Disusun oleh :
Adinda Rahma Fahrunisa (151341101)
Elsy Oktiansi (151341112)
Novita Wulan Dari (151341124)
JURUSAN GIZI
POLTEKKES KEMENKES PANGKALPINANG
TAHUN AJARAN 2015/2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan Rahmat-
Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah Sosio-Antropologi Gizi
tentang “Pola Makan Suku Jawa”.
Dalam penyusunan makalah ini, kami banyak mengalami kesulitan, hal ini
disebabkan karena keterbatasan ilmu pengetahuan yang saya miliki. Kami
berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis dan para pembaca.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena
itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu saya
harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, Kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah
memberi dukungan dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir
sehingga tersusun dengan lancar.
Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan
salah satu prioritas pembangunan nasional. Perhatian utama
adalah untuk mempersiapkan dan meningkatkan kualitas
penduduk terutama usia kerja agar benar-benar memperoleh
kesempatan serta turut berperan dan memiliki kemampuan,
untuk mewujudkan hal tersebut adalah pembangunan di
bidang kesehatan dan gizi. Pemenuhan kebutuhan gizi akan
berdampak pada kondisi kesehatan,dan bisa juga sebaliknya
yaitu status kesehatan (terutama infeksi) akan berdampak
kepada status gizi seseorang. Kekurangan dan kelebihan
asupan zat gizi di dalam tubuh karena kebiasaan makan yang
kurang tepat. Kebiasaan makan akan membentuk pola makan
(Almatsier,2009). Pola makan yang sebagian besar terdiri dari
nasi dan menu yang kurang beranekaragam.
Pola makan secara umum dapat dipengaruhi oleh faktor
kebudayaan. Kebudayaan menuntun orang dalam cara
bertingkah laku dan memenuhi kebutuhan dasar biologisnya,
termasuk kebutuhan terhadap pangan. Budaya mempengaruhi
seseorang dalam menentukan apa yang akan dimakan,
bagaimana pengolahan, persiapan, dan penyajian, serta untuk
siapa, dan dalam kondisi bagaimana pangan tersebut
dikosumsi (Sulistyoningsih, 2010). Persediaan pangan yang
cukup atau bahkan melimpah untuk memenuhi kebutuhan gizi
tidak banyak manfaatnya apabila jenis-jenis pangan yang
tersedia tidak cocok dengan pola kebiasaan individu atau
kelompok individu memilih pangan dan kosumsinya sebagai
reaksi terhadap pengaruh fisiologis, psikologis, sosial dan
budaya (Suhardjo, 2009).
Para ahli antropologi memandang kebiasaan makan
sebagai suatu kompleks kegiatan masak-memasak, masalah
kesukaan dan ketidaksukaan, kearifan rakyat, kepercayaan-
kepercayaan, pantangan-pantangan, dan tahayul-tahayul yang
berkaitan dengan produksi, persiapan, dan kosumsi makanan
(Anderson,1986).
Kehidupan sehari-hari sudah dikenal istilah empat sehat lima
sempurna yang dua puluh tahun terakhir ini dijabarkan lagi
menjadi pedoman umum gizi seimbang (PUGS). PUGS
merupakan pedoman penyusunan hidangan yang benar dan sehat.
Akan tetapi pada prakteknya, pedoman ini seringkali tidak
dilakukan oleh masyarakat yaitu mengkonsumsi makanan yang
tidak seimbang, padahal ketersediaan makanan tersebut mudah
diperoleh. Bangsa Indonesia terdiri lebih dari 300 suku bangsa.
Sebagai contoh suku di Indonesia antara lain Suku Jawa, Suku
Sunda, Suku Tengger, Suku Aceh, Suku Batak, Suku Asmat, Suku
Dayak, Suku Bali, Suku Sasak, Suku Melayu, dan lain sebagainya.
Suku bangsa tersebut memiliki adat istiadat dan budaya yang
berbeda satu dengan yang lain. Secara fisik pun kadang memiliki
ciri khas tersendiri (Shahab, 2003).
Setiap suku bangsa mengembangkan kebiasaan cara yang
turun menurun untuk mencari, memilih, menangani,
menyiapkan, menyajikan dan cara-cara makan. Kebiasaan
merupakan dasar perilaku dalam beberapa hal berbeda
diantara suku yang lain.
B. Tujuan
BAB II
PEMBAHASAN
Cara - cara diatas memang melambangkan bahwa orang jawa itu adalah
orang yang sopan, suka menerapkan dengan cara melambangkan, dan bahkan
ketika meramalkan sesuatu terlihat dari etika yang dibawakan oleh seseorang
ketika makan dan cara untuk menghidangkan makanannya. Sehingga hal ini
menjadikan suatu bentuk dasar yang dimiliki oleh orang jawa ketika mereka
memakan sesuatu dengan logat dan etika secara benar. Kesuksesan tercipta
ketika awal dari sebuah doa dan makanan yang dimakan untuk membentuk
suatu energi dan ketika energi tersebut terserap maka semua yang diinginkan
dipastikan menjadi kenyataan.
Suatu bentuk pernyataan yang baik saat orang jawa menerangkan apa yang
dimaksud dengan kebiasaan. Mereka menerapkan hukum karma dimana sifat
seseorang baik maupun buruk, cepat maupun lambat, dan baik ataupun benar
orang tersebut terlihat dari cara mereka makan. Sehingga orang Jawa sering
melambangkan ini untuk menuju perubahan yang lebih besar. Ketika seorang
anak orang Jawa memakan dengan cara lambat, maka hal tersebut akan
terlihat dari segi kehidupannya kelak. Anak tersebut akan lambat, susah
mencari pekerjaan, lambat dalam mengembangkan sesuatu dan sebagainya.
Bila anak orang Jawa memakan dengan cara perlahan namun tidak terlihat
dan kemudian cepat habis, maka perlambangannya adalah anak tersebut
menjadi orang yang cepat dalam perkembangan bisnis, suka bercengkraman
dengan orang lain sehingga menambah banyak ilmu, memberikan perubahan
baik dan cepat kepada sekitarnya dan sebagainya.
Maka dari itu orang tua selalu mengajarkan bagaimana anak dapat makan
dengan cepat namun perlahan tidak terlihat. Hal ini diibaratkan sebagai
pekerjaan yang tidak tampak sempurna namun dapat memberikan suatu
perubahan dalam kehidupannya. Dan dalam hal ini orang tua selalu
mengarahkan makan dengan langsung membersihkan, itu karena suatu
permasalahan harus diseleseikan secara cepat dan tidak ditunda - tunda.
Semua adalah perlambangan manusia dalam logat Jawa, sehingga hal ini akan
menyebabkan perubahan baik.