Anda di halaman 1dari 17

FILOSOFI ADILUHUNG BATIK GRINGSING

TEMPURREJO KABUPATEN NGAWI


JAWA TIMUR TAHUN 1995

Indarti
SMA N 1 WIDODAREN NGAWI
Sman1_widodaren@yahoo.co.id

ABSTRAKSI

Batik merupakan warisan nenek moyang yang ada sampai saat ini secara turun
temurun. Di Ngawi sendiri terdapat sebuah sentra kerajinan batik, tepatnya di Dusun
Tempurrejo, Desa Banyubiru, Kecamatan Widodaren. Batik yang dikembangkan adalah batik
tradisional yang bermotif gringsing dimana metode pembuatan menggunakan teknik batik tulis.
Permasalahannya nilai-nilai filosofi apa yang terkandung dalam batik gringsing.
Tujuannya untuk mengetahui filosofi yang terkandung dalam motif batik gringsing. Untuk
memperoleh analisis yang lebih detail perlu adanya kerangka berfikir tahun 1995 oleh Suwandi
sebagai pengelola dan pengusaha batik di Tempurrejo, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur. Motif
gringsing menjadi primadona yang paling banyak diminati konsumen.
Batik gringsing memiliki motif dasar menyerupai sisik ikan. Makna yang terkandung
tidak main-main karena melibatkan perasaan dan pembuatannya harus melakukan ritual mistis.
Motifnya lebih mengarah pada non geometris yang condong pada flora, fauna, satwa dan
lunglungan (menjalar). Dalam batik gringsing Tempurrejo didominasi 4 warna pokok, yaitu
hitam, putih, biru, dan coklat soga. Filosofi dari warna khas tersebut memiliki arti keluhuran,
kemakmuran dan dipercaya dapat menghindarkan dari sakit dan kesulitan.
Agar dapat melestarikan batik gringsing di Tempurrejo, maka bisa mengadakan
pelatihan, mengikuti kegiatan pameran mode, bekerja sama dengan sekolah-sekolah sekitar untuk
memberikan keterampilan siswa dan memberikan pengarahan kesadaran tentang budaya daerah
terutama batik

Kata Kunci : Tempurrejo, Filosofi, Batik Gringsing


PENDAHULUAN
Batik merupakan warisan nenek moyang yang ada sampai saat ini
secara turun temurun. Batik dikenalkan pertama kali pada dunia oleh
Presiden Suharto pada Konferensi PBB dengan mengenakan busana batik.
Kerajinan batik memiliki nilai seni tinggi dan telah menjadi bagian dari
kebudayaan Jawa. Membatik bagi perempuan Jawa menjadi salah satu
mata pecaharian masa lalu dan dianggap sebagai pekerjaan yang eksklusif
karena membutuhkan ketelatenan dan ketekunan.
Ragam corak dan warna batik dipengaruhi oleh budaya asing
sehingga menghasilkan motif asal daerah dari batik itu sendiri. Mereka
memiliki khas masing-masing sesuai daerahnya. Budaya membatik
menjadi tradisi turun temurun dan membudaya di seluruh Indonesia.
Meski batik itu identik dengan Jawa, namun sekarang menjadi pakaian
nasional bagi masyarakat Indonesia. Ada beberapa motif dan ragam batik
yang dapat mewakili status dan asal seorang. Penggunaannya bukan lagi
menjadi pakaian adat tetapi telah mengikuti perkembangan mode busana
yang bisa dikenakan oleh pria dan wanita. Menurut Tuti dalam
Ensiklopedi Batik Indonesia (2018), dari Sabang sampai Merauke
menghasilkan corak batik yang beragam dan beraneka warna. Propinsi
Jawa Timur memiliki 35 kabupaten masing-masing mempunyai corak dan
ragam batik sendiri. Sehingga bisa dikatakan bahwa motifnya lebih dari
30 jenis yang tersebar di seluruh kabupaten yang ada di Jawa Timur.
Masing-masing corak memiliki filosofi sendiri-sendiri, seperti halnya batik
asal Kabupaten Ngawi.
Budaya membatik di Kabupaten Ngawi memiliki ciri dan corak khas
tersendiri. Motifnya tersebar diseluruh wilayah Ngawi, Tempurrejo
misalnya. Daerah ini terletak di Kecamatan Widodaren Kabupaten Ngawi
adalah merupakan salah satu dusun di Desa Banyubiru yang memiliki
sentra kerajinan batik yang dikelola secara turun temurun. Motif
gringsing, sidomukti, sidoluhur dan kawung pernah diproduksi di
Tempurejo. Motif batik gringsing mengandung makna adat istiadat dan
kaidah moral yang bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Batik sebagai karya seni yang indah dan mempunyai banyak filosofi
dalam setiap coraknya. Gambar atau corak batik biasanya diambil dari
peristiwa besar untuk mengenang peristiwa tersebut. Maka dari itu setiap
corak batik memiliki arti atau filosofi tersendiri. Pada zaman dahulu batik
dengan Motif Lereng atau Parang sangat jarang diproduksi. Hal ini
dikarenakan motif ini tidak sembarangan orang mengenakannya hanya
dipakai oleh kaum bangsawan dan lingkungan kerajaan serta tidak
diperjualbelikan. Namun sekarang seiring berkembangnya zaman motif
tersebut sudah biasa dipakai oleh masyarakat biasa dari seluruh kalangan.
Batik ini tercipta dari pemikiran-pemikiran leluhur masyarakat Jawa
khususnya dan umumnya seluruh wilayah Indonesia terutama di
lingkungan istana. Sehingga kalau diruntut dalam sejarahnya hingga kini
memiliki beragam nilai kearifan local dan makna dibalik gambar dan
coraknya. Batik sebagai salah satu warisan budaya memerlukan
pemaknaan yang lebih dalam, tidak cukup hanya dihadirkan secara fisik
atau material, melainkan sebagai wadah untuk menggali nilai-nilai
filosofis atau non material yang terkandung didalamnya.
Permasalahan yang muncul dalam penulisan ini lebih memperdalam
jenis motif batik gringsing karena di Kabupaten Ngawi khsususnya
daerah Tempurrejo sampai sekarang masih mempertahankan dan
memproduksi motif ini. Sehingga muncul pertanyaan apa makna dibalik
batik gringsing di Tempurrejo. Menarik untuk dikaji lebih dalam sehingga
tujuan penulisan ini untuk mengetahui tentang nilai filosofi dari motif dan
corak batik gringsing.

Kajian Pustaka
Tinjauan pustaka diperlukan untuk mempertegas terhadap topik
yang telah diteliti sebelumnya dan memperkuat penelitian. Mendasar
pada studi pustaka, bermaksud mengeksplore salah satu batik gringsing
Tempurrejo, Kecamatan Widodaren, Kabupaten Ngawi. Tahun 1995
sebagai awal Suwandi dalam meretas produksi batik dengan meneruskan
usaha keluarga.
Goresan tinta pada kain panjang tentunya menarik perhatian bagi
para pecinta batik. Berbagai motif tentu memiliki gaya tersendiri. Artikel
tentang batik menjadi dasar pencerahan tentang batik motif gringsing.
Artikel Yunita Anggiasari yang berjudul “Batik Gringsing Kebumen”
membantu untuk mengemas batik gringsing Tempurrejo Ngawi yang
akan disusun. Artikel Kartini Pramono berjudul “Simbolisme Batik
Tradisional” menggambarkan filosofi batik. Adanya kesamaan topik
dengan makna dan nilai-nilai moral dalam goresan tangan di kain
panjang. Dua rujukan literasi akan mendukung keeksistensian batik
gringsing di Tempurrejo, sehingga mampu melestarikan produksinya.

Metode Penelitian
Penulisan ini diharapkan mampu mengupas tuntas tentang batik
gringsing dengan pemaknaan yang dalam mengenai nilai-nilai filosofis
yang terkandung dalam coretan batik gringsing. Untuk mengupas batik
gringsing perlu adanya kerangka berfikir agar mampu menggambarkan
batik gringsing secara detail. Batik gringsing diproduksi di Dusun
Tempurrejo Desa Banyubiru Kabupaten Ngawi sudah beroperasi sejak
tahun 1995 oleh Suwandi. Ada keunikan tersendiri bagi batik-batik
tradisional seperti batik kawung, sidomukti, sidoluhur, gringsing, parang
rusak dan lain-lain. Namun di tempat Suwandi lebih banyak
memproduksi batik gringsing karena lebih laku dibanding batik
tradisional lainnya (Hasil wawancara Suwandi, 2021). Alasannya bahwa
batik parang, sidoluhur, sidomukti adalah batik yang hanya dikenakan
oleh lingkungan keraton, sementara batik gringsing lebih merakyat.
Untuk mengungkap tentang nilai-nilai filososfi batik gringsing
Tempurrejo menggunakan prinsip 5 W + 1H untuk mengetahui apa, siapa,
dimana, kapan, mengapa dan bagaimana dari peristiwa masa lalu.
Kerangka pemikiran sejarah menggambarkan rekonstruksi peristiwa masa
lalu dengan menyangkut berbagai referensi dan konsep dalam membuat
suatu analisis (Sartono, 1992: 2) Penelitian dilakukan dengan
menggunakan sumber primer dengan melakukan wawancara langsung
kepada Suwandi pemilik usaha batik Tempurrejo Kabupaten Ngawi.
Sekunder sebagai penyempurna sumber primer dengan mencari artikel,
jurnal dan buku-buku penunjang tentang batik.

Pembahasan
Tempurrejo adalah sebuah dusun di Desa Banyubiru yang berada di
wilayah Kecamatan Widodaren, Kabupaten Ngawi Propinsi Jawa Timur.
Daerah ini menjadi sentra batik sudah puluhan tahun yang lalu. Warna
dan corak batik di Tempurrejo sangat khas. Awal berdiri hanya menjadi
pekerjaan sampingan yang tidak entrepreneurship. Produksinya pun hanya
tergantung pesanan dan itupun batik tradisional seperti batik kawung,
sidomukti, sidoluhur dan gringsing. Karena sampingan maka
perkembangannya pun sangat lambat dan tak menjanjikan.
Suwandi memulai usahanya tahun 1995 dengan kembang kempis.
Keturunan generasi ke-2 dari nenek moyangnya terus melanjutkan
usahanya. Pembatik Suwandi ingin mempertahankan batik tradisional di
tengah arus persaingan batik-batik modern. Pengalaman proses
pembatikan selama 6 tahun di Solo mampu memberikan pelatihan yang
tidak sebentar. Setelah kembali ke Tempurrejo, tahun 1995 memulai
membatik dengan keahlian yang dimiliki. Motif tradisional menjadi
primadona batik Tempurrejo masa itu. Sementara motif gringsing sangat
disukai konsumen diantara kawung, sidomukti dan sidoluhur. Selain
gringsing, batik tradisional lainnya biasa dikenakan saat acara formal,
upacara ritual, dan acara kegiatan adat istiadat setempat. Poduksi batik
tradisional terutama motif gringsing di Tempurrejo bertujuan untuk
melestarikan budaya yang menjadi ikon budaya nasional. Motif-motif
pada kain tempo dulu menyimpan banyak makna historis.
Sampai perkembangan batik masa abad ke-20, perdagangan batik
berlangsung lamban namun pasti. Artinya perdagangan batik hanya
memenuhi kebutuhan yang masyarakat yang membutuhkan. Seperti
acara hajatan mantenan, karena menurut masyarakat Jawa berpendapat
kalo belum beli dan memakai batik gringsing dinyatakan belum Jawa
tulen. Batik gringsing memang betul-betul simbul Jawanisasi (Hasil
wawancara Suwandi, 2021). Namun abad 21 yang biasa dikenal sebagai
abad melenial mengubah fungsi dan kegunaan batik. Bukan hanya
digunakan sebagai bawahan baju, namun menjadi tren mode sebagai
busana nasional.
Pembuatan batik gringsing Tempurrejo digoreskan kain warna putih
bernama kain mori. Motif batik dibentuk menggunakan malam lilin yang
dicairkan selanjutnya dengan alat canting dipoleskan ke kain mori.
Sementara motif gringsing telah digambar dalam kertas besar
(Jawa=diblad). Kain yang telah dilukis dengan malam kemudian
dicelupkan dengan warna yang diinginkan. Proses pewarnaan kain
dicelupkan ke bahan kimia untuk melarutkan malam/lilin. Batik
gringsing Tempurrejo termasuk jenis batik tulis yang dapat diselesaikan
selama 5 hari selanjutnya proses pencelupan ke bahan kimia sampai siap
jual bisa mencapai 2 – 3 bulan. Adapun alat yang digunakan dalam
membatik meliputi canting, wajan kecil, kompor/ keren, malam/lilin, kain
dan motif gambar (Agung Suroso, 2019: 15). Seorang pembatik akan
duduk memegangi kain dengan tangan kiri dan tangan lain memegang
canting. Sedangkan kain mori dipasang pada gawangan. Biasanya terbuat
dari kayu atau bambu. Malam dipanaskan di atas wajan kecil dengan api
kecil (Mahudi, 2008: 30). Malam sebagai bahan batik memiliki berbagai
jenis, antara lain malam kuning, malam cokelat dan malam putih. Ketika
dipanaskan akan menghasilkan goresan tangan dengan cekatan melukis
di atas kain mori. Motif gambar ada yang kecil seperti sisik ikan,
sedangkan yang besar terkadang melukis flora, fauna dan gambar
binatang.

Makna dan Filosofis Batik Gringsing


Batik bukan sekedar lukisan yang digoreskan pada sebuah kain mori
dengan menggunakan canting, melainkan ada makna yang tersembunyi.
Baik nilai-nilai moral maupun filosofi kehidupan. Ada beberapa motif
sengaja digunakan untuk menunjukkan status pemiliknya. Ada juga
hanya boleh dikenakan oleh kalangan tertentu misalnya raja dan
bangsawan, sementara rakyat tidak diperkenankan. Di keraton Jogjakarta
dan Surakarta motif batik dalam setiap gambarnya memiliki makna. Hal
ini berhubungan dengan arti atau makna filosofis di kebudayaan Hindu-
Jawa. Kerajaan Mataram di bawah pemerintah Sultan Agung, batik
berfungsi sebagai sarana perlengkapan pakaian kebesaran keraton. Nilai
sakral hanya akan dikenakan saat ritual tertentu. Motif kawung,
sidomukti dan parang hanya digunakan oleh kalangan keluarga keraton.
Setiap motifpun memiliki fungsi dan makna tersendiri. Motif sidomukti
melambangkan kemakmuran dan berkecukupan, sehingga digunakan
oleh golongan bangsawan. Motif parang dipakai untuk acara pesta atau
perayaan karena motifnya ramai. Motif wahyu tumurun hanya digunakan
untuk acara jumenengan. Motif kawung yang bercorak lembut biasanya
dipakai untuk acara berkabung (Agung Suroso, 2019: 6).
Sejak adanya Perjanjian Giyanti 1755 dan Kerajaan Mataram pecah
menjadi Kasultanan Jogjakarta dan Kasunanan Surakarta corak busana
batikpun juga mengalami perubahan dengan memunculkan corak batik
gagrak Surakarta. Hal ini merubah nilai-nilai filosofi, budaya dan tatanan
dalam penggunaan batik. Antara raja, bangsawan dan rakyat biasa tidak
ada pembedanya. Namun Surakarta masih memberikan aturan larangan
batik yang tidak diperkenankan oleh rakyat biasa. Motif batik juga
dijadikan ukuran status dan pangkat seorang bangsawan dan pejabat
(Agung Suroso, 2019 : 10).
Motif-motif tersebut menjadi pusaka warisan leluhur karena proses
pembuatannya tidak main-main dan perlu melibatkan perasaan. Masa
kerajaan pembuatan ini tak jarang untuk membuat selembar kain batik
harus melalui serangkaian ritual, seperti puasa dan bersemedi. Dengan
kegiatan tersebut mendapatkan ilham dalam menciptakan motif batik dan
mengandung filosofis. Batik selalu menyertai berbagai ritual manusia
mulai dari lahir, remaja, menikah, sampai meninggal. Kehadirannya
sering dipakai dalam kegiatan adat, tradisi dan ritual budaya masyarakat
setempat. Motifnya dicipta untuk memberi pesan dan harapan agar
membawa kebaikan, kesejahteraan dan kebahagiaan si pemakai.
Jenis dan corak batik gringsing memiliki motif yang banyak corak
dan variasinya sesuai dengan filosofi masing-masing daerah (Mahudi,
2008: 8). Masa Kerajaan Majapahit, batik gringsing muncul dalam Kitab
Negarakertagama dan Serat Pararaton. Batik gringsing menjadi motif
tertua dengan ciri khas yang memiliki pusat atau yang disebut sedulur
papat pencer lima. Sedulur papat dimaknai dengan empat makluk gaib
yang tidak kasat mata (metafisika). Mereka adalah saudara yang setia
menemani hidup manusia, mulai dilahirkan ke dunia hingga meninggal
dunia menuju ke alam kelanggengan (Deden Dedi, 2009: 3). Filosofinya
adalah keseimbangan, kemakmuran dan kesuburan. Keseimbangan
duniawi dan alam akhirat merupakan kodrat yang tak terelakkan.
Gringsing berasal dari “gring” yang berarti sakit. “Sing” bermakna tidak.
Secara terminologi batik gringsing adalah tidak sakit. Sehingga pemakai
batik gringsing diharapkan seperti makna yang tersirat dalam pola dan
gambarnya. Pemaknaan pesan yang mendalam agar manusia terhindar
dari segala penyakit. Batik gringsing diciptakan, terkandung keindahan
visual dan keindahan jiwa atau keindahan filosofis yang berguna bagi
kebaikan hidup manusia.
Motif gringsing digambarkan dengan sisik ikan menjadi latar
belakang. Setiap sisi ikan yang dilukiskan dengan warna putih dengan
garis pembatas soga dan diisi dengan cecek. Pewarnaan yang
mendominasi batik gringsing adalah hitam, biru, cokelat soga dan putih.
Warna cokelat cenderung merah memberikan pesan api. Berarti
memberikan makna semangat yang membara. Warna biru dan hitam
memberi pesan tanah yang kalem tapi mampu menyerap segala hal.
Warna putih mengacu pada makna air dan udara yang berarti suci dan
netral. Ketiga warna pada batik gringsing berarti symbol sumber hidup
(kehidupan). Dalam agama Hindu tiga unsur tersebut dapat diartikan
Brahma (coklat merah), Vishnu (biruo, hitam), Ciwa (putih) yang artinya
sumber kehidupan (Kartini Pramono, 1995: 29).
Batik dengan motif gringsing memiliki persyaratan yang harus
dipenuhi, yaitu seret (plisir/ tepian yang tidak berhias, berwarna putih
yang terdapat pada ujung kiri-kanan kain batik); isen-isen (berwujud titik-
titik, garis-garis, gabungan titik dan garis, yang berfungsi untuk
mengisi/menghias ornamen / hiasan yang terdapat pada batik tersebut);
kemada (tepian yang ada gambar/motif hiasan); ragam hias lainnya yang
lazim terdapat pada batik tradisional, misalnya: kawung, parang rusak,
semen, grompol, nitik, sidomukti.
Ragam hias batik gringsing pada umumnya dipengaruhi oleh
beberapa faktor seperti letak geografis daerah pembuat batik yang
bersangkutan, sifat dan tata penghidupan daerah; kepercayaan dan adat
istiadat yang ada pada di daerah yang bersangkutan; keadaan alam
sekitarnya, termasuk flora dan fauna dan adanya kontak antar daerah
pembatikan. Secara garis besar ada dua ragam hias batik, yaitu ragam hias
geometris dan non geometris. (Kartini Pramono, 1995 : 31). Yang masuk
garis geometris meliputi: a) garis miring atau parang, misalnya parang
rusak, parang barong, parang parung, parang parikesit, parang wenang,
parang gondosuli; b) garis silang atau ceplok dan kawung, misalnya
kawung beton, kawung picis, kawung prabu, madu bronto, udan liris,
rujak senthe; c) anyaman dan limar, misalnya anyaman, nam tikar,
limaran, dan limar ketangi.
Sementara yang non geometris : a) semen terdiri flora, fauna, meru,
lar dan sejenis yang ditata secara serasi, seperti sidomukti, sidoluhur,
sidoasih, semen Yogya, semen romo, semen sinom; b) lunglungan
(tumbuh-tumbuhan menjalar), seperti lunglungan, kembang kantil,
kembang pudak, kembang semak, lung bentul, lung gadung; c) buketan
(motif bunga), seperti cokrokuswno, ceplok kelan, grompol, purbonegoro,
truntum, buntal; d) motif satwa dalam kehidupan (fauma), seperti alas-
alasan, baita kandas, beri (garuda), peksi huk, lokcan, mega mendung.
Disebutkan pula pada masa Kerajaan Majapahit, bahwa Patih Gajah
Mada selalu mengenakan kain batik motif gringsing pada saat berperang.
Hal ini dikarenakan motif gringsing, yang menyerupai baju besi, diartikan
sebagai suatu penolak senjata tajam atau kekebalan. Gambar, corak dan
warna yang tersurat dalam batik gringsing mengisyaratkan dapat
memberikan manfaat bagi pembentukan watak dan kepribadian generasi.
Ajaran-ajaran etika, estestika dan moral dapat dipakai sebagai pedoman
bagi masyarakat pendukungnya.
Makna batik tradisional seperti batik motif kawung, sidomukti,
sidoluhur dan sidomulya lebih berpola geometris, sehingga memiliki
harapan untuk dikabulkannya segala permohonan, mencapai kedudukan
yang tinggi, terpenuhi segala materi, dan mendapatkan petunjuk dari
Tuhan. Batik tradisional gringsing lebih berpola non geometris sehingga
motif dan corak lebih ke arah gambar flora, fauna, lunglungan, buketan
dan satwa. Motif gringsing ini lebih ke gambar-gambar daunan, buket
cepok dan satwa. Makna yang ditimbulkan adalah memohon untuk tidak
sakit dan selalu menjaga ketentraman serta jauh dari mara bahaya.
Motif batik gringsing yang banyak diproduksi di Tempurrejo
Kabupaten Ngawi dapat dilihat pada gambar berikut.
Gambar 1. Motif batik gringsing Tempurrejo

Batik gringsing Tempurrejo memiliki kerumitan dan kehalusan. Di


beberapa daerah juga terdapat batik gringsing yang bentuknya hampir
sama antar daerah. Batik gringsing Tempurrejo memiliki sistem simbol
yang diciptakan adanya hasrat untuk menyampaikan pesan-pesan yang
diwariskan kepada generasi penerus. Jika dilihat batiknya maka akan
terlihat perbedaan yang terletak pada ukuran batik gringsing, warna,
corak dan juga motif penambahannya. Mayoritas pada motif gringsing
terdapat daunan dengan lunglung yang panjang. Motif bunga buket dan
ceplok juga menghiasi coraknya. Aneka satwa seperti peksi dan lockan
menambah motifnya yang bervariasi.
Pewarnaan batik gringsing memunculkan makna tersendiri. Warna
hitam mendominasi, biru tua, coklat soga agak kemerahan menambah
variasi kecantikan warna. Sedangkan warna putih memberikan warna
bersih, murni bagi gringsing agar kelihatan hidup. Pemaknaan dalan
warna biru tua sama dengan hitam memberikan gambaran simbul motif
aluamah yang berasal dari tanah. Perpaduan warna merah dan hitam
mengadung arti keluhuran budi, bahagia dan arif bijaksana, waskita,
jatmiko dan luhur. Namun bisa diartikan juga sebagai keteguhan dalam
perjuangan atau sebagai sarana doa dan pengharapan pembuatnya
kepada Tuhan. Warna merah (soklat soga) disimbulkan motif lidah api,
pemaknaannya pada dorongan semangat kerja, memenangkan
pertandingan, perjuangan, persaingan dan produktivitas. Warna putih
berkaitan dengan unsur udara memiliki kesan suci, bersih, murni,
tentram, bahagia, luhur dan segala sesuatu yang mengarah kebaikan.
Ciri batik gringsing Tempurrejo terletak pada motif ragam hias sisik
ikan atau menyerupai mata ikan selanjutnya ditambah dengan sulur,
bunga, tumbuhan dan daun. Batik gringsing Tempurrejo memiliki makna
sebagai harapan keselamatan hidup dengan terhindar dari berbagai
kesulitan.
Fungsi batik gringsing Tempurrejo tidak terbatas pada
penggunaannya. Batik ini dapat dipakai saat pergi hajatan, pesta atau
acara ritual Jawa (mitoni, peringatan 7 bulanan ibu hamil) dan
menggendong bayi saat bayi lahir (Yunita A, 2015: 19)

Gambar 2. Selendang untuk menggendong bayi.

Menurut Suwandi pemilik batik gringsing Tempurrejo, bahwa


masyarakat sekitar jika mengadakan hajatan mantenan harus punya batik
motif ini. Jadi belum dikatakan sebagai orang Jawa tulen kalau belum
membeli batik gringsing. Artinya bahwa kepemilikan batik gringsing
Tempurrejo sangat dipercaya akan terhindarnya dari berbagai kesuliatan.

Gambar 3. Motif batik gringsing Tempurrejo

Kesimpulan
Batik gringsing masuk batik tradisional yang merupakan warisan
leluhur yang perlu dilestarikan dan dikembangkan. Batik ini menjadi
identitas Jawa yang menunjukkan ciri khas karena bisa menunjukkan
status sosial. Pengrajin batik biasanya dilakukan secara turun temurun
dan memiliki bakat dalam melukis di atas kain putih. Keterampilan ini
tentunya tidak gampang. Mereka butuh keahlian dalam menggoreskan
cantingnya. Bakat pembatik juga mempengaruhi perasaan yang
dituangkan. Terkadang harus melewati ritual tertentu untuk
menghasilkan sebuah ragam hias dan motif.
Ragam dan motif hias pada batik gringsing menggambarkan pesan
yang harus disampaikan kepada generasi penerus. Agar si pemakai
selamat dari berbagai bahaya dan kesulitan yang dialami. Simbol-simbol
pada batik gringsing memberikan lambang kemakmuran, kesejarahteraan
dan kebahagian. Motif sisik ikan atau mata ikan menjadi latar belakang
batik kemudian ditambah motif gambar bunga, tumbuhan dan daun
menunjukkan karakter masyarakat sekitar ataupun nilai-nilai.
Filosofi batik gringsing bagi si pemakai supaya tidak menderita
sakit, terbebas dari segala mara bahaya dan hidup untuk meraih
kemakmuran, kebahagiaan dan seterusnya. Pewarnaan dengan warna
mayoritas hitam, biru dan putih, melambangkan adanya ketegasan,
keabadian dan kearifan. Warna lain putih mengandung arti kesucian,
bersih, luhur dan tentram menjadi ciri khas batik gringsing. Warna coklat
soga seperti lidah api melukiskan adanya semangat kerja, perjuangan, dan
memenangkan dalam pertandingan.
Agar batik motif gringsing bisa bertahan dari modernisasi mode
pakaian, maka batik ini bisa dimunculkan dalam berbagai pameran di
tingkat kabupaten ataupun tingkat propinsi, termasuk fashion.
Mengadakan pelatihan bagi pengusaha agar bisa mengikuti
perkembangan batik nasional. Bekerja sama dengan sekolah di sekitar
untuk memberikan pelatihan siswa agar cinta dengan batik gringsing.
Selanjutnya membuatkan media social seperti website, facebook, youtube,
instagram, dan olshop.
DAFTAR PUSTAKA

Arsip
Piagam Penghargaan Tahun 2013
Piagam kerjasama dengan UNS
Surat Ijin Usaha Perdagangan tahun 2012

Buku dan Jurnal


Agung Suroso. 2017. Keunikan Teknik Batik Kayu. Klaten: Sakamitra
Deden Dedi. 2009. Sejarah Batik Indonesia. Bandung : PT Sarana Panca
Karya Nusa
Gabriela Lordy Darmaputri. Representasi Identitas Kultural Dalam Simbol-
Simbol Pada Batik Tradisional dan Kontemporer, dalam Jurnal
Commonline Departemen Komunikasi Vol. 4/ NO. 2. Surabaya:
Unair
Kartini Pramono. 1992. Nilai Kearifan Lokal Dalam Batik Tradisional Kawung
dalam Jurnal Filsafat Vol. 23, Nomor 2, Agustus 2013. Jogjakarta:
UGM
____________. 1995. Simbolisme Batik Tradisional dalam jurnal Filsafat No.
23 November 1995 Jogjakarta: UGM
Mahudi Soetarman. 2018. Mengenal Batik Tulis dan Cap Tradisional.
Surakarta: Widya Duta
Nico Thamiend R. 2006. Dinamika Sejarah. Jakarta: Yudhistira
Sartono Kartodirjdo. 1992. Pendekatan Ilmu-Ilmu Sosial dalam Metodologi
Sejarah. Jakarta : Gramedia
Sri Mustika. 2018. Melestarikan Batik Tradisional Rifa’iyah Sebagai Identitas
Budaya Komunitas Rifa’iyah dalam Jurnal Penelitian Komunikasi Vol.
21 No 1, Juli 2018. Jakarta : Univ. Hamka
Tuti Tresnawati. 2018. Ensiklopedia Batik di Indonesia. Klaten: Sahabat
Yunita Anggiasari. 2015. Skripsi “Batik Gringsing Kebumen”. Jogjakarta:
UNY
Wawancara
Wawancara dengan Bapak Suwandi, tanggal 2 Maret 2021 pukul 12.30
Lampiran 1.
Lampiran 2.
PROFIL PENULIS

Nama : INDARTI, S.S., M.Si.


NIP : 197612262006042013
Tempat/Tgl Lahir : Ngawi, 26 Desember 2021
Alamat : Pucangan RT 05 RW 02 Kecamatan Ngrambe
Kabupaten Ngawi Jawa Timur
Unit Kerja : SMA Negeri 1 Widodaren Ngawi
No HP : 081217580991

Anda mungkin juga menyukai