PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Kehidupan manusia dan makanan adalah dua hal yang tidakdapat dipisahkan.
Sepanjang sejarah manusia, makanan dan kehidupan dapat dilihat sebagai untuk
mencari makanan dan makanan yang dicari dipergunakan untuk kehidupan manusia.
Dapat diyakini bahwa bahan makanan yang telah tersedia sejak mula pertama
manusia ada dimuka bumi ini. Namun demikian, betapa pun sederhananya cara
pengolahan/teknologi bahan mentah itu sehingga menjadi makanan langsung dapat
dikonsumsi adalah merupakan hasil kebudayaan manusia. Dengan pertkaataan lain,
walaupun suatu bahan mentah secara potensial dapat dimakan, tetapi itu hanya
menjadi makanan karena adanya peranan kebudayaan.
Membahas masalah ragam budaya selalu mengutamakan ciri-ciri yang
menandai a.l. jangkauan lintas budaya dan lompatan lintas batas dari sebuah identitas
komunal. Ini artinya tidak ada dominasi kekuasaan mayoritas ter-hadap hak-hak
minoritas dan tak ada penghalang yang mengungkung sebuah suku yang hidup dalam
keberadaan masyarakat dengan nilai-nilai demokratis.
Kepentingan dalam menciptakan masyarakat didasari bahwa keragaman dan
pluralisme merupakan sebuah kondisi yang saling melengkapi, saling meng-hargai
dan menjunjung nilai-nilai yang terkandung pada masing-masing suku dan bangsa
sebagai prasyarat kehidupan bersama.
Contoh yang paling mudah dicerna adalah bagaimana memahami ragam
budaya secara ringan adalah dengan menyimak bentuk dan jenis makanan yang
dimiliki warga masyarakat pada berbagai suku bangsa yang ada.
Mengapa makanan dan bukan yang lain ? Alasannya proses kehidupan
manusia baik sejak dalam kandungan hingga akhir hayatnya, tak dapat melepaskan
dirinya dari makan dan minum. Karena sangat pentinginya makanan bagi sebuah
suku bangsa, maka terdapat keyakinan tertentu bahwa sumber makanan secara
simbolik disamakan dengan dewa-dewi suci. Suku bangsa India mensucikan lembu
atau sapi sebagai penjelmaaan sebuah Dewa Nandi, masyarakat Indonesia menjuluki
tanaman padi sebagai Dewi Sri, dewi yang membawa kemakmuran. Sedangkan
masyarakat pesisisir di Jawa Timur menjauhi ikan tertentu karena diyakini sebagai
hewan jelmaan dari Dewa yang telah menyelamatkan para nelayan di laut lepas.
Bangsa yang mempunyai penduduk dengan beragam suku dan ras tentu
mempunyai aneka ragam tata cara dan jenis makanannya. Ini tentunya terbawa oleh
warisan kehidupan para nenek moyang mereka yang secara turun-temurun menjadi
nilai kebudayaannya. Makanan dan tata cara menyajikan dan menyantap makanan
bukan saja sebuah ritual dalam kehidupan seseorang, namun punya keterkaitan
dengan budaya, status sosial dan pola pikir yang diyakini oleh pelakunya.
B. TUJUAN
1. Mengetahui makanan sebagai bentuk fenomena biokultural di berbagai daaerah
di Indonesia.
2. Memahami makanan sebagai bentuk fenomena biokultural di berbagai daaerah
di Indonesia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. KONSEP MENGENAI MAKANAN
Makanan dalam pengertian umun adalah segala bahan yang tersedia atau yang
dapat disediakan bagi pemenuhan kebutuhan hidup manusia dalam
arti
pantanganpantangan
dan
tahayul-tahayul
yang
mendasar, agar manusia dapat tetap hidup. Makanan sangat erat kaitannya dengan
lingkungan. Lingkungan sering menentukan apa jenis-jenis makanan yang
tersedia, namun kebudayaan yang mempengaruhi bahan-bahan apa yang tersedia
tersebut boleh dimakan dan dilarang. Kebudayaan mendefenisikan apa yang
pantas untuk dimakan dan terkadang apa yang dimakan, dapat menunjukkan
keanggotaan dalam suatu kebudayaan atau sub kebudayaan. Apa yang dimakan
suatu keluarga sering merefleksikan latar belakang etnik atau daerah lokasi
geografis tertentu. Kebudayaan merupakan suatu pola makna-makna yang
diteruskan secara historis yang terwujud dalam simbol-simbol, suatu sistem
konsep-konsep yang diwariskan yang terungkap dalam bentuk-bentuk simbolis
yang dengannya manusia berkomunikasi, melestarikan, dan memperkembangkan
pengetahuan mereka tentang kehidupan dan sikap-sikap terhadap kehidupan
(Geertz 1992:3). Kebudayaan merupakan seperangkat simbol, sebagai hal yang
penting dalam pembentukan tingkah laku manusia. Dengan demikian,
kebudayaan merupakan pedoman hidup manusia atau blue print (Suparlan
1986:3).
Kebudayaan terdiri dari gagasan-gagasan dan makna-makna, kemudian
diwujudkan dalam simbol yang dimiliki bersama oleh pendukung kebudayaan
tersebut. Pemberian makna ini diwujudkan secara berpola dan diwariskan secara
turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya, dari seorang individu ke
individu lainnya melalui proses belajar. Manusia dapat mempelajari sesuatu
karena mempunyai kesanggupan untuk membuat dan memahami ide-ide yang
abstrak, serta mewujudkan kelakuan simbolik. Landasan terutama dari adanya
kesanggupan tersebut, adalah karena manusia mempunyai bahasa (Suparlan
1986:3). Salah satu hal yang diterima bersama adalah kepercayaan, nilai, dan
simbol tentang makanan, mengenai bahan-bahan yang dikategorikan sebagai
makanan dan bukan makanan. Gagasan, makna dan simbol diwariskan secara
turun-temurun, walaupun secara umum kebudayaan bersifat stabil, kebudayaan
adalah fleksibel dan cair. Perubahan dapat terjadi melalui peminjaman atau
inovasi (Pedolefsky dan Brown 1991 : 3).
Namun bahan makanan yang memiliki makna simbolik atau diterima
secara rutin sejak usia muda dalam kehidupan seseorang, biasanya sulit untuk
diubah. Hal ini dapat terjaga dengan adanya sosialisasi dari individu-individu
dalam sebuah pranata yang tersedia yang merupakan suatu sistem antara
hubungan norma-norma dan peranan-peranan yang diadakan dan guna
pemenuhan kebutuhan yang dianggap penting oleh masyarakat (Suparlan 1986).
BAB III
PEMBAHASAN
A. MAKANAN SUKU MINAHASA (SULAWESI UTARA)
Makanan, bahan makanan, dan cara makan memegang posisi penting dalam
wacana mengenai kebudayaan Minahasa dan adat lokal. Meskipun saya tahu
bahwa makanan dan aktivitas makan juga relevan dalam semua masyarakat da
nasi dan ikan serta adanya preokupasi untuk mendapatkan ikan yang cukup untuk
seluruh keluarga, entah dari pasar lokal, penjual keliling atau hasil penangkapan
pribadi, beragam hidangan dengan bahan mentah ikan yang
diperoleh dari penduduk pesisir Minahasa dianggap sebagai kekhasan daerah, dan
bukanmakanan khas Minahasa. Kenyataan ini membawa kita kembali pada
pertanyaan berikut: apakah makanan (khas) Minahasa di mata orang Minahasa
sendiri dan orang luar? Menarik bahwa ternyata kedua pihak tersebut memiliki
pendapat yang sama, setidaknya untuk penggolongan yang tidak terlalu
mendalam. Tiga hal yang paling sering disebut sebagai ciri makanan Minahasa
adalah sebagai berikut ini:
penggunaan cabai (rica) dalam jumlah yang sangat banyak;
kegemaran pada daging anjing atau daging binatang hasil buruan;
rebusan sayuran yang disebut tinutuan.
Mari kita mulai dengan ciri pertama:
penggunaan cabai dalam jumlah banyak memang dilakukan di seluruh Indonesia,
tetapi masyarakat Minahasa menggunakannya lebih sering dan lebih banyak
daripada masyarakat lain. Makanan Minahasa dikenal karena kepedasannya
sehingga para pengunjung yang datang dari luar dan diundang untuk bersantap
bersamadan karena orang Minahasa tampaknya menyukai makanan lebih dari
apa pun juga, pengunjung sulit sekali mengelak dari undangan semacam ini
dinilai berdasarkan kemampuan mereka mengatasi rasa tersebut. Pertanyaan yang
sering ditanyakan adalah sudah bisa tahan makan makanan Minahasa? Jika
jawabannya adalah ya, orang tersebut dianggap cocok hidup di Minahasa.
Banyak orang Indonesia menganggap penggunaan cabai yang berlebihan (tentu
dari sudut pandang mereka) oleh orang Minahasa sebagai bukti kesombongan
dan kecenderungan untuk pamer. Karakteristik kedua lebih sulit diterima orang di
luar Minahasa: dihidangkannya
potongan daging anjing, tikus, atau kelelawar di meja makan. Semakin Yang Lain
(Others) terlihat terkejut dengan menu yang aneh tersebut dan semakin mereka
menjauhi kebiasaan tersebutbahkan secara fisik, semakin tuan rumah
Minahasa mereka menawarkan hidangan tersebut sebagai kekhasan dan
mendesak para tamu untuk juga menyantapnya. Hal yang membuat
hidanganhidangan daging ini makin spesial dan khas Minahasa adalah
kenyataan bahwa hidangan tersebut dimasak dengan porsi cabai yang sangat
banyak. Orang Minahasa, bahkan para penggemar berat daging binatang buruan
dan anjing, menjelaskan kebiasaan ini dengan menyatakan bahwa daging-daging
tersebut memiliki rasa asli yang sangat kuat sehingga perlu diimbangi rempah-
binatang buruan, dan bukan ikan air asin. Definisi pedalaman lebih ditentukan
oleh morfologi tanah yang cocok untuk pertanian
dan bukan pada jarak aktual suatu tempat dari laut.
Contoh yang mewakili hal tersebut adalah desa Waleo dan sekitarnya yang
terletak di pantai Timur Laut Minahasa. Meskipun desa tersebut letaknya hanya
beberapa menit berjalan kaki dari pantai, mayoritas penduduknya merupaka
petani yang bekerja di kebunkebun. Generasi muda zaman sekarang semakin
banyak yang memilih mencari mata pencaharian di kota dan menghabiskan
makin sedikit waktu dan energi untuk bercocok tanam. Namun demikian,
kepemilikan tanah masih merupakan sumber identitas dan kebanggaan. Mereka
yang kini berusia 3040-an senang mengenang masa muda mereka (sekitar 20
tahun lalu) saat kehidupan di desa sangat berbeda dari sekarang. Indikator yang
digunakan adalah jumlah waktu yang mereka habiskan di kebun dan intensitas
pekerjaan bercocok tanam. Kebanyakan keluarga berada di kebun mereka dari
hari Senin hingga Sabtu, hidup dan bekerja di sana. Mereka kembali ke desa di
hari Minggu. Selama seminggu itu, mereka hidup dari hasil kebun, antara lain
umbi-umbian, jagung, sayurmayur, sejumlah kecil beras, telur, terkadang ayam,
anjing, atau hewan hasil buruan lainnya. Ikan asin terkadang tersedia juga, tetapi
ikan segar disimpan untuk hari Minggu. Perubahan pola kerja, tempat, dan gaya
hidup juga menimbulkan perubahan dalam kebiasaanmakan.
Tinutuan, salah satu makanan Minahasa yang paling terkenal, dianggap makanan
orang miskin. Hasil berkebun yang dicampur dan dijadikan bubur konon
ditemukan semasa penjajahan Jepang saat makanan sulit diperoleh.
Selain itu, tinutuan mudah dimasak dan disiapkan saat orang tinggal di kebun
karena semua bahan sudah tersedia. Jika zaman dahulu tinutuan dimasak sesuai
kebutuhan para petani, penduduk kota perlahan-lahan menganggapnya sebagai
hidangan lezat yang sesuai untuk sarapan kedua. Dengan begitu, status tinutuan
meningkat menjadi hidangan khas daerah. Secara singkat, kesamaan berbagai
bahan makanan ini (cabaihewan buruantinutuan) adalah identik dengan asalusul mereka. Bahanbahan tersebut atau bumbu-bumbu yang diperlukan bukanlah
hasil laut melainkan hasil bumi atau binatang yang diburu, dikumpulkan atau
dipanen di kebun dan hutan daerah pedalaman. Sebagai pemburu, pengumpul
makanan, dan petani, orang Minahasa meneruskan tradisi (kuliner) nenek
moyang mereka, yang juga menempati daerah pegunungan. Dengan demikian,
mereka memenuhi syarat sebagai keturunan asli orang Minahasa.
KAMI makan babi sementara
MEREKA makan sapi
Selera untuk daging hewan buruan, ayam, atau ikan air tawar masih ada, babi
tetap menempati urutan pertama dalam daftar hewan yang dapat dimakan dan
daging babi adalah jenis daging yang paling digemari. Daging babi (baik direbus,
digoreng, maupun dipanggang) pastidisajikan dalam tiap acara istimewa. Arti
ekonomis babi tidak mengejutkan karena, pertama-tama, babi mengandung lebih
banyak daging dan lemak dibandingkan jenis binatang lain dan dengan demikian
menunjukkan kekayaan si pemilik ataupun mereka yang dapat membeli dan
menyembelihnya. Tersajinya satu babi utuh, atau bahkan beberapa hewan adalah
tanda keistimewaan acara karena tuan rumah bersedia
membuat pengorbanan yang berarti. Dewasa ini, hal tersebut biasa terjadi dalam
rangka pernikahan, pembaptisan, pemakaman, dan terkadang saat perayaan ulang
tahun yang besar. Babi juga bernilai tinggi karena merupakan tokoh penting
dalam mitos dan kosmologi orang Minahasa. Menurut mitos, seekor babi kuno
yang besar membawa dunia di atas punggungnya sementara versi lain
mengatakan bahwa babi dikorbankan dalam upacara yang dilakukan dewa-dewa
penghuni dunia kejahatan (Tauchmann 1968:121). Hingga beberapa dekade lalu,
meramalkan masa depan dengan mempelajari hati babi yang baru
disembelih merupakan sesuatu yang biasa dilakukan (Pusung 1994). Lebih dari
binatang lain, babi mewakili tradisi Minahasa dan mempunyai ikatan dengan
leluhur dan wilayah. Walaupun demikian, kegemaran memakan daging babi
bukan sesuatu yang ditemui semata pada orang Minahasa melainkan juga pada
komunitas-komunitas non-Muslim di seluruh Indonesia. Dengan demikian
kegemaran memakan daging babi kurang tepat jika dianggap sebagai indikator
identitas Minahasa yang membedakan mereka dari kelompok Yang Lain (Others).
Kebiasaan tersebut justru menyatakan penyatuan yang lebih luas dan
melampaui batas wilayah Minahasa. Sebagai pemakan babi, orang Minahasa
menempatkan diri mereka dalam satu kategori dengan Yang Lain (Others) yang
dikenal sebagai orang Kristen, orang Hindu, dan orang Buddha. Dengan
memperluas kesamaan dengan orang luar (outsiders) tersebut, perbedaan dengan
kelompok Muslim makin mencolok. Hal ini tidak hanya terjadi di tingkat daerah
saja tetapi juga di tingkat nasional dan bahkan internasional. Minahasa
menekankan kesetiaan mereka pada agama Kristen yang, walau berakar pada
masa awal kolonisasi Eropa, baru menyebar dengan cepat setelah misionaris
NZG serta didikan mereka hadir di Minahasa. Saat ini, para penjajah telah
digantikan oleh komunitas dunia Kristen dan identifikasi dengan dunia Barat
menjadi sikap yang menyatakan oposisi Minahasa terhadap Islam.
Kami, orang Minahasa, makan babi sementara mereka, orang Muslim, makan
sapi adalah ucapan yang kerap diutarakan. Orang, tempat, dan peristiwa
diidentifikasi sebagai Kristen atau Muslim berdasarkan jenis daging yang
disajikan. Dalam hal ini, kebiasaan makan masyarakat Muslim yang tinggal di
Minahasa tidak berbeda dengan kebanyakan orang Indonesia. Di acaraacara
umum dan pesta-pesta pribadi yang diadakan di kota-kota besar dengan populasi
heterogen (termasuk Muslim), dua jenis makanan disediakan: makanan
Minahasa dan makanan nasional. Dengan begitu, hidangan yang disediakan
bagi orang Muslim yang tidak memakan babi dikategorikan sebagai hidangan
nasional meskipun masakan tersebut masih memiliki karakteristik masakan
Minahasa dan perbedaannya hanya terletak di jenis daging yang digunakan
Rasa perbedaan-rasa penolakan-rasa kekuasaan
Secara antropologis diakui bahwa rasa bukan hanya tergantung pada indera
pengecapan dan kemampuan yang diperoleh sejak lahir, tetapi merupakan sesuatu
yang diperoleh melalui proses sosialisasi (antara lain Caplan 1997; Macbeth
1997; Scholliers 2001). Kesukaan dan ketidaksukaan sehubungan dengan
makanan dan minuman, seperti banyak hal lainnya, dibentuk oleh pengalaman
dalam lingkungan sosial tertentu. Makna dan asosiasi sosial dan kultural yang
terkait pada berbagai jenis makanan sangat mempengaruhi sikap
pribadi terhadap sumber makanan dan, dengan demikian, selera. Hal-hal
tersebut adalah determinan penting dalam pemilihan tentang apa yang dapat
dimakan dan tidak dapat dimakan, atau makanan lezat versus makanan tidak
enak. Para antropolog telah menyatakan bahwa makanan, lebih dari fenomena
lain, merupakan penanda ideal untuk kebudayaan atau tradisi tertentu (antara
lain Counihan dan Esterik 1997). Memasak dan makan tampaknya merupakan
tindakan yang relatif aman dan tidak provokatif guna menunjukkan keterlibatan (
embeddedness) dan identitas seseorang dalam kebudayaan tertentu. Walaupun
begitu, jika kita menguak lapisan permukaan asumsi ini, kita menyadari bahwa
pemilihan dan pengkonsumsian bahan makanan adalah seperti halnya bentuk lain
konsumsi, tindakan sosial dan bahkan terkadang tindakan politis, yang signifikan.
Seperti yang sudah diutarakan sebelumnya, kedua kategori pertama, yaitu cabai
dan daging anjing/hewan buruan, menunjukkan pertalian simbolis yang spesial,
meskipun dari segi biologi dan nutrisi, kedua hal tersebut sangat berbeda. Jenis
daging yang disebut di atas biasanya diolah dengan jumlah cabai yang
berlebihan dan karenanya, tidak mengherankan, dianggap makanan panas dan
selanjutnya, jantan. Pengkonsumsian makanan berempah, panas dan
mengandung bahaya merupakan kesempatan bagi pria Minahasa untuk
menunjukkan keberanian dan kekuatan mereka, tidak hanya terhadap orang
Minahasa sendiri, tetapi juga terhadap Yang Lain. pengekspresian identitas suku
dan agama dari kedua pihak. Karenanya, masyarakat Minahasa membenarkan
batas-batas sebagai sesuatu yang normal dan tak terhindarkan. Makan adalah
kegiatan sosial yang fundamental dan menciptakan atau mendefinisikan
hubungan sosial; kedekatan dan jarak. Jadi, menyantap secara teratur hidangan
Muslim, terlebih di lingkungan Muslim dapat membuat batas suku atau budaya
dan persepsi tentang perbedaan, dipertanyakan kembali. Meskipun hubungan
semacam itu antara kelompok Kristen dan Muslim merupakan keadaan ideal di
mata orang luar, masyarakat Minahasa sendiri cenderung skeptis. Jarak sosial
adalah syarat untuk mereproduksi citra Minahasa dan interpretasi tentang agresi
Muslim. Citra tersebut dibutuhkan untuk membenarkan diskriminasi politik dan
sosial serta untuk memelihara budaya perbedaan (culture of difference).
B. MAKANAN SUKU JAE ( PAPUA)
Makanan pokok orang Jae adalah bie atau sagu. Bagi orang Jae, sagu bakar yang
dimakan dapat menguatkan badan dan atau mengatasi rasa lapar. Sedangkan pati
sagu yang tidak dibakar tidak bisa dimakan karena tidak menguatkan tubuh,
malahan bisa mematikan orang. Jadi dalam proses itu, apa saja yang dimakan dan
ternyata mematikan, maka dianggap bukan makanan. Untuk memperoleh sagu
untuk makanan sehari-hari, mereka menempu dua strategi ke dusun sagu.
Pertama, strategi jarak pendek yakni, pergi-pulang dari kampung ke dusun sagu
karena jangkauannya dekat. Keluar pagi dan pulang sore hari dengan membawa
hasil. Kedua, strategi jarak panjang yakni, pergi beberapa lama tinggal di dusun
sagu, dengan membangun sebuah rumah untuk dihuni. Segala perlengkapan
seperti, tikar untuk alas tidur, kapak dan perlengkapan lainnya dibawahnya dari
kampung. Hidup di hutan-hutan sagu dengan menetap di suatu tempat untuk
beberapa waktu, lalu pindah mencari tempat baru adalah apabila makanan di
tempat itu sudah mulai berkurang. Hidup di tengah hutan bagi mereka itu adalah
hidup yang bebas, tidak ada peraturan yang mengikat mereka. Inilah yang
menyebabkan mereka sering meninggalkan kampungnya. Anak-anak biasanya
diikutsertakan dalam kegiatan pencarian makan ini. Walau pun sekarang ini (saat
penelitian ini dilakukan), ada orang tua yang memandang bahwa anak-anaknya
yang bersekolah tinggal di kampung, akan tetapi pandangan ini sulit dipraktekan.
Sari pati sagu diambil dengan cara batang sagu ditebang, dibersihkan pelepahnya,
dipotong secukupnya kurang lebih 2 meter lalu dibelah untuk ditokok dan
dipukul menggunakan kayu buah sehingga empulur sagu itu halus. Empulur sagu
yang sudah halus diangkat ke dalam tempat meramas yang dibuat dari pelepah
sagu kurang lebih 3 kg, dicampur air lalu diramas. Ini dilakukan selama dua kali.
Perempuanlah yang umumnya melakukan pekerjaan ini. Tepung sagu yang
tabu yang ketat, tetapi juga tidak bisa disentuh dan tidak akan disentuh. Misalnya,
ikan kakap dan ikan sembilan yang besar dianggap aneh dan berbahaya, maka
tidak boleh dimakan, karena jika dimakan akan menimbulkan kelainan pada
tubuh dan menyebabkan yang memakannya akan mati.
4.3 Makanan Selingan
Bie biasanya diselingi makanan lain seperti pisang dan talas. Pisang dan talas
ditanam di kebun pada pekarangan rumah, selain itu nasi yang sudah dikenal dan
biasa dimakan. Walaupun ada makanan selingan itu, tetapi sagu tetap
diutamakan. Beberapa orang menyatakan, makan sagu itu kenyang lebih lama
daripada makan pisang, nasi dan talas.
4.4 Makanan Sebagai Obat dan Obat Sebagai Makanan.
Klasifikasi semacam ini sering terkait erat dengan klasifikasi makanan paralel.
Pucuk muda dari sagu yang sering diambil sebagai makanan, kadang-kadang
dijadikan obat. Tumbuhan sammai (bahasa Jae) atau wati (bahasa Marind) adalah
tumbuhan yang memiliki fungsi sosial dan budaya dalam kehidupan mereka.
Tumbuhan sammai di tanam dan jaga secara adat untuk acara-acara adat. Sedikit
bagian dari tumbuhan ini akan dikunya oleh pimpinan acara atau orang tertentu
lalu diberikan kepada peserta acara untuk memberi semangat berbicara atau
berkomunikasi diantara mereka. Bagi generasi sekarang sammai dimakan agar
tidak stres. Selain sammai, pohon taak (bahasa Jae) yang getahnya dimakan baik
oleh wanita yang telah melahirkan maupun yang masih gadis yang bakal kawin
untuk melancarkan air susu bagi kebutuhan bayi.
4.5 Makanan bayi.
Makanan untuk bayi adalah gumpalan sagu bakar lunak. Proses pembuatannya
sama seperti yang dibuat untuk orang dewasa, tetapi sagu bakar untuk bayi
sambil dibakar diberi air secukupnya sehingga lunak. Maksudnya, agar mudah
dimakan. Makanan ini hanya bersifat sementara, karena setelah berumur diatas 7
tahum, ia pun memakan makanan yang dimakan orang dewasa.
4.6 Biekalmu: Makanan Status Sosial.
Makanan ini memperlihatkan ciri dan bentuk yang berbeda dengan yang lainnya.
Biekalmu adalah makanan yang menentukan status sosial dari orang Jae, dimana
orang lain di luar kelompok dan kampung diundang untuk menikmatinya. Pada
saat dan setelah makanan ini disajikan maka orang luar kampung secara spontan
menyatakan rasa kagum atas kenikmatan makanan ini. Ini pertanda adanya
kemakmuran dan sejahtera bagi kampung penyaji makanan. Tujuan dari
penyajian ini memang adalah untuk mendapat penilaian terhadap kondisi
kemakmuran dan kesejahteraan warga kampong atas. Selain itu dengan
melakukan ini maka dusun, hutan dan segala yanga di dalamnya tetap baik dan
mudah diperoleh untuk kehidupan manusia. Ciri dan bentuk makanan ini bisa
dibilang sebagai simbol kesejahteraan dan kedamaian kampung. Selain itu, nilai
simbolis yang dimaksud disini terutama berkaitan dengan ungkapan rasa
persaudaraan, identitas kelompok, serta sebagai ungkapan prestise dari kelompok.
Biekalmu, disajikan secara insidentil, yang disebut pesta biekalmu, yakni pesta
untuk menjamu tamu kehormatan dan suku-suku tetangga. Bagi orang Jae,
Biekalmu adalah makanan yang sangat istimewa, karena dibuat dari bahan-bahan
makanan yang segar seperti pati sagu, daging binatang buruan seperti kanguru,
babi, dan burung kasuari, serta sayur-sayuran. Setelah bahan-bahan itu disiapkan
maka dicampur aduk lalu dibungkus dengan daun atau kulit kayu tertentu lalu
dibakar. Besar dan berat bungkusan bielakmu bisa bervariasi, tetapi umumnya
sebesar kurang lebih 65 cm2 dengan berat 6 kg lebih. Biekalmu dibakar diatas
bara api yang panas. Setelah matang diangkat lalu dibiarkan hingga agak dingin
barulah kemudian dibuka. Semua orang yang hendak mencicipi biekalmu harus
berada disamping pada saat bungkusan hendak dibuka. Hal ini agar masingmasing bisa menghirup aroma biekalmu yang menggiurkan. Pesta biekalmu
adalah pesta yang sangat meriah karena dihadiri banyak orang berbagai kampung,
disitu pula merupakan moment pengakuan prestise, pertukaran sosial, budaya dan
peminangan. Selain makanan yang menunjuk status sosial itu, makanan yang
sifatnya hampir sama adalah pesta ulat sagu. Pesta ulat sagu merupakan pesta
yang sangat meriah, semua orang terutama laki-laki bergiat secara sungguh
sungguh memberi yang terbaik untuk pesta ini. Manfaatnya adalah hubungan
sosial menjadi lebih akrab. Mereka menyadari pesta ini memberi kenikmatan
yang tinggi karena sajiannya sangat enak, ini adalah kesempatan untuk
mengkonsumsi makanan yang enak. Pesta pendewasaan (inisiasi) pada suku ini
disuguhi makanan tersebut diselingi dengan yang lainnya. Karena pendewasaan
amat sangat penting untuk masyarakat yang bersangkutan, maka makanan selalu
disajikan sebagai tanda suka cita. Di dalam pesta ini daging binatang buruan,
piaran, ikan dan sayuran disajikan.
4.7 Pola Makan
Pola makan mencakup apa yang dimakan, kapan dimakan, siapa yang makan,
dimana, mengapa, dan bagaimana memakan makanan. Kapan, dimana dan
bagaimana orang Jae memakan makanan pokok dan selingan didalam tradisi
mereka, ketepatannya sangat relatif. Umumnya mereka tidak biasa duduk samasama memakan makanan, kecuali pada saat pesta biekalmu. Orang secara
individu memakan makanan yang disiapkannya tanpa harus bersama-sama
dengan warga lainnya. Penentuan waktu untuk makan pun tidak tegas. Setiap
orang dapat makan kapan saja, kalau memang ia merasa lapar atau ingin makan.
Walaupun demikian, setiap pagi saat orang belum pergi melakukan aktivitasnya,
ada asap api di rumah masingmasing yang ternyata adalah karena sedang
membakar sagu untuk dimakan atau dibawa ke tempat bekerja. Rumah yang tidak
berasap api pertanda, sagu sudah dibakar dari malam, atau tidak punya sagu
untuk dibakar. Orang atau keluarga yang tidak punya sagu di rumah maka
makanannya akan dibuat di dusun dan atau di tempat kerja. Simon dan Wilianus
(tokoh masyarakat) menuturkan: ...kalau ada sagu atau makanan, maka kami
dapat makan pada pagi hari sebelum keluar rumah melakukan aktivitas.Tetapi
kalau tidak ada, maka kami akan bakar sagu untuk dimakan di tempat kerja,
misalnya di dusun, dihutan dan di tepi sungai.
Pemahaman baru tentang pola makan dan waktu makan (pagi, siang, dan malam)
seperti yang umumnya pada masyarakat di kota dan masyarakat yang sudah
maju, telah dikenal melalui kehidupan para misionaris dan petugas-petugas
pemerintah, namun belum banyak ditiru karena masih kuatnya pegangan mereka
pada irama kehidupan berlandaskan ekonomi
subsisten.
Dalam kasus tertentu, apa yang dipertimbangkan untuk dapat dimakan dan
tidak dapat dimakan cenderung bersifat fleksibel. Misalnya pada wanita yang
sedang hamil, menyusui, dan menstruasi, untuk sementera tidak memakan
makanan tertentu, dan sesudah masa itu ia boleh makan makanan yang
dilarang tadi. Misalnya, wanita Jei-Marind yang sedang hamil atau menyusui
tidak boleh memakan daging kasuari, anak babi dan ikan kakap besar karena
kalau dimakan akan mengakibatkan kelumpuhan pada bayi yang dilahirkan.
Bagaimana pandangan logika kesehatan modern mengenai kebiasaan ini?.
Waktu makan. Sagu adalah makanan utama pada pagi, siang dan sore hari.
Belum ada makanan pengganti makanan pokok ini walaupun mereka sudah
mengenal nasi dan ubi-ubian (lihat bagian 2.4 tentang makanan pokok dan
tambahan). Daging hewan buruan dan ikan yang segar bisa diperoleh setiap
hari melalui berburu dan menjaring. Namun hal ini tidak selalu dilakukan
karena tergantung kepada orang yang bisa melakukan, bukan suatu
keharusan untuk makanan tersebut diadakan menjadi lauk bagi sagu.
Pemburu hewan hutan adalah profesi bagi orang-orang tertentu, dan karena
itu keputusan untuk berburu bergantung pada si pemburu itu. Daging hewan
bisa dapat dimakan bersama sagu, tetapi juga daging bisa dimakan tanpa
sagu. Seorang pemburu biasanya akan membagi hasil buruannya kepada
kerabatnya atau warga lain sehingga bagian untuk dirinya atau keluarganya
hanya cukup dimakan sehari. Implikasi sosial dari tindakan ini lebih penting
daripada ekonomi. Artinya dengan tindakan ini kehidupan dianggap lebih
damai dan tentram. Sekarang ini setelah mengenal nilai uang dari luar, maka
sebagian atau semua hasil buruan dapat dijual untuk memperoleh uang.
Ikan cukup tersedia di lingkungan perairannya tetapi tingkat mengkonsumsi
ikan masih rendah dibanding orang yang sudah hidup modern di kota. Hal ini
selain karena signifikansi budaya ekonominya yang masih rendah terhadap
yang lebih singkat dan santannya belum mengering disebut kalio, berwarna
coklat terang keemasan.
Rendang dapat ditemukan di Rumah Makan Padang di seluruh dunia. Masakan
ini populer di kalangan masyarakat Indonesia dan negara-negara di Asia
Tenggara, seperti Malaysia, Singapura, Brunei, Filipina, dan Thailand. Di daerah
asalnya, Minangkabau, rendang disajikan dalam berbagai upacara adat dan
perhelatan istimewa. Meskipun rendang merupakan masakan tradisional
Minangkabau secara umum, masing-masing daerah di Minangkabau memiliki
teknik memasak dan penggunaan bumbu yang berbeda.
Pada tahun 2011, rendang dinobatkan sebagai hidangan peringkat pertama dalam
daftar World's 50 Most Delicious Foods (50 Hidangan Terlezat Dunia) yang
digelar oleh CNN International.[1]
Kandungan bahan dan cara memasak
Rendang adalah masakan yang mengandung bumbu rempah yang kaya. Selain
bahan dasar daging, rendang menggunakan santan kelapa (karambia), dan
campuran dari berbagai bumbu khas yang dihaluskan di antaranya cabai (lado),
serai, lengkuas, kunyit, jahe, bawang putih, bawang merah dan aneka bumbu
lainnya yang biasanya disebut sebagai pemasak. Keunikan rendang adalah
penggunaan bumbu-bumbu alami, yang bersifat antiseptik dan membunuh bakteri
patogen sehingga bersifat sebagai bahan pengawet alami. Bawang putih, bawang
merah, jahe, dan lengkuas diketahui memiliki aktivitas antimikroba yang kuat.[2]
Tidak mengherankan jika rendang dapat disimpan satu minggu hingga empat
minggu.
Proses memasak rendang asli dapat menghabiskan waktu berjam-jam (biasanya
sekitar empat jam), karena itulah memasak rendang memerlukan waktu dan
kesabaran.[3] Potongan daging dimasak bersama bumbu dan santan dalam panas
api yang tepat, diaduk pelan-pelan hingga santan dan bumbu terserap daging.[4]
Setelah mendidih, apinya dikecilkan dan terus diaduk hingga santan mengental
dan menjadi kering. Memasak rendang harus sabar dan telaten ditunggui,
senantiasa dengan hati-hati dibolak-balik agar santan mengering dan bumbu
terserap sempurna, tanpa menghanguskan atau menghancurkan daging. Proses
memasak ini dikenal dalam seni kuliner modern dengan istilah 'karamelisasi'.
Karena menggunakan banyak jenis bumbu, rendang dikenal memiliki citarasa
yang kompleks dan unik.
Makna budaya
Rendang adalah salah satu hidangan hantaran dalam upacara adat Minang.
Rendang memiliki posisi terhormat dalam budaya masyarakat Minangkabau.
Rendang memiliki filosofi tersendiri bagi masyarakat Minang Sumatera Barat,[5]
yaitu musyawarah dan mufakat, yang berangkat dari empat bahan pokok yang
melambangkan keutuhan masyarakat Minang, yaitu:
Dagiang (daging sapi), merupakan lambang dari "Niniak Mamak" (para
pemimpin Suku adat)
Karambia (kelapa), merupakan lambang "Cadiak Pandai" (kaum Intelektual)
Lado (cabai), merupakan lambang "Alim Ulama" yang pedas, tegas untuk
mengajarkan syariat agama
Pemasak (bumbu), merupakan
lambang
dari
keseluruhan
masyarakat
Minangkabau.
Dalam tradisi Minangkabau, rendang adalah hidangan yang wajib disajikan
dalam setiap perhelatan istimewa, seperti berbagai upacara adat Minangkabau,
kenduri, atau menyambut tamu kehormatan.
Dalam tradisi Melayu, baik di Riau, Jambi, Medan atau Semenanjung Malaya,
rendang adalah hidangan istimewa yang dihidangkan dalam kenduri khitanan,
ulang tahun, pernikahan, barzanji, atau perhelatan keagamaan, seperti Idul Fitri
dan Idul Qurban.
Sejarah
Rumah Makan Padang mempopulerkan rendang ke seluruh penjuru Nusantara.
Asal-usul rendang ditelusuri berasal dari Sumatera, khususnya Minangkabau.
Bagi masyarakat Minang, rendang sudah ada sejak dahulu dan telah menjadi
masakan tradisi yang dihidangkan dalam berbagai acara adat dan hidangan
keseharian. Sebagai masakan tradisi, rendang diduga telah lahir sejak orang
Minang menggelar acara adat pertamanya. Kemudian seni memasak ini
berkembang ke kawasan serantau berbudaya Melayu lainnya; mulai dari
Mandailing, Riau, Jambi, hingga ke negeri seberang di Negeri Sembilan yang
banyak dihuni perantau asal Minangkabau. Karena itulah rendang dikenal luas
baik di Sumatera dan Semenanjung Malaya.
Sejarawan Universitas Andalas, Prof. Dr. Gusti Asnan menduga, rendang telah
menjadi masakan yang tersebar luas sejak orang Minang mulai merantau dan
berlayar ke Malaka untuk berdagang pada awal abad ke-16. Karena perjalanan
melewati sungai dan memakan waktu lama, rendang mungkin menjadi pilihan
tepat saat itu sebagai bekal.[6] Hal ini karena rendang kering sangat awet, tahan
disimpan hingga berbulan lamanya, sehingga tepat dijadikan bekal kala merantau
atau dalam perjalanan niaga.
Rendang juga disebut dalam kesusastraan Melayu klasik seperti Hikayat Amir
Hamzah yang membuktikan bahwa rendang sudah dikenal dalam seni masakan
Melayu sejak 1550-an (pertengahan abad ke-16).
10:4 ... Buzurjumhur Hakim pun pergi pula ke kedai orang merendang daging
kambing, lalu ia berkata: "Beri apalah daging kambing
10:7 ... kambing rendang ini barang segumpal." Sahut orang merendang itu,
"Berilah harganya dahulu." Maka kata Khoja Buzurjumhur,
Hikayat Amir Hamzah.[7][8]
Kelahiran rendang tak luput dari pengaruh beberapa negara, misalnya bumbubumbu dari India yang diperoleh melalui para pedagang Gujarat, India. Karena
diaduk terus-menerus, rendang identik dengan warna hitam dan tidak memiliki
kuah.
Rendang kian termahsyur dan tersebar luas jauh melampaui wilayah aslinya
berkat budaya merantau suku Minangkabau. Orang Minang yang pergi merantau
selain bekerja sebagai pegawai atau berniaga, banyak di antara mereka
berwirausaha membuka Rumah Makan Padang di seantero Nusantara, bahkan
meluas ke negara tetangga hingga Eropa dan Amerika. Rumah makan inilah yang
memperkenalkan rendang serta hidangan Minangkabau lainnya secara meluas.
Rendang juga menjadi makanan yang disajikan khusus untuk hari raya Idul Adha.
Banyaknya daging kurban membuat masyarakat Padang berlomba-lomba
memasak rendang.
Jenis
Rendang disajikan bersama daun singkong, telur dadar, dan kuah gulai dalam
sajian Nasi Ramas Padang.
Dalam memasak daging berbumbu dalam kuah santan, jika ditinjau dari
kandungan cairan santan, sebenarnya terdapat tiga tingkat tahapan, mulai dari
yang terbasah berkuah hingga yang terkering: Gulai Kalio Rendang.[9]
Dari pengertian ini rendang sejati adalah rendang yang paling rendah kandungan
cairannya. Akan tetapi secara umum dikenal ada dua macam jenis rendang:
rendang kering dan basah.
Rendang kering
Rendang kering adalah rendang sejati dalam tradisi memasak Minang. Rendang
ini dimasak dalam waktu berjam-jam lamanya hingga santan mengering dan
bumbu terserap sempurna. Rendang kering dihidangkan untuk perhelatan
istimewa, seperti upacara adat, kenduri, atau menyambut tamu kehormatan.
Rendang kering biasanya berwarna lebih gelap agak coklat kehitaman. Jika
dimasak dengan tepat, rendang kering dapat tahan disimpan dalam suhu ruangan
selama tiga sampai empat minggu, bahkan dapat bertahan hingga lebih dari
sebulan jika disimpan di kulkas, dan enam bulan jika dibekukan. Beberapa
kalangan berpendapat bahwa citarasa rendang asli Minang adalah yang paling
lezat dan tiada dua jauh berbeda dengan rendang di sejumlah kawasan Melayu
lainnya.[6]
Rendang basah atau Kalio
Rendang di Belanda adalah kalio yang masih basah berkuah.
Rendang basah, atau lebih tepatnya disebut kalio, adalah rendang yang dimasak
dalam waktu yang lebih singkat, santan belum begitu mengering sempurna, dan
dalam suhu ruangan hanya dapat bertahan dalam waktu kurang dari satu minggu.
Rendang basah berwarna coklat terang keemasan dan lebih pucat.
Rendang juga dikenal di negara tetangga, seperti Malaysia dan Singapura.
Rendang yang ditemukan di Malaysia lebih mirip kalio, berwarna lebih pucat dan
basah dengan citarasa yang tidak begitu kuat. Rendang Malaysia yang disebut
rendang kelantan dan rendang negeri sembilan memiliki perbedaan dengan
rendang Indonesia. Proses memasak rendang di Malaysia, lebih singkat dan
melakukan pengentalan bumbu dengan dicampur kerisik (kelapa parut yang
disangrai), bukan dengan proses pemasakan dengan api kecil dalam waktu yang
lama. Karena keterkaitan sejarah melalui kolonialisasi, rendang juga dapat
ditemukan di Belanda, juga dalam bentuk kalio, tetapi umumnya disajikan
sebagai salah satu bagian dari lauk-pauk Rijsttafel.
Variasi
Rendang hati sapi
Rendang umumnya menggunakan daging sapi, tetapi dikenal pula berbagai jenis
bahan daging lainnya yang dimasak sesuai bumbu dan cara membuat rendang.
Variasi rendang antara lain:[6]
Rendang daging (Randang dagiang): rendang daging sapi, kerbau, kambing atau
domba. Adalah jenis rendang yang paling lazim ditemukan.
bisa Rp 90.000 per kilogram, kata Nanang, pedagang Banjar dari Kalimantan
Selatan yang sehari-hari menjual ikan segar maupun wadi olahan sendiri tersebut.
Pemrosesan wadi yang sejak lama telah dikenal turun-temurun oleh warga Dayak
dan Banjar di Kalimantan ini mampu memperpanjang lama simpan ikan
tangkapan. Ikan jelawat, papuyu, baung, gabus, gurami, dan jenis-jenis lainnya
yang sudah jadi wadi tahan disimpan hingga berbulan-bulan. Inilah sumber
kelezatan salah satu menu yang kami cicipi di rumah makan Palangka, ikan wadi
dengan rasa asam yang unik, dan membuat kami tak henti menyantapnya.
Ketika mencium bau busuk menyengat dari ikan yang diolah menjadi wadi, kami
tertawa-tawa dan merasa beruntung sudah mencicipi rasanya berbahan wadi.
Kalaulah kami mengenal bau wadi sebelum menyantapnya, bisa jadi kami tak
akan pernah memakannya. Padahal, kalau ingin menemukan cita rasa bersantap
ikan yang sama sekali berbeda, justru olahan fermentasi wadi pilihan terbaiknya.
Cadangan pangan
Antropolog Marko Mahin menuturkan, pengolahan ikan - baik diasinkan atau
difermentasi menjadi wadimerupakan bagian strategi warga Dayak mengatur
pola makan. Wadi menjadi cadangan makanan saat warga sedang disibukkan
dengan kegiatan berladang atau memanen padi.
Ketika sedang bertanam atau memanen padi tersebut, warga yang tidak sempat
berburu atau menangkap ikan tinggal mengeluarkan persediaan wadi yang
mereka simpan di balanai (guci, belanga). Balanai wadi itu belanga untuk
menyimpan wadi. Fungsi guci ini semacam kulkas. Tiap keluarga selalu punya.
Dikeluarkan saat musim mereka sibuk kerja di ladang, kata Marko.
Peneliti dari Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian Universitas Palangkaraya,
Petrus, mengatakan, pengolahan ikan menjadi wadi merupakan bentuk kearifan
lokal warga Dayak dalam menghadapi paceklik atau musim sepi ikan. Pengasinan
atau proses fermentasi menjadi wadi berfungsi menghambat pertumbuhan bakteri
merugikan. Melalui cara ini, ikan tidak rusak membusuk meskipun disimpan
dalam waktu relatif lama.
Turun temurun
Pengolahan wadi dan mengonsumsinya di saat musim bertanam padi bahkan
sudah menjadi kebiasaan turun-temurun warga setempat. Bukan main cita rasa
wadi yang disantap bersama nasi panas saat warga berladang, kata Petrus.
Petrus pun pernah meneliti takaran garam yang pas untuk membuat wadi agar
rasanya bisa diterima khalayak lebih luas. Sebanyak 100 orang dari tiga
kecamatan yang merupakan pusat industri rumah tangga wadi di Kalimantan
Selatanyakni Gambut, Kertak Hanyar, dan Astambuldilibatkan dalam
penelitian tersebut. Mereka masing-masing diberi 5 kilogram ikan untuk diolah
menjadi wadi dengan takaran garam sesuai kebiasaan.
Uji organoleptik untuk mengetes rasa dilakukan terhadap wadi yang sudah
difermentasi seminggu. Didapati bahwa wadi terenak adalah yang menggunakan
garam sebanyak 15 persen terhadap berat total ikan. Saya mencoba lagi untuk
mengubah cita rasa, yakni dengan memakai gula merah dengan beragam
takaran, kata Petrus.
Wadi yang diolah dengan gula aren terlalu banyak akan menghitam ketika
digoreng sehingga penampilannya tidak menarik. Didapati bahwa persentase gula
aren yang pas ditambahkan dalam pembuatan wadi adalah 15 persen terhadap
berat total ikan. Petrus pun kemudian menambahkan jus jeruk nipis dalam
pembuatan wadi. Diperoleh hasil bahwa penambahan jus jeruk nipis berkadar 4
persen paling enak dalam membuat wadi.
Jadi didapatilah (formula) terbaik, yakni 15 persen garam, 15 persen gula aren,
dan 4 persen jeruk nipis. Rasanya nano-nano sehingga diharapkan pemasaran
wadi nantinya tidak hanya di Kalimantan, kata Petrus. Penelitian Petrus
merupakan sebentuk upaya menjaga eksistensi makanan olahan khas Dayak.
Proses pembuatan wadi oleh masyarakat Dayak pun terdokumentasikan dalam
buku Maneser Panatau Tatu Hiang (Menyelami Kekayaan Leluhur) (Penerbit
Pusakalima : 2003). Buku yang disunting Nila Riwut tersebut didasarkan pada
buku Kalimantan Memanggil serta Kalimantan Membangun karya Tjilik Riwut
(1918-1987). Selain itu juga dilengkapi catatan harian, naskah, dan dokumen
yang dikumpulkan Tjilik Riwut semasa hidup.
Menurut isi buku tersebut, bahan yang dicampurkan pada ikan yang digarami
untuk dijadikan wadi bukanlah beras melainkan padiyang disangrai. Padi
tersebut disangrai hingga kering. Pada kondisi masih panas, padi sangrai itu
ditumbuk halus dan dicampurkan merata pada ikan yang digarami. Selanjutnya
disimpan dalam balanga atau bambu tertutup rapat. Melalui cara ini, wadi
disebutkan bisa tahan hingga setahun. (C Anto Saptowalyono/Dwi Bayu Radius).
E. SUKU JAWA
Dalam atlas kuliner Nusantara, kita mengenal nasi liwet (sego liwet). Jika kita
berkunjung ke kota Solo, kita akan menemukan di ruas-ruas jalan ibu-ibu paruh
baya dengan balutan kebaya dan kain batik tengah meracik nasi gurih yang
dimasak dengan santan kelapa (mirip nasi uduk), disajikan dengan sayur labu
siam, suwiran ayam dan areh (sari santan kental). Di atas meja berjajar sajian
pelengkap, seperti potongan hati/ampela ayam, tempe, tahu dan telur bacem. Tak
ketinggalan kerupuk rambak (kerupuk dari kulit sapi) untuk menambah selera
makan. Nasi liwet terkenal dengan teksturnya yang pulen dan rasanya yang gurih.
Rasa gurih ini muncul dari hasil rebusan nasi yang dimasak dengan cara dikaru
(dituangi) dengan air santan kelapa. Keunikan lain dari nasi liwet juga terletak
pada cara penyajiaannya yang menggunakan daun pisang sebagai pembungkus
atau suru-nya (sendok). Keberadaan nasi liwet kini sudah merambah di kota-kota
sekitarnya, seperti Yogyakarta, Klaten, Boyolali atau Sragen. Bahkan, banyak
restoran mewah di kota-kota besar (Jakarta, Bandung, Surabaya) yang
menjadikan nasi lewet khas Solo ini sebagai menu utama.
Kuliner Asli Kaum Pribumi
Nasi liwet adalah kuliner asli bikinan kaum pribumi. Sebagai produk asli
pribumi, nasi liwet memiliki riwayat sejarah yang panjang. Zaman dulu, setiap
bulan Mulud (Maulid),
upacara Selametan (kenduri).
manusia
Jawa
rutin
ditujukan
menggelar
untuk
Jika kita baca Serat Centhini (1814-1823), nasi liwet dihadirkan ketika Pulau
Jawa diguncang gempa bumi. Nasi liwet dihadirkan dengan sebaris doa yang
dilantunkan untuk keselamatan. Dalam naskah kono itu juga memuat
kalimat: liwet anget ulam kang nggajih/ wus lumajeng ngarsi/ sadaya kemebul.
Ada sebuah cerita, konon Paku Buwana IX (1861-1893) memborong nasi liwet
untuk para pangrawit keraton. Ketika hendak pulang, para penabuh gamelan
keraton disediakan makanan nasi liwet. Para pangrawit diminta makan supaya
istrinya nanti tidak repot menyiapkan sarapan (di rumah).
Dari cerita ini, nasi liwet ternyata sejak dulu telah masuk ke dalam lidah
komunitas kerajaan. Perjalanan wisata kuliner nasi liwet bergerak di dalam ruang
yang berbeda dari masa ke masa, seperti halnya sejarah batik Lawean dan
Kauman. Nasi liwet sanggup bertarung di tengah arus kuliner beraroma modern.
Kuliner lawas yang sederhana, sesederhana nasi liwet tidak kalah dengan kuliner
yang dikemas mewah. Nasi liwet menerabas batas dan sekat-sekat sosial: kayamiskin, pribumi-nonpribumi, karyawan kantoran hingga tukang becak.
Nasi, Kaya Pesan dan Makna
Makan nasi liwet tidak hanya mengenyangkan, tapi juga menyumbang ekspresi
makna kultural Jawa. Nasi (bahasa Jawa: sego, sekul) sangat kaya pesan dan
makna. Mardiwarsito dalam buku Peribahasa dan Saloko Bahasa Jawa (1980)
menjelaskan
beberapa
pesan
kultural
tentang
nasi
(sego,
sekul).
Ia
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
B. SARAN
DAFTAR PUSTAKA
Agung,
Yuniandhi.,
2013.,Wadi,
Fermentasi
Ikan
ala
Dayak
dan
Banjar.
Foster, George. M & Barbara Gallatin Anderson. 1986. Antropologi Kesehatan, (terj)
Priyanti Pakan Suryadarma dan Meutia F HattaSwasono. Jakarta: UI Press.
Geertz, Clifford. 1992. Kebudayan dan Agama. Yogyakarta: Kanisius.
Helman, Cecil. 1985. Diet and Nutrition,Culture, Health and Illnes. Bristol: Wright,
Hlm.23-41.
Olson, James A. 1994. Vitamin, Modern Nutrision in Health and Disease. Lea dan
Febiger A. Waverly Company.
Podolefsky, Aaron & Peter j. Brown. 1991. Applying Cultural Anthropology,
AnIntroduction Reader. California: Mayfield Publishing Company.
Suparlan, Parsudi. 1986. Kebudayaan dan Pembangunan, Media IKA15(11).
Weichart, Gabriele.2002. ANTROPOLOGI INDONESIA ke-3. www.google.com. 22
September 2015