PENDAHULUAN
Astigmatisme adalah suatu kelainan refraksi dimana sinar sejajar dengan garis
pandang oleh mata tanpa akomodasi dibiaskan tidak pada satu titik tetapi lebih dari satu titik.
Etiologi astigmatismus adanya kelainan kornea dimana permukaan luar kornea tidak teratur,
adanya kelainan pada kornea dimana terjadi kekeruhan pada lensa semakin bertambah umur
seseorang, Intoleransi lensan atau lensa kontak pada postkeratoplasty, trauma pada kornea
dan tumor.
Letak kelainan pada astigmatisma trerdapat didua tempat yaitu kelainan pada kornea dan
kelainan pada lensa. Pada kelainan kornea terdapat perubahan lengkung kornea dengan atau
tanpa pemendekan atau pemanjangan diameter anterior - posterior bola mata. Kelainan ini
bisa merupakan kelainan kongenital atau didapat akibat kecelakaan, peradangan kornea atau
operasi.
Secara garis besar ada 3 penatalaksanaan astigmatisma, yaitu dengan menggunakan kacamata
silinder, lensa kontak dan pembedahan. Teknik pembedahan menggunakan metode LASIK,
photorefractive keratomy, radial keratomy.
1.2 Tujuan
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik di bagian Mata di RSUD
Achmad Mochtar Bukittinggi dan diharapkan agar dapat menambah pengetahuan penulis
serta sebagai bahan informasi bagi para pembaca, khususnya kalangan medis, tentang
manajemen Astigmatisma.
Tujuan penulisan dari makalah ini adalah untuk mengenal, dan mengetahui penggunaan alat
Astigmatisma.
1
1.3 Manfaat Penulisan
b. Untuk memenuhi tugas makalah kepaniteraan klinik senior di bagian Mata di RSUD
Achmad Mochtar Bukittinggi
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Astigmatisme
2.1.1 Definisi
Astigmatisme adalah suatu kelainan refraksi dimana sinar sejajar dengan garis
pandang oleh mata tanpa akomodasi dibiaskan tidak pada satu titik tetapi lebih dari satu titik.
2.1.2 Epidemiologi
Prevalensi global kelainan refraksi diperkirakan sekitar 800 juta sampai 2,3 milyar. Di
Indonesia prevalensi kelainan refraksi menempati urutan pertama pada penyakit mata. Kasus
kelainan refraksi dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Ditemukan jumlah
penderita kelainan refraksi di Indonesia hampir 25℅ populasi penduduk atau sekitar 55 juta
jiwa.
Insiden myopia dalam suatu populasi sangat bervariasi dalam hal umur, negara, jenis
kelamin, ras, etnis, pekerjaan, lingkungan dan faktor lainnya. Prevalenai myopia bervariasi
berdasarkan negara dan kelomlok etnis hingga mencapai 70-90℅ dibeberapa negara.
Sedangkan menurut Maths Abrahamsson dan Johan Sjostrand tahun 2013 angka kejadian
astigmat bervariasi antara 30℅-70℅.
Hasil pembiasan sinar pada mata dithumoran oleh media penglihatan yang terdiri dari
kornea, aquos humor (cairan mata), lensa, badan viteous (badan kaca), dan panjangnya bola
mata. Pada orang normal susunan pembiasan oleh media penglihatan dan panjang bola mata
sedemikian seimbang sehingga bayangan benda setelah melalui media penglihatan dibiaskan
tepat didaerah makula lutea. Mata yang normal disebut sebagai mata emetropia dan akan
menempatkan bayangan benda tepat di rerinanya pada keadaan mata tidak melakukan
akomodasi atau istirahat melihat jauh.
3
2.1.4
Fisiologi
Refraksi
Cahaya bergerak lebih cepat melalui udara daripada melalui media transparan lainnya
misalnya pada : kaca, air. Ketika suatu berkas cahaya masuk ke medium dengan densitas
yang lebih tinggi, cahaya tersebut melambat (sebaliknya juga berlaku). Berkas cahaya
mengubah arah perjalanannya jika mengenai medium baru pada tiap sudut selain tegak lurus.
Dua faktor penting dalam refraksi : densitas komparatif antara 2 media (semakin besar
perbedaan densitas, semakin besar derajat pembelokan) dan sudut jatuhnya berkas cahaya di
medium kedua (semakin besar sudut semakin, semakin besar pembiasan). Dua struktur yang
paling penting dalam kemampuan refraktif mata adalah kornea dan lensa. Permukaan kornea,
struktur pertama yang dilalui cahaya sewaktu masuk mata, yang melengkung berperan besar
dalam refraktif total karna perbedaan densitas pertemuan udara atau kornea jauh lebih besar
dari pada perbedaan densitas antara lensa dan cahaya yang mengelilinginya. Kemampuan
refraksi kornea seseorang tetap konstan karna kelengkungan kornea tidak pernah berubah.
Sebaliknya kemampuan refraksi lensa dapat disesuaikan dengan mengubah kelengkungannya
sesuai keperluan untuk melihat dekat atau jauh.
4
terfokus sebelum mencapai retina, bayangan tersebut tampak kabur. Berkas-berkas cahaya
yang berasal dari benda dekat lebih devergen sewaktu mencapai mata daripada berkas-berkas
dari sumber jauh. Berkas dari sumber cahaya yang terletak lebih dari 6 meter (20 kaki)
dianggap sejajar saat mencapai mata.
2.1.5 Etiologi
1. Adanya kelainan kornea dimana permukaan luar kornea tidak teratur. Media refraksi
yang memiliki kesalahan pembiasan yang paling besar adalah kornea yaitu mencapai
80%-90% dari astigmatismus, sedangkan media lainnya adalah lensa kristalin.
Kesalahan pembiasan pada kornea ini terjadi karna perubahan lengkung kornea
dengan tanpa pemendekan atau pemanjangan diameter anterior posterior bola mata.
Perubahan lengkung permukaan kornea ini terjadi karna kelainan kongenital,
kecelakaan, luka atau parut di kornea, peradangan kornea serta akibat pembedahan
kornea.
2. Adanya kelainan pada kornea dimana terjadi kekeruhan pada lensa semakin bertambah
umur seseorang, maka kekuatan akomodasi lensa kristalin juga semakin berkurang
dan lama kelamaan lensa kristalin juga semakin berkurang dan lama kelamaan lensa
kristalin akan mengalami kekeruhan yang dapat menyebabkan astigmatismus.
5. Tumor
2.1.6 Klasifikasi
Astigmatisma adalah pembiasaan pada lebih dari satu titik fokus berkas sinar
yang sejajar yang masuk ke dalam mata pada keadaan tanpa akomodasi. Astigmatisma
diklasifikasikan berdasarkan bentuk dan tipe, berdasarkan bentuk terbagi atas
astigmatisma regular dan irregular. Pada astigmatisma regular terdapat meridian utama
yang saling tegak lurus yang masing-masing memiliki daya bias terkuat dan terlemah,
sedangkan pada astigmatisma irregular didapatkan titik fokus yang tidak beraturan.
Pembagian berdasarkan tipe terbagi menjadi 5, yaitu:
5
1) Astigmatisma hipermetropia simplek, salah satu meridian utama emetropia dan
miridian utama lainnya hipermetropia.
2) Astigmatisma miopia simplek, salah satu meridian utama emetropia dan miridan
utama lainnya miopia.
1. Astigmatisma Reguler
Astigmatisma jenis ini memiliki dua meridian yang saling tegak lurus.
2. Astigmatisma Ireguler
Astigmatisma yang tidak mempunyai dua meridian yang saling tegak lurus.
6
2. Memutarkan kepala agar dapat melihat benda dengan jelas
3. Menyipitkan mata seperti halnya penderita myopia, hal ini dilakukan untuk
mendapatkan efek pinhole atau stenopaic slite. Penderita astigmatismus juga
menyipitkan mata pada saat bekerja dekat seperti membaca.
4. Pada saat membaca, penderita astigmatismus ini memegang bacaan mendekati mata,
seperti pada penderita myopia. Hal ini dilakukan untuk memperbesar bayangan,
meskipun bayangan diretina tampak buram.
2. Kelelahan mata
3. Nyeri kepala
2.1.8 Diagnosis
Pemeriksaan refraksi subjektif dengan teknik trial and error dilakukan dengan cara
mencoba menempatkan lensa sferis negatif atau positif sehingga didapatkan visus 6/6.
Lensa sferis negatif yang dipilih adalah lensa sferis negatif terkecil dan untuk lensa
sferis positif, dipilih lensa sferis positif terbesar.
7
1. Dapatkan visus terbaik dengan menggunakan lensa sferis positif atau negatif.
4. Ditambahkan lensa silinder negatif pada aksis yang tegak lurus garis yang lebih
hitam (pada aksis yang kabur) sehingga seluruh kipas astigmatisma tampak sama hitam.
5. Diturunkan perlahan ukuran lensa sferis positif sehingga didapatkan visus terbaik pada
Snellen chart.
Autorefraktometer
8
perbedaan antara kekuatan refraksi dua meridian mata . Alternatif lensa lain
adalah lensa kontak lunak yang disebut lensa toric. Lensa toric lembut memiliki
kekuatan cahaya lentur yang lebih besar dalam satu arah dari yang lain. Pilihan
lain, terutama untuk astigmatisma derajat tinggi adalah lensa kontak kaku yang
bersifat gas permeable.
Hingga saat ini, belum ada pencegahan yang berarti untuk astigmatisma karena belum
ditemukan penyebab yang mendasari kelainan pada bentuk kornea atau lensa, kelainan
posisi lensa dan kelainan indeks refraksi lensa. Astigmatisma juga sulit dicegah karena
faktor genetik diduga berperan dalam kejadiannya.
2.2 Miopia
2.2.1 Definisi
Miopia atau rabun jauh adalah suatu kelainan refraksi yang di sebabkan karena sinar
sejajar yang masuk ke mata tidak difokuskan di depan retina. Pada miopia objek yang dekat
akan terlihat jelas tetapi objek yang jauh akan tampak buram.
9
2.2.2 Patogenesis Miopia
Secara fisiologis sinar yang difokuskan pada retina terlalu kuat sehingga membentuk
bayangan kabur dan tidak tegas pada macula lutea. Titik fokus sinar yang datang dari benda
yang jauh terletak di depan retina, titik jauh (punctum remotum) terlelak lebih dekat atau
sinar datang tidak sejajar. Sehingga objek dekat dapat terlihat dengan jelas, sedangkan objek
Miopia disebut juga sebagai rabun jauh karena berkurangnya kemampuan mata untuk
melihat objek dalam jarak jauh akan tetapi dapat melihat dekat dengan jelas. miopia
disebabkan karena kuatnya pembiasan sinar di dalam mata akibat dari kornea dan lensa yang
terlalu cembung dan bola mata terlalu panjang. Pada miopia panjang bola mata
anteroposterior dapat terlalu besar atau kekuatan pembiasan media refraksi terlalu kuat.
10
c) Pseudomiopia ( hasil dari peningkatan daya bias penglihatan karena stimulasi
perubahan jaringan di segmen posterior dari mata yang juga di kenal dengan
miopia patologi)
tingkatan gula darah, nuclear slerosis, atau kelainan kodisi yang lain. Miopia
iv. Berdasarkan kelainan jaringan mata yang dapat terjadi pada miopia dikenal dengan
bentuk:
a) Miopia simpleks, dimana tidak terlihat adanya kelainan patologi dalam mata.
b) Miopia patologik disebut juga miopia progresifitas atau malignan, dan miopia
degeneratif. Pada keadaan ini terjadi kelainan fundus yang progresif. Pada
keadaan ini terjadi kelainan fundus yang progresif yang khas untuk miopia.
Pasien dengan miopia akan menyatakan melihat jelas bila melihat dekat, sedangkan
melihat jauh, buram atau disebut pasien adalah rabun jauh. Pasien dengan miopia akan
memberikan keluhan sakit kepala, sering disertai dengan juling dan celah kelopak yang
mencegah aberasi sferis atau untuk mendapatkan efek pinhole (lubang kecil).
Pasien dengan miopia mempunyai pungtum remotum yang dekat sehingga mata selalu
11
konvergensi. Bila kedudukan mata ini menetap, maka penderita akan terlihat juling ke dalam
atau esoptropia.
12
BAB III
LAPORAN KASUS
Usia : 22 tahun
Alamat : bukittinggi
Pekerjaan : mahasiswa
3.2 Anamnesis
Keluhan utama : penglihatan mata kiri kabur
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluhkan mata kiri bertambah kabur sejak 1 minggu yang lalu
Sakit kepala (-)
Riwayat penyakit dahulu :
Riwayat trauma di mata disangkal
Riwayat operasi pada mata disangkal
Riwayat kencing manis disangkal
Riwayat pemakaian kacamata disangkal
Riwayat penyakit keluarga
Ibu pasien menderita rabun dekat
Riwayat pemakaian kaca mata
Disangkal pasien
Riwayat pengobatan
Tidak ada
3.3 Status Generalisata
Kadaan umum : tampak sakit sedang
kesadaran : Composmentis cooperative
Tekanan darah: Tidak dilakukan pemeriksaan
Nadi : Tidak dilakukan pemeriksaan
13
3.4 Status Oftalmologis
OD OS
Visus
OD : 20/20
OS : 20/25 false 2 koreksi lensa silindris negative 0,25D didapatkan 20/20
Tonometri
OD :
OS :
3.5 Diagnosis
- Astigmatisma miopia
3.6 Penatalaksanaan
- Koreksi kacamata lensa silindris 0,25D OS
3.7 Prognosis
- Quo ad vitam : dubia ad bonam
- Quo ad functionam : dubia ad bonam
- Quo ad sanam : dubia ad bonam
- Quo ad cosmesticam : dubia ad bonam
BAB IV
PENUTUP
14
4.1 Kesimpulan
Astigmatisme adalag suatu kelainan refraksi dimana sinar sejajar dengan garis
pandang oleh mata tanpa akomodasi dibiaskan tidak pada satu titik tetapi lebih dari satu titik.
Etiologi astigmatismus adanya kelainan kornea dimana permukaan luar kornea tidak teratur,
adanya kelainan pada kornea dimana terjadi kekeruhan pada lensa semakin bertambah umur
seseorang, Intoleransi lensan atau lensa kontak pada postkeratoplasty, trauma pada kornea
dan tumor.
DAFTAR PUSTAKA
15
1. Ilyas S. Ikhtisar Ilmu Penyakit Mata. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. 2009. Hal 319
330.
2. Artini W, Hutauruk JA, Yudisianil. Pemeriksaan Dasar Mata. Balai Penerbit FKUI.
Jakarta.
3. Sherwood, Lauralee. Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem Edisi 6. Jakarta. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. 2012. Page : 211-4
4. Langston, D.P; Manual of Ocular Diagnosis and Therapy; 5th Edition; Lippincott
Wlliams & Wilkins; Philadelphia; p 344-346.
5. Despopoulos, A. and Silbernagi S, Color Atlas of Physiology 3 Edition. London: Thieme :
2003 ; 344-346
16