Hukum Pertanahan Pada Era Reformasi Dala
Hukum Pertanahan Pada Era Reformasi Dala
MAKALAH INDIVIDUAL
Disusun untuk memenuhi persyaratan dalam mengikuti
Matakuliah SEJARAH HUKUM pada Program Magister Ilmu Hukum
Pascasarjana Universitas Islam As-Syafi’iyyah (UIA) Jakarta
Disusun Oleh :
KATA PENGANTAR
1
Alhamdulillah, puji dan syukur kehadirat Allah Swt, berkat karunia dan
hidayah-Nya, makalah saya yang berjudul HUKUM PERTANAHAN PADA ERA
REFORMASI, DALAM PERSPEKTIF SEJARAH HUKUM DI INDONESIA, bisa
saya selesaikan, meskipun masih banyak kekurangan disana-sini. Semoga
makalah ini dapat memenuhi tugas saya selaku Mahasiswa Magister Ilmu
Hukum, pada Pasca Sarjana (S2) Universitas Islam As-Syafi’iyyah (UIA).
Dalam makalah ini, saya mencoba menjawab dua pokok permasalahan,
yaitu : Bagaimana Politik Hukum Pertanahan di Indonesia ?, dan Bagaimana
Hukum Pertanahan pada Era Reformasi Dalam Perspektif Sejarah Hukum di
Indonesia ?. Guna menjawab pokok permasalahan tersebut, penulis mengguna-
kan pendekatan deskriptif-kualitatif.
Terkait dengan data-data dalam makalah ini, penulis peroleh dengan
menggunakan metode penelitian kepustakaan (Library Research). Metode ini
dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder, yang terdiri
dari : Bahan-bahan primer, yaitu bahan-bahan yang mengikat dan terdiri dari
buku-buku, jurnal, dan lain-lain, yang terkait dengan masalah yang dibahas.
Dan, Bahan-bahan sekunder, yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan
terhadap bahan-bahan primer berupa artikel-artikel hasil-hasil penelitian, atau
pendapat pakar hukum lainnya.
Akhirnya, penulis berharap semoga makalah ini dapat menjadi sumber
inspirasi dan rujukan guna melakukan penelitian lebih dalam, tentang sejarah
dan perkembangan Undang-Undang Pertanahan di Indonesia.
Billaahit Taufiq wal Hidaayah,
Jakarta, 01 Juni 2017.
Penulis,
BAB I : PENDAHULUAN
BAB IV : Penutup
1. Kesimpulan ................................................................ 50
2. Saran ......................................................................... 60
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
3
agama Islam diyakini bahwa manusia sendiri berasal dari tanah dan akan
satu keluarga terkadang bisa retak akibat persengketaan tanah. “Di masyarakat
hukum etinis Jawa terkenal filosofi yang menyatkan sedumuk batuk senyari
bumi, yen perlu ditohi pati (biar sejengkal tanah miliknya bila perlu
dari tanah baik itu tanah persawahan maupun perkebunanan. Intinya manusia
dalam kehidupannya tidak bisa terlepas dari tanah, karena manusia hidup dan
beraktifitas di atas tanah. Dalam hal ini masyarakat hukum etnis Batak
menyatakan tanah sebagai ulos na sora buruk (kain yang tak akan pernah
lapuk).2
itu memiliki kedudukan yang sangat penting dalam hukum adat, yaitu pertama,
semakin mahal. Kedua, karena fakta bahwa tanah merupakan tempat tinggal
persekutuan.
Pada zaman dahulu ketika penduduk bumi masih jarang manusia bebas
mengusahai tanahnya atas seizin dari raja/sultan. Pada masa itu sultan/raja
memang memilki otoritas yang relatif besar atas tanah. Menurut Soemarsaid
Martono sebagaimana dikutip oleh Soeprijadi, “raja mempunyai dua hak atas
tanah. pertama, berupa hak politik atau hak publik yang mengatur dan
tanah di Indonesia juga mulai berubah. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh
4
Soeprijadi, 1996, Reorganisasi Tanah serta Keresahan Petani dan Bangsawan di Surakarta 1911-
1940, Tesis, UGM, Yogyakarta, Hal.1-2
5
Menurut konsep hukum adat awalnya semua tanah adalah milik raja
oleh berbagai kalangan, baik dalam bentuk buku-buku referensi, jurnal ilmiah
demikian setidaknya dari kajian itu dapat diperoleh bahan untuk dijadikan
5
Siregar, Pendaftaran Tanah, Op.Cit. Hlm.11.
6
atau pertanahan.
kepada sejarah hukum pertanahan sebagai salah satu bagian yang integral dari
Dalam kajian terhadap hukum pertanahan ini, penulis melakukan kajian dari
hukum Pertanahan kedepan tidak akan terlepas dari proses dan pergelutan
sebagai berikut :6
1. Hukum tidak hanya berubah dalam ruang dan letak, melainkan juga
dalam lintasan kala dan waktu. Hal ini berlaku bagi sumber-sumber
hukum materil).
6
John Gilissen†, 2005, Frits Gorle dan Freddy Tengker, Sejarah Hukum : Suatu Pengantar, Refika
Aditama, Bandung, hal. 1 dst.
7
4. Hal ikhwal yang teramat penting di sini adalah perlindungan hak asasi
gejala historis.
Dari uraian diatas, maka saya tertarik untuk menyusun makalah ini
Dari latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam makalah ini
teoritik yang merupakan landasan teoritis, dan landasan ini adalah upaya untuk
hukum dan lain-lain yang akan dipakai sebagai landasan untuk membahas
permasalahan penelitian.7
teori yang berupa asumsi, konsep, definisi dan proposisi untuk menerangkan
antar konsep.8 Suatu teori merupakan hubungan antar dua variable atau lebih
7
Supasti Dharmawan Ni Ketut, 2006, Metodologi Penelitian Hukum Empiris, Makalah Kedua
dipresentasikan pada Lokakarya pascasarjana Universitas Udayana.
8
Burhan Ashshofa, 2004, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, hal. 19.
9
yang telah diuji kebenarannya. Fungsi teori dalam suatu penelitian adalah untuk
Dalam pasal 33 ayat 3 UUD 1945, dinyatakan bahwa, “Bumi dan air dan
dapat dipahami bahwa segala tanah air Indonesia berada di bawah kekuasaan
Tanah memang menjadi hal penting dalam kehidupan manusia, untuk itu
maka setelah Indonesia merdeka dan situasi politik agak normal, pada tanggal
Agraria (UUPA).
asas (prinsip) bahwa semua hak atas tanah dikuasi oleh negara, dan asas
bahwa hak milik atas tanah “dapat dicabut untuk kepentingan umum”. Prinsip ini
tertuang dalam pasal 2 dan pasal 18 UUPA. Berdasarkan pasal 2 UUPA ini
negara menjadi pengganti semua pihak yang mengaku sebagai penguasa tanah
yang sah. Negara dalam hal ini merupakan lembaga hukum sebagai organisasi
9
Soerjono Soekanto, 2001, Sosiologi Suatu Pengantar, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 30.
10
dalam proses ini bertindak sebagai pihak yang melaksanakan dan menerapkan
penguasaan atas tanah yang muncul sekaligus menjadi fasilitator bagi pihak-
penyelenggara negara mengenai kepemilikan ini. Untuk itu berikut ini akan
(tiga) teori penguasaan tanah yakni Teori Eropa, Teori Adat dan Teori Hukum
Nasional.12 Ketiga teori ini silih berganti diterapkan di Indonesia sesuai dengan
zamannya masing-masing.
1. Teori Eropa.
10
Syafruddin Kalo, “Perbedaan Persepsi Mengenai Penguasaan Tanah dan Akibatnya Terhadap
Masyarakat Petani di Sumatera Timur pada Masa Kolonial yang Berlanjut pada Masa Kemerdekaan,
Orde Baru dan Reformasi”, Program Studi Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara, t.t. hal. 3.
11
Umar Kusumo Haryono, “Eksistensi Tanah Kasultanan (Sultan Ground) Yogyakarta Setelah
Berlakunya UU No. 5 / 1960”, Yustisia Edisi Nomor 68 Mei - Agustus 2006, hal. 3.
12
Kalo, Op.Cit. halaman 7.
11
orang eropa. Sebagaimana diketahui, bahwa pada masa lalu wilayah nusantara
oleh pemikiran orang eropa. Sejarah eropa telah mencatat bahwa sebelum
terjadinya Revolusi Prancis, di Eropa berlaku doktrin bahwa raja adalah wakil
Tuhan di bumi, sehingga pada masa itu raja-raja di eropa memiliki kekuasaan
yang sangat tinggi untuk mengatur negaranya, bahkan raja dianggap berkuasa
atas segala hal, raja adalah penguasa negara dan raja pula berkuasa atas
tanah-tanah di negaranya.
pemikiran bahwa raja adalah penguasa mutlak atas tanah negara diberlakukan
juga di Indonesia oleh penguasa bangsa eropa tersebut. dalam hal ini Kalo
Moi” atau Negara adalah Saya. Teori ini mencerminkan kekuasaan yang
besar atas tanah. Raja dianggap sebagai wakil negara dan pemilik tanah
adalah negara. Teori ini juga berlaku di Inggris dan Belanda. Indonesia
yang berarti bahwa semua tanah di Indonesia adalah milik raja dan
tanah negara. Atas dasar teori ini maka pemerintah kolonial dapat
skala besar.13
mempunyai kekuasaan hak domein atas tanah maka dengan sendirinya hak
domein itu juga diambil over oleh Belanda karena Belanda memegang
Belanda dapat memiliki tanah-tanah rakyat indonesia yang pada waktu hampir
seluruhnya masih menerapkan sistem hukum adat. Karena pemilikan atas tanah
berdasarkan sistem adat tidak ada satupun yang menyamai hak eigendom. 14
Belanda di dasarkan kepada Agrarische Wet (staatblad 1870 nomor 118) yang
terkait dengan Agrarische Wet (staatblad 1870 nomor 55). Pasal 1 Agrarische
13
Ibid, hlm. 7.
14
Zuryawan Isvandiar Zoebir, “Bayang-Bayang Cultuurstelsel Dan Domein Verklaring Dalam Praktik
Politik Agraria,” http://zuryawanisvandiarzoebir.wordpress.com/2008/11/07/bayang-bayang-
cultuurstelsel-dan-domein-verklaring-dalam-praktik-politik-agraria/, (07 April 2017).
13
orang asing dengan hak sewa (erfacht).15 Dalam hal ini ada dua hal penting
b. Domein verklaring tidak lebih ditujukan terhadap tanah yang tunduk pada
hukum adat, mengingat dalam sistem hukum adat tidak dikenal dengan
hukum barat.16
tersebut maka tanah adat (ulayat) yang meskipun menurut kenyataannya masih
ada dan ditaati oleh masyarakat hukum adat, tidak diakui lagi keberadaannya,
karena tanah tersebut telah dikategorikan sebagai domein negara, yaitu tanah
2. Teori Adat
milik komunal atau persekutuan hukum (beschikkingsrecht). Dalam hal ini setiap
terlebih dahulu dan jika mereka mengerjakan tanah tersebut secara terus-
menerus maka tanah tersebut dapat menjadi hak milik secara individual. 18
Tentang pemilikan tanah adat ini, Ter Haar sebagaimana dikutip oleh
kepadanya. Jadi tuntutan pemilikan hak milik ini lenyap sama sekali
17
Boedi Harsono, 1999, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, hal. 46.
18
Kalo, Op.cit., halaman 9
15
Menurut Wignjodipoero, hak persekutuan atas tanah ini disebut juga hak
ulayat ini dalam bentuk dasarnya adalah suatu hak daripada persekutuan atas
persekutuan itu sendiri atau oleh kepala persekutuan atas nama persekutuan.” 21
Hak ulayat adalah hak suatu masyarakat hukum adat untuk menguasai
recognitie.22
hanya anggota masyarakat hukum adat (persekutuan) itu sendiri yang boleh
sebagai berikut:
19
Ibid., halaman 9-10.
20
Soerojo Wignjodipoero, Op.Cit., halaman 198.
21
ibid., halaman 199.
22
Tampil Anshari Siregar, 2011, Undang Undang Pokok Agraria dalam Bagan, Kelompok Studi
Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum USU, Medan, hal. 20.
16
melakukan hak ulayat dimaksud dengan memetik hasil daripada tanah beserta
Semua tanah, hutan, jika perlu sampai ke puncak gunung, jika penduduk
mempunyai hak baik yang nyata maupun yang secara diam-diam diakui,
tanah itu bukan tanah negara. Menurut hukum adat, desa mempunyai
23
Ibid., hal. 198.
17
Lebih jelasnya tentang hak ulayat ini, Siregar menguraikan ciri-ciri hak
tersebut hanya saja harus mendapat izin terlebih dahulu dari kepala
dikenal.
hak milik bumi putera (Inlands bezitrecht) terbagi kepada dua macam yaitu:
24
Kalo, Op.Cit., hal. 10.
18
a. Communaal bezitrecht (hak milik komunal) bila hak itu ada pada
masyarakat hukum.
b. Ervelijk individueel bezitrecht (hak milik perorangan) bila hak milik itu ada
tanah dan tetap diakui keberadannya yang mana hak itu diwariskan secara
tanah yang didasarkan kepada UUPA Nomor 5 Tahun 1960. Dalam hal ini Hak
pasal 2 UUPA :
hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air dan ruang
rakyat.
b. Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat 1 pasal ini memberi
wewenang untuk :
25
Siregar, Undang-Undang, Op.Cit., hal. 20-21.
19
tersebut;
Pemerintah.26
tidak berlaku lagi, karena memang UUPA dimaksudkan sebagai pengganti dari
26
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, Pasal 2
20
dalam semangat anti imprealistik, kapitalistik dan feodalistik ini Boedi Harsono
individual atas tanah” di sisi lain menjadi landasan ideologis dan filosofis
pembentukan UUPA. Selain itu, salah satu arti penting UUPA lainnya,
bahwa hukum agraria nasional adalah berdasar hukum adat dan tidak
Agraria Nasiona yang berdasarkan hukum adat tentang tanah, dengan kelahiran
tidak ada lagi hak atas tanah menurut hukum Barat disamping hak atas tanah
negara diakui sebagai penguasa atas tanah bukanlah berarti negara bisa
Penguasaan negara ini dibatasi oleh adanya hak individu dan hak persekutuan
hukum adat terhadap tanah. Dalam hal ini Kalo menjelaskan sebagai berikut:
sesuatu hak dibatasi oleh isi dari hak itu, artinya sampai seberapa negara
dipunyai dengan sesuatu hak oleh seseorang atau pihak lain adalah sangat luas
dan penuh. Misalnya negara dapat memberikan tanah yang sedemikian itu
peruntukkannya dan keperluannya, misalnya Hak Milik dan Hak Guna Usaha,
Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai ataupun dengan memberikan hak
pengelolaan pada suatu badan penguasa. Selain itu, kekuasaan negara atas
tanah-tanah ini sedikit atau banyak dibatasi pula oleh hak ulayat dari kesatuan-
kesatuan masyarakat hukum sepanjang kenyataan hak ulayat itu masih ada. 29
tanah seperti ini disebut dengan istilah “tanah yang dikuasai langsung oleh
negara” atau kemudian disebut secara singkat sebagai “tanah negara”. Adapun
hak menguasai negara secara tidak langsung adalah hak menguasai negara
terhadap tanah yang telah dihaki perseorangan, atau disebut dengan “tanah
yang dikuasai tidak langsung oleh negara” atau “tanah negara tidak bebas”
perseorangan ini pada dasarnya bersifat pasif, kecuali jika tanah itu dibiarkan
dibatasi kepada lima macam hak yaitu, hak milik, hak guna usaha, hak guna
30
Sunarjati Hartono, Kapita Selekta Perbandingan Hukum, Alumni, Bandung, 1986, halaman 63.
31
Imam Sutiknjo, 1994, Politik Agraria Nasional, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, hal.
53.
23
dibahas.
3. Analisis Data.
32
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. 2001. Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat).
Rajawali Pers, Jakarta. Hlm. 251-252.
24
permasalahan yang telah dirumuskan diatas, oleh karena itu sistematika pada
BAB I Pada bab ini, peneliti memaparkan tentang latar belakang penelitian
dengan baik. Selain itu, pada bab 1 ini, peneliti juga mengemukakan
BAB III Pada bab ini, peneliti memaparkan tentang periodisasi sejarah hukum
Orde Baru, masa di awal reformasi 1998, dan masa pasca lahirnya
BAB IV Pada bab akhir ini, penulis meyimpulkan apa yang sudah peneliti
rekomendasi.
BAB II
oleh para “Founding Fahter” bangsa Indonesia secara Politik pada tanggal 17
kembali pada Konstitusi Negara, yaitu Pasal 33 ayat (3) Undang Dasar 1945
yang berbunyi : “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
rakyat.”
Undang no. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria yang
lebih popular dengan sebutan UUPA. Hanya saja dalam perjalanannya UUPA
penduduk negeri ini. Sementara itu, banyak kalangan berpendapat di era 1960,
saat terbentuknya UUPA adalah prestasi besar bangsa Indonesia karena telah
Setelah tumbangnya rezim Orde Baru, hakikat UUPA itu secara perlahan
dikembalikan kepada maksud dan tujuannya semula, yang pada intinya sektor
33
Dalam Konsiderans UU No. 5 Tahun 1960 disebutkan : “bahwa di dalam Negara Republik
Indonesia yang susunan kehidupan rakyatnya, termasuk perekonomiannya, terutama masih bercorak
agraris, bumi, air dan ruang angkasa sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa mempunyai fungsi yang
amat penting dalam membangun mansyarakat yang adil dan makmur.”
27
sosial juga harus pula berjalan seperti sektor pendidikan, kesehatan dan tidak
pokok Agraria (UUPA), yang sejak awal berciri populis sebagaimana tampak
dan hambatan.34
banyak yang diemban oleh UUPA itu sendiri. Pemimpin dan bangsa ini telah
konkrit yang diambil adalah diawali oleh lembaga Tinggi Negara Majelis
Permusyawaratan Rakyat (di era Orde Baru Lembaga Tetinggi Negara), yaitu
34
Maria SW Sumardjono. 2009. Tanah Dalam Perspektif Ekonomi Sosial dan Buday. Penerbit Buku
Kompas. Jakarta. Hal. 36.
28
agraria yang berpihak kepada rakyat banyak, harus segera dilakukan agar
dalam masyarakat kita. Hal ini terjadi karena arah kebijakan pembanguan di
bidang agrarian di era pemerintahan Orde Baru tidak banyak berpihak kepada
Oleh karena itu di dalam Pasal 5 ayat (1) TAP MPR RI No. IX/MPR/2001
35
Dalam salah satu konsiderans TAP MPR RI No. IX/MPR/2001 disebutkan : “bahwa pengelolaan
sumber daya agrarian/sumber daya alam selama ini telah menimbulkan penurunan kualitas
lingkungan, ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatannya, serta
menimbuilkan berbagai konflik.”
29
Ketetapan ini;
landreform;
diuraikan diatas, akan menyoroti salah satu dari arah kebijakan dimaksud, yaitu
No.IX/MPR/2001.
3. Mengganti seluruhnya.
rakyat maka diganti seluruhnya. Bila sebagian saja direvisi, dan bila baik dan
sesuai saja dengan misi perbaikan kehidupan rakyat maka peraturan dimaksud
BAB III
pada Era Reformasi, berdasarkan sejarahnya, terbagi menjadi 3 masa, yaitu: 1).
Masa di akhir kekuasaan pemerintahan Orde Baru; 2). Masa di awal reformasi
1998; dan 3). Masa pasca lahirnya TAP MPR RI No. IX/MPR/2001. 36
tidaklah nol sama sekali. Diakui memang ada regulasi bidang pertanahan yang
baik dan berpihak kepada masyarakat kecil, akan tetapi dalam implementasi
kebijakan lebih banyak menyentuh pihak kalangan menengah keatas dan para
pemodal.
36
http://eprints.unlam.ac.id/297/1/JURNAL%20MAHYUNI%20.pdf (diakses pada 20 Mei 2017)
32
Tanah. Hal ini merupakan salah satu produk peraturan pertanahan yang
kompleks.37
rakyat.
37
PP No. 24 Tahun 1997 dalam konsiderans hurup a menyebutkan; “bahwa Pembangunan
Nasional yang berkelanjutan memerlukan dukungan jaminan kepastian hukum bidang pertanahan”.
Selanjutnya dalam konsiderans hurup c disebutkan: “PP No. 10 Tahun 1961 Tentang pendaftaran
Tanah dipandang tidak dapat lagi sepenuhnya mendukung tercapainya hasil yang lebih nyata pada
Pembangunan Nasional, sehingga perlu dilakukan penyempurnaan.”
33
yaitu:
pemerintah yang lama hal ini memang ada, tetapi tidak terlalu dipacu
pemerintah yang lama hal ini juga ada, akan tetapi sosialisasi dan
10 Tahun 1961, tenggat waktunya lebih lama, dan biaya dirasa masih
diatur. Pihak yang merasa keberatan atas diberikannya hak atas tanah kepada
pemegang hak itu sendiri, atau kepada instansi yang memberikan hak itu, atau
diberikan.Cara inilah yang oleh para ahli dan pengamat hukum agraria
kekurangan yang ada pada Peraturan Pemerintah yang lama (PP No. 10 Tahun
adalah untuk memperoleh alat pembuktian yang kuat tentang sahnya perbuatan
hukum mengenai tanah.39 Hal positif Yang dirasakan dengan sstem pendaftaran
tanah yang dianut oleh Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, yaitu
bahwa baik pihak yang merasa dirugikan dengan terdaftarnya hak atas tanah
Sebaliknya bagi pemegang hak atas tanah juga ada jaminan kepastian hukum
manakala masa menuntut telah terlampaui (5 tahun). Hal ini berarti pemegang
hak tidak terbebani oleh tuntutan hak dari seseorang dimasa yang akan datang.
dapat saja dituntut kapan saja tanpa batas waktu meskipun ia memiliki dan
menyadari bahwa pemberian hak atas tanah dimasa lalu kepada perorangan,
dan badan hukum, kiranya perlu ditinjau ulang dan dibenahi.Alasannya adalah
bahwa tanah yang diberikan tidak digunakan oleh pemegang hak sesuai
dengan peruntukkan, sifat dan tujuannya, mengingat semua hak atas tanah
Undang Nomor 5 Tahun 1960, yaitu “tanah diterlantarkan kalau disengaja tidak
dipergunakan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan daripada haknya.” 40
Tuhan Yang Maha Esa, sehingga wujud mensyukurinya adalah dengan cara
40
Pasal 10 ayat (1) UU No. 5 Tahun1960 menyatakan bahwa: “Setiap orang atau badan hukum
yang mempunyai suatu hakatas tanah pertanian pada azasnya diwajibkan mengerjakan atau
mengusahakannya sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara pemerasan.”
37
waktu pada tahun 2010 dicabut dengan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun
rakyat.
dikeluarkannya TAP MPR RI No. IX/MPR/2001. Nampaknya pada masa ini tidak
dalam negeri yang belum kondusif, sehingga para penyelenggara negara belum
41
BPN RI-Pusat Hukum dan Hubungan Masyarakat-SJDI Hukum, 2011, Penertiban dan
Pendayagunaan Tanah Terlantar, Hlm. 6.
38
Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dan Undang Undang Nomor 41
perundang-undang dimaksud :
Durin. Peraturan ini lahir mengingat dimasa itu diberbagai daerah timbul
berbagai masalah yang berkaitan dengan hak ulayat. Untuk itulah kiranya
penyelesaian hak ulayat masyarakat hukum adat tidak ada pedomannya, jadi
tidak ada norma baku yang dapat dijadikan acuan manakala pemerintah hendak
Menteri Negara Sekretaris Negara pada tanggal yang sama dengan tanggal
1960, seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alamyang
Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia
dan merupakan kekayaan nasional. Dalam ayat (4) nya disebutkan pula bahwa:
“Dalam pengertian bumi termasuk pula tubuh bumi, dibawahnya serta yang
berada dibawah air. Jadi pengertian agrarian dalam arti luas termasuk juga
(tanah).”
42
Hal ini disebutkan dalam pertimbangan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 5
Tahun 1999 hurup b: “Bahwa dalam kenyetaannya pada waktu ini banyak daerah masih terdapat
tanah-tanah dalam lingkungan masyarakat hukum adat yang pengurusan, penguasaan,
penggunaannya didasarkan pada ketentuan hukum adat setempat dan diakui oleh para warga
masyarakat hukum adar yang bersangkutan sebagai tanah ulayatnya.”
40
lepas pula kritik karena dianggap masih berpihak kepada pemodal, namun
meskipun Undang Undang Nomor 41 Tahun 1999 tidak lepas dari kritik
terhadap isinya, namun undang-undang tersebut tentu lebih baik dari Undang
43
Mohammad Hatta, H, 2005, Hukum Tanah Nasional Dalam Perspektif Negara Kesatuan,
Penerbit Media Abadi, Sleman-Yogyakarta, hal. 151
41
Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan yang mengatur dan melindungi hak
a. Pasal 1 ayat (6) :”Hutan adat adalah hutan Negara yang berada dalam
diakui keberdaannya.
44
UU No. 41 Tahun 1999, tentang Kehutanan.
42
b. lembaga pendidikan,
c. lembaga penelitian,
kesejahteraannya.
43
Daerah.
Kepentingan Umum yang dianggap sudah tidak sesuai lagi sebagai landasan
Alasan lain dari diterbitkannya Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 ini
adalah agar pengadaan tanah dapat dilakukan lebih cepat dan transparan
atas tanah.
44
mendapat sorotan, kritikan tajam dan bahkan ditentang ditentang keras oleh
diantaranya Kanal Banjir Timur (Proyek BKT). Akan tetapi untuk Pengadaan
Pemerintah.
penting dari Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 ini adalah perubahan
2). Pencabutan hak atas tanah. Diubah menjadi “Pengadaan tanah bagi
tanah.”
a. jalan umum danjalan tol, rel kereta api (di atas tanah, di ruang atas tanah,
ataupun di ruang bawah tanah), saluran air minum air bersih, saluran
e. peribadatan;
g. pasar umum;
naungan PBB;
n. fasilitas TNI dan Polri sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya;
r. pertamanan;
s. panti sosial;
Pasal 2, yang selanjutnya dimiliki atau akan dimiliki oleh Pemerintah atau
Pemerintah Daerah, meliputi:a.jalan umum danjalan tol, rel kereta api (di
atas tanah, di ruang atas tanah, ataupun di ruang bawah tanah), saluran
air minum air bersih, saluran pembuangan air dan sanitasi; b. waduk,
pada ayat (1), ayat(2) dan ayat (3) terdiri atas unsur perangkat daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1),ayat (2) dan ayat (3) terdiri atas
“menaksir dan mengusulkan besarnya ganti rugi atas tanah yang haknya
besarnya ganti rugi atas yang haknya akan dilepaskan atau diserahkan”
undangan pertama.
49
c. Pemukiman kembali.
(2) Dalam hal pemegang hak atas tanah tidak menghendaki bentuk
bersangkutan.45
45
I Wayan Suandra, 1991, Hukum Pertanahan Indonesia, Penerbit PT. Renika Cipta, Cetakan
Pertama, Jakarta, hal. 11.
51
(mobile), dalam hal ini petugas BPN akan lebih aktif (jemput bola) dalam
melayani masyarakat.
diri, dengan surat tugas remi, dan bahkan bila diperlukan petugas
pertanahan;
bermasalah;
dilapangan;
52
dimasyarakat;
dalam mengurus dan mendapatkan hak atas tanah, karena kendala yang
pelaksanaan tugas pokok dan fungsi BPN RI dari menunggu dan fasif menjadi
aktif atau pro aktif, mendatangi masyarakat secara langsung. Dan, LARASITA
47
BPN-Pusat Hukum dan Hubungan Masyarakat-SJDI Hukum, Loc. Cit.
53
bidang-bidang tanah yang terdaftar dan dapat dijadikan acuan guna menyusun
Pemerintah tersebut dianggap tidak efektif sehingga dicabut dan diganti dengan
terlantar, jangan sampai ada hamparan jutaan hektar tanah seolah-olah tidak
bertuan, padahal ada tuan yang tidak bertanggung jawab, akhirnya tidak bias
digunakan oleh rakyat kita. Tertibkan sesuai dengan peraturan dan undang-
pemegang hak atas tanah, pemegang hak pengelolaan atau pihak yang telah
48
BPN RI - Pusat Hukum dan Hubungan Masyarakat – SJDI Hukum, 2011, Penertiban dan
Pendayagunaan Tanah Terlantar, Jakarta, hlm. 5.
54
memperoleh dasar penguasaan atas tanah tetapi belum memperoleh hak atas
ayat (4), pengertian Tanah Terlantar adalah: “Tanah yang sudah diberikan
haknya oleh Negara, berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan,
Hak Pakai dan Hak Pengelolaan, atas dasar penguasaan atas tanah yang tidak
Peraturan Kepala BPN Nomor 11 Tahun 2010 adalah proses penataan kembali
b. Pasal 15;
e. Pasal 40 hurup e.
akhir dari pelaksanaan peraturan ini tentu adalah untuk kesejahteraan rakyat,
Dengan adanya Peraturan Kepala BPN Nomor 1 Tahun 2010 ini berarti
telah ada standar pelayanan baku atas semua jenis pelayanan yang harus
acuan, dan sekaligus juga sebagai control bagi masyarakat dalam rangka
yang meliputi:
b. Persyaratan;
c. Biaya;
d. Waktu;
e. Prosedur; dan
f. Pelaporan.
yang meliputi:
f. Pengelolaan pengaduan.
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Dari uraian di atas, maka ada beberapa kesimpulan penting yang bisa
dipetik yakni:
1. Ada dua hal yang menyebabkan tanah itu memiliki kedudukan yang
50
http://www.bpn.go.id/Publikasi/Peraturan-Perundangan/Peraturan-Menteri-ATR-Kepala-
BPN/peraturan-kepala-bpn-ri-nomor-1-tahun-2010-1768
58
ayat 3 UUD 1945 mengandung asas (prinsip) bahwa semua hak atas
tanah dikuasi oleh negara, dan asas bahwa hak milik atas tanah dapat
diperlakukan 3 (tiga) teori penguasaan tanah yakni teori eropa, teori adat
yang didasarkan kepada UUPA Nomor 5 Tahun 1960. Inti dari teori ini
ini. Penguasaan negara ini dibatasi oleh adanya hak individu dan hak
dikuasai langsung oleh negara adalah tanah yang tidak terletak padanya
59
hak individu maupun hak ulayat. Tanah yang dikuasai langsung oleh
reformasi 1998; dan Masa pasca lahirnya TAP MPR RI No. IX/MPR/2001.
4.2. Saran
Indonesia hari ini sebenarnya sudah cukup bagus. Hal ini tidak terlepas dari
konfigurasi politik yang terjadi pada saat penyusunan UUPA tersebut. Dalam
teori politik hukum, konfigurasi politik pada suatu masa akan sangat
konservatif/elitis.
masalah saat ini adalah dalam hal penerapannya seringkali tidak sesuai dengan
aturan dan ketentuan menyangkut pertanahan. Untuk itu turunan dari UUPA
baik saat ini maupun dimasa datang untuk lebih meningkatkan kesejahteraan
maka peraturannya harus ditinjau ulang, direvisi dan bila perlu diganti agar tidak
DAFTAR PUSTAKA
John Gilissent, Frits Gorle dan Freddy Tengker. 2005. Sejarah Hukum : Suatu
Pengantar. Refika Aditama. Bandung.
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. 2001. Penelitian Hukum Normatif (Suatu
Tinjauan Singkat). Rajawali Pers, Jakarta.
Sumardjono., Maria SW. 2009. Tanah Dalam Perspektif Ekonomi Sosial dan
Budaya. Penerbit Buku Kompas. Jakarta.
Perudang-undangan :
11. Peraturan Kepala BPN No. 18 Tahun 2009, tentang LARASITA BPN-RI.
12. Peraturan Kepala BPN No. 1 Tahun 2010, tentang Standar Pelayanan
dan Pengaturan Pertanahan.