Anda di halaman 1dari 2

RIJSTTAFEL

BUDAYA KULINER DI INDONESIA MASA KOLONIAL 1870-1942

Perkembangan khazanah kuliner Indonesia tidak dapat dipisahkan dari persentuhannya


dengan berbagai kebudayaan. Masyarakat berada di antara dua kondisi: mempertahankan unsur
budaya asli atau menerima unsur baru lalu menyesuaikannya ke dalam kebudayaan sendiri. Dalam
hal ini, local genius memegang peranan amat penting. Pada masa kolonial ada satu budaya yang
dikenal dengan istilah Rijtsttafel.

Rijsttafel merupakan konsep budaya makan modern pertama dalam sejarah kuliner
Indonesia yang terlahir dari proses akulturasi pribumi dan Belanda yang berkembang sejak
pertengahan abad ke 19. Rijst sendiri berarti nasi sedangkan tafel selain berarti meja juga bermakna
kias untuk hidangan. Budaya ini muncul setelah minimnya makanan eropa untuk makan sehari-hari
sehingga orang-orang Belanda di Hindia Belanda pun mulai beradaptasi dengan makanan
pribumi,sehingga lambat laun pola kebiasaan dan pola makan mereka pun turut berubah.

Faktor kondusif sangat erat kaitannya dengan pengaruh makanan pribumi terhadap
kehidupan sehari-hari orang Belanda yang hidup dalam lingkungan masyarakat pribumi, yang
menjadikan kebiasaan makan hidangan pribumi begitu melekat dan disukai dalam pola makan
sehari-hari orang-orang Belanda, selain itu faktor pendukung peran orang-orang Belanda dengan
kebudayaan mereka juga turut berperan sehingga perpaduan inilah yang membantu dalam
berkembangnya Rijsttafel.

Lama kelamaan Rijsttafel mengalami perkembangan dalam hal penyajian hidangan dan
variasi makanan,dapat dilihat dari dalam kombinasi makanan pribumi dengan tata saji Barat
sehingga makanan pribumi pun disajikan lazimnya hidangan Eropa. Seperti penggunaan peranti alat-
alat makan seperti sendok,garpu,pisau,piring, ditambah meja dan kursi padahal hingga kurun abad
ke 19 etika makan demikian sangat tidak cocok dengan kondisi makan orang pribumi karena
hidangan nasi dan makanan pribumi telah disiapkan sesuap-sesuap menggunakan tangan. Keadaan
ini menunjukkan ketimpangan budaya yang dinyatakan J. Hageman sebagai “unsur Eropa sebagai
ideal dan unsur Jawa sebagai tambahan”. Disini secara tidak langsung terkandung makna penonjolan
dan pengenalan unsur-unsur budaya Barat dalam ruang lingkup kehidupan pribumi. Seperti budaya
indis lainnya, Rijsttafel tidak lebih sebagai diskriminasi budaya yang lazim diterapkan para kolonialis
di wilayah jajahan.

Memasuki awal abad 20, Rijsttafel mengalami semacam formalisasi yang melahirkan
berbagai bentuk inovasi penyajian sehingga menunjukkan perkembangan penting dan menarik.
Selain itu pada akhir abad 19 dan memasuki abad 20 Jawa menjadi tempat pilihan para turis yang
ingin berkunjung ke Hindia Belanda karena popularitas dan keidentikan Jawa dengan nilai-nilai
kebudayaan dan keeksotisan alamnya, dan salah satu yang menjadi daya tarik bagi para turis Eropa
adalah Rijsttafel. Pada masa itu Rijsttafel telah menjadi semacam nilai jual untuk menarik para turis
berkunjung ke Jawa melalui promosi yang gencar dilakukan.
Seiring pesatnya perkembangan modernisasi di Jawa pada awal abad 20 turut serta
memajukan industri Pariwisata. Hal ini turut membawa dampak terhadap munculnya sarana wisata
seperti hotel-hotel kelas satu yang terdapat di Batavia, Buitenzorg, Bandung, Surabaya, dan
Semarang. Sebagai pemikat para turis yang berkunjung hampir sebagian besar pengelola hotel
menyediakan makan siang dengan menu dan penyajian mewah Rijsttafel. Dengan kata lain Rijsttafel
telah menjadi ikon wisata yang ditonjolkan melalui pelayanan makan formal, mewah, dan modern
dari segi pengaturan interior ruangan, cara penyajian, hingga layanan pramusaji.

Hotel Des Indes di Batavia merupakan hotel yang menjadi pionir sejak akhir abad 19 dalam
penyajian Rijsttafel dengan gaya modern, selain itu hotel yang populer dengan sajian Rijsttafel-nya
adalah Hotel Savoy Homann di Bandung. Dalam Buletin Travellers Official Information Bureau yang
diterbitkan tahu 1930, tercantum beberapa hotel yang menyajikan hidangan Eropa dan pribumi,
diantaranya Hotel Koningsplein (Batavia), Hotel Belle Vue (Buitenzorg), Grand Hotel Do Dogja dan
Hotel Toegoe (Yogyakarta), Grand Hotel Tosari (Jawa Timur), serta Hotel Nangkodjadjar (Jawa
Timur).

Keberadaan sarana perhotelan berperan begitu penting dalam mempromosikan makanan


tradisional yang dikemas dalam konsep hidangan Rijsttafel,terutama kepada para turis yang
berkunjung ke Hindia Belanda pada masa itu. Dalam aturan tata saji hidangan,menu sederhana
dengan dengan harga murah akan terasa janggal dan kurang cocok bila disajikan dengan gaya
mewah demikian pula sebaiknya. Tidak mengherankan jika para pengelola hotel selalu
memaksimalkan penyajian dengan tujuan menarik perhatian dan kepuasan para tamu. Selain itu
hidangan yang disajikan dibuat tidak monoton namun penuh ragam dan dihidangkan melalui proses
pengolahan yang baik.

Dalam perkembangan hidangan yang disajikan,apabila pada awalnya masakan pribumi lah
yang mendominasi dalam menu hidangan namun lambat laun makanan Eropa dan China turut pula
masuk sebagai variasi hidangan di samping sajian pribumi sebagai suguhan utama. Dengan demikian
tidak ada lagi batasan dalam komposisi hidangan. Artinya, Rijsttafel tidak lagi identik dengan sajian
nasi dan hidangan pribumi,tetapi mencakup juga berbagai jenis makanan baru yang dalam
perkembangannya kemudian menjadi bagian dari makanan Indonesia.

Perkembangan variasi makanan memang semakin nyata pada tahun 1930-an. Sepertinya
kaum wanita dan ibu-ibu rumah tangga pribumi mulai mengasah keterampilan untuk menguasai
pembuatan berbagai jenis makanan asing dalam menu hidangan sehari-hari. Mereka bisa banyak
belajar dari resep dalam rubrik-rubrik majalah rumah tangga dan panduan memasak yang banyak
menampilkan resep populer hidangan Eropa saat itu.

Perkembangan dan eksistensi Rijsttafel pada dasarnya mengalami perubahan penting.


Perubahan tersebut dapat dilihat dari segi komposisi hidangan yang ditandai dengan masuknya
jenis-jenis makanan baru dalam sajian pribumi. Keberadaan Rijsttafel menjadi media penting dalam
mengangkat hidangan pribumi di hadapan masyarakat asing pada saat itu.

Pengemasan dan penyajian hidangan yang baik menjadi media strategis dalam mengangkat
pamor makanan pribumi. Perpaduan unsur budaya pribumi dan Barat sebenarnya bukan hanya
menghasilkan budaya yang unik dan menarik,namun lebih dari itu juga meninggalkan konsepsi ideal
bagi industri kuliner sebagai sebuah langkah efektif mempromosikan makanan Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai