Anda di halaman 1dari 4

Ekologi Budaya tentang Padi

Catatan Henri Nurcahyo

Berapakah harga beras sekarang? Ada yang tahu?


Setiap hari kita makan nasi, sehari tiga kali. Tetapi, seberapa jauh perhatian kita
terhadap beras atau ketika masih berupa padi? Padahal dalam keseharian kita,
boleh dikatakan “tiada hari tanpa nasi”. Perut rasanya belum makan kalau
belum terisi nasi. Dan celakanya, hanya orang yang betul-betul miskin yang
tidak bisa makan nasi. Bahwa nasi, adalah sebuah simbol status terhadap
kesejahteraan.

Adalah seorang Soeharto yang memberi makna politis terhadap padi, beras atau
nasi. Beras bukan lagi sebuah teks ekonomi atau pertanian, tapi sudah bermakna
politis. Bayangkan, setiap orang makan nasi, logikanya, petani harus kaya.
Tetapi mengapa petani identik dengan kemiskinan? Mengapa harga beras tidak
bisa dikendalikan oleh petani sendiri? Ironisnya, petani justru dihajar oleh
produsen pestisida, pupuk dan juga harga bibit padi itu sendiri. Petani terjepit
sebagai produsen yang tak punya kemampuan posisi tawar terhadap
matarantainya sendiri.

Politisasi padi telah menghancurkan budaya diversifikasi yang tumbuh subur di


negeri ini. Bahwa semua orang harus makan nasi, sebagai simbol kesejahteraan.
Kalau sampai ada yang ketahuan makan thiwul, gaplek atau sagu, itu berarti
negara ini masih belum terbebas dari kemiskinan. Padahal, kandungan gizi
thiwul, gaplek, sagu atau jagung itu tak kalah dengan beras. Bukan sekadar
kandungan gizi atau persoalan kalori, tetapi sesungguhnya ada makna budaya
yang melekat di dalamnya. Kalau orang Madura lebih suka makan jagung, itu
mengandung kearifan lokal (local wise) atau kearifan budaya (cultural wise)
bahwa memang jagung yang cocok tumbuh subur di Madura, bukan padi.
Demikian pula saudara kita di Maluku atau Papua yang lebih akrab dengan
sagu. Mereka tak kenal padi lantaran bercocok tanam di sawah bukan menjadi
bagian budaya mereka. Justru dengan mengonsumsi sagu, mereka menjadi
dirinya sendiri. Dan bukan menjadi warga negara yang dijajah secara budaya
oleh pemerintahnya. Demikian pula kalau warga Gunung Kidul lebih suka
makan gaplek atau thiwul, karena di daerahnya memang lebih cocok menanam
singkong.

Lantas, mengapa seperti ada yang salah ketika orang makan selain nasi?
Pemerintah memang pernah berkampanye soal diversifikasi pangan, supaya kita
tidak tergantung nasi. Maka dipopulerkannya nasi jagung, thiwul, nasi bentul,
sagu dan sebagainya? Pertanyaannya, sejauh mana konsep diversifikasi ini
dikerjakan secara profesional? Selama ini diversifikasi pangan itu hanya sebatas
di lingkungan ibu-ibu PKK belaka. Belum menjadi program pemerintah yang
dikerjakan secara sistematis, terpadu dan sustainable, bukan sekadar menjadi
urusan Departemen Pertanian.

Karena padi telah dipolitisasi, maka produksi padi dikemas sebagai industri,
yang menyingkirkan kearifan budaya. Bahwa sawah harus panen setahun tiga
kali. Logikanya, harus menggunakan bibit padi tertentu, pupuk tertentu,
pestisida tertentu bahkan dengan cara bercocok tanam tertentu pula. Petani yang
seharusnya berkuasa sebagai produsen, harus tunduk menjadi konsumen
saprodi yang notabene dikuasai oleh cukong-cukong di lingkaran elit penguasa.
Sebagai produsen, petani terjepit oleh kepentingan pengusaha saprodi dan
ketidak-mampuannya mengendalikan harga beras.

Kearifan budaya yang tersingkirkan misalnya, bahwa petani hanya boleh


menanam jenis padi tertentu yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Petani
dilarang menanam padi Jawa, yang lebih enak rasanya, lebih mahal harganya,
lebih tahan penyakit, tidak tergantung pestisida, meskipun masa tanamnya lebih
lama. Atas nama swasembada beras, petani harus memproduksi beras sebanyak-
banyaknya, agar rakyat negeri ini tidak kelaparan, agar kita tidak impor beras,
kalau perlu harus ekspor beras. Bahwa Indonesia yang katanya negara agraris
ini, ternyata tidak memiliki kedaulatan pangan dan pertanian. Dalam soal
pertanian, kita masih harus belajar dari Kamboja, Thailand bahkan juga Vietnam.
Sepertinya ada yang salah di negeri ini.

Barangkali kita perlu belajar sejarah tentang padi. Bahwa pada masa Majapahit
dulu, ada Candi Pari yang dibangun sekitar 1371 pada jaman Raja Hayam
Wuruk (Kerajaan Majapahit) yang memiliki ventilasi atau lubang sirkulasi udara
dan bentuk bubungan mengerucut yang menyerupai bentuk lumbung padi.
Pada masa itu, desa candi pari merupakan daerah penyangga pangan terbesar
pada masa kerajaan Majapahit. Hal ini terkait dengan daerah endapan sungai
(delta) sebagai kawasan paling subur. Candi Pari bukan lumbung beras dalam
makna harafiah, melainkan sebuah simbol budaya untuk menyimpan sebagian
hasil panen sebagai simbol pemujaan terhadap Dewi Sri, dewi penguasa
pertanian.

Sejarah memang telah mengajarkan banyak hal pada kita. Sejarah, bukan untuk
nostalgia. Bahwa kearifan budaya masa lalu harus jadi tolehan bangsa ini.
Mempelajari sejarah bangsa seharusnya tidak terjebak atau terhenti pada
kebanggaan akan kejayaan masa lalu. Justru yang perlu digali dari sejarah
bangsa adalah bagaimana kearifan budaya yang berkembang pada masa lalu itu
bisa dimanfaatkan untuk menghadapi dan mengatasi beragam persoalan hari
ini.

2
"Selama ini, pelajaran sejarah cenderung lebih diutamakan untuk penghafalan
tahun-tahun peristiwa semata. Padahal, yang paling penting bagaimana
membawa anak pada penjelasan kenapa orang-orang di masa lalu bisa survive
pada zamannya," kata Bambang Budi Utomo, peneliti dari Pusat Penelitian dan
Pengembangan Arkeologi Nasional pada Departemen Kebudayaan dan
Pariwisata, di sela-sela penutupan Arung Sejarah Bahari II di Pontianak,
Kalimantan Barat, Jumat (Kompas, 20/7/2007).

Menurut Bambang, semangat atau nilai-nilai yang ada dalam peristiwa sejarah
masa lalu itu seharusnya bisa dimanfaatkan untuk membangun masa depan
bangsa Indonesia yang masih terpuruk ini. Peninggalan-peninggalan purbakala
yang sudah banyak ditemukan sebenarnya menyimpan kekayaan warisan nenek
moyang yang berisi kearifan-kearifan lokal yang bisa bermanfaat bagi bangsa ini.

Jika orang-orang yang hidup pada masa lalu saja bisa menghadapi berbagai
persoalan yang juga masih dihadapi bangsa Indonesia sampai sekarang,
seharusnya masyarakat Indonesia yang hidup di zaman kemajuan teknologi ini
lebih terpacu untuk menemukan solusi yang tepat yang berakar pada sejarah
budaya yang sudah ada.

Penelitian-penelitian arkeologi sebenarnya bisa dipakai sebagai rujukan untuk


menghadapi berbagai persoalan bangsa. Dengan mempelajari naskah-naskah
kuno, prasasti, atau benda-benda purbakala lainnya, bangsa ini bisa
mendapatkan informasi dan solusi yang tetap dan relevan dalam mengatasi
permasalahan bangsa saat ini.

Dari temuan arkeologi di Sumbawa beberapa waktu lalu, misalnya, dari satu
bagian rumah yang tertimbun letusan Gunung Tambora tahun 1815 ditemukan
padi. Temuan ini, membuktikan bahwa masyarakat saat itu menyimpan padi di
rumah. Ini sekaligus memperlihatkan masyarakat setempat telah berhasil
menanam padi.

Data sejarah yang ada juga menunjukkan, pada abad XVIII, Sumbawa
merupakan daerah pengekspor beras terbesar di Asia. Semangat ini yang
harusnya dihidupkan ke masyarakat. Artinya, di daerah itu perlu dilakukan
penelitian untuk kemungkinan lagi bisa berhasil menanam padi. Apa yang
diwariskan nenek moyang atau yang disebut kearifan lokal yang dipunyai
bangsa ini sejak dahulu kala telah terbukti pernah membawa bangsa Indonesia
menjadi bangsa yang terkenal dan disegani. Hanya saja, kearifan lokal yang ada
itu justru di masa sekarang ini tidak mendapat tempat.

Endjat Djaenuderadjat, Direktur Geografi Sejarah, Departemen Kebudayaan dan


Pariwisata, mengatakan bahwa masyarakat Indonesia memang masih rendah
dalam menghargai sejarahnya sendiri. Akibatnya, sejarah bangsa ini lebih

3
dimaknai sebagai nostalgia kejayaan di masa lalu saja. Ditambah lagi di
pendidikan, sejarah ini tidak terlalu dianggap penting. Bukan cuma jam
pelajarannya yang singkat, melainkan juga karena bukan masuk dalam mata
pelajaran yang akan diujikan secara nasional. Akibatnya, minat dan apresiasi
generasi bangsa terhadap sejarah bangsa sendiri terus menurun.

Catatan:
Makalah ini adalah pengantar Diskusi Budaya Gelar Budaya Agraris, di Candi Pari, 24-25 Mei
2008. Henri Nurcahyo, direktur Lembaga Ekologi Budaya (Elbud).
www.elbud.or.id

Anda mungkin juga menyukai