Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Kehidupan manusia dan makanan adalah dua hal yang tidakdapat dipisahkan.
Sepanjang sejarah manusia, makanan dan kehidupan dapat dilihat sebagai untuk
mencari makanan dan makanan yang dicari dipergunakan untuk kehidupan manusia.
Dapat diyakini bahwa bahan makanan yang telah tersedia sejak mula pertama
manusia ada dimuka bumi ini. Namun demikian, betapa pun sederhananya cara
pengolahan/teknologi bahan mentah itu sehingga menjadi makanan langsung dapat
dikonsumsi adalah merupakan hasil kebudayaan manusia. Dengan pertkaataan lain,
walaupun suatu bahan mentah secara potensial dapat dimakan, tetapi itu hanya
menjadi makanan karena adanya peranan kebudayaan.
Membahas masalah ragam budaya selalu mengutamakan ciri-ciri yang
menandai a.l. jangkauan lintas budaya dan lompatan lintas batas dari sebuah identitas
komunal. Ini artinya tidak ada dominasi kekuasaan mayoritas ter-hadap hak-hak
minoritas dan tak ada penghalang yang mengungkung sebuah suku yang hidup dalam
keberadaan masyarakat dengan nilai-nilai demokratis.
Kepentingan dalam menciptakan masyarakat didasari bahwa keragaman dan
pluralisme merupakan sebuah kondisi yang saling melengkapi, saling meng-hargai
dan menjunjung nilai-nilai yang terkandung pada masing-masing suku dan bangsa
sebagai prasyarat kehidupan bersama.
Contoh yang paling mudah dicerna adalah bagaimana memahami ragam
budaya secara ringan adalah dengan menyimak bentuk dan jenis makanan yang
dimiliki warga masyarakat pada berbagai suku bangsa yang ada.
Mengapa makanan dan bukan yang lain ? Alasannya proses kehidupan
manusia baik sejak dalam kandungan hingga akhir hayatnya, tak dapat melepaskan
dirinya dari makan dan minum. Karena sangat pentinginya makanan bagi sebuah
suku bangsa, maka terdapat keyakinan tertentu bahwa sumber makanan secara
simbolik disamakan dengan dewa-dewi suci. Suku bangsa India mensucikan lembu
atau sapi sebagai penjelmaaan sebuah Dewa Nandi, masyarakat Indonesia menjuluki
tanaman padi sebagai Dewi Sri, dewi yang membawa kemakmuran. Sedangkan

masyarakat pesisisir di Jawa Timur menjauhi ikan tertentu karena diyakini sebagai
hewan jelmaan dari Dewa yang telah menyelamatkan para nelayan di laut lepas.
Bangsa yang mempunyai penduduk dengan beragam suku dan ras tentu
mempunyai aneka ragam tata cara dan jenis makanannya. Ini tentunya terbawa oleh
warisan kehidupan para nenek moyang mereka yang secara turun-temurun menjadi
nilai kebudayaannya. Makanan dan tata cara menyajikan dan menyantap makanan
bukan saja sebuah ritual dalam kehidupan seseorang, namun punya keterkaitan
dengan budaya, status sosial dan pola pikir yang diyakini oleh pelakunya.

B. TUJUAN
1. Mengetahui makanan sebagai bentuk fenomena biokultural di berbagai daaerah
di Indonesia.
2. Memahami makanan sebagai bentuk fenomena biokultural di berbagai daaerah
di Indonesia.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
A. KONSEP MENGENAI MAKANAN
Makanan dalam pengertian umun adalah segala bahan yang tersedia atau yang
dapat disediakan bagi pemenuhan kebutuhan hidup manusia dalam

arti

nutrisional dan cultural (Nico S.Kalangi,hal.6).


Menurut Helman, dalam budaya masyarakat dimanapun di dunia, makanan
dikategorikan menurut pembagian-pembagian tertentu seperti; (1) makanan dan
bukan makanan; (2) makanan upacara (suci, sakral) dan makanan biasa; (3)
makanan pokok dan makanan selingan; (4) makanan biasa dan makanan yang
berkhasiat obat-obatan; (5) makanan yang berkualitas panas dan dingin dalam
artian klasifikasi paralel; dan (6) makanan biasa yang tidak bermakna khusus dan
makanan yang bermakna simbolik, misalnya melambangkan keakraban, identitas
kelompok, status dan prestise, sifat feminim dan maskulin, makanan pria dan
makanan untuk perempuan, makanan bagi kelompok-kelompok usia (Helman
1984:24). Kebiasaan makan didefenisikan sebagai suatu kompleks kegiatan
masak-memasak, masalah kesukaan dan ketidaksukaan, kearifan rakyat,
kepercayaan-kepercayaan,

pantanganpantangan

dan

tahayul-tahayul

yang

berkaitan dengan produksi, persiapan dan konsumsi makanan (Foster dan


Anderson 1986:313). Makanan adalah suatu konsep budaya, suatu pernyataan
yang sesungguhnya menyatakan zat ini sesuai bagi kebutuhan gizi kita (Foster
dan Anderson 1986:314). Semakin kuat kepercayaan-kepercayaan mengenai apa
yang dianggap makanan dan apa yang dianggap bukan makanan sehingga
terbukti sangat sukar untuk menyakinkan orang untuk menyesuaikan makanan
tradisional mereka demi kepentingan gizi yang baik (Foster dan Anderson
1986:314).
Gizi diartikan; zat makanan yang terdiri dari protein, lemak, karbohidrat, mineral
dan vitamin yang diperlukan untuk kehidupan manusia (Soudarmo 1969; Olson
1994; Sediaoetama 1991).
B. BUDAYA MAKANAN
setiap masyarakat memiliki budayanya sendiri, adat dan tradisi yang
membentuk pola pikir dan emosi masyarakat. Budaya mengajarkan orang
bagaimana untuk berbuat dan berusaha untuk memenuhi kebutuhan dasar
biologis mereka. Budaya juga menentukan apa yang dapat diterima seperti
makanan, pada kondisi seperti apa, kapan orang dapat atau tidak dapat makan,
makanan pa yang menjadi pantangan, dan lain-lain. ( Menurut Suhardjo (1989).
Makanan sebagai Kategori Budaya Makanan adalah kebutuhan biologis yang

mendasar, agar manusia dapat tetap hidup. Makanan sangat erat kaitannya dengan
lingkungan. Lingkungan sering menentukan apa jenis-jenis makanan yang
tersedia, namun kebudayaan yang mempengaruhi bahan-bahan apa yang tersedia
tersebut boleh dimakan dan dilarang. Kebudayaan mendefenisikan apa yang
pantas untuk dimakan dan terkadang apa yang dimakan, dapat menunjukkan
keanggotaan dalam suatu kebudayaan atau sub kebudayaan. Apa yang dimakan
suatu keluarga sering merefleksikan latar belakang etnik atau daerah lokasi
geografis tertentu. Kebudayaan merupakan suatu pola makna-makna yang
diteruskan secara historis yang terwujud dalam simbol-simbol, suatu sistem
konsep-konsep yang diwariskan yang terungkap dalam bentuk-bentuk simbolis
yang dengannya manusia berkomunikasi, melestarikan, dan memperkembangkan
pengetahuan mereka tentang kehidupan dan sikap-sikap terhadap kehidupan
(Geertz 1992:3). Kebudayaan merupakan seperangkat simbol, sebagai hal yang
penting dalam pembentukan tingkah laku manusia. Dengan demikian,
kebudayaan merupakan pedoman hidup manusia atau blue print (Suparlan
1986:3).
Kebudayaan terdiri dari gagasan-gagasan dan makna-makna, kemudian
diwujudkan dalam simbol yang dimiliki bersama oleh pendukung kebudayaan
tersebut. Pemberian makna ini diwujudkan secara berpola dan diwariskan secara
turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya, dari seorang individu ke
individu lainnya melalui proses belajar. Manusia dapat mempelajari sesuatu
karena mempunyai kesanggupan untuk membuat dan memahami ide-ide yang
abstrak, serta mewujudkan kelakuan simbolik. Landasan terutama dari adanya
kesanggupan tersebut, adalah karena manusia mempunyai bahasa (Suparlan
1986:3). Salah satu hal yang diterima bersama adalah kepercayaan, nilai, dan
simbol tentang makanan, mengenai bahan-bahan yang dikategorikan sebagai
makanan dan bukan makanan. Gagasan, makna dan simbol diwariskan secara
turun-temurun, walaupun secara umum kebudayaan bersifat stabil, kebudayaan
adalah fleksibel dan cair. Perubahan dapat terjadi melalui peminjaman atau
inovasi (Pedolefsky dan Brown 1991 : 3).
Namun bahan makanan yang memiliki makna simbolik atau diterima
secara rutin sejak usia muda dalam kehidupan seseorang, biasanya sulit untuk
diubah. Hal ini dapat terjaga dengan adanya sosialisasi dari individu-individu
dalam sebuah pranata yang tersedia yang merupakan suatu sistem antara
hubungan norma-norma dan peranan-peranan yang diadakan dan guna
pemenuhan kebutuhan yang dianggap penting oleh masyarakat (Suparlan 1986).

BAB III
PEMBAHASAN
A. MAKANAN SUKU MINAHASA (SULAWESI UTARA)
Makanan, bahan makanan, dan cara makan memegang posisi penting dalam
wacana mengenai kebudayaan Minahasa dan adat lokal. Meskipun saya tahu
bahwa makanan dan aktivitas makan juga relevan dalam semua masyarakat da

tradisi kebudayaan, saya berpendapat bahwa keadaan Minahasa berbeda. Di sana,


makanan menjadi penanda utama kebudayaan dan identitas. Kebanyakan orang di
Minahasa dan di wilayah-wilayah lain Indonesia mengakui keberadaan sesuatu
yang dapat disebutmakanan Minahasa: bumbu dan hidangan yang dianggap
merupakan kekhasan dan mewakili keseluruhan wilayah dan karenanya
mengandung elemen kebudayaan Minahasa.
Namun jika dilihat lebih jeli lagi, terlihat adanya perbedaan antardaerah. Selain
itu, tidak semua hidangan yang digolongkan sebagai khas Minahasa dikonsumsi
dengan cara yang samadi tiap-tiap wilayah Kabupaten Minahasa. Perayaan ulang
tahun fiktif Minahasa tanggal 5 November menjadi ajang untuk menyoroti
perbedaan kebudayaan lokal dan hidangan khas tiap kecamatan disajikan bagi
tamu-tamu terhormat. Hidangan-hidangan yang ada menunjukkan bahwa selain
bumbu-bumbu yang merupakan karakteristik tiap daerah, cara memasak yang
tidak sama juga menimbulkan besarnya variasi masakan. Hal ini terutama terlihat
pada kue dan makanan manis . Peristiwa seperti perayaan tersebut bertujuan
menggarisbawahi semboyan Indonesia Bhinneka Tunggal Ika dalam skala
regional dengan menyoroti keragaman daerah yang ada dalam kebudayaan
Minahasa. Berlawanan dengan kedaerahan tersebut, yang sekilas tampak
merupakan akibat keragaman budaya dalam Minahasa, perbedaan dan batas
antarkelompok bahasa Minahasa relatif tidak relevan dalam konteks makanan.
Hal ini dapat dijelaskan dari dua sisi: pertama, kelompok-kelompok bahasa ini
bukanlah kesatuan yang terikat secara kultural karena persamaan dan perbedaan
kultural tidak selalu tunduk pada batasan linguistik. Argumentasi kedua, dan
mungkin paling meyakinkan, adalah karena kebanyakan bahan makanan yang
digunakan sehari-hari diproduksi secara lokal. Perekonomian dan ekologi daerah
berperan banyak dalam ketersediaan, distribusi, dan akses
pada sumber-sumber makanan.7 Pengelompokan yang umum tetapi tetap
berguna, adalah antara daerah pegunungan dan pesisir, antara wilayah tepi pantai
dan pedalaman. Seperti sudah dapat diduga, makanan penghuni daerah pesisir,
selain nasi, hampir seluruhnya terdiri atas ikan air asin. Sementara makanan
penghuni wilayah pedalaman terdiri atas daging dan terkadang ikan air tawar.
Meskipun demikian, bahkan di wilayah pedalaman, ikan laut mudah dijumpai di
pasar dengan harga yang seringkali lebih murah daripada harga daging. Ikan air
asin pun menjadi bahan yang kerap digunakan dalam kegiatan memasak seharihari. Walaupun makanan sehari-hari sebagian besar terdiri atas

nasi dan ikan serta adanya preokupasi untuk mendapatkan ikan yang cukup untuk
seluruh keluarga, entah dari pasar lokal, penjual keliling atau hasil penangkapan
pribadi, beragam hidangan dengan bahan mentah ikan yang
diperoleh dari penduduk pesisir Minahasa dianggap sebagai kekhasan daerah, dan
bukanmakanan khas Minahasa. Kenyataan ini membawa kita kembali pada
pertanyaan berikut: apakah makanan (khas) Minahasa di mata orang Minahasa
sendiri dan orang luar? Menarik bahwa ternyata kedua pihak tersebut memiliki
pendapat yang sama, setidaknya untuk penggolongan yang tidak terlalu
mendalam. Tiga hal yang paling sering disebut sebagai ciri makanan Minahasa
adalah sebagai berikut ini:
penggunaan cabai (rica) dalam jumlah yang sangat banyak;
kegemaran pada daging anjing atau daging binatang hasil buruan;
rebusan sayuran yang disebut tinutuan.
Mari kita mulai dengan ciri pertama:
penggunaan cabai dalam jumlah banyak memang dilakukan di seluruh Indonesia,
tetapi masyarakat Minahasa menggunakannya lebih sering dan lebih banyak
daripada masyarakat lain. Makanan Minahasa dikenal karena kepedasannya
sehingga para pengunjung yang datang dari luar dan diundang untuk bersantap
bersamadan karena orang Minahasa tampaknya menyukai makanan lebih dari
apa pun juga, pengunjung sulit sekali mengelak dari undangan semacam ini
dinilai berdasarkan kemampuan mereka mengatasi rasa tersebut. Pertanyaan yang
sering ditanyakan adalah sudah bisa tahan makan makanan Minahasa? Jika
jawabannya adalah ya, orang tersebut dianggap cocok hidup di Minahasa.
Banyak orang Indonesia menganggap penggunaan cabai yang berlebihan (tentu
dari sudut pandang mereka) oleh orang Minahasa sebagai bukti kesombongan
dan kecenderungan untuk pamer. Karakteristik kedua lebih sulit diterima orang di
luar Minahasa: dihidangkannya
potongan daging anjing, tikus, atau kelelawar di meja makan. Semakin Yang Lain
(Others) terlihat terkejut dengan menu yang aneh tersebut dan semakin mereka
menjauhi kebiasaan tersebutbahkan secara fisik, semakin tuan rumah
Minahasa mereka menawarkan hidangan tersebut sebagai kekhasan dan
mendesak para tamu untuk juga menyantapnya. Hal yang membuat
hidanganhidangan daging ini makin spesial dan khas Minahasa adalah
kenyataan bahwa hidangan tersebut dimasak dengan porsi cabai yang sangat
banyak. Orang Minahasa, bahkan para penggemar berat daging binatang buruan
dan anjing, menjelaskan kebiasaan ini dengan menyatakan bahwa daging-daging
tersebut memiliki rasa asli yang sangat kuat sehingga perlu diimbangi rempah-

rempah. Hal ini menyebabkan ditambahkannya cabai dalam jumlah yang


berlebihan sehingga orang yang menyantapnya tidak dapat merasakan hal lain
selain kepedasan yang amat sangat Cabai adalah salah satu bumbu paling penting
dalam masakan Minahasa yang digunakan dalam hamper semua hidangan
(kecuali hidangan manis tentu saja). Memang cabai terutama ditemukan dalam
masakan yang berbahan daging anjing atau binatang buruan, tetapi cabai juga
digunakan untuk memasak hidangan daging atau sayuran jenis lain yang disantap
sehari-hari. Seperti halnya nasi, cabai merupakan bumbu dasar yang harus ada di
setiap waktu makan. Berbeda dengan cabai, anjing dan hewan hutan (terutama
babi hutan, ular, monyet, kelelawar, dan tikus besarsemua orang menegaskan
bahwa tidak ada tikus rumah yang menemukan ajalnya di atas kompor) telah
menghilang dari menu harian keluarga Minahasa. Menghilangnya daging-daging
tersebut adalah akibat ketersediaannya yang
makin menipis. Hewan-hewan ini, atau potongan-potongannya, tidak selalu dan
tidak mudah didapatkan. Umumnya lebih mudah membeli daging tersebut di
daerah pedalaman daripada di pesisir sebab di tempat itu tanah digunakan hampir
seluruhnya untuk bercocok tanam dan kebun-kebun mereka bersentuhan dengan
laut. Hutan di daerah pedalaman pun semakin lama semakin menyempit. Akibat
perburuan yang intensif, diiringi berkurangnya habitat mereka, hewan-hewan
liar semakin sulit ditemukan sehingga menjadi jarang disajikan lagi. Beberapa
orang Minahasa senang mengadu keberuntungan dan pergi berburu menggunakan
senapan dan jebakan di kebun kebun dan hutan di sekitar mereka. Menemukan
anjing untuk disembelih bahkan menjadi
kegiatan yang dilakukan secara sembunyisembunyi, karena jumlah anjing yang
secara khusus diternakkan untuk konsumsi tampaknya tidak mencukupi. Pemburu
anjing kerap memasuki desa-desa di malam hari, untuk mencari mangsa.
Meskipun menggemari daging anjing, banyak orang Minahasa yang tidak
bersedia mengorbankan anjing mereka untuk dijadikan santapan dan mereka
melakukan berbagai upaya agar anjing mereka tidak dicuri. Kenyataan bahwa
daging anjing dan hewan hutan menjadi langka memperkuat citra mereka sebagai
makanan istimewa. Akibatnya, hidangan-hidangan tersebut saat ini hanya
disajikan dalam acara-acara spesial seperti ulang tahun, pesta, ataupun resepsi.
Rumahrumah makan juga telah merespons dilemma antara keinginan dan
ketersediaan itu dengan menyajikan masakan-masakan langka tersebut.
Kebanyakan restoran ini berlokasi di daerah perbukitan dan dataran tinggi yang
mengelilingi Danau Tondano. Beberapa dari restoran tersebut bahkan dikenal di

seluruh kabupaten karena menyediakan masakan tradisional dan khas


Minahasa. Tinutuan, rebusan yang terdiri atas jagung, beras, dan ubi manis
ditambah dengan sayurmayur lainnya merupakan jenis makanan yang sama sekali
berbeda. Bahan-bahan yang digunakan relatif murah, mudah ditemukan dan
mudah dimasak sehingga tinutuan pun sering dikonsumsi. Hidangan ini juga
dikenal sebagai makanan yang biasanya dimakan menjelang
siang di warung-warung. Akan tetapi jika kita membandingkan tinutuan atau
yang juga disebut bubur Manado dengan jenis makanan yang termasuk dalam
karakteristik makanan Minahasa yang pertama dan kedua, ada sedikit
kebingungan. Tinutuan tidak memenuhi syarat sebagai makanan luar biasa.
Sebaliknya, dilihat dari konteks pengkonsumsiannya, bersamaan dengan berbagai
jenis sup di warung-warung kecil dan murah, terkesan bahwa tinutuan merupakan
hidangan yang biasa dan dapat ditemukan di berbagai wilayah lain Indonesia.
Seperti semua jenis rebusan dan sup, tinutuan dimasak dengan cara yang sangat
ringan dan si penyantap kemudian dapat menambahkan bumbu-bumbu sendiri
sesuai seleranya, seperti sambal atau cabai, saus tomat, cuka, atau garam.
Makanan dari bumi
Pada tahap ini kita dapat bertanya, dan memang sudah sewajarnya, bagaimana
kumpulan bahan makanan yang terkesan acak ini dapat mewakili tradisi dan
kebudayaan Minahasa, lebih dari bahan makanan lainnya setidaknya di mata
mereka yang menggunakan bentuk penggolongan tersebut? Jika memang
demikian halnya, apakah ada kesamaan yang tersembunyi antara ketiga kategori
yang sekilas terlihat cukup beragam tersebut? Saya tidak akan membandingkan
kategorikategori tersebut dengan kebiasaan makan masa kini, yang jelas tidak
akan membuahkan banyak hasil, dan memilih untuk menelusuri asal-usul
beragam bahan makanan tersebut. Bersama bahan yang dibutuhkan untuk
tinutuan, cabai tumbuh baik di kebun milik pribadi maupun di pertanianpertanian komersial di seluruh Minahasa. Meskipun demikian, dipengaruhi faktor
tanah dan iklim, daerah penanaman utama sayur-mayur adalah daerah
pegunungan. Kebun-kebun dan hutan-hutan di daerah itu juga merupakan tempat
berburu hewan sehingga dibandingkan mereka yang bermukim di pesisir,
penduduk pegunungan memproduksi lebih banyak bahan dasar hidangan
tradisional. Hal ini bukan kebetulan. Pedalaman adalah tempat yang dihuni oleh
orang Minahasa asli dan dianggap pusat tradisi terkuno dan terkokoh. Daerah
pedalaman adalah tanah nenek moyang masyarakat yang kini ada serta tanah para
leluhur terhormat yang makanannya terdiri atas sayur-mayur, umbi-umbian, serta

binatang buruan, dan bukan ikan air asin. Definisi pedalaman lebih ditentukan
oleh morfologi tanah yang cocok untuk pertanian
dan bukan pada jarak aktual suatu tempat dari laut.
Contoh yang mewakili hal tersebut adalah desa Waleo dan sekitarnya yang
terletak di pantai Timur Laut Minahasa. Meskipun desa tersebut letaknya hanya
beberapa menit berjalan kaki dari pantai, mayoritas penduduknya merupaka
petani yang bekerja di kebunkebun. Generasi muda zaman sekarang semakin
banyak yang memilih mencari mata pencaharian di kota dan menghabiskan
makin sedikit waktu dan energi untuk bercocok tanam. Namun demikian,
kepemilikan tanah masih merupakan sumber identitas dan kebanggaan. Mereka
yang kini berusia 3040-an senang mengenang masa muda mereka (sekitar 20
tahun lalu) saat kehidupan di desa sangat berbeda dari sekarang. Indikator yang
digunakan adalah jumlah waktu yang mereka habiskan di kebun dan intensitas
pekerjaan bercocok tanam. Kebanyakan keluarga berada di kebun mereka dari
hari Senin hingga Sabtu, hidup dan bekerja di sana. Mereka kembali ke desa di
hari Minggu. Selama seminggu itu, mereka hidup dari hasil kebun, antara lain
umbi-umbian, jagung, sayurmayur, sejumlah kecil beras, telur, terkadang ayam,
anjing, atau hewan hasil buruan lainnya. Ikan asin terkadang tersedia juga, tetapi
ikan segar disimpan untuk hari Minggu. Perubahan pola kerja, tempat, dan gaya
hidup juga menimbulkan perubahan dalam kebiasaanmakan.
Tinutuan, salah satu makanan Minahasa yang paling terkenal, dianggap makanan
orang miskin. Hasil berkebun yang dicampur dan dijadikan bubur konon
ditemukan semasa penjajahan Jepang saat makanan sulit diperoleh.
Selain itu, tinutuan mudah dimasak dan disiapkan saat orang tinggal di kebun
karena semua bahan sudah tersedia. Jika zaman dahulu tinutuan dimasak sesuai
kebutuhan para petani, penduduk kota perlahan-lahan menganggapnya sebagai
hidangan lezat yang sesuai untuk sarapan kedua. Dengan begitu, status tinutuan
meningkat menjadi hidangan khas daerah. Secara singkat, kesamaan berbagai
bahan makanan ini (cabaihewan buruantinutuan) adalah identik dengan asalusul mereka. Bahanbahan tersebut atau bumbu-bumbu yang diperlukan bukanlah
hasil laut melainkan hasil bumi atau binatang yang diburu, dikumpulkan atau
dipanen di kebun dan hutan daerah pedalaman. Sebagai pemburu, pengumpul
makanan, dan petani, orang Minahasa meneruskan tradisi (kuliner) nenek
moyang mereka, yang juga menempati daerah pegunungan. Dengan demikian,
mereka memenuhi syarat sebagai keturunan asli orang Minahasa.
KAMI makan babi sementara
MEREKA makan sapi
Selera untuk daging hewan buruan, ayam, atau ikan air tawar masih ada, babi
tetap menempati urutan pertama dalam daftar hewan yang dapat dimakan dan

daging babi adalah jenis daging yang paling digemari. Daging babi (baik direbus,
digoreng, maupun dipanggang) pastidisajikan dalam tiap acara istimewa. Arti
ekonomis babi tidak mengejutkan karena, pertama-tama, babi mengandung lebih
banyak daging dan lemak dibandingkan jenis binatang lain dan dengan demikian
menunjukkan kekayaan si pemilik ataupun mereka yang dapat membeli dan
menyembelihnya. Tersajinya satu babi utuh, atau bahkan beberapa hewan adalah
tanda keistimewaan acara karena tuan rumah bersedia
membuat pengorbanan yang berarti. Dewasa ini, hal tersebut biasa terjadi dalam
rangka pernikahan, pembaptisan, pemakaman, dan terkadang saat perayaan ulang
tahun yang besar. Babi juga bernilai tinggi karena merupakan tokoh penting
dalam mitos dan kosmologi orang Minahasa. Menurut mitos, seekor babi kuno
yang besar membawa dunia di atas punggungnya sementara versi lain
mengatakan bahwa babi dikorbankan dalam upacara yang dilakukan dewa-dewa
penghuni dunia kejahatan (Tauchmann 1968:121). Hingga beberapa dekade lalu,
meramalkan masa depan dengan mempelajari hati babi yang baru
disembelih merupakan sesuatu yang biasa dilakukan (Pusung 1994). Lebih dari
binatang lain, babi mewakili tradisi Minahasa dan mempunyai ikatan dengan
leluhur dan wilayah. Walaupun demikian, kegemaran memakan daging babi
bukan sesuatu yang ditemui semata pada orang Minahasa melainkan juga pada
komunitas-komunitas non-Muslim di seluruh Indonesia. Dengan demikian
kegemaran memakan daging babi kurang tepat jika dianggap sebagai indikator
identitas Minahasa yang membedakan mereka dari kelompok Yang Lain (Others).
Kebiasaan tersebut justru menyatakan penyatuan yang lebih luas dan
melampaui batas wilayah Minahasa. Sebagai pemakan babi, orang Minahasa
menempatkan diri mereka dalam satu kategori dengan Yang Lain (Others) yang
dikenal sebagai orang Kristen, orang Hindu, dan orang Buddha. Dengan
memperluas kesamaan dengan orang luar (outsiders) tersebut, perbedaan dengan
kelompok Muslim makin mencolok. Hal ini tidak hanya terjadi di tingkat daerah
saja tetapi juga di tingkat nasional dan bahkan internasional. Minahasa
menekankan kesetiaan mereka pada agama Kristen yang, walau berakar pada
masa awal kolonisasi Eropa, baru menyebar dengan cepat setelah misionaris
NZG serta didikan mereka hadir di Minahasa. Saat ini, para penjajah telah
digantikan oleh komunitas dunia Kristen dan identifikasi dengan dunia Barat
menjadi sikap yang menyatakan oposisi Minahasa terhadap Islam.
Kami, orang Minahasa, makan babi sementara mereka, orang Muslim, makan
sapi adalah ucapan yang kerap diutarakan. Orang, tempat, dan peristiwa
diidentifikasi sebagai Kristen atau Muslim berdasarkan jenis daging yang

disajikan. Dalam hal ini, kebiasaan makan masyarakat Muslim yang tinggal di
Minahasa tidak berbeda dengan kebanyakan orang Indonesia. Di acaraacara
umum dan pesta-pesta pribadi yang diadakan di kota-kota besar dengan populasi
heterogen (termasuk Muslim), dua jenis makanan disediakan: makanan
Minahasa dan makanan nasional. Dengan begitu, hidangan yang disediakan
bagi orang Muslim yang tidak memakan babi dikategorikan sebagai hidangan
nasional meskipun masakan tersebut masih memiliki karakteristik masakan
Minahasa dan perbedaannya hanya terletak di jenis daging yang digunakan
Rasa perbedaan-rasa penolakan-rasa kekuasaan
Secara antropologis diakui bahwa rasa bukan hanya tergantung pada indera
pengecapan dan kemampuan yang diperoleh sejak lahir, tetapi merupakan sesuatu
yang diperoleh melalui proses sosialisasi (antara lain Caplan 1997; Macbeth
1997; Scholliers 2001). Kesukaan dan ketidaksukaan sehubungan dengan
makanan dan minuman, seperti banyak hal lainnya, dibentuk oleh pengalaman
dalam lingkungan sosial tertentu. Makna dan asosiasi sosial dan kultural yang
terkait pada berbagai jenis makanan sangat mempengaruhi sikap
pribadi terhadap sumber makanan dan, dengan demikian, selera. Hal-hal
tersebut adalah determinan penting dalam pemilihan tentang apa yang dapat
dimakan dan tidak dapat dimakan, atau makanan lezat versus makanan tidak
enak. Para antropolog telah menyatakan bahwa makanan, lebih dari fenomena
lain, merupakan penanda ideal untuk kebudayaan atau tradisi tertentu (antara
lain Counihan dan Esterik 1997). Memasak dan makan tampaknya merupakan
tindakan yang relatif aman dan tidak provokatif guna menunjukkan keterlibatan (
embeddedness) dan identitas seseorang dalam kebudayaan tertentu. Walaupun
begitu, jika kita menguak lapisan permukaan asumsi ini, kita menyadari bahwa
pemilihan dan pengkonsumsian bahan makanan adalah seperti halnya bentuk lain
konsumsi, tindakan sosial dan bahkan terkadang tindakan politis, yang signifikan.
Seperti yang sudah diutarakan sebelumnya, kedua kategori pertama, yaitu cabai
dan daging anjing/hewan buruan, menunjukkan pertalian simbolis yang spesial,
meskipun dari segi biologi dan nutrisi, kedua hal tersebut sangat berbeda. Jenis
daging yang disebut di atas biasanya diolah dengan jumlah cabai yang
berlebihan dan karenanya, tidak mengherankan, dianggap makanan panas dan
selanjutnya, jantan. Pengkonsumsian makanan berempah, panas dan
mengandung bahaya merupakan kesempatan bagi pria Minahasa untuk
menunjukkan keberanian dan kekuatan mereka, tidak hanya terhadap orang
Minahasa sendiri, tetapi juga terhadap Yang Lain. pengekspresian identitas suku
dan agama dari kedua pihak. Karenanya, masyarakat Minahasa membenarkan

tindakan anti-Muslim, baik dilakukan secara individual maupun kolektif, sebagai


bentuk perlindungan diri. Tujuan jangka panjang tindakan tersebut adalah
pencegahan pengambilalihan Minahasa oleh mayoritas di tingkat nasional, yaitu
kelompok Muslim. Desentralisasi, yang menambah kekuasaan otoritas dan
pemerintah lokal, membuka lebih banyak kesempatan untuk kedaerahan dan
seiring dengannya, tindakan berlatar belakang suku maupun agama. Seperti telah
berulangkali dicontohkan dalam sejarah, lebih mudah dan lebih nyaman untuk
menyalahkan dan memerangi mereka yang lemah mereka yang kuat.
Kesimpulan
Makanan, makan, dan selera, berhubungan dengan organ dan fungsi tubuh.
Makan adalah proses fisiologis; selera adalah kemampuan dan kualitas fisik,
menambahkan rasa pada proses ini dan hal tersebut memunculkan reaksi
emosional seperti kenikmatan atau ketidaksukaan; dan hanya bahan yang dapat
dikonsumsi serta diurai tubuh diberi label makanan. Jadi, kebiasaan makan
tidak sepenuhnya tidak alamihal ini berlaku setidaknya bagi mereka yang
tubuhnya telah terkondisi pada ketentuan dan preferensi kuliner tertentu. Tubuh
Minahasa, contohnya, telah terbiasa pada rasa babi, tikus dan anjingjenis
daging yang tidak akan disentuh tetangga Muslim mereka. Lebih lanjut lagi,
penggunaan cabai dalam jumlah besar dalam masakan Minahasa menuntut fisik
yang mampu menanggung rasa pedas. Jika makanan Minahasa merupakan
tantangan bagi pendatang baru, penduduk local telah menikmati kelezatankelezatan yang menjaga tubuh mereka tersebut selama bertahun-tahun. Orang
luar akan dinilai berdasarkan kemampuan mereka menyantap makanan Minahasa
dan walau adaptasi yang bertahap diinginkan, integrasi sepenuhnya
tidak diharapkan. Selera cenderung konservatif dan para ilmuwan telah
menunjukkan bahwa preferensi makanan adalah salah satu kebiasaan yang paling
bertahan; meskipun tidak sekaku seperti yang tampak sekilas (lihat Bourdieu
1986) dan dapat berubah bahkan di tahap-tahap akhir hidup.
Walaupun fleksibilitas dan kemampuan adaptasi selera para pengunjung
umumnya ditanggapi dengan gembira oleh orang Minahasa, dalam hal makanan
khas Muslim dan daya tariknya pada umat Kristen, kualitaskualitas tersebut
pada sesama orang Minahasa akan dilihat dengan penuh curiga. Daya tarik
makanan Muslim dianggap ancaman bagi komponen identitas Minahasa. KeMinahasaan sebagai identitas umum mayoritas penduduk Minahasa didasarkan
baik pada kategori sosial seperti kesukuan, agama, dan kebudayaan maupun
wilayah yang dihuni bersama, bahasa, dan sejarah. Kekuatan eksternal seperti
kolonialisme, penyebaran agama, dan hegemoni Jawa pasca-kolonialisme

memiliki pengaruh penting pada konstruksi identitas tersebut. Sekalipun faktor


keturunan memainkan peran besar dalam transmisi identitas Minahasa, identitas
senantiasa tetap harus diperbaharui kembali dan dinyatakan ulang melalui praktik
sosial. Aktivitas makan, sebagai contoh, adalah kegiatan yang sesuai untuk
mengokohkan identitas biologis dan sosial dengan menunjukkan keterikatan
orang Minahasa pada leluhur dan tanah tempat tinggal mereka serta tergabungnya
mereka dalam komunitas Kristen. Seperti semua identitas sosial, ke-Minahasaan didefinisikan secara negatif dan positif dan sering menggunakan perbedaan
dengan identitas Muslim sebagai dasar. Di tingkat lokal, masyarakat Kristen
Minahasa membedakan diri mereka dari tetangga Muslim mereka yang,
meskipun telah tinggal lama di Minahasa, tidak diakui sebagai orang Minahasa.
Di tingkat nasional, penekanan dilakukan pada perbedaan mereka dengan
wilayah dan provinsi lain di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama
Islam. Di tahun-tahun belakangan ini, perubahan dalam struktur politik dan
pengalihan kompetensi dan tanggung jawab pada otoritas
daerah memberi tidak sekadar otonomi dan kebebasan daerah yang lebih besar
tetapi juga peningkatan instabilitas dan perasaan tidak aman, terlebih karena
reformasi politik berjalan diiringi berbagai konflik kekerasan di berbagai daerah
di nusantara. Orang Minahasa, seperti umat Kristen lain di Indonesia,
menganggap fundamentalisme Islam berada di balik konflikkonflik dan dampak
negatif konflik di seluruh Indonesia. Sebagai akibatnya, tumbuh sikap penolakan
dan ketidakpercayaan masyarakat Minahasa terhadap orang Muslim secara
umum. Meskipun hubungan antara kedua kelompok dicirikan oleh dijaganya
jarak dan sikap menghindar dari kedua kubu, ketegangan tak diragukan lagi telah
meningkat dan dipupuk oleh stereotipe dan prasangka (negatif) terhadap kubu
lain. Perbedaan dalam kebiasaan seputar makanan per se tidak cukup untuk
memancing perseteruan serius antara umat Kristen dan Muslim. Meskipun
demikian, makanan adalah penanda primer identitas Minahasa dan dengan begitu
memisahkan mereka dari Yang Lain, yang tidak memiliki tradisi yang sama,
seperti misalnya umat Muslim. Ideologi dan praktik pembedaan menjadi sangat
relevan di masa kekisruhan politik dan sosial. Makanan adalah elemen sentral,
baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam kejadian-kejadian penting, dan
karenanya memberi banyak kesempatan untuk mengisi
identitas Kristen dan Muslim dengan makna dan sekaligus menggarisbawahi
perbedaan alami. Dihidupkannya kembali aturan, tabu, dan rekomendas seputar
makanan adalah salah satu cara yang cukup efektif untuk menampilkan

batas-batas sebagai sesuatu yang normal dan tak terhindarkan. Makan adalah
kegiatan sosial yang fundamental dan menciptakan atau mendefinisikan
hubungan sosial; kedekatan dan jarak. Jadi, menyantap secara teratur hidangan
Muslim, terlebih di lingkungan Muslim dapat membuat batas suku atau budaya
dan persepsi tentang perbedaan, dipertanyakan kembali. Meskipun hubungan
semacam itu antara kelompok Kristen dan Muslim merupakan keadaan ideal di
mata orang luar, masyarakat Minahasa sendiri cenderung skeptis. Jarak sosial
adalah syarat untuk mereproduksi citra Minahasa dan interpretasi tentang agresi
Muslim. Citra tersebut dibutuhkan untuk membenarkan diskriminasi politik dan
sosial serta untuk memelihara budaya perbedaan (culture of difference).
B. MAKANAN SUKU JAE ( PAPUA)
Makanan pokok orang Jae adalah bie atau sagu. Bagi orang Jae, sagu bakar yang
dimakan dapat menguatkan badan dan atau mengatasi rasa lapar. Sedangkan pati
sagu yang tidak dibakar tidak bisa dimakan karena tidak menguatkan tubuh,
malahan bisa mematikan orang. Jadi dalam proses itu, apa saja yang dimakan dan
ternyata mematikan, maka dianggap bukan makanan. Untuk memperoleh sagu
untuk makanan sehari-hari, mereka menempu dua strategi ke dusun sagu.
Pertama, strategi jarak pendek yakni, pergi-pulang dari kampung ke dusun sagu
karena jangkauannya dekat. Keluar pagi dan pulang sore hari dengan membawa
hasil. Kedua, strategi jarak panjang yakni, pergi beberapa lama tinggal di dusun
sagu, dengan membangun sebuah rumah untuk dihuni. Segala perlengkapan
seperti, tikar untuk alas tidur, kapak dan perlengkapan lainnya dibawahnya dari
kampung. Hidup di hutan-hutan sagu dengan menetap di suatu tempat untuk
beberapa waktu, lalu pindah mencari tempat baru adalah apabila makanan di
tempat itu sudah mulai berkurang. Hidup di tengah hutan bagi mereka itu adalah
hidup yang bebas, tidak ada peraturan yang mengikat mereka. Inilah yang
menyebabkan mereka sering meninggalkan kampungnya. Anak-anak biasanya
diikutsertakan dalam kegiatan pencarian makan ini. Walau pun sekarang ini (saat
penelitian ini dilakukan), ada orang tua yang memandang bahwa anak-anaknya
yang bersekolah tinggal di kampung, akan tetapi pandangan ini sulit dipraktekan.
Sari pati sagu diambil dengan cara batang sagu ditebang, dibersihkan pelepahnya,
dipotong secukupnya kurang lebih 2 meter lalu dibelah untuk ditokok dan
dipukul menggunakan kayu buah sehingga empulur sagu itu halus. Empulur sagu
yang sudah halus diangkat ke dalam tempat meramas yang dibuat dari pelepah
sagu kurang lebih 3 kg, dicampur air lalu diramas. Ini dilakukan selama dua kali.
Perempuanlah yang umumnya melakukan pekerjaan ini. Tepung sagu yang

dihasilkan diambil untuk bahan makanan, biasannya dibakar dalam bentuk


gumpalan, istilah yang populer adalah sagu bola. Selain sagu bola, dibungkus
dengan daun lalu dibakar. Sekarang mereka cenderung membakar sagu dengan
kaleng dan piring ceper. Selain sebagai makanan pokok, bie juga merupakan
makanan yang disakralkan, terutama oleh klen Keijai yang memandang sagu
sebagai totemnya. Warga dari klen ini percaya bahwa sagu adalah leluhur dan
asal mula dari kehidupan mereka. Atas dasar pandangan inilah, maka mitos dari
sagu dan keberadaan sagu disekitarnya tidak mudah diceriterakan kepada orang
lain. Mitos sagu telah menjadi kerangka moral yang dipatuhi. Berlandaskan ini,
maka sagu diambil secara baik dalam suatu proses tata krama tersendiri dan
dikonsumsi secara baik pula agar kehidupan dan penghidupan mereka selalu
berlangsung dengan baik. Hal ini menunjukkan bahwa mengkonsumsi sagu itu
sebenarnya bukan karena sekedar memberikan kekuatan pada tubuh mereka yang
lemah agar bisa mampu bekerja, tetapi lebih daripada itu, adalah mengekspresi
ketaatan kepada leluhur sebagai akar dari kehidupan. Karena itu selain klen tadi,
orang Jae umumnya, menaati keyakinan bahwa perlakuan yang baik terhadap
sagu itu akan berakibat baik bagi mereka, yakin suasana damai sejahtera.
Ketaatan itu dapat juga dilihat dari cara mereka mulai menebang pohon sagu
sampai memangkurnya. Penebangan dilakukan orang tua tertentu yang tahu
tentang ungkapanungkapan adat yang berkaitan dengan sagu atau leluhur itu,
dimana sambil menebang penebang berkata-kata seraya memohon maaf dan izin.
Demikian juga tidak boleh adanya empulur sagu yang terjatuh sembarangan ke
tanah. Bahkan ketaatan itu menyebabkan empulur yang siap diramas dipukulpukul menggunakan kayu buah sampai menjadi lebih halus agar semua sari
tepung tersaring ke dalam babat, tempat penampung untuk diambil. Penerapan
dikotomi makanan religius lebih dari sekedar klasifikasi bagi makanan, dan hal
ini biasanya merupakan bagian dari kerangka moral dalam kebudayaan mereka.
Persoalan mengenai apa yang ditolak dan apa yang diterima tentu saja berada
dibawah kontrol kebudayaan mereka, khususnya yang berkenaan dengan
makanan. Bahan-bahan makanan tertentu juga disakralkan karena adalah
merupakan totem dari klen-klen tertentu. Umumnya komuniti bersahaja tidak
memakan sesuatu yang disakralkan sebagai totemnya. Hal ini berbeda pada orang
Jae. Klen Keijai misalnya, mensakralkan kasuari, tetapi tidak dipantangkan. Klen
Dambojai mensakralkan sagu, tetapi tetap memakan sagu sebagai makanan
pokoknya. Bahan-bahan makanan tertentu juga dianggap profan sehingga
dalam kehidupan mareka, bahan makanan tersebut bukan saja menjadi subyek

tabu yang ketat, tetapi juga tidak bisa disentuh dan tidak akan disentuh. Misalnya,
ikan kakap dan ikan sembilan yang besar dianggap aneh dan berbahaya, maka
tidak boleh dimakan, karena jika dimakan akan menimbulkan kelainan pada
tubuh dan menyebabkan yang memakannya akan mati.
4.3 Makanan Selingan
Bie biasanya diselingi makanan lain seperti pisang dan talas. Pisang dan talas
ditanam di kebun pada pekarangan rumah, selain itu nasi yang sudah dikenal dan
biasa dimakan. Walaupun ada makanan selingan itu, tetapi sagu tetap
diutamakan. Beberapa orang menyatakan, makan sagu itu kenyang lebih lama
daripada makan pisang, nasi dan talas.
4.4 Makanan Sebagai Obat dan Obat Sebagai Makanan.
Klasifikasi semacam ini sering terkait erat dengan klasifikasi makanan paralel.
Pucuk muda dari sagu yang sering diambil sebagai makanan, kadang-kadang
dijadikan obat. Tumbuhan sammai (bahasa Jae) atau wati (bahasa Marind) adalah
tumbuhan yang memiliki fungsi sosial dan budaya dalam kehidupan mereka.
Tumbuhan sammai di tanam dan jaga secara adat untuk acara-acara adat. Sedikit
bagian dari tumbuhan ini akan dikunya oleh pimpinan acara atau orang tertentu
lalu diberikan kepada peserta acara untuk memberi semangat berbicara atau
berkomunikasi diantara mereka. Bagi generasi sekarang sammai dimakan agar
tidak stres. Selain sammai, pohon taak (bahasa Jae) yang getahnya dimakan baik
oleh wanita yang telah melahirkan maupun yang masih gadis yang bakal kawin
untuk melancarkan air susu bagi kebutuhan bayi.
4.5 Makanan bayi.
Makanan untuk bayi adalah gumpalan sagu bakar lunak. Proses pembuatannya
sama seperti yang dibuat untuk orang dewasa, tetapi sagu bakar untuk bayi
sambil dibakar diberi air secukupnya sehingga lunak. Maksudnya, agar mudah
dimakan. Makanan ini hanya bersifat sementara, karena setelah berumur diatas 7
tahum, ia pun memakan makanan yang dimakan orang dewasa.
4.6 Biekalmu: Makanan Status Sosial.
Makanan ini memperlihatkan ciri dan bentuk yang berbeda dengan yang lainnya.
Biekalmu adalah makanan yang menentukan status sosial dari orang Jae, dimana
orang lain di luar kelompok dan kampung diundang untuk menikmatinya. Pada
saat dan setelah makanan ini disajikan maka orang luar kampung secara spontan
menyatakan rasa kagum atas kenikmatan makanan ini. Ini pertanda adanya
kemakmuran dan sejahtera bagi kampung penyaji makanan. Tujuan dari
penyajian ini memang adalah untuk mendapat penilaian terhadap kondisi
kemakmuran dan kesejahteraan warga kampong atas. Selain itu dengan
melakukan ini maka dusun, hutan dan segala yanga di dalamnya tetap baik dan

mudah diperoleh untuk kehidupan manusia. Ciri dan bentuk makanan ini bisa
dibilang sebagai simbol kesejahteraan dan kedamaian kampung. Selain itu, nilai
simbolis yang dimaksud disini terutama berkaitan dengan ungkapan rasa
persaudaraan, identitas kelompok, serta sebagai ungkapan prestise dari kelompok.
Biekalmu, disajikan secara insidentil, yang disebut pesta biekalmu, yakni pesta
untuk menjamu tamu kehormatan dan suku-suku tetangga. Bagi orang Jae,
Biekalmu adalah makanan yang sangat istimewa, karena dibuat dari bahan-bahan
makanan yang segar seperti pati sagu, daging binatang buruan seperti kanguru,
babi, dan burung kasuari, serta sayur-sayuran. Setelah bahan-bahan itu disiapkan
maka dicampur aduk lalu dibungkus dengan daun atau kulit kayu tertentu lalu
dibakar. Besar dan berat bungkusan bielakmu bisa bervariasi, tetapi umumnya
sebesar kurang lebih 65 cm2 dengan berat 6 kg lebih. Biekalmu dibakar diatas
bara api yang panas. Setelah matang diangkat lalu dibiarkan hingga agak dingin
barulah kemudian dibuka. Semua orang yang hendak mencicipi biekalmu harus
berada disamping pada saat bungkusan hendak dibuka. Hal ini agar masingmasing bisa menghirup aroma biekalmu yang menggiurkan. Pesta biekalmu
adalah pesta yang sangat meriah karena dihadiri banyak orang berbagai kampung,
disitu pula merupakan moment pengakuan prestise, pertukaran sosial, budaya dan
peminangan. Selain makanan yang menunjuk status sosial itu, makanan yang
sifatnya hampir sama adalah pesta ulat sagu. Pesta ulat sagu merupakan pesta
yang sangat meriah, semua orang terutama laki-laki bergiat secara sungguh
sungguh memberi yang terbaik untuk pesta ini. Manfaatnya adalah hubungan
sosial menjadi lebih akrab. Mereka menyadari pesta ini memberi kenikmatan
yang tinggi karena sajiannya sangat enak, ini adalah kesempatan untuk
mengkonsumsi makanan yang enak. Pesta pendewasaan (inisiasi) pada suku ini
disuguhi makanan tersebut diselingi dengan yang lainnya. Karena pendewasaan
amat sangat penting untuk masyarakat yang bersangkutan, maka makanan selalu
disajikan sebagai tanda suka cita. Di dalam pesta ini daging binatang buruan,
piaran, ikan dan sayuran disajikan.
4.7 Pola Makan
Pola makan mencakup apa yang dimakan, kapan dimakan, siapa yang makan,
dimana, mengapa, dan bagaimana memakan makanan. Kapan, dimana dan
bagaimana orang Jae memakan makanan pokok dan selingan didalam tradisi
mereka, ketepatannya sangat relatif. Umumnya mereka tidak biasa duduk samasama memakan makanan, kecuali pada saat pesta biekalmu. Orang secara
individu memakan makanan yang disiapkannya tanpa harus bersama-sama

dengan warga lainnya. Penentuan waktu untuk makan pun tidak tegas. Setiap
orang dapat makan kapan saja, kalau memang ia merasa lapar atau ingin makan.
Walaupun demikian, setiap pagi saat orang belum pergi melakukan aktivitasnya,
ada asap api di rumah masingmasing yang ternyata adalah karena sedang
membakar sagu untuk dimakan atau dibawa ke tempat bekerja. Rumah yang tidak
berasap api pertanda, sagu sudah dibakar dari malam, atau tidak punya sagu
untuk dibakar. Orang atau keluarga yang tidak punya sagu di rumah maka
makanannya akan dibuat di dusun dan atau di tempat kerja. Simon dan Wilianus
(tokoh masyarakat) menuturkan: ...kalau ada sagu atau makanan, maka kami
dapat makan pada pagi hari sebelum keluar rumah melakukan aktivitas.Tetapi
kalau tidak ada, maka kami akan bakar sagu untuk dimakan di tempat kerja,
misalnya di dusun, dihutan dan di tepi sungai.
Pemahaman baru tentang pola makan dan waktu makan (pagi, siang, dan malam)
seperti yang umumnya pada masyarakat di kota dan masyarakat yang sudah
maju, telah dikenal melalui kehidupan para misionaris dan petugas-petugas
pemerintah, namun belum banyak ditiru karena masih kuatnya pegangan mereka
pada irama kehidupan berlandaskan ekonomi
subsisten.
Dalam kasus tertentu, apa yang dipertimbangkan untuk dapat dimakan dan
tidak dapat dimakan cenderung bersifat fleksibel. Misalnya pada wanita yang
sedang hamil, menyusui, dan menstruasi, untuk sementera tidak memakan
makanan tertentu, dan sesudah masa itu ia boleh makan makanan yang
dilarang tadi. Misalnya, wanita Jei-Marind yang sedang hamil atau menyusui
tidak boleh memakan daging kasuari, anak babi dan ikan kakap besar karena
kalau dimakan akan mengakibatkan kelumpuhan pada bayi yang dilahirkan.
Bagaimana pandangan logika kesehatan modern mengenai kebiasaan ini?.
Waktu makan. Sagu adalah makanan utama pada pagi, siang dan sore hari.
Belum ada makanan pengganti makanan pokok ini walaupun mereka sudah
mengenal nasi dan ubi-ubian (lihat bagian 2.4 tentang makanan pokok dan
tambahan). Daging hewan buruan dan ikan yang segar bisa diperoleh setiap
hari melalui berburu dan menjaring. Namun hal ini tidak selalu dilakukan
karena tergantung kepada orang yang bisa melakukan, bukan suatu
keharusan untuk makanan tersebut diadakan menjadi lauk bagi sagu.
Pemburu hewan hutan adalah profesi bagi orang-orang tertentu, dan karena
itu keputusan untuk berburu bergantung pada si pemburu itu. Daging hewan
bisa dapat dimakan bersama sagu, tetapi juga daging bisa dimakan tanpa
sagu. Seorang pemburu biasanya akan membagi hasil buruannya kepada
kerabatnya atau warga lain sehingga bagian untuk dirinya atau keluarganya
hanya cukup dimakan sehari. Implikasi sosial dari tindakan ini lebih penting
daripada ekonomi. Artinya dengan tindakan ini kehidupan dianggap lebih
damai dan tentram. Sekarang ini setelah mengenal nilai uang dari luar, maka
sebagian atau semua hasil buruan dapat dijual untuk memperoleh uang.
Ikan cukup tersedia di lingkungan perairannya tetapi tingkat mengkonsumsi
ikan masih rendah dibanding orang yang sudah hidup modern di kota. Hal ini
selain karena signifikansi budaya ekonominya yang masih rendah terhadap

alam lingkungannya sehingga tidak mampu menangkap banyak ikan, tetapi


juga karena pola konsumsi ikan yang dipengaruhi oleh sistem pengetahuan.
Pandangan masyarakat ini sama dengan banyak masyarakat kampung
lainnya bahwa banyak mengkonsumsi ikan itu suatu penyimpangan budaya
dan juga perut akan ada cacing.
Sebagian orang Jae di kampung Bupul senang memelihara ayam di
pekarangan rumah. Ada beberapa asalan mereka beternak ayam, pertama,
sebagai alasan prestise atau sebuah wujud dari pemikiran yang maju; kedua,
dimotivasi pemimpin pastor dan pendeta; dan ketiga, dipelihara untuk
kepentingan tamu dari luar, yakni dipotong untuk dijadkan lauk bagi tamu.
Beberapa petugas pemerintah di desa memelihara ayam untuk dimakan dan
dijual. Babi dipelihara oleh orang Jae untuk maskawin dan pesta biekalmu.
Sekarang babi dipelihara untuk ulang tahun dan hari raya paskah, natal serta
dijual.
Tanaman kacang-kacangan sudah dikenal dan ditanam orang Jae, tetapi
bukan untuk dikonsumsi dengan sagu melainkan sebagai tindakan nyata dari
pengetahuan baru mereka tentang kegiatan produksi pertanian. Sayuran hijau
seperti daun melinjo, dan jenis paku-pakuan banyak terdapat di hutan dan
dusun sekitar kampung. Sayuran ini biasanya diambil untuk dikonsumsi
dengan sagu, ubi, dan nasi.
Tanaman buah seperti mangga, nangka, rambutan, nenas, jeruk dan lainnya
ditanam di pekarangan rumah untuk dimakan buahnya. Tanaman ini tidak
ditanam pada lahan tersendiri yang luas. Buah yang disukai adalah buah pala
hutan, yang diambil di hutan secara berramai-ramai, biasanya ada musim
dimana buah ini sarat berbuah di hutan. Selain itu buah matoa juga dapat
diperoleh pada musim tersendiri.
5. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian diatas, dirumuskan beberapa catatan kesimpulan bahwa:
1. penyediaan makanan pada komuniti adat Jae, bukan dikelola secara
sengaja untuk memenuhi nutrisi bagi tubuh mereka, melainkan sebagai
suatu kebiasaan rutin supaya mereka dapat makan dan mendapat
kekuatan tubuh agar melakukan pekerjaan dengan baik.
2. jenis dan variasi makanan disediakan sesuai dengan kepentingan yang
berlainan bagi ibu hamil, bayi, dan orang dewasa.
3. disamping sebagai bagian dari sistem budaya, dalam konteks sehat dan
sakit makanan merupakan sub-sistem dari sistem perawatan kesehatan
tradisional, folk medicine systems pada orang Jae.
4. sistem sosial budaya makan dan makanan pada komuniti ini
mengimplikasikan adanya sejumlah aturan yang menyangkut mengenai
apa yang boleh dan yang tidak boleh dimakan, baik secara ketat maupun
secara temporer dalam kaitannya dengan kondisi-kondisi tertentu.
C. SUKU MINANGKABAU
Rendang atau randang adalah masakan daging bercita rasa pedas yang
menggunakan campuran dari berbagai bumbu dan rempah-rempah. Masakan ini
dihasilkan dari proses memasak yang dipanaskan berulang-ulang dengan santan
kelapa. Proses memasaknya memakan waktu berjam-jam (biasanya sekitar empat
jam) hingga kering dan berwarna hitam pekat. Dalam suhu ruangan, rendang
dapat bertahan hingga berminggu-minggu. Rendang yang dimasak dalam waktu

yang lebih singkat dan santannya belum mengering disebut kalio, berwarna
coklat terang keemasan.
Rendang dapat ditemukan di Rumah Makan Padang di seluruh dunia. Masakan
ini populer di kalangan masyarakat Indonesia dan negara-negara di Asia
Tenggara, seperti Malaysia, Singapura, Brunei, Filipina, dan Thailand. Di daerah
asalnya, Minangkabau, rendang disajikan dalam berbagai upacara adat dan
perhelatan istimewa. Meskipun rendang merupakan masakan tradisional
Minangkabau secara umum, masing-masing daerah di Minangkabau memiliki
teknik memasak dan penggunaan bumbu yang berbeda.
Pada tahun 2011, rendang dinobatkan sebagai hidangan peringkat pertama dalam
daftar World's 50 Most Delicious Foods (50 Hidangan Terlezat Dunia) yang
digelar oleh CNN International.[1]
Kandungan bahan dan cara memasak
Rendang adalah masakan yang mengandung bumbu rempah yang kaya. Selain
bahan dasar daging, rendang menggunakan santan kelapa (karambia), dan
campuran dari berbagai bumbu khas yang dihaluskan di antaranya cabai (lado),
serai, lengkuas, kunyit, jahe, bawang putih, bawang merah dan aneka bumbu
lainnya yang biasanya disebut sebagai pemasak. Keunikan rendang adalah
penggunaan bumbu-bumbu alami, yang bersifat antiseptik dan membunuh bakteri
patogen sehingga bersifat sebagai bahan pengawet alami. Bawang putih, bawang
merah, jahe, dan lengkuas diketahui memiliki aktivitas antimikroba yang kuat.[2]
Tidak mengherankan jika rendang dapat disimpan satu minggu hingga empat
minggu.
Proses memasak rendang asli dapat menghabiskan waktu berjam-jam (biasanya
sekitar empat jam), karena itulah memasak rendang memerlukan waktu dan
kesabaran.[3] Potongan daging dimasak bersama bumbu dan santan dalam panas
api yang tepat, diaduk pelan-pelan hingga santan dan bumbu terserap daging.[4]
Setelah mendidih, apinya dikecilkan dan terus diaduk hingga santan mengental
dan menjadi kering. Memasak rendang harus sabar dan telaten ditunggui,
senantiasa dengan hati-hati dibolak-balik agar santan mengering dan bumbu
terserap sempurna, tanpa menghanguskan atau menghancurkan daging. Proses
memasak ini dikenal dalam seni kuliner modern dengan istilah 'karamelisasi'.
Karena menggunakan banyak jenis bumbu, rendang dikenal memiliki citarasa
yang kompleks dan unik.
Makna budaya

Rendang adalah salah satu hidangan hantaran dalam upacara adat Minang.
Rendang memiliki posisi terhormat dalam budaya masyarakat Minangkabau.
Rendang memiliki filosofi tersendiri bagi masyarakat Minang Sumatera Barat,[5]
yaitu musyawarah dan mufakat, yang berangkat dari empat bahan pokok yang
melambangkan keutuhan masyarakat Minang, yaitu:
Dagiang (daging sapi), merupakan lambang dari "Niniak Mamak" (para
pemimpin Suku adat)
Karambia (kelapa), merupakan lambang "Cadiak Pandai" (kaum Intelektual)
Lado (cabai), merupakan lambang "Alim Ulama" yang pedas, tegas untuk
mengajarkan syariat agama
Pemasak (bumbu), merupakan

lambang

dari

keseluruhan

masyarakat

Minangkabau.
Dalam tradisi Minangkabau, rendang adalah hidangan yang wajib disajikan
dalam setiap perhelatan istimewa, seperti berbagai upacara adat Minangkabau,
kenduri, atau menyambut tamu kehormatan.
Dalam tradisi Melayu, baik di Riau, Jambi, Medan atau Semenanjung Malaya,
rendang adalah hidangan istimewa yang dihidangkan dalam kenduri khitanan,
ulang tahun, pernikahan, barzanji, atau perhelatan keagamaan, seperti Idul Fitri
dan Idul Qurban.
Sejarah
Rumah Makan Padang mempopulerkan rendang ke seluruh penjuru Nusantara.
Asal-usul rendang ditelusuri berasal dari Sumatera, khususnya Minangkabau.
Bagi masyarakat Minang, rendang sudah ada sejak dahulu dan telah menjadi
masakan tradisi yang dihidangkan dalam berbagai acara adat dan hidangan
keseharian. Sebagai masakan tradisi, rendang diduga telah lahir sejak orang
Minang menggelar acara adat pertamanya. Kemudian seni memasak ini
berkembang ke kawasan serantau berbudaya Melayu lainnya; mulai dari
Mandailing, Riau, Jambi, hingga ke negeri seberang di Negeri Sembilan yang
banyak dihuni perantau asal Minangkabau. Karena itulah rendang dikenal luas
baik di Sumatera dan Semenanjung Malaya.
Sejarawan Universitas Andalas, Prof. Dr. Gusti Asnan menduga, rendang telah
menjadi masakan yang tersebar luas sejak orang Minang mulai merantau dan
berlayar ke Malaka untuk berdagang pada awal abad ke-16. Karena perjalanan
melewati sungai dan memakan waktu lama, rendang mungkin menjadi pilihan
tepat saat itu sebagai bekal.[6] Hal ini karena rendang kering sangat awet, tahan

disimpan hingga berbulan lamanya, sehingga tepat dijadikan bekal kala merantau
atau dalam perjalanan niaga.
Rendang juga disebut dalam kesusastraan Melayu klasik seperti Hikayat Amir
Hamzah yang membuktikan bahwa rendang sudah dikenal dalam seni masakan
Melayu sejak 1550-an (pertengahan abad ke-16).
10:4 ... Buzurjumhur Hakim pun pergi pula ke kedai orang merendang daging
kambing, lalu ia berkata: "Beri apalah daging kambing
10:7 ... kambing rendang ini barang segumpal." Sahut orang merendang itu,
"Berilah harganya dahulu." Maka kata Khoja Buzurjumhur,
Hikayat Amir Hamzah.[7][8]
Kelahiran rendang tak luput dari pengaruh beberapa negara, misalnya bumbubumbu dari India yang diperoleh melalui para pedagang Gujarat, India. Karena
diaduk terus-menerus, rendang identik dengan warna hitam dan tidak memiliki
kuah.
Rendang kian termahsyur dan tersebar luas jauh melampaui wilayah aslinya
berkat budaya merantau suku Minangkabau. Orang Minang yang pergi merantau
selain bekerja sebagai pegawai atau berniaga, banyak di antara mereka
berwirausaha membuka Rumah Makan Padang di seantero Nusantara, bahkan
meluas ke negara tetangga hingga Eropa dan Amerika. Rumah makan inilah yang
memperkenalkan rendang serta hidangan Minangkabau lainnya secara meluas.
Rendang juga menjadi makanan yang disajikan khusus untuk hari raya Idul Adha.
Banyaknya daging kurban membuat masyarakat Padang berlomba-lomba
memasak rendang.
Jenis
Rendang disajikan bersama daun singkong, telur dadar, dan kuah gulai dalam
sajian Nasi Ramas Padang.
Dalam memasak daging berbumbu dalam kuah santan, jika ditinjau dari
kandungan cairan santan, sebenarnya terdapat tiga tingkat tahapan, mulai dari
yang terbasah berkuah hingga yang terkering: Gulai Kalio Rendang.[9]
Dari pengertian ini rendang sejati adalah rendang yang paling rendah kandungan
cairannya. Akan tetapi secara umum dikenal ada dua macam jenis rendang:
rendang kering dan basah.
Rendang kering

Rendang kering adalah rendang sejati dalam tradisi memasak Minang. Rendang
ini dimasak dalam waktu berjam-jam lamanya hingga santan mengering dan
bumbu terserap sempurna. Rendang kering dihidangkan untuk perhelatan
istimewa, seperti upacara adat, kenduri, atau menyambut tamu kehormatan.
Rendang kering biasanya berwarna lebih gelap agak coklat kehitaman. Jika
dimasak dengan tepat, rendang kering dapat tahan disimpan dalam suhu ruangan
selama tiga sampai empat minggu, bahkan dapat bertahan hingga lebih dari
sebulan jika disimpan di kulkas, dan enam bulan jika dibekukan. Beberapa
kalangan berpendapat bahwa citarasa rendang asli Minang adalah yang paling
lezat dan tiada dua jauh berbeda dengan rendang di sejumlah kawasan Melayu
lainnya.[6]
Rendang basah atau Kalio
Rendang di Belanda adalah kalio yang masih basah berkuah.
Rendang basah, atau lebih tepatnya disebut kalio, adalah rendang yang dimasak
dalam waktu yang lebih singkat, santan belum begitu mengering sempurna, dan
dalam suhu ruangan hanya dapat bertahan dalam waktu kurang dari satu minggu.
Rendang basah berwarna coklat terang keemasan dan lebih pucat.
Rendang juga dikenal di negara tetangga, seperti Malaysia dan Singapura.
Rendang yang ditemukan di Malaysia lebih mirip kalio, berwarna lebih pucat dan
basah dengan citarasa yang tidak begitu kuat. Rendang Malaysia yang disebut
rendang kelantan dan rendang negeri sembilan memiliki perbedaan dengan
rendang Indonesia. Proses memasak rendang di Malaysia, lebih singkat dan
melakukan pengentalan bumbu dengan dicampur kerisik (kelapa parut yang
disangrai), bukan dengan proses pemasakan dengan api kecil dalam waktu yang
lama. Karena keterkaitan sejarah melalui kolonialisasi, rendang juga dapat
ditemukan di Belanda, juga dalam bentuk kalio, tetapi umumnya disajikan
sebagai salah satu bagian dari lauk-pauk Rijsttafel.
Variasi
Rendang hati sapi
Rendang umumnya menggunakan daging sapi, tetapi dikenal pula berbagai jenis
bahan daging lainnya yang dimasak sesuai bumbu dan cara membuat rendang.
Variasi rendang antara lain:[6]
Rendang daging (Randang dagiang): rendang daging sapi, kerbau, kambing atau
domba. Adalah jenis rendang yang paling lazim ditemukan.

Rendang ayam: Rendang yang terbuat dari daging ayam


Rendang bebek (Randang itiak): Rendang yang terbuat dari daging bebek
Rendang hati: Rendang yang terbuat dari hati sapi
Rendang telur (Randang talua): Rendang yang terbuat dari telur ayam, khas
Payakumbuh
Rendang paru: Rendang yang terbuat dari paru-paru sapi, khas Payakumbuh
Rendang ikan tongkol: Rendang yang terbuat dari ikan tongkol
Rendang suir: Rendang khas Payakumbuh yang dibuat dari daging ayam atau
sapi yang serat dagingnya disuir atau diurai kecil-kecil. Rendang suir mirip abon,
akan perbedaannya adalah serat dagingnya lebih besar dan bumbu rendang
keringnya yang khas.
D. SUKU DAYAK BANJAR
SELAIN penyantap segala hasil sungai, masyarakat Dayak dan Banjar juga
dikenal sebagai peladang yang piawai menanam berpuluh jenis padi ladang.
Peladangan berpindah kerap menjauhkan orang Dayak dan Banjar dari
sungainya, siklus hidup yang membuat mereka menguasai teknologi pengawetan
ikan. Yang paling khas dan bercita rasa kuat adalah wadi, pengawetan ikan
dengan proses fermentasi.
Jemari Nanang Akhmad (34) cekatan memasukkan potongan ikan gurami ke
dalam stoples plastik di sebuah kios Pasar Kahayan, Kota Palangkaraya,
Kalimantan Tengah, akhir Oktober lalu. Potongan ikan yang hendak diolah
menjadi wadi atau ikan terfermentasi tersebut sudah menjalani rangkaian
pengolahan selama dua hari dua malam sebelumnya.
Awalnya, ikan yang sudah dipotong-potong seukuran separuh telapak tangan
orang dewasa itu ditaburi garam selama sehari semalam. Keesokan paginya,
potongan ikan tersebut dicuci untuk menghilangkan garam. Selanjutnya,
potongan ikan itu direndam larutan gula aren sehari semalam. Keesokan harinya,
potongan ikan ditiriskan dan ditaburi irisan bawang putih agar beraroma harum.
Potongan ikan tersebut yang siang itu dimasukkan Nanang ke dalam stoples.
Nanang pun kemudian menaburkan butiran beras berwarna coklat kekuningan ke
potongan ikan. Butiran beras itu pun sebelumnya juga menjalani serangkaian
proses. Diawali pencucian, penirisan selama semalam, disangrai hingga coklat
kekuningan, hingga beras tersebut digiling kasar.
Sekitar seminggu kemudian, potongan ikan yang sudah ditaburi beras menjadi
wadi. Ikan terfermentasi yang menyengat baunya, tetapi lezat rasanya. Satu
kilogram ikan mentah kalau dijual Rp 70.000. Kalau sudah jadi wadi, harganya

bisa Rp 90.000 per kilogram, kata Nanang, pedagang Banjar dari Kalimantan
Selatan yang sehari-hari menjual ikan segar maupun wadi olahan sendiri tersebut.
Pemrosesan wadi yang sejak lama telah dikenal turun-temurun oleh warga Dayak
dan Banjar di Kalimantan ini mampu memperpanjang lama simpan ikan
tangkapan. Ikan jelawat, papuyu, baung, gabus, gurami, dan jenis-jenis lainnya
yang sudah jadi wadi tahan disimpan hingga berbulan-bulan. Inilah sumber
kelezatan salah satu menu yang kami cicipi di rumah makan Palangka, ikan wadi
dengan rasa asam yang unik, dan membuat kami tak henti menyantapnya.
Ketika mencium bau busuk menyengat dari ikan yang diolah menjadi wadi, kami
tertawa-tawa dan merasa beruntung sudah mencicipi rasanya berbahan wadi.
Kalaulah kami mengenal bau wadi sebelum menyantapnya, bisa jadi kami tak
akan pernah memakannya. Padahal, kalau ingin menemukan cita rasa bersantap
ikan yang sama sekali berbeda, justru olahan fermentasi wadi pilihan terbaiknya.
Cadangan pangan
Antropolog Marko Mahin menuturkan, pengolahan ikan - baik diasinkan atau
difermentasi menjadi wadimerupakan bagian strategi warga Dayak mengatur
pola makan. Wadi menjadi cadangan makanan saat warga sedang disibukkan
dengan kegiatan berladang atau memanen padi.
Ketika sedang bertanam atau memanen padi tersebut, warga yang tidak sempat
berburu atau menangkap ikan tinggal mengeluarkan persediaan wadi yang
mereka simpan di balanai (guci, belanga). Balanai wadi itu belanga untuk
menyimpan wadi. Fungsi guci ini semacam kulkas. Tiap keluarga selalu punya.
Dikeluarkan saat musim mereka sibuk kerja di ladang, kata Marko.
Peneliti dari Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian Universitas Palangkaraya,
Petrus, mengatakan, pengolahan ikan menjadi wadi merupakan bentuk kearifan
lokal warga Dayak dalam menghadapi paceklik atau musim sepi ikan. Pengasinan
atau proses fermentasi menjadi wadi berfungsi menghambat pertumbuhan bakteri
merugikan. Melalui cara ini, ikan tidak rusak membusuk meskipun disimpan
dalam waktu relatif lama.
Turun temurun
Pengolahan wadi dan mengonsumsinya di saat musim bertanam padi bahkan
sudah menjadi kebiasaan turun-temurun warga setempat. Bukan main cita rasa
wadi yang disantap bersama nasi panas saat warga berladang, kata Petrus.

Petrus pun pernah meneliti takaran garam yang pas untuk membuat wadi agar
rasanya bisa diterima khalayak lebih luas. Sebanyak 100 orang dari tiga
kecamatan yang merupakan pusat industri rumah tangga wadi di Kalimantan
Selatanyakni Gambut, Kertak Hanyar, dan Astambuldilibatkan dalam
penelitian tersebut. Mereka masing-masing diberi 5 kilogram ikan untuk diolah
menjadi wadi dengan takaran garam sesuai kebiasaan.
Uji organoleptik untuk mengetes rasa dilakukan terhadap wadi yang sudah
difermentasi seminggu. Didapati bahwa wadi terenak adalah yang menggunakan
garam sebanyak 15 persen terhadap berat total ikan. Saya mencoba lagi untuk
mengubah cita rasa, yakni dengan memakai gula merah dengan beragam
takaran, kata Petrus.
Wadi yang diolah dengan gula aren terlalu banyak akan menghitam ketika
digoreng sehingga penampilannya tidak menarik. Didapati bahwa persentase gula
aren yang pas ditambahkan dalam pembuatan wadi adalah 15 persen terhadap
berat total ikan. Petrus pun kemudian menambahkan jus jeruk nipis dalam
pembuatan wadi. Diperoleh hasil bahwa penambahan jus jeruk nipis berkadar 4
persen paling enak dalam membuat wadi.
Jadi didapatilah (formula) terbaik, yakni 15 persen garam, 15 persen gula aren,
dan 4 persen jeruk nipis. Rasanya nano-nano sehingga diharapkan pemasaran
wadi nantinya tidak hanya di Kalimantan, kata Petrus. Penelitian Petrus
merupakan sebentuk upaya menjaga eksistensi makanan olahan khas Dayak.
Proses pembuatan wadi oleh masyarakat Dayak pun terdokumentasikan dalam
buku Maneser Panatau Tatu Hiang (Menyelami Kekayaan Leluhur) (Penerbit
Pusakalima : 2003). Buku yang disunting Nila Riwut tersebut didasarkan pada
buku Kalimantan Memanggil serta Kalimantan Membangun karya Tjilik Riwut
(1918-1987). Selain itu juga dilengkapi catatan harian, naskah, dan dokumen
yang dikumpulkan Tjilik Riwut semasa hidup.
Menurut isi buku tersebut, bahan yang dicampurkan pada ikan yang digarami
untuk dijadikan wadi bukanlah beras melainkan padiyang disangrai. Padi
tersebut disangrai hingga kering. Pada kondisi masih panas, padi sangrai itu
ditumbuk halus dan dicampurkan merata pada ikan yang digarami. Selanjutnya
disimpan dalam balanga atau bambu tertutup rapat. Melalui cara ini, wadi
disebutkan bisa tahan hingga setahun. (C Anto Saptowalyono/Dwi Bayu Radius).

E. SUKU JAWA
Dalam atlas kuliner Nusantara, kita mengenal nasi liwet (sego liwet). Jika kita
berkunjung ke kota Solo, kita akan menemukan di ruas-ruas jalan ibu-ibu paruh
baya dengan balutan kebaya dan kain batik tengah meracik nasi gurih yang
dimasak dengan santan kelapa (mirip nasi uduk), disajikan dengan sayur labu
siam, suwiran ayam dan areh (sari santan kental). Di atas meja berjajar sajian
pelengkap, seperti potongan hati/ampela ayam, tempe, tahu dan telur bacem. Tak
ketinggalan kerupuk rambak (kerupuk dari kulit sapi) untuk menambah selera
makan. Nasi liwet terkenal dengan teksturnya yang pulen dan rasanya yang gurih.
Rasa gurih ini muncul dari hasil rebusan nasi yang dimasak dengan cara dikaru
(dituangi) dengan air santan kelapa. Keunikan lain dari nasi liwet juga terletak
pada cara penyajiaannya yang menggunakan daun pisang sebagai pembungkus
atau suru-nya (sendok). Keberadaan nasi liwet kini sudah merambah di kota-kota
sekitarnya, seperti Yogyakarta, Klaten, Boyolali atau Sragen. Bahkan, banyak
restoran mewah di kota-kota besar (Jakarta, Bandung, Surabaya) yang
menjadikan nasi lewet khas Solo ini sebagai menu utama.
Kuliner Asli Kaum Pribumi
Nasi liwet adalah kuliner asli bikinan kaum pribumi. Sebagai produk asli
pribumi, nasi liwet memiliki riwayat sejarah yang panjang. Zaman dulu, setiap
bulan Mulud (Maulid),
upacara Selametan (kenduri).

manusia

Jawa

Upacara Selametan itu

rutin
ditujukan

menggelar
untuk

memperingati hari lahir Nabi Muhammad saw dengan harapan mendapatkan


berkah. Dalam sumber tradisi lisan, konon utusan Gusti Pangeran itu gemar
menyantap nasi samin. Lantaran orang Jawa tidak bisa memasak nasi samin,
maka mereka membuat nasi yang menyerupai nasi samin, yakni nasi liwet.
Kuliner Asli Kaum Pribumi
Nasi liwet adalah kuliner asli bikinan kaum pribumi. Sebagai produk asli
pribumi, nasi liwet memiliki riwayat sejarah yang panjang. Zaman dulu, setiap
bulan Mulud (Maulid), manusia Jawa rutin menggelar upacara Selametan
(kenduri). Upacara Selametan itu ditujukan untuk memperingati hari lahir Nabi
Muhammad saw dengan harapan mendapatkan berkah. Dalam sumber tradisi
lisan, konon utusan Gusti Pangeran itu gemar menyantap nasi samin. Lantaran
orang Jawa tidak bisa memasak nasi samin, maka mereka membuat nasi yang
menyerupai nasi samin, yakni nasi liwet.

Jika kita baca Serat Centhini (1814-1823), nasi liwet dihadirkan ketika Pulau
Jawa diguncang gempa bumi. Nasi liwet dihadirkan dengan sebaris doa yang
dilantunkan untuk keselamatan. Dalam naskah kono itu juga memuat
kalimat: liwet anget ulam kang nggajih/ wus lumajeng ngarsi/ sadaya kemebul.
Ada sebuah cerita, konon Paku Buwana IX (1861-1893) memborong nasi liwet
untuk para pangrawit keraton. Ketika hendak pulang, para penabuh gamelan
keraton disediakan makanan nasi liwet. Para pangrawit diminta makan supaya
istrinya nanti tidak repot menyiapkan sarapan (di rumah).
Dari cerita ini, nasi liwet ternyata sejak dulu telah masuk ke dalam lidah
komunitas kerajaan. Perjalanan wisata kuliner nasi liwet bergerak di dalam ruang
yang berbeda dari masa ke masa, seperti halnya sejarah batik Lawean dan
Kauman. Nasi liwet sanggup bertarung di tengah arus kuliner beraroma modern.
Kuliner lawas yang sederhana, sesederhana nasi liwet tidak kalah dengan kuliner
yang dikemas mewah. Nasi liwet menerabas batas dan sekat-sekat sosial: kayamiskin, pribumi-nonpribumi, karyawan kantoran hingga tukang becak.
Nasi, Kaya Pesan dan Makna
Makan nasi liwet tidak hanya mengenyangkan, tapi juga menyumbang ekspresi
makna kultural Jawa. Nasi (bahasa Jawa: sego, sekul) sangat kaya pesan dan
makna. Mardiwarsito dalam buku Peribahasa dan Saloko Bahasa Jawa (1980)
menjelaskan

beberapa

pesan

kultural

tentang

nasi

(sego,

sekul).

Ia

mencontohkan, sekul pamit (nasi berpamit), yakni terlambat mengerjakan sesuatu


dan tidak memperoleh upahnya. Suatu ajaran bagi kita tentang pentingnya
kedisiplinan. Sekul urug (nasi timbunan) yakni segala sesuatu yang tiada
faedahnya. Menimbun dengan nasi sama saja tindakan bodoh, bakal sia-sia
karena akan lenyap.
Beberapa pesan dan makna dari sepincuk nasi ini menggambarkan luasnya
implikasi atau efek sosial-kultural kedekatan manusia Jawa dengan nasi, bagian
primer dari nasi liwet. Ekspresi kultural tersebut mengajarkan keutamaan hidup
manusia tidak hanya urusan makan (muluk), namun juga mengungkap nilai-nilai
lain yang kudu dijunjung terkait tindakan manusia dalam melakoni hidup dan
kehidupan. Merawat kuliner khas Nusantara seperti nasi liwet tanpa beralas
piring dengan duduk lesehan sama sekali tidak melunturkan derajat dan harga diri
kita sebagai sebuah bangsa.

BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
B. SARAN

DAFTAR PUSTAKA
Agung,

Yuniandhi.,

2013.,Wadi,

Fermentasi

Ikan

ala

Dayak

dan

Banjar.

http://travel.kompas.com. Diakses pada tanggal 22 September 2016.


Anderson. 1986. Antropologi Kesehatan, (terj) Priyanti Pakan Suryadarma dan Meutia F
HattaSwasono. Jakarta: UI Press.
Apomfires, Frans.2002. JURNAL ANTROPOLOGI PAPUA Volume 1. NO. 2
Desember 2002 .www.google.com, 22 September 2016

Foster, George. M & Barbara Gallatin Anderson. 1986. Antropologi Kesehatan, (terj)
Priyanti Pakan Suryadarma dan Meutia F HattaSwasono. Jakarta: UI Press.
Geertz, Clifford. 1992. Kebudayan dan Agama. Yogyakarta: Kanisius.
Helman, Cecil. 1985. Diet and Nutrition,Culture, Health and Illnes. Bristol: Wright,
Hlm.23-41.
Olson, James A. 1994. Vitamin, Modern Nutrision in Health and Disease. Lea dan
Febiger A. Waverly Company.
Podolefsky, Aaron & Peter j. Brown. 1991. Applying Cultural Anthropology,
AnIntroduction Reader. California: Mayfield Publishing Company.
Suparlan, Parsudi. 1986. Kebudayaan dan Pembangunan, Media IKA15(11).
Weichart, Gabriele.2002. ANTROPOLOGI INDONESIA ke-3. www.google.com. 22
September 2015

Anda mungkin juga menyukai