Kemudian di bab 4 yang berjudul Cita Rasa Ningrat dan Cita Rasa Rakyat :
Dinamika Perkembangan Indische Keuken ini, kurun waktu yang dijelaskan pada
bab ini adalah masa peralihan antara akhir abad 19 menuju awal abad 20. Pada
masa ini ilmu pengetahuan dan teknologi sedang mengalami berbagai
perkembangan, pengetahuan tentang makanan pun juga ikut berkembang. Di awal
abad 20, buku-buku masak mulai memikirkan hubungan antara makanan,
kesehatan dan higienitas.
Dalam bab ini banyak dibahas mengenai perbandingan kandungan gizi antara
makanan yang dikonsumsi oleh para pribumi dan para ningrat. Hal ini membuat
beberapa perubahan terjadi selama kurun waktu kurang lebih 30 tahun. Di tahun
1915 tercatat ada 234.000 lahan budidaya kedelai di Jawa dan Madura yang
diikuti dengan berbagai olahannya seperti orang-orang Tionghoa yang mengolah
kedelai menjadi Kembang Tahu dengan kuah sirup jahe dan Tauco dengan kecap.
Juga orang-orang pribumi yang mengolahnya menjadi Tempe dan Oncom dan
kemudian memasarkannya.
Dalam bab ini dijelaskan peranan kedelai selama masa-masa sulit yang
dialami oleh Hindia-Belanda. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan,
kedelai menjadi salah satu bahan baku utama yang banyak disajikan dalam
berbagai olahan untuk dikonsumsi masyarakat pribumi. W.F. Donath kemudian
menguji dan membandingkan kandungan nutrisi kedelai dan hasilnya memang
lebih baik dibanding beras, jagung, dan sagu.
Tahun 1939 merupakan masa-masa menjelang perang. Pada saat itu terjadi
kondisi kekhawatiran akan kekurangan beras yang menyebabkan Belanda
membentuk Voedingsmiddelen Fonds di bawah Departemen Urusan Ekonomi
untuk menstabilkan harga beras dan memonopoli impor beras. Namun upaya
pemerintah ini bertentangan dengan upaya para ahli nutrisi untuk menjaga dan
meningkatkan gizi masyarakat di masa-masa perang. Akhirnya dilakukan
pengelompokan bahan makanan berdasar kandungan nutrisinya. Hal ini dilakukan
oleh van Mol sebagai upaya agar masyarakat dapat menjaga kesehatan diri sendiri
selama masa-masa sulit.
Kondisi menjelang perang ini juga menuntut para kaum perempuan Eropa
agar lebih bisa merakyat. Sehingga mulai bermunculan buku-buku masak yang
bertajuk Makanan Jang Baik Dimasa Perang (1940), Makanan Jang Moerah
Tetapi Baik (1941), dan Masak-Masakan Moerah (1941) yang diterbitkan oleh
Balai Pustaka.
Upaya pertama yaitu pencarian cita rasa masakan Indonesia yang diistilahkan
dengan ‘’Masakan Kita’’ yang dimana dalam upaya tersebut pemerintah tidak
turut serta dalam mewarnai pencarian Masakan Kita. Maksud sebenarnya dari
masakan kita itu sendiri mengarah pada suatu usaha dalam menunjukkan cita rasa
khas Indonesia dan juga usaha untuk membedakan masakan Indonesia dengan cita
rasa masakan luar. Ratusan resep masakan Indonesia sendiri sebenarnya banyak
yang menyerupai cita rasa makanan Tionghoa dan Melayu. Contohnya ‘’Laksa
Indonesia’’ yang sebenarnya merupakan terobosan makanan baru Indonesia yang
terinspirasi dari Laksa Tionghoa. Meskipun keduanya sama namun perbedaannya
terletak pada bahan tambah makanan dan bumbu yang digunakan. Pengaruh cita
rasa makanan tidak hanya dipengaruhi oleh Tionghoa dan Melayu saja namun cita
rasa masakan Eropa juga terdapat dalam cita rasa masakan Indonesia meskipun
nantinya terjadi pengubahan orientasi dari cita rasa makanan Eropa menuju cita
rasa makanan Indonesia.
Sebenarnya masyarakat Indonesia sendiri punya makanan-makanan yang
enak dan terbuat dari bahan lokal seperti singkong, ubi, jagung, tepung beras, dan
tepung ketan. Presiden Soekarno sempat menyinggung mengenai orang Indonesia
yang tidak paham soal selera makanan khususnya selera Eropa, baik dalam hal
memasak maupun etiket perjamuan makan yang dianggap oleh beliau sangat
memalukan. Maksud dari Presiden Soekarno disini adalah pola hidup masyarakat
indonesia masih terbawa oleh sikap rendah diri dan mereka dengan bangganya
menerima mentah-mentah makan dari Eropa lalu menjualnya. Menurut beliau ini
adalah sebuah pemantulan kembali daripada jaman dimana Belanda menguasai
kita.
Terlepas dari semua itu, lain halnya dengan pemerintah yang memiliki cara
tersendiri dalam merumuskan konsep ideal tentang pengembangan makanan di
Indonesia. Didirikannya Lembaga Makanan Rakyat (LMR) menjadi langkah awal
pemerintah untuk merumuskan dan mengembangkan berbagai macam penelitian
tentang makanan lezat dan bergizi. Kemudian pada tahun 1958 LMR berubah
menjadi Dewan Bahan Makanan yang di dalamnya terdapat tiga tokoh penting
yaitu, Leimena, Poorwo Soedarmo, dan Dradjat Prawiranegara. Namun yang lebih
terlihat revolusioner adalah Poorwo Soedarmo yang menjadi pencetus ‘’4 Sehat 5
Sempurna’’. Kemajuan Poorwo Soedarmo mengangkat bahan makanan khas
Indonesia yang sebelumnya dianggap murah dan tidak penting namun, beliau
mematahkan hal itu dan membuat paradigma baru di masyarakat. Kedelai
merupakan objek yang digeluti dan diteliti oleh Poorwo Soedarmo yang akhirnya
masyarakat mulai mengerti bahwa kedelai mengandung protein yang bisa
menggantikan protein hewani. Pada masa itu rakyat belum memiliki pengetahuan
akan hal tersebut dan harga daging tidak murah akhirnya, mereka terserang
berbagai penyakit gizi.