Anda di halaman 1dari 9

Judul buku : Jejak Rasa Nusantara Sejarah Makanan Indonesia

Penulis : Fadly Rahman, S.S, M.A

Tahun terbit : 2016

Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama

Ketebalan : 395 halaman

REVIEW BUKU JEJAK RASA NUSANTARA: SEJARAH


MAKANAN INDONESIA
Jenis- jenis makanan di asia dipengaruhi oleh faktor geografis seperti yang
terjadi di indonesia. Di indonesia terjadi pembedaan jenis-jenis makanan yang
tumbuh di masing-masing daerah, di mana di daerah timur tumbuh jenis tanaman
seperti umbi-umbian dan di indonesia bagian barat lebih di temui jenis tumbuhan
seperti padi. Masuknya bangsa cina dan india pada saat perdangan juga
mempengaruhi masakan di nusantara. Bangsa india datang ke indonesia dengan
memperkenalkan bahan-bahan masakan seperti bawang, ketumbar, jinten, dan
jahe. Kemudian bangsa cina juga memperkenalkan bawang putih dan kedelai.
Selain memperkenalkan bahan makanan bangsa cina juga memperkenalkan tekni
fermentasi, dan juga sitem bercocok tenam kepada masyarakat nusantara. Teknik
fermentasi ini di buktikan dengan dua prasasti bernama Taji dan Watukura. Dalam
presasti watukura disebutkan salah satu makanan massal saat itu yaitu tau-hu
(tahu). Olahan pangan dari kacang kedelai itu terindikasi merupakan makanan
yang di bawa orang-orang dari daratan cina dengan demikian kedelai telah
dimanfaatkan sebagai jenis abad ke 10. Sedangkan dalam prasasti Taji, disebutkan
“ jumlah yang dihidangkan 57 karung beras, 6 ekor kerbau, 100 ekor ayam, dan
aneka masakan yang diasinkan, dendeng asing, ikan kadiwas, ikan gurame,
belukung telur, rumahan, serta minuman tuak...”. sebelum kedatangan bangsa
cina masyarakat sudah menganal teknik pengasinan selain itu mereka juga sudah
mengkonsumsi ikan-ikan dari pada daging. Selaian itu, dalam naska kuno sunda
semisal sanghyang siksakandang karesian di cantumkan penyiratan rupa-rupa
rasa yang ada dalam makanan pribumi seperti asin, pedas, pahit, masam, gurih
dan manis. Masuknya agama islam pada abad ke-13 sampai 15 ini juga
menggubah pola makanan pada saat itu, masuk islam juga mulai memperkenalkan
pengharaman pada jenis jenis makan tertentu seperti pengonsumsian daging babi
pada saat itu diangap haram oleh orang-orang islam. Proses islamisasi makanan
ini tidak langsung di terimah oleh masyarakat yang sudah terbiasa dengan
mengonsumsi daging babi ini. Minuman hasil fermentasi juga dilarang oleh
orang-orang islam. Sepanjang masa kuno dimulai dari abad ke-10 sampai ke-17
belum ada secara pasti tentang penulisan mengenai resep makanan dalam sumber
tradisional juga sangat minimun di temui mengenai resep makanan, hal karna
masyarakat pribmi pada saat itu belum menyadari betul akan pentingnya
perekaman sesuatu melalui tulisan. Makanan dari jaman kuno hingga sekarang
yang masih bertahan adalah masakan rawon dan pecel. Setelah itu datangnya
bangsa eropa juga mempengaruhi makanan yang ada di indonesia. Kedatangan
bangsa eropa buka hanya mencari rempah-rempah saja di Indonesia, mereka juga
melakukan citrarasa masakan yang baru untuk orang-orang indonesia. Mereka
menyatukan bahan-bahan yang ada di ndonesia dan teknik-teknik yang ada
sehingga menghasilka masakan yang baru. Baru pada abad ke-18 munculah
sebuah buku yang ditulis seorang ahli botani asal jerman yang bekerja untuk VOC
bernama Rumphium dengan judul Herbanium Amboinense buku ini berisi tentang
bagaimana cara membudidayakan, mengolah serta mengonsumsi pangan yang ada
di nusantara. Buku Rumphium tersebut mengubah citra kepulauan timur yang
terkenal dengan rempah-rempahnya, ternyata banyak sekali potensi bahan
makanan dari timur yang belum teramati dengan baik. Rendang merupakan olah
khas minang ini tidak luput dari dari perhatian Rumphium. Teknik mengolah
daging untuk mambuatnya tahan lama tersebut ternyata di pengaruhi oleh boga
Luso-Asia. Luso-asia adalah macam makanan asia yang terpengaruh oleh
penggolahan makanan khas portugis.

Pada abad ke-19 bangsa-bangsa dari eropa mulai berdatangan salah


satunya yang dtang ke indonesia adalah bangsa portugis. Kedatangan bangsa
portugis ini untuk mencari rempah-rempah di indonesia namun bangsa portugis
ini buka hanya mencari rempah-rempah saja mereka juga melakukan
pembudidayaan dan pelestarian rempah-rempah, selain itu juga kedatangan
bangsa eropa ini juga diikuti dengan masuknya jenis-jenis bahan makanan baru.
Jenis makanan di indonesia tidak bisa di lihat dari satu sudut pandang saja karna
dalam pengolahan makana terjadi percampuran berbagai kebudayaan antara barat,
timur tengah, asia timur, dan pribumi sendiri. Seorang belanda dengan nama
Cesper Georg Calr Reindwart adalah seoranag akademisi sekaligus ahli botani.
Pada saat mengelapai departemen pertanian, seni, dan pendidikan pemerintah
kolonial Reindwart mengusahakan bagaimana caranya menyebarluaskan metode
pertanian, mengadakan pendidikan umum, serta riset profesional di bidang botani.
Semua ini diusahakan untuk mengetahui tanaman apa saja yang mengandung
nutrisi berguna serta apakah tanaman ini bermanfaat untuk dikonsumsi sebagai
makanan atau tidak. Di peruh pertama abad ke-19 usaha-usaha untuk merenofasi
selera makan masyarakat pribumi semakin menggeliat. Mulai dari kebijakan sewa
tanah Raffles hingga penuturan sastrawan melaya, Abdullah bin Abdul Kadir
Munsyi yang mengatakan bahwa “...tiadalah mereka itu gemar memakan daging
dan minyak sapi, melaikana ikan dan sayur dan perkara-perkara yang busuk
seperti tempoyak dan pekasan dan petai”. Memang sejak sama kuno masyarakat
lebih sering memakan ikan-ikan ketimbang mekan daging. Munsyi menggangap
selera makan pribumi harus di ubah. Para misionaris pun tak luput dari usaha
untuk merenofasi selera makan pribumi. Hingga muncul istilah yang disebut
kuliner teologi. Kemudia dari sini muncul perpaduan selerah antara bangsa-
bangsa yang datang ke indonesia sehingga membentuk dan mulai tumbuh selera
makan baru.

Budaya cetak dan melek aksara adalah penanda bawasanya masyarakat


sadar dalam menghadapai keragaman baham makanan. Dengan meleknya akan
aksara pada pertengahan abad ke-19 masyarakat dapat mengolah makanan dengan
baik hal ini di tandai dengan bermunculan dan peredaran beberapa buku masak
dan hasil penelitian bahan makanan. Penulisan resep makanan sudah bereda di
eropa pada abad ke-19. Di prancis terbit sebuah buku bertajuk fisiologi rasa yang
di tilis oleh Jean Anthelme. Dalam buku ini terdapat sebuah paduan seni
memasaka makanan. Melalui karya ini ada tiga hal pokok yang menjadi ciri
umum praktik gastronomi sejak pertengahan abad 19. Kesadran akan pentingnya
merekam berbagai macam olahan makanan, dimula dari bahan-bahannya, cara
pembuaannya, serta rasanyabmulai era barundari berkembangnya buku masak dan
ilmu makanan. Kemunculan buku resep ini selanjtnya mendorong peneliatian
bahan-bahan makan di indonesia. Menurut Preager bahan makanan yang ada di
hindia selain dioleh dan di manfaatkan semestinya bahan makanan juga harus
diperlakukan secara cermat dan teliti. Secara tidak langsung Preager ingin
menawarkan perlunya keragaman konsumsi bahan makanan. Praeger pun
menekankan pemanfaatan tanaman protein seperti kacang-kacanagan yang di
gunakan untuk pendamping dalam sajian daging. Dalam penelitian terdapat
banyak jenis kacang-kacangan yang ada di hindia meskipun orang pribumi hanya
memanfaatkan saedikit jenisnya saja di seputaran kecambah. Penelitian yang
dilakukan oleh praegen ini terkain pemanfaatan bahan-bahan mkanan yang tidak
hanya digunakan sebagai pemuas perut namun juga harus di perhatikan
kandungan nutrisi yang ada di dalamnya. Di penghujung abad ke-19 wacana
kesetan dalam konsumsi makanan berkembang seiring dengan kemajuan
teknologi budi daya pangan.

Kemudian di bab 4 yang berjudul Cita Rasa Ningrat dan Cita Rasa Rakyat :
Dinamika Perkembangan Indische Keuken ini, kurun waktu yang dijelaskan pada
bab ini adalah masa peralihan antara akhir abad 19 menuju awal abad 20. Pada
masa ini ilmu pengetahuan dan teknologi sedang mengalami berbagai
perkembangan, pengetahuan tentang makanan pun juga ikut berkembang. Di awal
abad 20, buku-buku masak mulai memikirkan hubungan antara makanan,
kesehatan dan higienitas.

Ratu Wilhelmina dalam pidatonya pada tahun 1901 merasa terjadi


kemerosotan terhadap kesejahteraan rakyat pribumi, begitu pula Sosroningrat
(Ayah R.A. Kartini) juga berpikiran yang sama, dibuktikan dengan isi surat dari
Kartini kepada teman penanya yang merupakan orang Belanda yang menceritakan
pendapat ayahnya bahwa pemerintah (Belanda) tidak akan mampu menyediakan
makanan bagi orang Jawa, tetapi mampu memberikan fasilitas agar orang-orang
Jawa dapat mendapatkan makanannya sendiri. Hal ini menjadi latar belakang
dibentuknya Mindere Welvaart Commisie (MWC) yang merupakan Komisi
Penyidik Penurunan Kemakmuran Rakyat.

Namun setelah dilakukan penyelidikan oleh MWC, didapatkan hasil bahwa


biaya hidup masyarakat Jawa dan Madura justru meningkat. Terlihat dari
penduduk desa yang mulai menggunakan barang-barang impor yang biasa
digunakan oleh para Ningrat. Juga masyarakatnya yang sudah bisa makan 2 kali
sehari tanpa sarapan. Lantas menjadi pertanyaan apakah laporan dari MCW salah?

Untuk memverifikasi kebenaran dari laporan MCW kemudian dilakukan


berbagai penelitian yang menghasilkan kesimpulan bahwa meskipun biaya hidup
masyarakat Jawa dan Madura meningkat namun tetap kebutuhan gizi pada
kandungan makanan orang-orang pribumi masih kurang berimbang (lebih
dominan karbohidrat daripada lemak dan protein) dibanding orang-orang belanda
yang mengkonsumsi asupan hewani seperti daging, susu, keju dan beberapa
olahan lainnya. Orang-orang pribumi cenderung mengkonsumsi asupan nabati
yang berupa beras, jagung, dan sagu.

Dalam bab ini banyak dibahas mengenai perbandingan kandungan gizi antara
makanan yang dikonsumsi oleh para pribumi dan para ningrat. Hal ini membuat
beberapa perubahan terjadi selama kurun waktu kurang lebih 30 tahun. Di tahun
1915 tercatat ada 234.000 lahan budidaya kedelai di Jawa dan Madura yang
diikuti dengan berbagai olahannya seperti orang-orang Tionghoa yang mengolah
kedelai menjadi Kembang Tahu dengan kuah sirup jahe dan Tauco dengan kecap.
Juga orang-orang pribumi yang mengolahnya menjadi Tempe dan Oncom dan
kemudian memasarkannya.

Selain membahas terkait kandungan gizi didalam makanan yang dikonsumsi


masyarakat, juga membahas terkait produksi-konsumsi makanan ideal di Hindia
(yang berkembang selama dasawarsa pertama hingga ke empat abad ke 20).
Beberapa usaha produksi-konsumsi selama kurun waktu 4 dasawarsa, yang
pertama ada nyonya J.M.J. Catenius-Van der Meijden yang mengeluarkan buku
masakan untuk kaum perempuan Belanda agar dapat membuat masakan Eropa di
Hindia dan membuat masakan pribumi di Belanda. Kemudian dijelaskan asal
mula penggunaan takaran satu sendok teh dan satu sendok makan dalam aturan
memasak. Selain itu, pada kurun waktu ini para perempuan mulai bangkit dan
bergerak, yang berdampak pada mulai terberdayanya para perempuan pribumi,
mereka mulai mengerti pentingnya kandungan gizi dalam makanan dan juga
mulai paham akan seni memasak. Bab ini juga menjelaskan terkait bagaimana
awal dari popularitas cita rasa khas minang mulai dikenal oleh masyarakat luas.

Dalam sejarah gastronomi Hindia-Belanda tidak hanya mengalami masa-


masa kejayaan, namun juga melalui masa-masa sulit seperti yang akan dijabarkan
dalam bab ini. Kurun waktunya selama dasawarsa ketiga abad ke-20 hingga
menjelang kemerdekaan Indonesia.

Dalam bab ini dijelaskan peranan kedelai selama masa-masa sulit yang
dialami oleh Hindia-Belanda. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan,
kedelai menjadi salah satu bahan baku utama yang banyak disajikan dalam
berbagai olahan untuk dikonsumsi masyarakat pribumi. W.F. Donath kemudian
menguji dan membandingkan kandungan nutrisi kedelai dan hasilnya memang
lebih baik dibanding beras, jagung, dan sagu.

Tahun 1939 merupakan masa-masa menjelang perang. Pada saat itu terjadi
kondisi kekhawatiran akan kekurangan beras yang menyebabkan Belanda
membentuk Voedingsmiddelen Fonds di bawah Departemen Urusan Ekonomi
untuk menstabilkan harga beras dan memonopoli impor beras. Namun upaya
pemerintah ini bertentangan dengan upaya para ahli nutrisi untuk menjaga dan
meningkatkan gizi masyarakat di masa-masa perang. Akhirnya dilakukan
pengelompokan bahan makanan berdasar kandungan nutrisinya. Hal ini dilakukan
oleh van Mol sebagai upaya agar masyarakat dapat menjaga kesehatan diri sendiri
selama masa-masa sulit.

Kondisi menjelang perang ini juga menuntut para kaum perempuan Eropa
agar lebih bisa merakyat. Sehingga mulai bermunculan buku-buku masak yang
bertajuk Makanan Jang Baik Dimasa Perang (1940), Makanan Jang Moerah
Tetapi Baik (1941), dan Masak-Masakan Moerah (1941) yang diterbitkan oleh
Balai Pustaka.

Bab ini juga banyak menjelaskan terkait makanan-makanan yang cocok


selama Hindia-Belanda mengalami masa-masa sulit. Cocok disini dalam artian
cocok dengan harganya yang tidak terlampau mahal (tidak seperti olahan-olahan
nabati seperti keju, mentega dan sehingga tidak memberatkan pemerintah
Belanda. Juga dari segi nutrisi tetap dapat memenuhi kebutuhan manusia di saat
perang dan masa-masa sulit seperti terjadi krisis, dan lain sebagainya. Tidak hanya
pada masa sulit Belanda saja yang dijabarkan dalam bab ini namun juga ketika
masa pendudukan Jepang, dan juga masa menjelang kemerdekaan dimana
pemerintah mulai berusaha meningkatkan minat masyarakat terhadap resep-resep
makanan khas Indonesia.

Setelah melalui masa-masa sulit, pada bab ini dijelaskan perkembangan


politisasi pemerintah dan tahap paradigma masyarakat mengenai perubahan menu
makanan yang disajikan di Indonesia.

Secara umum pengembangan makanan di Indonesia sendiri berkaitan dengan


Pemerintah dan gastronom. Gastronom disini dibagi menjadi 2 yaitu, mereka yang
berkaitan dengan pemerintahan dan mereka yang tidak ada campur tangan dari
pemerintahan. Sepanjang tahun 1950-an terjadi berbagai macam upaya-upaya
pencarian cita rasa masakan Indonesia beserta penelitian mengenai kandungan
dalam makanan.

Upaya pertama yaitu pencarian cita rasa masakan Indonesia yang diistilahkan
dengan ‘’Masakan Kita’’ yang dimana dalam upaya tersebut pemerintah tidak
turut serta dalam mewarnai pencarian Masakan Kita. Maksud sebenarnya dari
masakan kita itu sendiri mengarah pada suatu usaha dalam menunjukkan cita rasa
khas Indonesia dan juga usaha untuk membedakan masakan Indonesia dengan cita
rasa masakan luar. Ratusan resep masakan Indonesia sendiri sebenarnya banyak
yang menyerupai cita rasa makanan Tionghoa dan Melayu. Contohnya ‘’Laksa
Indonesia’’ yang sebenarnya merupakan terobosan makanan baru Indonesia yang
terinspirasi dari Laksa Tionghoa. Meskipun keduanya sama namun perbedaannya
terletak pada bahan tambah makanan dan bumbu yang digunakan. Pengaruh cita
rasa makanan tidak hanya dipengaruhi oleh Tionghoa dan Melayu saja namun cita
rasa masakan Eropa juga terdapat dalam cita rasa masakan Indonesia meskipun
nantinya terjadi pengubahan orientasi dari cita rasa makanan Eropa menuju cita
rasa makanan Indonesia.
Sebenarnya masyarakat Indonesia sendiri punya makanan-makanan yang
enak dan terbuat dari bahan lokal seperti singkong, ubi, jagung, tepung beras, dan
tepung ketan. Presiden Soekarno sempat menyinggung mengenai orang Indonesia
yang tidak paham soal selera makanan khususnya selera Eropa, baik dalam hal
memasak maupun etiket perjamuan makan yang dianggap oleh beliau sangat
memalukan. Maksud dari Presiden Soekarno disini adalah pola hidup masyarakat
indonesia masih terbawa oleh sikap rendah diri dan mereka dengan bangganya
menerima mentah-mentah makan dari Eropa lalu menjualnya. Menurut beliau ini
adalah sebuah pemantulan kembali daripada jaman dimana Belanda menguasai
kita.

Makanan Indonesia seperti kue-kue tradisional sangat sulit menyaingi


dominasi makanan Eropa kala itu. Hal ini menunjukkan bahwa tidak semua gejala
nasionalisasi menggusur banyak unsur Eropa salah satunya adalah dalam bahan
yang digunakan untuk makanan. Contohnya dapat dilihat dari iklan Palmboom di
majalah mingguan pada tahun 1950-an yang menunjukkan propaganda bahwa
kue-kue, gorengan, dan makanan lainnya akan lebi gurih jika dibuat dengan
margarin. Respon masyarakat terutama para ibu-ibu tentunya menganggap
margarin sebagai sahabat masak yang istimewa. Margarin memang contoh
fenomena bahan makanan fabrikasi Eropa yang sudah dari dulu sukses
membentuk karakteristik cita rasa makanan di dunia.

Nyonya Rumah adalah seorang gastronom dari Lasem yang mempelopori


pengembangan bahan makanan menjadi sebuah resep-resep makanan lezat yang
bernutrisi. Dalam setiap ulasannya beliau menciptakan berbagai resep-resep
makanan yang berciri khas daerah-daerah di Jawa dan bahkan meluas sampai ke
luar Jawa. Tingginya permintaan masyarakat terhadap resep dari Nyonya Rumah,
hal itu melahirkan dua jilid buku yang diterbitkan oleh Penerbit Kinta (Jakarta)
pada tahun 1957 dan buku tersebut dicetak ulang hingga kurun 1960-an.

Terlepas dari semua itu, lain halnya dengan pemerintah yang memiliki cara
tersendiri dalam merumuskan konsep ideal tentang pengembangan makanan di
Indonesia. Didirikannya Lembaga Makanan Rakyat (LMR) menjadi langkah awal
pemerintah untuk merumuskan dan mengembangkan berbagai macam penelitian
tentang makanan lezat dan bergizi. Kemudian pada tahun 1958 LMR berubah
menjadi Dewan Bahan Makanan yang di dalamnya terdapat tiga tokoh penting
yaitu, Leimena, Poorwo Soedarmo, dan Dradjat Prawiranegara. Namun yang lebih
terlihat revolusioner adalah Poorwo Soedarmo yang menjadi pencetus ‘’4 Sehat 5
Sempurna’’. Kemajuan Poorwo Soedarmo mengangkat bahan makanan khas
Indonesia yang sebelumnya dianggap murah dan tidak penting namun, beliau
mematahkan hal itu dan membuat paradigma baru di masyarakat. Kedelai
merupakan objek yang digeluti dan diteliti oleh Poorwo Soedarmo yang akhirnya
masyarakat mulai mengerti bahwa kedelai mengandung protein yang bisa
menggantikan protein hewani. Pada masa itu rakyat belum memiliki pengetahuan
akan hal tersebut dan harga daging tidak murah akhirnya, mereka terserang
berbagai penyakit gizi.

Terlepas dari proyek ‘’4 Sehat 5 Sempurna’’,ternyata pada tahun 1960-an


lebih mengedepankan pembuatan buku-buku masak nasional. Setelah masyarakat
banyak mengetahui bahwa makanan Indonesia sebenarnya tidak kalah dengan
makanan Eropa, mereka diperkenalkan oleh pemerintah dengan buku Mustika
Ratu yang berisi mengenai resep-resep makanan dari Sabang sampai Merauke.
Resep-resep tersebut mengandung bahan-bahan yang sebelumnya sudah diteliti
oleh Poorwo Soedarmo dan masyarakat semakin antusias dalam mengembangkan
serta menciptakan inovasi baru dalam cita rasa makanan Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai