Anda di halaman 1dari 8

Filosofi Ritual dalam Rangkaian Tanam Tembakau di Legoksari,

Temanggung

Najib Ismail
Jurusan Ilmu Filsafat, Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
21/477606/FI/4955

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk menjabarkan kultur budidaya tembakau serta budaya yang
melekat dengan tanaman tembakau. Tembakau, utamanya tembakau Srinthil, sangat dihargai
dan bahkan disakralkan karena kualitas dan nilai ekonominya yang sangat tinggi. Tembakau
bisa dibilang merupakan komoditas utama yang dihasilkan oleh masyarakat Legoksari,
sehingga penjiwaan dan keseriusan dalam bercocok-tanam tembakau dan melakukan ritus yang
berkaitan dengannya sangat kental. Ritus yang berkaitan dengan tanam tembakau sangat
mengandung nilai harmoni antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam, juga
manusia dengan Tuhan.
Kata Kunci: Tembakau; Temanggung; Ritual; Masyarakat Legoksari; Nilai Filosofis

I. Pendahuluan
Desa Legoksari, atau populer dengan sebutan desa Lamuk (karena terdiri dari dua
dusun, Lamuk Legok dan Lamuk Gunung) merupakan salah satu desa di Kecamatan
Tlogomulyo, Kabupaten Temanggung yang sohor ke seantero Nusantara karena tembakau
Srinthil-nya. Tembakau Srinthil yang dihasilkan oleh petani-petani terampil dari desa
Legoksari ini berharga ratusan ribu hingga jutaan rupiah per kilogramnya, baik dalam pasar
industri besar atau pun kecil. Desa Legoksari—bahkan di era kiwari ini—masih memegang
adat-budaya dan tradisi nenek moyang (Jawa) serta ritus-ritus di dalamnya secara rinci baik
dalam keseharian maupun ketika memiliki hajat-hajat tertentu. Meski warga masyarakat
Legoksari mengikuti perkembangan zaman modern dan sisik-melik yang menyertainya,
dalam hal tradisi dan adat-budaya cukup kontras jika dibandingkan dengan sebagian besar
masyarakat Kabupaten Temanggung yang berada di kaki gunung.
Ritus dan tradisi yang masih dijalankan oleh warga desa Legoksari ini dilakukan tidak
hanya satu kali dalam setahun, melainkan bisa berkali-kali dalam dua belas bulan tahun
Qomariyah. Bulan yang memiliki ritus paling banyak adalah saat bulan Sura (Muharram),
Besar (Dzulhijah), dan Mulud (Maulid / Rabiulawal). Selain bulan-bulan tersebut, warga
Legoksari yang mayoritas bergelut pada bidang pertembakauan melakukan berbagai ritus
dengan kegiatan yang berkaitan dengan tembakau, mulai dari bertani, mengolah, hingga
niaga tembakau. Tiap-tiap ritus memiliki makna filosofis dan pengharapan tersendiri yang
dicerminkan melalui uba rampe atau kelengkapan sesaji pada ritus yang dilakukan. Penulis
yang secara pribadi menyenangi tembakau, tertarik untuk mengulas budaya yang menjadi
bagian dalam budidaya tembakau di Legoksari.

1
II. Metode
Penulisan artikel ini menggunakan kajian pustaka dan wawancara, yaitu dengan
mengkaji berbagai literatur yang tersedia, baik itu berupa buku, jurnal, artikel, dan laporan
penelitian, juga wawancara dengan narasumber yang memiliki pemahaman yang memadai
yang berkaitan dengan ritus-ritus dalam budidaya dan budaya yang berkaitan dengan
penanaman tembakau di Legoksari. Unsur metodenya adalah sebagai berikut
a. Deskripsi: metode ini digunakan untuk memberikan uraian dan gambaran yang jelas
serta utuh dengan memaparkan segenap pemikiran yang berkaitan dengan ritus-
ritus dalam budidaya dan budaya penanaman tembakau di Legoksari.

III. Hasil dan Pembahasan

Hasil dan pembahasan akan memaparkan tembakau, rangkaian budidaya (bertani)


tembakau, dan ritus-ritus dalam pertembakuan di desa Legoksari. Akan dipaparkan secara
singkat mengenai tembakau, utamanya tembakau di Jawa dan Temanggung, lalu prosesi
menanam tembakau di desa Legoksari, kemudian ritus-ritus yang menyertainya beserta
makna di balik ritus adat tersebut.

a. Tembakau: Selayang Pandang


Tembakau adalah kelompok tumbuhan dari genus Nicotiana yang daunnya biasa
digunakan sebagai bahan baku dalam kegiatan merokok. Meski kebanyakan digunakan
untuk merokok, tembakau juga dikonsumsi dengan cara dikunyah (di Jawa disebut
nginang; mengunyah daun tembakau rajangan dengan kapur-sirih), atau dijadikan bubuk
lalu disedot melalui hidung. Kata tembakau, (m)bako, tembako, diperkirakan berasal dari
bahasa Portugis yaitu tabaco atau tumbaco. (Budiman dan Onghokham, 2016) Tanaman
tembakau disebut telah ada dan dibudidayakan sejak 6000 tahun sebelum masehi di benua
Amerika. Sejarah tertulis pertama dari tanaman ini ada pada catatan eksplorasi Christopher
Columbus pada tahun 1492. Kala itu penduduk pribumi memberikan daun tembakau
sebagai salah satu hadiah yang diberikan untuk para penjelajah dari eropa. Dalam catatan
tersebut Columbus juga menyebut bahwa daun tembakau tersebut memiliki bau yang
menyengat kemudian dibuang dari kapal dalam perjalanannya kembali ke Eropa (Singhavi,
2018)
Kedatangan tembakau di pulau Jawa tercatat dalam naskah Babad Ing Sangkala. Dalam
naskah tersebut tertulis bahwa tembakau masuk ke pulau Jawa pada tahun 1523 Saka atau
1602 Masehi, bertepatan dengan mangkatnya Panembahan Senapati Ing Ngalaga
(Subangun dan Tanuwidjojo, 1993) Kemudian—juga disebutkan dalam Babad Ing
Sengkala—pada tahun berikutnya mulailah orang Jawa merokok. Tembakau yang dipakai
masyarakat Jawa untuk merokok pada waktu itu berasal dari berbagai daerah, terutama
sekali dari wilayah karesidenan Besuki terutama daerah Bondowoso—dan dari daerah
Kedu. Tembakau Kedu sejak lama telah sangat terkenal karena mutunya (Budiman dan
Onghokham, 2016) Kedu yang dimaksud adalah daerah karesidenan Kedu yang mencakup
Temanggung, Wonosobo, Magelang, Purworejo. Tembakau yang berasal dari daerah
Karesidenan Kedu ini kerap kali disebut tembakau Temanggungan. “Tembakau
Temanggungan sendiri sebenarnya merupakan sebutan untuk tembakau yang ditanam dan
diolah dari daerah eks karisidenan Kedu. Sejak masuknya tembakau ke pulau Jawa, pusat
pengembangan dan pemasaran tembakau Kedu berada di wilayah Kabupaten Temanggung.
Tembakau dari area Kabupaten Temanggung disebut tembakau Temanggung, sedangkan
tembakau dari luar daerah Kabupaten Temanggung disebut sebagai Tembakau

2
Temanggungan. Pada mulanya, tembakau yang dipasarkan di daerah Temanggung dijual
dalam bentuk daun hijau, Seiring dengan perkembangan zaman, penjualan tembakau
dilakukan dengan berbagai macam bentuk dengan pengolahan tertentu untuk
menyesuaikan kebutuhan produksi. Beberapa bentuk olahan tembakau yang dijual di
daerah Temanggungan diantaranya adalah tembakau lembutan atau rajangan dan tembakau
garangan. Untuk Tembakau Rajangan sendiri muncul sebagai bahan baku produksi rokok
industri. Yang membedakan tembakau rajangan untuk kebutuhan industri dari kebutuhan
rokok tradisional atau dilinting adalah dari ketebalan rajangan tembakau. Untuk memasok
kebutuhan pabrik, tembakau yang digunakan adalah tembakau yang dirajang tebal atau
besar. Sedangkan untuk tembakau linting, dibutuhkan rajangan tembakau yang kecil atau
tipis. Pengolahan tembakau garangan biasanya dikhususkan untuk tembakau yang berasal
dari daerah Kabupaten Wonosobo” (Mukani dan Isdijoso, 1990).
Selain tembakau Temanggungan yang merujuk pada tembakau dari eks-karesidenan
Kedu, juga dikenal tembakau Temanggung, yaitu tembakau yang khusus berasal dari
daerah administratif Kabupaten Temanggung. Tembakau Temanggung terbagi menjadi
enam jenis berdasarkan wilayah penanamannya, yaitu tembakau Lam Si, Twa Lo, Pak Si,
Tiong Gang, Swa Ting Jan, dan Swa Bin. Selain itu, juga dikenal tembakau khas
Temanggung, yaitu Srinthil yang dihasilkan khusus dari daerah Legoksari dan sekitarnya
(masuk dalam daerah Lam Si), tembakau ini bermutu dan bernilai sangat tinggi utamanya
bagi industri kretek dalam negeri.
b. Bertani Tembakau di Legoksari
Petani tembakau di Legoksari masih menggunakan pranata mangsa dan ilmu titen
secara tertib ketika bertani. Secara harafiah, pranata mangsa dalam bahasa Jawa berarti
pengaturan musim. Pranata mangsa ini menggunakan tanda-tanda alam sebagai penunjuk
waktu tanam. Seperti memperhatikan arah matahari, arah angin, dan suhu udara. (Laily,
2016) Sedangkan ilmu titen adalah ilmu yang diturunkan dari generasi ke generasi, ilmu
ini sebenarnya adalah ilmu peninggalan kakek moyang yang dihasilkan lewat niteni
(memperhatikan) gejala dan fenomena alam.
• Ngipuk; Menyemai bibit
Benih tembakau tersimpan pada polong tembakau yang terletak dibawah bunga. Untuk
memilih benih yang bagus, dipilih tembakau betina yang bebas hama. Selain itu benih yang
bagus untuk pembibitan dapat dilihat dari bagian ujung polong yang berwarna coklat.
Kemudian tembakau disemai pada wadah khusus dengan media tanah dari lahan yang
belum pernah ditanami tembakau.
• Penanaman
Penanaman tembakau di Legoksari dilakukan pada musim kemarau. Menurut pranata
mangsa, penanaman dimulai pada mangsa kasadha (27 Maret-19 April). Penanaman
tembakau di Lamuk dilakukan dengan 3 cara. Cara pertama disebut dengan kowakan. Cara
penanaman ini dilakukan dengan cara melubangi tanah dengan ukuran 70cm x 50cm,
kemudian ditaburi pupuk kandang. Taburan pupuk kemudian ditutup dengan tanah setebal
3cm-5cm sebagai media tanam. Cara yang kedua adalah dengan cara tumpang gilir. Proses
awal penanaman sama dengan penanaman kowakan, kemudian tanah di sekitar media
tanam tembakau akan ditanami tanaman pendamping berupa bawang merah atau bawang
putih. Tanaman pendamping ini ditanam terlebih dahulu sebelum tembakau. Cara yang
ketiga adalah dengan plastik mulsa. Cara penanaman ini biasanya dilakukan pada lahan
yang memiliki tanah yang basah. Persiapan lahan pertanian pada cara ini tidak seperti cara

3
koakan. Tanah terlebih dahulu dijadikan gundukan kemudian ditutup dengan plastik mulsa
dengan lebar 1 meter dan panjangnya dapat menyesuaikan lahan.
• Pemupukan
15 hari setelah tanam, pupuk ke dua diberikan dengan menggunakan pupuk atau mess
jenis ZA atau KNO3. Mulai 15 hari setelah penanaman ini juga merupakan waktu dimana
hama mulai menyerang tanaman tembakau, sehingga juga perlu penyemprotan insektisida.
Insektisida yang digunakan masyarakat Legoksari biasanya merupakan insektisida alami
yang diolah dari daun tembakau afkiran. Kemudian, kurang lebih saat tembakau berumur
60 hari setelah tanam dilakukan pemupukan ke tiga.
• Matun; Membersihkan Gulma
Matun adalah perawatan yang dilakukan dengan membersihkan gulma di sekitar tanaman
tembakau. Oleh para petani Legoksari, proses ini masih dilakukan dengan manual
menggunakan cangkul dan sabit. Penggunaan herbisida tidak dianjurkan karena dapat
mengurangi kualitas atau bahkan merusak tanaman tembakau itu sendiri jika digunakan
secara berlebihan.
• Munggel; Memotong Bunga
Salah satu yang paling khas dari rangkaian menanam dan merawat tanaman tembakau
adalah kegiatan munggel. Ketika tanaman berumur 70-90 hari setelah tanam bagian bunga
dan minimal dua daun paling atas dipotong. Proses ini bertujuan untuk mengalihkan nutrisi
tanaman dari bunga ke bagian daun. Proses munggel tidak dilakukan pada semua tanaman
tembakau di lahan, melainkan beberapa tanaman disisakan utuh dengan bunganya untuk
kemudian diambil benihnya.
c. Ritus dan Upacara yang Menyertai Budidaya Tembakau
“Selain berbudidaya tembakau, warga masyarakat Lamuk Legoksari juga berbudaya”,
kira-kira seperti itu kalimat yang dituturkan oleh Lukman Sutopo sebelum penulis dan
Lukman Sutopo sebagai narasumber berbincang mengenai ritus dan upacara yang berkaitan
dengan tembakau di daerah Legoksari. Segala ritus dan upacara yang nampak merepotkan
dan bisa dipandang sebagai pemborosan bagi sebagian nyatanya masih dilakukan dan
dilestarikan oleh petani di Legoksari hingga kini, bahkan sampai ke generasi petani termuda
di sana. Menurut penuturan Sutopo, petani tembakau di Legoksari pasti akan kurang
mantap jika tidak melakukan rangkaian ritus turunan dari kakek moyang sebelum menanam
tembakau. Dugaan penulis, ritus dan upacara ini pasti memiliki suatu makna penting di
baliknya yang kemudian menanamkan sugesti kepada masyarakat yang menjalankannya.
Berikut adalah ritus dan/atau upacara adat yang berkaitan dengan bertani tembakau.
Sebagai catatan, setiap ritus atau upacara memiliki perhitungan hari tersendiri berdasarkan
neptu atau penjumlahan dari hari dan pasaran, misal hari Kamis Kliwon ber-neptu 16
karena hari Kamis berjumlah 8, pasaran Kliwon juga berjumlah 8. Jumlah neptu ini
kemudian disesuaikan dengan perhitungan lagi yang disesuaikan dengan tiap ritus yang
bermakna sendiri-sendiri, misal ketika mencari hari mulai tanam atau wiwit yang
dipergunakan adalah perhitungan oyot-uwit-godhong-uwoh (akar-batang-daun-buah).
Selain perhitungan tersebut, terdapat hari-hari yang tidak boleh digunakan untuk
melakukan upacara, yaitu saat hari yang bertepatan dengan sangar taun atau hari-hari yang
disakralkan pada suatu tahun, misal tahun Alip sangar taun-nya adalah hari Rabu Wage.
Selain ketika sangar taun, yang tidak boleh dipakai adalah hari naas keluarga, misal hari
ketika salah satu anggota keluarga inti meninggal dunia.

4
• Nyecel atau Lekas Macul

Nyecel atau lekas macul adalah ritus yang dijalankan saat akan mengolah tanah.
Sesaji utama yang dipergunakan dalam ritual ini adalah sesaji sega bakar cambah
pethek yang juga bisa disebut sebagai tumpeng cambah pethek. Sega atau tumpeng
bakar cambah pethek berwujud nasi putih yang di-bucu atau dibentuk menjadi kerucut
dan diberi tusukan cabai merah, bawang merah, dan bawang putih. Selain tumpeng, ada
pethek atau ikan asin, biji-bijian atau kecambah (cambah), terasi, dan telur rebus. Tiap-
tiap wujud sesaji memiliki maknanya sendiri. Sega bakar merupakan perlambang dari
jiwa manusia yang musti ditempa supaya menjadi kuat, seperti yang dikatakan oleh
Sutopo bahwa “Geni nyepuh mas dadi bergas, kasengsaran nyepuh manungsa dadi
sentosa” (Api menyepuh emas menjadi perhiasan, penderitaan menempa manusia
menjadi mulia). Kemudian biji-bijian (cambah), yang mana adalah biji-bijian dari
tanaman yang ngelung atau melilit seperti kacang panjang. Ini bermakna supaya rezeki
dari lahan yang ditanami terus melilit atau ngelung kepada yang menanam di situ.
Kemudian ikan asin, yang mana dipandang bahwa ikan itu (terlihat) tidak tidur
(meskipun sebenarnya tidur), sebagai perlambang bahwa jika waktunya bekerja jangan
tidur atau bermalas-malasan. Lalu terasi, yang dimaknai sebagai saripati dari laut,
diyakini menetralkan makhluk dan aura jahat yang berada di tempat-tempat berair di
sekitar ladang. Dan telur rebus adalah lambang dari awal kehidupan, melambangkan
masa tanam tembakau akan segera dimulai.

Jumlah dari paket sesaji ini menyesuaikan dari jumlah lahan yang dimiliki petani
yang memiliki hajat. Semisal memiliki 7 lahan berarti harus menyiapkan 7 sesaji sega
bakar cambah pethek. Lalu, perhitungan yang dipakai pada ritus nyecel menggunakan
perhitungan suku-watu-gajah-buta (kaki-batu-gajah-raksasa), yang mana harus
disesuaikan dengan yang pas, contohnya, karena mau mengolah tanah maka
membutuhkan tenaga yang banyak seperti gajah, maka yang diambil adalah hari yang
neptu-nya gajah.

• Kepungan Nyampar Bun


Ritus ini ditujukan ketika petani akan mulai menginjakkan kaki di lahan yang akan
ditanami. Ibaratnya, ketika petani masuk ke area lahan pada pagi hari dengan
bertelanjang kaki, kakinya akan mengenai atau menginjak (nyampar) embun (bun).
Ritus ini dilakukan di ruumah, bukan di lahan, dengan mengundang tetangga atau tamu
sesuai dengan kemampuan tuan rumah. Sesaji yang digunakan adalah nasi tumpeng
besar dan nasi golong agung yang bermakna permohonan keselamatan, serta kopi hitam
(bubuk wedang cemeng) sejumlah 4 cangkir beserta 1 tekonya yang melambangkan
kiblat papat lima pancer.
• Among Tebal atau Wiwit Nandur

Sesaji dalam tirual ini berisikan tumpeng cemeng, pepes teri, beras kapuroto, gula
kelapa, biji-bijian (cambah), telur rebus, dan kemenyan. Tumpeng cemeng atau yang
berarti tumpeng hitam adalah tumpeng yang dibuat dari campuran beras putih dan ketan
hitam, meski warna sebenarnya lebih condong ke ireng wulung atau ungu, tumpeng ini
tetap dianggap tumpeng cemeng atau tumpeng hitam. Warna hitam, dalam kepercayaan
Jawa, melambangkan kebijaksanaan. Pepes teri, adalah perlambang bahwa teri adalah
ikan atau hewan yang memiliki besar yang setara mulai dari kepala hingga ekor,
dijadikan perlambang bahwa jika menjadi manusia hendaknya seimbang luar dan

5
dalam. Beras kapuroto adalah beras yang dicampur dengan parutan kunyit. Unsur ini
dipercaya dapat menolak bala sekaligus sebagai wujud permohonan agar nantinya
tembakau dapat tumbuh berwarna kuning keemasan. Gula kelapa melambangkan
permohonan petani agar nantinya hasil tanaman tembakau dapat berbuah manis atau
mendapatkan hasil yang baik. Biji-bijian (cambah), yang mana adalah biji-bijian dari
tanaman yang ngelung atau melilit seperti kacang panjang. Ini bermakna supaya rezeki
dari lahan yang ditanami terus melilit atau ngelung kepada yang menanam di situ.
Kemudian telur rebus melambangkan awal kehidupan. Semua sesaji dikumpulkan
dalam satu wadah, kemudian didoakan dengan media kemenyan sebagai simbol
kesaksian orang yang berdoa (Sutopo menyebutkan, terdapat ungkapan “manusia bisa
goroh atau berbohong ketika menjadi saksi, namun asap kemenyan tidak”).
Ritual Among Tebal ini dilakukan di lahan tembakau. Biasanya, Among Tebal
dilakukan dua kali oleh petani, yaitu menurut perhitungan pribadi yang kemudian
dilaksanakan sendiri-sendiri, kemudian Among Tebal yang dilakukan bersama-sama
warga masyarakat satu desa Legoksari. Perhitungan yang digunakan sama dengan
perhitungan Nyecel, yaitu suku-watu-gajah-buta. Doa atau niat yang diucapkan adalah
“Niat ingsun nyeblok mbako ana ing gigiring bumi ” (Niat saya menanam tembakau di
atas bumi).

• Wiwit Panen
Wiwit Panen adalah waktu dimulainya memanen tembakau, biasanya dilakukan
sekitar bulan Agustus. Uba rampe atau kelengkapan sesaji yang digunakan pada ritus
wiwit panen idem dengan wiwit nandur. Wiwit panen juga dilakukan di lahan tembakau.
Yang membedakan adalah perhitungan harinya. Pola yang digunakan untuk
menghitung wiwit panen adalah ratu-penghulu-raja-setan. Doa atau niat yang
diucapkan saat memetik atau panen adalah “Niat ingsun mboyong ron kancana ana ing
gedhong kuning” (Niat saya membawa daun emas (tembakau) menuju rumah
(diibaratkan Gedung Kuning/istana)).

• Tungguk
Tungguk adalah ritual yang dilaksanakan saat pertengahan panen tembakau. Prosesi
dan isi sesaji pada ritual ini sama dengan sesaji yang ada pada ritual miwiti. Namun,
ada beberapa sesaji tambahan dalam kelengkapannya. Sesaji itu berupa ingkung atau
daging utuh, penggunaan daging bebek atau ayam tergantung pada lokasi lahan dan
kepercayaan orang tua terdahulu. Jumlah ingkung haruslah sama dengan jumlah lahan
yang dimiliki dan ditanami, ingkung ini ialah perlambang dari sekujur badan yang
dipasrahkan karena akan melakukan laku prihatin. Kemudian ada jajan pasar, jajan
pasar ini berupa dua, yaitu jajan pasar teles (basah) berupa buah-buahan dan
semacamnya, juga jajan pasar garing (kering) berupa kue, klethikan, dan sebagainya
yang menjadi perwujudan rasa syukur kepada alam semesta dan untuk melebur sukerta-
sukerti (penyebab kesialan) yang mengikuti petani. Kemudian tembakau, sebagai
wujud bakti kepada Ki Ageng Makukuhan. Kemudian ada candu, sebagai penolak bala,
candu yang dimaksud pada masa sekarang adalah ramuan rempah-rempah, sedangkan
pada zaman dahulu bisa jadi candu yang digunakan adalah madat atau opium.
Kemudian yang tak kalah penting adalah sesaji ketan salak, konon ketan salak adalah
camilan favorit dari Ki Ageng Makukuhan, selain itu ketan salak merupakan
perlambang kerekatan antar penduduk desa Legoksari. Lalu ada daun sirih yang
melambangkan Dewi Sri, uang, dan bunga yang wangi (berupa bunga mawar, melati,

6
kantil, dan kenanga) menyimbolkan harapan agar tembakau srinthil dapat dikenal
harum di seluruh dunia.
Semua sesaji dalam ritual Tungguk dibagikan dan dimakan bersama-sama kecuali
sega bakar cambah pethek yang ditinggalkan di ladang tembakau. Proses perhitungan
harinya pun sama dengan saat wiwit panen.
IV. Simpulan dan Saran

Tembakau Kedu yang bermutu tinggi dan sudah masyhur sejak zaman baheula
dapat dikatakan juga membawa pengaruh terhadap kultur bertani dan berbudaya
masyarakat Legoksari. Dibuktikan dari cara tanam dan budidaya yang masih
memegang cara dari leluhur untuk menjaga kualitas dan hasil tanaman tembakau.
Berbagai ritus dan ritual seperti nyecel, among tebal, wiwit panen, tungguk, dan
lainnya merupakan beberapa dari sekian banyak laku adat yang masih dijalankan di
desa Legoksari. Ritus-ritus ini merupakan sebentuk cara manusia untuk terhubung
kepada alam, kepada sesama manusia dan diri sendiri, serta kepada Gusti Pangeran atau
Tuhan. Metode pertanian yang kebanyakan masih memegang cara tradisional dari
kakek moyang dan disertai dengan ritus yang sakral menjadi pemicu kesadaran dalam
warga Legoksari untuk tetap menjaga kelestarian alam atau Ibu Bumi dengan cara tidak
mengeksploitasi dan mengolah bumi secara asal-asalan. Dalam dimensi sosial, adanya
ritus-ritus seperti yang disebutkan di atas juga mempererat kekerabatan sosial antar-
warga, karena dengan banyaknya ritus yang harus dilakoni—yang mana juga
melibatkan banyak orang di situ. Hal tersebut pasti berdampak pada hubungan
pertetanggaan yang guyub rukun, adem ayem, dan tepa slira. Manusia sebagai makhluk
sosial sudah selayaknya membutuhkan hubungan sosial yang seperti itu, selain itu
sebagai makhluk-yang-tidak-bisa-apa-apa-tanpa-bumi tentu juga harus memiliki
kesadaran untuk tidak mengeksploitasi bumi secara sembrono serta tetap menjaga
harmoni antara manusia dengan alam.

7
Daftar Pustaka
• Budiman, Amen & Onghokham. 2016. Hikayat Kretek. Jakarta: Kepustakaan
Populer Gramedia
• Laily, Elva. 2016. Srinthil: Pusaka Saujana Lereng Sumbing. Yogyakarta:
Pustaka Indonesia..
• Mukani dan S.H. Isdijoso. 1990. Peranan program ITR terhadap peningkatan
produksi, mutu, dan pendapatan petani pada usaha tani tembakau Temanggung.
Prosiding Simposium I Hasil Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri.
Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri.
• Singhavi, H. 2018. Tobacco Carcinogen Research to Aid Understanding of Cancer
Risk and Influence Policy. Wiley Periodicals, Inc. on behalf of The Triological
Society.

Sumber Tutur / Wawancara


• Lukman Sutopo, petani tembakau dan kepala dusun/bayan Lamuk Legok, desa
Legoksari. Narasumber juga seorang tokoh adat dan dalang wayang kulit. Lahir di
Temanggung pada tahun 1973.

Anda mungkin juga menyukai