dan hambatan.34

Sejalan dengan era pergantian pemerintahan, pemerintah selanjutnya

sadar dan akan meneruskan kembali misi untuk mensejahterakan masyarakat

banyak yang diemban oleh UUPA itu sendiri. Pemimpin dan bangsa ini telah

menyadarinya bahwa koreksi dan pembenahan atas produk perundang-

undangan bidang pertanahan mutlak harus segera dilaksanakan. Langkah

konkrit yang diambil adalah diawali oleh lembaga Tinggi Negara Majelis

Permusyawaratan Rakyat (di era Orde Baru Lembaga Tetinggi Negara), yaitu

dengan dikeluarkannya Ketetapan MPR RI No.IX Tahun 2001 Tentang

Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.

34
Maria SW Sumardjono. 2009. Tanah Dalam Perspektif Ekonomi Sosial dan Buday. Penerbit Buku
Kompas. Jakarta. Hal. 36.
28

Lembaga Permusyawaratan Rakyat berpendapat bahwa untuk

menetapkan arah dan dasar pembangunan nasional yang dapat menjawab

berbagai persoalan kemiskinan, ketimpangan dan ketidakadilan sosial ekonomi

rakyat, maka pembentukan produk hukum dan perundang-undangan bidang

agraria yang berpihak kepada rakyat banyak, harus segera dilakukan agar

kesejahteraan masyarakat dapat terwujud.

Dalam TAP MPR RI No. IX/MPR/2001 telah dimasukkan beberapa asas,

diataranya : mensejahterakan rakyat, terutama melalui peningkatan sumber

daya manusia, mewujudkan keadilan, termasuk kesetaraan jender dalam

penguasaan, pemilikan, penggunaan, pemanfaatan, pemeliharaan sumber daya

agrarian/sumber daya alam.35 Masalah yang berhubungan dengan penguasaan,

pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah ternyata sangat krusial sekali di

dalam masyarakat kita. Hal ini terjadi karena arah kebijakan pembanguan di

bidang agrarian di era pemerintahan Orde Baru tidak banyak berpihak kepada

upaya untuk mensejahterakan rakyat.

Oleh karena itu di dalam Pasal 5 ayat (1) TAP MPR RI No. IX/MPR/2001

telah dirumuskan Arah Kebijakan Pembaruan Agraria sebagai berikut :

1. Melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundang-

undangan yang berkaitan dengan agraria dalam rangka sinkronisasi

kebijakan antar sektor demi terwujudnya peraturan perundang-undangan

35
Dalam salah satu konsiderans TAP MPR RI No. IX/MPR/2001 disebutkan : “bahwa pengelolaan
sumber daya agrarian/sumber daya alam selama ini telah menimbulkan penurunan kualitas
lingkungan, ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatannya, serta
menimbuilkan berbagai konflik.”
29

yang didasarakn pada ptrinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 4

Ketetapan ini;

2. Melakukan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan

pemanfaatan tanah (landreform) yang berkeadilan dengan

memperhatikan pemilikan tanah untuk rakyat;

3. Menyelenggaraan pendataan pertanahan melalui inventarisasi dan

registrasi penguasaan, pemilikan penggunaan dan pemanfaatan tanah

secara komprehensif dan sistematis dalam rangka pelaksanaan

landreform;

4. Menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumberdaya

agraria yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi

konflik dimasa datang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum

dengan didasarkan atas prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 4

Ketetapan ini; dan

5. Memperkuat kelembagaan dan kewenangannya dalam rangka

mengemban pelasanaan pembaruan agrarian dan menyelesaikan konflik-

konflik sumberdaya agraria yang terjadi.

Diantara 5 (lima) arah kebijakan pembaruan agraria sebagaimana

diuraikan diatas, akan menyoroti salah satu dari arah kebijakan dimaksud, yaitu

dilakukannya pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundang-

undangan yang berkaitan dengan agraria dalam rangka sinkronisasi kebijakan

antar sektor demi terwujudnya peraturan perundang-undangan yang didasaran


30

pada asas-asas sebagaimana tercantum dalam Pasal 4 TAP MPR RI

No.IX/MPR/2001.

Dilakukannya pengkajian ulang terhadap produk peraturan perundang-

undangan yang berkaitan dengan agraria oleh Pemerintah di era “Reformasi”

dan pemerintahan yang meneruskan reformasi, bahwa tidak semua produk

peraturan perundang-undangan pemerintahan sebelumnya dirombak total oleh

pemerintahan kedepan. Rekomendasi terhadap pengkajian ulang atas

peraturan perundang-undangan bidang agraria dapat berupa :

1. Perubahan atas satu atau beberapa hal saja;

2. Mempertahankan peraturan yang ada; dan

3. Mengganti seluruhnya.

Intinya adalah, jika peraturan lama substansinya tidak pro kesejahteraan

rakyat maka diganti seluruhnya. Bila sebagian saja direvisi, dan bila baik dan

sesuai saja dengan misi perbaikan kehidupan rakyat maka peraturan dimaksud

justru tetap dipertahankan.


31

BAB III

HUKUM PERTANAHAN PADA ERA REFORMASI

Secara substansial produk perundang-undangan bidang Pertanahan

pada Era Reformasi, berdasarkan sejarahnya, terbagi menjadi 3 masa, yaitu: 1).

Masa di akhir kekuasaan pemerintahan Orde Baru; 2). Masa di awal reformasi

1998; dan 3). Masa pasca lahirnya TAP MPR RI No. IX/MPR/2001. 36

3.1. Masa di Akhir Kekuasaan Pemerintahan Orde Baru;

Perlu kiranya dicatat disini bahwa produk perundang-undangan agraria

dimasa Orde Baru yang berpihak kepada masyarakat menengah kebawah

tidaklah nol sama sekali. Diakui memang ada regulasi bidang pertanahan yang

baik dan berpihak kepada masyarakat kecil, akan tetapi dalam implementasi

kebijakan lebih banyak menyentuh pihak kalangan menengah keatas dan para

pemodal.

Dimasa akhir Pemerintahan Orde Baru ada 2 (dua) produk hukum

pertanahan yang diterbitkan, yaitu:

1. Peraturan Pemerintah No. 24 Th, 1997 Tentang pendaftaran Tanah

36
http://eprints.unlam.ac.id/297/1/JURNAL%20MAHYUNI%20.pdf (diakses pada 20 Mei 2017)
32

Peraturan pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang pendaftaran

Tanah. Hal ini merupakan salah satu produk peraturan pertanahan yang

diharapkan oleh semua rakyat Indonesia. Peraturan sebelumnya (PP No.10

Tahun 1961) sudah berlaku selama 36 tahun. Pertimbangan juridis atas

digantinya peraturan pemerintah yang lama adalah bahwa Peraturan

pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 kurang dapat memberikan jaminan dan

kepastian hukum kepada pemegangnya, karena menganut sistem pendaftaran

negatif mutlak. Alasan lain adalah peraturan sebelumnya kurang mendukung

percepatan pembangunan nasional yang volumenya semakin besar dan

kompleks.37

Peningkatan pembangunan nasional yang berkelanjutan sangat

mengharapkan adanya kepastian hukum. Pasal 19 Undang Undang Nomor 5

Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria mengamanatkan

bahwa untuk jaminan kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan Pendaftaran

Tanah. Di dalam Peraturan Pemerintah Nomo 24 Tahun 1997 Tentang

Pendaftaran Tanah yang memuat asas sederhana, aman, terjangkau, mutakhir

dan terbuka lebih dikedepankan. Pencapaian legislasi aset tanah masyarakat

dan tanah pemerintah merupakan Program Strategis Pertanahan oleh

Pemerintah untuk memberikan dan mencapai keadilan serta kesejahteraan

rakyat.
37
PP No. 24 Tahun 1997 dalam konsiderans hurup a menyebutkan; “bahwa Pembangunan
Nasional yang berkelanjutan memerlukan dukungan jaminan kepastian hukum bidang pertanahan”.
Selanjutnya dalam konsiderans hurup c disebutkan: “PP No. 10 Tahun 1961 Tentang pendaftaran
Tanah dipandang tidak dapat lagi sepenuhnya mendukung tercapainya hasil yang lebih nyata pada
Pembangunan Nasional, sehingga perlu dilakukan penyempurnaan.”
33

Semenjak terbentuknya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961

sampai dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah yang baru Tentang

Pendaftaran Tanah, target pendaftaran tanah dari program yang dicanangkan

hanya mencapai 37 % saja.

Bila dibandingkan dengan masa 36 tahun Peraturan Pemerintah Nomor

10 Tahun 1961 tersebut diberlakukan, maka capaian angka 37 % tersebut

dirasa sangat kecil, ini berarti Peraturan Pemerintah dimaksud pelaksanaannya

perlu ditinjau ulang, hingga pemerintah pada akhirnya berkesimpulan bahwa

diatara penyebabnya adalah substansi peraturan itu sendiri yang tidak

mendukung sehingga harus diperbaharui.

Ada beberapa perbedaan yang terdapat antara Peraturan Pemerintah

Nomor 24 Tahun 1997 dengan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961,

yaitu:

a. Pendaftaran tanah secara sistematik; dimana di dalam Peraturan

pemerintah yang lama hal ini memang ada, tetapi tidak terlalu dipacu

dengan berbagasi regulasi dan kebijakan dalam implementasi program.

b. Pendaftaran tanah secara sporadik; dimana di dalam Peraturan

pemerintah yang lama hal ini juga ada, akan tetapi sosialisasi dan

motivasi kepada masyarakat baik secara individu maupun kelompok

untuk mendaftarkan tanahnya secara sukarela sangat kurang dilakukan

oleh pemerintah. Kesiapan dari institusi pertanahandari pusat hingga


34

daerah juga tidak terkoordinasi dengan baik, disamping mental dari

sebagaian aparat pelaksana yang kurang mendukung.

c. Adanya percepatan waktu dalam proses pendaftaran tanah, dan biaya

yang cukup terjangkau. Sedangkan dalam Peraturan Pemedrintah Nomo

10 Tahun 1961, tenggat waktunya lebih lama, dan biaya dirasa masih

cukup tinggi, di samping tidak ada transparansi dari instansi pendaftaran

tanah itu sendiri.

d. Tenggang waktu pengajuan keberatan atas tanah yang sudah terdaftar

untuk pertama kali;38

Di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961, hal ini tidak

diatur. Pihak yang merasa keberatan atas diberikannya hak atas tanah kepada

pemegang hak diberikan kesempatan untuk mengajukan tuntutan kepada

pemegang hak itu sendiri, atau kepada instansi yang memberikan hak itu, atau

kepada pengadilan dalam tenggang waktu 5 tahun terhitung suatu hak

diberikan.Cara inilah yang oleh para ahli dan pengamat hukum agraria

dinamakan “sistem pendaftaran tanah negatif yang berkecendrungan positif.”

Dalam peraturan pendaftaran tanah sebelumnya halsama sekali tidak diatur.

Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 menganut “sistem

pendaftaran tanah negatif (negatif murni). Dengan diberlakukannya Peraturan

Pemerintah yang baru (PP No. 24 Tahun 1997), diwacanakan segala

kekurangan yang ada pada Peraturan Pemerintah yang lama (PP No. 10 Tahun

1961) sebagaimana diutarakan di atas dapat dihilangkan dan peningkatan


38
PP No. 24 Tahun 1997, tentang Pendaftaran Tanah.
35

pembangunan nasional yang berkelanjutan berjalan lancar, sehingga

berdampak positif terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat.

Menurut Effendi Perangin, fungsi dari pendaftaran tanah itu sendiri

adalah untuk memperoleh alat pembuktian yang kuat tentang sahnya perbuatan

hukum mengenai tanah.39 Hal positif Yang dirasakan dengan sstem pendaftaran

tanah yang dianut oleh Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, yaitu

Sistem pendaftaran Tanah Negatif Yang Berkecendrungan Positif adalah adalah

bahwa baik pihak yang merasa dirugikan dengan terdaftarnya hak atas tanah

bagi pemegang hak diberi kesempatan untuk mengajukan tuntutan keberatan.

Sebaliknya bagi pemegang hak atas tanah juga ada jaminan kepastian hukum

manakala masa menuntut telah terlampaui (5 tahun). Hal ini berarti pemegang

hak tidak terbebani oleh tuntutan hak dari seseorang dimasa yang akan datang.

Berbeda dengan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961, pemegang hak

dapat saja dituntut kapan saja tanpa batas waktu meskipun ia memiliki dan

menguasai tanah selama puluhan tahun.

2. Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 1998 Tentang Penertiban dan

Pendayagunaan Tanah Terlantar

Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 Tentang Penertiban dan

Pendayagunaan Tanah Terlantar ditanda-tangani dan diberlakukan pada

tanggal 5 Maret 1998 oleh Presiden Soeharto, 50 hari sebelum beliau

menyerahkan kekuasaan kepada wakilnya BJ Habibie.Nampaknya pemerintah


39
Effendi Perangin, 1989, Hukum Agraria di Indonesia (Suatu Telaah Dari Sudut Pandang Praktisi
Hukum),Penerbit CV. Rajawali, Jakarta, hlm. 96.
36

menyadari bahwa pemberian hak atas tanah dimasa lalu kepada perorangan,

dan badan hukum, kiranya perlu ditinjau ulang dan dibenahi.Alasannya adalah

bahwa tanah yang diberikan tidak digunakan oleh pemegang hak sesuai

dengan peruntukkan, sifat dan tujuannya, mengingat semua hak atas tanah

mempunyai fungsi social.Tidak dimanfaatkannya tanah sesuai dengan

peruntukkannya adalah bertentangan dengan Undang Undang Nomor 5 Tahun

1960. Pengertian Tanah Terlanter terdapat pada penjelasan Pasal 27 Undang

Undang Nomor 5 Tahun 1960, yaitu “tanah diterlantarkan kalau disengaja tidak

dipergunakan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan daripada haknya.” 40

Di dalam filosofi hidup bangsa Inonesia, tanah merupakan suatu karunia

Tuhan Yang Maha Esa, sehingga wujud mensyukurinya adalah dengan cara

mengusahakan dan memanfaatkan tanah itu sebesar-besarnya untuk

kemakmuran dan kesejahteraan bersama. Bangsa Indonesia yakin dengan

sepenuhnya, bahwa dari tanah dapat diwujudkan kesejahteraan. Tujuan

Penertiban Tanah Terlantar adalah untuk mewujudkan kehidupan yang lebih

berkeadilan, menjamin keberlanjutan sistem kemasyarakatan dan kebangsaan

Indonesia, serta memperkuat harmoni sosial. Selain itu optimalisasi

penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan semua tanah diwilayah Indonesia

diperlukan untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup, mengurangi

40
Pasal 10 ayat (1) UU No. 5 Tahun1960 menyatakan bahwa: “Setiap orang atau badan hukum
yang mempunyai suatu hakatas tanah pertanian pada azasnya diwajibkan mengerjakan atau
mengusahakannya sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara pemerasan.”
37

kemiskinan dan menciptakan lapangan kerja, serta untuk menciptakan

ketahanan pangan dan energi.41

Di dalam perjalanan waktu Peraturan pemerintah Nomor 36 Tahun 1998

Tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar setelah berjalannya

waktu pada tahun 2010 dicabut dengan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun

2010 Tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar. Alasan dari

pencabutannya adalah karena dianggap tidak efektif. Terhadap pencabutan ini

penulis tetap memberikan apresiasi, karena diakhir kekuasaannya

pemerintahan Orde Baru masih sempat memikirkan perbaikan kesejahteraan

rakyat.

3.2. Masa Awal Reformasi 1998

Masa Awal reformasi 1998 merupakan masa dikeluarkannya peraturan

agraria pada pertengahan 1998 sampai November 2001 yaitu saat

dikeluarkannya TAP MPR RI No. IX/MPR/2001. Nampaknya pada masa ini tidak

banyak produk peraturan pertanahan yang dikeluarkan oleh Pemerintah baik

berupa Undang Undang, Peraturan pemerintah, Instruksi Presiden, ataupun

Peraturan menteri Agraria/Kepala BPN. Nampaknya karena hiruk pikuk politik

dalam negeri yang belum kondusif, sehingga para penyelenggara negara belum

dapat bekerja secara optimal.

41
BPN RI-Pusat Hukum dan Hubungan Masyarakat-SJDI Hukum, 2011, Penertiban dan
Pendayagunaan Tanah Terlantar, Hlm. 6.
38

Ada 2 (dua) buah peraturan, yaitu Peraturan Menteri Negara

Agraria/Kepala BPN Nomor. 5 Tahun 1999 Tentang Pedoman Penyelesaian

Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dan Undang Undang Nomor 41

Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Berikut diuraikan masing-masing peraturan

perundang-undang dimaksud :

1. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan

Nasional Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Pedoman Penyelesaian

Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.

Peraturan ini dikeluarkan pada tanggal 24 Juni 1999, saat Menteri

Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional dijabat oleh Hasan Basri

Durin. Peraturan ini lahir mengingat dimasa itu diberbagai daerah timbul

berbagai masalah yang berkaitan dengan hak ulayat. Untuk itulah kiranya

pemerintah merasa perlu untuk mengeluarkan aturan yang dapat dijadikan

sebagai acuan/pegangan di dalam menyelesaikan permasalahan yang

berhubungan dengan hak ulayat/tanah ulayat.

Peraturan ini merupakan peraturan bidang pertanahan yang berpihak

kepada masyarakat, khususnya masyarakat hukum adat.Sebelumnya

penyelesaian hak ulayat masyarakat hukum adat tidak ada pedomannya, jadi

tidak ada norma baku yang dapat dijadikan acuan manakala pemerintah hendak

menyelesaikan masalah hak ulayat/tanah ulayat. Dampak dari tidak adanya

pedoman sebagai acuan adalah terkatung-katungnya proses penyelesaian,

lamanya waktu penyelesaian, dan bahkan masalah hak ulayat/tanah ulayat


39

dibiarkan begitu saja tanpa penyelesaian.Pembentukan peraturan ini

merupakan implementasi dari konstitusi Negara dan UUPA itu sendiri. 42

2. Undang Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan

Undang Undang No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan disahkan oleh

Presiden BJ Habibie pada tanggal 30 September 1999 dan diundangkan oleh

Menteri Negara Sekretaris Negara pada tanggal yang sama dengan tanggal

pengesahannya.Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang Undang Nomor 5 Tahun

1960, seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alamyang

terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia

Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia

dan merupakan kekayaan nasional. Dalam ayat (4) nya disebutkan pula bahwa:

“Dalam pengertian bumi termasuk pula tubuh bumi, dibawahnya serta yang

berada dibawah air. Jadi pengertian agrarian dalam arti luas termasuk juga

sektor kehutanan karena obyek hutan berada berada dipermukaan bumi

(tanah).”

Hal yang patut diperhatikan adalah bahwa asas pengelolaan sumber

kehutanan di dalam Undang Undang Nomor 41 Tahun 1999 adalah asas

manfaat, lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan dan

keterpaduan. Undang Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan tidak

42
Hal ini disebutkan dalam pertimbangan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 5
Tahun 1999 hurup b: “Bahwa dalam kenyetaannya pada waktu ini banyak daerah masih terdapat
tanah-tanah dalam lingkungan masyarakat hukum adat yang pengurusan, penguasaan,
penggunaannya didasarkan pada ketentuan hukum adat setempat dan diakui oleh para warga
masyarakat hukum adar yang bersangkutan sebagai tanah ulayatnya.”
40

lepas pula kritik karena dianggap masih berpihak kepada pemodal, namun

demikian, kita bisa melihatnya dari dua sisi;

a. Kelahiran Undang Undang Kehutanan di awal reformasi (masa transisi);

b. Beberapa pasal dalam undang-undang tersebut ada mengatur dan

melindungi hak masyarakat hukum adat.

Dengan dikeluarkannya undang-undang dimasa transisi berarti substansi

undang-undang (kehutanan) disorot dan diamati oleh banyak kalangan, jadi

meskipun Undang Undang Nomor 41 Tahun 1999 tidak lepas dari kritik

terhadap isinya, namun undang-undang tersebut tentu lebih baik dari Undang

Undang Nomor 5 Tahun 1967 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan

(LN Tahun 1967 No. 8).

Selanjutnya apabila dihubungkan dengan pasal-pasal yang mengatur dan

melindungi hak masyarakat hukum adat, penulis berpendapat ketentuan dalam

pasal-pasal tersebut implementasinya akan berpengaruh positif terhadap

kesejahteraan rakyat. Tujuan untuk tercapainya keadilan sosial dapat dijabarkan

melalui beberapa aspek.Misalnya peran tanah sebagai dasar untuk memperoleh

pekerjaan dan pendapatan, identifikasi terhadap pihak-pihak yang diragukan

dalambeberapa konflik kepentingan, serta sikap terhadap tanah-tanah

masyarakat hukum adat.43

43
Mohammad Hatta, H, 2005, Hukum Tanah Nasional Dalam Perspektif Negara Kesatuan,
Penerbit Media Abadi, Sleman-Yogyakarta, hal. 151
41

Berikut ini akan dikemukakan pasal-pasal di dalam Undang Undang

Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan yang mengatur dan melindungi hak

masyarakat hukum adat :44

a. Pasal 1 ayat (6) :”Hutan adat adalah hutan Negara yang berada dalam

wilayah masyarakat hukumadat’

b. Pasal 4 ayat (1) : “Semua hutan di dalam wilayah Republik Indonesia

termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh

Negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”(3): “Penguasaan

hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat,

sepenjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta

tidak bertentangan dengan kepentingan nasional”

c. Pasal 5 ayat (1) : Hutan berdasarkan statusnya terdiri dari:

1). hutan Negara; dan

2). hutan hak.

(2): Hutan Negara sebagaimana disebut pada ayat (1) hurup a

dapat berupa adat.

(3): Pemerintah menetapkan status hutan sebagaimana

seagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2); dan

hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya

masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan

diakui keberdaannya.

44
UU No. 41 Tahun 1999, tentang Kehutanan.
42

(4): Apabila dalam perkembangannya masyarakat hukum adat

yang bersangkutan tidak ada lagi, maka hak pengelolaan

hutan adat kembali kepada pemerintah.

d. Pasal 34 : Pengelolaan kawasan hutann untuk tujuan khusus

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dapat diberikan kepada;

a. masyarakat hukum adat,

b. lembaga pendidikan,

c. lembaga penelitian,

d. lembaga social dan keagamaan.

e. Pasal 37 : ayat (1) Pemenfaatan hutan adat dilakukan oleh masyarakat

hukum adat yang bersangkutan sesuai dengan fungsinya.(2):

Pemenfaatan hutan adat yang berfungsi lindung dan konservasi dapat

dilakukan sepanjang tidak mengganggu fungsinya.

f. Pasal 67 : ayat (1): Masyarakat hukum adat sepanjang menurut

kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berhak :

1). melakukan pemungutan hasil hutan untk kebutuhan hidup sehari-

hari masyarakat adat yang bersangkutan;

2). melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat

yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang; dan

3). mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan

kesejahteraannya.
43

g. Ayat (2) : Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum

adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan peraturan

Daerah.

3.3. Masa pasca lahirnya TAP MPR RI No. IX/MPR/2001.

Ada beberapa produk hukum yang dikeluarkan Pemerintah pasca

lahirnya Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001 Tentang Pembaruan Agraria

dan Pengelolaan Sumberdaya Alam. Produk hukum di maksud adalah:

1. Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan

Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

Peraturan Presiden ini dikeluarkan oleh Presiden Susilo Bambang

Yudhoyono pada tanggal 3 Mei 2005. Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun

2005 ini dikeluarkan guna mengganti Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun

1993 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk

Kepentingan Umum yang dianggap sudah tidak sesuai lagi sebagai landasan

hukum dalam rangka melaksanakan pembangunan untuk kepentingan umum.

Alasan lain dari diterbitkannya Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 ini

adalah agar pengadaan tanah dapat dilakukan lebih cepat dan transparan

dengan tetap memperhatikan prinsip penghormatan terhdap hak-hak yang sah

atas tanah.
44

Peraturan Presiden tersebut saat dilaksanakan pada tahun 2005

mendapat sorotan, kritikan tajam dan bahkan ditentang ditentang keras oleh

masyarakat, khususnya masyarakat di pulau jawa, lebih-lebih lagi masyarakat

Jakarta yang tanahnya akan dibebaskan untuk pembangunan proyek besar,

diantaranya Kanal Banjir Timur (Proyek BKT). Akan tetapi untuk Pengadaan

tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum di daerah-daerah

nampaknya tidak begitu banyak ditentang.

Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya pelaksanaan Peraturan

Presiden dimaksud tetap ingin mengedepankan transparansi dan

memperhatikan prinsip penghormatan hak-hak sah atas tanah.Akan tetapi

karena Peraturan Presiden tersebut tetap ditentang oleh berbagai elemen

masyarakat, maka peraturan tersebut tidak sempat diberlakukan lama oleh

Pemerintah.

2. Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas

Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan

Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

Peraturan Presiden ini dikeluarkan oleh Presiden SusiloBambang

Yudhoyono pada tanggal 5 Mai 2006, tepat setahun berselang setelah

dikeluarkannya Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005. Beberapa hal

penting dari Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 ini adalah perubahan

bunyi ketentuan sebagai berikut;


45

a. Pasal 1 angka 3 yang semula berbunyi : “Pengadaan tanah adalah setiap

kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi

kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, dan

tanaman dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah atau dengan

pencabutan hak atas tanah” Diubah menjadi ; “Pengadaan tanah adalah

setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan

memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan tanah, bangunan,

tanaman dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah”

b. Pasal 2 ayat (1) yang semula berbunyi: Pengadaan tanah bagi

pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh pemerintah

atau Pemerintah Daerah dilakukan dengan cara:

1). Pelepasan atau penyerahan hak atas tanah, atau;

2). Pencabutan hak atas tanah. Diubah menjadi “Pengadaan tanah bagi

pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh pemerintah

atau Pemerintah Daerah dilakukan dengan cara pelepasan atau

penyerahan hak atas tanah”.

c. Pasal 3 yang semula berbunyi:

(1) Pelepasan atau penyerahan hak atas tanah sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 2 ayat (!) dilakukan berdasarkan prinsip

penghormatan terhadap hak atas tanah.


46

(2) Pencabutan hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2

hurup b dilakukan berdasarkan ketentuan Undang Undang No. 20

Tahun 1961 Tentang Pencabutan Hak Atas Tanah dan Benda-

benda Yang Ada Di Atasnya.Diubah menjadi:“Pelepasan atau

penyerahan hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2

dilakukan berdasarkan prinsip penghormatan terhadap hak atas

tanah.”

4. Pasal 5 yang semula berbunyi:

Pembangunan untuk kentingan umum yang dilaksanakan oleh

Pemerintah atau Pemerintah Daerah meliputi:

a. jalan umum danjalan tol, rel kereta api (di atas tanah, di ruang atas tanah,

ataupun di ruang bawah tanah), saluran air minum air bersih, saluran

pembuangan air dan sanitasi;

b. waduk, bendungan, bendungan irigasi dan bangunan pengairan lainnya;

c. rumah sakit umum, dan pusat kesehatan masyarakat;

d. pelabuhan, Bandar udara, stasiun kereta api dan terminal;

e. peribadatan;

f. pendidikan dan sekolah;

g. pasar umum;

h. pasilitas pemakaman umum;

i. fasilitas keselamatan umum;

j. pos dan telekomunikasi;


47

k. sarana olah raga;

l. stasiun penyiaran radio, televise dan sarana pendukungnya;

m. kantor Pemerintah, Pemerintah Daerah, perwakilan Negara asing,

Perserikatan Bangsa- Bangsa dan lembaga internasional di bawah

naungan PBB;

n. fasilitas TNI dan Polri sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya;

o. rumah susun sederhana;

p. tempat pembuangan sampah;

q. cagar alam dan cagar budaya;

r. pertamanan;

s. panti sosial;

t. pembangkit transimisi, distribusi tenaga listrik Diubah menjadi:

Pembangunan untuk kentinganumum yang dilaksanakan oleh

Pemerintah atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 2, yang selanjutnya dimiliki atau akan dimiliki oleh Pemerintah atau

Pemerintah Daerah, meliputi:a.jalan umum danjalan tol, rel kereta api (di

atas tanah, di ruang atas tanah, ataupun di ruang bawah tanah), saluran

air minum air bersih, saluran pembuangan air dan sanitasi; b. waduk,

bendungan, bendungan irigasi dan bangunan pengairan lainnya;c.

pelabuhan, Bandar udara, stasiun kereta api dan terminal; d. fasilitas

keselamatan umum, seperti tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar


48

dan lain-lain bencana;e. tempat pembuangan sampah; f. cagar alam dan

cagar budaya;g. pembangkit transimisi, distribusi tenaga listrik.

5. Pasal 6 ayat (5) yang berbunyi:

Susunan keanggotaan Panitia PengadaanTanah sebagaimana dimaksud

pada ayat (1), ayat(2) dan ayat (3) terdiri atas unsur perangkat daerah

terkait. Diubah menjadi:Susunan keanggotaan Panitia PengadaanTanah

sebagaimana dimaksud pada ayat (1),ayat (2) dan ayat (3) terdiri atas

unsur perangkat daerah terkait dan unsur BadanPertanahan Nasional.

6. Pasal Pasal 7 hurup c yang berbunyi:

“menaksir dan mengusulkan besarnya ganti rugi atas tanah yang haknya

akan dilepaskan atau diserahkan” Diubah menjadi:“ Menetapkan

besarnya ganti rugi atas yang haknya akan dilepaskan atau diserahkan”

7. Menambah Pasal 7A yang berbunyi sebagai berikut:

“Biaya Panitia Pengadaan Tanah diatur lebih lanjut oleh Menteri

Keuangan setelah berkonsultasi dengan Kepala BPN”

8. Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) yang berbunyi:

(1) Dalam hal kegiatan pembangunan untuk kepentingan umu yang

tidak dapat dialihkanatau dipindahkan secara teknis tata ruang ke

tempat atau lokasi lain, maka musyawarah dilakukan dalam jangka

waktu paling lama 90 hari kalender terhitung sejak tanggal

undangan pertama.
49

(2) Apabila setelah diadakan musyawarah sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) tidaktercapai kesepakatan, Panitia Pengadaan

Tanah menetapkan bentuk dan ganti rugi sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 13 dan menitipkan ganti rugi uang kepada Pengadilan

Negeri yang wilayah hukumnya meliputi lokasi tanah yang

bersangkutan. Diubah menjadi : (1) Dalam hal kegiatan

pembangunan untuk kepentingan umu yang tidak dapat dialihkan

atau dipindahkan secara teknis tata ruang ke tempat atau lokasi

lain, maka musyawarah dilakukan dalam jangka waktu paling lama

120 (seatus duapuluh) hari kalender terhitung sejak tanggal

undang pertama. (2) Apabila setelah diadakan musyawarah

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai kesepakatan,

Panitia Pengadaan Tanah menetapkan bentuk dan ganti rugi

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 hurup a dan menitipkan

ganti rugi uang kepada Pengadilan Negerim yang wilayah

hukumnya meliputi lokasi tanah yang bersangkutan.

(3) Apabila terjadi sengketa kepemilikan setelah penetapan ganti rugi

sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka panitia menitipkan

uang ganti rugi kepada pengadilan negeri yang wilayahnya

meliputi lokasi tanah yang bersangkutan.

9. Pasal 13 yang berbunyi:

(1) Bentuk ganti rugi dapat berupa:


50

a. Uang, dan atau

b. Tanah pengganti, dan atau

c. Pemukiman kembali.

(2) Dalam hal pemegang hak atas tanah tidak menghendaki bentuk

ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka dapat

diberikan kompensasi berupa penyertaan modal (saham) sesuai

dengan ketentuan perundang-undangan. Diubah menjadi:Bentuk

ganti rugi dapat berupa:

a. Uang, dan taua

b. Tanah pengganti, dan atau

c. Pemukiman kembali, dan atau

d. Gabungan dari dua atau lebih bentuk ganti kerugian

sebagaimana dimaksud hurup a, hurup b, dan hurup c.

e. Bentuk lain yang disetujui oleh pihak-pihak yang

bersangkutan.45

3. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 18 Tahun 2009

Tentang LARASITA Badan Pertanahan Nasional RI

Akronim LARASITA adalah Layanan Sertipikasi Tanah Untuk Rakyat.

Larasita dibentuk untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat dalam

45
I Wayan Suandra, 1991, Hukum Pertanahan Indonesia, Penerbit PT. Renika Cipta, Cetakan
Pertama, Jakarta, hal. 11.
51

pengurusan petanahan, mempercepat pengurusan pertanahan, meningkatkan

cakupan wilayah pengurusan pertanahan tanpa perantara dilingkungan BPN.

Untuk merealisasikan Program Larasita, BPN dalam operasionalisasinya

didukung oleh kendaraan atau alat transportasi, teknologi, informasi dan

komunikasi, serta sarana dan prasarana yang tersedia di kantor BPN

kabupaten/kota. Jadi Larasita adalah semacam kantor BPN bergerak/lapangan

(mobile), dalam hal ini petugas BPN akan lebih aktif (jemput bola) dalam

melayani masyarakat.

Operasionalisasi Larasita dilakukan oleh aparat di kantor pertanahan

dengan menggunakan seragam lengkap BPN, nama lengkap/tanda pengenal

diri, dengan surat tugas remi, dan bahkan bila diperlukan petugas

diasuransikan. Selain melaksanakan tugas pokok dan fungsi BPN (Pendaftaran

Tanah), LARASITA juga mempunyai tugas sebagai berikut:

a. Menyiapkan masyarakat dalam pelaksanaan pembaruan agrarian

nasional (reforma agrarian);

b. Melaksanakan pendampingan dan pemberdayaan masyarakat di bidang

pertanahan;

c. Melakukan pendeteksian atas tanah-tanah terlantar;

d. Melakukan pendeteksian atas tanah-tanah yang diindikasikan

bermasalah;

e. Memfasilitasi penyelesaian tanah bermasalah yang mungkin diselesaikan

dilapangan;
52

f. Menyambungkan program BPN dengan aspirasi yang berkembang

dimasyarakat;

g. Meningkatkan dan mempercepat legalisasi aset tanah masyarakat.

LARASITA adalah kebijakan inovatif yang beranjak dari pemenuhan rasa

keadilan yang diperlukan, diharapkan oleh masyarakat.LARASITA dibangun dan

dikembangkan untuk mewujudkan amanat Pasal 33 ayat (3) Undang Undang

Dasar 1945, Undang Undang Pokok Agraria, serta seluruh peraturan

perundang-undangn di bidang pertanahan dan keagrariaan. 46 Sebenarnya

diantara layanan BPN, Program layanan semacam LARASITA inilah yang

sangat dinanti-nantikan oleh rakyat, mengingat ketidakberdayaan masyarakat

dalam mengurus dan mendapatkan hak atas tanah, karena kendala yang

dirasakan masyarakat kita sangatlah besar.

Pengembangan LARASITA berangkat dari kehendak dan motivasi untuk

mendekatkan BPN RI dengan masyarakat, sekaligus mengubah paradigma

pelaksanaan tugas pokok dan fungsi BPN RI dari menunggu dan fasif menjadi

aktif atau pro aktif, mendatangi masyarakat secara langsung. Dan, LARASITA

telah diujicobakan pelaksanaannya diberbagai kabupaten/kota yang setelah

dilakukan evaluasi disimpulkan dapat dilaksanakan di seluruh Indonesia. 47

Program LARASITA BPN telah banyak dirasakan manfaatnya, terutama

masyarakat miskin dipedesaan.Cukup banyak masyarakat dipedesaan diseluruh


46
BPN-Pusat Hukum dan Hubungan Masyarakat, 2011, Peraturan Perundang-undangan Yang
Berkaitan Dengan Legislasi Aset, Jakarta, hal. 731

47
BPN-Pusat Hukum dan Hubungan Masyarakat-SJDI Hukum, Loc. Cit.
53

Indonesia yang tanahnya sudah terdaftar. Ternyata Program LARASITA cukup

signifikan dalam mempercepat proses pendaftaran tanahuntuk pertama kali.

Program Larasita yang dijalankan pemerintah telah berhasil memperbanyak

bidang-bidang tanah yang terdaftar dan dapat dijadikan acuan guna menyusun

dan menjalankan program BPN selanjutnya.

4. Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 2010 Tentang Penertiban dan

Pendayagunaan Tanah Terlantar

Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa pengaturan yang

samatelah ada di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998. Alasan

diterbitkannya peraturan yang baru, karena di dalam pelaksanaannya Peraturan

Pemerintah tersebut dianggap tidak efektif sehingga dicabut dan diganti dengan

Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Penertiban dan

Pendayagunaan Tanah Terlantar. 48 “ . . . . . . . . . Tertibkan tanah -tanah

terlantar, jangan sampai ada hamparan jutaan hektar tanah seolah-olah tidak

bertuan, padahal ada tuan yang tidak bertanggung jawab, akhirnya tidak bias

digunakan oleh rakyat kita. Tertibkan sesuai dengan peraturan dan undang-

undang yang ada.” (Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, 15 Januari 2010).

Pengertian tanah terlantar menurut Pasal 1 ayat (5) Peraturan

Pemerintah Nomor 11 Tahun2010 adalah: “Tanah yang diterlantarkan oleh

pemegang hak atas tanah, pemegang hak pengelolaan atau pihak yang telah

48
BPN RI - Pusat Hukum dan Hubungan Masyarakat – SJDI Hukum, 2011, Penertiban dan
Pendayagunaan Tanah Terlantar, Jakarta, hlm. 5.
54

memperoleh dasar penguasaan atas tanah tetapi belum memperoleh hak atas

tanah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”

Sedangkan menurut Peraturan Kepala BPN RI Nomor 4 Tahun 2010 Pasal 1

ayat (4), pengertian Tanah Terlantar adalah: “Tanah yang sudah diberikan

haknya oleh Negara, berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan,

Hak Pakai dan Hak Pengelolaan, atas dasar penguasaan atas tanah yang tidak

diusahakan, tidak dipergunakan, tidak dimanfaatkan, sesuai dengan keadaan

atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya.”

Pengertian Penertiban Tanah Terlantar menurut Pasal 1 ayat (7)

Peraturan Kepala BPN Nomor 11 Tahun 2010 adalah proses penataan kembali

tanah terlantar agar dapat dimafaatkan seoptimal mungkin untuk kepentingan

masyarakat dan Negara.Dasar hukum yang dapat dijadikan acuan bagi

pemerintah di dalam menertibkan tanah terlantar adalah Undang Undang

Nomor 5 Tahun 1960 di dalam Pasal-pasal berikut : 49

a. Pasal 10 ayat (1);

b. Pasal 15;

c. Pasal 27 hurup a butir 3;

d. Pasal 34 hurup a butir e;

e. Pasal 40 hurup e.

5. Peraturan Kepala BPN Nomor 1 Tahun 2010 Tentang Standar

Pelayanan dan Pengaturan Pertanahan


49
Ibid, hal. 6-7.
55

Peraturan Kepala BPN RI Nomor 1 Tahun 2010 adalah Tentang Standar

Pelayanan dan Pengaturan Pertanahan. Produk hukum ini dikeluarkan dalam

rangka memudahkan masyarakat dalam proses pengurusan hak atas. Implikasi

akhir dari pelaksanaan peraturan ini tentu adalah untuk kesejahteraan rakyat,

meskipun tidak secara langsung.

Peraturan tersebut dikeluarkan dalam rangka menyesuaikan

perkembangan dan tuntutan pelayanan kepada masyarakat di bidang

pertanahan yang diselenggarakan oleh kantor pertanahan. Peraturan ini

merupakan penyempurnaan terhadap 2 buah keputusan Kepala BPN RI, yaitu

Keputusan Kepala BPN RI Nomor 1 Tahun 2005 Tentang Standar Prosedur

Operasi pengaturan dan Pelayanan di lingkungan Badan Pertanahan Nasional

dan Peraturan Kepala BPN RI Nomor 6 Tahun 2008 Tentang Penyederhanaan

dan Percepatan Standar Prosedur Operasi Pengaturan dan Pelayanan

Pertanahan Untuk Jenis Pelayanan Tertentu.

Dengan adanya Peraturan Kepala BPN Nomor 1 Tahun 2010 ini berarti

telah ada standar pelayanan baku atas semua jenis pelayanan yang harus

diberikan oleh BPN kepada masyarakat. Peraturan tersebut juga merupakan

acuan, dan sekaligus juga sebagai control bagi masyarakat dalam rangka

memantau perkembangan dan tahap-tahap proses pelayanan yang diberikan

oleh BPN, khususnya kantor pertanahan kabupaten/kota.

Tujuan dari dikeluarkannya peraturan ini adalah untuk memberikan

kepastian hukum,keterbukaan, dan akuntabilitas publik sebagaimana


56

dikehendaki oleh Undang Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan

Publik. Di dalam Peraturan tersebutdiatur mengenai Ruang Lingkup Pengaturan

yang meliputi:

a. Kelompok dan jenis pelayanan;

b. Persyaratan;

c. Biaya;

d. Waktu;

e. Prosedur; dan

f. Pelaporan.

Di dalam peraturan BPN dimaksud juga ditentukan Kelompok Pelayanan

yang meliputi:

a. Pendaftaran tanah pertama kali;

b. Pemeliharaan data pendaftaran tanah;

c. Pencatatan dan informasi pertanahan;

d. Pengukuran bidang tanah;

e. Pengaturan dan penataan pertanahan; dan

f. Pengelolaan pengaduan.

Untuk jenis Kelompok Pelayanan seperti tersebut di atas rinciannya

dapat dilihat dalam Lampiran I Peraturan Kepala BPN Nomor 1 Tahun

2010.Untuk dasar hukum, persyaratan, biaya dan waktu masing-masing jenis

pelayanan, rinciannya dapat dilihat pada Lampiran II Peraturan Kepala BPN

Nomor 1 Tahun 2010.Peraturan dimaksud juga dilengkapi dengan Bagan


57

Alir/Alur Pelayanan, dimana rinciaanya termuat dalam Lampiran III Peraturan

Kepala BPN Nomor 1 Tahun 2010.Masyarakat semua berharap agar BPN

disemua lini menjalankan peraturan tersebut dengan sungguh-sungguh, selalu

dievaluasi guna lebih ditingkatkan. Di lain pihak masyarakat juga diharapkan

dapat mentaati peraturan yang dijalankan, tertib, bekerjasama, juga bersedia

membantu BPN jika diminta sehubungan dengan pelayanan yang diberikan. 50

BAB IV

PENUTUP

4.1. Kesimpulan

Dari uraian di atas, maka ada beberapa kesimpulan penting yang bisa

dipetik yakni:

1. Ada dua hal yang menyebabkan tanah itu memiliki kedudukan yang

sangat penting dalam hukum adat, yaitu pertama, karena sifatnya,

dimana tanah merupakan satu-satunya benda kekayaan yang meskipun

50
http://www.bpn.go.id/Publikasi/Peraturan-Perundangan/Peraturan-Menteri-ATR-Kepala-
BPN/peraturan-kepala-bpn-ri-nomor-1-tahun-2010-1768
58

mengalami keadaan yang bagaimanapun juga masih bersifat tetap dalam

keadaannya, bahkan terkadang semakin lama harganya bisa semakin

mahal. Kedua, karena fakta bahwa tanah merupakan tempat tinggal

persekutuan, bisa memberikan penghidupan kepada persekutuan,

tempat dimana para warga persekutuan yang meninggal dunia

dikebumikan, serta tempat tinggal dayang-dayang pelindung persekutuan

dan roh leluhur persekutuan.

2. UUPA (Undang-undang Pokok Agraria) merupakan turunan dari pasal 33

ayat 3 UUD 1945 mengandung asas (prinsip) bahwa semua hak atas

tanah dikuasi oleh negara, dan asas bahwa hak milik atas tanah dapat

dicabut untuk kepentingan umum.

3. Dalam sejarah hukum pertanahan di Indonesia sejak zaman kesultanan,

zaman kolonial, sampai zaman kemerdekaan, dalam prakteknya

diperlakukan 3 (tiga) teori penguasaan tanah yakni teori eropa, teori adat

dan teori hukum nasional.

4. Teori hukum nasional tentang pertanahan adalah hak penguasaan tanah

yang didasarkan kepada UUPA Nomor 5 Tahun 1960. Inti dari teori ini

adalah bahwa penguasaan negara atas tanah bukanlah berarti negara

bisa bertindak sewenang-wenang atas seluruh tanah yang ada di negara

ini. Penguasaan negara ini dibatasi oleh adanya hak individu dan hak

persekutuan hukum adat terhadap tanah. Sehingga tanah yang bisa

dikuasai langsung oleh negara adalah tanah yang tidak terletak padanya
59

hak individu maupun hak ulayat. Tanah yang dikuasai langsung oleh

negara itu peruntukannya juga adalah untuk kemakmuran rakyat.

5. Secara substansial produk perundang-undangan, pasca UUPA No. 5

Tahun 1960, berdasarkan sejarahnya, terbagi menjadi 3 masa, yaitu:

Masa di akhir kekuasaan pemerintahan Orde Baru; Masa di awal

reformasi 1998; dan Masa pasca lahirnya TAP MPR RI No. IX/MPR/2001.

4.2. Saran

Undang-Undang Pokok Agraria sebagai dasar hukum pertanahan

Indonesia hari ini sebenarnya sudah cukup bagus. Hal ini tidak terlepas dari

konfigurasi politik yang terjadi pada saat penyusunan UUPA tersebut. Dalam

teori politik hukum, konfigurasi politik pada suatu masa akan sangat

berpengaruh terhadap karakter hukum yang dihasilkan pada masa tersebut. Di

dalam negara yang konfigurasi politiknya demokratis, maka produk hukumnya

akan berkarakter responsif/populistik, sedangkan di negara yang konfigurasi

politiknya otoriter, maka produk hukum nya akan berkarakter ortodoks/

konservatif/elitis.

UUPA diakui sudah cukup bagus, dimana substansi isinya sangat

aspiratif dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat, cuma yang menjadi

masalah saat ini adalah dalam hal penerapannya seringkali tidak sesuai dengan

harapan masayarakat ataupun substansi dari tujuan UUPA tersebut.


60

Banyaknya sengketa agraria bukanlah disebabkan kelemahan dari UUPA

tersebut akan tetapi disebabkan penerapannya secara penuh sulit, karena

kentalnya arogansi sektoral berbagai pihak dan banyaknya tumpang tindih

aturan dan ketentuan menyangkut pertanahan. Untuk itu turunan dari UUPA

tersebut barangkali perlu ditinjau ulang disamping mental aparatur lembaga

pertanahan Indonesia juga perlu diperbaiki.

Oleh karena itu, diperlukan adanya komitmen para pemimpin bangsa

baik saat ini maupun dimasa datang untuk lebih meningkatkan kesejahteraan

rakyat melalui implementasi peraturan bidang agraria. Kiranya juga, terhadap

regulasi bidang agraria/pertanahan yang dijalankan jika substansinya berpihak

kepada perbaikan tarap hidup dan kesejahteraan masyarakat perlu

dipertahankan, sebaliknya jika tidak sesuai lagi dengan keadaan masyarakat,

maka peraturannya harus ditinjau ulang, direvisi dan bila perlu diganti agar tidak

menimbulkan gejolak di masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Ashshofa., Burhan. 2004. Metode Penelitian Hukum. Rineka Cipta. Jakarta.

Harsono., Boedi. 1999. Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan


Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya.
Djambatan. Jakarta.

Hartono., Sunarjati. 1986. Kapita Selekta Perbandingan Hukum. Alumni.


Bandung.

H., Mohammad Hatta. 2005. Hukum Tanah Nasional Dalam Perspektif


Negara Kesatuan. Penerbit Media Abadi. Sleman-Yogyakarta.
61

John Gilissent, Frits Gorle dan Freddy Tengker. 2005. Sejarah Hukum : Suatu
Pengantar. Refika Aditama. Bandung.

Ni Ketut., Supasti Dharmawan. 2006. Metodologi Penelitian Hukum Empiris.


Makalah Kedua dipresentasikan pada Lokakarya pascasarjana
Universitas Udayana.

Perangin., Effendi. 1989. Hukum Agraria di Indonesia (Suatu Telaah Dari


Sudut Pandang Praktisi Hukum). Penerbit CV. Rajawali. Jakarta.

Kuswanto., Heru. 2011. Hukum Agraria. (Modul) Fakultas Hukum Universitas


Narotama. Surabaya.

Siregar., Tampil Anshari. 2011. Undang Undang Pokok Agraria dalam


Bagan. Kelompok Studi Hukum dan Masyarakat. Fakultas Hukum
USU. Medan.

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. 2001. Penelitian Hukum Normatif (Suatu
Tinjauan Singkat). Rajawali Pers, Jakarta.

Sumardjono., Maria SW. 2009. Tanah Dalam Perspektif Ekonomi Sosial dan
Budaya. Penerbit Buku Kompas. Jakarta.

Subekti. 1985. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Intermasa. Jakarta

Sutiknjo., Imam. 1994. Politik Agraria Nasional. Gadjah Mada University


Press. Yogyakarta.

Suandra., I Wayan. 1991. Hukum Pertanahan Indonesia. Penerbit PT. Renika


Cipta. Cetakan Pertama. Jakarta.

Siregar., Tampil Anshari., 2011. Pendaftaran Tanah Kepastian Hak. Fakultas


Hukum Universitas Sumatera Utara. Medan.

Soeprijadi. 1996. Reorganisasi Tanah serta Keresahan Petani dan


Bangsawan di Surakarta 1911-1940. Tesis. UGM. Yogyakarta.

Soekanto., Soerjono. 2001. Sosiologi Suatu Pengantar. PT. Raja Grafindo


Persada. Jakarta.

Umar Kusumo Haryono, “Eksistensi Tanah Kasultanan (Sultan Ground)


Yogyakarta Setelah Berlakunya UU No. 5 / 1960”, Yustisia Edisi
Nomor 68 Mei - Agustus 2006,
62

Wignjodipoero., Soerojo. 1983. Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat. PT.


Gunung Agung. Jakarta.

BPN - Pusat Hukum dan Hubungan Masyarakat, 2011, Peraturan Perundang-


undangan Yang Berkaitan Dengan Legislasi Aset, Jakarta,

Zuryawan Isvandiar Zoebir. “Bayang-Bayang Cultuurstelsel Dan Domein


Verklaring Dalam Praktik Politik Agraria,”
http://zuryawanisvandiarzoebir.wordpress.com/2008/11/07/bayang-
bayang-cultuurstelsel-dan-domein-verklaring-dalam-praktik-politik-
agraria/, (07 April 2017).

Perudang-undangan :

1. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960, tentang Peraturan Dasar Pokok-


Pokok Agraria (UUPA).
2. Undang-Undang No. 41 Tahun 1999, tentang Kehutanan.
3. TAP MPR Nomor. IX/MPR/2001, tentang Pembaruan Agraria dan
Pengelolaan Sumber Daya Alam.
4. PP No. 10 Tahun 1961, tentang Pendaftaran Tanah.
5. PP No. 36 Tahun 1998, tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah
Terlantar.
6. PP No. 11 Tahun 2010, tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah
Terlantar.
7. PP No. 24 Tahun 1997, tentang Pendaftaran Tanah.
8. Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005, tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
9. Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2006, tentang Perubahan Atas
Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005, tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
10. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 5 Tahun 1999,
tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum
Adat.
63

11. Peraturan Kepala BPN No. 18 Tahun 2009, tentang LARASITA BPN-RI.
12. Peraturan Kepala BPN No. 1 Tahun 2010, tentang Standar Pelayanan
dan Pengaturan Pertanahan.

Anda mungkin juga menyukai