Anda di halaman 1dari 33

PENDAHULUAN

Astigmatisma biasanya bersifat diturunkan atau terjadi sejak lahir, dan biasanya
berjalan bersama dengan miopia dan hipermetropia dan tidak banyak terjadi
perubahan selama hidup. Bayi yang baru lahir biasanya mempunyai kornea yang
bulat atau sferis yang di dalam perkembangannya terjadi keadaan yang disebut
astigmatism with the rule (astigmat lazim) yang berarti kelengkungan kornea pada
bidang vertikal bertambah atau lebih kuat atau-jari-jarinya lebih pendek dibanding
jari-jari kelengkungan kornea di bidang horisontal.2
Letak kelainan pada astigmatisma terdapat di dua tempat yaitu kelainan pada
kornea dan kelainan pada lensa. Pada kelainan kornea terdapat perubahan
lengkung kornea dengan atau tanpa pemendekan atau pemanjangan diameter
anterior- posterior bola mata. Kelainan ini bisa merupakan kelainan kongenital
atau didapat akibat kecelakaan, peradangan kornea atau operasi.2.3
Secara garis besar terdapat 3 penatalaksanaan astigmatisma, yaitu dengan
menggunakan kacamata silinder, lensa kontak dan pembedahan. Teknik
pembedahan menggunakan metode LASIK, photorefractive keratotomy, dan
radial keratotomy.

TINJAUAN PUSTAKA
Definisi
Astigmatisme adalah suatu kelainan refraksi dimana sinar sejajar dengan garis
pandang oleh mata tanpa akomodasi dibiaskan tidak pada satu titik tetapi lebih
dari satu titik.3
Epidemiologi
Prevalensi global kelainan refraksi diperkirakan sekitar 800 juta sampai 2,3
milyar. Di Indonesia prevalensi kelainan refraksi menempati urutan pertama pada
penyakit mata. Kasus kelainan refraksi dari tahun ke tahun terus mengalami
peningkatan. Ditemukan jumlah penderita kelainan refraksi di Indonesia hampir
25% populasi penduduk atau sekitar 55 juta jiwa.3,4
Insidensi myopia dalam suatu populasi sangat bervariasi dalam hal umur, negara,
jenis kelamin, ras, etnis, pekerjaan, lingkungan, dan factor lainnya. Prevalensi
miopia bervariasi berdasar negara dan kelompok etnis, hingga mencapai 70-90%
di beberapa negara. Sedangkan menurut Maths Abrahamsson dan Johan Sjostrand
tahun 2003, angka kejadian astigmat bervariasi antara 30%-70%.

Anatomi Dan Fisiologi

Gambar 1. Anatomi bola mata.


Bola mata bentuknya merupai kistik yang dipertahankan oleh adanya tekanan
didalamnya. Walaupun secara umum bola mata dikatakan bentuknya bulat atau
globe namun bentuknya tidak bulat sempurna.
Orbita adalah tulang-tulang rongga mata yang didalamnya terdapat bola mata,
otot-otot ekstraokular, nervus, lemak dan pembuluh darah. Tiap-tiap tulang orbita
berbentuk menyerupai buah pear, yang bagian posteriornya meruncing pada
daerah apeks dan optik kanal.1
Media Refraksi
Hasil pembiasan sinar pada mata ditentukan oleh media penglihatan yang terdiri
atas kornea, aqueous humor (cairan mata), lensa, badan vitreous (badan kaca), dan
panjangnya bola mata. Pada orang normal susunan pembiasan oleh media
penglihatan dan panjang bola mata sedemikian seimbang sehingga bayangan
benda setelah melalui media penglihatan dibiaskan tepat di daerah makula lutea.
Mata yang normal disebut sebagai mata emetropia dan akan menempatkan
bayangan benda tepat di retinanya pada keadaan mata tidak melakukan akomodasi
atau istirahat melihat jauh.1,2

Fisiologi Refraksi

Gambar 2. Fisiologi refraksi.


Berkas-berkas cahaya mencapai mata harus dibelokkan ke arah dalam untuk
difokuskan kembali ke sebuah titik peka-cahaya di retina agar dihasilkan suatu
bayangan yang akurat mengenai sumber cahaya. Pembelokan suatu berkas cahaya
(refraksi) terjadi ketika berkas berpindah dari satu medium dengan kepadatan
(densitas) tertentu ke medium dengan kepadatan yang berbeda.
Cahaya bergerak lebih cepat melalui udara daripada melalui media transparan
lainnya misalnya : kaca, air. Ketika suatu berkas cahaya masuk ke medium
dengan densitas yang lebih tinggi, cahaya tersebut melambat (sebaliknya juga
berlaku). Berkas cahaya mengubah arah perjalanannya jika mengenai medium
baru pada tiap sudut selain tegak lurus.
Dua faktor penting dalam refraksi : densitas komparatif antara 2 media (semakin
besar perbedaan densitas, semakin besar derajat pembelokan) dan sudut jatuhnya
berkas cahaya di medium kedua (semakin besar sudut, semakin besar pembiasan).
Dua struktur yang paling penting dalam kemampuan refraktif mata adalah kornea
dan lensa. Permukaan kornea, struktur pertama yang dilalui cahaya sewaktu
masuk mata, yang melengkung berperan besar dalam reftraktif total karena
perbedaan densitas pertemuan udara/kornea jauh lebih besar dari pada perbedaan
densitas antara lensa dan cairan yang mengelilinginya. Kemampuan refraksi
kornea seseorang tetap konstan karena kelengkungan kornea tidak pernah
berubah. Sebaliknya kemampuan refraksi lensa dapat disesuaikan dengan
mengubah kelengkungannya sesuai keperluan untuk melihat dekat/jauh.2

Struktur-struktur refraksi pada mata harus membawa bayangan cahaya terfokus


diretina agara penglihatan jelas. Apabila bayangan sudah terfokus sebelum
bayangan mencapai retina atau belum terfokus sebelum mencapai retina
,bayangan tersebut tampak kabur. Berkas-berkas cahaya yang berasal dari benda
dekat lebih divergen sewaktu mencapai mata daripada berkas-berkas dari sumber
jauh. Berkas dari sumber cahaya yang terletak lebih dari 6 meter (20 kaki)
dianggap sejajar saat mencapai mata.
Untuk kekuatan refraktif mata tertentu, sumber cahaya dekat memerlukan jarak
yang lebih besar di belakang lensa agar dapat memfokuskan daripada sumber
cahaya jauh, karena berkas dari sumber cahaya dekat masih berdivergensi sewaktu
mencapai mata. Untuk mata tertentu, jarak antara lensa dan retina selalu sama.
Untuk membawa sumber cahaya jauh dan dekat terfokus di retina (dalam jarak
yang sama), harus dipergunakan lensa yang lebih kuat untuk sumber dekat.
Kekuatan lensa dapat disesuaikan melalui proses akomodasi.3

Etiologi
Etiologi kelainan astigmatisma adalah sebagai berikut:4
i.

Adanya kelainan kornea dimana permukaan luar kornea tidak teratur.


Media refrakta yang memiliki kesalahan pembiasan yang paling besar
adalah kornea, yaitu mencapai 80% s/d 90% dari astigmatismus,
sedangkan media lainnya adalah lensa kristalin. Kesalahan pembiasan
pada kornea ini terjadi karena perubahan lengkung kornea dengan tanpa
pemendekan atau pemanjangan diameter anterior posterior bolamata.
Perubahan lengkung permukaan kornea ini terjadi karena kelainan
kongenital, kecelakaan, luka atau parut di kornea, peradangan kornea serta
akibat pembedahan kornea.

ii.

Adanya kelainan pada lensa dimana terjadi kekeruhan pada lensa. Semakin
bertambah umur seseorang, maka kekuatan akomodasi lensa kristalin juga
semakin berkurang dan lama kelamaan lensa kristalin akan mengalami
kekeruhan yang dapat menyebabkan astigmatismus.
5

iii.

Intoleransi lensa atau lensa kontak pada postkeratoplasty

iv.

Trauma pada kornea

v.

Tumor

Klasifikasi
Berdasarkan posisi garis fokus dalam retina Astigmatisme dibagi sebagai berikut:
1) Astigmatisme Reguler
Dimana didapatkan dua titik bias pada sumbu mata karena adanya dua bidang
yang saling tegak lurus pada bidang yang lain sehingga pada salah satu
bidang memiliki daya bias yang lebih kuat dari pada bidang yang lain.
Astigmatisme jenis ini, jika mendapat koreksi lensa cylindris yang tepat, akan
bisa menghasilkan tajam penglihatan normal. Tentunya jika tidak disertai
dengan adanya kelainan
penglihatan yang lain.
Bila ditinjau dari letak daya bias terkuatnya, bentuk astigmatisme regular ini
dibagi menjadi 2 golongan, yaitu:
i.

Astigmatisme With the Rule


Bila pada bidang vertical mempunyai daya bias yang lebih kuat dari pada
bidang horizontal.

ii.

Astigmatisme Against the Rule


Bila pada bidang horizontal mempunyai daya bias yang lebih kuat dari
pada bidang vertikal.

2) Astigmatisme Irreguler
Dimana titik bias didapatkan tidak teratur.
Berdasarkan letak titik vertical dan horizontal pada retina, astigmatisme dibagi
sebagai berikut:
1. Astigmatisme Miopia Simpleks
Astigmatisme jenis ini, titik A berada di depan retina, sedangkan titik B
berada tepat pada retina (dimana titik A adalah titik fokus dari daya bias
terkuat sedangkan titik B adalah titik fokus dari daya bias terlemah). Pola
ukuran lensa koreksi astigmatisme jenis ini adalah Sph 0,00 Cyl -Y atau
Sph -X Cyl +Y di mana X dan Y memiliki angka yang sama.

Gambar 3. Astigmatisme Miopia Simpleks


2. Astigmatisme Hiperopia Simpleks
Astigmatisme jenis ini, titik A berada tepat pada retina, sedangkan titik B
berada di belakang retina.

Gambar 4. Astigmatisme Hiperopia Simpleks

3. Astigmatisme Miopia Kompositus


Astigmatisme jenis ini, titik A berada di depan retina, sedangkan titik B
berada di antara titik A dan retina. Pola ukuran lensa koreksi astigmatisme
jenis ini adalah Sph -X Cyl -Y.
Gambar 5. Astigmatisme Miopia Kompositus

4. Astigmatisme Hiperopia Kompositus


Astigmatisme jenis ini, titik B berada di belakang retina, sedangkan titik A
berada di antara titik B dan retina. Pola ukuran lensa koreksi astigmatisme
jenis ini adalah Sph +X Cyl +Y.
Gambar 6. Astigmatisme Hiperopia Kompositus

5. Astigmatisme Mixtus
8

Astigmatisme jenis ini, titik A berada di depan retina, sedangkan titik B


berada di belakang retina. Pola ukuran lensa koreksi astigmatisme jenis ini
adalah Sph +X Cyl -Y, atau Sph -X Cyl +Y, di mana ukuran tersebut tidak
dapat ditransposisi hingga nilai X menjadi nol, atau notasi X dan Y
menjadi sama - sama + atau -.

Gambar 7. Astigmatisme Mixtus

Berdasarkan tingkat kekuatan Dioptri :


1. Astigmatismus Rendah
Astigmatismus yang ukuran powernya < 0,50 Dioptri. Biasanya astigmatis-mus
rendah tidak perlu menggunakan koreksi kacamata. Akan tetapi jika timbul
keluhan pada penderita maka koreksi kacamata sangat perlu diberikan.
2. Astigmatismus Sedang
Astigmatismus yang ukuran powernya berada pada 0,75 Dioptri s/d 2,75 Dioptri.
Pada astigmatismus ini pasien sangat mutlak diberikan kacamata koreksi.
3. Astigmatismus Tinggi
Astigmatismus yang ukuran powernya > 3,00 Dioptri. Astigmatismus ini sangat
mutlak diberikan kacamata koreksi.

Tanda Dan Gejala


9

Pada umunya, seseorang yang menderita astigmatismus tinggi menyebabkan


gejala-gejala sebagai berikut :
-

Memiringkan kepala atau disebut dengan titling his head, pada umunya
keluhan ini sering terjadi pada penderita astigmatismus oblique yang

tinggi.
Memutarkan kepala agar dapat melihat benda dengan jelas.
Menyipitkan mata seperti halnya penderita myopia, hal ini dilakukan
untuk mendapatkan efek pinhole atau stenopaic slite. Penderita
astigmatismus juga menyipitkan mata pada saat bekerja dekat seperti

membaca.
Pada saat membaca, penderita astigmatismus ini memegang bacaan
mendekati mata, seperti pada penderita myopia. Hal ini dilakukan untuk
memperbesar bayangan, meskipun bayangan di retina tampak buram.

Sedang pada penderita astigmatismus rendah, biasa ditandai dengan gejala-gejala


sebagai berikut :
-

Sakit kepala pada bagian frontal.


Ada pengaburan sementara / sesaat pada penglihatan dekat, biasanya
penderita akan mengurangi pengaburan itu dengan menutup atau
mengucek-ucek mata.

Diagnosis
1) Pemeriksaan pin hole
Uji lubang kecil ini dilakukan untuk mengetahui apakah berkurangnya tajam
penglihatan diakibatkan oleh kelainan refraksi atau kelainan pada media
penglihatan, atau kelainan retina lainnya. Bila ketajaman penglihatan bertambah
setelah dilakukan pin hole berarti pada pasien tersebut terdapat kelainan refraksi
yang belum dikoreksi baik. Bila ketajaman penglihatan berkurang berarti pada
pasien terdapat kekeruhan media penglihatan atau pun retina yang menggangu
penglihatan.5
2) Uji refraksi
i. Subjektif
Optotipe dari Snellen & Trial lens

10

Metode yang digunakan adalah dengan Metoda trial and error Jarak
pemeriksaan 6 meter/ 5 meter/ 20 kaki. Digunakan kartu Snellen yang
diletakkan setinggi mata penderita, Mata diperiksa satu persatu dibiasakan
mata kanan terlebih dahulu Ditentukan visus / tajam penglihatan masingmasing mata. Bila visus tidak 6/6 dikoreksi dengan lensa sferis positif, bila
dengan lensa sferis positif tajam penglihatan membaik atau mencapai 5/5,
6/6, atau 20/20 maka pasien dikatakan menderita hipermetropia, apabila
dengan pemberian lensa sferis positif menambah kabur penglihatan
kemudian diganti dengan lensa sferis negatif memberikan tajam
penglihatan 5/5, 6/6, atau 20/20 maka pasien menderita miopia. Bila
setelah pemeriksaan tersebut diatas tetap tidak tercapai tajam penglihatan
maksimal mungkin pasien mempunyai kelainan refraksi astigmat. Pada
keadaan ini lakukan uji pengaburan (fogging technique).5,6
ii. Objektif
- Autorefraktometer
Yaitu menentukan myopia atau besarnya kelainan refraksi dengan
menggunakan komputer. Penderita duduk di depan autorefractor,
cahaya dihasilkan oleh alat dan respon mata terhadap cahaya diukur.
Alat ini mengukur berapa besar kelainan refraksi yang harus dikoreksi
-

dan pengukurannya hanya memerlukan waktu beberapa detik.


Keratometri
Adalah pemeriksaan mata yang bertujuan untuk mengukur radius
kelengkungan kornea.11 Keratometer dipakai klinis secara luas dan
sangat berharga namun mempunyai keterbatasan.

3) Uji pengaburan

11

Setelah pasien dikoreksi untuk myopia yang ada, maka tajam


penglihatannya

dikaburkan dengan lensa positif, sehingga tajam

penglihatan berkurang 2 baris pada kartu Snellen, misalnya dengan


menambah lensa spheris positif 3. Pasien diminta melihat kisi-kisi juring
astigmat, dan ditanyakan garis mana yang paling jelas terlihat. Bila garis
juring pada 90 yang jelas, maka tegak lurus padanya ditentukan sumbu
lensa silinder, atau lensa silinder ditempatkan dengan sumbu 180.
Perlahan-lahan kekuatan lensa silinder negatif ini dinaikkan sampai garis
juring kisi-kisi astigmat vertikal sama tegasnya atau kaburnya dengan
juring horizontal atau semua juring sama jelasnya bila dilihat dengan lensa
silinder ditentukan yang ditambahkan. Kemudian pasien diminta melihat
kartu Snellen dan perlahan-lahan ditaruh lensa negatif sampai pasien
melihat jelas.7

Gambar 8. Kipas Astigmat.

4) Keratoskop

12

Keratoskop atau Placido disk digunakan untuk pemeriksaan astigmatisme.


Pemeriksa memerhatikan imej ring pada kornea pasien. Pada
astigmatisme regular, ring tersebut berbentuk oval. Pada astigmatisme
irregular, imej tersebut tidak terbentuk sempurna.7,8
5) Javal ophtalmometer
Boleh digunakan untuk mengukur kelengkungan sentral dari kornea,
diaman akan menentukan kekuatan refraktif dari kornea.7,8

Terapi

13

1) Koreksi lensa
Astigmatismus dapat dikoreksi kelainannya dengan bantuan lensa silinder.
Karena dengan koreksi lensa cylinder penderita astigmatismus akan dapat
membiaskan sinar sejajar tepat diretina, sehingga penglihatan akan bertambah
jelas.
2) Orthokeratology

Orthokeratology adalah cara pencocokan dari beberapa seri lensa kontak, lebih
dari satu minggu atau bulan, untuk membuat kornea menjadi datar dan
menurunkan myopia. Kekakuan lensa kontak yang digunakan sesuai dengan
standar. Pada astigmatismus irregular dimana terjadi pemantulan dan
pembiasan sinar yang tidak teratur pada dataran permukaan depan kornea maka
dapat dikoreksi dengan memakai lensa kontak. Dengan memakai lensa kontak
maka permukaan depan kornea tertutup rata dan terisi oleh film air mata.
3) Bedah refraksi
Methode bedah refraksi yang digunakan terdiri dari:8,9
Radial keratotomy (RK)
Dimana pola jari-jari yang melingkar dan lemah diinsisi di parasentral.
Bagian yang lemah dan curam pada permukaan kornea dibuat rata. Jumlah
hasil perubahan tergantung pada ukuran zona optik, angka dan kedalaman
dari insisi.
Photorefractive keratectomy (PRK)
Adalah prosedur dimana kekuatan kornea ditekan dengan ablasi laser pada
pusat kornea. Kornea yang keruh adalah keadaan yang biasa terjadi setelah
photorefractive keratectomy dan setelah beberapa bulan akan kembali jernih.
Pasien tanpa bantuan koreksi kadang-kadang menyatakan penglihatannya
lebih baik pada waktu sebelum operasi.

KESIMPULAN

14

Astigmatisma adalah kelainan refraksi mata dimana didapatkan bermacammacam derajat refraksi pada berbagai macam meridian sehingga sinar sejajar yang
datang pada mata akan difokuskan pada berbagai macam fokus pula. Terdapat
berbagai macam astigmatisma, antara lain simple astigmatisma, mixed
astigmatisma dan compound astigmatisma.
Terdapat 2 etiologi, yaitu kelainan pada lensa dan kelainan pada kornea. Adapun
gejala klinis dari astigmatisme adalah penglihatan kabur atau terjadi distorsi.
Pasien juga sering mengeluhkan penglihatan mendua atau melihat objek
berbayang-bayang. Sebahagian juga mengeluhkan nyeri kepala dan nyeri pada
mata.
Koreksi dengan lensa silinder akan memperbaiki visus pasien. Selain lensa
terdapat juga pilihan bedah yaitu dengan Radial keratotomy (RK) dan
Photorefractive keratectomy (PRK).

PENDAHULUAN

15

Retinopati diabetik merupakan penyebab kebutaan paling sering ditemukan pada


usia dewasa antara 20 sampai 74 tahun. Pasien diabetes memiliki resiko 25 kali
lebih mudah mengalami kebutaan dibanding nondiabetes. Resiko mengalami
retinopati pada pasien diabetes meningkat sejalan dengan lamanya diabetes. Pada
waktu diagnosis diabetes tipe 1 ditegakan, retinopati hanya ditemukan hanya
kurang dari 5% pasien. Setelah 10 tahun prevalensi meningkat menjadi 40-50%
dan sesudah 20 tahun lebih dari 90% pasien sudah menderita retinopati diabetik.
Pada diabetes tipe 2 ketika diagnosis ditegakan, sekitar 25 % sudah menderita
retinopati diabetik nonproliferatif (background retinopathy). Setelah 20 tahun,
prevalensi retinopati diabetik meningkat menjadi lebih dari 60% dalam berbagai
derajat. Retinopati diabetik nonproliferatif (NPDR/Nonproliverative diabetic
retinopathy) merupakan bentuk yang paling sering ditemukan pada retinopati
diabetik.
Retinopati diabetika merupakan penyebab utama kebutaan di Amerika serikat
pada pasien berumur 20-64 tahun. Kira-kira 80% kebutaan pada umur 20-64 tahun
disebabkan oleh retinopati diabetik. Prevalensi kebutaan oleh karena retinopati
diabetik di Indonesia adalah 52,3%. Meskipun retinopati diabetik tidak dapat
dicegah dan disembuhkan secara total, banyak kasus kebutaan dapat dihindari
oleh karena kemajuan manajemen terapi diabetes melitus dan retinopati diabetik.
Diagnosis awal, pengobatan yang intensif dan kontrol rutin merupakan hal yang
sangat diperlukan pada pasien diabetes, dimana dapat mengurangi resiko kebutaan
secara signifikan. Pengobatan yang intensif untuk mengontrol konsentrasi gula
darah

sampai

batas

normal

telah

terbukti

dapat

menurunkan

resiko

berkembangnya retinopati diabetik sebanyak 76 persen. Kebutaan yang


disebabkan oleh retinopati diabetik dapat dicegah setiap tahunnya jika dideteksi
secara dini. Oleh karena itu, perlu waktu yang optimal untuk terapi sebelum
pasien mengeluhkan gejala penglihatan.

TINJAUAN PUSTAKA

16

A. Anatomi, Fisiologi dan Histologi Retina


Retina merupakan suatu struktur berlapis ganda dari fotoreseptor dan sel
saraf. Kesehatan dan aktivitas metabolisme retina sangat tergantung pada
jaringan kapiler retina. Kapiler retina membentuk jaringan yang menyebar
ke seluruh permukaan retina kecuali suatu daerah yang disebut fovea.
Kelainan dasar dari berbagai bentuk retinopati diabetik terletak pada kapiler
retina tersebut. Dinding kapiler retina terdiri dari tiga lapisan dari luar ke
dalam yaitu sel perisit, membrana basalis dan sel endotel.
Sel perisit dan sel endotel dihubungkan oleh pori yang terdapat pada
membran sel yang terletak di antara keduanya. Dalam keadaan normal,
perbandingan jumlah sel perisit dan sel endotel kapiler retina adalah 1:1
sedangkan pada kapiler perifer yang lain perbandingan tersebut mencapai
20:1. Sel perisit berfungsi mempertahankan struktur kapiler, mengatur
kontraktilitas, membantu mempertahankan fungsi barrier dan transportasi
kapiler serta mengendalikan proliferasi endotel. Membran basalis
berfungsi sebagai barrier dengan mempertahankan permeabilitas kapiler
agar tidak terjadi kebocoran. Sel endotel saling berikatan erat satu sama
lain dan bersama-sama dengan matriks ekstrasel dari membran basalis
membentuk barrier yang bersifat selektif terhadap beberapa jenis protein
dan molekul kecil termasuk bahan kontras fluoresensi yang digunakan
untuk diagnosis penyakit kapiler retina.

B. Jaras Visual
C. Retinopati Diabetik
1. Definisi
Retinopati diabetes adalah kelainan retina (retinopati) yang
ditemukan pada penderita diabetes mellitus. Retinopati diabetes merupakan
penyulit penyakit diabetes yang paling penting. Hal ini disebabkan karena
insidennya yang cukup tinggi yaitu mencapai 40-50% penderita diabetes
dan prognosisnya yang kurang baik terutama bagi penglihatan.

17

2. Etio-patogenesis
Meskipun penyebab retinopati diabetik sampai saat ini belum
diketahui secara pasti, namun keadaan hiperglikemia yang berlangsung
lama dianggap sebagai faktor risiko utama. Ada 3 proses biokimiawi yang
terjadi pada hiperglikemia yang diduga berkaitan dengan timbulnya
retinopati

diabetik

yaitu

jalur

poliol,

glikasi

nonenzimatik,

dan

pembentukan protein kinase C. Selain pengaruh hiperglikemia melalui


berbagai jalur metabolisme, sejumlah faktor lain yang terkait dengan
diabetes mellitus seperti peningkatan agregasi trombosit, peningkatan
agregasi eritrosit, viskositas darah, hipertensi, peningkatan lemak darah dan
faktor pertumbuhan, diduga turut juga berperan dalam timbulnya retinopati
diabetik.

a) Jalur Poliol
Hiperglikemia yang berlangsung lama akan menyebabkan produksi
berlebihan serta akumulasi dari poliol, yaitu senyawa gula dan alkohol,
dalam jaringan termasuk di lensa dan saraf optik. Salah satu sifat dari
senyawa poliol ialah tidak dapat melewati membrana basalis sehingga akan
tertimbun dalam jumlah yang banyak di dalam sel. Senyawa poliol
menyebabkan peningkatan tekanan osmotik sel dan menimbulkan gangguan
morfologi maupun fungsional sel.
b) Glikasi Nonenzimatik
Glikasi nonenzimatik terhadap protein dan asam deoksiribonukleat
(DNA) yang terjadi selama hiperglikemia dapat menghambat aktivitas

18

enzim dan keutuhan DNA. Protein yang terglikosilasi membentuk radikal


bebas dan akan menyebabkan perubahan fungsi sel.
c) Protein Kinase C
Protein Kinase C (PKC) diketahui memiliki pengaruh terhadap
permeabilitas vaskular, kontraktilitas, sintesis membrana basalis dan
proliferasi sel vaskular. Dalam kondisi hiperglikemia, aktivitas PKC di
retina dan sel endotel meningkat akibat peningkatan sintesis de novo dari
diasilgliserol, yaitu suatu regulator PKC, dari glukosa.
3. Patofisiologi
Perubahan histopatologi kapiler retina pada retinopati diabetik dimulai
dari penebalan membrana basalis, hilangnya perisit dan proliferasi endotel
dimana pada keadaan lanjut perbandingan antara sel endotel dan sel perisit
dapat mencapai 10:1. Patofisiologi retinopati diabetik melibatkan 5 proses
1)
2)
3)
4)

dasar yang terjadi di tingkat kapiler yaitu:


Pembentukan mikroaneurisma
Peningkatan permeabilitas pembuluh darah
Penyumbatan pembuluh darah
Proliferasi pembuluh darah baru (neovascular) dan jaringan fibrosa di

retina
5) Kontraksi dari jaringan fibrosis kapiler dan jaringan vitreus.
Penyumbatan dan hilangnya perfusi (nonperfusion) menyebabkan
iskemia retina sedangkan kebocoran dapat terjadi pada semua komponen
darah. Kebutaan akan retinopati diabetik dapat terjadi melalui beberapa
mekanisme berikut:
1) Edema makula atau nonperfusi kapiler
2) Pembentukan pembuluh darah baru pada retinopati diabetik proliferatif dan
kontraksi jaringan fibrosis menyebabkan ablasio retina (retinal detachment)
3) Pembuluh darah baru yang terbentuk menimbulkan perdarahan preretina
dan vitreus
4) Pembentukan pembuluh darah baru dapat menimbulkan glaucoma
Perdarahan adalah bagian dari stadium retinopati proliferatif dan
merupakan penyebab utama dari kebutaan permanen. Selain itu, kontraksi
dari jaringan fibrovaskular yang menyebabkan ablasio retina (terlepasnya
lapisan retina) juga merupakan salah satu penyebab kebutaan pada
retinopati diabetik proliferatif
4. Klasifikasi

19

Pada umumnya klasifikasi didasarkan atas beratnya perubahan


mikrovaskular retina dan ada atau tidak adanya pembentukan pembuluh
darah baru di retina. Early Treatment Diabetic Retinopathy Study Research
Group (ETDRS) membagi retinopati diabetik atas nonproliferatif dan
proliferatif. Pertemuan Airlie House membagi retinopati diabetik atas 3
stadium yaitu stadium nonproliferatif, preproliferatif, dan proliferatif.
Retinopati diabetik digolongkan sebagai retinopati diabetik nonproliferatif
(RDNP) apabila hanya ditemukan perubahan mikrovaskular dalam retina.
Kelainan fundus pada RDNP dapat berupa mikroaneurisma atau kelainan
intraretina yang disebut intraretinal microvascular abnormalities (IRMA)
akibat peningkatan permeabilitas kapiler. Penyumbatan kapiler retina akan
menimbulkan hambatan perfusi yang secara klinik ditandai dengan
perdarahan, kelainan vena dan IRMA. Iskemia retina akibat hambatan
perfusi akan merangsang proliferasi pembuluh darah baru (neovaskular).
Neovaskular merupakan tanda khas retinopati diabetik proliferatif (RDP).
a) Retinopati diabetik nonproliferatif
1) Retinopati nonproliferatif minimal: terdapat 1 tanda berupa dilatasi vena,
mikroaneurisma, perdarahan intraretina yang kecil atau eksudat keras.
2) Retinopati nonproliferatif ringan sampai sedang: terdapat 1 tanda berupa
dilatasi vena derajat ringan, perdarahan, eksudat keras, eksudat lunak atau
IRMA.
3) Retinopati nonproliferatif berat: terdapat 1 tanda berupa perdarahan dan
mikroaneurisma pada 4 kuadran retina, dilatasi vena pada 2 kuadran, atau
IRMA pada 1 kuadran.
4) Retinopati nonproliferatif sangat berat: ditemukan 2 tanda pada retinopati
nonproliferatif berat.
b) Retinopati diabetik proliferatif
1) Retinopati proliferatif ringan (tanpa risiko tinggi): bila ditemukan minimal
adanya neovaskular pada diskus (new vessels on disc [NVD]) yang
mencakup < dari daerah diskus tanpa disertai perdarahan preretina atau
vitreus; atau neovaskular dimana saja di retina (new vessels elsewhere
[NVE]) tanpa disertai perdarahan preretina atau vitreus.
2) Retinopati proliferatif risiko tinggi: apabila ditemukan 3 atau 4 dari faktor

risiko sebagai berikut:


ditemukan pembuluh darah baru dimana saja di retina

20

ditemukan pembuluh darah baru pada atau dekat diskus optikus


pembuluh darah baru yang tergolong sedang atau berat yang mencakup >

diskus
perdarahan vitreus.
Adanya pembuluh darah baru yang jelas pada diskus optikus atau setiap
adanya pembuluh darah baru yang disertai perdarahan, merupakan 2
gambaran yang paling sering ditemukan pada retinopati proliferatif dengan
resiko tinggi.

Klasifikasi menurut Bagian Mata FK UI/RSCM:


Derajat I. Terdapat mikroaneurisma dengan atau tanpa eksudat lemak pada

fundus okuli.
Derajat II. Terdapat mikroaneurisma, perdarahan bintik dan bercak dengan

atau tanpa eksudat lemak pada fundus okuli.


Derajat III. Terdapat mikroaneurisma, perdarahan bintik dan bercak,
terdapat neovaskularisasi dan proliferasi pada fundus okuli.

5. Gambaran Klinis
Retinopati merupakan gejala diabetes mellitus utama pada mata,
dimana ditemukan pada retina:
a) Mikroaneurismata, merupakan penonjolan dinding kapiler, terutama daerah
vena dengan bentuk berupa bintik merah kecil yang terletak dekat
pembuluh darah terutama polus posterior. Mikroaneurismata merupakan
kelainan diabetes mellitus dini pada mata
b) Perdarahan dapat dalam bentuk titik, garis, dan bercak yang biasanya
terletak dekat mikroaneurismata di polus posterior. Perdarahan terjadi
akibat gangguan permeabilitas pada mikroaneurismata, atau karena
pecahnya kapiler.
c) Dilatasi pembuluh darah balik (vena) dengan lumennya irregular dan
berkelok-kelok, bentuk ini seakan-akan dapat memberikan perdarahan tapi
hal ini tidaklah demikian. Hal ini terjadi akibat kelainan sirkulasi dan
kadang-kadang disertai kelainan endotel dan eksudasi plasma.
d) Hard exudate merupakan infiltrasi lipid ke dalam retina. Gambarannya
khusus yaitu irregular, kekuning-kuningan. Pada permukaan eksudat
pungtata membesar dan bergabung. Eksudat ini dapat muncul dan hilang

21

dalam beberapa minggu. Kelainan ini terutama terdiri atas bahan-bahan


lipid dan terutama banyak ditemukan pada keadaan hiperlipoproteinemia.

Penemuan klinis pada Retinopati diabetic nonproliferative termasuk


mikroaneurisma, perdarahan intraretina, dan exudat lemak.
e) Soft exudate yang sering disebut cotton wool patches merupakan iskemia
retina. Pada pemeriksaan oftalmoskopi akan terlihat bercak berwarna
kuning bersifat difus dan berwarna putih. Biasanya terletak di bagian tepi
daerah nonirigasi dan dihubungkan dengan iskemia retina.

Cotton wool spots umum terlihat pada pasien diabetic retinopathy.

22

1.
2.
3.
4.
f) Pembuluh darah baru pada retina

Perdarahan flame-shaped
Soft exudate
Cotton wool spots
Mikroaneurisma
biasanya terletak di permukaan jaringan.

Neovaskularisasi terjadi akibat proliferasi sel endotel pembuluh darah.


Tampak sebagai pembuluh yang berkelok-kelok, dalam kelompokkelompok, dan bentuknya irregular. Hal ini merupakan awal penyakit yang
berat pada retinopati diabetes. Mula-mula terletak di dalam jaringan retina,
kemudian berkembang ke daerah preretinal, ke badan kaca. Pecahnya
neovaskularisasi pada daerah-daerah ini dapat menimbulkan perdarahan
retina, perdarahan subhialoid (preretinal), maupun perdarahan badan kaca.
Proliferasi preretinal dari suatu neovaskularisasi biasanya diikuti proliferasi
jaringan ganglia dan perdarahan.
g) Edema retina dengan tanda hilangnya gambaran retina terutama daerah
makula sehingga sangat mengganggu tajam penglihatan pasien.
h) Hiperlipidemia suatu keadaan yang sangat jarang, tanda ini akan segera
hilang bila diberi pengobatan.

23

Penyebab utama gangguan penglihatan pada pasien dengan NPDR adalah


edema macula. Edema macula disebabkan oleh adanya kebocoran vaskuler
dan ischemia.
Retinopati diabetes biasanya ditemukan bilateral, simetris, dan progresif,
dengan 3 bentuk:
a) Back ground: mikroaneurismata, perdarahan bercak dan titik, serta edema
sirsinata.
b) Makulopati: edema retina dan gangguan fungsi makula
c) Proliferasi: vaskularisasi retina dan badan kaca

6. Diagnosis
Diagnosis retinopati diabetik ditegakan berdasarkan anamnesis,
gejala klinis dan pemeriksaan oftalmologi.

24

Pada anamesa harus ditanyakan mengenai lamanya mederita


diabetes militus, riwayat penggunaan obat diabetes militus, riwayat
penyakit sitemik lain seperti ginjal, kelainan profil lipid, kadar gula darah
dan HbA1c terakhir. Gejala klinis seperti keluhan tajam penglihatan,
distorsi penglihatan, dan pandangan kabur.
Pada pemeriksaan oftalmologi baik direk maupun indirek. Adanya
perdarahan, eksudat, mikroaneurisma dan abnormalitas vena dapat terlihat
dengan jelas.
Pemeriksaan FFA (fundal fluorescein angiografi) merupakan
metode diagnosis yang paling dipercaya dan juga sangat bemanfaat dalam
mendeteksi kelainan mikrovaskuler.
Pemeriksaan

FFA

(fundal

fluorescein

angiografi)

dengan

penyuntikan fluoresen 10% intravena sebanyak 10 cc, zat warna tersebut


akan menunjukkan titik-titik kebocoran kapiler pada foto yang dibuat
secara berurutan. Pembuluh darah yang terisi kontras flouresens, terlihat
perdarahan seperti bercak gelap pada angiografi, sedangkan pada sisi kanan
terdapatnya kerusakan pembuluh darah retina yang disebut darah non
perfusi atau iskemik retina.

7. Penatalaksanaan

25

Pengobatan retinopati diabetik merupakan upaya yang harus


dilakukan secara untuk mencegah atau menunda timbulnya retinopati dan
juga untk memperlambat perburukan retinopati. Tujuan utama pengobatan
retinopati diabetik ialah untuk mencegah terjadinya kebutaan permanen.
Retinopati yang ditemukan pada stadium awal seringkali tidak memerlukan
terapi, tetapi cukup dengan pengawasan secara berkala. Pengobatan
dianjurkan untuk menghentikan proses kerusakan retina dan bila mungkin
memperbaiki tajam penglihatan.
Fokus pengobatan pada pasien retinopati diabetik non proliferasi
tanpa edema makula adalah pengobatan hiperglikemia dan penyakit
sistemik lainnya. Sedangkan untuk terapi retinopati diabetik proliferasi
biasanya di indikasikan pengobatan laser fotokoagulasi yang secara
bermakna menurunkan kemungkinan perdarahan massif korpus vitreum dan
pelepasan retina dengan cara menimbulkan regresi dan pada sebagian kasus
dapat menghilangkan pembuluh-pembuluh baru tersebut.
Untuk penatalaksanaan konservatif penglihatan monokuler yang
disebabkan oleh perdarahan viterum diabetes pada pasien binokular adalah
dengan membiarkan terjadinya resolusi spontan dalam beberapa bulan.
1. SINAR LASER FOTOKOAGULASI
Sinar laser bermanfaat untuk mengobati retinopati diabetika,
pengobatan ini sangat efektif untuk menutup pembuluh darah yang bocor.
Dalam prosedur ini sinar laser yang berkekuatan energi tinggi difokuskan
ke bagian retina yang rusak. Fotokoagulasi laser ditujukan untuk
mengurangi kebocoran pembuluh darah akibat mikroaneurisma, mengablasi
pembuluh darah yang tersumbat, dan secara tidak langsung mengurangi
risiko neovaskularisasi. Risiko kehilangan penglihatan dapat dikurangi
sampai dengan 50%
Pada mata dengan CSME, Early Treatment Diabteic Retinopathy
Study (Penelitian Penanganan Dini Retinopati Diabetik) menunjukkan
bahwa laser fotokoagulasi

makula

mengurangi

resiko kehilangan

penglihatan moderat dengan persentasi lebih 50%. Fotokoagulasi makula

26

untuk CSME melibatkan penanganan laser fokal untuk mikroaneurisma


yang bocor dan laser fotokagulasi berpola garis pada edema makula difus.
Suatu uji klinik berskala besar yang dilakukan National Institutes of
Health di Amerika serikat jelas menunjukan bahwa pengobatan
fotokoagulasi dengan sinar laser apabila dilakukan tepat pada waktunya,
sangat efektif untuk pasien dengan retinopati diabetik proliferatif dan
edema makula.
Indikasi terapi laser fotokoagulasi :
-

Retinopati non proliferatif dengan edema makula dan tajam penglihatan

menrun.
Pre Retinopati diabetik proliferatif paling tidak tiga gejala klinis
Retinopati diabetik proliferatif dengan atau tanpa komplikasi
Perdarahan vitreus
Retinopati diabetik non priliferatif dengan katarak
Penderita dengan kontrol diabetes yang tidak baik
Retinopati diabetik non proliferatif pada salah satu mata yang mengalami
progresivitas
Komplikasi laser fotokoagulasi

Penurunan sensitivitas terhadap cahaya


Penurunan tajam penglihatan perifer
Penururnan tajam penglihatan waktu malam hari
Skotoma parasternal dan sentral
Fibrosis submakula
Pelebaran sikatriks jejas laser
Perdarahan khorioretina

Ada tiga terapi fotokoagulasi dengan laser yaitu :


a. Scatter (panretinal) photocoagulation, dilakukan pada kasus dengan
kemunduran visus yang cepat dan untuk menghilangkan neovaskuler pada
saraf optikus dan permukaan retina atau pada sudut chamber anterior.
b. Focal photocoagulation, ditujukan pada mikroaneurisma di fundus posterior
yang mengalami kebocoran untuk mengurangi atau menghilangi edema
makula
c. Grid photocoagulation, suatau teknik pengguanaan sinar laser dimana
pembakaran dengan bentuk kisi-kisi diarahkan pada daerah edema.

27

Mata kanan sebelum dilakukan laser panretinal


Mata kiri setelah dilakukan laser panretinal
2. INJEKSI ANTI-VEGF INTRAVITREAL
Dengan menyuntikkan zat anti perdarahan kedalam bola mata,
diharapkan pembuluh darah baru yang terbentuk akan mengalami
penyusutan.
.
3. VITREKTOMI
Vitrektomi merupakan tindakan bedah yang dilakukan dengan bius
umum dikamar operasi. Jika perdarahan banyak, dapat dilakukan operasi
untuk membuang darah tersebut.Viterktomi dini perlu dilakukan pada
pasien yang mengalami kekeruhan vitreus dan yang mengalami
28

neovaskularisasi aktif, vitrektomi juga dapat membantu bagi pasien dengan


neovaskularisasi

yang

ekstensif

atau

yang

mengalami

proliferasi

fibrovaskular.
Dalam hal ini vitreus yang penuh darah akan dikeluarkan dan
diganti dengan cairan jernih. Sekitar 70 % pasien yang menjalani operasi
bedah

vitrektomi

mengalami

perbaikan

yang

signifikan

pada

penglihatannya. Penentuan waktu operasi pada masing-masing pasien


tergantung derajat kerusakan pada mata dan pada kondisi mata yang satu
lagi. Hal pertama dan penting untuk pengobatan adalah mengontrol kadar
gula darah sehingga tetap berada dalam rentang nilai normal. Dengan
demikian, keparahan penyakit dapat dihindari. Pada retinopati yang
mengalami perdarahan dapat dilakukan focal laser treatment untuk
menghentikannya.
Indikasi viterktomi
-

Ablasio retina
Perdarahan vitreus setelah fotokoaglasi
Retinopati diabetik proliferasi berat
Perdarahan vitreus yang tidak mengalami perbaikan.

29

8. Prognosis

30

Pada mata yang mengalami edema makular dan iskemik yang


bermakna akan memiliki prognosa lebih buruk dengan atau tanpa terapi
laser, dari pada mata dengan edema dan perfusi yang realtif baik.

9. Pencegahan
Metode pencegahan retinopati diabetik saat ini meliputi kontrol
glukosa darah, kontrol tekanan darah,masalah jantung, obesitas harus
dikendalikan dan diperhatikan.
Kontrol glukosa darah yang baik merupakan dasar dalam mencegah
timbulnya retinopati diabetik atau memburuknya retinopati diabteik yang
sudah ada. Hasil penelitian dari DCCT dan UKDS tersebut memperlihatkan
bahwa meskipun kontrol glukosa darah secara intensif tidak dapat
mencegah terjadinya retinopati secara sempurna, namun dapat mengurangi
resiko timbulnya retinopati diabetik dan memburuknya retinopati diabetik
yang sudah ada. Secara klinik kontrol glukosa darah yang baik dapat
melindungi visus dan mengurangi risiko kemungkinan menjalani terapi
fotokoagulasi dengan sinar laser.

31

PENUTUP.
Retinopati termasuk salah satu komplikasi mikrovaskuler dari diabetes.
Retinopati diabetik suatu mikroangiopati progresif yang ditandai dengan
kerusakan dan sumbatan pembuluh-pembuluh halus darah retina.
Retinopati

diabetik

dapat

dibagi

diklasifikasikan menjadi

tipe

proliferatif, nonproliferatif, Tipe nonproliferatif ringan ditandai minimal 1


mikroaneurisma. Tipe nonproliferatif sedang ditandai mikroaneurisma luas,
perdarahan intraretinal (flame-shaped hemorrhage), permukaan vena yang
tidak rata (venous beading).

Dapat ditemukan cotton wool spots.Tipe

nonproliferatif berat ditandai dengan adanya cotton wool spots, venous


beading, dan abnormalitas mikrovaskuler intraretinal.
Yang membedakan berat dan sedang adalah adanya perdarahan
intraretina

di

ke-4

kuadran,

venous beading

di

kuadran,

atau

abnormalitas mikrovaskuler intraretinal di 1 kuadran. Yang membedakan tipe


proliferatif dan nonproliferatif adalah adanya neovaskularisasi pada retina
atau adanya perdarahan vitreous.
Untuk membantu daignosis pada retinopati diabetik dapat digunakan
pemeriksaan

FFA (fundal fluorescein angiografi) yang bermanfaat dalam

mendeteksi kelainan mikrovaskuler retinopati diabetik.


Terapi foatokoagulasi dengan menggnakan laser dapat memperkecil
resiko penurunan penglihatan dan meningkatkan kemungkinan perbaikan
fungsi penglihatan.

32

DAFTAR PUSTAKA
1. Despopoulos A. and Silbernagi S, Color Atlas of Physiology 3 rd Edition.
London: Thieme, 2003; 344-346.
2. Olver J and Cassidy L, Basic Optics and Refraction. In Olver J and Cassidy L,
Ophtalmology at a Glance. New York: Blackwell Science, 2005; 22-23.
3. James B, Chew C and Bron A, Lecture Notes on Ophtalmology. New York:
Blackwell Publishing, 2003; 20-26.
4. Whitcher J P and Eva P R, Low Vision. In Whitcher J P and Eva P R, Vaughan
& Asburys General Ophtalmology. New York: Mc Graw Hill, 2007.
5. Ilyas S, Mailangkay H, Taim H, Saman R dan Simarmata M, 2003. Ilmu
Penyakit Mata Untuk Dokter Umum dan mahasiswa Kedokteran Edisi Ke-2.
Jakarta.
6. A. K. Khurana, Comprehensive Ophtalmology Fourth Edition: Optics and
Refraction, New Age International (P) limited Publishers, 12: 36-38, 2007.
7. Gerhard K. Lang, Ophthalmology A Short Textbook :Optics and Refractive
Errors, Thieme, p. 127-136, 2000.
8. Deborah, Pavan-Langston,Manual of Ocular Diagnosis and Therapy, 6 th
Edition:Refractive Surgery, Lippincott Williams and Wilkins, 5:73-100,2008.
9. Roque M., 2009. Astigmatism, PRK. Diunduh dari:
http://emedicine.medscape.com/article/1220845-overview#a0101
[Diakses tanggal 28 Juni 2011]
10. Harvey M. E., 2009. Development and Treatment of Astigmatism-Related
Amblyopia. Optom Vis Sci 86(6): 634-639. Diunduh dari:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2706277/pdf/nihms114434.pdf
??tool=pmcentrez
[Diakses tanggal 26 Juni 2011]
11. Choi H. Y., Jung J. H. and Kim. M. N., 2010. The Effect of Epiblepharon
Surgery on Visual Acuity and With-the-Rule Astigmatism in Children. Korean
J Ophthalmol 2010; 24(6) : 325-330. Diunduh dari:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3016080/pdf/15456110_v108_p077.pdf??tool=pmcentrez
12. Ilyas Sidarta, Prof. Dr. H, Sp.M, Ilmu Penyakit mata. Edisi 3. Balai Penerbit
FKUI. Jakarta 2005
13. Rahmawati RL.Diabetik Retinopati.Medan : Ilmu Penyakit Mata FK USU
H.Adam malik.2007.4-7
14. Vaughan DG, Asbury T,Eva PR. Oftalmologi umum. Edisi ke 14. Jakarta :
Widya Medika. 2000.

33

Anda mungkin juga menyukai