Anda di halaman 1dari 5

DAMPAK KOLONIALISME BELANDA DI INDOESIA DALAM BIDANG

BUDAYA

Disusun Oleh:
Kanaya Arfinsa Damayanti
18406241052
Email: Kanayaarfinsa.2018@student.uny.ac.id
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
Penjajahan yang dilakukan oleh bangsa Belanda selama 3,5 abad memberikan
berbagai dampak dalam kehidupan masyarakat di Indonesia. Salah satunya dalam bidang
budaya. Orang-orang Belanda yang tinggal di Indonesia membawa kebudayaan mereka
yang kemudian berakulturasi dengan budaya Indonesia terutama budaya Jawa. Akulturasi
budaya ini disebut dengan budaya indis. Dalam buku yang berjudul “Kebudayaan Indis
dari Zaman Kompeni sampai revolusi” tulisan Djoko Sukiman, kata indis berasal dari
kata Nederlandsch dan Indie yang berarti Hindia Belanda atau Indonesia pada zaman
penjajahan Belanda.1 Budaya indis berkembang di Hindia Belanda (Indonesia) sekitar
abad ke-18 dan terus berkembang hingga masa kemerdekaan bahkan masih berpengaruh
sekitar tahun 1950-an. Budaya indis merupakan percampuran dua budaya yaitu budaya
Eropa (Belanda) dan budaya pribumi (Jawa).2 Budaya indis mulanya cenderung
mengarah pada budaya Belanda. Namun, setelah banyak perkawinan antara orang
Belanda dengan pribumi yang kemudian melahirkan keturunan indo, kecenderungan
tersebut semakin berkurang.3

1
Eko Wahyu Budi. 2013. “Kebudayaan Indis, Perkawinan Budaya”.
2
Ajad Sudrajad. “Kebudayaan Indies”.
3
Anik Susanti, Sri Mastuti Purwaningsih. “Akulturasi Budaya Belanda dan Jawa: Kajian Historis pada Kasus
Kuliner Sup dan Bistik Jawa Tahun 1900-1992”. Avatar e-Journal Pendidikan Sejarah. Vol. 1, No. 3. 2013.
Hlm. 452.
Orang-orang Belanda yang datang dan menetap di Hindia Belanda menyerap
budaya pribumi (Jawa). Begitu pun orang-orang pribumi yang juga mnyerap budaya
orang-orang Belanda. Orang-orang pribumi menyerap budaya tersebut tanpa
menghilangkan budaya Jawa yang selama ini melekat pada diri mereka. Percampuran dua
budaya tersebut terjadi dalam hal pakaian, kebiasaan, makanan, bangunan dan Bahasa.4

1. Pakaian
Keadaan iklim Eropa berbeda sangat jauh dengan iklim di Hindia Belanda
sehingga gaya berpakaian orang-orang Belanda dengan orang-orang pribumi
berbeda. Orang-orang Belanda terbiasa menggunakan pakaian tebal dan berlapis
untuk melindungi tubuh mereka dari udara dingin di Belanda. Mereka juga
terbiasa menggunakan pakaian dengan bahan yang berkualitas.5 Berbeda dengan
orang-orang Belanda, masyarakat pribumi terbiasa menggunakan pakaian yang
lebih sederhana. Pakaian yang biasa digunakan adalah Rasukan Kejawen.6 Orang-
orang Belanda yang datang ke Hindia Belanda kemudian menggunakan pakaian
dengan menyesuaikan udara di Hindia Belanda yang lebih hangat. Ketika sedang
berada di rumah, mereka menggunakan pakaian dengan bahan tipis agar lebih
nyaman dan tidak panas.7
Kedatangan orang-orang Belanda di Hindia Belanda memberikan dampak
dalam kehidupan masyarakat pribumi terutama golongan kelas atas. Mereka
menjadi lebih mengenal gaya berpakaian ala Belanda. Perempuan pribumi selain
menggunakan kebaya juga mulai menggunakan dress sebagai pakaian sehari-hari.
Mereka juga mulai mengenal sepatu, renda, kerudung kepala, pakaian pesta serta
pakaian tidur. Laki-laki pribumi mulai menggunakan stelan jas ketika datang ke

4
Ibid. Hlm. 453.
5
Anna Kharisma FM. 2013. “Dampak Kedatangan Belanda terhadap Gaya BerpakaianMasyarakat Pulau
Jawa pada Abad ke-18-19”. Hlm. 14.
6
Ibid. Hlm. 18.
7
R. Achmad Sunjayadi. “Akulturasi dalam Turisme di Hindia Belanda”. Jurnal Kajian Budaya. Vol. 8, No. 1.
2018. Hlm. 13.
acara formal, pesta, saat bekerja di kantor VOC serta ketikaa sekolah. Keadaan ini
terjadi setelah VOC datang ke Pulau Jawa.8
2. Kebiasaan
Kedatangan orang-orang Belanda ke Hindia Belanda melahirkan budaya
indis dalam hal kebiasaan. Kebiasaan tersebut seperti tidur siang dan kebiasaan
mandi. Udara pada siang hari di Hindia Belanda yang panas membuat mereka
tidak melakukan kegiatan di luar rumah kembali. Setelah mereka menikmati
rijsttafel, mereka akan bersantai dan tidur siang (siesta) hingga jam 4 atau jam 6
sore. Ketika mereka bangun pada sore, mereka menyegarkan dan membersihkan
diri dengan mandi. Di wilayah tropis seperti Hindia Belanda, mandi menjadi
sebuah keharusan karena udara yang panas dan lembab membuat tubuh mudah
berkeringat. Mandi sore menjadi hal yang baru bagi orang-orang Belanda
mengingat Eropa yang memiliki 4 musim yang tidak memungkinkan untuk mandi
sore hari.9
3. Makanan
Makanan merupakan salah satu hal yang juga mendapat pengaruh dari
budaya Belanda. Makanan yang cukup terkeal pada saat itu adalah rijsttafel.
Istilah rijsttafel pada awalnya digunakan untuk menyebutkan tradisi makan nasi
dalam kehidupan orang Belanda. rijsttafel berasal dari kata rijst yang berarti nasi
dan tafel yang berarti meja atau hidangan. 10 Rijsttafel merupakan sajian ketika
makan siang dan biasanya disajikan pada hari minggu. Rjsttafel berupa
daagschen pot (menu sehari-hari) yang biasanya terdiri dari nasi sebagai
hoofdschotel (hidangan utama), Kerrie (kari), sajor (sayur) serta tujuh jenis
masakan daging dan sambal dimana makanan khas pribumi mendominasi.
Menurut Anna Forbes pada tahun 1887, hidangan rijsttafel terdiri dari kari, ikan
dan ungags yang dimasak dengan cara digoreng atau dikukus. Kemudian
adadaging sapi, perkedel jagung, omelet, telur goreng, acar dan beberapa sayuran.
8
Anna Kharisma FM., Loc. Cit.
9
R Achmad Sunjaya., Op. Cit. hlm. 14.
10
Pipit Anggraeni. 2015. “Menu Populer Hindia Belanda (1901-1942): Kajian Pengaruh Budaya Eropa
Terhadap Kuliner Indonesia”. hlm. 92-93.
Setelah hidangan rijsttafel, disajikan hidangan ala Eropa seperti daging bistik dan
kentang goreng. Rijsttafel diperkirakan pertama kali ada pada sekitar tahun 1860-
an. Pada awalnya, hidangan ini hanya dimasak di rumah saja, namun kemudian
disajikan di restoran dan hotel.11 Selain itu, terdapat juga kebiasaan baru di Hindia
Belanda dalam hal kuliner, yaitu kebiasaan meminum minuman dingin dari es.
Kebiasaan ini dimulai ketika adanya prosedur pembuatan amoniak yang
kemudain diimpor ke Jawa.12
4. Bangunan
Arsitektur yang ada pada zaman Hindia Belanda sekitar abad ke-19
banyak mengadopsi dari gaya bangunan Eropa. Bangunan bergaya neoklasik
dengan kolam yang berada di sekitar teras dan anak tangga menuju teras.
Sebagian bangunan juga menambahkan arsitektur Cina dan Jawa lokal. Bangunan
di Hindia Belanda dibangun dengan menyesuaikan dengan iklim yang lembab dan
panas. Bangunan dibuat tinggi (sekitar 4-8m) dan dibuat banyak jendela sebagai
ventilasi agar udara mudah masuk. Pada bagian depan dibuat teras yang cukup
luas sebagai tempat bersantai.13
5. Bahasa
Pengaruh budaya Belanda juga terdapat dalam Bahasa yang sering digunakan di
Indonesia. Bahasa serapan dari Belanda yang sering digunakan di Indonesia
seperti kantor yang berasal dari kata kantoor, buku dari kata boek, partji yang
kemudian menjadi kata partai dan masih banyak lagi.14

11
R Achmad Sunjayadi. Op., Cit. Hlm. 16.
12
Pipit Anggraeni. Op., Cit. Hlm. 94.
13
Ajad Sudrajad. “Kebudayaan Indies”.
14
Kumparan. 2017. “Kata-Kata Serapan Peninggalan Belanda dalam Bahasa Indonesia”.
DAFTAR PUSTAKA

Anggraeni, Pipit. 2015. “Menu Populer Hindia Belanda (1901-1942): Kajian Pengaruh
Budaya Eropa Terhadap Kuliner Indonesia”.
FM, Anna Kharisma. 2013. “Dampak Kedatangan Belanda terhadap Gaya
BerpakaianMasyarakat Pulau Jawa pada Abad ke-18-19”. Diakses melalui
lib.ui.ac.id/file?file=digital/20350925-MK-Anna%20Kharisma.pdf diakses pada tanggal
01 Februari 2020 pukul 10.38 WIB.
Kumparan. 2017. “Kata-Kata Serapan Peninggalan Belanda dalam Bahasa Indonesia”.
Diakses melalui https://kumparan.com/Potongan%20Nostalgia%20/kata-kata-serapan-
peninggalan-belanda-dalam-bahasa-indonesia diakses pada tanggal 01 Februari 2019
pukul 21.48 WIB.
Sudrajad, Ajad. “Kebudayaan Indies”. Diakses melalui
http://staffnew.uny.ac.id/upload/132319840/pendidikan/kuliah-psb-14.pdf diakses pada
tanggal 31 Januari 2020 pukul 20.34 WIB.
Sunjayadi, R Achmad. 2018. . “Akulturasi dalam Turisme di Hindia Belanda”. Jurnal
Kajian Budaya. Vol. 8, No. 1. 2018.
Susanti, Anik, Sri Mastuti Purwaningsih. 2013. “Akulturasi Budaya Belanda dan Jawa:
Kajian Historis pada Kasus Kuliner Sup dan Bistik Jawa Tahun 1900-1992”. Avatar e-
Journal Pendidikan Sejarah. Vol. 1, No. 3. 2013. Diakses melalui
https://jurnalmahasiswa.unesa.ac.id/index.php/avatara/article/view/3415/6069 diakses
pada tanggal 01 Februari 2020 pukul 09.47 WIB.
Wahyu Budi, Eko. 2013. “Kebudayaan Indis, Perkawinan Budaya”. Diakses melalui
https://narotama.ac.id/download_berita/03%20Januari%202013.pdf diakses ada tanggal
30 Januari 2020 pukul 20.37 WIB.

Anda mungkin juga menyukai