Anda di halaman 1dari 7

Anggia Krismadanti Ningtyas

21511244053

Tema: Pendidikan Sebagai Ilmu

A. Latar Belakang

Dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), pendidikan berarti proses


pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha
mendewasakan manusia melalui pengajaran dan pelatihan. Pendidikan adalah aktivitas
dan usaha manusia untuk meningkatkan kepribadiannya dengan jalan membina potensi-
potensi pribadinya.
Ilmu adalah pengetahuan, pengetahuan yang berasaskan kenyataan dan telah
disusun dengan baik. Ilmu bukan sekadar pengetahuan (knowledge), tetapi merangkumi
sekumpulan pengetahuan berdasarkan teori-teori yang disepakati dan dapat secara
sistematik diuji dengan seperangkat metode yang diakui dalam bidang ilmu tertentu.
Pengertian secara ilmiah yang paling sering digunakan, ilmu adalah kumpulan
pengetahuan sistematis yang merupakan produk dari aktivitas penelitian dengan metode
ilmiah. Pengetahuan merupakan akuisisi terendah yang diperoleh dari rangkaian
pengalaman tanpa melalui kegiatan penelitian yang lebih intensif. (raharja.ac.id)
a) Persyaratan pendidikan sebagai ilmu
Pengetahuan tentang sesuatu dapat berubah menjadi suatu ilmu, apabila paling
tidak memenuhi tiga ciri, yaitu (a) memiliki obyek studi sendiri, (b) mempunyai
metode penyelidikan sendiri, dan (c) disajikan secara sistematis.
a. Memiliki obyek studi
Ciri yang pertama, yaitu bahwa ilmu mempunyai obyek studi sendiri, dapat
dibedakan menjadi dua macam, yakni obyek material dan obyek formal. Obyek
material yaitu obyek yang dilihat dari wujud bendanya. Sedangkan obyek formal
adalah obyek yang dilihat dari apa yang dibahas dalam ilmu itu sendiri. Obyek
formal ini sering disebut sebagai sudut pandang. Objek material ini sendiri
contohnya adalah perilaku manusia dan objek formal contohnya adalah
menelaah fenomena pendidikan dalam perspektif yang luas dan integratif.
b. Mempunyai metode penyelidikan sendiri
Ciri kedua adalah bahwa ilmu memiliki metode tertentu yang dapat digunakan
untuk mempelajari ilmu itu sendiri. Metode ini menunjuk pada tatacara atau
prosedur tertentu yang seharusnya diikuti. Prosedur yang dianut oleh
pengetahuan ilmiah mempunyai karakteristik takpribadi (impersonal) dan
berkemampuan untuk memperbaiki diri sendiri. Prosedur yang digunakan ilmu
merupakan suatu keberadaan di luar ilmuwan atau peneliti sendiri, yang tak ada
sangkut pautnya dengan pribadi yang menggunakan prosedur itu. Oleh karena
itu prosedur tersebut dapat digunakan oleh setiap ilmuwan atau peneliti untuk
mengkaji pengalaman manusia guna memperoleh pengetahuan ilmiah. Selain
itu, prosedur tersebut berkemampuan untuk memperbaiki diri sendiri karena
dalam prosedur ilmiah itu terkandung seperangkat tahapan logis dari kerja ilmiah
yang bertautan satu dengan lainnya secara amat erat. Perangkat tahapan kerja
itu mengandung mekanisme pengendalian melekat sehingga dapat diketahui
apakah setiap tahapan dalam perangkat itu telah dilakukan secara benar.
Metode ilmiah mencoba menggabungkan cara berpikir deduktif dan cara berpikir
induktif dalam membangun tubuh pengetahuannya. Berpikir deduktif
memberikan sifat yang rasional kepada pengetahuan ilmiah dan bersifat runtut
dengan pengetahuan yang dikumpulkan sebelumnya. Secara sistematik dan
komulatif pengetahuan-pengetahuan ilmiah disusun setahap demi setahap
dengan menyusun argumentasi mengenai sesuatu yang baru berdasarkan
pengetahuan yang telah ada. metode-metode dalam ilmu pendidikan antara lain
1. Metode normative, berkenaan dengan konsep manusiawi yang diidealkan
yang ingin dicapai.
2. Metode eksplanatori, berkenaan dengan pertanyaan kondisi, dan kekauatan
apa yang membuat suatu proses pendidikan berhasil.
3. Metode teknologis, berkenaan dengan bagaimana melakukannya dalam
rangka mencapai tujuan yang diinginkan.
4. Metode deskriptif, fenomenologis mencoba menguraikan kenyataan-
kenyataan pendidikan dan lalu mengklasifikasikannya.
5. Metode hermeneutis, untuk memahami kenyataan pendidikan yang konkrit
dan historis untuk menjelaskan makna dan struktur dan kegiatan pendidikan.
6. Metode analisis kritis, menganalisis secara kritis tentang istilah, pernyataan,
konsep, dan teori yang ada dalam pendidikan.
c. Disajikan secara sistematis
Ciri yang ketiga adalah bahwa materi ilmu harus disajikan secara sistematis,
artinya pengetahuan tersebut disusun secara runtut, sehingga mudah dipelajari.
Penyajian secara sistematis ini paling tidak meliputi: penyajian mengenai latar
belakang permasalahan, identifikasi dan perumusan masalah, kerangka pikir dan
hipotesis, penjelasan tentang metode dan hasil penelitian, pembahasan serta
kesimpulan. Sistematika ilmu pendidikan dibedakan menjadi 3 bagian yaitu,
1. Pendidikan sebagai gejala manusiawi, dapat dianalisis yaitu adanya
komponen pendidikan yang saling berinteraksi dalam suatu rangkaian
keseluruhan untuk mencapai tujuan. Komponen pendidikan itu adalah :
1) tujuan pendidikan,
2) peserta didik,
3) pendidik,
4) isi pendidikan,
5) metode pendidikan,
6) alat pendidikan,
7) lingkungan pendidikan.
2. Pendidikan sebagai upaya sadar untuk mengembangkan kepribadian dan
kemampuan manusia. Menurut Noeng Muhadjir sistematika ini bertolak dari
fungsi pendidikan, yaitu :
1) menumbuhkan kreatifitas peserta didik,
2) menjaga lestarinya nilai insani dan nilai ilahi,
3) menyiapkan tenaga produktif.
4) Pendidikan sebagai gejala manusiawi. Menurut Mochtar Buchori ilmu
pendidikan mempunyai 3 dimensi :
1) dimensi lingkungan pendidikan,
2) dimensi jenis-jenis persoalan pendidikan,
3) dimensi waktu dan ruang.
b) Sifat sifat ilmu pendidikan
Menurut Munib (2006: 34) ada beberapa sifat dari ilmu pendidikan, yaitu:
1. Ilmu pendidikan sebagai Ilmu yang Bersifat Deskriptif-Normatif
Ilmu pendidikan itu selalu berhubungan dengan soal siapakah “manusia” itu.
Pembahasan tentang, siapakah manusia biasaya termasuk bidang filsafat, yaitu
filsafat antropologi. Pandangan filsafat tentang manusia sangat besar
pengaruhnya terhadap konsep serta praktik-praktik pendidikan. Karena
pandangan filsafat itu menentukan nilai-nilai luhur yang dijunjung tinggi oleh
seorang pendidik atau suatu bangsa yang melaksanakan  pendidikan.Nilai yang
dijunjung tinggi ini dijadikan norma untuk menentukan cirri-ciri manusia yang
ingin dicapai melalui praktik pendidikan. Nilai-nilai ini diperoleh hanya dari praktik
dan pengalaman mendidik, tapi secara normatif bersumber dari norma
masyarakat, norma filsafat, dan pandangan hidup, bahkan juga dari keyakinan
keagamaan yang dianut oleh seseorang. Untuk menjelaskan bahwa sistem nilai
menjadi norma bagi pendidikan, maka di bawah ini kami sajikan beberapa uraian
sebagai berikut :
a) Di Yunani Kuno orang sangat mementingkan tujuan pendidikan, yaitu
pembentukan warga negara yang kuat. Orang Yunani mempunyai
pandangan, bahwa manusia dilihat sebagai makhluk bermain (humo iudens).
Jadi yang utama adalah pendidikan jasmani, karena di dalam tubuh yang
sehat terdapat juga jiwa yang sehat (men sana in corpora sano). Dapat
dipahami latar belakang mengapa mereka berpandangan demikian. Oleh
karena Yunani terdiri atas negara yang banyak mengalami ketegangan,
sehingga memerlukan kemampuan untuk mengatasi keadaan yang sulit.
Sementara itu Yunani terdiri atas polis-polis (negara kota) yang saling
berperang.
b) Pada abad ke-17, 18, dan 19 di Eropa Barat tampak Rasionalisme yang
sangat kuat. Eropa Barat mempunyai pandangan tentang manusi sebagai
berikut :
- Manusia adalah makluk berfikir (homo sapiens), akal sebagai pangkal
otak. Orang sangat menjunjung tinggi akal, baik akal teoritis maupun akal
praktis. Dengan akal menusia menghasilkan pengetahuan. Dengan
pengetahuan manusia dapat berbuat baik dalam pengertian sempurna.
Sebagai contoh kita kembali ingat kepada Rene Descartes dengan
metode keraguanya yang bersemboyan: “eogito ergo sun”, yang artinya
saya berfikir, jadi saya ada. Oleh karena saya sadar bahwa saya ada,
maka ada yang meng-Ada-kan dan yang meng-Ada-kan itu sempurna,
maka yang diciptakan itu sempurna. Atas dasar titik tolak itu, maka
paham ini berpendapat, bahwa akal (pengetahuan) maha kuasa.
- John Lock, bapak Empirisme yang sangat mementingkan pengaruh
pendidikan atas dasar teori tabularasa. Dari contoh-contoh di atas
kelihatan, bahwa ada nilai-nilai tertentu yang menjadi norma, misalnya
pengetahuan yang merupakan norma bagi pelaksana pendidikan.
c) Di Amerika Serikat kita berkenalan dengan John Dewey dengan filsafat
Pragmatisme dan Etika Utilirianisme beserta dengan Psikologi Behaviorisme.
Normanya terletak pada :”bahwa kebenaran itu terletak pada kenyataan yang
praktis”. Apa yang berguna untuk diri itu adalah benar. Segala yang sesuai
dengan praktik itulah yang benar.
Pandangan ini sangat berpengaruh dalam psikologi dan menghasilkan
metode-metode mendidik dengan cara mendriil dan pelatihan yang pada
akhirnya menghasilkan manusia sebagai mesin yang berdasarkanrespons
terhadap stimulus.
2. Ilmu Pendidikan sebagai Ilmu yang Bersifat Teoritis dan Praktis-Pragmatis
Pada umumnya ilmu mendidik tidak hanya mencari pengetahuan diskriptif
tentang objek pendidikan, melainkan ingin juga mengetahui bagaimana cara
sebaiknya untuk berfaedah terhadap objek didiknya. Jadi dilihat dari maksut dan
tujuanya, ilmu mendidik boleh disebut “ilmu yang praktis”, sebab ditujukan
kepada praktik dan perbuatan-perbuatan yang mempengaruhi anak didiknya.
Walaupun ilmu pendidikan ditujukan kepada praktik mendidik, namun perlu
dibedakan ilmu pendidikan sebagai ilmu yang bersifat praktis-pragmatis.
Dalam ilmu mendidik teoritis kita bedakan, ilmu mendidik teoritis menjadi ilmu
mendidik sistematis dan ilmu mendidik historis. Dalam ilmu mendidik teoritis para
cerdik pandai mengatur dan mensistematiskan di dalam pemikiranya apa yang
tersusun sebagai pola pemikiran pedidikan. Jadi dari praktik-praktik pendidikan
disusun pemikiran-pemikiran secara teoritis. Pemikiran teoritis ini disusun dalam
satu sistem pendidikan dan biasanya disebut ilmu mendidik teoritis. Ilmu
mendidik teoritis ini disebut juga ilmu mendidik sistematis. Jadi sebenarnya
kedua istilah itu mempunya arti yang sama, yaitu teoritis sama saja dengan
sistematis. Dalam rangka membicarakan ilmu mendidik teoritis perlu diperhatikan
sejarah pendidikan. Dengan mempelajari sejarah endidikan itu terlihat telah
tersusun pandangan – pandangan teoritis yang dapat dipakai sebagai peringatan
untuk menyusun teori pendidikan selanjutnya. Dapat disimpulkan bahwa ilmu
mendidik sistematis mendahului ilmu mendidik historis. Akan tetapi ilmu mendidik
historis memberikan bantuan dan memperkaya ilmu mendidik sistematis. Kedua-
duanya membantu para pendidik agar berhati – hati dalam raktik – praktik
pendidikan. Para pendidik yang jenius itu sebenarnya juga menggunakan
teorinya sendiri, walapun teori tersebut belum disistematiskan. Seorang
mahaguru ilmu mendidik J.M Gunning pernah berkata: “teori tanpa praktik adalah
baik pada kaum cerdik cendekiawan dan praktik tanpa teori hanya terdapat pada
orang gila dan para penjahat”. Akan tetapi pada kebanyakan pendidik diperlukan
teori dan praktik berjalan bersama-sama.

B. Kesimpulan
Demikianlah telah diuraikan mengenai pendidikan sebagai ilmu. Sebagai rangkuman
dapat ditegaskan kembali hal-hal sebagai berikut.
1. Ilmu adalah pengetahuan yang disusun secara sistematis berdasarkan kaidah-
kaidah keilmuan. Pengetahuan dapat berubah menjadi suatu ilmu apabila
minimal memenuhi syarat sebagai berikut, yaitu memilki obyek studi sendiri,
memiliki metode penyelidikan sendiri dan disajikan secara sistematis. Di samping
itu, suatu ilmu harus jelas pula aspek ontologis, epistemologis dan aksiologisnya.
2. Pendidikan merupakan suatu ilmu, karena memenuhi syarat sebagai ilmu yaitu
(memiliki obyek studi sendiri, mempunyai metode penyelidikan sendiri, dan
disajikan secara sistematis. di samping juga memenuhi persyaratan ontologis,
epistemologi dan aksiologi tertentu.
3. Pendidikan sebagai ilmu bersifat deskriptif, normatif, teoretis dan praktis,
pragmatis.
Sumber Bacaan

Wasitohadi, Jurnal IMPLIKASI PENDIDIKAN SEBAGAI ILMU, diakses pada 5 november 2021

https://anwar-math.blogspot.com, diakses pada 5 november 2021

Anda mungkin juga menyukai