Anda di halaman 1dari 11

SOSIO-E-KONS, Vol.7 No. 3 Desember 2015, Hlm. 216-225 Nurbaity, dkk, Swastanisasi Perkebunan Teh di Bogor….

SWASTANISASI PERKEBUNAN TEH DI BOGOR 1905—1942

Nurbaity dan Saring


Program Studi Pendidikan Sejarah
Fakultas Ilmu Pendidikan dan Pengetahuan Sosial
Universitas Indraprasta PGRI
Email : nurbaity_muthalib@yahoo.com/08121997655

Abstract : Indonesia known as Nusantara by East-Indies had greatest natural sources. The search of spices in
East-Indies by the westners of Europe had been done since the emerge of compass and shipping technology. The
potential of Nusantara’s natural resources commodities sold out in world’s market forced west countries to
compete and gained much more benefits. Those benefits too-and yet become the motivation of the west to occupy
the land. The more greater power to the west then later be implemented through several rules and obligations
including in economic called cultuurstelsel. The cultuurstelsel then later be changed within the involvement of
private sector in it and given their investment. One of the investment in occupied land is the acquisition of tea
plantation in Cipanas Bogor. This acquisition of tea plantation become private sector had marked his own
periode in the history of plantation in Indonesia.

Keywords: Cultuurstelsel, export commodities, private plantation, Bogor

Abstrak : Indonesia yang dahulu dikenal dengan Nusantara atau bangsa Barat kolonial menyebutnya dengan
Hindia Belanda memiliki potensi sumber daya alam yang luar biasa. Pencarian wilayah Hindia Belanda sebagai
penghasil rempah-rempah sudah diincar oleh bangsa-bangsa Barat khususnya dari Eropa sejak adanya kompas
dan teknologi kapal laut. Potensi alam Nusantara sebagai penghasil tanaman yang laku di pasaran dunia
menyebabkan bangsa-bangsa Barat berkompetisi untuk mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya.
Keuntungan yang besar itu pula yang menjadi motivasi bangsa-bangsa Barat menancapkan kekuasaannya di
Nusantara. Kekuasaan yang semakin besar itu diwujudkan dengan menerapkan segala kebijakan atau peraturan
kolonial salah satunya mengenai perekonomian wilayah jajahan. Diantara kebijakan di bidang perekonomian
yang diterapkan oleh kolonial Belanda di Hindia Belanda adalah cultuurstelsel yang kemudian digantikan
dengan sistem baru yang lebih terbuka dengan mengikutsertakan para pengusaha swasta untuk memberikan
investasi di tanah jajahan. Salah satu pengelolaan tanah jajahan oleh pihak swasta asing adalah perkebunan teh di
Cipanas Bogor. Akuisisi status perkebunan ke arah swastanisasi ini menjadi satu periode tersendiri dari sejarah
perkebunan di Indonesia.

Kata kunci: cultuurstelsel, tanaman ekspor, perkebunan swasta, Bogor.

PENDAHULUAN perkebunan cukup menarik dan selalu


memberikan warna tersendiri, hal tersebut
Pembahasan sejarah dengan dikarenakan: 1. Perbedaan tanaman komoditi
menempatkan tema mengenai sejarah yang ditanam di wilayah perekebunan; 2.
perkebunan dan pertanian, merupakan tema Ekologi lingkungan yang berbeda-beda di
yang sudah banyak diulas dan diteliti oleh setiap wilayah yang menjadi tempat tumbuhnya
banyak penulis sejarah profesional maupun industri perkebunan; 3. Ketersediaan sumber
amatir. Bukanlah satu hal yang mengejutkan daya manusia dan keterampilannya dalam
karena perkebunan dan pertanian memang mengusahakan perkebunan, dan; 4. Dinamika
menjadi sebuah fenomena/ gejala yang inheren sosial serta politis yang menyertai
dengan aspek historisitas bangsa ini. Selain perkembangan perkebunan dalam beberapa
tema-tema mengenai kehidupan maritim, bentuk gerakan-gerakan sosial.
perniagaan dan industrialisasi berat di Beraneka ragam tinjauan dan sudut
Indonesia, tema mengenai sejarah perkebunan pandang dalam melihat persoalan-persoalan
memiliki tempat tersendiri dalam rumpun dalam tema sejarah perkebunan inilah yang
bahasan mengenai sejarah sosial-ekonomi di cukup banyak memberikan khasanah wawasan
Indonesia. Pembahasan mengenai sejarah mengenai tema sejarah perkebunan. Beberapa

- 216 -
SOSIO-E-KONS, Vol.7 No. 3 Desember 2015, Hlm. 216-225 Nurbaity, dkk, Swastanisasi Perkebunan Teh di Bogor….

kajian mengenai tema sejarah perkebunan yang pemerintah kolonial. Komoditi tanaman teh
pernah dilahirkan oleh para penulis sejarah, sebagai salah satu jenis komoditi ekspor lambat
secara umum berkonsentrasi atau mengambil laun ternyata kurang mendapat perhatian dalam
latar sosial (wilayah) di sekitar wilayah pasar internasional (Van Erden dan Deijs, 1946:
Priangan, Jawa Bagian Tengah dan Timur, serta 69). Jenis komoditi tanaman teh tidak dapat
di sekitar wilayah pantai timur Sumatera. mengimbangi pesatnya permintaan komoditi
Khususnya untuk tema sejarah perkebunan di lainnya seperti gula, kopi, beras, kopra dan
wilayah Priangan, kajian mengenai sejarah karet. Berdasarkan keadaan yang demikian
perkebunan teh di daerah Bogor (wilayah ujung maka pemerintah setelah berakhirnya kebijakan
barat dari daerah Priangan) sedikit sekali cultuurstelsel (tanam paksa), mengalihkan
tulisan-tulisan yang membahasnya. Beberapa pengusahaan tanaman teh kepada pihak swasta
kajian yang pernah lahir biasanya sangat umum (Padmo, 2004: 69), tidak terkecuali juga
dan didominasi oleh tinjauan mengenai keberadaan perkebunan teh yang berada di
pertanian. wilayah Bogor, turut pula beralih dikuasai oleh
Lebih jauh untuk dapat memahami pihak swasta.
sejarah perkebunan di Indonesia, khususnya Proses swastanisasi, itulah kata yang
perkebunan teh di wilayah Bogor, memang tepat untuk menggambarkan proses transisi
tidak dapat dilepaskan dari bagaimana keadaan pengelolaan perkebunan teh di Hindia Belanda,
sejarah Indonesia pada masa penguasaan khususnya perkebunan teh di Bogor (Jawa
pemerintah kolonial Hindia Belanda (Padmo, Barat) pada akhir abad ke-19, hingga mencapai
2004: 4). Perkebunan teh di wilayah Bogor akhir penguasaan pemerintahan kolonial
pada awalnya berkembang setelah dilakukan uji Belanda. Dinamika proses swastanisasi
coba penanamannya di Kebun Raya Bogor, perkebunan teh di Hindia Belanda secara umum
areal sekitar istana atau tempat peristirahatan dapat dipahami sebagai masa-masa akselarasi
Gubernur Jenderal pada abad ke-17 (P.J. van percepatan dan pertumbuhan dari industrialisasi
Dooren, et al., 1975: 77). Pada saat itu, perkebunan. Masuknya sistem uang
tanaman teh dibawa ke Hindia Belanda dan (monetisasi), perubahan pengelolaan
ditanam di areal pekarangan rumah Gubernur perkebunan dengan menggunakan pendekatan
Jenderal di Bogor. Setelah penanaman teh organisasi dan manajemen yang lebih modern,
tersebut berhasil, barulah kemudian tanaman adaptasi para penduduk pribumi terhadap
teh mulai ditanam di beberapa daerah di Jawa, tanaman komoditi teh, keberadaan pabrik-
khususnya di wilayah Bogor sebagai tanaman pabrik teh sebagai mata pencaharian baru bagi
komoditi perdagangan. masyarakat setempat, hingga proses
Sejarah perkembangan perkebunan teh di penyiasatan perkebunan teh dalam
wilayah Bogor berubah pesat ketika pemerintah mengahadapi krisis ekonomi (depresi ekonomi)
kolonial Belanda memasukan tanaman tersebut di tahun 1930, merupakan serangkaian
sebagai komoditi utama ekspor dari Hindia peristiwa yang menarik untuk dikaji secara
Belanda, bertarung melawan tanaman teh yang lebih mendalam. Penelitian ini diharapkan dapat
berasal dari India, dan Cina. Era perkembangan memberikan sedikit penjelasan yang
teh yang sebelumnya diusahakan oleh sebagian komprehensif mengenai rangkaian peristiwa
kalangan (keluarga) Eropa dari masa VOC, tersebut, dengan tetap menekankan aspek
bergeser dan diambil alih oleh pemerintah masalah (problem oriented) dalam menjawab
kolonial. Hal ini dapat dilihat pada saat sebuah pertanyaan dasar yakni bagaimana
pemerintah kolonial melalui Gubernur Jendral memahami dinamika perkebunan teh di Bogor
Van Den Bosch mengeluarkan kebijakan pada masa swastanisasi (corporatisasi) besar-
cultuurstelsel (tanam paksa), dimana tanaman besaran di Hindia Belanda.
teh masuk sebagai tanaman yang diusahakan
oleh pemerintah dan sebagai salah satu tanaman Gambaran Ekologi Bogor (Keadaan
ekspor utama dari Hindia Belanda (Padmo, Geografi, Ekonomi dan Penduduk)
2004: 154).
Perdagangan dan perniagaan komoditi Daerah Bogor yang memiliki kondisi
tanaman teh yang berlangsung pada masa tanam geografis sebagai daerah pegunungan, memiliki
paksa di Hindia Belanda, pada perjalanannya tanah yang subur guna membangun mode
ternyata tidak semulus yang diharapkan oleh produksi agraria (pertanian dan perkebunan).

- 217 -
SOSIO-E-KONS, Vol.7 No. 3 Desember 2015, Hlm. 216-225 Nurbaity, dkk, Swastanisasi Perkebunan Teh di Bogor….

Bentuk geografis tersebut memberikan kepemilikan secara perseorangan, namun dalam


kesempatan bagi kota Bogor bertumpu pada penggarapannya menjadi tanggung jawab
tanah sebagai alat produksi, dan sudah barang bersama yang menempati dan menggunakan
tentu akan mempengaruhi pola berpikir, tanah tersebut untuk tempat tinggal atau
perilaku dan pandangan-pandangan tentang berproduksi.
kehidupan masyarakat di daerah Bogor. Daerah Kepemilikan atas tanah di daerah Jawa
Bogor atau juga dikenal dengan nama tanah Barat, didasarkan atas pengelolaan tanah yang
Sunda (dahulunya kerajaan Pajajaran, kerajaan sudah dilakukan sejak masa sebelum VOC
yang menganut ajaran agama Hindu) berdiri di masuk. Dengan seperti itu pemilikan atas tanah
atas daerah yang cukup luas. Secara geografis, di Jawa Barat didasarkan atas pengelolaan dan
Bogor merupakan salah satu wilayah dari tanah pemilikannya yang bersifat turun-temurun
Priangan, sebagai tempat lahir dan kepada generasi berikutnya (kepemilikan secara
berkembangnya kebudayaan Sunda. pribadi) disebut Balong. Hal tersebut dapat
Secara geografis kota Bogor terletak dilihat melalui laporan survey berjudul
diantara 106’ 48’ BT dan 6’ 26’ LS, kedudukan Eindresume van het Onderzoek naar de
geografis kota Bogor di tengah-tengah wilayah Rechten van den Inlander. Survey yang
kabupaten Bogor serta lokasinya sangat dekat dilakukan pemerintah kolonial Belanda tahun
dengan ibukota negara, merupakan potensi yang 1869 di Jawa Barat ini membuktikan bahwa
strategis bagi perkembangan dan pertumbuhan sebagian besar desa-desa di sepanjang daerah
ekonomi dan jasa, pusat kegiatan nasional Jawa bagian Barat tanah yang dimiliki
untuk industri, perdagangan, transportasi, perseorangan jauh lebih banyak dan luas dari
komunikasi, dan pariwisata. Kota Bogor pada tanah yang dimiliki secara komunal,
mempunyai rata-rata ketinggian minimum 190 berbeda dengan daerah di Jawa bagian tengah,
m dan maksimum 330 m dari permukaan laut. keadaannya justru sebaliknya (Harsojo dan
Kondisi iklim di kota Bogor suhu rata-rata tiap Koentjaraningrat (ed), 2004: 307). Kepemilikan
bulan 26’C dengan suhu terendah 21,8’C tanah dalam masyarakat Bogor, memberikan
dengan suhu tertinggi 30,4’C. Kelembaban dampak berupa menaiknya status sosial bagi
udara 70 %, curah hujan rata-rata setiap tahun sang pemilik tanah dalam stratifikasi sosial
sekitar 3.500 – 4000 mm dengan curah hujan masyarakatnya. Penguasaan atas sumber
terbesar pada bulan Desember dan Januari produksi menjadi landasan munculnya
(kotabogor.go.id ). kepemilikan pribadi sebagai konsep yang
Harsojo (2004) mengatakan bahwa memberikan legalitas terhadap pengertian kerja.
secara antropologi-budaya, bahwa yang disebut Berdasarkan penjelasan kepemilikan sumber
suku Sunda adalah orang-orang yang secara produksi tersebut, maka terdapat satu
turun-temurun menggunakan bahasa ibu, pemahaman yang lazimnya terbangun bahwa,
bahasa Sunda serta dialeknya dalam kehidupan dalam masyarakat agraris, tanah merupakan
sehari-hari dan berasal serta bertempat tinggal sumber produksi dan kekayaan yang utama, dan
di daerah Jawa Barat, daerah yang juga sering karenanya pemilikannya membawa prestise
disebut Tanah Pasundan atau Tatar Sunda. yang tinggi; sebagai akibatnya maka klasifikasi
Tanah yang subur dengan perpaduan dataran penduduk desa yang tradisional didasarkan atas
rendah serta daerah pegunungan, memberikan kepemilikan tanah (Kartodirdjo, 1972: 56).
konsekuensi berupa kelimpahan atas hasil bumi Gambaran tentang terdapat kelompok-
yang besar menjadi identitas bagi daerah Bogor. kelompok yang memiliki penguasaan atas
Hal inilah yang membuat penguasa kolonial sumber produksi dan alat produksi ini yang
Belanda saat itu, membangun jalan Daendels sekiranya menjelaskan kepada kita tentang
untuk menghubungkan daerah Bogor dengan kemampuan untuk memproduksi ide-ide serta
daerah Priangan dan daerah pesisir pantai. gagasan dan pemikiran mengenai konsepsi
Aktivitas ekonomi yang bertumpu pada filosofis masyarakat tradisional. Dengan ini
tanah ini yang kemudian memberikan sistem maka kita mendapat petunjuk tentang golongan
produksi masyarakat Bogor menggunakan cara sosial mana yang memiliki otoritas (berupa
bekerja sama dalam mengelola produksi pengaruh dan kemampuan secara politis)
ekonominya. Tata cara pengelolaan ekonomi terhadap seluruh lapisan sosial masyarakat
inilah yang kemudian menempatkan tanah Bogor.
sebagai alat produksi dengan model

- 218 -
SOSIO-E-KONS, Vol.7 No. 3 Desember 2015, Hlm. 216-225 Nurbaity, dkk, Swastanisasi Perkebunan Teh di Bogor….

Stratifikasi sosial dalam masyarakat pedagang tukang, nelayan, dan lainnya (Burger,
tradisional Bogor yang juga termasuk dalam 1957: 110).
masyarakat Jawa Barat, terbentuk atas dasar Golongan bawah masyarakat pribumi di
nilai-nilai dan pengetahuan yang bersumber Bogor pada abad ke-17, yang hidup di
dari sistem nilai agama Hindu, yang berasal dari pedalaman pedesaan secara umum bermata
luar Nusantara sebagai sebuah konsekuensi pencaharian sebagai penanam padi, biji-bijian
dinamika sosial masyarakat Jawa Barat dengan dan buah-buahan, yang dilakukan dalam bentuk
kelompok masyarakat di luar Nusantara (India tanah ladang dan sawah. Golongan ini
dan Cina). Hal ini dibuktikan dengan adanya merupakan tulang punggung bagi penghidupan
kerajaan-kerajaan Hindu-Budha di Jawa Barat ekonomi di wilayah Bogor (ANRI, 1978: LV).
seperti Kerajaan Tarumanagara, Kerajaan Tanpa keberadaan masyarakat kecil tersebut,
Sunda dan Kerajaan Galuh yang dipengaruhi sangat kecil kemungkinan perekonomian
oleh nilai-nilai Hindu. Selain itu dalam hikayat dengan model organisasi produksi tradisional
atau sejarah masyarakat Jawa Barat juga tersebut akan berjalan lancar. Oleh karena itu
dituliskan, kalau masyarakat Jawa Barat juga tidaklah terlalu berlebihan jika dikatakan,
mengadopsi nilai-nilai agama Islam, yang golongan bawah menjadi tulang punggung bagi
diwujudkan dengan berdirinya Kesultanan kehidupan perekonomian di wilayah Bogor
Cirebon dan Kesultanan Banten. (Scott, 1981: 58). Jauh sebelum pemerintah
kolonial Belanda berkuasa secara penuh di
Organisasi Produksi Perkebunan Teh di tanah Bogor, model organisasi produksi dari
Bogor Hingga Akhir Masa Sistem Tanam masyarakat di Bogor memiliki pola seperti yang
Paksa dijelaskan di atas. Organisasi produksi dengan
model kepemilikan alat produksi (tanah) oleh
Pada abad ke -17, sebagai masa-masa pemegang kekuasaan tradisional, bahkan
awal pengusahaan tanaman teh di Bogor, berjalan dan berlangsung pula hingga saat
konstruksi masyarakat Bogor pada masa pemerintah kolonial Hindia-Belanda berkuasa
tersebut, (tiga kelas utama yang berhubungan secara penuh di wilayah Bogor.
dengan aktivitas produksi tanaman komoditi Masuknya kepentingan ekonomi asing ke
teh) tersebut dihubungkan dengan sebuah dalam wilayah Bogor pada abad ke-17 tidak
sistem yang disebut dengan sistem upeti dan lepas dari penetrasi ekonomi dan politik
kerja wajib (Burger, 1957: 110). Sistem upeti kolonial yang dilakukan oleh kongsi dagang
dalam bentuk penyerahan pajak hasil bumi dan VOC. Terbentuknya Sunda Kalapa (Batavia)
kerja wajib ini, merupakan konsekuensi dari sebagai salah satu pusat perekonomian dan
konsep penguasaan alat produksi dan perdagangan di wilayah pesisir utara Jawa,
pengelolaan alat dan sumber produksi. Istana memberikan konsekuensi berupa ekspansi
atau para penguasa lembaga politik tradisional ekonomis ke wilayah di sekitarnya (salah satu
merupakan kelas yang memiliki dan menguasai diantaranya ialah wilayah Bogor). Lebih lanjut
alat dan sumber-sumber produksi, sementara peralihan kebijakan ekonomi kolonial dari
rakyat kebanyakan ialah para pekerja yang penguasaan yang bersifat monopolistik,
melakukan pengelolaan atas alat-alat produksi menjadi kebijakan produksi tanaman komoditi,
dan sumber produksi (Kuntowijoyo, 2002: ikut pula mengantarkan perubahan mode
112). Dalam konteks inilah, rakyat kemudian produksi khususnya di wilayah Bogor (Sajogyo,
terikat oleh kewajiban-kewajiban atas tanah 1982: 92).
yang digunakan untuk dapat bertahan hidup. Perluasan varian tanaman komoditi
Kewajiban-kewajiban inilah yang kemudian perdagangan sebagai konsekuensi permintaan
menjadi semacam tugas bagi para rakyat atau pasar internasional yang semakin berkembang
tani hamba yang menjadi tulang punggung dan berubah-ubah, memaksa Nusantara untuk
penggerak aktivitas ekonomi masyarakat tidak hanya menghasilkan rempah-rempah dan
tradisional (Burger dan Parajudi, 1962: 240). palawija. Beberapa tanaman komoditi seperti :
Golongan-golongan khusus yang memiliki kopi, teh, kopra, tebu, tembakau dan beras
kewajiban pekerjaan ini terdiri dari keluarga- menjadi jenis-jenis tanaman yang sangat
keluarga di pedesaan. Golongan keluarga digemari dan menjadi primadona, bahkan
pedesaan tersebut adalah masyarakat biasa atau hingga masa akhir pemerintahan kolonial di
masyarakat kecil yang bekerja sebagai petani, Nusantara. Khususnya untuk wilayah Bogor,

- 219 -
SOSIO-E-KONS, Vol.7 No. 3 Desember 2015, Hlm. 216-225 Nurbaity, dkk, Swastanisasi Perkebunan Teh di Bogor….

tanaman komoditi yang berkembang dan cukup berasal dari tanah Priangan memiliki kualitas
menguntungkan untuk diusahakan ialah yang lebih baik dari teh yang berasal dari
tanaman teh. Secara aspek geografis dan perkebunan di daerah Jawa lainnya. Seperti
klimatologi, wilayah Bogor (Priangan) yang dinyatakan oleh Padmo (2004)
merupakan daerah yang cukup baik untuk dapat berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh
menanam dan mengembangkan tanaman Jacobson di beberapa tempat, teh yang berasal
komoditi teh. Tanaman teh pertama kali dibawa dari perkebunan teh di daerah Priangan-Jawa
ke wilayah Bogor oleh Andreas Clyer seorang Barat memiliki kualitas teh yang lebih baik
berkebangsaan Jerman, pada tahun 1648 dibandingkan teh yang berasal dari teh di
(Suganda, 1981: 3). Wonosobo. Pengawasan yang ketat dan
manajemen produksi yang baik menjadi salah
Pengusahaan Perkebunan Teh oleh satu faktor yang membuat kualitas teh yang
Pemerintah Kolonial di Bogor berasal dari tanah Priangan lebih baik dari teh
yang berasal dari perkebunan lainnya di Jawa.
Setelah pemerintah kolonial mengambil Penyediaan para petugas pengawas (controleur)
upaya penanaman komoditi teh dari pihak yang berasal dari Eropa, ditambah dengan para
swasta (dalam hal ini pihak swasta sering kali pekerja yang berasal dari Cina, sebagai tenaga
dikenal dengan nama Preanger Planters), penangkar teh merupakan bagian dari strategi
pemerintah kolonial bergerak cepat dengan pemerintah kolonial yang utama dalam
menugaskan Jacobus Isidorus loudewijk Levian produksi teh di Priangan.
Jacobson, seorang ahli dan pakar penguji teh di Demi mendapatkan hasil yang terbaik
Nederlandsche Handel Maastchappij (NHM). bagi kualitas teh, pemerintah kolonial juga
Jacobson kemudian diangkat menjadi inspektur melakukan mobilisasi yang cukup besar pula
budi daya teh pada dinas pemerintahan kolonial dalam hal tenaga kerja (buruh) yang bekerja
(Suganda, 1981: 4). Kebijakan lain yang sebagai pemetik teh. Sebagai gambaran untuk
ditempuh oleh pemerintah kolonial dalam melihat besarnya mobilisasi pekerja dalam
menyelenggarakan industri perkebunan teh, produksi teh di daerah Priangan, sebagai berikut
ialah dengan membuat keputusan berupa adalah data mengenai gambaran perkebunan teh
Resolusi 5 November 1834 No. 3, yang di Jawa (Padmo, 2004: 161):
menetapkan mengenai mobilisasi dan ”Areal perkebunan teh yang diusahakan oleh
pengerahan tenaga penduduk dalam mendukung perkebunan teh sepanjang kurun waktu 1835-
industri perkebunan teh (Padmo, 2004: 154). 1840 adalah rata-rata seluas 500 bau, dengan
Berkaitan dengan sumber daya manusia 2.345.960 rumpun tanaman teh, dimana
sebagai pekerja pada perkebunan teh, 707.460 untuk mengembangkan produksi teh
pemerintah kolonial juga melakukan perekrutan hitam. Tiga pabrik pengolahan teh yang besar
tenaga kerja yang berasal dari Cina. Tenaga masing-masing memerlukan 200.000 rumpun
kerja yang berasal Cina direkrut oleh pohon teh dan 17 pabrik pengolahan teh yang
pemerintah kolonial sebagai tenaga ahli dalam kecil dimana masing-masing bisa menampung
proses pengolahan teh, mendampingi sebanyak 100.000 rumpun tanaman teh.
masyarakat pribumi yang dipekerjakan oleh Kemudian teh kering yang dihasilkan oleh 20
pemerintah kolonial di perkebunan teh pabrik pengolahan tersebut ditampung dalam
(Suganda, 1981:4). Para pekerja yang berasal empat gudang pengepakan”.
dari Macau (Cina) tersebut direkrut oleh Berdasarkan penjelasan Soegijanto
Jacobson, pada tanggal 1 Maret 1838 dari Padmo mengenai mapping industri perkebunan
Batavia dengan tugas sebagai penangkar teh, teh di Jawa, maka dapat ditafsirkan bahwa
dan diberikan gaji sebesar f.10.- sebulan. Selain perkebunan teh yang berada di Cipanas (Bogor)
itu, Jacobson juga membawa serta 7.000.000 merupakan salah satu dari wilayah penanaman
bibit teh untuk dikembangkan di perkebunan teh dan penangkaran teh yang berada di Jawa
teh yang ada di seluruh Jawa, salah satunya Barat, di bawah pabrik utama (20 pabrik utama)
ialah perkebunan teh yang ada di Cipanas- pengolahan yang berada di afdeling Sukabumi.
Bogor. Pengelolaan perkebunan yang dilakukan dengan
Seiring dioperasikannya perkebunan- ketat dan manajerial yang cukup baik, serta
perkebunan teh di seluruh Jawa, termasuk di mobilisasi penduduk yang kemudian diberikan
Cipanas-Bogor, sejatinya kualitas teh yang kompensasi gaji dalam pekerjaan memetik,

- 220 -
SOSIO-E-KONS, Vol.7 No. 3 Desember 2015, Hlm. 216-225 Nurbaity, dkk, Swastanisasi Perkebunan Teh di Bogor….

pengolahan dan pengepakan teh, menjadikan mengeluarkan UU Agraria (Agrarische wet


secara ringkas pengusahaan perkebunan teh Staatblad) tahun 1870, dimana undang-undang
yang dilakukan oleh pemerintah hingga masa tersebut tidak hanya melepaskan separuh beban
akhir dekade abad ke-19. pemerintah kolonial dalam pembiayaan
Pada sisi lain pengusahaan teh yang aktivitas ekonomi di Hindia-Belanda, akan
dilakukan oleh pemerintah kolonial secara baik tetapi di satu sisi juga memberikan ruang untuk
ternyata tidak memberikan hasil yang positif di mengakomodasi kepentingan kongsi dagang
satu sisi yang lainnya. Kualitas teh yang dari Barat untuk menanamkan modalnya di
diusahakan oleh pemerintah kolonial Hindia- bidang perkebunan (Suganda, 1981: 10).
Belanda ternyata masih sangat jauh dari yang Masuknya modal-modal dari Barat ke
diharapkan, jika dibandingkan dengan teh yang dalam usaha perkebunan teh di Jawa Barat,
berasal dari dari India, Cina dan Jepang. Pasar khususnya di wilayah Cipanas-Bogor tidak
internasional kurang mengakomodasi kualitas hanya merubah status perkebunan semata, akan
teh yang dihasilkan dari Hindia-Belanda, dan tetapi kelak juga akan merubah status tanah
hal ini berdampak pada perminataan teh dari penduduk dan bentuk-bentuk hubungan sosial
Hindia-Belanda dalam pasar internasional yang berlaku. Berikut terlebih dahulu akan
(Leirissa, et al., 1996: 60). Kelesuan pasar dijabarkan mengenai proses swastanisasi
internasional terhadap komoditi teh yang perkebunan teh yang terjadi di seluruh wilayah
berasal dari Hindia-Belanda, berdampak pada Priangan, khususnya di wilayah Cipanas-Bogor,
produksi teh yang diusahakan oleh pemerintah. sebagai wilayah perkebunan teh yang berada
Pengeluaran (cost produksi) yang ditanggung dalam naungan afdeling Sukabumi.
oleh pemerintah kolonial bertambah besar, Sejatinya proses pengelolaan perkebunan
sementara itu daya jual komoditi teh dari teh yang bersandar pada usaha swasta pertama
Hindia-Belanda melemah. kali dilakukan di daerah Priangan Tengah,
yakni sekitar wilayah Bandung. Para pemodal
Periode Swastanisasi Pengusahaan atau pengusaha dari Barat yang ingin terlibat
Perkebunan Teh di Bogor dalam usaha perkebunan teh di wilayah
Priangan mengajukan permohonan dan
Kartodirdjo (1972) menyatakan bahwa mengurus seluruh keperluan administrasi
beralihnya haluan kebijakan ekonomi negeri kepada residen Priangan. Beberapa perusahaan
induk yang semula dikuasai oleh kelompok yang kemudian masuk ke dalam wilayah
konservatif, kemudian menuju kebijakan Priangan untuk terlibat dalam bisnis
liberal, yang dikendalikan oleh golongan liberal perkebunan teh, diantaranya yang cukup
merupakan satu situasi yang kelak juga dikenal ialah :
mempengaruhi kebijakan ekonomi-politik di 1. Keluarga pengusaha Rudolph Albert
Hindia-Belanda. Kegagalan pemerintah Kerkhoven yang membuka perkebunan teh
kolonial dalam mengelola tanah jajahan dan di Arjasari pada tahun 1869.
rendahnya kemampuan daya saing ekonomi 2. Karel Albert Rudolf Bosscha yang dikenal
Kerajaan Belanda, dalam pasar internasional sebagai raja teh Priangan, ia tiba di Jawa
membuat angin politik beralih kepada golongan pada tahun 1887.
liberal. Pada tahun 1870-an merupakan satu era 3. Karel Frederick Holle, seorang pengusaha
dimana berakhirnya kebijakan politik teh yang membuka perkebunan di wilayah
konservatif yang termanifestasi dalam bentuk kaki Gunung Cikuray.
kebijakan tanam paksa (culturstelsel). Para pengusaha yang masuk ke dalam wilayah
Berdasarkan surat keputusan pemerintah Priangan tersebut, membuka usaha perkebunan
kolonial No. 5 tanggal 1 Mei 1864, pemerintah teh atas seizin pemerintah kolonial Hindia-
kolonial mulai merubah status perkebunan teh Belanda. Mereka tidak hanya melakukan
yang dikuasai oleh pemerintah kolonial kepada akuisisi terhadap beberapa pabrik teh, akan
pihak swasta (Maddison, et al., 1989: 20). tetapi juga melakukan penyewaan terhadap
Akuisisi status perkebunan ke arah tanah-tanah yang dikuasai oleh Negara
swastanisasi ini menjadi satu periode tersendiri (pemerintah kolonial) dan tanah-tanah yang
dari sejarah perkebunan di Indonesia. dimiliki oleh penduduk (perseorangan).
Perubahan ini diawali dengan kebijakan Kebutuhan akan tanah-tanah sewaan guna
ekonomi pemerintah kolonial yang

- 221 -
SOSIO-E-KONS, Vol.7 No. 3 Desember 2015, Hlm. 216-225 Nurbaity, dkk, Swastanisasi Perkebunan Teh di Bogor….

membangun industri perkebunan di wilayah perkebunan teh di Cipanas-Bogor dan beberapa


Priangan semakin meningkat permintaannya. tempat perkebunan teh lainnya di Jawa diawali
Perkebunan teh Cipanas-Bogor yang dengan perjanjian sewa dan jual beli antara
berada dalam wilayah afdeling Sukabumi, calon pengusaha dengan pemerintah kolonial
merupakan tempat bernaungnya 474 perusahan Hindia-Belanda (Departmen van Landbouw en
perkebunan, diantaranya adalah perkebunan teh, Economische Zaken, 1920). Mengenai berapa
kina, dan karet. Selain itu juga terdapat luas tanah yang disewakan oleh pemerintah
beberapa perkebunan dengan komoditi seperti : kolonial terhadap para calon pengusaha di
cokelat, kapuk, kelapa, lada dan kopi, dengan Cipanas-Bogor, tim peneliti tidak mendapatkan
masa sewa guna tanah selama 20 tahun sampai angka yang pasti. Data yang didapatkan dalam
75 tahun (Padmo, 2004: 167). Masuknya modal penelitian ini hanya jumlah luas tanah yang
ke dalam seluruh wilayah Priangan, khususnya disewakan dalam wilayah afdeeling Sukabumi,
di wilayah Cipanas-Bogor (afdeling Sukabumi), dimana Cipanas-Bogor masuk dalam otonomi
membuat perubahan morfologi kota, tidak afedeeling Sukabumi. Peningkatan jumlah
hanya perubahan ekologi dalam bentuk permintaan sewa tanah yang terjadi di wilayah
perubahan pemanfaatan tanah dari kebutuhan afdeeling Sukabumi, termasuk di dalamnya
primer penduduk pribumi, menuju tanah yang wilayah Cipanas-Bogor, menunjukkan
diusahakan sebagai areal perkebunan. meningkatnya aktivitas produksi industri
Masuknya modal perkebunan menuntut perkebunan teh di wilayah Priangan Barat ini.
adaptasi kebutuhan infrastruktur daerah, seperti Guna memenuhi kebutuhan dan permintaan
keberadaan penunjang transportasi (jalan, tanah sebagai lahan produktif perkebunan teh,
kendaraan, alat angkut), saluran pengairan pemerintah kolonial melakukan beberapa cara.
(irigasi), pemukiman penduduk, fasilitas Pertama, membuka lahan baru (pembukaan
kesehatan dan pendidikan, serta beberapa lahan hutan yang difungsikan menjadi lahan
fasilitas lainnya (Dick, et al., 2002: 35). Guna perkebunan baru); kedua, mengakuisisi tanah-
membangun seluruh keperluan infrastruktur tanah yang bermasalah, menjadi tanah miliki
tersebut, dibutuhkan lembaga pembiayaan yang Negara (Staatsblad 1912 No. 177 dan 178).
ditugaskan tidak hanya dalam rangka Selain angka jumlah perusahaan perkebunan
membiayai industri perkebunan swasta, akan swasta yang meningkat, keberadaan industri
tetapi juga membiayai kebutuhan pembangunan perkebunan teh, dapat menjadi jalan bagi para
infrastruktur daerah. penduduk Cipanas-Bogor untuk mendapatkan
Periode mengenai swastanisasi tambahan pendapatan rumah tangga mereka
perkebunan teh di wilayah Cipanas-Bogor (ANRI, 1980: LXXIV). Tambahan pendapatan
mencapai puncaknya seiring dengan tersebut didapatkan masyarakat, khususnya
pembangunan jalur transportasi yang kelompok ibu-ibu rumah tangga yang menjadi
membentang dan menghubungkan antara pekerja pemetik daun teh di perkebunan
daerah Cipanas-Bogor dengan Batavia, (Suganda, 1981: 149).
Sukabumi, dan wilayah Priangan Tengah Masyarakat pribumi di daerah Cipanas-
seperti Cianjur, Tasikmalaya, dan Garut. Jalur Bogor, selain dapat bekerja langsung pada
transportasi tersebut dikenal dengan nama jalan perusahaan perkebunan teh, juga dapat
Anyer-Priangan, selain itu juga dibangun jalur terintegrasi secara tidak langsung untuk
kereta api Bogor-Bandung-Cicalengka-Cilacap mendapatkan tambahan pendapatan mereka.
(ANRI, 1980: LXXI). Di sepanjang jalan raya Aktivitas penambahan pendapatan mereka
tersebut dibangun fasilitas-fasilitas umum dapat dilakukan dengan menanam bibit-bibit
seperti rumah/pemukiman penduduk, tangsi- teh di pekarangan rumah mereka, setelah itu
tangsi militer, kantor pemerintahan, kantor hasilnya mereka jual kepada perusahaan
swasta, rumah sakit, sarana pendidikan dan lain (ANRI, 1980: LXXIV). Derasnya ekspansi
sebagainya. ekonomi kapitalisme kolonial ke dalam jantung
ekonomi masyarakat pribumi di seluruh
Adaptasi Penduduk Pribumi terhadap wilayah Priangan, khususnya Cipanas-Bogor
Pengusahaan Perkebunan Teh di Bogor dan sejatinya tidak membuat masyarakat pribumi
Perubahan-perubahan Lanjutan kehilangan sumber-sumber mata pencaharian
mereka. Para petani masih juga mengelola
Masuknya modal dari Barat kedalam ekonomi rumah tangga mereka dengan bertani

- 222 -
SOSIO-E-KONS, Vol.7 No. 3 Desember 2015, Hlm. 216-225 Nurbaity, dkk, Swastanisasi Perkebunan Teh di Bogor….

dan memelihara ikan di areal pekarangan rumah Priangan L. de Steurs (ANRI, 1980: LIII),
mereka. bahwa seiring lajunya pertambahan penduduk
Pertumbuhan aktivitas penanaman dan melalui fenomena migrasi terjadi peningkatan
perdagangan tanaman komoditi teh dapat dilihat permohonan pengajuan usaha pertanian kecil.
melalui perkembangan permintaan tanah Kedatangan pemodal besar dan kecil dari
sebagai lahan produksi. Selain itu juga dapat golongan Eropa yang menyisakan persoalan
dilihat dari terbangunnya suprastruktur dan mengenai tanah sewa (partikelir) yang ilegal,
infrastruktur penunjang industrialisasi menjadi persoalan yang belum mampu
perkebunan teh. Perkembangan infrastruktur diselesaikan oleh pemerintah kolonial (ANRI,
dan suprastruktur dalam konteks sebuah 1980: CXXI). Persoalan mengenai perubahan
wilayah memberikan satu kesempatan pula bagi tanah dari semula tanah perseorangan warga,
wilayah itu sendiri untuk siap terintegrasi menjadi tanah sewaan merupakan fenomena
dengan dunia luar. Terintegrasinya suatu yang banyak dijumpai pada masa era
wilayah sebagai konsekuensi logis swastanisasi perkebunan di Priangan. Untuk
perkembangan kehidupan sosial-ekonomi menyelesaikan persoalan tersebut pemerintah
merupakan satu perkembangan lanjutan yang kolonial telah membuat badan berupa
dihadapi oleh wilayah Cipanas-Bogor menuju perkumpulan tanah partikelir untuk
dekade 1930-an (ANRI, 1980: CXIX). menyelesaikan persoalan tanah sewaan yang
Pembangunan infrastruktur jalan raya dan jalur bermasalah (Staatsblad 23 November 1933,
kereta api yang menghubungkan wilayah- No.2).
wilayah di Priangan dengan wilayah luar Tanah partikelir yang muncul sejak akhir
Priangan memberikan kesempatan bagi hilir- abad ke-19, hingga menuju masa akhir
mudiknya lalu lintas barang dan manusia pemerintah kolonial Hindia-Belanda,
(ANRI, 1980: LXXI). Hasil-hasil produksi merupakan modal utama bagi pembentukan
perkebunan di seluruh wilayah Priangan industri perkebunan. Dengan beralihnya model
memerlukan akses transportasi yang baik dalam ekonomi subsisten menuju model ekonomi
memudahkan pengangkutan menuju wilayah industri, sudah barang tentu pula merubah
pelabuhan, sebagai mata rantai jalur ekspor dari hubungan-hubungan sosial yang menjadi tali-
Hindia-Belanda. Di sisi lain keberadaan jalur temali dalam proses jalinan relasi produksi. Jika
transportasi beserta penopang lainnya menjadi dalam proses aktivitas ekonomis dalam bentuk
jalur bagi masuknya barang-barang impor ke mode ekonomi subsisten, jalinan relasi sosial-
dalam wilayah Priangan. produksi yang terbingkai adalah antara pemilik
Terbukanya pintu akses menuju, dari dan tanah (land lord) dengan petani hamba, maka
ke wilayah Priangan menghadirkan pengaruh pada masa industri perkebunan hubungan relasi
terhadap dinamisnya kehidupan sosial produksi berubah menjadi antara pengusaha
masyarakat Priangan. Kedatangan para (penyewa tanah) dengan petani penggarap
pendatang ke wilayah Priangan, khususnya tanah. Ikatan-katan relasi sosial yang berbentuk
Cipanas-Bogor menjadi satu fenomena yang patron-client, berubah menjadi pengusaha dan
selalu mengisi dinamika kehidupan sosial buruh. Jelas perubahan ini memberikan dampak
wilayah Priangan Barat tersebut (ANRI, 1980: yang cukup besar, dimana pada fase ini disebut
LXXX). Kedatangan para kaum urban yang oleh beberapa ahli sejarah sebagai fase dimana
terdiri dari Eropa, Timur Tengah, Cina, India runtuhnya pelembagaan tradisional.
hingga masyarakat pribumi yang berasal dari
luar Priangan memberikan pengaruh dalam SIMPULAN
konteks kebutuhan pemukiman, kesehatan,
pendidikan dan permintaan tambahan atas Bahwa secara geologis tanah yang subur
kebutuhan tanah yang produktif. dengan perpaduan dataran rendah daerah
Kehadiran para pendatang tersebut pegunungan serta banyaknya aliran air dalam
memberikan satu masalah tersendiri bagi bentuk mata air dan sungai, menjadikan daerah
perkembangan kehidupan sosial di wilayah Bogor berkelimpahan atas hasil bumi yang
Priangan Barat (Cipanas-Bogor), karena besar. Hal itu menjadi modal utama untuk
kehadiran mereka bukan hanya bermukim, akan menjalankan roda perekonomian masyarakat
tetapi juga mencoba peruntungan dalam sektor setempat dalam bentuk : berladang, beternak
ekonomi. Seperti yang dijelaskan oleh Residen serta aktivitas ekonominya. Tahun 1869 di Jawa

- 223 -
SOSIO-E-KONS, Vol.7 No. 3 Desember 2015, Hlm. 216-225 Nurbaity, dkk, Swastanisasi Perkebunan Teh di Bogor….

Barat ini membuktikan bahwa sebagian besar SARAN


desa-desa di sepanjang daerah Jawa bagian
Barat tanah yang dimiliki perseorangan jauh Kebijakan ekonomi perkebunan swasta
lebih banyak dan luas dari pada tanah yang masa kolonial adalah kesempatan yang dibuka
dimiliki secara komunal. Stratifikasi sosial oleh pemerintah kolonial setelah masa tanam
dalam masyarakat tradisional Bogor yang juga paksa di berbagai daerah di Hindia Belanda
termasuk dalam masyarakat Jawa Barat, salah satunya adalah perkebunan teh di Bogor.
terbentuk atas dasar nilai-nilai dan pengetahuan Tidak hanya perkebunan teh sebagai komoditi
yang bersumber dari sistem nilai agama Hindu, ekspor tetapi juga berbagai macam komoditi
dan juga mengadopsi nilai-nilai agama Islam. lain seperti tembakau, kelapa sawit, gula, dan
Peralihan kebijakan ekonomi kolonial sebagainya yang dijadikan perkebunan swasta.
dari penguasaan yang bersifat monopolistik, Perkebunan swasta itu pun tidak hanya berada
menjadi kebijakan produksi tanaman komoditi, di wilayah Jawa tapi juga menjangkau hingga
ikut mengantarkan perubahan mode produksi ke timur wilayah Hindia Belanda. Dengan
khususnya di wilayah Bogor. Khususnya untuk demikian, kajian mengenai perkebunan swasta
wilayah Bogor, tanaman komoditi yang ini masih perlu digali kembali mengingat
berkembang dan cukup menguntungkan untuk cakupan wilayah perkebunan swasta yang luas
diusahakan ialah tanaman teh. Secara aspek dan komoditi tanaman ekspornya pun beragam.
geografis dan klimatologi, wilayah Bogor Banyak yang dapat digali untuk penelitian
(Priangan) merupakan daerah yang cukup baik selanjutnya, yang bisa dilihat dari aspek
untuk dapat menanam dan mengembangkan ekonomis, manajerial dari perusahaan tersebut,
tanaman komoditi teh. hubungan sosial dan keterkaitan dengan
Proses swastanisasi perkebunan teh yang masyarakat setempat serta kesejahteraan sosial.
terjadi di seluruh wilayah Priangan, khususnya Dengan penelitian-penelitian yang semakin
di wilayah Cipanas-Bogor, sebagai wilayah terbuka mengenai tema ini diharapkan menjadi
perkebunan teh yang berada dalam naungan pembelajaran berharga bagi perkembangan
afdeling Sukabumi. Selain angka jumlah perkebunan swasta di Indonesia.
perusahaan perkebunan swasta yang meningkat,
keberadaan industri perkebunan teh, dapat
menjadi jalan bagi para penduduk Cipanas- DAFTAR PUSTAKA
Bogor untuk mendapatkan tambahan
pendapatan rumah tangga mereka. Seain itu Arsip Nasional Republik Indonesia. 1978.
pula terbangunnya suprastruktur dan Memori Serah Jabatan 1921-1930 (Jawa
infrastruktur penunjang industrialisasi Barat).
perkebunan teh. Perkembangan infrastruktur Arsip Nasional Republik Indonesia. 1998.
dan suprastruktur dalam konteks sebuah Otonomi Daerah Hindia-Belanda 1903-
wilayah memberikan satu kesempatan pula bagi 1940.
wilayah itu sendiri untuk siap terintegrasi Burger, D.H. 1957. Sejarah Sosiologi dan
dengan dunia luar. Dengan beralihnya model Ekonomi Indonesia. Jakarta: Pustaka
ekonomi subsisten menuju model ekonomi Jaya.
industri, merubah hubungan-hubungan sosial _________________dan Parajudi. 1962.
yang menjadi tali-temali dalam proses jalinan Sedjarah Ekonomis Sosiologis Indonesia,
relasi produksi. Jika dalam proses aktivitas Jilid I, Cetakan ketiga. Djakarta:
ekonomis dalam bentuk mode ekonomi Percetakan Negara Pradnjaparamita.
subsisten, jalinan relasi sosial-produksi yang Dick, H.W dan J. Thomas Lindblad (ed). 2002.
terbingkai adalah antara pemilik tanah (land Fondasi Historis Ekonomi Indonesia,
lord) dengan petani hamba, maka pada masa Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan Pusat
industri perkebunan hubungan relasi produksi Studi Sosial Asia Tenggara UGM.
berubah menjadi antara pengusaha (penyewa Handboek van Ondernemingen en Handel in
tanah) dengan petani penggarap tanah. Nederlands-Indie. 1920. Departmen van
Landbouw en Economische Zaken.
Harsojo dan Koentjaraningrat (ed). 2004.
Manusia dan Kebudayaan di Indonesia.
Jakarta: Djambatan.

- 224 -
SOSIO-E-KONS, Vol.7 No. 3 Desember 2015, Hlm. 216-225 Nurbaity, dkk, Swastanisasi Perkebunan Teh di Bogor….

Kartodirdjo, Sartono . 1972. Politik Kolonial


Belanda Abad ke-19. Yogyakarta:
Lembaran Sejarah.
Kuntowijoyo.2002. Perubahan Sosial dalam
Masyarakat Agraris. Yogyakarta: Mata
Bangsa.
Leirissa, R.Z, G.A. Ohorella, dan Yuda B.
Tangkilisan. 1996. Sejarah
Perekonomian Indonesia. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
RI.
Maddison, Angus dan Ge Prince. 1989.
Economic Growth in Indonesia 1820—
1940. USA: Foris Publications.
Padmo, Soegijanto. 2004. Bunga Rampai
Sejarah Sosial-Ekonomi Indonesia.
Yogyakarta: Aditya Media.
Sajogyo. 1982. Bunga Rampai Perekonomian
Desa. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Scott, James. 1981. Moral Ekonomi Petani.
Jakarta : LP3ES.
Staatsblad 1912 No. 177 dan 178.
Staatsblad 23 November 1933, No.2.
Suganda, Her.1981. Kisah Para Preanger
Planters.Jakarta : Kompas.
van Dooren, P.J, J.B.D. Derksen, et al. 1975.
Changing Economy in Indonesia Volume
1 Indonesia’s Export Crops 1816—1940.
Amsterdam: The Hague Under the
auspices of Royal Tropical Institute.
Van Erden, J.H en W.B Deijs. 1946. Thee
CultuurerOndernemingen.Gravenhage
NV.Uitgeei.

- 225 -
SOSIO-E-KONS, Vol.7 No. 3 Desember 2015, Hlm. 216-225 Nurbaity, dkk, Swastanisasi Perkebunan Teh di
Bogor….

226

Anda mungkin juga menyukai