Anda di halaman 1dari 16

NAMA : KITHARA BATUBARA

NIM : 5172142008

PRODI : PENDIDIKAN TATA BOGA

MATA KULIAH : KULINER DAN INDUSTRI PARIWISATA

RINGKASAN

BAB 1 PERKEMBANGAN KULINER DI INDONESIA

A. Defenisi dan Ruang Lingkup Kuliner

Kuliner berkaitan erat dengan proses dalam menyiapkan makanan atau


memasak yang merupakan kegiatan dasar manusia dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya. Beberapa antropolog memercayai bahwa kegiatan memasak sudah ada
sejak 250 ribu tahun lalu pada saat tungku pertama kali ditemukan. Sejak itu, teknik
memasak terus mengalami perkembangan dan setiap daerah di penjuru dunia
memiliki teknik memasak dan variasi makanan tersendiri. Hal ini menjadikan
makanan sebagai suatu hal yang memiliki fungsi sebagai produk budaya. Berangkat
dari pemahaman tersebut, kuliner dijadikan sebuah komoditas industri kreatif berbasis
budaya. Hal ini yang mendorong terciptanya subsektor kuliner menjadi salah satu dari
lima belas subsektor ekonomi kreatif di Indonesia.
Oleh karena itu, diperlukan sebuah kesepakatan definisi dari subsektor kuliner
yang sesuai dengan konsep ekonomi kreatif. Hal ini juga didorong oleh masih
barunya istilah kuliner di Indonesia sehingga maknanya masih belum memiliki acuan
yang jelas. Selain itu, diperlukan juga ruang lingkup dari subsektor kuliner di
Indonesia yang dijadikan fokus dalam pengembangan ekonomi kreatif.
1. Defenisi Kuliner

Istilah kuliner di Indonesia dapat dikatakan baru terdengar gaungnya sejak


tahun 2005 berkat “Wisata Kuliner”, sebuah tayangan televisi yang meliput tempat-
tempat makan unik atau sudah memiliki reputasi yang baik. Sejak saat itu, kata
kuliner menjadi semakin populer dan menjadi sesuatu yang identik dengan mencicipi
berbagai jenis makanan dan minuman.
Di Indonesia belum ada sumber resmi yang menyatakan definisi dari kuliner,
baik secara umum maupun dalam konteks ekonomi kreatif. Secara bahasa, kuliner
diserap dari bahasa Inggris: culinary memiliki arti sebagai sesuatu yang digunakan
dalam memasak atau berkaitan dengan memasak.1 Dalam praktiknya dikenal istilah
culinary arts, yaitu teknik dalam menyiapkan makanan sehingga siap dihidangkan.
Bila ditinjau dari sisi ekonomi kreatif, belum banyak kajian yang
memasukkan kuliner ke dalam sektor ini karena pada dasarnya makanan merupakan
kebutuhan dasar manusia yang sudah ada sejak lama. Produk kuliner pada umumnya
masih masuk ke dalam sektor industri makanan dan minuman ataupun industri
penyediaannya, tanpa adanya penekanan bahwa produk kuliner merupakan produk
kreatif.
Negara yang sudah memasukkan kuliner ataupun industri yang berkaitan
dengan makanan dan minuman ke dalam sektor industri kreatif di antaranya adalah
Italia dan dua negara bagian di Amerika Serikat, yaitu Washington DC dan Mississipi.
Berdasarkan laporan yang dikeluarkan oleh negara-negara tersebut (seperti
yang ditunjukkan pada Tabel 1-1), dapat dilihat bahwa Italia memasukan food and
wine industry ke dalam industri kreatif karena produk makanan seperti keju daging
olahan, dan wine merupakan produk budaya mereka dan hal tersebut tidak bisa
dilepaskan dari kreativitas apabila ingin terus lestari dan berkembang.
Selain Italia, beberapa negara bagian di Amerika Serikat, seperti Washington
DC dan Mississipi, sudah memasukkan subsektor kuliner (culinary arts) ke dalam
industri kreatif dengan pertimbangan bahwa mereka memiliki kekayaan dan keunikan
dalam bidang tersebut. Selain itu, dunia kuliner dianggap memiliki perkembangan
yang baik dalam hal penciptaan kreasi baru yang ditanda dengan maraknya
kemunculan restoran yang menyajikan kreasi menu baru..
Definisi culinary arts yang digunakan di Washington DC adalah:
“The subset of the food preparation industry that includes all cooking-related
activities in which aesthetics and creative content are critical elements. The segment
includes only locally-owned food establishments, full-service restaurants, gourmet
food shops, and caterers”.
Atau dalam bahasa Indonesia:
“Bagian dari industri penyedia makanan yang kegiatannya meliputi semua hal
yang terkait dengan aktivitas memasak yang mana estetika dan kreativitas merupakan
elemen yang sangat penting. Segmen industri ini meliputi restoran lokal, restoran
full-service, toko makanan, dan jasa boga.”
Sedangkan definisi culinary arts yang digunakan di Mississippi adalah:
“Subset of the food preparation industry in which aesthetics and creative
content are what attracts customers and generates higher prices”.
Atau dalam bahasa Indonesia:
“Bagian dari industri penyedia makanan yang mana estetika dan kreativitas
merupakan hal utama yang menarik konsumen serta menyebabkan penetapan harga
yang tinggi mungkin untuk dilakukan.”
Kedua definisi di atas menjelaskan bahwa praktik kuliner dalam konteks
ekonomi kreatif merupakan sebuah kegiatan persiapan makanan dan minuman yang
menekankan aspek estetika dan kreativitas sebagai unsur terpenting dalam
memberikan nilai tambah pada suatu produk kuliner dan mampu meningkatkan harga
jual. Definisi ini menekankan bahwa tidak seluruh kegiatan yang berkaitan dengan
makanan dan minuman masuk ke dalam area kuliner pada industri kreatif.
Kuliner saat ini tidak lagi hanya sebatas produk pemuas kebutuhuan dasar
manusia. Ada unsur lain yang dicari oleh konsumen saat mengonsumsi sebuah sajian
makanan dan minuman. Kuliner yang memiliki unsur budaya asli suatu daerah dapat
menjadi daya tarik bagi wisatawan untuk datang mengunjungi daerah tersebut.
Kuliner yang menggunakan kreativitas dapat menghasilkan olahan makan yang
memiliki cita rasa lezat dan juga memberikan pengalaman tersendiri saat
menyantapnya, sehingga menjadikan kuliner sebagai komoditas yang menarik untuk
dikembangkan.
Dari defenisi di atas dapat ditarik suatu kesimpulan defenisi dari subsektor
kuliner pada ekonomi kreatif Indonesia yaitu: kegiatan persiapan pengolahan,
penyajian produk makanan, dan minuman yang menjadikan unsur kreativitas,
estetika,,tradisi, dan/ kearifan lokal, sebagai elemen terpenting dalam meningkatkan
cita rasa dan nilai produk tersebut, untuk manarik daya beli dan memberikan
pengalaman bagi konsumen.
Dari defenisi di atas terdapat beberapa kata kunci, yaitu:
a. Kreativitas. Kreativitas yang dimaksud adalah aspek ide baru yang dapat
memberikan nilai tambah pada sebuah makanan dan minuman.
b. Estetika. Estetika yang dimaksud adalah aspek tampilan dari sebuah makanan
dan minuman yang ditata dengan memperhatikan unsur keindahan sehingga
menjadikan produk yang kuliner tersebut memiliki nilai lebih dan mampu
menggugah selera konsumen untuk menikmatinya.
c. Tradisi. Tradisi yang dimaksud adalah sesuatu yang telah dilakukan sejak
lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelomok masyarakat yang
berkaitan dengan kebiasaan dalam mengolah dan mengonsumsi makanan dan
minuman.
d. Kearifan Lokal. Kearifan lokal yang dimaksud adalah identitas suatu daerah
berupa kebenaran yang telah tertanam dalam suatu daerah.
2. Ruang Lingkup Pengembangan Kuliner
Secara lebih rinci ruang lingkup ini dibagi ke dalam empat kategori, yaitu:
a. Jasa penyedia makanan/restoran/jasa boga (caterers)
b. Toko roti (baked goods store)
c. Toko olahan gula/permen/coklat (confectonery and nut stores)
d. Toko produk makanan spesial (all other specialty foods stores)
B. Sejarah dan Perkembangan Kuliner
1. Sejarah dan Perkembangan Kuliner Dunia

Pada abad ke-17, di kawasan Eropa, penyajian makanan di kediaman para


bangsawan harus memiliki kualitas yang sangat baik, penataan yang menarik, hingga
pengaturan meja dan perangkat makan lainnya yang harus dilakukan dengan sangat
mewah. Makanan yang disajikan tersebut dikenal dengan istilah Haute Cuisine dan
hanya dapat ditemukan di kediaman para bangsawan dan dinikmati oleh golongan
dengan strata sosial tinggi. Konsep Haute Cuisine yang merupakan masakan yang
diolah dengan berbagai macam teknik memasak serta disajikan dengan sangat cantik
dan memiliki rasa yang sangat enak menjadi semakin dikenal. Namun, proses
memasak Haute Cuisine ini membutuhkan kemampuan yang tidak mudah. Hal ini
yang menjadi salah satu alasan mengapa masakan Perancis sangat terkenal di dunia
dan teknik memasaknya mulai banyak dipelajari.
Di awal abad ke-18, restoran modern pertama diperkirakan berdiri, tepatnya
pada tahun 1765 di Perancis oleh A. Boulanger. Menu yang ditawarkan di restoran
tersebut adalah semangkok sup. Pembukaan restoran tersebut mendapatkan respon
yang sangat baik sehingga selanjutnya ide usaha ini banyak ditiru oleh para juru
masak yang meninggalkan majikan mereka dan kemudian mendirikan usaha yang
sama. Hal ini merupakan salah satu peristiwa penting dalam sejarah kuliner dunia
yang juga disebabkan oleh terjadinya revolusi Perancis. Keruntuhan kaum bangsawan
mengakibatkan mereka tidak dapat membiayai pengikutnya, termasuk juru masak dan
pelayan-pelayannya. Hal inilah yang menjadi salah satu pendorong lahirnya berbagai
usaha penyedia jasa makanan dan minuman di area publik saat itu.
Perkembangan-perkembangan yang terjadi pada periode awal di Perancis ini
semakin mengangkat profesi juru masak. Profesi ini mulai diakui sebagai sebuah
profesi modern berkat usaha seorang juru masak asal Prancis, Antonin Careme, pada
awal abad ke-19, yang berhasil menaikkan derajat profesi ini menjadi lebih terhormat.
Dia juga merupakan tokoh yang menemukan seragam para juru masak (chef ’s
uniform) yang dikenal saat ini.
Di akhir abad ke-19, seorang pakar kuliner Perancis, Georges Auguste
Escoffier, membuat sebuah buku yang berisi lebih dari 5.000 resep masakan Perancis
beserta metode pengolahannya. Hingga saat ini buku tersebut masih sering digunakan
sebagai buku standar dalam pendidikan bidang kuliner. Berbagai lembaga pendidikan
bidang kuliner yang ada saat ini merupakan perkembangan dari berbagai pelatihan
memasak informal yang diadakan di lingkungan keluarga, organisasi militer, dan
religious establishment. Awalnya, hal ini didasari oleh adanya kebutuhan untuk
menyediakan makanan dalam jumlah besar sehingga membutuhkan tenaga kerja
terlatih untuk bekerja di dapur. Dari kondisi ini kemudian berkembang lembaga
pendidikan yang lebih bersifat formal dan nonformal, terutama di negara-negara
Eropa dan Amerika.
Pada tahun 1877, Boston Cooking School menjadi sekolah memasak pertama
di Amerika. Selanjutnya pada tahun 1946 berdiri The Culinary Institute of America
(The CIA), sebuah sekolah memasak ternama didunia. Sekolah ini mampu membawa
metode baru dalam proses mendidik calon-calon profesional di bidang kuliner. The
CIA menggabungkan konsep pembelajaran teori dan praktik dengan mewajibkan
seluruh siswanya untuk menyelesaikan delapan belas (18) minggu bekerja magang di
sebuah restoran terkemuka.
Pada tahun 1895, di Benua Eropa berdiri Le Cordon Bleu, salah satu sekolah
bidang kuliner tertua dan terkemuka hingga saat ini. Sekolah ini lahir dari sebuah
program kursus memasak yang diberikan oleh para juru masak terkenal di Perancis
saat itu hingga berkembang menjadi sebuah sekolah memasak. Hingga saat ini Le
Cordon Bleu telah beroperasi di berbagai negara dengan jumlah lebih dari 50 sekolah,
tidak saja hanya di Eropa, namun hingga Thailand dan Malaysia. Perkembangan
dunia kuliner di awal abad 20-an semakin membaik, terutama di berbagai negara
Eropa dan Amerika. Berbagai restoran baru lahir dan minat masyarakat untuk
menikmati hidangan berkualitas pun semakin meningkat. Hingga pada tahun 1926,
terbit suatu panduan buku mengenai berbagai restoran yang ada di Perancis yang
dikenal dengan nama Michelin Guide serta memberikan penghargaan berupa
Michelin Stars, yaitu sebuah penghargaan atas kualitas yang dimiliki suatu restoran.
Hingga saat ini Michelin Stars menjadi penghargaan paling bergensi di dunia kuliner.
Penghargaan ini menggunakan sistem peringkat sebagai berikut:
• One star: Restoran yang sangat baik pada kategorinya;
• Two stars: Restoran yang sangat istimewa, layak untuk dikunjungi kembali;
• Three stars: Restoran yang sangat-sangat istimewa, layak dikunjungi secara
khusus.
Keberadaan penghargaan seperti ini mampu memicu para juru masak untuk
terus berkreasi menghasilkan karya yang berkualitas dan menjadikan dunia kuliner
menjadi lebih menarik. Seorang juru masak yang berhasil membawa restorannya
mendapatkan penghargaan Michelin Star akan mendapatkan pengakuan internasional
yang dapat meningkatkan namanya di dunia kuliner. Pengaruh kuliner Perancis sangat
besar dalam perkembangan kuliner dunia dan bermigrasi ke berbagai belahan dunia.
Julia Child, juru masak asal Amerika, merupakan salah satu orang yang
berperan membawa kuliner Perancis ke Amerika dengan membuat sebuah buku
panduan memasak berjudul Mastering the Art of French Cooking dengan tebal 726
halaman yang sangat populer hingga saat ini. Ia juga memiliki program memasak
yang disiarkan di televisi, The French Chef, disiarkan pertama kali pada tahun 1963
dan bertahan hingga sepuluh tahun kemudian serta meraih Emmy Awards sebagai
program edukasi terbaik saat itu. Pada tahun 2002, kerja keras, dedikasi, dan prestasi
Julia Child dalam dunia kuliner diabadikan di The National Museum of American
History. Di museum tersebut ditampilkan sebuah area yang menggambarkan dapur
yang digunakan oleh Julia Child pada program memasaknya di televisi. Kesuksesan
Julia Child pun menjadi inspirasi dalam pembuatan sebuah film bertema kuliner pada
tahun 2009 berjudul Julie and Julia dan berhasil mendapatkan beberapa penghargaan.
Kisah Julia Child merupakan gambaran dari perkembangan dunia kuliner di
abad ke-20, saat dunia kuliner mampu memberikan pengaruh yang kuat dan dapat
menjadi objek bagi industri lainnya–mulai dari penerbitan, pertelevisian, hingga
perfilman–dimana kondisi ini semakin maju di tahun 2000-an hingga saat ini.
Kolaborasi dunia kuliner dengan industri media semakin erat, ditandai dengan
semakin banyaknya program televisi dengan tema kuliner yang menciptakan status
baru bagi para juru masak yang tampil di layar kaca–celebrity chef. Beberapa program
bertema kuliner seperti Masterchef, No Reservations, Jamie at Home, Heston’s Feast,
dan sebagainya telah mengangkat nama para juru masak menjadi seorang public
figure, diantaranya adalah Gordon Ramsay, Jamie Oliver, Heston Blumenthal,
Anthony Bourdaindan dan Nigella Lawson.
Perhatian dunia akan kuliner sebagai komoditas potensial dalam industri
kreatif semakin meningkat di abad ke-21. Sejak tahun 2005, UNESCO melalui
program Creative City Network (CCN), mendefinisikan tujuh subsektor dalam
cakupan industri kreatifnya di mana kuliner/gastronomi termasuk di dalamnya.
Program CCN ini memfasilitasi proses pertukaran pengalaman, pengetahuan, dan
sumber daya antar anggotanya sebagai jalan untuk mengangkat industri kreatif lokal
dan menumbuhkan kerjasama di seluruh dunia dalam pembangunan perkotaan yang
berkelanjutan. Untuk dapat menjadi bagian dari program ini, khususnya sebagai kota
gastronomi, suatu daerah harus memiliki potensi kuliner. Kriteria yang harus dimiliki
oleh kota yang ingin mengajukan diri sebagai kota gastronomi adalah:
a. Berkembangnya kuliner yang merepresentasikan karakter kota/wilayah;
b. Berkembangnya komunitas kuliner dan restoran-restoran tradisional;
c. Penggunaan bahan baku lokal dalam proses memasak tradisional;
d. Pemahaman masyarakat mengenai teknik memasak tradisional dan praktik kuliner
yang bertahan di tengah perkembangan teknologi dan industri;
e. Tersedianya pasar tradisional dan industri makanan tradisional;
f. Adanya tradisi dalam menyelenggarakan festival, penghargaan, kontes, dan kegiatan
promosi kuliner lainnya;
g. Adanya upaya pelestarian lingkungan dan pemanfaatan produk lokal secara
berkelanjutan;
h. Adanya upaya pengembangan apresiasi masyarakat, sosialisasi mengenai nutrisi yang
baik di lembaga pendidikan, serta diperhatikannya keragaman sumber daya alam
dalam kurikulum sekolah memasak.
2. Sejarah dan Perkembangan Kuliner Indonesia

Apabila ditarik mundur ke masa lampau, potensi kuliner Indonesia memang sudah
sangat kaya. Indonesia sudah sejak lama terkenal sebagai sumber rempah-rempah yang
sangat beragam, sehingga dapat menciptakan variasi sajian masakan yang kaya cita rasa.
Pada permulaan abad ke-16 bangsa Portugis berhasil menguasai Indonesia untuk mencari
rempah-rempah dan memperkenalkan rempah-rempah Indonesia ke Eropa hingga
mendorong bangsa lainnya seperti Belanda datang ke Indonesia untuk mencari rempah-
rempah di Indonesia. Kondisi ini secara tidak langsung mempengaruhi perkembangan
makanan di Indonesia. Banyak pengaruh negeri Eropa masuk ke suatu daerah sehingga
tercipta makanan tradisional yang memiliki unsur negara Eropa.
Saat Perang Dunia I terjadi, pasokan bahan baku utama makanan dari Belanda
terputus dan menyebabkan orang-orang Belanda yang ada di Indonesia mulai mencoba
makanan Indonesia yang kemudian berkembang menjadi menu yang disebut Rijsttafel.
Pada dasarnya Rijsttafel bukan sebuah nama makanan, melainkan cara makan yang
memiliki arti sederhana yakni “meja nasi”. Rijsttafel merupakan bentuk dari
penggabungan dua budaya, metode penyajian ala bangsawan Eropa bersanding dengan
sajian masakan nusantara yang bisa mencapai 40 jenis makanan dalam satu meja. Menu-
menu yang biasa disajikan adalah Nasi Goreng, Rendang, Opor Ayam, dan Sate yang
dilengkapi dengan Kerupuk dan Sambal. Meski populer di Belanda dan luar negeri, saat
ini Rijsttafel jarang ditemukan di Indonesia.15 Salah satu restoran yang konsisten
menyajikan berbagai menu dengan konsep Rijsttafel hingga saat ini adalah Restoran
Oasis di Jakarta yang berdiri sejak 1968.

Di tahun 1960-an dan 1970-an, perkembangan dunia kuliner Indonesia dari sisi
pendidikan mulai berkembang dengan berdirinya beberapa lembaga pendidikan tinggi
bidang kuliner. Salah satunya adalah Sekolah Tinggi Pariwisata Bandung (STPB) yang
bermula dari didirikannya Sekolah Kejuruan Perhotelan (SKP) pada tahun 1959 di bawah
naungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Pada dasarnya kekayaan potensi kuliner Indonesia ini sudah disadari sangat
berharga dan perlu dilestarikan oleh pemerintah sejak lama. Pada tahun 1967,
Departemen Pertanian menerbitkan sebuah buku masakan yang diberi judul Mustika
Rasa.

Di akhir tahun 1980-an, pengawasan terhadap produk makanan dan minuman


di Indonesia mulai mendapat sorotan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) terkait
dengan kepastian halal tidaknya produk-produk tersebut. Hal ini dikarenakan kondisi
di mana Indonesia merupakan negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam.
Berkaitan dengan hal itu, pada tahun 1989, MUI mendirikan Lembaga Pengkajian
Pangan Obat-Obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI)
sebagai lembaga sertifikasi halal di Indonesia.
Popularitas masakan tradisional Indonesia sempat menurun namun kembali
bangkit di awal tahun 2000-an saat posisi makanan dan minuman yang merupakan
sebuah kebutuhan dasar manusia mulai bergeser bagi sebagian besar masyarakat
Indonesia. Produk makanan dan minuman mulai menjadi bagian dari gaya hidup baru
beberapa kalangan masyarakat dan berubah menjadi sebuah industri kuliner yang
tidak hanya memenuhi kebutuhan pokok manusia, namun juga memenuhi kebutuhan
lainnya seperti kebutuhan bersosialisasi maupun mengaktualisasikan diri.
Jakarta dan Bandung merupakan kota-kota yang mengalami perkembangan
industri kuliner sangat pesat. Pertumbuhan rumah makan atau restoran di kedua kota
tersebut meningkat tinggi dan menjadi daya tarik tersendiri untuk dikunjungi sebagai
objek wisata. Tren Wisata Kuliner yang dipopulerkan oleh sebuah tayangan televisi
dengan judul yang sama pada tahun 2005 semakin mengangkat potensi dunia kuliner
Indonesia. Bondan Winarno, sang pembawa acara tersebut pun mampu menarik minat
masyarakat untuk semakin dekat dengan kuliner khas Indonesia.
Perkembangan kuliner di Indonesia tidak bisa dipisahkan dari peran media.
Sejak awal tahun 2000- an hingga kini, semakin banyak program televisi lokal yang
menyiarkan program kuliner, mulai dari acara memasak hingga kompetisi memasak.
Hal ini juga diikuti dengan profesi pendukung dunia kuliner yang ikut serta
mengangkat perkembangan dunia kuliner di Indonesia. Profesi food photograper,
food stylist, hingga food blogger semakin marak berkembang sejak tahun 2010.
Pada tahun 2011, popularitas kuliner tradisional Indonesia mulai diakui oleh
masyarakat dunia. Hal ini ditunjukkannya dengan masuknya beberapa masakan
Indonesia–Sate, Nasi Goreng, dan Rendang–kedalam daftar World’s 50 Best Foods
versi CNN dimana Rendang menduduki posisi pertama. Hal ini semakin
meningkatkan antusiasme masyarakat Indonesia dan asing untuk lebih mengenal
berbagai kuliner tradisional Indonesia. Upaya pelestarian dan pengenalan ragam
kuliner tradisional Indonesia ini berlanjut dengan Program 30 Ikon Kuliner
Tradisional Indonesia (30 IKTI) yang digagas oleh Kementerian Pariwisata dan
Ekonomi Kreatif sejak tahun 2012.

BAB 2 EKOSISTEM DAN RUANG LINGKUP INDUSTRI KULINER INDONESIA

A. Ekosistem Kuliner
1. Defenisi Ekosistem Kuliner
Ekosistem kuliner adalah sebuah sistem yang menggambarkan hubungan
saling ketergantungan (interdependent relationship) antara setiap peran di dalam
proses penciptaan nilai kreatif dengan lingkungan sekitar yang mendukung
terciptanya nilai kreatif
Untuk menggambarkan hubungan saling ketergantungan ini maka dibuat
sebuah peta ekosistem yang terdiri atas empat komponen utama, yaitu:
a. Rantai Nilai Kreatif (Creative Value Chain)
Rantai nilai kreatif adalah rangkaian proses penciptaan nilai kreatif. Di dalamnya
terjadi transaksi sosial, budaya, dan ekonomi yang terdiri dari proses kreasi, produksi, dan
penyajian.
b. Lingkungan Pengembangan (Nurturance Environment)
Lingkungan pengembangan adalah lingkungan yang dapat menggerakkan dan
meningkatkan kualitas proses penciptaan nilai kreatif yang meliputi pendidikan dan apresiasi.
c. Konsumen (Market)
Konsumen adalah pihak yang mengapresiasi dan mengonsumsi produk kuliner yang
dihasilkan dari rangkaian proses pada rantai nilai kreatif.
d. Pengarsipan (Archiving)
Pengarsipan adalah proses preservasi terhadap hasil kreasi kuliner yang dapat diakses
dan dimanfaatkan oleh seluruh pemangku kepentingan (orang kreatif, pemerintah, lembaga
pendidikan, pelaku bisnis, komunitas, dan intelektual) di dalam ekosistem industri kreatif
sebagai media pembelajaran dan sumber inspirasi dalam penciptaan kreasi lainnya.
Keempat komponen tersebut mempunyai peran yang berbeda dan saling berinteraksi
sehingga membentuk sebuah siklus dalam sebuah ekosistem kuliner yang dapat menghasilkan
rantai nilai kreatif secara berkelanjutan. Melalui ekosistem ini diharapkan proses penciptaan
nilai kreatif, aktivitas, output dari setiap proses, dan peran yang terlibat di dalamnya dapat
terpetakan dengan baik sehingga rencana pengembangan yang dibuat lebih sistematis dan
tepat sasaran.
2. Peta Ekosistem Kuliner
a. Rantai Nilai Kreatif
- Proses kreasi
Proses kreasi adalah awal dari rantai kreatif kuliner. Pada tahapan ini dimulai
proses penciptaan produk kuliner dari mulai konseptualisasi ide hingga menjadi
sebuah kreasi yang siap diproduksi.
- Proses produksi
Proses produksi adalah tahapan yang dimulai dari pembuatan sebuah produk
kuliner hingga siap untuk disajikan.
- Proses penyajian
Tahapan terakhir pada rantai kreasi kuliner adalah proses penyajian. Pada tahapan ini,
sebuah kreasi kuliner akan keluar dari sebuah dapur untuk kemudian disajikan dan
dinikmati oleh konsumen.
b. Pasar Konsumen
Pasar adalah pihak yang menyerap produk kuliner yang dihasilkan. Konsumen
yang terdapat di pasar dapat dikategorikan sebagai dua kelompok besar, yaitu:
- Konsumen Umum
Konsumen umum adalah kategori konsumen yang membeli dan mengonsumi
produk kuliner sebagai kebutuhan untuk memenuhi kebutuhan dasar. Pada umumnya,
konsumen kategori ini melakukan konsumsi secara rutin.
- Konsumen Khusus
Konsumen khusus adalah kategori konsumen yang membeli dan mengonsumsi
produk kuliner dengan tujuan lebih dari sekadar pemenuhan kebutuhan dasar. Alasan
yang biasanya melatarbelakangi konsumen kategori ini dalam membeli suatu produk
kuliner adalah mencari pengalaman, wawasan, atau tuntutan pekerjaan. Wisatawan
atau turis adalah salah satu contohnya. Mereka pada umumnya akan memenuhi
berbagai usaham kuliner yang menjadi ikon suatu daerah.
Dalam pengembangan ekonomi kreatif, tipe konsumen yang perlu
ditingkatkan adalah konsumen khusus karena penyerapan kreasi kuliner akan lebih
mudah dilakukan. Suatu usaha kuliner akan lebih berkelanjutan dan menjadi ikon
suatu daerah apabila mampu menarik konsumen tipe ini. Oleh karena itu, diperlukan
juga proses edukasi pasar sehingga konsumen akan lebih mampu menghargai suatu
kreasi kuliner, khususnya kuliner tradisional Indonesia, sehingga harga jualnya dapat
meningkat.
c. Lingkungan Pengembangan (Nurturance Environme)
- Apresiasi
Apresiasi dalam bidang kuliner dapat berupa penghargaan dan juga ulasan di
media. Apresiasi ini pada umumnya dapat berasal dari pihak profesional maupun
berasal dari komunitas. Penghargaan di bidang kuliner biasanya berupa penghargaan
bagi profesional yang bekerja di sana, baik penghargaan bagi juru maupun
penghargaan bagi restoran terbaik.
- Pendidikan
Pendidikan merupakan hal yang tidak bisa dilepaskan dalam bidang kuliner,
terutama terkait kualitasnya. Hal ini dikarenakan pendidikan berperan sebagai sarana
penciptaan orang kreatif dalam industri kuliner. Secara umum, institusi pendidikan
yang ada terbagi ke dalam tiga jenis, yaitu:
1) Institusi pendidikan dengan program bergelar.
2) Lembaga pelatihan atau pendidikan bersertifikat.
3) Lembaga pelatihan atau pendidikan nonsertifikat.
d. Pengarsipan
Proses pengarsipan merupakan proses mendokumentasikan perkembangan
pada industri kuliner yang dapat dijadikan referensi di masa mendatang. Proses ini
dapat dilakukan oleh pihak akademisi sebagai materi studi, pemerintah sebagai
panduan analisis perkembangan industri, dan juga pihak asosiasi ataupun komunitas.
Hal ini bertujuan agar masyarakat luas dapat memiliki akses untuk mengetahui
informasi atau kondisi mengenai kuliner di Indonesia.
B. Peta dan Ruang Lingkup Kuliner
a. Peta Industri Kuliner
Peta industri mencakup hubungan pelaku industri utama kuliner dalam rantai
nilai dengan pelaku industri yang memberikan suplai (supply) ke pelaku industri
utama (backward linkage) dan pelaku industri yang memberikan permintaan
(demand) kepada pelaku industri utama (forward linkage). Pada tahap kreasi, pelaku
utama di tahap ini adalah juru masak yang pada umumnya dibagi dalam beberapa
kategori sesuai keahliannya, yaitu cuisine chef, pastry chef, baker, dan barista atau
bartender. Para juru masak ini yang akan berkreasi untuk menghasilkan produk
kuliner. Kemudian, selain akan diteruskan kepada proses selanjutnya di rantai utama,
terdapat beberapa industri pendukung yang akan memberikan permintaan terhadap
kreasi yang dihasilkan, yaitu penerbitan serta industri pengolahan makanan dan
minuman. Industri penerbitan pada umumnya akan menjadikan hasil kreasi ke dalam
bentuk buku, seperti buku resep yang akan dijual secara komersil. Sedangkan pada
industri pengolahan makanan minuman, hasil kreasi para juru masak ini akan
dijadikan formula atau resep untuk diproduksi menjadi makanan dan minuman
olahan, baik dalam skala kecil maupun manufaktur yang besar.
b. Ruang Lingkup Industri Kuliner
Berdasarkan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) 2009, belum
ada kategori lapangan usaha yang ditujukan khusus untuk kode usaha industri kreatif
kuliner. Hal ini dikarenakan kuliner merupakan subsektor baru yang dimasukkan pada
industri kreatif, sekitar pada tahun 2011. Sesuai KBLI Ekonomi Kreatif, ruang
lingkup subsektor kuliner adalah:56101 Restoran
- 56101 Restoran
- 56102 Warung Makan
- 56103 Kedai Makanan
- 56104 Penyediaan Makanan Keliling Atau Tempat Tidak Tetap
- 56210 Jasa Boga Untuk Suatu Event Tertentu (Event Catering)
- 56290 Penyediaan Makanan Lainnya
- 56301 Bar
- 56302 Kelab Malam Atau Diskotik Yang Utamanya Menyediakan Minuman
- 56303 Rumah Minum Atau Kafe
- 56304 Kedai Minuman
- 56305 Rumah Atau Kedai Obat Tradisional
- 56306 Penyediaan Minuman Keliling Atau Tempat Tidak Tetap
c. Model Bisnis Industri Kuliner
- Independent
- Chain
- Franchise

BAB 3 KONDISI UMUM KULINER DI INDONESIA


A. Kontribusi Ekonomi Kuliner
a. Berbasis Produk Domestik Bruto (PDB)
b. Berbasis Ketenagakerjaan
c. Berbasis Aktivitas Perusahaan
d. Berbasis Rumah Tangga
e. Berbasis Nilai Ekspor
B. Kebijakan Pengembangan Kuliner
a. Kebijakan Izin Usaha Kuliner
- Standarisasi lokasi Usaha
- Standarisasi Operasional Usaha
- Standarisasi Pelayanan Usaha
b. Kebijakan Sertifikasi
c. Kebijakan Pengembangan usaha
C. Struktur Pasar Kuliner
Struktur pasar suatu industri dapat dilihat dari jumlah pelaku atau unit usaha di
dalamnya dibandingkan dengan jumlah konsumennya. Berdasarkan karakter pasar
pada industri kuliner, strukturnya dapat dikategorikan sebagai persaingan
monopolistik, yaitu bentuk pasar di mana terdapat banyak produsen yang
menghasilkan barang serupa tetapi memiliki perbedaan dalam beberapa aspek.
Jumlah pelaku atau unit usaha kuliner di Indonesia berdasarkan data BPS per
tahun 2013, terdapat kurang lebih tiga juta unit usaha tersebar di seluruh Indonesia.
Dengan jumlah yang sangat banyak ini, tipe persaingannya tetap dikategorikan tidak
sempurna, karena walaupun beberapa usaha kuliner menghasilkan produk yang serupa
namun pada dasarnya setiap usaha memiliki perbedaan dalam beberapa aspek, seperti
rasa makanan dan juga adanya perbedaan selera dari konsumen dalam memilih
produk kuliner yang menjadikan beberapa produk serupa tidak akan bersaing secara
langsung di pasar.
Data di bawah ini menggambarkan perkembangan jumlah unit usaha pada
subsektor kuliner di Indonesia, terlihat perkembangan yang positif setiap tahunnya
walaupun di tahun terakhir terjadi penurunan laju pertumbuhan unit usaha.
Struktur pasar kuliner memiliki barrier to entry yang rendah, pelaku usaha
baru dapat masuk ke dalam industri ini dengan mudah. Ada beberapa hal yang
menjadikan industri kuliner memiliki barrier to entry yang rendah, yaitu:
- Modal yang tidak terlalu besar
- Perizinan yang cenderung mudah
- Proses bisnis yang tidak terlalu rumit
Kemudahan ini ditunjukkan dengan tingginya rata-rata tingkat laju
pertumbuhan unit usaha kuliner (1.48%) dibandingkan rata-rata tingkat laju
pertumbuhan unit usaha sektor lainnya (0.98%).
D. Daya Saing Kuliner
Nilai daya saing kuliner ditinjau dari tujuh aspek, yaitu:
- Sumber daya kreatif
- Sumber daya pendukung
- Industri
- Pembiayaan
- Pemasaran
- Infrastruktur dan teknologi
- Kelembagaan
Terdapat beberapa faktor yang perlu ditingkatkan apabila kuliner Tradisional
Indonesia ingin bersaing di tingkat Internasional yaitu:
- Dukungan pemerintah yang optimal
- Menjamin ketersediaan pasokan bahan baku kuliner Tradisional dari Indonesia
- Meningkatkan juru masak asal Indonesia yang ahli kuliner Nusantara

E. Potensi dan Permasalahan Pengembangan Kuliner


Penjelasan potensi dapat dilihat dari dua aspek utama, yaitu kekuatan
(menguraikan karakter dan kondisi dari kuliner yang memberikan keunggulan
dibandingkan subsektor-subsektor industri lainnya) dan peluang (menguraikan elemen
yang dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan kuliner lebih jauh lagi). Identifikasi
potensi dilakukan dengan merujuk kepada peta ekosistem dan peta industri. Dari hasil
identifikasi sementara terdapat beberapa potensi yang dimilki oleh subsektor kuliner
Indonesia. Sedangkan identifikasi masalah dilakukan dengan merujuk kepada peta
ekosistem dan peta industri. Dari hasil identifikasi terdapat beberapa permasalahan
yang dimilki oleh kuliner
Indonesia, dibagi ke dalam empat kategori yaitu tantangan, hambatan,
kelemahan, dan ancaman.
Beberapa isu strategis yang berhasil diidentifikasi adalah:
a. Sumber daya alam dan budaya yang beragam
Indonesia memliki potensi yang tak ternilai harganya dalam hal warisan
kuliner nusantara. Setiap daerah memiliki keunikan tersendiri yang sangat potensial
untuk terus dikembangkan. Beberapa aspek yang menjadi nilai utama dari
keberagaman sumber daya alam dan budaya kuliner Indonesia adalah:
- Kekayaan ragam masakan tradisional yang sangat bervariasi
- Produk kuliner yang memiliki nilai-nilai budaya yang dapat dijadikan sebagai sumber
inspirasi dalam mencipatkan kreasi
- Kekayaan cita rasa makanan Indonesia
- Kekayaan dan keragaman komoditas bahan baku kuliner Indonesia yang bisa diolah
dengan kreasi baru
- Keunikan penyajian makanan Indonesia yang sangat menarik dan bahkan memiliki
cerita dibalik setiap cara penyajian Beberapa masakan tradisional Indonesia
mendapatkan pengakuan Internasional
Di Indonesia ini terdapat sekitar 300 etnis yang memiliki keragaman kuliner,
namun hanya 10% saja yang baru digarap. Kekayaan ini dapat dijadikan sebagai
senjata utama untuk menghasilkan kreasi dalam subsektor kuliner. Masakan
tradisional Indonesia harus mampu muncul ke permukaan sehingga dikenal oleh
masyarakat luas, tidak saja hanya menjadi masakan daerah yang disajikan di rumah,
namun mampu menjadi daya tarik suatu daerah. Faktor kreativitaslah yang diperlukan
dalam mengangkat masakan tradisional ini sehingga mampu memiliki nilai tambah
untuk dipasarkan.
b. Industri yang terus berkembang
Industri kuliner di Indonesia masih terus mampu berkembang, hal ini ditandai
dengan laju pertumbuhan jumlah unit usaha yang berada di atas rata-rata laju
pertumbuhan pada industri kreatif ataupun nasional. Perkembangan yang pesat ini
sangat terasa di beberapa kota di Indonesia, seperti Bandung dan Jakarta. Kedua kota
ini memiliki pertumbuhan industri kuliner yang cukup pesat dalam lima tahun
kebelakang. Perkembangan industri kuliner di Jakarta lebih bersifat variatif, berbagai
ragam cita rasa Indonesia bahkan dunia hadir melalui berbagai unit usaha kuliner
yang muncul, mulai dari bentuk kedai makanan nusantara, warung makan tradisional,
restoran fine-dining, hingga dalam bentuk foodtruck.
c. Minat dan antusiasme masyarakat terhadap kuliner yang tinggi
Minat dan antusiasme masyarakat terhadap industri kuliner semakin tinggi.
Produk kuliner tidak saja hanya dianggap sebagai produk pemuas kebutuhan dasar
namun lebih dari itu. Sudah banyak masyarakat yang mulai mencari produk kuliner
tidak saja hanya terfokus pada makanannya, namun juga mengenai cerita dan
pengalaman yang dirasakan sangat menyantap produk kuliner tersebut. Hal ini
menjadikan produk kreasi kuliner akan semakin mudah untuk dikenal oleh
masyarakat secara luas.
d. Pasar dalam negeri yang besar
Jumlah penduduk Indonesia yang banyak merupakan peluang yang sangat
potensial dalam pengembangan subsektor kuliner, mengingat produk subsektor
kuliner berdasarkan kebutuhan dasar manusia sehingga menjadikan jumlah penduduk
Indonesia yang sangat banyak ini akan sangat menguntungkan dalam
mengembangkan industri kuliner di dalam negeri.
e. Pasar luar negeri yang mulai melirik
Pasar di luar negeri yang mulai melirik kuliner asia akan menjadi peluang bagi
kuliner Indonesia untuk berkembang. Antusiasme warga dunia terhadap kuliner
Indonesia pun makin tinggi hal ini dapat dilihat dengan semakin popularnya beberapa
makanan khas Indonesia di luar negeri hingga mendapatkan pengakuan sebagai salah
satu makanan terenak di dunia.

BAB IV RENCANA PENGEMBANGAN KULINER INDONESIA


A. Arahan Strategis Pengembangan Ekonomi Kreatif 2015-2019
Arahan RPJPN 2005-2025, pembangunan nasional tahap ketiga (2015-2019)
adalah ditujukan untuk lebih memantapkan pembangunan secara menyeluruh di
berbagai bidang dengan menekankan pencapaian daya saing kompetitif perekonomian
berlandaskan keunggulan sumber daya alam dan sumber daya manusia berkualitas
serta kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus meningkat.
Pembangunan periode 2015-2019 tetap perlu mencapai pertumbuhan ekonomi
yang tinggi tetapi haruslah inklusif dan berkelanjutan, yaitu meminimasi
permasalahan sosial dan lingkungan. Pembangunan inklusif dilakukan terutama untuk
mengurangi kemiskinan, ketimpangan antar penduduk dan ketimpangan kewilayahan
antara Jawa dan luar Jawa, kawasan barat dan kawasan timur, serta antara kota-kota
dan kota-desa. Pembangunan berkelanjutan dilakukan untuk memberikan jaminan
keberlanjutan manfaat yang bisa dirasakan generasi mendatang dengan memperbaiki
kualitas lingkungan (sustainable).
Dalam rancangan teknokratik RPJMN 2015-2019 terdapat enam agenda
pembangunan nasional, yaitu: (1) Pembangunan Ekonomi; (2) Pembangunan
Pelestarian Sumber Daya Alam, Lingkungan Hidup dan Pengelolaan Bencana (3)
Pembangunan Politik, Hukum, Pertahanan, dan Keamanan; (4) Pembangunan
Kesejahteraan Rakyat; (5) Pembangunan Wilayah; dan (6) Pembangunan Kelautan.
Pembangunan Ekonomi Kreatif pada lima tahun mendatang ditujukan untuk
memantapkan pengembangan ekonomi kreatif dengan menekankan pencapaian
daya saing kompetitif berlandaskan keunggulan sumber daya alam dan sumber
daya manusia berkualitas serta kemampuan ilmu dan teknologi yang terus
meningkat.
Memantapkan pengembangan ekonomi kreatif yang dimaksud adalah
memperkuat landasan kelembagaan untuk mewujudkan lingkungan yang kondusif
yang mengarusutamakan kreativitas dalam pembangunan dengan melibatkan seluruh
pemangku kebijakan. Landasan yang kuat akan menjadi dasar untuk mewujudkan
daya saing nasional dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan
kreativitas serta kedinamisan masyarakat untuk berinovasi, dan menciptakan solusi
atas permasalahan dan tantangan yang dihadapi dengan memanfaatkan sumber daya
lokal untuk menciptakan industri kreatif yang berdaya saing, beragam, dan
berkelanjutan.
B. Visi, Misi, dan Tujuan Pengembangan Kuliner
1. Visi pengembangan kuliner
Visi pengembangan kuliner adalah industri kuliner yang berbudaya, berdaya
saing, kreatif dan dinamis secara berkelanjutan sebagai landasan yang kuat untuk
pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia
Pada visi di atas terdapat empat kata kunci, yaitu berbudaya, berdaya saing,
kreatif, dan dinamis. Yang dimaksud dengan: (1) berbudaya adalah sebuah industri
kuliner yang memahami dan dapat menginterpretasikan nilai dan kearifan lokal,
warisan budaya, tradisi secara bijaksana; (2) berdaya saing adalah sebuah indusrtri
kuliner yang mampu berkompetisi secara adil, jujur dan menjunjung tinggi etika, serta
unggul di tingkat nasional maupun global; (3) kreatif adalah sebuah industri kuliner
yang mampu melihat peluang/kemungkinan-kemungkinan baru dan melakukan
inovasi dalam mengembangkan industri kuliner; (4) dinamis adalah sebuah industri
kuliner yang memiliki kemampuan untuk terus melakukan perbaikan (continuous
improvement).
2. Misi Pengembangan Kuliner
- Menciptakan sumber daya lokal yang berdaya saing, dinamis, dan
berkelanjutan
- Menciptakan Industri Kuliner yang berdaya saing, tumbuh, beragam
dan berkualitas
- Menciptakan lingkungan yang kondusif yang mengutamakan unsur
budaya dan kreativitas dalam pengembangan industri kuliner dengan
melibatkan seluruh pemangku kepentingan
3. Tujuan pengembangan Kuliner
Berdasarkan misi yang telah ditetapkan, maka tujuan yang ingin
dicapai adalah:
- Peningkatan sumber daya manusia kreatif bidang kuliner yang berdaya
saing dan dinamis
- Perwujudan perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan sumberdaya
alam dan sumber daya budaya bagi industri kuliner secara berkelanjutan
- Perwujudan industri kuliner yang berdaya saing, tumbuh, beragam, dan
berkualitas
- Penciptaan kelembagaan yang mendukung pengembangan industri kuliner
- Perluasan pasar di dalam dan luar negeri yang berkualitas dan
berkelanjutan
- Pembiayaan yang sesuai, mudah diakses, dan kompetitif
- Peningkatan infrastruktur dan teknologi yang dapat menunjang
pengembangan industri kuliner
C. Sasaran, dan Indikasi Strategis Pengembangan Kuliner
- Meningkatkan kuantitas dan kualitas pendidikan bidang kuliner yang
mendukung pengembangan kuliner tradisional Indonesia
- Meningkatkan kuantitas dan kualitas orang kreatif bidang kuliner tradisinal
Indonesia
- Terciptanya pusat pengetahuan sumber daya budaya mengenai kuliner
tradisional Indonesia yang akurat dan terpercaya serta dapat diakses secara
mudah dan cepat
- Terciptanya akses untuk mendapatkan bahan baku yang berciri khas lokal,
beragam dan kompetitif
- Meningkatnya wirausah kuliner tradisional kuliner Indonesia yang berdaya
saing dan dinamis
- Meningkatnya wirausaha kuliner tradisional Indonesia yang berdaya saing,
bertumbuh dan berkualitas
- Meningkatnya keragaman dan kualitas karya kuliner tradisional Indonesia
- Terciptanya regulasi yang mendukung penciptaan iklim yang kondusif bagi
pengembangan kuliner tradisional Indonesia
- Meningkatnya partisipasi aktif pemangku kepentingan dalam pengembangan
industri kuliner secara berkualitas dan berkelanjutan
- Meningkatnya apresiasi kepada orang/karya/wirausaha/usaha kuliner
tradisional Indonesia di dalam dan luar negeri
- Meningkatnya penetrasi dan diversifikasi pasar karya kuliner tradisional
Indonesia di dalam dan luar negeri
- Meningkatnya ketersediaan pembiayaan bagi industri kuliner yang
sesuai,mudah diakses dan kompetitif
- Meningkatnya infrastruktur dan teknologi yang dapat menunjang
pengembangan industri kuliner
D. Arah Kebijakan Pengembangan Kuliner
- Kebijakan penciptaan sumber daya manusia kreatif bidang kuliner yang
berdaya saing dan dinamis
- Kebijakan perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan sumberdaya alam
dan sumber daya budaya bagi industri kuliner secara berkelanjutan
- Kebijakan penciptaan industri kuliner yang berdaya saing, tumbuh, beragam,
dan berkualitas
- Kebijakan kelembagaan yang mendukung pengembangan industri kuliner
- Kebijakan perluasan pasar di dalam dan luar negeri yang berkualitas dan
berkelanjutan
- Kebijakan pembiayaan yang sesuai, mudah diakses, dan kompetitif
- Kebijakan penyediaan infrastruktur dan teknologi yang dapat menunjang
pengembangan industri kuliner
E. Strategi dan Rencana Aksi Pengembangan Kuliner
- Meningkatnya kuantitas dan kualitas pendidikan bidang kuliner yang mendukung
pengembangan kuliner tradisional Indonesia
- Meningkatnya kuantitas dan kualitas orang kreatif bidang kuliner tradisional Indonesia
- Terciptanya pusat pengetahuan sumber daya budaya mengenai kuliner tradisional Indonesia
yang akurat dan terpercaya serta dapat diakses secara mudah dan cepat
- Terciptanya akses untuk mendapatkan bahan baku yang berciri khas lokal, beragam dan
kompetitif
- Meningkatnya wirausaha kuliner tradisional kuliner Indonesia yang berdaya saing dan
- Meningkatnya usaha kuliner tradisional Indonesia yang berdaya saing, bertumbuh, dan
berkualitas
- Meningkatnya keragaman dan kualitas karya kuliner tradisional Indonesia dapat
- Terciptanya regulasi yang mendukung penciptaan iklim yang kondusif bagi pengembangan
kuliner tradisional Indonesia
- Meningkatnya partisipasi aktif pemangku kepentingan dalam pengembangan industri
kuliner secara berkualitas dan
- Meningkatnya apresiasi kepada orang/karya/wirausaha/usaha kuliner tradisional Indonesia
di dalam dan luar
- Meningkatnya penetrasi dan diversifikasi pasar karya kuliner tradisional Indonesia di dalam
dan luar negeri
- Meningkatnya ketersediaan pembiayaan bagi industri kuliner yang sesuai, mudah diakses
dan kompetitif
- Meningkatnya infrastruktur dan teknologi yang dapat menunjang pengembangan industri
kuliner

KESIMPULAN
Istilah kuliner di Indonesia dapat dikatakan baru terdengar gaungnya sejak
tahun 2005 berkat “Wisata Kuliner”, sebuah tayangan televisi yang meliput tempat-
tempat makan unik atau sudah memiliki reputasi yang baik. Sejak saat itu, kata
kuliner menjadi semakin populer dan menjadi sesuatu yang identik dengan mencicipi
berbagai jenis makanan dan minuman.
Definisi culinary arts yang digunakan di Washington DC adalah:
“The subset of the food preparation industry that includes all cooking-related
activities in which aesthetics and creative content are critical elements. The segment
includes only locally-owned food establishments, full-service restaurants, gourmet
food shops, and caterers”.
Atau dalam bahasa Indonesia:
“Bagian dari industri penyedia makanan yang kegiatannya meliputi semua hal
yang terkait dengan aktivitas memasak yang mana estetika dan kreativitas merupakan
elemen yang sangat penting. Segmen industri ini meliputi restoran lokal, restoran
full-service, toko makanan, dan jasa boga.”
Secara lebih rinci ruang lingkup ini dibagi ke dalam empat kategori, yaitu:
a. Jasa penyedia makanan/restoran/jasa boga (caterers)
b. Toko roti (baked goods store)
c. Toko olahan gula/permen/coklat (confectonery and nut stores)
d. Toko produk makanan spesial (all other specialty foods stores)

Di tahun 1960-an dan 1970-an, perkembangan dunia kuliner Indonesia dari


sisi pendidikan mulai berkembang dengan berdirinya beberapa lembaga pendidikan
tinggi bidang kuliner. Salah satunya adalah Sekolah Tinggi Pariwisata Bandung
(STPB) yang bermula dari didirikannya Sekolah Kejuruan Perhotelan (SKP) pada
tahun 1959 di bawah naungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Pada dasarnya kekayaan potensi kuliner Indonesia ini sudah disadari sangat
berharga dan perlu dilestarikan oleh pemerintah sejak lama. Pada tahun 1967,
Departemen Pertanian menerbitkan sebuah buku masakan yang diberi judul Mustika
Rasa.

Untuk menggambarkan hubungan saling ketergantungan ini maka dibuat


sebuah peta ekosistem yang terdiri atas empat komponen utama, yaitu:
e. Rantai Nilai Kreatif (Creative Value Chain)
Rantai nilai kreatif adalah rangkaian proses penciptaan nilai kreatif. Di dalamnya
terjadi transaksi sosial, budaya, dan ekonomi yang terdiri dari proses kreasi, produksi, dan
penyajian.
f. Lingkungan Pengembangan (Nurturance Environment)
Lingkungan pengembangan adalah lingkungan yang dapat menggerakkan dan
meningkatkan kualitas proses penciptaan nilai kreatif yang meliputi pendidikan dan apresiasi.
g. Konsumen (Market)
Konsumen adalah pihak yang mengapresiasi dan mengonsumsi produk kuliner yang
dihasilkan dari rangkaian proses pada rantai nilai kreatif.
h. Pengarsipan (Archiving)
Pengarsipan adalah proses preservasi terhadap hasil kreasi kuliner yang dapat diakses
dan dimanfaatkan oleh seluruh pemangku kepentingan (orang kreatif, pemerintah, lembaga
pendidikan, pelaku bisnis, komunitas, dan intelektual) di dalam ekosistem industri kreatif
sebagai media pembelajaran dan sumber inspirasi dalam penciptaan kreasi lainnya.
Keempat komponen tersebut mempunyai peran yang berbeda dan saling berinteraksi
sehingga membentuk sebuah siklus dalam sebuah ekosistem kuliner yang dapat menghasilkan
rantai nilai kreatif secara berkelanjutan. Melalui ekosistem ini diharapkan proses penciptaan
nilai kreatif, aktivitas, output dari setiap proses, dan peran yang terlibat di dalamnya dapat
terpetakan dengan baik sehingga rencana pengembangan yang dibuat lebih sistematis dan
tepat sasaran.
Dampak ekonomi dari pengembangan subsektor kuliner dapat dilihat dari peta
industri yang menggambarkan keterkaitan dari suatu proses rantai nilai kreatif ke arah hulu
(backward linkage) dan ke arah hilir (forward linkage). Backward linkage di dalam subsektor
kuliner diantaranya adalah penyedia bahan baku, penyedia piranti makan, penyedia alat
memasak, penyedia jasa desain, penyedia jasa arsitektur, dan lainya. Forward linkage di
dalam subsektor kuliner diantaranya adalah industri tv dan radio, media cetak, industri
pariwisata, dan lainnya. Selain digunakan dalam melihat dampak ekonomi dari subsektor
kuliner, rantai nilai kreatif juga digunakan dalam mengidentifikasi model bisnis yang
umumnya terjadi di industri kuliner. Apabila ditinjau secara unit usaha, model bisnis yang
berjalan pada industri kuliner adalah berupa jasa penyedian makanan dan minuman (restoran
atau rumah makan) yang secara umum dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu independent,
chain, dan franchise.
Arahan RPJPN 2005-2025, pembangunan nasional tahap ketiga (2015-2019)
adalah ditujukan untuk lebih memantapkan pembangunan secara menyeluruh di
berbagai bidang dengan menekankan pencapaian daya saing kompetitif perekonomian
berlandaskan keunggulan sumber daya alam dan sumber daya manusia berkualitas
serta kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus meningkat.

Anda mungkin juga menyukai