Anda di halaman 1dari 18

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR.................................................................................... i

DAFTAR ISI................................................................................................... ii

BAB I. PENDAHULUAN............................................................................. 1

1.1 Latar Belakang ............................................................................ 1

1.2 Tujuan Penulisan ......................................................................... 2

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA................................................................... 3

2.1 Defenisi Epilepsi.......................................................................... 3

2.2 Epidemiologi Epilepsi.................................................................. 3

2.3 Etiologi Epilepsi........................................................................... 4

2.4 Patofisiologi Epilepsi................................................................... 5

2.5 Klasifikasi Epilepsi...................................................................... 5

2.6 Diagnosis...................................................................................... 6

2.7 Manifestasi Klinis........................................................................ 8

BAB III PENUTUP......................................................................................... 15

3.1 Kesimpulan .................................................................................... 15

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 16
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Epilepsi adalah salah satu gangguan neurologi yang terbanyak dan
memengaruhi berbagai usia. Di berbagai bagian di dunia, orang dengan epilepsi
(ODE) dan keluarganya menderita karena stigma yang negatif serta diskriminasi,
yang pada akhirnya akan menyebabkan penghindaran sosial. Walau penyakit ini
telah dikenal lama dalam masyarakat, terbukti dengan adanya istilah-istlilah
bahasa daerah untuk penyakit ini seperti sawan, ayan dan lain sebagainya, tetapi
pengertian akan penyakit ini masih kurang bahkan salah, sehingga penyandang
digolongkan dalam penyakit gila, kutukan dan, turunan yang berakibat
penyandang epilepsi tidak diobati atau bahkan disembunyikan.1
Akibatnya banyak penderita epilepsi yang tidak terdiagnosis dan mendapat
pengobatan yang tidak tepat sehingga menimbulkan dampak klinis dan psikososial
yang merugikan baik penyandang maupun keluarganya, adanya gangguan tidur,
perasaan rendah diri, kecemasan dan depresi. Beberapa studi telah menunjukkan
pasien dengan epilepsi mempunyai beberapa gangguan kognitif tingkat tertentu,
termasuk memori, atensi, visuospasial, fungsi ekskutif, abstraksi, dan kecepatan
berpikir. 2
Epilepsi merupakan salah satu kelainan otak yang serius dan umum terjadi"
sekitar lima puluh juta orang di seluruh dunia mengalami kelainan ini. angka
epilepsi lebih tinggi di negara berkembang. insiden epilepsi di negara maju
ditemukan sekitar 50/100.000 sementara di negara berkembang mencapai
100/100.000. Indonesia belum ada data epidemiologis yang pasti tetapi
diperkirakan ada 900.000 – 1.800.000 penderita sedangkan penanggulangan
penyakit ini belum merupakan prioritas dalam sistem Kesehatan Nasional. Karena
cukup banyaknya penderita epilepsi dan luasnya aspek medik dan psikososial,
maka epilepsi tetap merupakan masalah kesehatan masyarakat sehingga
ketrampilan para dokter dan paramedis lainnya dalam penatalaksanaan penyakit
ini perlu ditingkatkan.3
Berdasarkan data dari Epilepsy Foundation, jumlah penderita epilepsi di dunia
saat ini mencapai 65 juta orang. Jumlah orang yang menderita epilepsi di United
States of America (USA) adalah 3,4 juta dan kasus epilepsi semakin bertambah
sebanyak 150.000 orang setiap tahun. Kejadian epilepsi tergolong masih cukup
tinggi. Insiden epilepsi diperkirakan lebih banyak di negara berkembang daripada
negara maju.10 Penderita epilepsi di negara Asia Tenggara, prevalensi yang
didapatkan di Thailand sebesar 7,2 per 1.000 anak sekolah, sedangkan di
Singapura didapatkan prevalensi sebesar 3,5 per 1.000 anak sekolah.4
Dari berbagai macam hasil studi di Indonesia pada tahun 2011, diperkirakan
prevalensi epilepsi berkisar antara 0,5% sampai 4%, dengan rata-rata prevalensi
epilepsi 8,2 per 1.000 penduduk. Prevalensi epilepsi pada bayi dan anak-anak
cukup tinggi, namun menurun pada dewasa muda dan pertengahan, kemudian
meningkat kembali pada kelompok usia lanjut.4
Salah satu masalah dalam penanggulangan epilepsi ialah menentukan dengan
pasti diagnosis epilepsi oleh karena sebelum pengobatan dimulai diagnosis
epilepsi harus ditegakkan dulu. Diagnosis dan pengobatan epilepsi tidak dapat
dipisahkan sebab pengobatan yang sesuai dan tepat hanya dapat dilakukan dengan
diagnosis epilepsi yang tepat pula. Diagnosis epilepsi berdasarkan atas gejala dan
tanda klinis yang karakteristik. Jadi membuat diagnosis tidak hanya berdasarkan
dengan beberapa hasil pemeriksaan penunjang diagnostik saja, justru informasi
yang diperoleh sesudah melakukan wawancara yang lengkap dengan pasien
maupun saksi mata yang mengetahui serangan kejang tersebut terjadi dan
kemudian baru dilakukan pemeriksaan fisik dan neurologi. Begitu diperkirakan
diagnosis epilepsi telah dibuat barulah dilanjutkan pemeriksaan tambahan untuk
memastikan diagnosis dan mencari penyebabnya" lesi otak yang mendasari " jenis
serangan kejang dan sindrom epilepsi.5
1.2 Tujuan Penulisan
1. Mengetahui dan memahami tentang diagnosa dan tatalaksana tentang
Epilpesi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Defenisi Epilepsi


Epilepsi didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ditandai oleh bangkitan
epilepsi berulang berselang lebih dari 24 jam yang timbul tanpa provokasi.
Menurut World Health Organization (WHO) merupakan gangguan saraf kronik
dengan ciri timbulnya gejala yang datang dalam serangan berulang secara spontan
yang disebabkan akibat lepasnya muatan listik abnormal sel-sel saraf otak yang
bersifat reversible dengan berbagai etiologi. Menurut The International League
Against Epilepsy (ILAE), epilepsi adalah kecenderungan untuk terjadinya kejang
tipe apapun secara klinis. Tiap orang yang mengalami epilepsi mempunyai risiko
untuk mengalami kekambuhan kejang yang bisa terjadi secara mendadak dan
tidak bisa diprediksi.4
Epilepsi merupakan penyakit yang ditandai dengan kejadian kejang yang
berulang dan reversible. Serangan kejang yang merupakan gejala atau manifestasi
klinik utama epilepsi disebabkan oleh berbagai hal, yang dapat menimbulkan
kelainan fungsional (motorik, sensorik, otonom atau psikis). Serangan epilepsi
berkaitan dengan pengeluaran impuls oleh neuron serebral yang berlebihan dan
berlangsung lokal. Pelepasan mendadak muatan listrik memberikan gerakan
maupun persepsi abnormal yang berlangsung singkat. Secara prinsip, serangan
epilepsi terjadi berulang kali dengan pola yang sama, tanpa memandang tempat,
waktu dan keadaan.4 Status epileptikus merupakan kejang yang terjadi > 30 menit
atau kejang berulang tanpa disertai pemulihan kesadaran diantara dua serangan
kejang.6

1.2 Epidemiologi Epilepsi


Berdasarkan data dari Epilepsy Foundation, jumlah penderita epilepsi di
dunia saat ini mencapai 65 juta orang. Jumlah orang yang menderita epilepsi di
United States of America (USA) adalah 3,4 juta dan kasus epilepsi semakin
bertambah sebanyak 150.000 orang setiap tahun. Pada tahun 2011, hasil dari
berbagai macam studimemperkirakan prevalensi epilepsi berkisar antara 0,5%
sampai 4%, dengan rata-rata prevalensi epilepsi 8,2 per 1.000 penduduk.
Prevalensi epilepsi pada bayi dan anak-anak cukup tinggi, namun menurun pada
dewasa muda dan pertengahan, kemudian meningkat kembali pada kelompok usia
lanjut.4
Selama periode tahun 2013, jumlah kasus baru epilepsi anak di RSUD Dr.
Soetomo Surabaya 103 kasus. Kasus terbanyak terjadi pada usia pasien 1-5 tahun
45,63% dan jenis kelamin laki-laki 71,84%. Pada penelusuran riwayat pasien
didapatkan 93,2% tidak memiliki riwayat keluarga kejang ataupun epilepsi. Pada
tipe kejang menurut ILAE didapatkan 55,3% generalized seizure, 37,9% focal
seizure, dan 6,8% unknown. Pada hasil pemeriksaan EEG abnormal didapatkan
72,8%. Pengobatan dengan asam valproat 89,3%.5

1.3 Etiologi
Epilepsi bukan merupakan penyakit menular. Secara garis besar, etiologi
epilepsi dibedakan menjadi dua yaitu idiopatik dan simptomatik:7
1. Idiopatik,
Disebut dengan etiologi primer. Dalam kasus ini epilepsi tidak dapat
diketahui secara pasti penyebabnya dan menjadi pertanda bahwa terdapat
kelainan otak.
2. Simptomatik.
Disebut dengan etiologi sekunder yaitu epilepsi yang diketahui
penyebabnya. Terdapat adanya kelainan jaringan otak disebabkan oleh
kelainan bawaan sejak lahir, kerusakan pada saat lahir ataupun pada masa
perkembangan. Penyebab lainnya antara lain cedera kepala berat, stroke yang
membatasi jumlah oksigen ke otak, infeksi otak, tumor otak dan sindrom
genetik tertentu.

1.4 Patofisiologi Epilepsi


Kejang adalah manifestasi paroksismal dari sifat listrik di bagian korteks
otak. Hal ini terjadi saat ada ketidakseimbangan tiba-tiba antara kekuatan pemicu
(eksikatori) dan penghambat (inhibitori) dalam jaringan neuron kortikal. Dapat
dijelaskan bahwa pada kondisi nomal impuls saraf dari otak akan dibawa oleh
neurotransmitter seperti GABA melalui sel-sel neuron ke organ tubuh lain. Jika
pada sistem tersebut tidak normal maka akan terjadi ketidakseimbangan aliran
listrik pada neuron dan mengakibatkan terjadinya serangan kejang.
Ketidakseimbangan bisa terjadi karena kurangnya transmisi inhibisi misalnya
terjadi pada keadaan setelah pemberian antagonis GABA atau selama penghentian
pemberian GABA (alcohol, benzodiazepine), atau pada saat meningkatnya aksi
eksitasi seperti meningkatnya aksi glutamat atau aspartat.8

Gambar 2.1 Patofisiologi epilepsy.

1.5 Klasifikasi Epilepsi


Klasifikasi Epilepsi berdasarkan tipe bangkitan (ILAE 1981):9
Kejang umum
• Tonik
• Klonik
• Tonik-klonik
• Absans
o Tipikal absans
o Atipikal absans
• Mioklonik
• Atonik
Kejang parsial
• Kejang parsial sederhana (tanpa gangguan kesadaran)
• Kejang parsial kompleks
o Dengan gangguan kesadaran pada awal serangan
o Diawali parsial sederhana lalu diikuti dengan gangguan kesadaran
• Kejang parsial menjadi umum
o Parsial sederhana menjadi kejang tonik klonik
o Parsial kompleks menjadi kejang tonik klonik
Kejang yang belum dapat diklasifikasi

1.6 Diagnosis Epilepsi


Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan klinis dengan
hasil pemeriksaan EEB dan radiologis. Namun demikian, bila secara kebetulan
melihat serangan yang sedang berlangsung maka epilepsi klinis sudah dapat
ditegakkan.10
2.6.1 Anamnesis: 10
 Pola / Bentuk Serangan
 Lama Serangan
 Gejala Sebelum, Selama, Dan Sesudah Serangan
 Frekuensi Serangan
 Faktor Pencetus (Kelelahan, Kurang Tidur, Hormonal, Stress Psikologis,
Alkohol)
 Ada / Tidaknya Penyakit Lain Yang Diderita Sekarang
 Usia Saat Terjadinya Serangan Pertama
 Riwayat Kehamilan, Persalinan, Dan Perkembangan
 Riwayat Penyakit, Penyebab, Dan Terapi Sebelumnya.
 Riwayat Penyakit Epilepsi Dalam Keluarga.

2.6.2 Pemeriksaan Fisik:10


1. Pemeriksaan Fisik Umum
 Trauma Kepala
 Tanda-tanda infeksi
 Kelainan kongenital
 Kecanduan alkohol atau napza
 Kelainan pada kulit (Neurofakomatosis)
 Tanda-tanda keganasan.
2. Pemeriksaan Neurologis:10
Untuk mencari tanda-tanda deficit neurologi fokal atau difus yang dapat
berhubungan dengan epilepsy. Jika dilakukan dalam beberapa menit setelah
bangkitan maka akan tampak tanda pasca bangkitan terutama tanda fokal yang
tidak jarang dapat menjadi petunjuk lokalisasi seperti :
 Paresis todd
 Gangguan kesadaran pasca iktal
 Afasia pasca iktal.
2.6.3 Pemeriksaan Laboratorium
Meliputi pemeriksaan darah lengkap, kimia darah, hematologi, gas darah,
elektrolit, ureum, kalsium, glukosa dan ginjal, harus diperiksa pada semua pasien
kejang sehingga dapat memantau efek samping yang dihasilkan obat-obat yang
digunakan. Hiponatremia, hipoglikemia, hipomagnesia, uremia dan hepatik
ensefalopati dapat mencetuskan timbulnya serangan kejang. Pemeriksaan serum
elektrolit bersama dengan glukosa, kalsium, magnesium, BUN, kreatinin dan test
fungsi hepar mungkin dapat memberikan petunjuk yang sangat berguna.
Pemeriksaan toksikologi serum dan urin juga sebaiknya dilakukan bila dicurigai
adanya penyalahgunaan obat. 7
Selain itu untuk menentukan penyebab kejang yang dapat diobati
(hipogikemia, perubahan konsentrasi elektrolit, infeksi) yang bukan merupakan
serangan epilepsi. Jika memungkinkan dilakukan pemeriksaan kadar obat dalam
plasma.8
2.6.4 Pemeriksaan Penunjang
Electroencephalography (EEG) merupakan alat yang dapat menggambarkan
aktivitas otak sebagai gelombang dimana frekuensi gelombang tersebut diukur
perdetik (Hz).EEG dapat mendeteksi berbagai jenis abnormalitas baik yang
bersifat fokal maupun difus, juga bisa untuk menentukan jenis dan lokasi
seizure.Namun dengan hasil pemeriksaan EEG saja tidak dapat digunakan untuk
menetapkan atau meniadakan diagnosis epilepsi. Sehingga bisa dilakukan lagi
pemeriksaan Magnetic Resonance Imaging (MRI) atau Computerized
Tomographic Scan (CT Scan) untuk melengkapi hasil pemeriksaan EEG dan
mengenali adanya kelainan structural otak yang mungkin menjadi penyebab
timbulnya seizure. Secara keseluruhan, MRI lebih sensitif dari pada CT Scan
dalam mengenali lesi serebral yang berkaitan dengan epilepsy.11
2.7 Manifestasi Klinis
Serangan epilepsi tidak selalu disertai dengan kejang dan sebaliknya, kejang
belum tentu dapat dikatakan epilepsi. Berikut gambaran klinis berdasarkan tipe
kejangnya:12
a. Kejang parsial (fokal/lokal)
Kejang ini terkadang disebabkan oleh terjadinya trauma spesifik, namun
dalam banyak kasus penyebabnya tidak dapat diketahui (idiopatik).12
1. Kejang parsial sederhana
Dalam kasus kejang parsial sederhana (Jacksonian seizure), pasien tidak
mengalami kehilangan kesadaran, namun dapat mengalami kebingungan, jerking
movement, atau kelainan mental dan emosional. Manifestasi klinis dari kejang
parsial sederhana ini yaitu klonik (repetitif, gerakan kepala dan leher menengok
ke salah satu sisi). Beberapa pasien dapat pula terjadi gejala somatosensorik
berupa aura, halusinasi, atau perasaan kuat pada indra penciuman dan perasa.
Setelah kejang, pasien biasanya mengalami kelemahan pada otot tertentu.
Umumnya kejang ini terjadi selama 90 detik.
2. Kejang parsial kompleks
Sekitar 80% dari kejang ini berasal dari temporal lobe, bagian otak yang
berdekatan dengan telinga. Gangguan pada bagian tersebut dapat mengakibatkan
penurunan kesadaran atau dapat terjadi perubahan tingkah laku misalnya
automatisme. Pasien kemungkinan mengalami kehilangan kesadaran secara
singkat dan tatapan kosong. Kejang ini seringkali diawali dengan aura. Episode
serangan biasanya tidak lebih dari 2 menit.

3. Kejang parsial diikuti kejang umum sekunder


Kejang fokal dapat berkembang menjadi tonik klonik dengan kehilangan
kesadaran dan kejang (tonik) otot seluruh badan diikuti periode kontraksi otot
bertukar dengan relaksasi (klonik). Seringkali sulit dibedakan dengan kejang
umum. Hal ini karena kejang parsial dengan generalisata sekunder mempunyai
onset fokal yang seringkali tidak terlihat. Onset fokal kejang diidentifikasi melalui
analisis riwayat kejang dan EEG secara cermat.

b. Kejang umum
1. Kejang umum dapat terjadi karena gangguan sel saraf yang terjadi pada
daerah Kejang absence (petit mal)
Kejang ini ditandai dengan hilangnya kesadaran yang berlangsung sangat
singkat sekitar 3 hingga 30 detik. Jenis kejang ini jarang dijumpai dan umumnya
hanya terjadi pada masa anak-anak atau awal remaja. Sekitar 15-20% anak-anak
menderita kejang tipe ini. Penderita tiba-tiba melotot atau matanya berkedip-kedip
dengan kepala terkulai. Kejang ini kemungkinan tidak disadari oleh orang di
sekitarnya. Petit mal terkadang sulit dibedakan dengan kejang parsial sederhana
atau kompleks, atau bahkan dengan gangguan attentiondeficit.
Selain itu terdapat jenis kejang atypical absence seizure, yang mempunyai
perbedaan dengan tipe absence. Sebagai contoh atypical absence seizure
mempunyai jangka waktu gangguan kesadaran yang lebih panjang, serangan
terjadi tidak tiba-tiba, dan serangan kejang diikuti dengan tanda gejala motorik
yang jelas. Kejang ini diperantarai oleh ketidaknormalan yang menyebar dan
multifokal pada struktur otak. Kadangkala diikuti dengan gejala keterlambatan
mental. Kejang tipe ini kurang efektif dikendalikan dengan antiepilepsi
dibandingkan tipe kejang absence kejang ini memiliki efek yang lebih serius pada
pasien.

2. Kejang tonik-klonik (grand mal)


Tipe ini merupakan bentuk kejang yang paling banyak terjadi. Fase awal dari
terjadinya kejang biasanya berupa kehilangan kesadaran disusul dengan gejala
motorik secara bilateral, dapat berupa ekstensi tonik beberapa menit disusul
dengan gerakan klonik yang sinkron dari otot-otot yang berkontraksi,
menyebabkan pasien tiba-tiba terjatuh dan terbaring kaku sekitar 10-30 detik.
Beberapa pasien mengalami pertanda atau aura sebelum kejang. Kebanyakan
mengalami kehilangan kesadaran tanpa tanda apapun. Dapat juga terjadi sianosis,
keluar air liur, inkontinensia urin dan atau menggigit lidah. Sesudah kejang
berhenti pasien akan tertidur. Kejang ini biasanya terjadi sekitar 2-3 menit.

3. Kejang atonik
Serangan tipe atonik ini jarang terjadi. Pasien dapat tiba-tiba mengalami
kehilangan kekuatan otot yang mengakibatkan pasien terjatuh, namun dapat
segera pulih kembali. Terkadang terjadi pada salah satu bagian tubuh, misalnya
mengendurnya rahang dan kepala yang terkulai.

4. Kejang mioklonik
Kejang tipe ini ditandai oleh kontraksi otot-otot tubuh secara cepat, bilateral,
dan terkadang hanya terjadi pada bagian otot-otot tertentu. Biasanya terjadi pada
pagi hari setelah bangun tidur, pasien akan mengalami hentakan yang terjadi
secara tiba-tiba.

5. Simply tonic atau clonic seizures


Kejang ini kemungkinan terjadi secara tonik atau klonik saja. Pada kejang
tonik, otot berkontraksi dan gangguan kesadaran terjadi sekitar 10 detik, tetapi
kejang ini tidak berkembang menjadi klonik atau jerking phase. Kasus kejang
klonik jarang ditemukan, terutama terjadi pada anak-anak yang mengalami
spasme otot tetapi bukan kekakuan tonik.

c. Kejang yang tak terklasifikasikan


Serangan kejang ini merupakan jenis serangan yang tidak didukung oleh data
yang cukup atau lengkap. Jenis ini termasuk serangan kejang yang sering terjadi
pada neonatus. Hal ini kemungkinan disebabkan adanya perbedaan fungsi dan
hubungan saraf pada sistem saraf pusat di bayi dan dewasa.2

2.8 Penatalaksanaan Epilepsi


Sebelum memberikan obat antiepilepsi yang tepat, maka terlebih dahulu
dilakukan identifikasi jenis serangan dan frekuensinya agar mendapatkan
diagnosa yang tepat sehingga dapat diberikan obat antiepilepsi yang sesuai.
Tujuan terapi farmakologi pada pasien epilepsi adalah menghilangkan atau
menurunkan frekuensi serangan, meminimalkan efek samping yang ditimbulkan,
serta meningkatkan kualitas hidup pasien.
Terapi utama pada epilepsi adalah penggunaan obat antiepilepsi (OAE).
Beberapa kasus memerlukan terapi selain OAE, seperti Sindrom West yang
memerlukan tambahan terapi Adrenocorticotropic Hormone(ACTH).7 Pemilihan
terapi epilepsi dipilih sesuai dengan jenis epilepsi, efek samping yang spesifik dari
obat antiepilepsi serta kondisi pasien. Penggunaan monoterapi lebih dianjurkan
untuk mengurangi potensial efek samping yang dapat muncul, meningkatkan
kepatuhan pasien. Terdapat variasi individual pasien terhadap respon obat
antiepilepsi sehingga diperlukan pemantauan ketat dan penyesuaian dosis. Sekitar
50 sampai 70% pasien dapat diobati dengn monoterapi, tetapi tidak untuk semua
kejang. Lebih dari 60% pasien tidak patuh dalam menggunakan obat dan hal
tersebut merupakan penyebab utama atas gagalnya pengobatan.Jika pasien hanya
mengalami satu kali kejang dan tidak mengganggu kelangsungan hidupnya, maka
pemberian obat antiepilepsi tidak dianjurkan.
Terapi Farmako
Anti Konvulsan Utama13
1. Fenobarbital 2-4 mg/kgBB/hari
2. Phenitoin 5-8 mg/kgBB/hari
3. Carbamazepin 20 mg/kgBB/hari
4. Valproate 30-80 mg/kgBB/hari
5. Diazepam, dewasa 2-5 mg 3x/hari
anak 6-14 tahun 2-4 mg
anak <6 tahun 1-2 mg

Tipe OAE lini pertama OAE lini kedua


Bangkitan
Bangkitan Phenitoin, Acetozolamide, clobazam,
parsial carbamazepin,valproat clonazepam, ethosiximide,
(sederhana felbamate, gabapentin,
atau lamotrigine, levetiracetam,
komplek) oxcarbazepine, tiagabin,
topiramate, vigabatrin,
fenobarbital,pirimidone

Bangkitan Carbamazepin, Acetozolamide, clobazam,


umum phenitoin,valproat clonazepam, ethosiximide,
(sekunder) felbamate, gabapentin,
lamotrigine, levetiracetam,
oxcarbazepine, tiagabin,
topiramate, vigabatrin,
fenobarbital,pirimidone

Bangkitan Carbamazepine,phenitoin,val Acetozolamide, clobazam,


umum tonik proat,fenobarbital clonazepam, ethosiximide,
klonik felbamate, gabapentin,
lamotrigine, levetiracetam,
oxcarbazepine, tiagabin,
topiramate, vigabatrin,pirimidone
Bangkitan Valproat Acetazolamida, cobazam,
lena clonazepam, lamotrigine,
(absence) fenobarbital, pirimidone

Bangkitan Valproat Clobazam, donazepam,


mioklonik ethosiximide, lamotrigine,
fenobarbital, pirimidone,
piracetam

Terapi Non-Farmakologi
Terapi non farmakologi pada epilepsi14
a. Diet Ketogenik
Diet ketogenik adalah diet tinggi lemak, cukup protein dan rendah
karbohidrat. Pada diet ketogenik menyediakan cukup protein untuk
pertumbuhan, tetapi kurang karbohidrat untuk kebutuhan metabolisme tubuh.
Sehingga tubuh akan menggunakan lemak sebagai sumber energi yang
menghasilkan senyawa keton yang diperkirakan memiliki kontribusi terhadap
pengontrolan kejang.3
b. Pembedahan
Pembedahan merupakan pilihan untuk pasien yang tetap mengalami
kejang meskipun sudah mendapat lebih dari 3 jenis antikonvulsan, adanya
abnormalitas fokal, lesi epileptik yang menjadi pusat abnormalitas epilepsi.
Tindakan bedah yang dianjurkan yaitu pada lobus temporalis, karena epilepsi
yang disebabkan oleh adanya lesi pada lobus temporalis paling sering terjadi
dan seringkali tidak peka terhadap penggunaan terapi antiepilepsi.3
c. Stimulasi Nervus Vagus
Stimulasi nervus vagus (Vagal nerve stimulator, VNS) dapat mengubah
konsentrasi neurotransmitter inhibisi dan eksikatori pada cairan serebrospinal
serta mengaktifkan area tertentu di otak dan mengatur aktivitas korteks
melalui peningkatan aliran darah. Pada terapi ini presentase pasien yang
mengalami pengurangan frekuensi kejang berkisar antara 23% hingga 50%.
BAB III
PENUTUP
1.1 Kesimpulan
Epilepsi adalah gangguan neurologis yang mempengaruhi orang-orang dari
segala usia di seluruh dunia. Gangguan ini ditandai dengan kejang berulang, yang
merupakan manifestasi klinis dari sengatan listrik tiba-tiba dan singkat. Episode
kejang yang terjadi tersebut merupakan hasil dari pelepasan listrik yang
berlebihan dalam kelompok sel-sel otak. Epilepsi bukan merupakan penyakit
menular. Secara garis besar, etiologi epilepsi dibedakan menjadi dua yaitu
idiopatik dan simptomatik.
Terapi pada pasien epilepsi bertujuan untuk mengontrol atau mengurangi
frekuensi dan tingkat keparahan kejang, meminimalkan efek samping, dan
memastikan kepatuhan dan memungkinkan pasien untuk dapat hidup senormal
mungkin. Terapi epilepsi meliputi terapi farmakologi dan non- farmakologi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Sigar RJ. Gambaran Fungsi Kognitif pada Pasien Epilepsi di Poliklinik Saraf
RSUP Prof. Dr. R.D. Kandou Manado. Jurnal e-Clinic (eCl), Volume 5,
Nomor 2, Juli-Desember 2017. 338-348

2. Tjahjadi Petrus, Dikot Yustiani, Gunawan Dede. Gambaran Umum Mengenai


Epilepsi. Dalam: Harsono, penyuntig. Kapita selecta neurologi.Edisi-2.
Yogyakarta: gajahmda University Press; 2007: Hlm.119-133.

3. Ocataviana F. Epielepsi. In: Medicinus Scientific Journal of pharmaceutical.

4. Khairin, K., Zeffira, L. and Malik, R., 2020. Karakteristik Penderita Epilepsi
di Bangsal Anak RSUP Dr. M. Djamil Padang Tahun 2018. Health & Medical
Journal, 2(2), pp.16-26.

5. Sunaryo utoyo. 2007. Diagnosis Epilepsi. Surabaya; Bagian neurologi


Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma.

6. PERDOSISI. Pedoman Tatalaksana Epilepsi. Ed. 3. Jakaarta. 2008.

7. Prataningtiyas RD. Studi Penggunaan Fenitoin Pada Pasien Epilepsi.


(Penelitian di RumahSakitUmum Daerah Sidoarjo). Skripsi. Fakultas Ilmu
Kesehatan Universitas Muhammadiyah Malang 2017. Hlm: 3-14

8. 2016. Acuan Panduan Praktik Klinis Neurologi. indonesia: PERHIMPUNAN


DOKTER SPESIALIS SARAF INDONESIA.

9. Berg AT, Berkovic SF, Brodie MJ. Revised terminology and concepts for
organization of seizures and epilepsies: report of the ILAE Commission on
Classification and Terminology, 2005-2009. Epilepsia. 2010;51:676-85.

10. Chadwick D. Diagnosis of Epilepsy. Lancet. 1990;336:291-295

11. Fisher RS, Acevedo C, Arzimanoglou A, Bocagz A, Cross JH, Elger CE, dkk.
ILAE official report: A practical clinical definition of epilepsy. Epilepsia.
2014;55:475-82.

12. Commision on Classification and Terminology of the International League


Against Epilepsy. Proposal for revised classification of epilepsies and
epileptic syndromes. Epilepsia. 1989;30:389-99.

13. Dr. R. Yoseph Budiman, Sp.S . Pedoman Standar Pelayanan Medik dan
Standar Prosedur Operasional Neurologi. Refika Aditama,2013
14. Scottish Intercollegiate Guidelines Network. Diagnosis and management of
epilepsies in children and young people: a national clinical guideline. Tersedia
di: www.sign.ac.uk/guidelines/fulltext/81

Anda mungkin juga menyukai

  • Manajemen Nyeri
    Manajemen Nyeri
    Dokumen12 halaman
    Manajemen Nyeri
    Suci Rahmayani
    Belum ada peringkat
  • Makalah Visus Mata
    Makalah Visus Mata
    Dokumen6 halaman
    Makalah Visus Mata
    Suci Rahmayani
    100% (1)
  • Slit Lamp
    Slit Lamp
    Dokumen9 halaman
    Slit Lamp
    Suci Rahmayani
    Belum ada peringkat
  • NATRIUM
    NATRIUM
    Dokumen6 halaman
    NATRIUM
    Suci Rahmayani
    Belum ada peringkat
  • Faktor Visus
    Faktor Visus
    Dokumen1 halaman
    Faktor Visus
    Suci Rahmayani
    Belum ada peringkat
  • Gegar Otak
    Gegar Otak
    Dokumen10 halaman
    Gegar Otak
    Suci Rahmayani
    Belum ada peringkat
  • Reflek Pupil
    Reflek Pupil
    Dokumen5 halaman
    Reflek Pupil
    Suci Rahmayani
    Belum ada peringkat
  • Astigmatisme
    Astigmatisme
    Dokumen16 halaman
    Astigmatisme
    Suci Rahmayani
    Belum ada peringkat