Anda di halaman 1dari 23

KAREDOK; SUNDANESE SALAD YANG MELEGENDA

(SEBUAH KISAH MAKANAN YANG MERAKYAT)

TEDY SUTARDI
SMKN 1 RANCAEKEK
Email: tdys99@gmail.com

Abstract/Abstrak
Makanan merupakan unsur penting dalam kehidupan manusia darinya kita bisa
mengetahui banyak hal tentang perjalanan peradaban manusia. Tidak banyak sejarawan
yang konsen untuk melakukan penelilitian mendalam tentang sejarah makanan. Pada
tulisan ini mencoba menulis tentang salahsatu makanan khas yang ada di jawa barat yaitu
Karedok. Apakah karedok itu?bagaimana sejarah perkembangannya?dan apa
hubungannya dengan budaya ngariung dalam masyarakat Sunda. Tujuan dari penulisan
ini mengetahui tentang karedok dan segala hal yang berhubungan dengan
perkembangannya di lihat dari aspek historis dan budaya. Penelitian yang dilakukan
menggunakan pendekatan Kualitatif dengan metode yang dipakai adalah metode historis.
Tentunya langkah-langkah analisis yang dipakai menggunakan langkah penelitian
kualitatif. Dari hasil penelusuran dapat di simpulkan bahwa Karedok merupakan bagian
dari Tradisi masyarakat Sunda yang sudah terlebih dahulu mengkonsumsi Lalab-lalaban,
karedok merupakan pengembangan dari tradisi tersebut. Terlepas dari proses lahir dan
perkembangannya Karedok telah menjadi makanan yang dikonsumsi oleh semua kalangan
tanpa memandang status sosialnya.

Keywords/Kata Kunci: Karedok, Sejarah Makanan, Budaya

Pendahuluan
Urusan makanan kelihatannya sering dianggap remeh-temeh dan sepele,
namun ternyata dari makanan kita bisa banyak belajar tentang perkembangan
sejarah peradaban manusia. Dari mulai kemunculannya, penyebarannya dan untuk
siapa yang mengkonsumsinya menjadi suatu yang menarik dan tidak henti-hentinya
di kaji. Makanan merupakan sebuah kebutuhan pokok yang harus terpenuhi oleh
setiap manusia. Sejak zaman pra-sejarah sampai zaman milenial hari ini makanan
dan sumber makanan merupakan hal yang penting dan tidak dapat dipisahkan
dalam perkembangan peradaban manusia.
Catatan tentang kuliner di Indonesia sempat disebutkan dalam beberapa
naskah kuno Nusantara. Pada naskah ada beberapa kuliner Nusantara yang
diperkirakan sudah ada sejak abad ke-10 Masehi, seperti pecel, sambal, rawon,
kerupuk, hingga dawet (Rahman, 2016). Hingga kini, makanan asli Nusantara

1
tersebut masih tetap dikonsumsi masyarakat Indonesia. Terdapat perbedaan antara
dokumentasi kuliner Nusantara dengan kuliner luar. Negara-negara dengan tradisi
kuliner yang sudah maju didasarkan atas kuatnya tradisi untuk mencatat resep
makanan. Berbeda dengan Indonesia, tradisi mencatat resep tidak dilakukan oleh
para leluhur. Naskah kuno hanya mencantumkan nama-nama makanannya saja.
Namun, bukan berarti resep leluhur tersebut tidak terwariskan dengan baik hingga
saat ini.
Resep kuliner tua tetap bertahan karena kemampuan masyarakat Indonesia
dalam melisankan resep itu secara turun temurun. Munculnya Ungkapan seperti
‘jangan terlalu banyak garam’, ‘kurang manis’,” Karena itu, penulisan resep-resep
kuliner Nusantara ini terbilang susah. Selain minim sumber tertulis, proses
penulisan resep juga harus merekonstruksi berbagai sumber dari setiap zaman. Hal
inilah yang dilakukan oleh para penulis resep di era kolonial. Mereka
mendokumentasikan resep yang berkembang di masyarakat pribumi yang
diterbitkan menjadi buku-buku masak.
Ada sejumlah faktor yang melatarbelakangi cita rasa kuliner Indonesia. Setiap
wilayah di Indonesia membentuk potensi kulinernya masing-masing. Ini
menjadikan kuliner di setiap wilayah di Indonesia memiliki karakteristik tersendiri.
Indonesia Umumnya lebih khusus Tanah sunda salahsatunya, sebuah wilayah yang
ada di bagian barat pulau jawa dengan di kelilingi oleh gugusan pegunungan
membuat wilayah ini sangat subur dengan iklim yang sejuk cocok untuk ditanami
berbagai macam tanaman khususnya jenis sayuran.
Makanan juga kadangkala dijadikan sebagai penanda status social seseorang
dalam kehidupan keseharian. pada masa colonial Belanda misalkan ada makanan
khusus yang di konsumsi oleh “Tuan” dan “Pribumi”, atau ada juga makanan
dengan menampilkan pernak-pernik “Makanan Ningrat” dan “Makanan rakyat”
(Rahman, 2016:133). Di sini artinya makanan merupakan suatu yang penting dalam
pergaulan social. Seorang peneliti Belanda Ochsen melakukan penelitian tentang
makanan rakyat dan berhasil mengumpulkan berbagai sayuran lezat yang kaya
vitamin. Menurutnya sebagian besar pribumi hanya menyantap sayur-mayur dan
mengambil kesimpulan bahwa konsumi nabati sangat besar di kalangan pribumi.
Faktor geografis adalah satu di antaranya kebiasaan leluhur Sunda menyantap
lalapan atau makanan berupa daun-daun muda yang dimakan bersama dengan nasi
dan sambal dipengaruhi oleh lingkungan yang cenderung berada di dataran tinggi
dan basah. Wilayah ini memiliki varietas tanaman dan tumbuhan yang banyak
dibandingkan dengan wilayah lain di Indonesia. Karena itu, varietas ini yang paling
banyak dimanfaatkan masyarakat untuk konsumsi sehari-hari. Berbeda dengan
wilayah lain seperti Jawa Timur dan Madura yang cenderung kering. Pada masa
kolonial, wilayah ini menjadi sentra peternakan, sehingga tidak heran jika kuliner
yang berkembang pun banyak menggunakan olahan daging. Orang Sunda
memakan sayur ini juga karena dari sayur yang dimakan, dipercaya dapat
membantu menyembuhkan penyakit karena vitamin yang terkandung dalam
sayuran. (Pratisto, Gunawan, Athoilah, Kridarso, & Sidik, 2011).

2
Banyak makanan berasal dari sumber nabati, Karedok salah satunya, yang
kemudian tersaji lalu di konsumi oleh penduduk tatar sunda. Di sini menarik untuk
di bahas lebih lanjut bagaimana perkembangan Karedok dan hubungannya dengan
perkembangan budaya local yang ada di wilayah Priangan, karenanya tulisan ini
diberi judul “KAREDOK; SUNDANESE SALAD YANG MELEGENDA (SEBUAH
KISAH MAKANAN YANG MERAKYAT)
Untuk memfokuskan pembahasan agar tidak melebar kemana-mana maka
tulisan ini akan difokuskan pada apa sebenarnya karedok itu? Bagaimana sejarah
lahirnya Karedok? Dan Bagiamana hubungannya Karedok dengan Budaya
Ngariung dalam masyarakat Sunda?.
Tujuan dari penulisan ini untuk mengetahui tentang pengertian Karedok lalu
sejauhmana proses kelahiran karedok dan melihat keterhubungan antara karedok
dengan Budaya Ngariung dalam masyarakat Sunda.
Kajian tentang sejarah perkembangan makanan di Indonesia memang agak
sulit untuk di dapatkan. Pembahasan tentang makanan dalam Sejarah Indonesia
masih terbatas dan sedikit yang mengkaji baik itu oleh para sejarawan atau peminat
sejarah makanan. Di scope yang lebih luas wilayah Asia kajian tentang masakan
Indonesia belum benar-benar di angkat dan hanya mengenal beberapa saja yang
familiar. Dalam buku karya Penny van Esterik berjudul Food Culture in South East
Asia (2008) yang membahas tentang budaya makanan di Asia Tenggara ada
perbandingan singkat antara Malaysia, Indonesia dan Filipina. Indonesia di sebut
sebagai “Island of Cuisines”, ia menyadari bukanlah hal yang mudah mengupas
sejarah makanan di Asia Tenggara karena beragam unsur seperti lingkungan,
Bahasa, etnisitas dan system politik di dalamnya.
Buku selanjutnya yang dijadikan bahan dalam tulisan ini adalah buku yang
di tulis oleh Fadly Rahman (2016) berjudul Jejak Rasa Nusantara; Sejarah Makanan
Indonesia. Buku ini merupakan buku sejarah yang cukup berani untuk melacak
sejauh mana catatan sejarah makanan di Nusantara. Referensi seperti kisah-kisah
penjelajah dunia di abad 15 dan 16 mulai terlihat di bab-bab awal. Fadly Rahman pun
mengungkap kalau makanan yang kita kenal saat ini beberapa diantaranya telah ada
di era tersebut seperti pecel dan rawon. Secara alur sejarah, Fadly sepertinya
berusaha membuka jalan dari sudut sains yang memang kala itu banyak dilakukan
di era penjelajahan dan kolonial. Tokoh dunia era eksplorasi asia oleh bangsa eropa
seperti Marcopolo pun tidak luput termaktub dalam buku ini meski hanya sedikit
informasi yang disajikan. Pada era Raffles yang telah masyhur berusaha mencatatkan
segala hal tentang Nusantara dalam penelitian-penelitannya di abad 19-an, dijelaskan
bahwa Raffles memang telah banyak mencatat tanaman-tanaman konsumsi yang ada
di Jawa. Dalam Vegetable Kingdom dalam History of Java terungkap bahwa makanan
konsumsi saat itu telah beragam seperti padi, jagung, kacang, tebu, merica cabai

3
jawa, kemukus, kelapa, petai, jengkol, pucang (pinang, kemiri, sukun, akar umbi-
umbian, sagu gandum dan kentang.
Berbagai komoditas pangan yang tersedia tersebut membuat jawa saat itu
cukup sejahtera karena menurut buku ini, kebutuhan masyarakat saat itu cukup
terpenuhi. Gandum, kentang dan jagung sendiri sejatinya merupakan tanaman yang
identik dengan tanaman eropa juga dijelaskan berhasil di budidayakan di jawa.
Masih terkait dengan Raffles berkat kajiannya di bidang botani yang cukup
mendalam ia akhirnya membentuk kebun raya pertama di Hindia Belanda bersama
dengan Casper Reinwardt seorang botanis Jerman yang telah lama meneliti botani di
Hindia Belanda. Kebun raya itu berada di Buitenzorg atau yang kita kenal sekarang
dengan nama Bogor, di Jawa Barat. Cerita Reinwardt sendiri juga disebutkan dalam
buku ini secara singkat, bahwa ternyata dirinya amat senang di Nusantara karena
memiliki keragaman botani yang sangat menakjubkan. Juga mengenai makanan khas
Indonesia, Fadly menyebut bahwa tempe memang telah terekam dalam sejarah
Nusantara sejak abad 16 dalam catatan Serat Centhini.
Dalam serat tersebut dijelaskan bahwa pada masa itu tempe telah dikenal oleh
masyarakat Jawa Tengah. Argumentasi ini tentu saja menguatkan pandangan sejarah
yang menyebutkan bahwa tempe berasal dari Jawa Tengah. Berbagai upaya Belanda
untuk mengkaji botani dan perihal pangan di Hindia Belanda sejatinya membuat
pandangan negatif terhadap kolonial memudar setidaknya di kalangan priyayi yang
memang banyak mendapatkan fasilitas berbeda dari pribumi pada umumnya.
Namun perhatian Belanda pada kualitas gizi dan juga isu-isu wabah penyakit
dengan berusaha mencari solusinya melalui kajian sains pangan membuat Fadly
merasa bahwa Belanda sejatinya memperhatikan nasib jajahannya.
Kajian pangan tersebut terus berlanjut hingga pada akhirnya sebuah buku
masak pertama lahir. Buku tersebut adalah Kokki Bitja yang dirilis pada tahun 1893
dan diterbitkan di Belanda. Buku ini berisi tentang berbagai macam masakan di
Hinda Belanda lengkap dengan resepnya. Namun dijelaskan bahwa buku ini masih
cukup rasis dengan berusaha membagi-bagi jenis masakan berdasarkan golongan
masyarakat. Inilah catatan pertama yang pernah ada tentang Indische Keuken yang
kemudian diikuti oleh catatan masakan karya J.M.J Catenius berjudul Groot Nieuw
Volledig Oost-Indisch Kookboek yang terbit tahun 1902 dengan kurang lebih 1.300 resep.

Kajian Pustaka
Teori Kontak Kebudayaan

4
Pada awal kontak antar budaya maka yang terjadi adalah proses peniruan
karakteristik dari isi suatu unsur kebudayaan tertentu. Setelah proses peniruan itu
dipakai berulang-ulang dan dibiasakan dalam suatu komunitas tertentu maka
kebudayaan yang sebelumnya hanya merupakan pinjaman, kini berubah menjadi
kebudayaan setempat. Budaya yang lebih tinggi dan aktif akan mempengaruhi
budaya yang lebih rendah dan pasif melalui kontak budaya (Malinowski, 1983:21-
23). Teori Malinowski ini sangat nampak dalam pergeseran nilai-nilai budaya kita
yang condong ke Barat. Dalam era globalisasi informasi menjadi kekuatan yang
sangat dahsyat dalam mempengaruhi pola pikir manusia. Budaya barat saat ini
diidentikkan dengan modernitas (modernisasi), dan budaya timur diidentikkan
dengan tradisional atau konvensional. Orang tidak saja mengadopsi ilmu
pengetahuan dan teknologi Barat sebagai bagian dari kebudayaan tetapi juga
meniru semua gaya orang Barat, sampai-sampai yang di Barat dianggap sebagai
budaya yang tidak baik tetapi setelah sampai di Timur diadopsi secara membabi
buta
Gillin dan Gillin membagi proses sosial yang timbul akibat interaksi sosial,
yaitu: Proses Asosiatif dan Disosiatif. Proses Asosiatif dibagi dalam tiga bentuk,
yaitu Akomodasi, Asimilasi dan Akulturasi; Proses Disosiatif mencakup persaingan
serta contravention dan pertentangan (Soekanto, 1987:59). Akomodasi, menurut Gillin
and Gillin mempunyai pengertian yang sama dengan pengertian adaptasi yang
dipergunakan oleh para ahli biologi untuk menunjuk pada proses penyesuaian diri
makhluk hidup dengan alam sekitarnya. Berdasarkan pengertian tersebut,
Akomodasi merupakan proses orang perorangan atau kelompok-kelompok manusia
yang pada awalnya saling bertentangan, kemudian saling mengadakan penyesuaian
diri untuk mengatasi ketegangan di antara mereka. Akomodasi merupakan cara
untuk menyelesaikan pertentangan tanpa menghancurkan pihak lawan.
Berdasarkan situasi yang dihadapi, tujuan akomodasi adalah untuk mengurangi
pertentangan antara orang perorangan atau kelompok-kelompok manusia sebagai
akibat salah faham; mecegah meledaknya pertentangan untuk sementara waktu;
memungkinkan terjadinya kerjasama antar kelompok sosial; dan mengupayakan
terjadinya peleburan di antara kelompok sosial yang terpisah (Soekanto, 1987:63-64).
Asimilasi merupakan proses sosial dalam taraf kelanjutan dari akomodasi
yang ditandai dengan adanya usaha-usaha mengurangi perbedaan-perbedaan yang
terdapat antara orang perorangan atau kelompok-kelompok manusia dan juga
meliputi usaha-usaha untuk mempertinggi kesatuan tindak, sikap dan proses-proses
mental dengan memperhatikan kepentingan-kepentingan dan tujuan bersama
(Soekanto, 1987:68).

5
Proses akuturasi terjadi apabila kelompok manusia dengan kebudayaan
tertentu, dihadapkan kepada unsur-unsur kebudayaan asing yang berbeda,
sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke
dalam kebudayaan masyarakat kebudayaan itu sendiri (Soekanto, 1987:179). Ketika
terjadi proses sebaran kebudayaan selalu dimungkinkan terjadi dua kemungkinan,
yaitu menerima atau menolak masuknya anasir kebudayaan asing yang
mendatanginya, yang memiliki peran dalam prose penerimaan atau penolakan
pengaruh anasir kebudayaan asing adalah pola kebudayaan dari kedua masyarakat
atau bangsa yang bertemu tersebut. (Linton, 1936 dalam Sjafe’i, 1986: 97-98).
Proses Akuturasi menurut Wales (1948) dapat dibagi menjadi dua kategori,
yaitu akulturasi ekstrim, proses ini dapat dilihat dari bentuk-bentuk tiruan India
yang tanpa adanya evolusi budaya dan akhirnya menghilangkan bentuk-bentuk
budaya tradisional dan Akulurasi yang tidak ekstrim, dalam proses akulturasi
tersebut masih tampaknya unsur-unsur atau ciri-ciri tradisional yang mampu
bertahan dan bahkan memiliki kemampuan untuk mengakomodasikan unsur-unsur
dari luar serta mengintegrasikannya dalam kebudayaan asli (Poespowardojo,
1986:31). Proses akulturasi yang akhirnya mendatangkan dominasi kebudayaan
asing berarti memusnahkan kearifan lokal, sebagian pencermin identitas budaya
masyarakat setempat. Proses ini merupakan bentuk pendangkalan kebudayaan
yang tidak mustahil bermuara pada kehancurannya dan proses pendangkalan
kebudayaan tersebut sudah terjadi pada banyak etnik di masa lalu, sebaliknya
akulturasi yang mendatangkan integrasi antara pengaruh asing dengan kebudayaan
setempat karena masyarakat mampu menyerap unsur-unsur kebudayaan asing
bukan untuk menghancurkan kebudayaan sendiri namun untuk memperkokoh
budaya setempat. Kenyataan ini berarti kebudayaan asing yang masuk diserap oleh
masyarakat untuk menambah daya tahan serta mengembangkan identitas budaya
masyarakat setempat yang sudah ada (Wales, 1948 dalam Poespowardojo, 1986: 33-
34).
Dalam kebudayaan, proses pinjaman kebudayaan itu berbeda dengan
akulturasi. Akulturasi adalah proses pertemuan unsur-unsur dari berbagai
kebudayaan yang berbeda, yang diikuti dengan percampuran unsur-unsur tersebut.
Syarat akulturasi adalah harus didahului dengan kontak. Namun dalam
kebudayaan pinjaman tidak selalu atau bahkan tidak didahului dengan kontak.
Secara teoritis teori ekologi kebudayaan menurut David Kaplan dan Robert A.
Manners (2002) berdasarkan konsep akulturasi yaitu Pada akulturasi terjadi proses
pertemuan unsur-unsur dari berbagai kebudayaan yang berbeda, yang diikuti
dengan percampuran unsur-unsur kebudayaan tersebut. Perbedaan antara unsur-
unsur asing dengan yang asli masih nampak. Kadang-kadang akulturasi yang
terjadi itu bersifat bilateral, karena perubahan kebudayaan itu terjadi pada
masyarakat yang mengadakan kontak sebagai hasil hubungan tersebut. Dan disebut
akulturasi unilateral karena proses pertemuan dan percampuran unsur-unsur
kebudayaan dari masyarakat yang berbeda-beda, dimana perubahan hanya terjadi
pada salah satu kebudayaan saja.

6
Lingkungan kebudayaan sangat berpengaruh terhadap perubahan-
perubahan tampilan budaya material seperti makanan, pakaian, juga bersifat
immaterial seperti perilaku hidup beragama, memilih pasangan dalam perkawinan
dan lain-lain. Teori ini mengemukakan dua konsep, yakni; pertama: apabila
penduduk bertambah banyak maka tanah yang dimiliki semakin kecil, jadi
kebutuhan lahan makin bertambah. Lalu penduduk yang padat itu berusaha
menggeser tempat tinggal ke tempat kosong di tepi kota, atau dekat dengan fasilitas
pelayanan umum. Akibatnya jumlah pendatang baru akan bertindak sebagai
“penjajah” (David Kaplan dan Robert A. Manners, 2002).
Pendatang baru selalu menampilkan perbedaan-perbedaan yang mencolok,
seperti tampilan dalam berpakaian, makanan, minuman, hingga penggunaan kata-
kata baru. Keadaan ini terbalik dengan penduduk asli yang diasumsikan malas,
kurang kreatif dan kurang inovatif sehingga kurang menerima inovasi kebudayaan
dari luar. Faktor-faktor yang telah disebutkan sebelumnya mempunyai dampak
yang sangat besar dalam komunikasi antar budaya dimana apabila makin banyak
orang meninggalkan daerah dan kebudayaan asal dan melintasi ke ruang kehidupan
budaya lain, maka lama kelamaan kebudayaan yang dia miliki akan berakulturasi
secara tidak langsung dengan kebudayaan baru di tempat tujuan.

Teori Pewarisan Nilai

Pewarisan nilai budaya merupakan proses yang penting dalam masyarakat.


Hubungan sosial yang terjadi didasarkan pada perubahan, solidaritas pada
perubahan, solidaritas Durkheim dan Prestasi total Maus, merupakan pencapaian
terbaik struktur hubungan timbal balik dan sistem perubahan yang terjadi di tengah
masyarakat. Menurut Layton (1997), Levi-Strauss menerima ide tersebut dan
mendalilkan tiga kekayaan mendasar dalam diri manusia, yaitu: (1) Manusia
mengikuti aturan; (2) Hubungan timbal balik merupakan cara singkat untuk
menjalin hubungan sosial; dan (3) Sebuah hadiah merupakan pengikat bagi pemberi
dan penerima dalam menjaga keberlangsungan hubungan sosial yang terjadi di
antara mereka.
Levi-Strauss (2005-10) menungkapkan bahwa agar budaya benar-benar
menjadi dirinya sendiri dan menghasilkan sesuatu maka kebudayaan tersebut dan
para anggotanya harus yakin akan orisinalitasnya, bahkan sampai taraf tertentu
mereka juga harus yakin akan superioritas di atas kebudayaan lain. Guna
memperoleh individu yang mampu memanfaatkan potensi yang terdapat pada
nilai-nilai kearifan lokal Sunda untuk kepentingan pembangunan diperlukan upaya
penanaman nilai-nilai tersebut pada diri generasi muda Sunda semenjak dini.
Sehingga, menghadapi globalisasi kebudayaan, kebudayaan harus mampu bersaing
dengan kebudayaan lainnya serta mampu mempertahankan kekhasan yang dimiliki
untuk menjadi diri sendiri, jika tidak maka kebudayaan tersebut akan terkalahkan
dan dikuasai oleh kebudayaan lainnya yang lebih kuat.

7
Upaya sosialisasi atau pengenalan potensi lokal tersebut dapat dilakukan
melalui proses pendidikan, karena menurut Parsons, pendidikan mempunyai fungsi
sosialisasi dan seleksi. Sosialisasi dalam pendidikan meliputi aspek nilai, kognisi,
maupun motorik. Di antara ke tiga apsek tersebut, Parsons lebih mengutamakan
nilai, karena konsensus akan nilai merupakan faktor yang disyaratkan bagi timbul
dan terpeliharanya integrasi sosial. Melalui sosialisasi, nilai-nilai budaya masyarakat
diubah menjadi nilai yang dihayati atau diinternalisasi oleh anggota masyarakat
secara individual (Adiwikarta, 1988:7).
Tindakan individu dipengaruhi oleh dua macam orientasi, yaitu orientasi
motivasional dan orientasi nilai. Orientasi motivasional menunjuk pada keinginan
individu yang bertindak itu untuk memperbesar kepuasan dan mengurangi
kekecewaan. Satu segi dari permasalahan ini adalah ikhtiar untuk menyeimbangkan
kebutuhan-kebutuhan langsung yang memberikan kepuasan dengan tujuan-tujuan
jangka panjang (yang sering menuntut pembatalan pemuasan). Orientasi nilai
menunjuk pada standar-standar normatif yang mengendalikan pilihan-pilihan
individu (alat dan tujuan) dan prioritas yang berhubungan dengan adanya
kebutuhan-kebutuhan dan tujuan-tujuan berbeda (Johnson, 1990b:114). Hal ini
menunjukkan bahwa tindakan individu dipengaruhi oleh kehendak pribadinya dan
dikontrol oleh nilai-nilai yang berlaku di masyarakat.
Emile Durkheim mencetuskan sebuah teori yang disebut dengan “teori nilai
universal”, teori tersebut mengatakan bahwa telah menjadi perihal yang “lumrah”
dan “alamiah” dimana pun juga apabila yang muda menghormati mereka yang
lebih tua. Hal tersebutlah yang kemudian menyebabkan perihal yang dianggap baik
dan benar serta diharapkan oleh golongan tua, dianggap baik dan benar serta
diharapkan pula oleh yang muda dan demikian seterusnya pada generasi-generasi
setelahnya. Pada tahapan selanjutnya, argumen Durkheim di atas dikembangkan
oleh Talcott Parson (Johnson, 1990) melalui teori latensi-nya di mana institusi-
institusi di era modern seperti lembaga keagamaan, lembaga pendidikan dan
berbagai institusi lainnya berperan besar bagi pewarisan nilai berikut pengikat
masyarakat.

Kearifan Lokal
Istilah kearifan lokal mempuyai pengertian yang bermacam-macam, di antara
pengertian itu cenderung melihat kearifan lokal sebagai sebuah gagasan konseptual yang
mengandung nilai-nilai yang dimiliki oleh komunitas masyarakat tertentu. Saya cenderung
melihat pengertian kearifan lokal ini dari pengertian filosofis. Istilah kearifan lokal terdiri
dari dua kata yaitu “kearifan” dan “lokal”. Kearifan sepadan dengan istilah kebijaksanaan.
Seperti halnya seorang filsuf adalah seorang yang mencintai kebijaksanaan
(Nurrochsyam,2011:86-87).
Pengertian lain dari kearifan lokal diutarakan oleh Sedyawati (1986:186-192)
dapat dibedakan menjadi dua pengertian, yaitu:
1. Segala nilai, konsep dan teknologi yang telah dimiliki suatu bangsa sebelum
mendapat pengaruh asing.

8
2. Daya yang dimiliki suatu bangsa untuk menyerap, menafsirkan, mengubah dan
mencipta sepanjang terjadinya “pengaruh asing”.
Soebadio (1986:18-25) mengemukakan kearifan lokal (local genius) secara
keseluruhan dapat dianggap sama dengan Cultural Identity yang diartikn sebagai
identitas budaya bangsa, yang mengakibatkan bangsa bersangkutan menjadi lebih
mampu menyerap dan mengolah pengaruh kebudayaan yang mendatanginya dari
luar wilayah sendiri, sesuai dengan watak dan kebutuhan pribadinya (Soebadio,
1986: 18-25). Atmojo (1986:47) mendefinisikan Kearifan lokal juga dapat diartikan
sebagai Local Development, yaitu perkembangan setempat (lokal) yang arahnya
menuju kearah perubahan. Kearifan lokal dan Perkembangan lokal berkembang
setelah terjadinya kontak kebudayaan atau akulturasi dengan kebudayaan lain,
terutama yang datang dari India (kebudayaan Hindu). Tetapi unsur-unsur asli pada
zaman pra-Hindu juga mempunyai daya gerak penting yang menentukan, sehingga
unsur-unsur asli tersebut tidak hilang. Kearifan lokal bangsa Indonesia merupakan
kemampuan penyerapan kebudayaan asing yang datang secara selektif, artinya
disesuaikan dengan suasana dan kondisi setempat.
Identitas masyarakat tercermin pada orientasi yang menunjukkan pandangan
hidup dan sistem nilai masyarakat; persepsi yang menggambarkan tanggapan
masyarakat terhadap dunia luar; pola dan sikap hidup yang mewujudkan tingkah
laku masyarakat sehari-hari; dan gaya hidup yang mewarisi peri kehidupan
masyarakat. Sebagai ekpresi diri serta perwujudan kepribadian masyarakat, maka
masing-masing menunjukkan kearifan lokal yang menjadi ciri dan inti kehidupan
budaya masyarakat. Kedudukan kearifan lokal penting dalam kehidupan berbangsa
dan bermasyarakat, karena merupakan kekuatan yang mampu bertahan terhadap
unsur-unsur yang datang dari luar dan mampu berkembang pada masa-masa
mendatang. Hilang atau musnahnya kearifan lokal di masyarakat berarti pula
memudarnya kepribadian masyarakat, sedangkan jika kearifan lokal mampu
bertahan dan berkembang menunjukkan juga kuatnya kepribadian masyarakat
tersebut, sehingga menjadi penting usaha serta pemupukan dan pengembangan
kearifan lokal pada seluruh aspek kehidupan masyarakat yang mencakup gaya
hidup masyarakat, pola dan sikap hidup masyarakat, persepsi masyarakat, serta
orientasi masyarakat (Poespowardojo, 1986:32-33).

Metode Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan
kualitatif dengan metode Historis. Metode penelitian adalah cara yang digunakan
untuk mencapai suatu tujuan penelitian dengan menggunakan teknik dan alat
tertentu, dalam penelitian ini penulis menggunakan metode Historis. Metode

9
merupakan sebuah prosedur, atau ada hubungannya dengan suatu prosedur,
proses, atau tehnik yang sistematis dalam penyidikan disiplin ilmu tertentu untuk
mendapatkan objek (bahan-bahan) yang diteliti (Sjamsuddin, 2007: 13). Metode
sejarah adalah metode atau cara yang digunakan sebagai pedoman dalam
melakukan penelitian peristiwa sejarah dan permasalahannya. Metode ini
merupakan instrument untuk merekonstruksi peristiwa sejarah (history as past
actuality) menjadi sejarah sebagai kisah (history as written). Metode ini merupakan
tahapan-tahapan yang dilakukan untuk merekonstruksi kejadian-kejadian di masa
lampau.
Sementara metode sejarah adalah proses menguji dan menganalisa secara kritis
rekaman dan peninggalan masa lampau (Gottschalk, 1975: 32; Lubis, 20011:2) ).
Untuk mengeksplanasi peristiwa sejarah pada prinsipnya bertujuan untuk
menjawab enam pertanyaan (5 W dan 1 H) agar mendapat gambaran secara rinci
mengenai eksistensi dan perubahan sebuah objek (peristiwa maupun bentuk) dalam
kehidupan manusia dari masa ke masa. Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa
metode Historis ini menjadi fokus penelitian yaitu Karedok;Sundanese Salad yang
Melegenda Sebuah Makanan yang merakyat.
Teknis Analisis data merupakan langkah penting dalam penelitian, karena
dapat memberikan makna terhadap data atau informasi yang didapat dari proses
penelitian yang dilakukan peneliti. Menurut Milesdan Huberman dalam (Sugiyono,
2009, hlm.91) mengemukakan bahwa Aktivitas dalam analisis data kualitatif
dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas,
sehingga datanya sudah jenuh. Aktivitas dalam analisis data,yaitu data reduction,
data display, dan conclusion drawing/verification. Berdasarkan penjelasan diatas,
maka analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan beberapa komponen yaitu
data reduction, data display, dan conclusion drawing/verification.

KAREDOK SEBUAH KISAH


1. Pengertian Karedok
Beragam makanan bertebaran di tatar sunda dari mulai yang tradisional
sampai modern. Menggunakan bahan asli dari wilayah priangan yang di tanam
sendiri ataupun yang menggunakan bahan dasar impor dengan berbagai macam
cita rasa. Semua itu ada di sini bisa di nikmati dari warung kaki lima sederhana
sampai hotel berbintang dengan penyajian yang menarik. Namun tidak semua
makanan tersebut bisa di nikmati oleh banyak orang, ada makanan yang hanya bisa
dinikmati oleh kalangan “tertentu” yang memiliki kemampuan ekonomi yang
cukup wah. Dan ada juga makanan sejuta umat yang bisa dinikmati oleh siapa saja
tanpa mengenal status social dan ekonomi. Makanan yang bisa dinikmati oleh
berbagai kalangan adalah Karedok.
Memakan Karedok sebenarnya merupakan bagian tradisi yang mengakar di
Priangan khususnya mengingat sejak lama masyarakat yang tinggal di wilayah ini
sangat familiar dengan “lalab-lalaban”. Hampir sebagian besar makanan sunda pasti

10
tersaji dengan lalab-lalaban. Hal itu sudah menjadi tradisi yang mengakar
diwariskan dari satu ke generasi lainnya. Lalab-lalaban adalah sayur-sayuran (bisa
mentah/masak) yang disajikan pada makanan tanpa menggunakan bumbu apapun.
Mengapa hal itu bisa terjadi? Karena salahsatunya secara geografis letak Tatar
Sunda yang di lingkup gunung ini dengan tanah yang subur sehingga memudahkan
sayur-mayur bisa tumbuh subur. Lebih lanjut Suriawiria (1987) menjelaskan bahwa
kegemaran masyarakat Sunda makan Lalab sejalan dengan budayanya yang
mementingkan harmoni manusia dengan alam.
Bila kita amati secara seksama beragam macam sayur-sayuran bisa di nikmati
oleh orang sunda, tentunya pasangan yang paling sejati lalaban ini adalah Sambal.
Di mana ada lalaban pasti ada sambal, apa pun itu bahan dasarnya, makan lalaban
tanpa sambal akan terasa hambar, seperti membuat sayur tanpa garam. Kondisi
alam seperti ini lah yang pada akhirnya membentuk budaya makan yang adaptif
dikondisikan dengan wilayah. Menurut Suriawiria (2001), dari sekitar 80 jenis
makanan yang dikonsumsi oleh orang Sunda, 65 % di antaranya berasal dari jenis-
jenis tumbuhan/tanaman, lalu sisanya ikan dan daging. Unus Suriawiria (1987) juga
mendata bahwa menurutnya orang Sunda mengenal sekitar 59 jenis pucuk/daun
muda, 18 jenis bunga, 20 jenis buah muda, serta belasan biji-bijian yang dapat
dimanfaatkan sebagai lalab.
Lalu apa bedanya antara lalaban dengan karedok? Pada prinsipnya sama saja
antara karedok dengan lalaban, salah satunya adalah bahan dasarnya sayuran
mentah. Namun yang membedakan nya adalah bila lalaban tidak menggunakan
bumbu tambahan apapun, Karedok menggunakan saus dengan bumbu tambahan
dalam mengolahnya. Karedok di buat dengan bahan-bahan sayuran mentah antara
lain; mentimun, taoge, kol, kacang Panjang, ubi, daun kemangi, dan terong.
Sedangkan sausnya adalah bumbu kacang yang dibuat dari cabe merah, bawang
putih, kencur, kacang tanah, air asam, gula jawa, garam dan terasi. Karedok
disajikan dengan taburan kerupuk diatasnya. Karedok biasanya menjadi makanan
pelengkap dalam menu sehari-hari. Hal ini senada dengan pendapatnya Ajib Rosidi
(2000) bahwa Karedok adalah Jenis makanan khas Sunda untuk teman nasi
Banyak makanan yang sejenis yang mirip dengan karedok di nusantara ini
antara lain; ada gado-gado, doclang, lotek, pecel dan lainnya. Berbeda dengan
karedok yang menggunakan bahan sayuran segar, bahan sayur di pecel harus
direbus. Sedangkan sambel pecel yaitu campuran yang digunakan untuk menikmati
sayuran rebus agar bercita rasa manis, pedas, asam, dan gurih. Meskipun sambel
pecel mirip saus kacang karedok, lagi-lagi keduanya berbeda. Sambel pecel bisa
disimpan untuk makan berkali-kali. Sedangkan saus kacang karedok harus dibuat
segar saat mau makan.
Secara umum Karedok ada Ada 3 (tiga) jenis Karedok :
 Karedok Leunca.

11
(Sumber: https://www.idntimes.com/food/recipe/lena-latipah/resep-karedok-leunca-khas-
sunda-c1c2)

 Karedok Terong.

(sumber:https://cookpad.com/id/resep/2563538-karedok-terong-sunda)

 Karedok kacang Panjang.

(sumber:https://cookpad.com/id/resep/779970-karedok-kacang-panjangpencok-kacang-
panjang)
Karedok merupakan salah satu makan sehat yang pembuatannya harus fresh baik
dari segi bahan ataupun penyajian. Bila tidak maka akan kehilangan cita rasa aslinya
dan tidak menarik lagi.
Jadi karedok ini tidak kalah dengan makanan ala barat pemuja vegetarian
yang sudah masuk dan berkembang di Indonesia. Malah dalam beberapa buku
kuliner yang beredar para ahli masakan memasukan Karedok dalam jenis Salad.
Hidangan yang begitu terkenal bila kita masuk ke hotel berbintang akan tersaji apik.
Salad dalam The Dictionary of American Food and Drink (1994) merupakan salah
satu makanan sehat yang terdiri dari buah dan sayuran segar serta biasanya
ditambah dengan protein yang berasal dari daging ataupun unggas dan
dihidangkan bersamaan dengan dressing berupa saus sambal atau mayonnaise.

12
Secara umum salad dapat disajikan saat dingin, panas, mentah ataupun
kombinasi. Akan tetapi yang menjadi poin utama penyajian salad yaitu harus
dihidangkan dalam keadaan segar dan semenarik. Menurut Mariani (1994) pada
pembuatan salad, ada beberapa hal yang harus terpenuhi seperti diantaranya :
Menggunakan bahan dan bumbu yang masih segar
 Bahan utama harus diolah dan dimasak dengan baik
 Sayuran yang digunakan harus dicuci dengan air yang mengalir
 Kemudian di keringkan sampai tidak ada sisa air yang tertinggal
 Bahan yang tidak digunakan harus dimasukkan ke kulkas
 Pencampuran dressing harus dilakukan saat akan dihidangkan
 Rasa harus seimbang, tidak boleh ada satu rasa yang menonjol
 Penampilan dan susunan salad harus diperhatikan
 Dapat dihidangkan dengan mudah tanpa banyak aturan
bila melihat penjelasan di atas semua hal itu ada dalam proses pembuatan
karedok, maka tidak salah bila kita menyebut Karedok sebagai ”Sundanese
Salad”.

2. Sejarah lahirnya Karedok


Karedok yang menyebar dan dinikmati oleh semua kalangan tanpa mengenal
status social ini tidak dapat dipastikan kapan tepatnya diciptakan. Ada beberapa
sejarawan mengatakan bahwa memakan sayur-sayuran mentah merupakan bagian
peninggalan masa prasejarah yang masih ada sampai saat ini. Manusia yang hidup
pada masa itu banyak sekali mengkonsumsi makanan dari alam tanpa pengolahan
yang rumit. Ada dua versi mengenai asal-usul Karedok, Namun bila kita telusuri
lebih lanjut dari Tradisi Lisan yang berkembang ada satu keunikan yang terjadi di
mana sebuah wilayah Sumedang ada tempat yang terkenal dengan Karedoknya.
Berdasarkan informasi dari Pemerintah daerah Sumedang wilayah tersebut bernama
Desa Karedok.
Desa Karedok merupakan sebuah desa yang berada di wilayah Kecamatan
Jatigede. Lokasinya berada di bagian utara wilayah kecamatan dengan jarak sekitar
4 km ke kantor kecamatan. Desa Karedok ini memiliki status sebagai pedesaan
dengan klasifikasi Desa Swadaya Mula. Sebelum tahun 2001, Desa Karedok
merupakan bagian dari wilayah Kecamatan Tomo. Namun semenjak
dikeluarkannya Surat Keputusan Bupati Sumedang Nomor 61 Tahun 2001, tanggal
24 Februari 2001, tentang Penetapan Desa/Kelurahan dalam wilayah kecamatan di
Kabupaten Sumedang, Desa Karedok berpindah dari cakupan Kecamatan Tomo
menjadi wilayah Kecamatan Jatigede.

Peta Lokasi Desa Karedok

13
Berdasarkan data topografi, wilayah Desa Karedok memiliki bentuk bentang
permukaan tanah berupa hamparan atau dataran. Ketinggian lokasi kantor Desanya
berada pada 84 meter di atas permukaan tanah. Secara administratif, wilayah Desa
Karedok berbatasan langsung dengan Desa Cicarimanah (Kecamatan Situraja) dan
Desa Cipeles (Kecamatan Tomo) di sebelah utara, Desa Cilopang Kecamatan Cisitu
di sebelah baratnya, Desa Pajagan (Kecamatan Cisitu) dan Desa Kadujaya di sebelah
selatan, serta Desa Cijeungjing dan Desa Cipeles (Kecamatan Tomo) di sebelah
timurnya. Pemerintahan Desa Karedok dipimpin oleh seorang Kuwu atau Kepala
Desa dengan 6 Rukun Warga (RW) dan 24 Rukun tetangga (RT), serta terbagi
menjadi 2 dusun, yakni Dusun Karedok 1 dan Dusun Karedok 2.

Mengenai asal-usul Desa Karedok berdasarkan dari cerita yang berkembang


di masyarakat semua berawal dari sebuah perkampungan yang terletak di seberang
sungai Cimanuk. Daerah ini merupakan bagian dari wilayah Sumedang Larang atau
Negara Mayeuti (sebutan orang pada saat itu). Ketika itu terjadi musibah tanah
Longsor di sawah lamping dan menimpa sebuah kampung  menyebabkan

14
penduduk kampung tersebut harus pindah ke kampung Rancakeong atau Babakan
Dobol.
Tersebutlah dua keluarga yang ada di tempat itu yang kemudian
berkembang menjadi 710 jiwa, Perkembangan yang demikian pesat nya itu
dimungkinkan karena daerah ini daerah yang subur sehingga banyak pendatang
yang  akhirnya menetap di sana. Saat itu Sumedang dipimpin oleh seorang Bupati
yang bernama Pangeran Suriat Atmaja yang senang “Ngalintar” (menangkap ikan
di sungai dengan menggunakan jala atau kecrik).

Pangeran Suria Atmadja (Pangeran Mekah) Bupati Sumedang Ke 20


(Sumber:http://dediekisoerialaga.blogspot.com/2018/09/pangeran-suria-atmadja-pangeran-
mekah.html)
Dalam sejarah lokal Sunda nama Pangeran Suria Atmadja bukanlah nama
yang asing. Bernama asli Raden Sadeli dilahirkan di Sumedang tanggal 11 Januari
1851. Sebelum menjadi bupati Sumedang Raden Sadeli menjadi Patih Afdeling
Sukapura Kolot yang berkedudukan di Mangunreja. Pada tanggal 31 Januari 1883
beliau diangkat menjadi bupati dengan memakai gelar Pangeran Aria Suria Atmadja
(1883 – 1919). Pangeran Suria Atmadja adalah seorang bupati Sumedang terakhir
yang mendapat gelar pangeran, sehingga beliau pun disebut Pangeran Panungtung
(terakhir). Pangeran Aria Suria Atmadja dikenal sebagai pemimpin yang adil,
bijaksana, saleh, dan taqwa kepada Allah (Lubis,1998). Menurut pandangan Mumuh
muhsin (2013: 5-7) Pangeran Aria Suria Atmadja mempunyai jasa dalam berbagai
pembangunan antara lain:

1 Bidang Pertanian. Beliau membangun aliran irigasi di sawah-sawah,


membudayakan penanaman sayuran, melakukan penghijauan di tanah
gundul, dan membangun lumbung desa. Pangeran Aria Suria Atmadja
memberi ide bagaimana meningkatkan daya guna dan hasil guna
pengolahan tanah, pembuatan sistem sengked (terrasering) pada bukit-
bukit.
2 Bidang Perternakan Untuk meningkatkan hasil ternak yang baik,
Pangeran Aria Suria Atmadja berinisiatif mendatangkan sapi dari
Madura dan Benggala dan kuda dari Sumba atau Sumbawa untuk
memperoleh bibit unggul.

15
3 Bidang Perikanan Pelestarian ikan di sungai diperhatikan secara
khusus, jenis jala ikan ditentukan ukurannya dan waktu
penangkapannya agar ikan di sungai selalu ada. Penangkapan ikan
dengan racun atau peledak dilarang.
4 Bidang Kehutanan. Daerah-daerah gunung yang gundul ditanami
pohon-pohon agar tidak longsor, selain dibuat hutan larangan/tertutup
yaitu hutan yang tidak boleh diganggu oleh masyarakat demi
kelestarian tanaman dan binatangnya. Binatang dan pohon langka
mendapat pelindungan khusus.
5 Bidang Kesehatan. Penjagaan dan pemberantasan penyakit menular
mendapat perhatian besar. Bayi dan anak-anak diwajibkan
mendapatkan suntikan anti-cacar. Vaksinasi ini diadakan sampai ke
desa-desa. Masyarakat pun dianjurkan menanam tanaman obat-obatan
di perkarangan rumahnya.
6 Bidang Pendidikan. Pada tahun 1914 Pangeran Aria Suria Atmadja
mendirikan Sekolah Pertanian di Tanjungsari dan wajib belajar
diterapkan pertama kalinya di Sumedang. Pada tahun 1915 di Kota
Sumedang telah ada Hollandsch Inlandsche School. Beliau pun
mendirikan sekolah rakyat di berbagai tempat di Sumedang dan
membangun kantor telepon.
7 Bidang Perekonomian. Pada tahun 1901 Pangeran Aria Suria Atmadja
membangun “Bank Prijaji” dan pada tahun 1910 menjadi
“Soemedangsche Afdeeling Bank”. Pada tahun 1915 beliau mendirikan
Bank Desa untuk menolong rakyat desa.
8 Bidang Politik. Pada tahun 1916 ia mengusulkan kepada pemerintah
kolonial agar rakyat diberi pelajaran bela negara/mempergunakan
senjata agar dapat membantu pertahanan. Ide ini dituangkan dalam
tulisan berjudul “Indie Weerbaar”/ Ketahanan Hindia, tapi usul ini
ditolak pemerintah Belanda. Pangeran Aria Suria Atmadja tidak
mengurangi cita-citanya, disusunlah sebuah buku yang berjudul
“Ditiung Memeh Hujan”. Dalam buku itu dikemukakan lebih jauh lagi
agar Belanda kelak perlu mempertimbangkan dan mengusahakan
kemerdekaan bagi rakyat Indonesia. Pemerintah kerajaan Belanda
memberi reaksi hingga dibuat benteng di kota Sumedang, benteng
Gunung Kunci.
9 Bidang Keagamaan. Bidang keagamaan mendapat perhatian yang
besar dari Pangeran Aria Suria Atmadja. Pembangunan masjid-masjid
dan pesantren-pesantren mendapat bantuan penuh sang bupati.
10 Bidang Kebudayaan. Bidang kebudayaan dapat perhatian besar dari
Pangeran Aria Suria Atmadja khususnya Tari Tayub dan Degung.
Selain ahli dalam sastra Sunda, Pangeran Aria Suria Atmadja pun
membuat buku dan menciptakan lagu.

16
11 Bidang Lainnya. Membangun rumah untuk para kepala Onderdistrik,
membangun balai pengobatan gratis, dan menjaga keamanan melalui
pengadaan siskamling. Masih banyak jasa lainnya dan atas segala
jasanya dalam membangun Sumedang, baik pembangunan sarana fisik
maupun pembangunan nonfisik, Pangeran Aria Suria Atmadja
mendapat berbagai penghargaan atau tanda jasa dari pemerintah
kolonial Belanda salah satunya tanda jasa Groot Gouden Ster (1891)
dan dianugerahi beberapa bintang jasa tahun 1901, 1903, 1918, Payung
atau Song-song Kuning tahun 1905, Gelar Adipati 1898, Gelar Aria
1906 dan Gelar Pangeran 1910.
Bupati Suria atmaja ini mempunyai kebiasaan untuk mengunjungi ke desa-
desa untuk melihat kondisi rakyat sambil melakukan Ngalintar. Ketika ngalintar
lagi di Leuwi Kiara yang merupakan aliran sungai Cimanuk, ia mulai merasa lelah
kemudian beristirahat di sebuah kampung yang disebut kampung Dobol. Pada saat
beristirahat, masyarakat setempat mengetahui bahwa yang beristirahat itu adalah
Dalem atau Bupati dan dengan rasa Hormat warga kampung menyuguhkan
hidangan berupa Karedok Terong yakni jenis makanan Sunda untuk makan teman
Nasi (saat makan).
Di sini kita bisa menganalisis bahwa makanan yang disajikan merupakan
makanan yang paling dikuasai oleh penduduk dan sangat istimewa memanfaatkan
apa yang ada di sekitarnya. Para penduduk tidak menyajikan makanan yang aneh-
aneh yang tidak mereka kuasai. Dalam karakter masyarakat sunda rasa “someah”
kepada siapapun di junjung tinggi. Tanpa melihat status social nya sebagai Menak
atau cacah. Apalagi yang datang adalah seorang dalem/Bupati yang memiliki status
social tinggi. Bagi masyarakat kedatangan pemimpin yang di cintai merupakan
suatu yang sangat istimewa, sehingga perlu diperlakukan dengan baik pula.
Walaupun sebenarnya pemimpin itu tidak menghendaki di perlakukan seperti itu.
Ketika Dalem beristirahat di desa Dobol ini dihidangkan Karedok terong,
setelah mencicipi karedok tersebut ia merasakan kenikmatan yang luar biasa atas
jamuan masyarakat kampung tersebut. Kenikmatan makan karedok terong tersebut
dibicarakan kepada sesepuh Sumedang dan merasa penasaran kemudian ia pun
mengajak rekan-rekannya Ngalintar ke Leuwi Kiara di aliran sungai Cimanuk yang
berdekatan dengan Kampung Dobol, begitu pula saat sesepuh beristirahat di jamu
pula dengan perjamuan Karedok dan kenikmatan yang sama pula dirasakan oleh
sesepuh Sumedang. Sehingga mulai saat itu “Kampung Dobol” berubah namanya
menjadi  “Kampung Karedok” dan sekaligus menjadi nama “Desa Karedok” hingga
sekarang. Makanan “Rakyat” berubah menjadi makanan nya para “Menak”,
Karedok menjadi makanan yang selalu ada saat jamuan para menak. Jadilah
Karedok di nikmati oleh semua kalangan tanpa memandang status social.
Bupati bandung saat itu R.A.A Martanagara yang memang seorang “Menak”
Sumedang (Lubis, 1998) ada kemungkinan ikut menyebarkan juga Karedok
dikalangan bangsawan dan para orang Eropa, mengingat pada masa itu sedang
terjadi pembangunan besar-besaran di Bandung, beliau dikatakan sebagai “bapak

17
Bandung Modern”. Tentang Peran Bupati Bandung RAA Martanagara dalam ikut
menyebarkan karedok ini memang perlu dilakukan penelitian yang lebih khusus
lagi.
Versi kedua asal-usul karedok bisa dirunut dari kebiasaan orang Sunda
makan lalapan. Bukti tertua jejak lalap bisa dirunut dari keterangan pada Prasasti
Taji (901) yang ditemukan di Ponorogo, Jawa Timur. Prasasti itu merekam sebuah
hidangan bernama Kuluban Sunda yang berarti lalap. Fadly Rahman (2018)
mencatat jejak lalap dalam Prasasti Panggumulan (902) dari Sleman, Jawa Tengah.
Prasasti itu menyebut makanan dari sayuran bernama rumwah-rumwah (lalap
mentah), kuluban (lalap yang direbus), dudutan (lalap mentah yang diambil dengan
cara dicabut dari akarnya), dan tetis (sejenis sambal atau petis). Kemudian sebuah
naskah Sunda tinggalan abad ke-16, Sanghyang Siksa Kandang Karesian (1518)
menyebut ”kalingana asak deung atah” (sebenarnya hanya mentah dan masak).
Versi yang mana pun tidak jadi masalah, Namun yang pasti sampai saat ini
Karedok menjadi makanan yang istimewa yang penyebarannya hampir di seluruh
penjuru menjadi identic dengan makanan khas Sunda. Dimana ada makanan khas
Sunda yang disajikan tidak pernah lupa pasti ada Karedok.

3. Karedok dan budaya Ngariung


Masyarakat Sunda terkenal dengan budaya komunalnya sering berkumpul
dan berkelompok dalam kehidupan kesehariannya. Menurut Ekadjati (1993:8)
budaya sunda merupakan budaya yang hidup, tumbuh dan berkembang di
kalangan orang sunda yang pada umumnya berdomisili di jawa barat. Budaya ini
tumbuh dan hidup melalui interaksi yang terjadi terus-menerus pada masyarakat
sunda pada perkembangannya budaya sunda terdiri atas sistem kepercayaan, mata
pencaharian, kesenian, kekerabatan, bahasa, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta
adat istiadat. Sistem-sistem tersebut melahirkan sebah nilai-nilai yang dianut oleh
masyarakat sunda secara turun-temurun (ekadjati,1991). Budaya sunda memiliki
nilai-nilai yang dijungjung tinggi oleh masyarakat sunda yang tercermin dalam
pameo silih asih (saling mengasihi), silih asah (saling memperbaiki diri), dan silih
asah (saling melindungi). Nilai lainnya yang juga melekat pada budaya sunda yaitu
nilai kesopanan, rendah hati terhadap sesama, hormat kepada yang lebih tua, dan
menyayang kepada yang lebih kecil, kebersamaan, gotong royong, dan sebagianya.
Nilai-nilai ini menjadikan budaya sunda sebagai suatu budaya yang memiliki ciri
khasnya tersendiri diantara budaya-budaya yang lain.
Pada orang Sunda adalah ramah, rendah hati, dan mudah menerima
kehadiran orang lain. Konsep ini tercermin dalam sebuah peribahasa “someah hade
ka semah” (ramah terhadap tamu/orang lain). Secara garis besar konsep tersebut
bersifat akomodatif dan apresiatif terhadap orang lain. Bagi masyarakat Sunda,
sikap tersebut merupakan kewajiban yang memiliki makna kesalehan sosial. Budaya

18
someah telah memberikan manfaat yang luar biasa. Banyak orang-orang dari luar
darah bahkan dari mancanegara yang tertarik dan mengagumi keramahan orang
sunda sehingga berbondong-bondong ingin mengunjungi tatar Sunda.
Masyarakat Sunda dalam interaksi sosialnya dituntut untuk mematuhi
berbagai nilai budaya yang berlaku dalam kehidupan sosial. Di antaranya adalah
yang berhubungan dengan etika Sunda. Dilingkungan budaya Sunda ada ungkapan
ciri sabumi ciri sadesa. Secara harfiah, ungkapan tersebut menekankan bahwa di
setiap lingkungan ada ciri dan cara tersediri yang mempengaruhi tindak tanduk
para penghuninya. Jika ungkapan ini dikaitkan dengan bidang etika, dapat
dikatakan bahwa pada orang Sunda pun ada kesadaran bahwa di setiap lingkungan
budaya, tak terkecuali lingkungan budaya Sunda, tentu ada nilai-nilai etis yang
diterima oleh para penghuni lingkungan tersebut. Nilai-nilai etika Sunda yang
dimaksud di sini adalah titik acuan moral bagi masyarakat Sunda secara umum.
Kondisi ini pun bisa di lihat dalam praktek makan dan makanan yang
disajikan menunjukan kearifan lokal seperti itu. Makanan yang disajikan merupakan
makan terbaik yang ada di sekitarnya walaupun sederhana namun bisa dinikmati
oleh banyak orang. Konsep “Ngaliwet” dan “Ngariung” merupakan satu paketan
lengkap dalam tradisi masyarakat Sunda. Ngaliwet merupakan tradisi memasak
nasi dengan cara berbeda dengan dimasak dalam citel /kastrol dengan memasukan
beberapa bumbu tambahan supaya nasi lebih gurih dan juga ditambah dengan
memasukan beberapa lauk ke dalamanya. Pada masa lalu ngaliwet merupakan cara
yang masyarakat sunda untuk menghemat dan menyimpan makanannya ketika
akan berladang/ke sawah.
Dalam menikmati makanan tersebut kadang di alasi oleh daun pisang dan
dimakan secara Bersama-sama. Walau sederhana namun yang paling penting
adalah kebersamaannya. Inilah yang di sebut dengan Ngariung. Semua larut dalam
kebahagian focus pada makanan yang di santap dan tentu saja dilakukan secara
bersila atau duduk di lantai, tidak ada yang duduk di kursi. Ini secara budaya
menandakan bahwa semua statusnya sama ketika makan, tidak memandang
“Menak” atau “rakyat”. Hanya saja tetap tata karma dan etika di pakai dalam
makan, misalkan posisi duduk laki-laki perempuan, orang yang lebih tua, semua itu
dilakukan lebih karena menghargai.
Ketika makan di hamparkan dalam alas daun pisang maka semua di tata
sedemikian rupa, Karedok menjadi yang istimewa. Karena dibuat dadakan dengan
bahan yang masih segar maka harus segera di habiskan demi menjaga cita rasa dan
kenikmatan yang ada padanya. Maka jadilah Karedok sebagai makanan semua
kalangan dinikmati Bersama dengan kebersamaan. Cara makan seperti ini akan

19
selalu dirindukan oleh orang Sunda, makan sebagai sarana perekat dan komunikasi
social yang memperkuat ikatan bathin orang Sunda. Ikatan kekeluargaan semakin
kuat jalinan bisnis pun biasanya terjalin setelah proses makan yang seperti ini.

Kesimpulan
Karedok merupakan salahsatu makanan khas Sunda yang berasal dari sayur-
sayuran segar. Di olah secara sederhana dan menggunakan bumbu tambahan
sebagai dasar sausnya. Karedok merupakan cerminan makanan dan budaya lokal
masyarakat Sunda yang begitu agung dengan memanfaatkan apa yang ada di alam.
Perkembangan dan sejarah lahirnya Karedok merupakan bagian dari perjalanan
Panjang peradaban masyarakat Sunda khususnya yang di ceritakan satu generasi ke
generasi lain. Tradisi lisan yang begitu kuat sehingga menjelma menjadi sebuah hal
yang nyata. Jejak-jejaknya masih bisa ditelusuri dan dikaji lebih jauh lagi.
Penyajian Karedok dalam tradisi liwet merupakan cerminan budaya
masyarakat sunda yang senang berkumpul atau Ngariung. Tujuan utamanya
mengikat antar kelompok supaya memiliki rasa memiliki baik secara emosional
ataupun fisik tanpa ada sekat social yang membatasi. Konsep ini mencerminkan
sebuah peribahasa “someah hade ka semah” (ramah terhadap tamu/orang lain) yang
Secara garis besar bersifat akomodatif dan apresiatif terhadap orang lain. Maka
tidak salah bila dikatakan bahwa Karedok merupakan makanan semua kalangan.

20
DAFTAR PUSTAKA

------- et al. (2008). Sejarah Sumedang dari Masa ke Masa. Sumedang: Dinas Pariwisata
dan Kebudayaan.

Adiwikarta, S. (1988). Sosiologi Pendidikan : Isyu dan Hipotesis Tentang. Hubungan


Pendidikan dengan Masyarakat. Jakarta

Atmodjo, M.M.S.K. (1986). Pengertian Kearifan Lokal dan Relevansinya dalam


Modernisasi. Dalam Ayat Rohaedi Penyunting (1986). Kepribadian Budaya
Bangsa (Local Genius). Jakarta: DPJ.

David Kaplan dan Robert A. Manners, (2002), The Theory of Culture, diterjemahkan
oleh Landung Simatupang, Teori Budaya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ekadjati, Edi S. (1991). Kebudayaan Sunda. Jakarta: Yayasan Pembangunan Jawa


Barat.

Ekadjati, E. (1993). Kebudayaan Sunda. Suatu Pendekatan Sejarah Jilid I


Jakarta : Pustaka Jaya

Garraghan, J. Gilbert. (1948). A Guide To Historical Method, New York: Fordham


University Press. Gottschalk, Louis. 1975. Mengerti Sejarah (Pengantar
Metode Sejarah), Terjemahan. Nugroho Notosutanto, Jakarta: Universitas
Indonesia

Holtzman, Jon D. (2006). ”Food and Memory”,dalam Annual Review of Anthropology


,vol. 35, hlm. 361

Johnson, D.P. (1990). Teori Sosiologi: Klasik dan Modern 1 (Penterjemah: Lawang,
R.M.Z., dari Sociological Theory). Jakarta: Gramedia.

Kartodirdjo, Sartono.(1992). Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta:


Gramedia

Levi – Strauss, C. (2005). Mitos dan Makna: Membongkar Kode-kode Budaya.


(Penterjemah: Hok, L.P., dari Myth and Meaning). Serpong: Marjin Kiri.

Lickona, T. (2013). Mendidik Untuk Membentuk Karakter: Bagaimana Sekolah dapat


Memberikan Pendidikan Tentang Sikap Hormat dan Bertanggung Jawab.
Jakarta : Bumi Aksara

Lubis, Nina Herlina. (1998). Kehidupan Kaum Menak Priangan 1800-1942. Bandung:
Pusat Informasi Kebudayaan Sunda.

21
Lubis, Nina Herlina. (2008). Metode Sejarah. Bandung: Satya Historika.

Nazir, M. (2005). Metode Penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia.

Mariani, John.F. (1994).The Dictionary of American Food and Drink. Hearst Books:
New York

Malinowski, Bronislaw. (1983). Dinamika bagi Perubahan Budaya. Satu Penyiasatan


Mengenai Perhubungan Ras di Afrika. Dewan Bahasa dan Pustaka
Kementerian Pelajaran Malaysia: Malaysia

Nurrochsyam, Mikka Wildha. (2011). Tradisi Pasola Antara Kekerasan Dan Kearifan Lokal.
Dalam BUKU KEARIFAN LOKAL DI TENGAH MODERNISASI. Jakarta:
Puslitbang Kembudpar RI

Muhsin, Z. Mumuh. (2013). Seminar Nasional Pengusulan Pangeran suria Atmadja


sebagai Pahlawan Nasioanal. FIB Program Studi Imu Sejarah: Jatinangor

Pratisto, H., Gunawan, D., Athoilah, Kridarso, I., & Sidik, A. T. (2011). Sejarah
Kabupaten Brebes. Brebes: Kabupaten Brebes.

Rahman, Fadly. (2016). Jejak  Rasa  Nusantara:  Sejarah  Makanan  Indonesia. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama

Rosidi, Ajib. (2000). Ensiklopedi Sunda: alam, manusia dan budaya, termasuk budaya
Cirebon dan Betawi. Pustaka Jaya: Jakarta

Sedyawati, Edy.(1986). Tari Sebagai Salah Satu Pernyataan Budaya dalam Pengetahuan
Elemen Tari dan Beberapa Masalah Tari. Jakarta: Direktorat Kesenian.

Sjamsudin, Helius. 2007. Metodologi Sejarah, Yogyakarta: Ombak.

Soekanto, S. 1994. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : Grafindo.

Suriawiria, Unus. 1987. Lalab dalam Budaya dan Kehidupan Masyarakat Sunda.


Bandung: Granesia

Suriawiria, Unus. 2001. ”Makanan Tradisi ’Urang’ Sunda”, dalam Konferensi


Internasional Budaya Sunda, Bandung, 22–25 Agustus 2001

Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung :


Alfabeta

Van Esterik, Penny. 2008. Food Culture in Southeasth Asia. London: Greenwood

22
Sumber gambar:

 https://www.idntimes.com/food/recipe/lena-latipah/resep-karedok-leunca-
khas-sunda-c1c2
 https://www.idntimes.com/food/recipe/lena-latipah/resep-karedok-leunca-
khas-sunda-c1c2
 https://cookpad.com/id/resep/2563538-karedok-terong-sunda
 https://cookpad.com/id/resep/779970-karedok-kacang-panjangpencok-
kacang-panjang
 http://dediekisoerialaga.blogspot.com/2018/09/pangeran-suria-atmadja-
pangeran-mekah.html

23

Anda mungkin juga menyukai