Astigmatisma biasanya bersifat diturunkan atau terjadi sejak lahir, dan biasanya
berjalan bersama dengan miopia dan hipermetropia dan tidak banyak terjadi
perubahan selama hidup. Bayi yang baru lahir biasanya mempunyai kornea yang
bulat atau sferis yang di dalam perkembangannya terjadi keadaan yang disebut
astigmatism with the rule (astigmat lazim) yang berarti kelengkungan kornea pada
bidang vertikal bertambah atau lebih kuat atau-jari-jarinya lebih pendek dibanding
jari-jari kelengkungan kornea di bidang horisontal.2
Letak kelainan pada astigmatisma terdapat di dua tempat yaitu kelainan pada
kornea dan kelainan pada lensa. Pada kelainan kornea terdapat perubahan
lengkung kornea dengan atau tanpa pemendekan atau pemanjangan diameter
anterior- posterior bola mata. Kelainan ini bisa merupakan kelainan kongenital
atau didapat akibat kecelakaan, peradangan kornea atau operasi.2.3
Secara garis besar terdapat 3 penatalaksanaan astigmatisma, yaitu dengan
menggunakan kacamata silinder, lensa kontak dan pembedahan. Teknik
pembedahan menggunakan metode LASIK, photorefractive keratotomy, dan
radial keratotomy.
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi
Astigmatisme adalah suatu kelainan refraksi dimana sinar sejajar dengan garis
pandang oleh mata tanpa akomodasi dibiaskan tidak pada satu titik tetapi lebih
dari satu titik.3
Epidemiologi
Prevalensi global kelainan refraksi diperkirakan sekitar 800 juta sampai 2,3
milyar. Di Indonesia prevalensi kelainan refraksi menempati urutan pertama pada
penyakit mata. Kasus kelainan refraksi dari tahun ke tahun terus mengalami
peningkatan. Ditemukan jumlah penderita kelainan refraksi di Indonesia hampir
25% populasi penduduk atau sekitar 55 juta jiwa.3,4
Insidensi myopia dalam suatu populasi sangat bervariasi dalam hal umur, negara,
jenis kelamin, ras, etnis, pekerjaan, lingkungan, dan factor lainnya. Prevalensi
miopia bervariasi berdasar negara dan kelompok etnis, hingga mencapai 70-90%
di beberapa negara. Sedangkan menurut Maths Abrahamsson dan Johan Sjostrand
tahun 2003, angka kejadian astigmat bervariasi antara 30%-70%.
Fisiologi Refraksi
Etiologi
Etiologi kelainan astigmatisma adalah sebagai berikut:4
i.
ii.
Adanya kelainan pada lensa dimana terjadi kekeruhan pada lensa. Semakin
bertambah umur seseorang, maka kekuatan akomodasi lensa kristalin juga
semakin berkurang dan lama kelamaan lensa kristalin akan mengalami
kekeruhan yang dapat menyebabkan astigmatismus.
5
iii.
iv.
v.
Tumor
Klasifikasi
Berdasarkan posisi garis fokus dalam retina Astigmatisme dibagi sebagai berikut:
1) Astigmatisme Reguler
Dimana didapatkan dua titik bias pada sumbu mata karena adanya dua bidang
yang saling tegak lurus pada bidang yang lain sehingga pada salah satu
bidang memiliki daya bias yang lebih kuat dari pada bidang yang lain.
Astigmatisme jenis ini, jika mendapat koreksi lensa cylindris yang tepat, akan
bisa menghasilkan tajam penglihatan normal. Tentunya jika tidak disertai
dengan adanya kelainan
penglihatan yang lain.
Bila ditinjau dari letak daya bias terkuatnya, bentuk astigmatisme regular ini
dibagi menjadi 2 golongan, yaitu:
i.
ii.
2) Astigmatisme Irreguler
Dimana titik bias didapatkan tidak teratur.
Berdasarkan letak titik vertical dan horizontal pada retina, astigmatisme dibagi
sebagai berikut:
1. Astigmatisme Miopia Simpleks
Astigmatisme jenis ini, titik A berada di depan retina, sedangkan titik B
berada tepat pada retina (dimana titik A adalah titik fokus dari daya bias
terkuat sedangkan titik B adalah titik fokus dari daya bias terlemah). Pola
ukuran lensa koreksi astigmatisme jenis ini adalah Sph 0,00 Cyl -Y atau
Sph -X Cyl +Y di mana X dan Y memiliki angka yang sama.
5. Astigmatisme Mixtus
8
Memiringkan kepala atau disebut dengan titling his head, pada umunya
keluhan ini sering terjadi pada penderita astigmatismus oblique yang
tinggi.
Memutarkan kepala agar dapat melihat benda dengan jelas.
Menyipitkan mata seperti halnya penderita myopia, hal ini dilakukan
untuk mendapatkan efek pinhole atau stenopaic slite. Penderita
astigmatismus juga menyipitkan mata pada saat bekerja dekat seperti
membaca.
Pada saat membaca, penderita astigmatismus ini memegang bacaan
mendekati mata, seperti pada penderita myopia. Hal ini dilakukan untuk
memperbesar bayangan, meskipun bayangan di retina tampak buram.
Diagnosis
1) Pemeriksaan pin hole
Uji lubang kecil ini dilakukan untuk mengetahui apakah berkurangnya tajam
penglihatan diakibatkan oleh kelainan refraksi atau kelainan pada media
penglihatan, atau kelainan retina lainnya. Bila ketajaman penglihatan bertambah
setelah dilakukan pin hole berarti pada pasien tersebut terdapat kelainan refraksi
yang belum dikoreksi baik. Bila ketajaman penglihatan berkurang berarti pada
pasien terdapat kekeruhan media penglihatan atau pun retina yang menggangu
penglihatan.5
2) Uji refraksi
i. Subjektif
Optotipe dari Snellen & Trial lens
10
Metode yang digunakan adalah dengan Metoda trial and error Jarak
pemeriksaan 6 meter/ 5 meter/ 20 kaki. Digunakan kartu Snellen yang
diletakkan setinggi mata penderita, Mata diperiksa satu persatu dibiasakan
mata kanan terlebih dahulu Ditentukan visus / tajam penglihatan masingmasing mata. Bila visus tidak 6/6 dikoreksi dengan lensa sferis positif, bila
dengan lensa sferis positif tajam penglihatan membaik atau mencapai 5/5,
6/6, atau 20/20 maka pasien dikatakan menderita hipermetropia, apabila
dengan pemberian lensa sferis positif menambah kabur penglihatan
kemudian diganti dengan lensa sferis negatif memberikan tajam
penglihatan 5/5, 6/6, atau 20/20 maka pasien menderita miopia. Bila
setelah pemeriksaan tersebut diatas tetap tidak tercapai tajam penglihatan
maksimal mungkin pasien mempunyai kelainan refraksi astigmat. Pada
keadaan ini lakukan uji pengaburan (fogging technique).5,6
ii. Objektif
- Autorefraktometer
Yaitu menentukan myopia atau besarnya kelainan refraksi dengan
menggunakan komputer. Penderita duduk di depan autorefractor,
cahaya dihasilkan oleh alat dan respon mata terhadap cahaya diukur.
Alat ini mengukur berapa besar kelainan refraksi yang harus dikoreksi
-
3) Uji pengaburan
11
4) Keratoskop
12
Terapi
13
1) Koreksi lensa
Astigmatismus dapat dikoreksi kelainannya dengan bantuan lensa silinder.
Karena dengan koreksi lensa cylinder penderita astigmatismus akan dapat
membiaskan sinar sejajar tepat diretina, sehingga penglihatan akan bertambah
jelas.
2) Orthokeratology
Orthokeratology adalah cara pencocokan dari beberapa seri lensa kontak, lebih
dari satu minggu atau bulan, untuk membuat kornea menjadi datar dan
menurunkan myopia. Kekakuan lensa kontak yang digunakan sesuai dengan
standar. Pada astigmatismus irregular dimana terjadi pemantulan dan
pembiasan sinar yang tidak teratur pada dataran permukaan depan kornea maka
dapat dikoreksi dengan memakai lensa kontak. Dengan memakai lensa kontak
maka permukaan depan kornea tertutup rata dan terisi oleh film air mata.
3) Bedah refraksi
Methode bedah refraksi yang digunakan terdiri dari:8,9
Radial keratotomy (RK)
Dimana pola jari-jari yang melingkar dan lemah diinsisi di parasentral.
Bagian yang lemah dan curam pada permukaan kornea dibuat rata. Jumlah
hasil perubahan tergantung pada ukuran zona optik, angka dan kedalaman
dari insisi.
Photorefractive keratectomy (PRK)
Adalah prosedur dimana kekuatan kornea ditekan dengan ablasi laser pada
pusat kornea. Kornea yang keruh adalah keadaan yang biasa terjadi setelah
photorefractive keratectomy dan setelah beberapa bulan akan kembali jernih.
Pasien tanpa bantuan koreksi kadang-kadang menyatakan penglihatannya
lebih baik pada waktu sebelum operasi.
KESIMPULAN
14
Astigmatisma adalah kelainan refraksi mata dimana didapatkan bermacammacam derajat refraksi pada berbagai macam meridian sehingga sinar sejajar yang
datang pada mata akan difokuskan pada berbagai macam fokus pula. Terdapat
berbagai macam astigmatisma, antara lain simple astigmatisma, mixed
astigmatisma dan compound astigmatisma.
Terdapat 2 etiologi, yaitu kelainan pada lensa dan kelainan pada kornea. Adapun
gejala klinis dari astigmatisme adalah penglihatan kabur atau terjadi distorsi.
Pasien juga sering mengeluhkan penglihatan mendua atau melihat objek
berbayang-bayang. Sebahagian juga mengeluhkan nyeri kepala dan nyeri pada
mata.
Koreksi dengan lensa silinder akan memperbaiki visus pasien. Selain lensa
terdapat juga pilihan bedah yaitu dengan Radial keratotomy (RK) dan
Photorefractive keratectomy (PRK).
PENDAHULUAN
15
sampai
batas
normal
telah
terbukti
dapat
menurunkan
resiko
TINJAUAN PUSTAKA
16
B. Jaras Visual
C. Retinopati Diabetik
1. Definisi
Retinopati diabetes adalah kelainan retina (retinopati) yang
ditemukan pada penderita diabetes mellitus. Retinopati diabetes merupakan
penyulit penyakit diabetes yang paling penting. Hal ini disebabkan karena
insidennya yang cukup tinggi yaitu mencapai 40-50% penderita diabetes
dan prognosisnya yang kurang baik terutama bagi penglihatan.
17
2. Etio-patogenesis
Meskipun penyebab retinopati diabetik sampai saat ini belum
diketahui secara pasti, namun keadaan hiperglikemia yang berlangsung
lama dianggap sebagai faktor risiko utama. Ada 3 proses biokimiawi yang
terjadi pada hiperglikemia yang diduga berkaitan dengan timbulnya
retinopati
diabetik
yaitu
jalur
poliol,
glikasi
nonenzimatik,
dan
a) Jalur Poliol
Hiperglikemia yang berlangsung lama akan menyebabkan produksi
berlebihan serta akumulasi dari poliol, yaitu senyawa gula dan alkohol,
dalam jaringan termasuk di lensa dan saraf optik. Salah satu sifat dari
senyawa poliol ialah tidak dapat melewati membrana basalis sehingga akan
tertimbun dalam jumlah yang banyak di dalam sel. Senyawa poliol
menyebabkan peningkatan tekanan osmotik sel dan menimbulkan gangguan
morfologi maupun fungsional sel.
b) Glikasi Nonenzimatik
Glikasi nonenzimatik terhadap protein dan asam deoksiribonukleat
(DNA) yang terjadi selama hiperglikemia dapat menghambat aktivitas
18
retina
5) Kontraksi dari jaringan fibrosis kapiler dan jaringan vitreus.
Penyumbatan dan hilangnya perfusi (nonperfusion) menyebabkan
iskemia retina sedangkan kebocoran dapat terjadi pada semua komponen
darah. Kebutaan akan retinopati diabetik dapat terjadi melalui beberapa
mekanisme berikut:
1) Edema makula atau nonperfusi kapiler
2) Pembentukan pembuluh darah baru pada retinopati diabetik proliferatif dan
kontraksi jaringan fibrosis menyebabkan ablasio retina (retinal detachment)
3) Pembuluh darah baru yang terbentuk menimbulkan perdarahan preretina
dan vitreus
4) Pembentukan pembuluh darah baru dapat menimbulkan glaucoma
Perdarahan adalah bagian dari stadium retinopati proliferatif dan
merupakan penyebab utama dari kebutaan permanen. Selain itu, kontraksi
dari jaringan fibrovaskular yang menyebabkan ablasio retina (terlepasnya
lapisan retina) juga merupakan salah satu penyebab kebutaan pada
retinopati diabetik proliferatif
4. Klasifikasi
19
20
diskus
perdarahan vitreus.
Adanya pembuluh darah baru yang jelas pada diskus optikus atau setiap
adanya pembuluh darah baru yang disertai perdarahan, merupakan 2
gambaran yang paling sering ditemukan pada retinopati proliferatif dengan
resiko tinggi.
fundus okuli.
Derajat II. Terdapat mikroaneurisma, perdarahan bintik dan bercak dengan
5. Gambaran Klinis
Retinopati merupakan gejala diabetes mellitus utama pada mata,
dimana ditemukan pada retina:
a) Mikroaneurismata, merupakan penonjolan dinding kapiler, terutama daerah
vena dengan bentuk berupa bintik merah kecil yang terletak dekat
pembuluh darah terutama polus posterior. Mikroaneurismata merupakan
kelainan diabetes mellitus dini pada mata
b) Perdarahan dapat dalam bentuk titik, garis, dan bercak yang biasanya
terletak dekat mikroaneurismata di polus posterior. Perdarahan terjadi
akibat gangguan permeabilitas pada mikroaneurismata, atau karena
pecahnya kapiler.
c) Dilatasi pembuluh darah balik (vena) dengan lumennya irregular dan
berkelok-kelok, bentuk ini seakan-akan dapat memberikan perdarahan tapi
hal ini tidaklah demikian. Hal ini terjadi akibat kelainan sirkulasi dan
kadang-kadang disertai kelainan endotel dan eksudasi plasma.
d) Hard exudate merupakan infiltrasi lipid ke dalam retina. Gambarannya
khusus yaitu irregular, kekuning-kuningan. Pada permukaan eksudat
pungtata membesar dan bergabung. Eksudat ini dapat muncul dan hilang
21
22
1.
2.
3.
4.
f) Pembuluh darah baru pada retina
Perdarahan flame-shaped
Soft exudate
Cotton wool spots
Mikroaneurisma
biasanya terletak di permukaan jaringan.
23
6. Diagnosis
Diagnosis retinopati diabetik ditegakan berdasarkan anamnesis,
gejala klinis dan pemeriksaan oftalmologi.
24
FFA
(fundal
fluorescein
angiografi)
dengan
7. Penatalaksanaan
25
makula
mengurangi
resiko kehilangan
26
menrun.
Pre Retinopati diabetik proliferatif paling tidak tiga gejala klinis
Retinopati diabetik proliferatif dengan atau tanpa komplikasi
Perdarahan vitreus
Retinopati diabetik non priliferatif dengan katarak
Penderita dengan kontrol diabetes yang tidak baik
Retinopati diabetik non proliferatif pada salah satu mata yang mengalami
progresivitas
Komplikasi laser fotokoagulasi
27
yang
ekstensif
atau
yang
mengalami
proliferasi
fibrovaskular.
Dalam hal ini vitreus yang penuh darah akan dikeluarkan dan
diganti dengan cairan jernih. Sekitar 70 % pasien yang menjalani operasi
bedah
vitrektomi
mengalami
perbaikan
yang
signifikan
pada
Ablasio retina
Perdarahan vitreus setelah fotokoaglasi
Retinopati diabetik proliferasi berat
Perdarahan vitreus yang tidak mengalami perbaikan.
29
8. Prognosis
30
9. Pencegahan
Metode pencegahan retinopati diabetik saat ini meliputi kontrol
glukosa darah, kontrol tekanan darah,masalah jantung, obesitas harus
dikendalikan dan diperhatikan.
Kontrol glukosa darah yang baik merupakan dasar dalam mencegah
timbulnya retinopati diabetik atau memburuknya retinopati diabteik yang
sudah ada. Hasil penelitian dari DCCT dan UKDS tersebut memperlihatkan
bahwa meskipun kontrol glukosa darah secara intensif tidak dapat
mencegah terjadinya retinopati secara sempurna, namun dapat mengurangi
resiko timbulnya retinopati diabetik dan memburuknya retinopati diabetik
yang sudah ada. Secara klinik kontrol glukosa darah yang baik dapat
melindungi visus dan mengurangi risiko kemungkinan menjalani terapi
fotokoagulasi dengan sinar laser.
31
PENUTUP.
Retinopati termasuk salah satu komplikasi mikrovaskuler dari diabetes.
Retinopati diabetik suatu mikroangiopati progresif yang ditandai dengan
kerusakan dan sumbatan pembuluh-pembuluh halus darah retina.
Retinopati
diabetik
dapat
dibagi
diklasifikasikan menjadi
tipe
di
ke-4
kuadran,
venous beading
di
kuadran,
atau
32
DAFTAR PUSTAKA
1. Despopoulos A. and Silbernagi S, Color Atlas of Physiology 3 rd Edition.
London: Thieme, 2003; 344-346.
2. Olver J and Cassidy L, Basic Optics and Refraction. In Olver J and Cassidy L,
Ophtalmology at a Glance. New York: Blackwell Science, 2005; 22-23.
3. James B, Chew C and Bron A, Lecture Notes on Ophtalmology. New York:
Blackwell Publishing, 2003; 20-26.
4. Whitcher J P and Eva P R, Low Vision. In Whitcher J P and Eva P R, Vaughan
& Asburys General Ophtalmology. New York: Mc Graw Hill, 2007.
5. Ilyas S, Mailangkay H, Taim H, Saman R dan Simarmata M, 2003. Ilmu
Penyakit Mata Untuk Dokter Umum dan mahasiswa Kedokteran Edisi Ke-2.
Jakarta.
6. A. K. Khurana, Comprehensive Ophtalmology Fourth Edition: Optics and
Refraction, New Age International (P) limited Publishers, 12: 36-38, 2007.
7. Gerhard K. Lang, Ophthalmology A Short Textbook :Optics and Refractive
Errors, Thieme, p. 127-136, 2000.
8. Deborah, Pavan-Langston,Manual of Ocular Diagnosis and Therapy, 6 th
Edition:Refractive Surgery, Lippincott Williams and Wilkins, 5:73-100,2008.
9. Roque M., 2009. Astigmatism, PRK. Diunduh dari:
http://emedicine.medscape.com/article/1220845-overview#a0101
[Diakses tanggal 28 Juni 2011]
10. Harvey M. E., 2009. Development and Treatment of Astigmatism-Related
Amblyopia. Optom Vis Sci 86(6): 634-639. Diunduh dari:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2706277/pdf/nihms114434.pdf
??tool=pmcentrez
[Diakses tanggal 26 Juni 2011]
11. Choi H. Y., Jung J. H. and Kim. M. N., 2010. The Effect of Epiblepharon
Surgery on Visual Acuity and With-the-Rule Astigmatism in Children. Korean
J Ophthalmol 2010; 24(6) : 325-330. Diunduh dari:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3016080/pdf/15456110_v108_p077.pdf??tool=pmcentrez
12. Ilyas Sidarta, Prof. Dr. H, Sp.M, Ilmu Penyakit mata. Edisi 3. Balai Penerbit
FKUI. Jakarta 2005
13. Rahmawati RL.Diabetik Retinopati.Medan : Ilmu Penyakit Mata FK USU
H.Adam malik.2007.4-7
14. Vaughan DG, Asbury T,Eva PR. Oftalmologi umum. Edisi ke 14. Jakarta :
Widya Medika. 2000.
33