Anda di halaman 1dari 29

Kuliner sebagai Identitas

Keindonesiaan

Anggia Krismadanti Ningtyas


NIM 21511244053
Dalam sejarah pembentukan negara-bangsa, berbagai atribut pelengkap kenegaraan ditemu-
ciptakan untuk membentuk wawasan kebangsaan bagi segenap warga negara. Salah satu hal
yang tak kalah penting yang dibentuk sebagai identitas bangsa sekaligus berkaitan dengan
kebutuhan biologis warga negara adalah makanan. Tidak kurang dari kalangan gastronom
hingga pemimpin negara turun tangan dan turut andil dalam membangun citra kuliner
sebagai bagian dari identitas kebangsaan.
pembentukan kuliner nasional sebagai bagian dari agenda penguatan
sendi-sendi kebangsaan Indonesia pascaproklamasi kemerdekaan.

Indische Keuken:
01 Kuliner Rasa Kolonial
Proyek Buku Masak
03 Nasional Mustika Rasa
1960-1967
Mengolah
“Makanan Kita”
02
01
Indische Keuken
Kuliner Rasa Kolonial
Sebagai bangsa yang pernah menjadi koloni Belanda, maka kemerdekaan
menjadi sarana yang tepat untuk menyalurkan hasrat dekolonisasi terhadap segala
unsur yang dianggap “kebelanda-belandaan”. Dekolonisasi justru dapat dimaknai juga
sebagai bentuk upaya untuk menasionalisasi warisan-warisan kolonial.
Kuliner Indonesia sejak awal terbentuk merupakan persilangan berbagai
budaya daerah dan asing (Tionghoa, Arab, India, dan Eropa).
Para perempuan Belanda dan Indo yang selera masak dan makannya banyak
dipengaruhi oleh tradisi gastronomi Prancis mulai melakukan improvisasi kuliner di
tanah koloni Belanda. Mereka menuliskan resep-resep kreasinya, menghimpunnya
lalu menerbitkannya menjadi buku-buku masak populer yang dijadikan sebagai
panduan bagi para pembacanya. Dari publikasi buku-buku masak sejak media abad
ke-19 hingga awal abad ke-20 itu, berkembang sebuah konsep kuliner kawasan yang
oleh para gastronom masa itu disebut dengan istilah Indische keuken (kuliner
Hindia)
Melalui Indische keuken beberapa penulis
buku masak melakukan kategorisasi resep
berdasarkan kelompok sosial di tanah
koloni.
Pengelompokkan ini menyiratkan usaha
untuk memurnikan resep-resep bercitarasa
Eropa (seperti Belanda, Prancis, Portugis,
dan Spanyol) agar tidak bercampur dengan
resep-resep Bumiputera. Hal itu
menunjukkan bahwa dari praktik
gastronomi Indische keuken terjalin
hubungan yang saling mengenal,
mengolah, dan menerima kuliner
antarbangsa.
Dapat dikatakan bahwa hingga akhir 1930-an, keberadaan Indische
keuken bertahan berkat andil para “ratu dapur” Bumiputera. Berkat
publikasi buku-buku masak pula pengetahuan gastronomi mengalami
diseminasi melalui berbagai saluran, mulai dari rubrik-rubrik resep
masak di majalah dan surat kabar hingga penyelenggaraan sekolah dan
kursus memasak di kalangan Bumiputera.
02
Mengolah “Makanan Kita”
Memasuki dasawarsa 1940-an, pamor Indische keuken mulai meredup.
Selain masa-masa sulit (Malaise), masa Pendudukan Jepang (1942 –
1945) memunculkan dekolonisasi terhadap berbagai budaya Belanda di
Indonesia. Jepang melalui Hodoka (lembaga yang mengawasi penerbitan
media) sangat ketat dalam menyensor layak atau tidaknya media apa pun
terbit. Buku-buku masak yang memuat citra selera Eropa pun tidak luput
dari sensornya. Jangankan buku masak karya orang Belanda; buku
masak karya orang Bumiputera pun tidak lepas dari sensornya jika
memuat resep-resep bercitra Eropa.
Seorang tokoh pergerakan perempuan dari Sumatra Barat,
Rangkajo Chailan Sjamsu Datuk Toemenggoeng (singkatnya Chailan
Sjamsu5 ), adalah sosok yang patut diketengahkan terkait perannya dalam
merumuskan konsep “makanan Indonesia”. Dalam karyanya Boekoe
Masak-Masakan yang terbit perdana pada 1940 dan diterbitkan ulang
tahun 1948, tersirat mengenai rasa nasionalisme yang lebih ditekankan
daripada “rasa kolonial” Indische keuken. Chailan Sjamsu mendorong
pembacanya dari kalangan rakyat Indonesia agar memberdayakan bahan-
bahan lokal untuk membuat olahan aneka makanan kue dan masakan.
Selain terobsesi ingin mewujudkan kuliner nasional, ia juga menampilkan
kelompok resep bercitarasa daerah yang mencakup Sumatra, Jawa dan
Madura, Sunda, serta Borneo (sic.) dan Sulawesi Selatan.
Apabila semua resep Indonesia dihimpun, jumlah totalnya 204
resep. Ini jauh dengan jumlah gabungan resep Eropa, Tionghoa, Arab,
dan India yang hanya 76 resep. Jelas komposisi ini adalah hal yang baru
dilakukan oleh seorang gastronom Indonesia pada masa awal
kemerdekaan.
Secara tidak langsung, chailan sjamsu uga ingin menyadarkan rakyat Indonesia di berbagai
daerah untuk bangga terhadap makanannya sendiri. Makanan daerah sendiri lahir sebagai
respons terhadap iklim, sumber daya, dan kebiasaan setiap kelompok orang di daerahnya
masing-masing. 7 Dengan kata lain, ia ingin menyadarkan pembacanya di berbagai daerah
agar mampu memberdayakan potensi sumber daya bahan makanan untuk dapat diolah
menjadi kuliner lezat.
Sepanjang 1950-an, pemerintah dan gastronom
berusaha mengembangkan makanan di Indonesia
dalam perspektif baru. Gastronom sendiri terbagi
menjadi dua jenis. Pertama, mereka yang tidak
terikat dengan kepentingan serta kebijakan
pemerintah. Kedua, para gastronom yang lebih
terikat dengan kepentingan dan kebijakan itu
Pandangan gastronom jenis pertama dalam memandang
makanan di Indonesia. Jawabannya tersirat dalam buku masak
berbahasa Sunda, Masakan djeung Amis-Amis yang pada 1951 terbit
untuk cetakan keempat.
Meski buku masak ini berbahasa Sunda, tapi tidak ada
penekanan “resep khas Sunda” di dalamnya. Buku masak ini justru
menghimpun resepresep dari berbagai wilayah di Indonesia dan juga
pengaruh Tionghoa dan Eropa yang dianggap sudah ”membaju”
sebagai ”makanan kita”. Tidak heran jika resep-resep seperti gudeg,
pecel, rawon, kari, soto, sate, semur, bistik, perkedel, ragut, dan pastel
menghiasi buku masak ini
Meski mengesankan ingin berusaha menampilkan ”masakan
kita” sebagai yang adiluhung di atas kuliner Tionghoa dan
Eropa.
Sukarno sendiri mengatakan “’Kita mempunjai panganan
enak kepunjaan kita sendiri”, Maksud “penganan enak
kepunyaan kita sendiri” seperti dikatakan Sukarno,
tampaknya tidak jauh dari kue-kue berbahan lokal, seperti
singkong, ubi, jagung, tepung beras, dan tepung ketan.
Alasan para wanita di kabinetnya menganggap makanan
Eropa lebih bergengsi daripada “makanan kita” yang
dianggapnya melarat, tampaknya tidak bisa lepas dari
pengaruh dan propaganda bahwa selera Eropa lebih unggul
daripada selera sendiri. Kuliner Indonesia terkesan sulit
menyaingi citra kuliner Eropa. Hal ini menunjukkan tidak
semua gejala nasionalisasi menggusur banyak unsur Eropa,
salah satunya dalam urusan selera masak dan makan.
Baik Sukarno maupun para perempuan di kabinetnya mungkin
tidak memahami pokok dari praktik gastronomi, bahwa
memahami seni memilih dan mengolah bahan menjadi makanan
lezat dan bergizi lebih penting daripada mengedepankan gengsi
demi terigu dan mentega semata.
Seni yang dimaksud itu dipraktikkan begitu baik oleh Nyonya
Rumah, pengasuh rubrik ”Rahasia Dapur” di Majalah Star
Weekly sejak 1951 hingga 1961. Nyonya Rumah adalah nama
pena Julie, sosok perempuan Tionghoa Peranakan dari Lasem
yang telah mengecap pengalaman hidup sebagai pecinta seni
masak sejak masa kolonial. Dalam setiap ulasan resepnya,
Nyonya Rumah tidak mengutamakan resep khusus seperti
berunsur citarasa Indonesia, Tionghoa, atau Eropa. Sebagian
besar terbitannya cenderung mengulas secara acak dan campur
resep-resep dari berbagai unsur. Kiprahnya mengasuh rubrik
Rahasia Dapur sejak 1951 hingga 1961 tentu patut
diperhitungkan bahwa ia telah mengambil peran penting
menyadarkan citarasa bersama dalam pengembangan makanan
Indonesia.
03

Proyek Buku Masak Nasional


Mustika rasa (1960-1967)
Pada 12 Desember 1960, Mentri Pertanian
Brigadir Jendral Dr. Azis Saleh mengirimkan
secarik memo kepada staf di kementeriannya
(Sunardjo Atmodipuro dan Harsono
Hardjohutomo) perihal hasil pembicaraannya
dengan Presiden Soekarno. Isinya adalah
instruksi agar Lembaga Teknologi Makanan
(LTM) menyusun suatu kookboek (sic.) yang
lengkap untuk seluruh Indonesia
Motif pemerintah, khususnya Presiden Sukarno,
menghendaki dibuatnya buku masak nasional
tampaknya terkait dengan pemberitaaan media
seputar kondisi pangan di Indonesia. proyek
pengerjaan buku masakan nasional ini tetap
berjalan dan secara resmi dimulai sejak 1961.
Selaku ketua panitianya, Harsono menjelaskan
bahwa buku masak ini sesuai dengan instruksi
Menteri Pertanian Azis Saleh, yaitu mesti
memuat jenis-jenis masakan yang terdapat dari
Sabang sampai Merauke dengan harapan
masyarakat Indonesia dari segenap lapisan dapat
memakainya.
Tentu betapa tidak mudah menghimpun resep-resep dari
Sabang sampai Merauke. Untuk menyiasatinya, Harsono
melakukan serangkaian langkah dan strategi. Pada tahap
pertama yang dilakukan sejak 1961 hingga 1962,
Harsono dan timnya mengirimkan angket-angket dengan
memanfaatkan bantuan pamong praja serta berbagai
organisasi dan sekolah perempuan. Melalui metode
angket Panitia ternyata hanya menyaring nama-nama
makanan yang belum dikenal, Namun nyatanya, metode
angket tidak memuaskan panitia, Kesimpulannya, hanya
sedikit nama makanan yang diterima, itu pun
kebanyakan sudah dikenal, khususnya dari Jawa
Panitia tetap melanjutkan proyeknya dengan melakukan pembaharuan metode pada masa
tahap kedua dan ketiga yang berlangsung sejak 1962 hingga 1964. pada tahap itu, angket
pengumpulan nama dan jenis makanan ditambah dengan kelengkapan susunan resep juga
diadakan cookingtest di tempat dengan para ibu yang mendemonstrasikan resep sambil
memberi berbagai keterangan. Panitia menilai cara ini jauh lebih baik dan bermutu daripada
metode angket sebelumnya.
Sadjarwo menyadari bahwa urusan memasak bukan hanya terkait ruang dapur saja, tapi
juga kemampuan literasi. Menteri Sadjarwo memang menyinggung penyusunan buku masak
nasional dibuat oleh: ”Para ahli masak dan pengolah makanan, dengan didampingi para ahli
gizi, pertanian, perikanan, peternakan, kesedjahteraan keluarga dan kimia telah dapat
mentjiptakan suatu karja, jang mudah dibatja dan mudah ditiru” (Hardjohutomo (et.al.), 1967:
XI)
Banyak resep yang sebelumnya tidak diketahui, menjadi diketahui wujud dan rasanya
oleh para pembaca dari berbagai daerah setelah dimasukkan ke dalam buku masak nasional
itu. Hal itu tentu tidak dan belum pernah dilakukan sebelumnya oleh para penulis buku
masak. Tidak heran selaku ketua panitia penyusunan buku masak, Harsono tidak tertarik
melibatkan atau berkonsultasi dengan para gastronom. Alasannya, karya mereka kurang
terang, kurang lengkap, dan tidak mengetahui semua makanan di Indonesia (Hardjohutomo
(et.al.), 1967: IX).
Di tengah belum stabilnya kondisi politik Indonesia ditambah kekuasaan Presiden Sukarno
yang tengah di ujung tanduk, buku masak bercitarasa ”Pancasila” ini akhirnya terbit pada
1967 dengan judul Buku Masakan Indonesia Mustika Rasa: Resep2 Masakan Indonesia dari
Sabang sampai Merauke. (1600 resep)

Apa yang termaktub dalam Mustika Rasa sendiri mencerminkan karakter selera masyarakat di
tiap-tiap wilayah di Indonesia dalam menyeleksi dan mengolah bahan makanan. Semua itu
bukan hanya dibentuk karena faktor alam, tapi juga dipengaruhi oleh akumulasi budaya,
sejarah, ekonomi, hingga politik pangan setiap daerah..
Terlepas apakah Mustika Rasa adalah proyek berlebihan karena belum pernah ada
sebelumnya seorang gastronom yang mampu menghimpun resep-resep dari Sabang sampai
Merauke, tapi ”buku masakan Indonesia” ini telah menanamkan paradigma baru. Paradigma
baru itu adalah ketika setiap daerah atau suku mulai menyadari makanannya sebagai bagian
dari identitasnya dan memandang berbagai makanan di luarnya adalah bukan bagian darinya.
Penutup
Dapat dilihat kenyataan bahwa yang berubah dari fenomena kuliner di Indonesia
pada masa pascakolonial hanya perubahan pada tampilan luarnya saja. Adapun
intisarinya tetap menjiwai “hegemoni selera” yang distandarkan ideal pada masa
kolonial.
Konsep makanan yang dibangun secara nasional hanya membalikkan dominasi
kolonial dari Indische keuken menjadi makanan Indonesia. Demi meneguhkan identitas
sendiri maka disajikanlah citra makanan Indonesia dengan kesan lebih dominan
dibandingkan makanan Eropa yang dikesankan asing.
Usaha yang dilakukan Sukarno melalui tim penyusunan buku masak nasional
Mustika Rasa pun baru sebatas pada usaha mendekonstruksi tatanan kuliner pada aspek
mental saja, tapi tidak menyentuh secara menyeluruh pada aspek strukturalnya yang di
antaranya mencakup sistem ketahanan dan keamanan pangan, kesehatan, gizi, hingga
kesadaran bangsa Indonesia dalam membayangkan konsep kuliner nasionalnya. Buku
masak nasional sebagai salah satu identitas kebangsaan memang tampak mendesak untuk
diwujudkan, meski nyatanya perlu ditopang secara sinergis melalui berbagai aspek
penunjangnya
Latihan soal
1. sebentuk upaya untuk menasionalisasi warisan-warisan kolonial disebut…
a. dekolosinasi c. deklarasi
b. dekonsilasi d. dekolonisasi

2. konsep kuliner kawasan yang oleh para gastronom disebut dengan istilah Indische keuken,
yang artinya…
a. kuliner kolonial c. kuliner hindia
b. kuliner era belanda d. kuliner yang bercitarasa koloni

3. Inlandsch eten memiliki arti…


a. makanan bumiputera c. makanan belanda
b. makanan hindia d. makanan portugis

4. lembaga yang mengawasi penerbitan media pada masa pendudukan jepang disebut
dengan…
a. hokkada c. hokaida
b. hodoka d. hoddika
5. Tokoh indonesia yang terkenal dengan karyanya ‘Boekoe Masak-Masakan’ yang terbit perdana pada 1940
dan yang mendorong pembacanya agar memberdayakan bahan-bahan lokal untuk membuat olahan aneka
makanan kue dan masakan adalah….
a. Chailan Sjamsu c. Rahman
b. Malaise d. Rukmini Santoso

6. ”Sampai sekarang orang Indonesia masih terbawa‐bawa oleh sifat rendah diri, jang masih sadja mereka
pegang teguh setjara tidak sadar. Hal itu menjebabkan kemarahanku baru ‐baru ini. Wanita ‐wanita dari
kabinetku selalu menjediakan djualan makanan Eropa. ’Kita mempunjai panganan enak kepunjaan kita
sendiri,’ kataku dengan marah. ’Mengapa tidak itu saja dihidangkan?’. ’Ma'af, Pak,’ kata mereka dengan
penjesalan, ’Tentu bikin malu kita sadja. Kami rasa orang Barat memandang rendah pada makanan kita
jang melarat’. Ini adalah suatu pemantulan-kembali daripada djaman dimana Belanda masih berkuasa.
Itulah perasaan rendah diri kami jang telah berabad‐abad umurnja kembali memperlihatkan diri. Edjekan
jang terus‐menerus dipompakan oleh pemerintah Hindia Belanda tentang ketidakmampuan kami,
menjebabkan kami jakin akan hal tersebut”. (Adams, 1966: 44 – 45). Maksud dari “panganan enak
kepunjaan kita sendiri” diatas adalah…
a. margarin dan roti c. terigu dan mentega
b. singkong, ubi, jagung, tepung d. Madu
beras, dan tepung ketan
7. Nyonya Rumah adalah nama pena Julie, sosok perempuan Tionghoa Peranakan dari Lasem yang telah
mengecap pengalaman hidup sebagai pecinta seni masak sejak masa kolonial. Ia dipercaya mengasuh
rubrik oleh redaksi star weekly dengan nama programnya yaitu…
a. rahasia dapur c. roeangan dapur
b. roeangan wanita d. rahasia masakan

8. buku Pandai Masak karya Nyonya Rumah yang laris hingga dicetak ulang cetakan kedua terbit untuk
pertama kali pada tahun….
a. 1937 c. 1957
b. 1987 d. 1935

9. pengerjaan buku masakan nasional yang diintruksikan agar Lembaga Teknologi Makanan (LTM)
menyusun suatu kookboek (sic.) yang lengkap untuk seluruh Indonesia resmi dimulai pada tahun…
a. 1967 c. 1966
b. 1987 d. 1961

10. metode metode dibawah ini yang bukan termasuk metode pengumpulan resep dari proyek mustika
rasa adalah..
a. metode angket c. kelengkapan susunan resep
b. mengumpulkan resep &cooking test d. metode survey SDM
Terimakasih

Anda mungkin juga menyukai