Adalah seorang Soeharto yang memberi makna politis terhadap padi, beras atau
nasi. Beras bukan lagi sebuah teks ekonomi atau pertanian, tapi sudah bermakna
politis. Bayangkan, setiap orang makan nasi, logikanya, petani harus kaya.
Tetapi mengapa petani identik dengan kemiskinan? Mengapa harga beras tidak
bisa dikendalikan oleh petani sendiri? Ironisnya, petani justru dihajar oleh
produsen pestisida, pupuk dan juga harga bibit padi itu sendiri. Petani terjepit
sebagai produsen yang tak punya kemampuan posisi tawar terhadap
matarantainya sendiri.
Lantas, mengapa seperti ada yang salah ketika orang makan selain nasi?
Pemerintah memang pernah berkampanye soal diversifikasi pangan, supaya kita
tidak tergantung nasi. Maka dipopulerkannya nasi jagung, thiwul, nasi bentul,
sagu dan sebagainya? Pertanyaannya, sejauh mana konsep diversifikasi ini
dikerjakan secara profesional? Selama ini diversifikasi pangan itu hanya sebatas
di lingkungan ibu-ibu PKK belaka. Belum menjadi program pemerintah yang
dikerjakan secara sistematis, terpadu dan sustainable, bukan sekadar menjadi
urusan Departemen Pertanian.
Karena padi telah dipolitisasi, maka produksi padi dikemas sebagai industri,
yang menyingkirkan kearifan budaya. Bahwa sawah harus panen setahun tiga
kali. Logikanya, harus menggunakan bibit padi tertentu, pupuk tertentu,
pestisida tertentu bahkan dengan cara bercocok tanam tertentu pula. Petani yang
seharusnya berkuasa sebagai produsen, harus tunduk menjadi konsumen
saprodi yang notabene dikuasai oleh cukong-cukong di lingkaran elit penguasa.
Sebagai produsen, petani terjepit oleh kepentingan pengusaha saprodi dan
ketidak-mampuannya mengendalikan harga beras.
Barangkali kita perlu belajar sejarah tentang padi. Bahwa pada masa Majapahit
dulu, ada Candi Pari yang dibangun sekitar 1371 pada jaman Raja Hayam
Wuruk (Kerajaan Majapahit) yang memiliki ventilasi atau lubang sirkulasi udara
dan bentuk bubungan mengerucut yang menyerupai bentuk lumbung padi.
Pada masa itu, desa candi pari merupakan daerah penyangga pangan terbesar
pada masa kerajaan Majapahit. Hal ini terkait dengan daerah endapan sungai
(delta) sebagai kawasan paling subur. Candi Pari bukan lumbung beras dalam
makna harafiah, melainkan sebuah simbol budaya untuk menyimpan sebagian
hasil panen sebagai simbol pemujaan terhadap Dewi Sri, dewi penguasa
pertanian.
Sejarah memang telah mengajarkan banyak hal pada kita. Sejarah, bukan untuk
nostalgia. Bahwa kearifan budaya masa lalu harus jadi tolehan bangsa ini.
Mempelajari sejarah bangsa seharusnya tidak terjebak atau terhenti pada
kebanggaan akan kejayaan masa lalu. Justru yang perlu digali dari sejarah
bangsa adalah bagaimana kearifan budaya yang berkembang pada masa lalu itu
bisa dimanfaatkan untuk menghadapi dan mengatasi beragam persoalan hari
ini.
2
"Selama ini, pelajaran sejarah cenderung lebih diutamakan untuk penghafalan
tahun-tahun peristiwa semata. Padahal, yang paling penting bagaimana
membawa anak pada penjelasan kenapa orang-orang di masa lalu bisa survive
pada zamannya," kata Bambang Budi Utomo, peneliti dari Pusat Penelitian dan
Pengembangan Arkeologi Nasional pada Departemen Kebudayaan dan
Pariwisata, di sela-sela penutupan Arung Sejarah Bahari II di Pontianak,
Kalimantan Barat, Jumat (Kompas, 20/7/2007).
Menurut Bambang, semangat atau nilai-nilai yang ada dalam peristiwa sejarah
masa lalu itu seharusnya bisa dimanfaatkan untuk membangun masa depan
bangsa Indonesia yang masih terpuruk ini. Peninggalan-peninggalan purbakala
yang sudah banyak ditemukan sebenarnya menyimpan kekayaan warisan nenek
moyang yang berisi kearifan-kearifan lokal yang bisa bermanfaat bagi bangsa ini.
Jika orang-orang yang hidup pada masa lalu saja bisa menghadapi berbagai
persoalan yang juga masih dihadapi bangsa Indonesia sampai sekarang,
seharusnya masyarakat Indonesia yang hidup di zaman kemajuan teknologi ini
lebih terpacu untuk menemukan solusi yang tepat yang berakar pada sejarah
budaya yang sudah ada.
Dari temuan arkeologi di Sumbawa beberapa waktu lalu, misalnya, dari satu
bagian rumah yang tertimbun letusan Gunung Tambora tahun 1815 ditemukan
padi. Temuan ini, membuktikan bahwa masyarakat saat itu menyimpan padi di
rumah. Ini sekaligus memperlihatkan masyarakat setempat telah berhasil
menanam padi.
Data sejarah yang ada juga menunjukkan, pada abad XVIII, Sumbawa
merupakan daerah pengekspor beras terbesar di Asia. Semangat ini yang
harusnya dihidupkan ke masyarakat. Artinya, di daerah itu perlu dilakukan
penelitian untuk kemungkinan lagi bisa berhasil menanam padi. Apa yang
diwariskan nenek moyang atau yang disebut kearifan lokal yang dipunyai
bangsa ini sejak dahulu kala telah terbukti pernah membawa bangsa Indonesia
menjadi bangsa yang terkenal dan disegani. Hanya saja, kearifan lokal yang ada
itu justru di masa sekarang ini tidak mendapat tempat.
3
dimaknai sebagai nostalgia kejayaan di masa lalu saja. Ditambah lagi di
pendidikan, sejarah ini tidak terlalu dianggap penting. Bukan cuma jam
pelajarannya yang singkat, melainkan juga karena bukan masuk dalam mata
pelajaran yang akan diujikan secara nasional. Akibatnya, minat dan apresiasi
generasi bangsa terhadap sejarah bangsa sendiri terus menurun.
Catatan:
Makalah ini adalah pengantar Diskusi Budaya Gelar Budaya Agraris, di Candi Pari, 24-25 Mei
2008. Henri Nurcahyo, direktur Lembaga Ekologi Budaya (Elbud).
www.elbud.or.id