Abstract : Indonesia known as Nusantara by East-Indies had greatest natural sources. The search of spices in
East-Indies by the westners of Europe had been done since the emerge of compass and shipping technology. The
potential of Nusantara’s natural resources commodities sold out in world’s market forced west countries to
compete and gained much more benefits. Those benefits too-and yet become the motivation of the west to occupy
the land. The more greater power to the west then later be implemented through several rules and obligations
including in economic called cultuurstelsel. The cultuurstelsel then later be changed within the involvement of
private sector in it and given their investment. One of the investment in occupied land is the acquisition of tea
plantation in Cipanas Bogor. This acquisition of tea plantation become private sector had marked his own
periode in the history of plantation in Indonesia.
Abstrak : Indonesia yang dahulu dikenal dengan Nusantara atau bangsa Barat kolonial menyebutnya dengan
Hindia Belanda memiliki potensi sumber daya alam yang luar biasa. Pencarian wilayah Hindia Belanda sebagai
penghasil rempah-rempah sudah diincar oleh bangsa-bangsa Barat khususnya dari Eropa sejak adanya kompas
dan teknologi kapal laut. Potensi alam Nusantara sebagai penghasil tanaman yang laku di pasaran dunia
menyebabkan bangsa-bangsa Barat berkompetisi untuk mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya.
Keuntungan yang besar itu pula yang menjadi motivasi bangsa-bangsa Barat menancapkan kekuasaannya di
Nusantara. Kekuasaan yang semakin besar itu diwujudkan dengan menerapkan segala kebijakan atau peraturan
kolonial salah satunya mengenai perekonomian wilayah jajahan. Diantara kebijakan di bidang perekonomian
yang diterapkan oleh kolonial Belanda di Hindia Belanda adalah cultuurstelsel yang kemudian digantikan
dengan sistem baru yang lebih terbuka dengan mengikutsertakan para pengusaha swasta untuk memberikan
investasi di tanah jajahan. Salah satu pengelolaan tanah jajahan oleh pihak swasta asing adalah perkebunan teh di
Cipanas Bogor. Akuisisi status perkebunan ke arah swastanisasi ini menjadi satu periode tersendiri dari sejarah
perkebunan di Indonesia.
- 216 -
SOSIO-E-KONS, Vol.7 No. 3 Desember 2015, Hlm. 216-225 Nurbaity, dkk, Swastanisasi Perkebunan Teh di Bogor….
kajian mengenai tema sejarah perkebunan yang pemerintah kolonial. Komoditi tanaman teh
pernah dilahirkan oleh para penulis sejarah, sebagai salah satu jenis komoditi ekspor lambat
secara umum berkonsentrasi atau mengambil laun ternyata kurang mendapat perhatian dalam
latar sosial (wilayah) di sekitar wilayah pasar internasional (Van Erden dan Deijs, 1946:
Priangan, Jawa Bagian Tengah dan Timur, serta 69). Jenis komoditi tanaman teh tidak dapat
di sekitar wilayah pantai timur Sumatera. mengimbangi pesatnya permintaan komoditi
Khususnya untuk tema sejarah perkebunan di lainnya seperti gula, kopi, beras, kopra dan
wilayah Priangan, kajian mengenai sejarah karet. Berdasarkan keadaan yang demikian
perkebunan teh di daerah Bogor (wilayah ujung maka pemerintah setelah berakhirnya kebijakan
barat dari daerah Priangan) sedikit sekali cultuurstelsel (tanam paksa), mengalihkan
tulisan-tulisan yang membahasnya. Beberapa pengusahaan tanaman teh kepada pihak swasta
kajian yang pernah lahir biasanya sangat umum (Padmo, 2004: 69), tidak terkecuali juga
dan didominasi oleh tinjauan mengenai keberadaan perkebunan teh yang berada di
pertanian. wilayah Bogor, turut pula beralih dikuasai oleh
Lebih jauh untuk dapat memahami pihak swasta.
sejarah perkebunan di Indonesia, khususnya Proses swastanisasi, itulah kata yang
perkebunan teh di wilayah Bogor, memang tepat untuk menggambarkan proses transisi
tidak dapat dilepaskan dari bagaimana keadaan pengelolaan perkebunan teh di Hindia Belanda,
sejarah Indonesia pada masa penguasaan khususnya perkebunan teh di Bogor (Jawa
pemerintah kolonial Hindia Belanda (Padmo, Barat) pada akhir abad ke-19, hingga mencapai
2004: 4). Perkebunan teh di wilayah Bogor akhir penguasaan pemerintahan kolonial
pada awalnya berkembang setelah dilakukan uji Belanda. Dinamika proses swastanisasi
coba penanamannya di Kebun Raya Bogor, perkebunan teh di Hindia Belanda secara umum
areal sekitar istana atau tempat peristirahatan dapat dipahami sebagai masa-masa akselarasi
Gubernur Jenderal pada abad ke-17 (P.J. van percepatan dan pertumbuhan dari industrialisasi
Dooren, et al., 1975: 77). Pada saat itu, perkebunan. Masuknya sistem uang
tanaman teh dibawa ke Hindia Belanda dan (monetisasi), perubahan pengelolaan
ditanam di areal pekarangan rumah Gubernur perkebunan dengan menggunakan pendekatan
Jenderal di Bogor. Setelah penanaman teh organisasi dan manajemen yang lebih modern,
tersebut berhasil, barulah kemudian tanaman adaptasi para penduduk pribumi terhadap
teh mulai ditanam di beberapa daerah di Jawa, tanaman komoditi teh, keberadaan pabrik-
khususnya di wilayah Bogor sebagai tanaman pabrik teh sebagai mata pencaharian baru bagi
komoditi perdagangan. masyarakat setempat, hingga proses
Sejarah perkembangan perkebunan teh di penyiasatan perkebunan teh dalam
wilayah Bogor berubah pesat ketika pemerintah mengahadapi krisis ekonomi (depresi ekonomi)
kolonial Belanda memasukan tanaman tersebut di tahun 1930, merupakan serangkaian
sebagai komoditi utama ekspor dari Hindia peristiwa yang menarik untuk dikaji secara
Belanda, bertarung melawan tanaman teh yang lebih mendalam. Penelitian ini diharapkan dapat
berasal dari India, dan Cina. Era perkembangan memberikan sedikit penjelasan yang
teh yang sebelumnya diusahakan oleh sebagian komprehensif mengenai rangkaian peristiwa
kalangan (keluarga) Eropa dari masa VOC, tersebut, dengan tetap menekankan aspek
bergeser dan diambil alih oleh pemerintah masalah (problem oriented) dalam menjawab
kolonial. Hal ini dapat dilihat pada saat sebuah pertanyaan dasar yakni bagaimana
pemerintah kolonial melalui Gubernur Jendral memahami dinamika perkebunan teh di Bogor
Van Den Bosch mengeluarkan kebijakan pada masa swastanisasi (corporatisasi) besar-
cultuurstelsel (tanam paksa), dimana tanaman besaran di Hindia Belanda.
teh masuk sebagai tanaman yang diusahakan
oleh pemerintah dan sebagai salah satu tanaman Gambaran Ekologi Bogor (Keadaan
ekspor utama dari Hindia Belanda (Padmo, Geografi, Ekonomi dan Penduduk)
2004: 154).
Perdagangan dan perniagaan komoditi Daerah Bogor yang memiliki kondisi
tanaman teh yang berlangsung pada masa tanam geografis sebagai daerah pegunungan, memiliki
paksa di Hindia Belanda, pada perjalanannya tanah yang subur guna membangun mode
ternyata tidak semulus yang diharapkan oleh produksi agraria (pertanian dan perkebunan).
- 217 -
SOSIO-E-KONS, Vol.7 No. 3 Desember 2015, Hlm. 216-225 Nurbaity, dkk, Swastanisasi Perkebunan Teh di Bogor….
- 218 -
SOSIO-E-KONS, Vol.7 No. 3 Desember 2015, Hlm. 216-225 Nurbaity, dkk, Swastanisasi Perkebunan Teh di Bogor….
Stratifikasi sosial dalam masyarakat pedagang tukang, nelayan, dan lainnya (Burger,
tradisional Bogor yang juga termasuk dalam 1957: 110).
masyarakat Jawa Barat, terbentuk atas dasar Golongan bawah masyarakat pribumi di
nilai-nilai dan pengetahuan yang bersumber Bogor pada abad ke-17, yang hidup di
dari sistem nilai agama Hindu, yang berasal dari pedalaman pedesaan secara umum bermata
luar Nusantara sebagai sebuah konsekuensi pencaharian sebagai penanam padi, biji-bijian
dinamika sosial masyarakat Jawa Barat dengan dan buah-buahan, yang dilakukan dalam bentuk
kelompok masyarakat di luar Nusantara (India tanah ladang dan sawah. Golongan ini
dan Cina). Hal ini dibuktikan dengan adanya merupakan tulang punggung bagi penghidupan
kerajaan-kerajaan Hindu-Budha di Jawa Barat ekonomi di wilayah Bogor (ANRI, 1978: LV).
seperti Kerajaan Tarumanagara, Kerajaan Tanpa keberadaan masyarakat kecil tersebut,
Sunda dan Kerajaan Galuh yang dipengaruhi sangat kecil kemungkinan perekonomian
oleh nilai-nilai Hindu. Selain itu dalam hikayat dengan model organisasi produksi tradisional
atau sejarah masyarakat Jawa Barat juga tersebut akan berjalan lancar. Oleh karena itu
dituliskan, kalau masyarakat Jawa Barat juga tidaklah terlalu berlebihan jika dikatakan,
mengadopsi nilai-nilai agama Islam, yang golongan bawah menjadi tulang punggung bagi
diwujudkan dengan berdirinya Kesultanan kehidupan perekonomian di wilayah Bogor
Cirebon dan Kesultanan Banten. (Scott, 1981: 58). Jauh sebelum pemerintah
kolonial Belanda berkuasa secara penuh di
Organisasi Produksi Perkebunan Teh di tanah Bogor, model organisasi produksi dari
Bogor Hingga Akhir Masa Sistem Tanam masyarakat di Bogor memiliki pola seperti yang
Paksa dijelaskan di atas. Organisasi produksi dengan
model kepemilikan alat produksi (tanah) oleh
Pada abad ke -17, sebagai masa-masa pemegang kekuasaan tradisional, bahkan
awal pengusahaan tanaman teh di Bogor, berjalan dan berlangsung pula hingga saat
konstruksi masyarakat Bogor pada masa pemerintah kolonial Hindia-Belanda berkuasa
tersebut, (tiga kelas utama yang berhubungan secara penuh di wilayah Bogor.
dengan aktivitas produksi tanaman komoditi Masuknya kepentingan ekonomi asing ke
teh) tersebut dihubungkan dengan sebuah dalam wilayah Bogor pada abad ke-17 tidak
sistem yang disebut dengan sistem upeti dan lepas dari penetrasi ekonomi dan politik
kerja wajib (Burger, 1957: 110). Sistem upeti kolonial yang dilakukan oleh kongsi dagang
dalam bentuk penyerahan pajak hasil bumi dan VOC. Terbentuknya Sunda Kalapa (Batavia)
kerja wajib ini, merupakan konsekuensi dari sebagai salah satu pusat perekonomian dan
konsep penguasaan alat produksi dan perdagangan di wilayah pesisir utara Jawa,
pengelolaan alat dan sumber produksi. Istana memberikan konsekuensi berupa ekspansi
atau para penguasa lembaga politik tradisional ekonomis ke wilayah di sekitarnya (salah satu
merupakan kelas yang memiliki dan menguasai diantaranya ialah wilayah Bogor). Lebih lanjut
alat dan sumber-sumber produksi, sementara peralihan kebijakan ekonomi kolonial dari
rakyat kebanyakan ialah para pekerja yang penguasaan yang bersifat monopolistik,
melakukan pengelolaan atas alat-alat produksi menjadi kebijakan produksi tanaman komoditi,
dan sumber produksi (Kuntowijoyo, 2002: ikut pula mengantarkan perubahan mode
112). Dalam konteks inilah, rakyat kemudian produksi khususnya di wilayah Bogor (Sajogyo,
terikat oleh kewajiban-kewajiban atas tanah 1982: 92).
yang digunakan untuk dapat bertahan hidup. Perluasan varian tanaman komoditi
Kewajiban-kewajiban inilah yang kemudian perdagangan sebagai konsekuensi permintaan
menjadi semacam tugas bagi para rakyat atau pasar internasional yang semakin berkembang
tani hamba yang menjadi tulang punggung dan berubah-ubah, memaksa Nusantara untuk
penggerak aktivitas ekonomi masyarakat tidak hanya menghasilkan rempah-rempah dan
tradisional (Burger dan Parajudi, 1962: 240). palawija. Beberapa tanaman komoditi seperti :
Golongan-golongan khusus yang memiliki kopi, teh, kopra, tebu, tembakau dan beras
kewajiban pekerjaan ini terdiri dari keluarga- menjadi jenis-jenis tanaman yang sangat
keluarga di pedesaan. Golongan keluarga digemari dan menjadi primadona, bahkan
pedesaan tersebut adalah masyarakat biasa atau hingga masa akhir pemerintahan kolonial di
masyarakat kecil yang bekerja sebagai petani, Nusantara. Khususnya untuk wilayah Bogor,
- 219 -
SOSIO-E-KONS, Vol.7 No. 3 Desember 2015, Hlm. 216-225 Nurbaity, dkk, Swastanisasi Perkebunan Teh di Bogor….
tanaman komoditi yang berkembang dan cukup berasal dari tanah Priangan memiliki kualitas
menguntungkan untuk diusahakan ialah yang lebih baik dari teh yang berasal dari
tanaman teh. Secara aspek geografis dan perkebunan di daerah Jawa lainnya. Seperti
klimatologi, wilayah Bogor (Priangan) yang dinyatakan oleh Padmo (2004)
merupakan daerah yang cukup baik untuk dapat berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh
menanam dan mengembangkan tanaman Jacobson di beberapa tempat, teh yang berasal
komoditi teh. Tanaman teh pertama kali dibawa dari perkebunan teh di daerah Priangan-Jawa
ke wilayah Bogor oleh Andreas Clyer seorang Barat memiliki kualitas teh yang lebih baik
berkebangsaan Jerman, pada tahun 1648 dibandingkan teh yang berasal dari teh di
(Suganda, 1981: 3). Wonosobo. Pengawasan yang ketat dan
manajemen produksi yang baik menjadi salah
Pengusahaan Perkebunan Teh oleh satu faktor yang membuat kualitas teh yang
Pemerintah Kolonial di Bogor berasal dari tanah Priangan lebih baik dari teh
yang berasal dari perkebunan lainnya di Jawa.
Setelah pemerintah kolonial mengambil Penyediaan para petugas pengawas (controleur)
upaya penanaman komoditi teh dari pihak yang berasal dari Eropa, ditambah dengan para
swasta (dalam hal ini pihak swasta sering kali pekerja yang berasal dari Cina, sebagai tenaga
dikenal dengan nama Preanger Planters), penangkar teh merupakan bagian dari strategi
pemerintah kolonial bergerak cepat dengan pemerintah kolonial yang utama dalam
menugaskan Jacobus Isidorus loudewijk Levian produksi teh di Priangan.
Jacobson, seorang ahli dan pakar penguji teh di Demi mendapatkan hasil yang terbaik
Nederlandsche Handel Maastchappij (NHM). bagi kualitas teh, pemerintah kolonial juga
Jacobson kemudian diangkat menjadi inspektur melakukan mobilisasi yang cukup besar pula
budi daya teh pada dinas pemerintahan kolonial dalam hal tenaga kerja (buruh) yang bekerja
(Suganda, 1981: 4). Kebijakan lain yang sebagai pemetik teh. Sebagai gambaran untuk
ditempuh oleh pemerintah kolonial dalam melihat besarnya mobilisasi pekerja dalam
menyelenggarakan industri perkebunan teh, produksi teh di daerah Priangan, sebagai berikut
ialah dengan membuat keputusan berupa adalah data mengenai gambaran perkebunan teh
Resolusi 5 November 1834 No. 3, yang di Jawa (Padmo, 2004: 161):
menetapkan mengenai mobilisasi dan ”Areal perkebunan teh yang diusahakan oleh
pengerahan tenaga penduduk dalam mendukung perkebunan teh sepanjang kurun waktu 1835-
industri perkebunan teh (Padmo, 2004: 154). 1840 adalah rata-rata seluas 500 bau, dengan
Berkaitan dengan sumber daya manusia 2.345.960 rumpun tanaman teh, dimana
sebagai pekerja pada perkebunan teh, 707.460 untuk mengembangkan produksi teh
pemerintah kolonial juga melakukan perekrutan hitam. Tiga pabrik pengolahan teh yang besar
tenaga kerja yang berasal dari Cina. Tenaga masing-masing memerlukan 200.000 rumpun
kerja yang berasal Cina direkrut oleh pohon teh dan 17 pabrik pengolahan teh yang
pemerintah kolonial sebagai tenaga ahli dalam kecil dimana masing-masing bisa menampung
proses pengolahan teh, mendampingi sebanyak 100.000 rumpun tanaman teh.
masyarakat pribumi yang dipekerjakan oleh Kemudian teh kering yang dihasilkan oleh 20
pemerintah kolonial di perkebunan teh pabrik pengolahan tersebut ditampung dalam
(Suganda, 1981:4). Para pekerja yang berasal empat gudang pengepakan”.
dari Macau (Cina) tersebut direkrut oleh Berdasarkan penjelasan Soegijanto
Jacobson, pada tanggal 1 Maret 1838 dari Padmo mengenai mapping industri perkebunan
Batavia dengan tugas sebagai penangkar teh, teh di Jawa, maka dapat ditafsirkan bahwa
dan diberikan gaji sebesar f.10.- sebulan. Selain perkebunan teh yang berada di Cipanas (Bogor)
itu, Jacobson juga membawa serta 7.000.000 merupakan salah satu dari wilayah penanaman
bibit teh untuk dikembangkan di perkebunan teh dan penangkaran teh yang berada di Jawa
teh yang ada di seluruh Jawa, salah satunya Barat, di bawah pabrik utama (20 pabrik utama)
ialah perkebunan teh yang ada di Cipanas- pengolahan yang berada di afdeling Sukabumi.
Bogor. Pengelolaan perkebunan yang dilakukan dengan
Seiring dioperasikannya perkebunan- ketat dan manajerial yang cukup baik, serta
perkebunan teh di seluruh Jawa, termasuk di mobilisasi penduduk yang kemudian diberikan
Cipanas-Bogor, sejatinya kualitas teh yang kompensasi gaji dalam pekerjaan memetik,
- 220 -
SOSIO-E-KONS, Vol.7 No. 3 Desember 2015, Hlm. 216-225 Nurbaity, dkk, Swastanisasi Perkebunan Teh di Bogor….
- 221 -
SOSIO-E-KONS, Vol.7 No. 3 Desember 2015, Hlm. 216-225 Nurbaity, dkk, Swastanisasi Perkebunan Teh di Bogor….
- 222 -
SOSIO-E-KONS, Vol.7 No. 3 Desember 2015, Hlm. 216-225 Nurbaity, dkk, Swastanisasi Perkebunan Teh di Bogor….
dan memelihara ikan di areal pekarangan rumah Priangan L. de Steurs (ANRI, 1980: LIII),
mereka. bahwa seiring lajunya pertambahan penduduk
Pertumbuhan aktivitas penanaman dan melalui fenomena migrasi terjadi peningkatan
perdagangan tanaman komoditi teh dapat dilihat permohonan pengajuan usaha pertanian kecil.
melalui perkembangan permintaan tanah Kedatangan pemodal besar dan kecil dari
sebagai lahan produksi. Selain itu juga dapat golongan Eropa yang menyisakan persoalan
dilihat dari terbangunnya suprastruktur dan mengenai tanah sewa (partikelir) yang ilegal,
infrastruktur penunjang industrialisasi menjadi persoalan yang belum mampu
perkebunan teh. Perkembangan infrastruktur diselesaikan oleh pemerintah kolonial (ANRI,
dan suprastruktur dalam konteks sebuah 1980: CXXI). Persoalan mengenai perubahan
wilayah memberikan satu kesempatan pula bagi tanah dari semula tanah perseorangan warga,
wilayah itu sendiri untuk siap terintegrasi menjadi tanah sewaan merupakan fenomena
dengan dunia luar. Terintegrasinya suatu yang banyak dijumpai pada masa era
wilayah sebagai konsekuensi logis swastanisasi perkebunan di Priangan. Untuk
perkembangan kehidupan sosial-ekonomi menyelesaikan persoalan tersebut pemerintah
merupakan satu perkembangan lanjutan yang kolonial telah membuat badan berupa
dihadapi oleh wilayah Cipanas-Bogor menuju perkumpulan tanah partikelir untuk
dekade 1930-an (ANRI, 1980: CXIX). menyelesaikan persoalan tanah sewaan yang
Pembangunan infrastruktur jalan raya dan jalur bermasalah (Staatsblad 23 November 1933,
kereta api yang menghubungkan wilayah- No.2).
wilayah di Priangan dengan wilayah luar Tanah partikelir yang muncul sejak akhir
Priangan memberikan kesempatan bagi hilir- abad ke-19, hingga menuju masa akhir
mudiknya lalu lintas barang dan manusia pemerintah kolonial Hindia-Belanda,
(ANRI, 1980: LXXI). Hasil-hasil produksi merupakan modal utama bagi pembentukan
perkebunan di seluruh wilayah Priangan industri perkebunan. Dengan beralihnya model
memerlukan akses transportasi yang baik dalam ekonomi subsisten menuju model ekonomi
memudahkan pengangkutan menuju wilayah industri, sudah barang tentu pula merubah
pelabuhan, sebagai mata rantai jalur ekspor dari hubungan-hubungan sosial yang menjadi tali-
Hindia-Belanda. Di sisi lain keberadaan jalur temali dalam proses jalinan relasi produksi. Jika
transportasi beserta penopang lainnya menjadi dalam proses aktivitas ekonomis dalam bentuk
jalur bagi masuknya barang-barang impor ke mode ekonomi subsisten, jalinan relasi sosial-
dalam wilayah Priangan. produksi yang terbingkai adalah antara pemilik
Terbukanya pintu akses menuju, dari dan tanah (land lord) dengan petani hamba, maka
ke wilayah Priangan menghadirkan pengaruh pada masa industri perkebunan hubungan relasi
terhadap dinamisnya kehidupan sosial produksi berubah menjadi antara pengusaha
masyarakat Priangan. Kedatangan para (penyewa tanah) dengan petani penggarap
pendatang ke wilayah Priangan, khususnya tanah. Ikatan-katan relasi sosial yang berbentuk
Cipanas-Bogor menjadi satu fenomena yang patron-client, berubah menjadi pengusaha dan
selalu mengisi dinamika kehidupan sosial buruh. Jelas perubahan ini memberikan dampak
wilayah Priangan Barat tersebut (ANRI, 1980: yang cukup besar, dimana pada fase ini disebut
LXXX). Kedatangan para kaum urban yang oleh beberapa ahli sejarah sebagai fase dimana
terdiri dari Eropa, Timur Tengah, Cina, India runtuhnya pelembagaan tradisional.
hingga masyarakat pribumi yang berasal dari
luar Priangan memberikan pengaruh dalam SIMPULAN
konteks kebutuhan pemukiman, kesehatan,
pendidikan dan permintaan tambahan atas Bahwa secara geologis tanah yang subur
kebutuhan tanah yang produktif. dengan perpaduan dataran rendah daerah
Kehadiran para pendatang tersebut pegunungan serta banyaknya aliran air dalam
memberikan satu masalah tersendiri bagi bentuk mata air dan sungai, menjadikan daerah
perkembangan kehidupan sosial di wilayah Bogor berkelimpahan atas hasil bumi yang
Priangan Barat (Cipanas-Bogor), karena besar. Hal itu menjadi modal utama untuk
kehadiran mereka bukan hanya bermukim, akan menjalankan roda perekonomian masyarakat
tetapi juga mencoba peruntungan dalam sektor setempat dalam bentuk : berladang, beternak
ekonomi. Seperti yang dijelaskan oleh Residen serta aktivitas ekonominya. Tahun 1869 di Jawa
- 223 -
SOSIO-E-KONS, Vol.7 No. 3 Desember 2015, Hlm. 216-225 Nurbaity, dkk, Swastanisasi Perkebunan Teh di Bogor….
- 224 -
SOSIO-E-KONS, Vol.7 No. 3 Desember 2015, Hlm. 216-225 Nurbaity, dkk, Swastanisasi Perkebunan Teh di Bogor….
- 225 -
SOSIO-E-KONS, Vol.7 No. 3 Desember 2015, Hlm. 216-225 Nurbaity, dkk, Swastanisasi Perkebunan Teh di
Bogor….
226