Anda di halaman 1dari 18

PERKEBUNAN TEMBAKAU ; LINTASAN SEJARAH DAN ARTINYA BAGI

MASYARAKAT BOJONEGORO

NELLY ANUGRAWATI

SMAN 1 BALEN – BOJONEGORO

JAWA TIMUR

2021

anugrawatinelly@gmail.com

1
Abstrak

Tembakau merupakan salah satu tanaman perkebunan yang menjadi komoditas utama untuk ekspor. Tanaman
tembakau merupakan salah satu tanaman tropis dari Amerika, dimana masyarakat pribumi menggunakannya
dalam upacara adat dan untuk pengobatan. Tembakau digunakan pertama kali di Amerika Utara dan masuk ke
Eropa melalui Spanyol. Tanaman tembakau bisa dibudidayakan di daerah dataran tinggi maupun dataran
rendah. Karakteristik wilayah Bojonegoro sangat cocok untuk budidaya tanaman tembakau. Mula-mula
tembakau mulai diusahakan di Bojonegoro pada sekitar tahun 1836 dan lebih gencar lagi pada tahun 1850-an,
Pemerintah Hindia Belanda mengadakan kontrak dengan pengusaha Eropa untuk menyediakan tanaman
tembakau yang telah dikeringkan, diobati dan disortir untuk di ekspor.

Pengolahan tembakau di perkebunan-perkebunan menggunakan tenaga-tenaga rakyat dengan upah yang


sedikit. Pemerintah menyewa tanah petani untuk menanam tembakau lewat para kontraktor di daerah
tembakau. Kontraktro membayar sewa tanah kepada petani dengan harga yang relative kecil. Kemudian petani
tersebut menanam tembakau yang nantinya ketika panen daun tembakau yang masih hijau dijual kepada para
kontraktor. Kontraktor kemudian mengeringkan daun-daun yang telah dibeli dari petani dan menjual 50%
kepada pemerintah dengan harga yang telah ditentukan. Proses penanaman tembakau membutuhkan banyak
tenaga kerja. Tenaga kerja ini lebih dikenal dengan istilah buruh. Bidang pekerjaan dan juga jenis kelamin para
buruh menentukan berapa upah yang akan diterima mereka. Sistem upah buruh yang dilakukan pada
perkebunan tembakau di Bojonegoro ini menggunakan system harian. Penggunaan system upah harian ini
membuat buruh mendapatkan upah tetap dan memungkinkan untuk bekerja secara longgar tanpa tergesa-gesa
untuk mengejar hasil yang sebanyak-banyaknya

Industri kretek di Bojonegoro mula-mula didirikan oleh seorang pengusaha tembakau Tionghoa daro
Padangan yang mulai memikirkan untuk memanfaatkan sisa-sisa tembakau yang tidak terjual. Maka pada
tahun 1927 pengusaha tersebut mendirikan sebuah pabrik kecil. Satu tahun kemudian pengusaha tersebut
mendirikan sebuah pabrik rokok kecil yang kedua untuk pembuatan “Rokok Jawa” yang hanya berisi tembakau
tanpa campuran. Selain memproduksi Rokok Jawa, pengusaha tersebut juga membuat “Rokok Cengkeh”.
Dengan munculnya perkebunan-perkebunan serta industry-industri Pengolahan tembakau tersebut ternyata
dapat merubah kehidupan ekonomi masyarakat Bojonegoro. Banyak masyarakat terlibat dalam penanaman
sampai dengan Pengolahan tembakau. Kehidupan ekomoni berangsur menjadi lebih baik dan dapat menopang
kehidupan para buruh serta para petani tembakau secara signifikan.

Kata kunci : tembakau, buruh, Bojonegoro

2
A. Latar Belakang
Masyarakat agraris di Indonesia mengenal system kebun sebagai
bagian dari system perekonomian pertanian tradisional. Di dalam struktur
ekonomi pertanian tradisional, usaha kebun sering dijadikan sebagai usaha
tambahan atau menjadi penyambung hidup bagi pertanian pokok, terutama
untuk kegiatan pertanian pangan. Sistem kebun biasanya diwujudkan dalam
bentuk usaha kecil, tidak padat modal, penggunaan lahan terbatas, sumber
tenaga berpusat pada anggota keluarga dan tidak berorientasi pada pasar.
Sistem kebun merupakan system pertanian masyarakat agraris yang
masih bersifat substensi, dimana hasil dari usaha kebunnya hanya digunakan
untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari tanpa adanya orientasi
kepada pasar komersial. Berbeda dengan system perkebunan yang
merupakan bagian dari system perekonomian pertanian komersial dan
kapitalistik (Sartono Kartodirjo dan Djoko Suryono, 1991 : hlm. 4).
Pada masa pemerintahan colonial Hindia-Belanda di Indonesia,
perkebunan sengaja didirikan untuk kepentingan colonial. Perkembangan
sejarah perkebunan di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari sejarah
perkembangan kolonialisme, kapitalisme dan modernisasi. Perkebunan
dikenalkan oleh pemerintah Hindia Belanda di Indonesia sebagai wujud dari
perkembangan kapitalisme barat yang dikenal sebagai system perekonomian
komersial. Kegiatan perekonomian Hindia Belanda selama abad ke-19 hingga
awal abad ke-20 bertumpu pada sector perkebunan yang hasilnya diekspor ke
luar negeri.
Salah satu system perkebunan yang dikembangkan Belanda di
Indonesia adalah perkebunan tembakau. Tanaman tembakau merupakan
salah satu tanaman tropis dari Amerika, dimana masyarakat pribumi
menggunakannya dalam upacara adat dan untuk pengobatan. Tembakau
digunakan pertama kali di Amerika Utara dan masuk ke Eropa melalui
Spanyol. Pada umumnya tanaman tembakau hanya digunakan untuk
kepentingan kesehatan. Di Amerika tanaman tembakau digunakan sebagai
entheogen dan setelah masuk ke Eropa tanaman tembakau menjadi sangat
popular dan digunakan sebagai bahan perdagangan, sehingga tambakau
menyebar ke seluruh Eropa, Afrika, Asia dan Australia. (Soegijanto Padmo
dan Edhie Djatmiko, 1991 : hlm. 28).
Tembakau merupakan salah satu tanaman perkebunan yang menjadi
komoditas utama untuk ekspor. Sebelumnya VOC (Vereenigde Oost
Compagnie) sebagai organisasi perdagangan Belanda di Hindia Belanda tidak

3
terlalu menaruh perhatian terhadap tembakau sebagai komoditas penting
untuk perdagangan. VOC lebih memperhatikan tanaman rempah-rempah,
kopi, nila dan lain sebagainya untuk diperdagangkan, karena komoditas
itulah yang paling laku di pasaran dunia (D.H Burger, 1957 : hal 111). Baru
pada tahun 1824, tembakau Hindia-Belanda mulai mendapat perhatian dari
bangsa Eropa. Daun-daun tembakau dari Hindia Belanda ternyata memenuhi
syarat untuk industry-industri tembakau di Eropa dan berpeluang
menghasilkan keuntungan bagi Belanda (Soegijanto Padmo, 1990 : hlm. 326).
Oleh karena itu, pada masa cultuurstelsel (tanam paksa) yang digagas oleh
Van den Bosch mulai diterapkan di Hindia Belanda, tanaman tembakau
mulai dibudidayakan secara luas di Jawa, Madura dan beberapa daerah di
luar Jawa.
Tanaman tembakau bisa dibudidayakan di daerah dataran tinggi
maupun dataran rendah. Namun daerah tempat penanaman akan
mempengaruhi kualitas dari daun yang dihasilkan, sehingga tembakau yang
ditanam di daerah dataran tinggi akan berbeda kualitasnya dibandingkan
dengan tembakau yang ditanam di dataran rendah. Pengolahan tembakau
dibagi dalam dua cara, yaitu tembakau rajangan dan tembakau krosok.
Tembakau rajangan adalah tembakau yang diolah sendiri oleh petani
tembakau dan dipasarkan dalam keranjang-keranjang. Tembakau jenis ini
hanya untuk konsumsi sendiri dan tidak layak untuk industry-industri
tembakau. Sehingga tembakau rajangan tidak cocok untuk diekspor ke Eropa.
Sedangkan tembakau krosok merupakan tembakau yang daunnya
dikeringkan kemudian difermentasi, disortasi dan dikemas untuk diekspor ke
Eropa. Tembakau jenis krosok tersebut diolah kembali menjadi sigaret-sigaret
dan cerutu-cerutu (Soegijanto Padmo, 1990 : hlm 323).
Tembakau krosok dapat tumbuh dengan baik di daerah dataran
rendah, salah satunya adalah Bojonegoro. Bojonegoro merupakan daerah
yang menjadi pusat pembudidayaan tanaman tembakau di Karisedenan
Rembang. Daerah ini menjadi pusat pembudidayaan tanaman tembakau
karena karakteristik wilayahnya yang sesuai dengan habitat tanaman
tembakau itu sendiri (Siti Mahmudah, 2020 : hlm 5). Karya ini akan
membahas tentang Perkebunan Tembakau di Bojonegoro pada masa
kolonialisme Hindia-Belanda beserta kehidupan para petani serta buruh yang
terlibat di dalamnya. Sampai saat ini buku yang mengkaji tentang
perkebunan tembakau di Bojonegoro khususnya masih sangat jarang ditemui.

4
B. Metodologi Penulisan
Ilmu sejarah mempunyai metode sendiri dalam mengungkapkan
peristiwa sejarah masa lampau agar menghasilkan karya sejarah yang kritis,
ilmiah dan obektif. Metode penelitian sejarah adalah seperangkat aturan dan
prinsip sistematis untuk mengumpulkan sumber-sumber sejarah secara
efektif, menilainya secara kritis dan mengajukan sintesis dari hasil-hasil yang
dicapai dalam bentuk tulisan (D. Abdurrahman, 1999 : 44).
Metode penelitian yang digunakan penulis adalah metode sejarah dari
Kuntowijoyo. Kuntowijoyo membagi metode penelitian sejarah dalam lima
tahapan yaitu: 1. Pemilihan topik, 2. Pengumpulan sumber, 3. Verifikasi
(kritik sejarah, keabsahan sumber), 4. Interpretasi analisis dan sintesis, dan 5.
Penulisan atau historiografi (Kuntowijoyo, 2010 : hlm. 90).
Secara ringkas, tahapan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Pemilihan Topik
Pemilihan topik harus sesuai dengan minat peneliti yang mempunyai
kedekatan emosional, sehingga penulisan sejarah akan bersifat subjektif.
Akan tetapi, dalam pemilihan topik penelitian juga harus memiliki
kedekatan intelektual, sehingga penulisannya lebih objektif. Topik
penelitian yang ditentukan penulis yaitu tentang perkebunan tembakau di
Bojonegoro pada masa kolonialisme Hindia Belanda.
2. Pengumpulan Sumber
pengumpulan sumber atau heuristik yaitu suatu usaha untuk menemukan
dan mengumpulkan data dari sumber-sumber sejarah. Sumber tersebut
dapat berupa sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer yaitu
kesaksian seorang saksi dengan mata kepala sendiri atau saksi yang
dengan pancaindera yang lain, yang mana saksi tersebut merasakan
kejadian tersebut, atau dengan alat mekanis seperti diktafon, alat yang
hadir pada peristiwa yang diceritakannya. Di dalam pencarian data terkait
dengan permasalahan mengenai perkebunan tembakau di Bojonegoro,
maka dilakukan wawancara kepada masyarakat Bojonegoro, khusunya
petani tembakau rakyat , para buruh di gudang-gudang tembakau dan
juga pemilik gudang tembakau di wilayah Bojonegoro. Sumber sekunder
diambil dari apa saja yang bukan merupakan saksi pandangan mata,
seperti orang yang tidak menyaksikan langsung kejadian peristiwa
tersebut. Sumber sekunder juga dapat diperoleh melalui buku-buku. Salah
satu buku yang menjadi sumber utama sebagai acuan adalah Buruh
Perkebunan Tembakau Bojonegoro 186-1939 karya Siti Mahmudah. Selain itu

5
penulis juga merujuk pada buku karya C.L.M Penders yang berjudul
Bojonegoro 1900-1942 A Story of Endemic Poverty in North-East Java-Indonesia.
3. Verifikasi (kritik sumber)
Kritik sumber adalah proses pencapaian untuk menganalisis data-data
atau sumber-sumber sejarah yang di berikan kepada para penelitian agar
diuji terlebih dahulu validitas dan reliabilitasnya, sehingga data-data
tersebut sesuai fakta-fakta sejarah. Sumber yang dikumpulkan adalah
masih bersifat mentah, maka sangat pentingnya verifikasi ini karena
sumber-sumber tersebut harus ketahap seleksi yang mana diseleksi
berdasarkan topik yang telah ditentukan sebagai masalah penelitian agar
dapat memudahkan untuk memasuki tahap analisis data. Tujuan
verifikasi ini supaya mengetahui keabsahan sumber. Pada tahap verifikasi,
penelitian harus memiliki sifat berhati-hati dalam mengambil sumber.
Dalam sumber lisan, kebanyakan narasumber tidak akan mengaku
dengan keadaan yang sebenarnya terjadi, ada juga yang melebihlebihkan
perannya
4. Interpretasi
interpretasi disebut juga penafsiran atas fakta-fakta yang diambil dari data
yang valid. Interpretasi itu ada dua yakni analisis dan sintesis
menguraikan dan menyatukan. Menganalisis sebuah sumber dengan
mencari fakta-fakta yang berada di lapangan kemudian setelah
memperoleh fakta tersebut maka akan dilakukan sintesis yang berarti
menyatukan dengan pengumpulan sumber yang terpecaya tersebut itu
dinamakan fakta, yang selanjutnya akan dikonstruksi dan dijelaksan
secara utuh.
5. Historiografi
Terakhir yaitu tahap penulisan atau historiografi. Historiografi
merupakan cara penulisan, pemaparan atau pelaporan hasil penelitian
sejarah yang telah dilakukan. Layaknya laporan penelitian ilmiah,
penulisan hasil penelitian sejarah hendaknya dapat memberikan
gambaran yang jelas mengenai proses penelitian dari awal perencanaan
sampai dengan akhir yakni kesimpulan. Berdasarkan penulisan sejarah itu
pula, akan didapat nilai apakah penelitian itu berlangsung sesuai dengan
prosedur yang dipergunakan ataukah tidak, apakah sumber atau data
yang mendukung penarikan kesimpulan memiliki validitas dan
reliabilitas yang memadai ataukah tidak dan sebagainya. Jadi, dengan
penulisan itu akan dapat ditentukan mutu penelitian sejarah itu sendiri

6
 
C. Pembahasan
1. Kondisi Geografis Bojonegoro
Kabupaten Bojonegoro menjadi daerah paling ujung barat dari
Provinsi Jawa Timur dan berbatasan langsung dengan Kabupaten Blora
Jawa Tengah. Bengawan Solo menngalir dari barat sampai ujung timur
melalui sisi utara Bojonegoro. Bojonegoro sendiri terjepit diantara
kabupaten-kabupaten lainnya, sebelah utara ada Kabupaten Tuban,
sebelah barat Kabupaten Blora, Sebelah selatan Kabupaten Ngawi,
Madiun dan Nganjuk serta sebelah timur ada kabupaten Lamongan.
Dilihat dari letak geografis, maka Bojonegoro bukanlah daerah strategis
dari segi pariwisata. Sangat berbeda dengan daerah-daerah yang
memiliki garis pantai, dimana perkembangan pariwisatanya dapat
berjalan dengan cepat. Wilayah Bojonegoro sebagian besar adalah
pegunungan kapur yang kering dan ditanami pohon jati yang juga
menjadi komoditas utama pendapatan daerah dari sektor kehutanan.
Selain itu, keberadaan cadangan minyak bumi yang terkandung di
wilayah Bojonegoro menjadikan daerah ini menjadi panas dan terasa
kering.
Pada tanggal 17 Februari 1828 pemerintah Kolonial Belanda
mengeluarkan sebuah keputusan mengenai pendirian wilayah baru yang
dinamakan Rajekwesi Baru. Wilayah tersebut berada 5 km sebelah utara
desa Kebo Gadung di selatan Sungai Bengawan Solo. Tidak berselang
lama kemudian, melalui keputusan Komisaris Jendral Hindia Belanda
yang tertanggal 25 September 1828 No. 14, menyatakan bahwa daerah
yang awalnya bernama Rajekwesi tersebut diubah menjadi Bojonegoro
(Siti Mahmudah, 2020 : hlm 23). Pengubahan nama Rajekwesi menjadi
Bojonegoro oleh pemerintah Hindia Belanda merupakan akibat dari
peperangan Belanda melawan pasukan Diponegoro. Peperangan tersebut
berlangsung lama dan tersebar di sebagian daerah di Jawa Tengah.
Perubahan nama Bojonegoro tidak merubah kedudukannya
sebagai bagian dari Karesidenan Rembang. Sungai Bengawan Solo
menjadi bagian penting bagi masyarakat Bojonegoro. Selain digunakan
untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, aliran sungai Bengawan Solo
juga dijadikan sebagai batas alami antara Bojonegoro dengan wilayah
Tuban di sebelah utara. Kawasan disepanjang aliran sungai Bengawan
Solo menjadi area pertanian dan perkubunan yang sangat subur. Pada
saat musim kemarau, air dari sungai Bengawan Solo dapat dijadikan
sumber pengairan. Di lembah-lembah sungai Bengawan Solo dijadikan
untuk lahan pertanian pangan dan non pangan yang meliputi tanaman
palawija, umbi-umbian dan bahkan tanaman tembakau. Akan tetapi pada
saat musim penghujan, daerah di sekitar aliran sungai ini bisa dipastikan

7
mengalami banjir baik dalam skala kecil maupun skala besar. Bagi
masyarakat Bojonegoro, banjir dan kekeringan sudah menjadi hal yang
biasa.
Selain sungai, di Bojonegoro juga terdapat batas alami antar daerah
yang berupa pegunungan. Di bagian selatan terdapat pegunungan kapur
Kendeng. Pegunungan tersebut puncaknya mencapai 900 m di atas
Gunung Pandan dan membatasi Bojonegoro dengan Karesidenan Madiun
dan Kediri. Pada tanggal 1 Januari 1929 dilakukan penataan ulang secara
administrative dengan pembaharuan politik dengan membentuk Provinsi
Jawa Timur. Pembentukan Provinsi Jawa Timur tersebut mengubah
status 32 kabupaten yang ada di dalamnya menjadi wilayah otonom
dengan membentuk 8 kotapraja. Dengan adanya keputusan tersebut,
Bojonegoro ditetapkan sebagai karesidenan dengan memiliki wilayah
kekuasaan meliputi Kabupaten Bojonegoro dan Kabupaten Tuban.
Penduduk Bojonegoro terdiri dari tiga golongan, yaitu pribumi,
Eropa dan Timur Asing. Golongan Eropa dan Timur Asing (Cina, Arab)
biasanya tinggal di kota, namun ada sebagian orang Eropa yang tinggal
di luar kota seperti pegawai kehutanan dan juga pegawai di lapangan
pengeboran minyak di daerah Kasiman dan Malo. Penduduk pribumi
tinggal di desa dengan mata pencaharian utama sebagai petani dan
sebagian juga ada yang berdagang. Industri dan kerajinan di Bojonegoro
masih sangat sedikit. Selain itu ada pula yang bekerja sebagai buruh pada
perkebunan-perkebunan milik orang-orang Eropa.

2. Perkebunan Tembakau di Bojonegoro


Bojonegoro memiliki kondisi tanah yang tidak terlalu bagus untuk
lahan pertanian. Tanah-tanah subur hanya dapat ditemui disekitar lembah
Sungai Bengawan Solo, suhingga tanah-tanah pada daerah tersebut yang
paling cocok untuk lahan pertanian. Tanaman pertanian yang ditanam
antara lain padi, singkong, jagung, ketela, tembakau, kacang tanah dan
lain sebagainya. Di bagian selatan Bojonegoro, tanah yang sifatnya sangat
kering dan mengandung banyak kapur dimanfaatkan untuk penanaman
pohon jati, bahkan kualitas kayu jati dari daerah Bojonegoro sangatlah
bagus. Bojonegoro adalah salah satu daerah penghasil kayu jati terbesar di
Hindia Belanda.
Dengan luasnya hutan jati yang ada secara tidak langsung
menjadikan orang-orang yang hidup disekitar hutan tersebut memiliki
keahlian dalam menebang pohon jati. Orang-orang yang ahli dalam
perkayuan jati dikenal dengan sebutan orang kalang. Dalam konteks masa
klasil (Hindu-Budha), istilah kalang dapat diartikan sebagai pejabat desa

8
yang bertugas di bidang perkayuan. Ketrampilan orang-orang kalang
dimanfaatkan oleh penguasa untuk membuat bangunan dari kayu. Selain
itu orang kalang juga ahli dalam pembuatan alat untuk menebang kayu
dan memilih kayu yang layak untuk dibuat bahan bangunan. Hal itu
disebutkan dalam Prasasti Panggumulan II yang berangka tahum 825
Saka/904 Masehi yang tertulis pande Kalang bernama si Taji (Agus Aris
Munandar dkk, 2018 : hlm18).
Seiring dengen banyaknya permintaan kunsumen terhadap kayu
jati, maka banyak hutan jati di Bojonegoro yang ditebang. Selain karena
factor tersebut, pengurangan hutan jati juga terjadi karena perluasan lahan
untuk penanaman tembakau. Hal itu juga didukung dengan karakteristik
tanah di Bojonegoro yang sangat cocok untuk pembudidayaan tanaman
tembakau. Mula-mula tembakau mulai diusahakan di Bojonegoro pada
sekitar tahun 1836 dan lebih gencar lagi pada tahun 1850-an, akan tetapi
kualitas tembakau yang dihasilkan tidak sesuai dengan kriteria barang
yang diinginkan Eropa. Sehingga pemerintah Hindia Belanda
mengenalkan varietas tembakau dari Havana, San Domingo dan Filipina
serta mengadakan kontrak dengan pengusaha Eropa untuk menyediakan
tanaman tembakau yang telah dikeringkan, diobati dan disortir untuk di
ekspor. Pemerintah juga memberikan kontrak lahan dan buruh yang
dibutuhkan sebanyak pinjaman untuk bangunan tanaman yang
dikeringkan dan modal peralatan lainnya (C.L.M Panders : hlm. 13).
Meningkatnya permintaan tembakau dari Bojonegoro
menyababkan para kontraktor Eropa melakukan kontrak sewa tanah
dengan penduduk pribumi untuk dijadikan perkebunan. Jenis tembakau
yang dihasilkan di Bojonegoro diolah menjadi tembakau krosok. Tanah
yang kering dapat menghasilkan tembakau krosok terbaik yang diminati
oleh industry-industri Eropa. Dalam hal ini Bojonegoro dan Besuki
merupakan daerah penghasil krosok terbesar untuk diekspor ke luar
negeri.
Pengolahan tembakau di perkebunan-perkebunan menggunakan
tenaga-tenaga rakyat dengan upah yang sedikit. Pemerintah menyewa
tanah petani untuk menanam tembakau lewat para kontraktor di daerah
tembakau. Kontraktro membayar sewa tanah kepada petani dengan harga
yang relative kecil. Kemudian petani tersebut menanam tembakau yang
nantinya ketika panen daun tembakau yang masih hijau dijual kepada
para kontraktor. Kontraktor kemudian mengeringkan daun-daun yang

9
telah dibeli dari petani dan menjual 50% kepada pemerintah dengan harga
yang telah ditentukan. Sedangkan 50% sisanya boleh dijual ke pasar
umum (Soegijanto Padmo, 2004 : hlm 82).

3. Buruh Perkebunan Tembakau


Proses penanaman tembakau membutuhkan banyak tenaga kerja.
Oleh karena itu ketika banyak perkebunan tembakau dibuka dan
industry Pengolahan tembakau dikembangkan, banyak dibutuhkan
tenaga kerja. Tenaga kerja ini lebih dikenal dengan istilah buruh. Para
buruh berasal dari desa-desa yang jauh. Pekerjaan yang dikerjakan
bermacam-macam jenisnya, mulai dari :
a. Pengeringan
Proses ini dilakukan setelah daun tembakau dipanen dari
kebun. Pekerjaan ini sangat mudah sehingga tidak
membutuhkan keahlian khusus sehingga upah yang diberikan
kepada buruh sangat sedikit.
b. Penyortiran
Proses ini dilakukan sebanyak 2 kali, yang pertama untuk
memilah warna dan yang kedua untuk memilah warna dan
lebar daun. Daun yang akan dijual harus merupakan daun
pilihan dengan kulaitas tertentu dehingga buruh yang bekerja
dalam bidang ini harus memiliki keahlian.
c. Pengikatan
Setelah daun dipilih dan dipilah, kemudian daun diikat dalam
beberapa helai.
d. Penumpukan
Proses selanjutnya setelah diikat adalah penumpukan. Ikatan-
ikatan tersebut ditumpuk oleh buruh laki-laki.
e. Pengepresan
Pengepresan tumpukan daun-daun tembakau kering tersebut
dilakukan oleh tim yang biasanya terdiri dari 10 orang laki-laki
dan 2 orang perempuan.
f. Pengangkuatan menuju stasiun
Setelah semua proses Pengolahan tembakau di perkebunan
selesai, daun-daun tembakau tersebut siap dikirim ke daerah
tujuan. Daun-daun tersebut diangkut menggunakan gerobag
untuk dibawa ke stasiun.

10
g. Pemindahan ke stasiun dengan keranjang
Tahap selanjutnya setelah daun tembakau sampai di stasiun
adalah memindahkan ke stasiun dengan menggunakan
keranjang per bal.
Bidang pekerjaan dan juga jenis kelamin para buruh menentukan
berapa upah yang akan diterima mereka. Sistem upah buruh yang
dilakukan pada perkebunan tembakau di Bojonegoro ini menggunakan
system harian. Penggunaan system upah harian ini membuat buruh
mendapatkan upah tetap dan memungkinkan untuk bekerja secara
longgar tanpa tergesa-gesa untuk mengejar hasil yang sebanyak-
banyaknya.
Berjalannya proses Pengolahan tembakau tersebut dengan lancer
mendapat campur tangan dari orang-orang Cina. Orang-orang Cina
selaku pemilik gudang perkebunan memiliki posisi sebagai perantara
penjualan tembakau sebelum di ekspor. Mereka memeli daun-daun
tembakau dari perkebunan milik pengusaha maupun milik petani
sebelum diolah. Kemudian setelah diolah tembakau-tembakau tersebut
dijual kepada firma-firma milik orang-orang Eropa di kota-kota besar.
Tembakau krosok Bojonegoro atau lebih dikenal dengan “Rembang
krosok” merupakan produk unggulan yang diekspor secara eksklusif dari
Surabaya (C.L.M Panders, 1984 : hlm 89).

4. Industri Rokok Bojonegoro


Meskipun Bojonegoro merupakan salah satu daerah
pembudidayaan tembakau di Jawa Timur dan tembakau tersedia
melimpah di sana, namun hal ini tidak terlalu mempengaruhi terhadap
keberadaan industry kretek. Industri kretek tidak begitu berkembang di
Bojonegoro jika dibandingkan dengan pusat industry kretek yaitu di
Kudus, padahal Kudus bukan daerah penghasil tembakau (Lance Castle,
1982 : hlm ). Penduduk Bojonegoro lebih senang mengkonsumsi kretek
buatan sendiri atau yang lebih dikenal dengan tingwe (nglinting dewe).
Industri kretek di Bojonegoro mula-mula didirikan oleh seorang
pengusaha tembakau Tionghoa daro Padangan yang mulai memikirkan
untuk memanfaatkan sisa-sisa tembakau yang tidak terjual. Maka pada
tahun 1927 pengusaha tersebut mendirikan sebuah pabrik kecil. Satu
tahun kemudian pengusaha tersebut mendirikan sebuah pabrik rokok
kecil yang kedua untuk pembuatan “Rokok Jawa” yang hanya berisi

11
tembakau tanpa campuran. Selain memproduksi Rokok Jawa, pengusaha
tersebut juga membuat “Rokok Cengkeh”. Hasil industry kretek tersebut
diperdagangkan ke daerah-daerah terdekat dengan Bojonegoro,
sedangkan penjualan dalam jumlah besar tampaknya jarang dilakukan
(Amen Budiman dan Onghokham, 1987 : hal 162).
Pada tahun 1946 berdiri sebuah perusahaan rokok bernama CV
Oeloeng di Kecamatan Sumberrejo. Rokok yang diproduksi menggunakan
kemasan klobot (bungkus daun jagung) yang cukup legendaries. Pendiri
CV. Oeloeng adalah HM Sahlan yang merupakan warga asli Sumberejo.
Produk rokok ini dijual seputaran kawasan Bojonegoro, Tuban,
Lamongan, Gresik dan Nganjuk (Nanang Fahrudin dkk, 2018 : hlm 41).
Pada masa penjajahan Belanda, terjadi depresi ekonomi pada
tahun 1930. Masa depresi ekonomi adalah masa-masa yang sulit bagi
perkebunan-perkebunan di Hindia Belanda. Adanya depresi ekonomi
membuat permintaan barang hasil perkebunan mengalami penurunan
sedangkan Produksi masih berjalan. Sebelumnya banyak warga
Bojonegoro yang pindah penduduk ke luar daerah seperti ke Lumajang,
Jember dan Malang sebagai tenaga kerja musiman di perkebunan tebu,
tembakau dan kopi. Banyak petani local yang menyerahkan tanahnya
untuk dijadikan perkebunan dengan system bagi hasil. Maka untuk
mengatasi masalah tersebut terjadi pengurangan upah bahkan
pengurangan jumlah buruh pada perusahaan-perusahaan perkebunan
sehingga dengan adanya depresi ekonomi menyebabkan banyak
pengangguran di Jawa selama periode depresi ekonomi.

D. Kesimpulan
Wilayah Bojonegoro dengan segala keunikannya menjadikannya
sangat potensial untuk menanam tembakau. Masyarakat Bojonegoro
mengenal tembakau setelah dibawa oleh pemerintah colonial Hindia Belanda.
Sejak mengenal tembakau dan dianggap sangat menguntungkan maka jenis
tanaman ini mulai dibudidayakan di Bojonegoro dengan system perkebunan.
Awalnya sistem kebun merupakan system pertanian masyarakat agraris yang
masih bersifat substensi, dimana hasil dari usaha kebunnya hanya digunakan
untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari tanpa adanya orientasi
kepada pasar komersial. Akan tetapi dalam perkembanganya, perkebunan
dikenalkan oleh pemerintah Hindia Belanda di Indonesia sebagai wujud dari
perkembangan kapitalisme barat yang dikenal sebagai system perekonomian

12
komersial. Kegiatan perekonomian Hindia Belanda selama abad ke-19 hingga
awal abad ke-20 bertumpu pada sector perkebunan yang hasilnya diekspor ke
luar negeri.
Bojonegoro memiliki kondisi tanah yang tidak terlalu bagus untuk
lahan pertanian. Tanah-tanah subur hanya dapat ditemui disekitar lembah
Sungai Bengawan Solo, suhingga tanah-tanah pada daerah tersebut yang
paling cocok untuk lahan pertanian. Tanaman pertanian yang ditanam antara
lain padi, singkong, jagung, ketela, tembakau, kacang tanah dan lain
sebagainya. Tembakau menjadi varitas unggulan untuk dijadikan barang
ekspor dengan nilai keuntungan yang sangat tinggi.
Mula-mula tembakau mulai diusahakan di Bojonegoro pada sekitar
tahun 1836 dan lebih gencar lagi pada tahun 1850-an, akan tetapi kualitas
tembakau yang dihasilkan tidak sesuai dengan kriteria barang yang
diinginkan Eropa. Sehingga pemerintah Hindia Belanda mengenalkan
varietas tembakau dari Havana, San Domingo dan Filipina serta mengadakan
kontrak dengan pengusaha Eropa untuk menyediakan tanaman tembakau
yang telah dikeringkan, diobati dan disortir untuk di ekspor. Pemerintah juga
memberikan kontrak lahan dan buruh yang dibutuhkan sebanyak pinjaman
untuk bangunan tanaman yang dikeringkan dan modal peralatan lainnya.
Dengan munculnya perkebunan-perkebunan tembakau tersebut ternyata
dapat merubah kehidupan ekonomi masyarakat Bojonegoro. Banyak
masyarakat terlibat dalam penanaman sampai dengan Pengolahan tembakau.
Kehidupan ekomoni berangsur menjadi lebih baik dan dapat menopang
kehidupan para buruh serta para petani tembakau secara signifikan.

13
DAFTAR PUSTAKA

Abdurahman, Dudung. 2007. Metodologi Penelitian Sejarah. Yogyakarta : Ar-Ruzz


Media.

Amen Budiman dan Onghokham. 1987. Rokok Kretek Lintasan Sejarah dan Artinya Bagi
Perkembangan Bangsa dan Negara. Kudus : PT. Djarum Kudus.

Burger, D.H. 1957. Sedjarah Ekonomis Sosiologis Indonesia. Jakarta : Universitas


Indonesia.

Castle, Lance. 1982. Tingkah Laku Agama, Politik dan Ekonomi di Jawa : Industri Rokok di
Kudus. Jakarta : Sinar Harapan.

Fahrudin, Nanang. 2018. Bojonegoro Tempoe Doeloe. Bojonegoro : Gang Kecil.

Kuntowijoyo. 2010. Metodologi Sejarah. Yogyakarta : PT. Tiara Wacana Yogyakarta.

Mahmudah, Siti. 2020. Buruh Perkebunan Tembakau Bojonegoro 1860-1939. Bojonegoro :


Nuntera.

Munandar, Agus Aris dkk. 2018. Tuha Kalang : Orang Kalang dalam Kebudayaan Jawa.
Jakarta : Wedatama Widya Sastra.

Padmo, Soegijanto dkk. 1991. Tembakau : Kajian Sosial Ekonomi. Yogyakarta : Aditya
Media.

Panders, C.L.M. 1984. Bojonegoro 1900-1942 A Story of Endemic Poverty in North-East


Java-Indonesia. Singapura : Gunung Agung.

Sartono Kartodirjo dkk. 1991. Sejarah Perkebunan di Indonesia : Kajian Sosial Ekonomi.
Yogyakarta : Aditya Media.

14
lampiran

Foto proses perajangan tembakau (Reproduksi dari buku “Buruh


Perkebunan Tembakau Bojonegoro 1860-1939”)

15
Foto tembakau yang dipak dalam keranjang bambu (Reproduksi dari buku
“Buruh Perkebunan Tembakau Bojonegoro 1860-1939”)

16
Foto tembakau krosok di Bojonegoro (Reproduksi dari buku “Buruh
Perkebunan Tembakau Bojonegoro 1860-1939”)

17
Foto proses pengikatan daun tembakau krosok oleh buruh wanita
diperkebunan (Reproduksi dari buku “Buruh Perkebunan Tembakau
Bojonegoro 1860-1939”)

18

Anda mungkin juga menyukai