Anda di halaman 1dari 23

Akulurasi Budaya Belanda Terhadap Masakan Nusantara

Najwa Duta Almadina

2019030901

Program Studi Manajamen Kuliner

Politeknik Pariwisata Batam

2019
Kata Pengantar

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang
telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada penulis sehingga penulis telah
menyelesaikan makalah ini yang berjudul "Akulturasi Budaya Asing Terhadap
Masakan Nusantara". Alhamdulillah tepat pada waktunya dengan mata pelajaran
dasar Bahasa Indonesia. Makalah ini berisikan makalah penulisan yang bergerak
di bidang Kuliner dan Budaya. Oleh karena itu, penulis berharap semoga makalah
ini bisa menambah pengetahuan kepada para pembaca.

Atas dukungan moral dan materi yang diberikan dalam penyusunan


makalah ini, maka penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua yang
telah membantu penulis dalam menyelesaikan makalah ini dari awal sampai
sekarang. Penulis menyadari bahwa makalah ini belumlah sempurna, kritik dan
saran yang membangun dari pembaca sangat berguna untuk penulis dalam
menyusun makalah selanjutnya.

Batam, Desember 2019

Penulis
Daftar Isi

Kata Pengantar………………………………………………………….... i
Daftar Isi………………………………………………………………...… ii
BAB 1 Pendahuluan…………………………………………………....... 1
A. Latar Belakang Masalah…………………………………………….1
B. Rumusan Masalah………………………………………………......3
C. Tujuan Penulisan……………………………………………………3
D. Manfaat Penulisan…………………………………………………..3

BAB 2 Landasan Teori……………………………………………………...


A. Multikulturalisme……………………………………………………
B. Deskripsi Konseptual dan Teoritis…………………………………..
BAB 3 Pembahasan…………………………………………………………
A. Proses Akulturasi Budaya Belanda – Jawa…………………………
B. Pengaruh Belanda dalam Masakan Jawa……………………………
C. Pengaruh Kuliner Belanda pada-
Variasi Masakan Sup, Bistik dan Lapis Legit……………………....
BAB 4 Penutup……………………………………………………………..
A. Kesimpulan…………………………………………………………
B. Saran………………………………………………………………..
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masakan Indonesia memiliki sejarah panjang meskipun
kebanyakan dari mereka tidak terdokumentasi dengan baik, dan sangat
bergantung pada praktek lokal dan tradisi lisan. Contoh yang jarang
terjadi, ditunjukkan oleh masakan Jawa yang agak memiliki tradisi kuliner
yang terdokumentasi dengan baik. Keragaman berkisar dari bakar batu
kuno atau ubi bakar dan babi hutan yang dipraktekkan oleh suku Papua di
Indonesia bagian timur, hingga masakan perpaduan Indonesia
kontemporer yang canggih. Keragaman etnis kepulauan Indonesia
memberikan kombinasi yang eklektik - pencampuran budaya lokal Jawa,
Sunda, Bali, Minang, Melayu dan tradisi masakan asli lainnya, dengan
berabad-abad bernilai kontak asing dengan pedagang India, migran Cina,
dan kolonial Belanda.Beras telah menjadi kebutuhan pokok bagi
masyarakat Indonesia, karena relief abad ke-9 Borobudur dan Prambanan
menggambarkan pertanian padi di Jawa kuno. Hidangan kuno disebutkan
di banyak prasasti Jawa dan sejarawan telah berhasil mengartikan sebagian
dari mereka. Prasasti-prasasti dari Medang Mataram sekitar abad 8 sampai
10 menyebutkan beberapa hidangan kuno, antara lain sate (daging sate
kerbau cincang, mirip dengan sate lilit Bali hari ini), masakan madura
(daging kerbau direbus dengan gula aren manis), dan dundu puyengan
(belut dibumbui dengan kemangi lemon). Juga berbagai masakan (daging
panggang) kbo (kerbau), kijang / knas (rusa) atau wḍus (kambing).
Hidangan sayuran kuno lainnya termasuk rumwah-rumwah (lalap),
dudutan (sayuran mentah) dan tetis.

Beberapa makanan disebutkan dalam beberapa prasasti Jawa yang


berasal dari abad ke-10 hingga abad ke-15. Beberapa hidangan ini
diidentifikasi dengan makanan Jawa hari ini. Di antaranya adalah pecel,
pindang, rarawwan (rawon), rurujak (rujak), kurupuk (krupuk), manisan
seperti wajik dan dodol, juga minuman seperti dawet
Dalam naskah Sunda abad ke-15 Sanghyang Siksa Kandang
Karesian, disebutkan tentang cita rasa makanan umum pada waktu itu
termasuk; lawana (asin), kaduka (pedas dan pedas), tritka (pahit), amba
(asam), kasaya (gurih), dan madura (manis) Pada abad ke 13 hingga 15,
masyarakat pesisir Indonesia mulai menyerap pengaruh kuliner dari India
dan Timur Tengah, sebagai bukti dengan pengadopsian resep yang mirip
kari di wilayah tersebut. Hal ini sangat penting di kota-kota pesisir Aceh,
tanah Minangkabau di Sumatera Barat, dan pelabuhan-pelabuhan Melayu
di Sumatra dan Semenanjung Malaya. Selanjutnya, tradisi kuliner tersebut
menampilkan pengaruh kuliner khas India, seperti kare (kari), roti, dan
gulai. Ini juga bergandengan tangan dengan pengadopsian keyakinan
Islam, sehingga mendorong hukum makanan muslim yang halal yang
menghilangkan babi. Di sisi lain, penduduk pribumi yang tinggal di
pedalaman — seperti Batak dan Dayak, mempertahankan tradisi kuliner
Austronesia yang lebih tua, yang menggabungkan daging hewan liar, babi
dan darah dalam makanan sehari-hari mereka. Menurut laporan abad ke-17
Rijklof van Goens, duta besar VOC, teknik pengolahan daging (domba,
kambing, dan kerbau) selama perayaan di Jawa, adalah dengan
memanggang dan menggoreng daging yang dibumbui. Namun, tidak
seperti orang Eropa, orang Jawa hanya menggunakan minyak kelapa
sebagai pengganti mentega.

Imigran Cina telah menetap di kepulauan Indonesia pada awal


periode Majapahit sekitar abad ke-15, dan dipercepat selama periode
kolonial Belanda. Pemukim Cina memperkenalkan teknik penggorengan
yang membutuhkan penggunaan wajan Cina dan sedikit minyak goreng.
Mereka juga memperkenalkan beberapa bahan makanan Cina — termasuk
kecap, mie dan teknik pemrosesan kedelai untuk membuat tahu.
Selanjutnya, pengolahan kedelai menyebabkan kemungkinan penemuan
kebetulan tempe (kedelai fermentasi). Referensi yang paling awal dikenal
untuk tempe muncul pada tahun 1815 dalam naskah Jawa Serat Centhini.
Kekuatan rempah-rempah selama usia eksplorasi telah membawa
pedagang Eropa ke pantai Indonesia. Selanjutnya, kolonialisme Eropa
didirikan di Hindia Belanda abad ke-19. Pengaruh masakan Eropa —
terutama Portugis dan Belanda, telah memperkenalkan teknik-teknik
Eropa, terutama dalam pembuatan roti, kue kering, dan kue-kue.Tradisi
kuliner Indonesia telah terkena berbagai pengaruh. Mengenai metode
teknik pengolahan makanan, setiap daerah telah mengembangkan
kekhususan yang pada akhirnya mengarah pada lokalisasi rasa regional.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian makanan nusantara ?
2. Apa pengertian akulturasi budaya?
3. Bagaimana proses terjadinya makanan nusantara?
4. Bagaimana terjadinya akulturasi budaya?
5. Apa saja hasil dari akulturasi budaya?

C. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui penyebaran


dan manfaat akulturasi budaya terhadap masakan nusantara.

D. Manfaat Penulisan

Manfaat penulisan makalah ini antara lain ;

1. Memperluas cakrawala berfikir kita mengenai masalah kenapa terjadi


akulturasi budaya
2. Sebagai media informasi dalam dunia pendidikan terutama manajemen
kuliner.

BAB II
LANDASAN TEORI

A. Multikulturalisme
1. Pengertian Multikulturalisme

Pada hakikatnya, multikulturalisme tumbuh di dalam masyarakat yang


memiliki sifat terbuka. Multikulturalisme diyakini sebagai pandangan
terhadap realitas ragam kehidupan manusia yang menyangkut nilai-nilai,
sistem, budaya, bahkan politik yang dianut dalam suatu masyarakat.
Multikulturalisme berkembang pula seiring dengan perubahan dalam
masyarakat.Berbicara mengenai multikulturalisme rasanya kurang
sempurna jika tidak menyinggung konsep-konsep budaya karena
multikulturalisme merupakan salah satu bentuk budaya. Menurut pakar
antropologi, Prof. Dr. Koentjoroningrat, kebudayaan adalah keseluruhan
sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam kehidupan
masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.

Dengan begitu, dapat dikatakan bahwa apa pun hasil karya manusia
dapat disebut sebagai bagian dari kebudayaan. Misalnya, ketika
menghadiri wisuda kelulusan sekolah, sebagian besar perempuan
Indonesia akan memakai baju kebaya, sedangkan pihak laki-lakimemakai
jas bewarna hitam. Oleh karena itu, kebaya dan jas bisa dikatakan sebagai
budaya dalam bentuk karya manusia.

Seiring berjalannya waktu, suatu budaya mengalami perubahan karena


adanya kontak dengan budaya lain. Hal ini akan memengaruhi kondisi
budaya tersebut. Selain itu, kita mengenal beberapa konsep yang penting
terkait dengan budaya, yakni sebagai berikut;
a) Difusi kebudayaan
Difusi kebudayaan adalah suatu proses penyebaran unsur-unsur
budaya dalam masyarakat yang diperantarai kelompok yang satu
ke kelompok yang lain. Ditinjau dari ilmu antropologi, terdapat
tujuh unsur budaya yang meliputi bahasa, sistem pengetahuan,
sistem kemasyarakatan atau organisasi sosial, sistem peralatan
hidup dan teknologi, sistem religi, dan kesenian.

b) Akulturasi Budaya
Istilah akulturasi, atau acculturation atau culture contact,
mempunyaiberbagai arti di antara para sarjana antropologi, tetapi
semua sepaham bahwa konsep itu mengenai proses sosial yang
timbul bila suatu kelompok manusiadengan suatu kebudayaan
tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatukebudayaan
asing dengan sedemikian rupa, sehingga unsur-unsurkebudayaan
asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan
sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu
sendiri (Koentjaraningrat, 2010: 89).
Proses sosial yang terjadi bila manusia dalam suatu masyarakat
dengan suatu kebudayaan tertentu dipengaruhi oleh unsur-unsur
dari suatu kebudayaan asing yang sedemikian berbeda sifatnya,
sehingga unsur-unsur kebudayaan asing tadi lambat-laun
diakomodasikan dan integrasikan kemdalam kebudayaan itu
sendiri tanpa kehilangan kepribadian dari kebudayaan sendiri,
disebut penelitian mengenai gejala akulturasi.

Selain diatas, akulturasi adalah perpaduan dua budaya atau lebih


yang menghasilkan budaya baru, tetapi tidak menghilangkan unsur dari
budaya lama. Proses akulturasi membutuhkan jangka waktu yang tidak
sebentar. Hal ini dipengaruhi beberapa hal, di antaranya mudah tidaknya
unsur asing yang diterima dan unsur kebudayaan yang sukar diganti.
Misalnya, kebanyakan orang Indonesia akan mengatakan belum makan
jika belum makan nasi. Selain itu, kondisi individu atau kelompok yang
cepat atau sukar dalam menerima perubahan turut memengaruhi akulturasi
budaya.Indonesia memang terkenal dengan keragamannya. Ragam budaya
ini dapat tercermin dalam segi apa pun. Salah satu yang menjadi bahasan
kali ini adalah kuliner nusantara. Dikutip dari laman Entrepreneur (22
Agustus 2013), tercatat ada 5.300 makanan khas asli Indonesia. Kondisi
ini tentunya sangat membanggakan. Namun, ternyata banyak pula
makanan di Indonesia yang merupakan hasil akulturasi dan asimilasi dari
berbagai budaya, baik budaya dalam negeri maupun luar negeri.

B. Deskripsi Konseptual dan Teoritis


1. Konsep Akulturasi Budaya Kontjaraningrat

Penelitian ini, menggunakan konsep dan teori yang dijadikan


sebagai alat analisis konsep kebudayaan dan teori identitas menjadipilihan
untuk di analisis. Kebudayaan menurut Koentjaraningrat (2010) adalah
sebuah sistem atau gagasan dan rasa, tindakan serta karya yangdihasilkan
manusia dalam kehidupan bermasyarakat, yang dijadikan miliknya dengan
belajar. Kebudayaan yang berkembang menimbulkan salah satu proses
yang dijalani individu sebagai respon terhadapperubahan konteks budaya.
Fenomena yang merupakan hasil ketikasuatu kelompok individu yang
memiliki kebudayaan yang berbedadatang dan secara berkesinambungan
melakukan kontak dari perjumapaan pertama, yang kemudian mengalami
perubahan dalampola budaya asli salah satu atau kedua kelompok tersebut.
Akulturasi merupakan perubahan budaya yang diawali
denganbergabungnya dua atau lebih yang berdiri sendiri. Perubahan
akulturasi mungkin merupakan konsekuensi langsung dari perubahan
budaya;mungkin disebabkan oleh faktor non-budaya, seperti ekologi atau
modifikasi demografi yang disebabkan oleh budaya yang
bertimpangtindih; mungkin juga terhambat, seperti penyesuaian internal
terhadappenerimaan sifat-sifat atau pola asing; atau bentuk reaksi adaptasi
darimodel hidup secara tradisional. Dari definisi diatas kita dapat
mengidentifikasi beberapa elemenkunci seperti (Kurniawan 2012: 12) :
Dibutuhkan kontak atau interaksi antar budaya secara berkesinambungan.
Suatu kelompok jika melakukan suatu akulturasi tentu akan melakukan
kontak atau interasiantar budaya untuk terbentuk suatu pola baru dalam
bentuk kebudayaan. Dengan adanya dua aspek sebelumnya, kita dapat
membedakan antara proses dan tahap; adanya aktivitas yang dinamis
selama dan setelah kontak, dan adanya hasil secara jangka panjang dari
proses yang relatif stabil; hasil akhirnya mungkin mencakup tidak hanya
perubahan-perubahan pada fenomena yang ada, tetapi juga padaf enomena
baru yang dihasilkan oleh proses interaksi budaya. Berdasarkan beberapa
definisi akulturasi diatas maka disimpulkan bahwa akulturasi merupakan
suatu perpaduan dua kebudayaan yang menyatu menjadi satu tanpa
menghilangkan unsur kebudayaan asli. Kebudayaan yang menyebabkan
manusia terus melakukan aktivitasnya dan memunculkan adanya suatu
hasil karyacipta misalnya budaya Jepang – mengacu pada pola-pola
perilaku yang ditularkan secara sosial yang merupakan kekhususan
kelompok social tertentu. Budaya sebagaimana istilah ini digunakan dalam
antropologi, tentunya tidaklah berarti pengembangan di bidang seni dan
keanggunan sosial. Budaya lebih diartikan sebagai himpunan pengalaman
yangd ipelajari untuk bisa mengasah kemampuan akal atau budinya serta
mengembangkan berbagai macam sistem tindakan demi keperluan
hidupnya sehingga menjadi makhluk yang paling berkuasa di muka bumi
ini.

Menurut Koentjaraningrat (2010) kebudayaan memiliki tiga wujud


yang secara simbolis dinyatakan dalam empat lingkaran konsentris, yaitu:
kebudayaan sebagai artifacts, kebudayaan sebagaisistem tingkah laku &
tindakan yang berpola, dan kebudayaan sebagai sistem gagasan. Penulis
akan mengkaitkan kebudayaan sebagai artifacts atau bentuk benda-benda
fisik, penelitian yang membahas jajanan hasil dari kebudayaan manusia.
Akulturasi Koentjaraningrat (2010) mengatakan bahwa akulturasi
merupakan istilah yang dalam antropologi mempunyai beberapa makna
(Acculturation, atau Culture Contact). Konsep inisemua menyangkut
mengenai proses yang timbul apabila sekelompok manusia dengan suatu
kebudayaan tertentu dihadapkan pada unsur-unsur dari suatu kebuayaan
asing sehingga unsur-unsur itu lambat launditerima dan diolah kedalam
kebudayaan sendiri, tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian
kebudayaan itu. Konsep Akulturasi digunakan dalam penelitian penulis
karena akan membahas akulturasi yang terjadiantara beberapa etnis di
Indonesia
BAB III

PEMBAHASAN

A. Proses Akulturasi Budaya Belanda – Jawa.

Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu


Buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari kata buddhi (akal), yang
dapat diartikan sebagai hal – hal yang berkaitan dengan budi dan akal
manusia 3. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut cultur, yang berasal
dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Dapat juga
diartikan sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata Cultur juga kadang
diterjemahkan sebagai “kultur” dalam bahasa Indonesia.

Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh, budaya bersifat


kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan
perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi
banyak kegiatan sosial manusia. Budaya adalah suatu cara hidup yang
berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan
diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur
yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa,
perkakas atau peralatan rumah tangga, pakaian, makanan, bangunan, dan
karya seni. Makanan, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak
terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung
menganggapnya diwariskan secara genetis atau turun - temurun.

Orang – orang pribumi (Jawa) berusaha berkomunikasi dengan


orang-orang Eropa (Belanda) yang berbeda budaya dan menyesuaikan
perbedaan-perbedaannya untuk membuktikan bahwa budaya itu dapat
dipelajari. Penyesuaian diri orang Pribumi (Jawa) terhadap budaya orang
Eropa (Belanda) dapat dilihat hasil kebudayaan mereka yang hingga
sampai saat ini dapat kita nikmati. Salah satu bukti hasil budaya adopsi
dari kedua budaya tersebut terdapat pada menu masakan orang pribumi
(Jawa) yang mendapat pengaruh dengan masakan orang Eropa (Belanda)
yakni Sup dan Bistik Jawa. Adopsi menu masakan tersebut membuktikan
bahwa budaya itu dapat dipelajari. Sejak awal kehadiran bangsa Eropa
(Belanda) telah terjadi kontak budaya yang kemudian menghasilkan
perpaduan budaya. Kebudayaan campuran yang didukung oleh segolongan
masyarakat Hindia – Belanda disebut kebudayaan Indis. Percampuran
kebudayaan tersebut meliputi segala unsure kebudayaan. Budaya Eropa
(Belanda) dan budaya pribumi (Jawa) yang masing – masing didukung
oleh etnik berbeda dan mempunyai struktur sosial yang berbeda pula,
akibat pertemuan budaya tersebut, kebudayaan bangsa pribumi (Jawa)
diperkaya dengan kebudayaan barat. Lambat laun pengaruh tersebut
semakin besar dan mempengaruhi berbagai bidang termasuk dalam hal
masakan.

Masuknya pengaruh budaya Belanda ke Indonesia melalui berbagai


bidang salah satu diantaranya adalah lifestyle atau gaya hidup yang
meliputi cara memasak, cara makan, pendidikan modern. Berikut
dijabarkan beberapa budaya Eropa (Belanda) yang berpengaruh pada
bangsa pribumi (Jawa), sehingga terjadi kontak budaya antara Eropa
(Belanda) dan pribumi. Salah satu diantaranya adalah memasak dan
berpendidikan. Penyerapan budaya antara budaya orang – orang Eropa
(Belanda) dengan budaya orang – orang pribumi (Jawa) memiliki unsur
yang saling mengambil dan mengisi. Proses penyerapan budaya di Jawa
diawali oleh orang – orang Eropa (Belanda) yang menduduki wilayah
koloninya di Jawa dengan membawa pola peradaban budaya Eropa –
Belanda. Budaya pribumi (Jawa) dan budaya Eropa (Belanda) memiliki
hubungan yang erat, saling tergantung dan saling menghidupi. Adanya
pembauran budaya antara budaya Eropa (Belanda) dengan budaya pribumi
(Jawa) dapat menjadikan status seseorang atau golongan untuk merubah
gaya hidup. Gaya hidup, baik gaya hidup orang Eropa (Belanda) maupun
orang pribumi (Jawa) yang mendapat tuntutan antara lain seperti, cara
makan, berpakaian, bahasa dan lain – lain.
Selama beberapa tahun bahkan ratusan tahun proses kolonisasi
berlangsung di wilayah Nusantara ini, tidak menutup kemungkina terjadi
persilangan antara budaya, yakni budaya Eropa (Belanda) dan budaya
pribumi (Jawa) yang ada di wilayah Nusantara. Fenomema persilangan
budaya pribumi dengan budaya Eropa dapat diamati di masa Kolonial.
Persilangan Budaya antara budaya pribumi (Jawa) dengan Budaya Eropa
(Belanda) dapat dilihat pada masakan khususnya masakan Sup dan Bistik
Jawa yang menunjukkan adanya persilangan budaya antara budaya
masakan lokal (Jawa) dengan masakan Eropa. Unsur budaya masakan
lokal (Jawa) atau setempat umumnya diwakili oleh masakan sayur bening
(sayur asem atau sayur mener) yang biasa dihidangkan dan menjadi menu
masyarakat Jawa, wujud masakan Eropa (Belanda) masakan sayur sup
dengan berbagai macam variasi.

B. Pengaruh Belanda dalam Masakan Jawa.

Orang pribumi (Jawa) dikenal tidak banyak menggunakan aturan


atau sederhana dalam persoalan makan. Mereka makan sangat puas jika
setelah makan meminum kopi hitam pekat, menghisap rokok berbahan
nipah (daun jagung), dan mengunyah sirih 11. Orang Pribumi tidak
mengonsumsi minuman keras, tidak seperti orang – orang Eropa yang
dikenal berjiwa alkoholik 12. Selain tradisi, nilai religi juga turut
melandasi budaya makan orang pribumi. Hal yang patut disinggung
mengenai nilai religi ini berkaitan dengan persoalan pantangan makan.
Pantangan disini meliputi apa yang dilarang untuk dimakan sebagai
konsekuensi dari keyakinan yang dianut. Daging babi merupakan salah
satu jenis bahan makanan yang dipantang untuk dimakan (haram). Tradisi
makan di Pulau Jawa yang berkaitan dengan aspek religi lainnya adalah
slametan. Tradisi ini mengandung nilai kebersamaan dan kerukunan
masyarakat, juga befungsi sebagai upacara keagamaan yang berperan
sebagai mediator antara alam nyata dan gaib. Tradisi ini merupakan
perpaduan antara tradisi Hindu dan Islam yang mengakar bukan hanya
dalam ruang lingkup kehidupan masyarakat pribumi namun selanjutnya
juga menular dalam kehidupan orang – orang Belanda misalnya terlihat
pada tindakan mereka memberkai rumah yang baru dibangun atau anak
yang baru lahir.

Menurut pendapat Sartono, perbedaaan mendasar antara masyarakat


biasa dengan golongan priyayi dalam kebiasaan makan terletak pada
banyak sedikitnya jumlah sajian serta variasinya, juga dalam aturan
makan. Misalnya, ada keharusan orangtua makan terlebih dahulu, baru
kemudian anak – anak dan penghuni rumah lainnya yang berelaku dalam
kehidupan keluarga priyayi. Tradisi yang berlaku di kalangan orang –
orang Jawa memang sangat kontras jika dibandingkan kebiasaan makan
orang Eropa, khususnya orang Belanda. Makanan Belanda sendiri
didominasi dengan bahan – bahan makanan yang berasam dan mentega
beraroma khas. Berbeda dengan makanan Jawa, makanan di Jawa lebih
ditunjukkan dengan nilai – nilai artistic, sungguh lezat, dan mengundang
selera. Penggunaan aneka rempah dalam hidangan menunjukkan begitu
tingginya seni mengolah makanan. Kebiasaan makan di Hindia Belanda
sendiri tentu saja kontras dengan kebiasaan makan di Belanda, terutama
dalam hal hidangan sehari–hari yang dikonsumsi. Kehidupan bersama para
Nyai membuat para pria Eropa (Belanda) terbiasa dengan makanan dan
masakan pribumi (Jawa), meski tentunya mereka membutuhkan waktu
untuk menyesuaikan dengan lidah dan cita rasa makanan dan masakan
Jawa. Kebiasaan makan nasi dalam kehidupan sehari –hari rumah tangga
Belanda seakan menjadi hal yang tidak bisa dipisahkan. Bahkan keturunan
totok (asli) dan Indo pun turut terbawa ke dalam siklus kehidupan
orangtua mereka yang lebih condong kepada kehidupan pribumi (Jawa)
atau lebih dikenal dengan sebutan rijsttafel yang kemudian menjadi
penanda status sosial orang Belanda.

Pada lingkungan orang – orang pribumi (Jawa) makan sehari tiga


kali, begitu juga dengan keluarga Eropa (Belanda) biasa makan tiga kali
sehari. Kebiasaan makan di lingkungan orang Eropa (Belanda) masih
sederhana, menu makan orang pribumi (Jawa) yakni nasi dengan
tambahan ikan bakar dan sayur lodeh. Berbeda dengan orang pribumi,
kebiasaan makan besar yang menjadi rutinitas keluarga Eropa (Belanda)
yang biasanya makan nasi atau dikenal dengan istilah budaya rijsttafel
dilakukan pada waktu makan siang dengan pilihan hidangan relatif banyak
menu. Penekanan budaya makan yang eksklusif dengan berbagai hidangan
menu da-lam satu meja makan biasa disebut dengan istilah rijsttafel oleh
kalangan keluarga Eropa, khususnya bangsa Belanda. Istilah rijst-tafel
pertama kali digunakan orang Belanda untuk menunjukkan kebiasaan
makan nasi dari generasi ke generasi yang akhirnya menjadi budaya
sendiri dalam ruang lingkup kehidupan orang-orang Belanda. Rijst sendiri
berarti nasi atau beras yang sudah di masak, sementara tafel selain
bermakna meja juga bermakna kias untuk hidangan. Istilah rijsttafel ini
mulai digunakan dalam keluarga Belanda kurang lebih sekitar masa 1870-
an (Rahman, 2011:37-38).

Penyajian hidangan rijsttafel pada awalnya selalu melibatkan banyak


pelayan yang mengedarkan berjenis-jenis hidangan. Beberapa menu khas
Belanda yang cocok dihidangkan dalam sajian rijsttafel antara lain aneka
sup sayur, lidah sapi, kroket ken-tang, asparagus rebus, lobster dengan
may-ones, salad, puding, buah-buahan, roti, ane-ka olahan jamur, acar,
daging sapi, daging unggas, ayam, kentang, biskuit dengan keju, anggur
merah, kopi, teh, dan es ceri.

Hidangan Jawa yang identik akan penggunaan bahan rempah –


rempah, tentunya menimbulkan rasa eksotis dan disukai oleh orang –
orang Eropa (Belanda). Sikap orang –orang pribumi yang terbuka dalam
melakukan interaksi budaya dengan bangsa Eropa telah banyak
menentukan bentuk – bentuk akulturasi, seperti tampak dalam tata cara
makan dan pengolahannya. Pengaruh dalam kebiasaan makan di
lingkungan para elite pribumi (priyayi) tampak dari penggunaan peranti
makan Eropa dan menu hidangan campuran Jawa serta Eropa, seperti
beafstuk, resoules, dan soep yang begitu mendominasi. Kebiasaan makan
keluarga priyayi (Jawa) dan kebiasaan makan keluarga Eropa (Belanda)
saling mempengaruhi. Keluarga priyayi (Jawa) dalam pola makan
menghidangkan menu makan mereka mengadopsi masakan Belanda,
begitu juga sebaliknya dengan keluaga Eropa (Belanda) dalam menu
makan kesehariannya menghidangkan makanan masakan jawa. Meskipun
variasi hidangan bertambah, hidangan pribumi tetap mendominasi menu
hidangan yang menggugah selera. Salah satu kelebihan hidangan pribumi
menurut pandangan orang Eropa mungkin adalah cita rasa yang mengugah
selera. Hidangan pribumi dibuat dari campuran bahan rempah – rempah
yang diolah halus sehingga menimbulkan cita rasa manis dan juga pedas
pada setiap hidangannya 24. Resep masakan pribumi yang diadopsi oleh
perempuan – perempuan Eropa selain resep hidangan yang dihidangkan
sebagai menu utama juga masih banyak resep – resep masakan yang
berupa resep masakan kue – kue. Pada tahun 1930-an di Hindia Belanda
muncul tempat kursus untuk para ibu rumah tangga dan para juru masak
yang bekerja di lingkup rumah tangga keluarga Eropa (Belanda). Pada
kurun waktu tersebut juga berbagai buku resep masakan yang memuat
tentang masakan – masakan pribumi, baik berupa hidangan utama, resep
kue - kue, resep minuman, bahkan juga ada resep manisan yang semuanya
sudah diadopsi dengan resep masakan Eropa (Belanda). Buku resep
masakan yang muncul pada waktu itu satunya adalah De kookgids voor
huisvrow.

C. Pengaruh Kuliner Belanda pada Variasi Masakan Sup, Bistik dan


Lapis Legit.
1. Sup (Soep)
Sup dalam istilah Belanda ditulis dengan kata “Soep”, merupakan
salah satu masakan yang mendapatkan pengaruh dengan masakan Jawa.
Orang – orang Jawa mengenal Sup dengan nama “Sop”, hal ini
dikarenakan penyesuaian dengan lidah orang Jawa yang lebih mudah
melafalkan Sup dengan kata “Sop”. Sup dikalangan orang Belanda biasa
disajikan panas sebagai hidangan pembuka, terutama sebagai penghangat
tubuh saat musim dingin. Akan tetapi, tinggal di Jawa yang beriklim tropis
membuat kebanyakan orang Belanda menikmati sup dengan
membiarkannya dingin sebagai pendamping nasi. Orang pribumi
kemudian mengadopsi sup sebagai salah satu sayur yang dapat dimakan
dengan nasi. Menu makan sehari - hari orang Jawa menyajikan sayur
sebagai lauk pendamping makan nasi. Kebiasaan makan orang Jawa
makan nasi bersamaan dengan urap – urap yang komposisinya terdiri dari
berbagai jenis sayur yang dibumbui dengan parutan kelapa muda. Pada
hidangan Jawa mengenal berbagai jenis sayur untuk pendamping makan
nasi. Ada beberapa macam jenis Sup. Sup merupakan menu masakan yang
selalu ada dalam setiap ada acara makan. Sup dijadikan sebagai sajian
masakan atau makanan pembuka dalam penyajian penjamuan makan. Pada
abad ke-19 sudah ada berbagai macam jenis sup yang diperkenalkan oleh
orang – orang Belanda dalam penjamuan makan. Terdapat berbagai
masakan Sup yang merupakan salah satu menu makan pembuka oleh
orang – orang Eropa (Belanda), antara lain:

a) Sup brenebon

Sup brenebon merupakan sup berbahan kacang merah yang


cukup populer di daerah-daerah timur Indonesia. Menurut Jeff
Keasberry, pakar kuliner Hindia Belanda, makanan ini diadaptasi
dari bruine bonensoep asal Belanda. Namun jika sup brenebon
berkuah bening, bruine bonensoep lebih menyerupai sup kental
yang kuahnya dicampur dengan krim. Masakan ini berasal dari
pengaruh masakan Belanda yang diadopsi oleh masyarakat
Indonesia bagian timur. Nama "brenebon" merupakan pengucapan
lokal Manado yang berasal dari Bahasa Belanda, yaitu bruine
bonen; bruine berarti "warna coklat", sementara bonen berarti
"kacang", maka bruine bonen berarti "kacang merah". Biasanya
bahan daging untuk brenebon dicuci dan direndam semalaman.
Lalu daging direbus hingga empuk. Bila daging, kaki, atau tetelan
sudah empuk, kemudian dimasukkanlah bumbu penyedap rasa
seperti bawang merah, bawang putih, garam, gula pasir, merica,
pala, kadang cengkih. Terakhir biasanya akan dimasukkan pula
buncis, seledri dan daun bawang yang sudah diiris-iris. Setelah itu
siap disajikan hangat-hangat dengan nasi putih, dan biasanya
disantap dengan sambal tumis. Dalam versi Belanda dan Minahasa
asli, biasanya daging yang dipakai adalah daging atau kaki babi.
Karena hal itulah biasanya sup ini bertekstur lebih kental dan
mengkilap. Akan tetapi, masakan sup kacang merah juga lazim
dimasak sebagai sajian masakan rumah tangga sehari-hari. Versi
yang halal biasanya mengganti kaldu daging atau kaki babi dengan
tetelan sapi atau bagian daging sapi yang bertulang

2. Bistik.

Bistik dari kata Belanda yakni “Biefstuk”, atau juga dapat


dikatakan dengan istilah bahasa Inggris dengan kata “Steak”,
merupakan jenis olahan daging yang biasa dimakan orang – orang
Belanda bersama kentang, polong, dan wortel. Di Indonesia makanan
ini dikenal dengan nama “Bistik”. Perubahan nama dari “Biefstuk”
menjadi “Bistik” dikarenakan factor genealogis lidah orang – orang
Jawa yang susah untuk menyebut nama “Bistik” dengan sebutan
“biestuk”.

Bistik (Biefstukjes) dalam bentuk aslinya sesuai dengan resep


masak orang – orang Eropa (Belanda) di Jawa memiliki karakter
tersendiri. Bistik yang berbahan utama dengan menggunakan daging
dalam mengolahnya tidaklah begitu rumit dan sangat sederhana. Cara
mengolah daging sapi untuk bistik hanya dengan dibubuhi mentega
kemudian ditambahi garam kemudian dipanggang. Kesederhanaan
orang – orang Eropa (Belanda) dalam mengolah daging sapi tersebut
lambat laun ditiru dan diadopsi oleh orang – orang Jawa (pribumi)
khususnya mereka yang bekerja sebagai pelayan rumah tangga, koki,
atau jongos yang bekerja di lingkup keluarga Eropa (Belanda). Cara
pengolahan bistik sangat sederhana. Daging bistik yang sudah
dibumbui dipanggang pada wajan panas yang sudah diolesi dengan
sedikit mentega cokelat (met weinig bruin heete boter), panggang
selama satu menit sampai kedua sisi berwarna kecoklatan. Kemudian
daging yang sudah matang letakkan diatas piring. Bistik ini
dihidangkan didampingi dengan mengunakan siraman saus. Untuk
bahan saus cukup dengan mendidihkan 2 sendok makan mentega
cokelat dengan api kecil. Mentega coklat yang sudah panas kemudian
dituangkan pada daging.

Jika terjadi akulturasi terhadap budaya Indonesia, bistik akan


dipanggil “semur”. Meskipun bercitarasa lokal, ternyata sejarah semur
bisa ditelusuri sampai ke kuliner Belanda. Menurut The Javanese,
istilah semur berasal dari bahasa Belanda “smoor” yang berarti
rebusan. Di Belanda sendiri smoor adalah daging yang direbus
bersama tomat dan bawang dalam waktu lama. Di Indonesia, smoor
berkembang dari sekadar rebusan daging sapi dengan tomat dan
bawang menjadi masakan kaya bumbu dengan berbagai bahan dasar
alternatif. Di Groot Nieuw Oost-Indisch Volledig Kookboek, buku
resep tertua yang diterbitkan pada masa Hindia Belanda saja
setidaknya ada 6 variasi resep semur, yaitu Smoor Ajam I, Ajam Smoor
II, Smoor Ajam III, Smoor Bandjar van Kip, Smoor Bantam van Kip,
dan Solosche Smoor van Kip. Lambat laun, semur dengan citarasa
lokal pun mulai bermunculan dan menjadi kuliner khas beberapa
daerah. Antara lain semur Jengkol yang sangat populer di kalangan
warga Betawi.

3. Lapis Legit

Lapis legit atau spekuk (bahasa Belanda: Spekkoek) adalah salah


satu jenis kue basah tradisional dari Indonesia. Kue ini pertama kali
dikembangkan pada masa kolonial Belanda di Indonesia yang
terinspirasi dari kue lapis Eropa. Lapis legit dibuat dari berbagai
macam rempah-rempah yang memang sangat disukai oleh orang-orang
Eropa, di antaranya adalah kapulaga, kayu manis, cengkih, bunga pala,
dan adas manis sehingga rasanya sangat khas kaya akan aroma
rempah. Kue berbahan dasar kuning telur, tepung terigu, gula, dan
mentega/margarin ini memiliki cita rasa yang manis dengan tekstur
yang lembut namun kokoh. Adonan kue dipanggang dalam oven
secara bertahap hingga membentuk lapisan-lapisan yang umumnya
berjumlah 18 lapisan atau lebih. Karena banyaknya lapisan pada lapis
legit, kue ini dikenal juga dengan sebutan kue seribu lapis.

Di Indonesia kue ini sangat populer. Lapis legit biasanya disajikan


pada acara-acara tertentu dan hari-hari raya, seperti Imlek, Lebaran,
dan Natal. Kue ini juga disajikan sebagai hadiah pada perayaan-
perayaan lokal, seperti hari pernikahan dan hari ulang tahun. Di
Belanda, irisan kue ini biasanya disajikan sebagai kudapan atau
hidangan pencuci mulut dalam jamuan rijsttafel. Dalam bahasa
Belanda, kata spekkoek secara harfiah berarti kue daging babi. Dinamai
kue daging babi karena lapisan-lapisan yang terbentuk pada kue ini
mirip seperti lemak babi. Nama kue ini dalam bahasa Indonesia adalah
lapis legit di mana kata legit berarti manis.

Lapis legit berkembang selama masa kolonial Belanda di


Indonesia. Awal mulanya, kue bernama asli spekkoek ini dibawa oleh
orang-orang Belanda ke Indonesia. Kue tersebut kemudian mendapat
pengaruh dari penduduk lokal. Orang-orang Indonesia
memodifikasinya dengan menggunakan bahan-bahan lokal termasuk
menambahkan rempah-rempah yang disesuaikan dengan lidah mereka.
Seiring perkembangannya, kue ini lebih dikenal dengan nama lapis
legit karena kue ini memiliki banyak lapisan dengan rasa yang sangat
manis. Kue ini berbahan dasar kuning telur, mentega, tepung terigu,
dan gula. Kuning telur yang digunakan umumnya diambil dari 30 butir
atau lebih telur utuh. Loyang yang digunakan biasanya berbentuk
persegi dengan ukuran 18 cm x 18 cm atau 20 cm x 20 cm. Oven yang
digunakan adalah oven gas atau oven listrik. Satu lapisan lapis legit
dibuat dengan menuangkan sedikit adonan ke dalam loyang, kemudian
loyang tersebut dimasukkan ke dalam oven dan dipanggang dengan
pusat api yang berada di atas hingga keemasan. Loyang kemudian
dikeluarkan dan proses diulang kembali hingga adonan telah habis. Di
Indonesia, ada banyak jenis-jenis lapis legit, seperti maksuba, lapis
legit pontianak, lapis legit bangka, lapis legit lampung, dan legit
gulung dengan variasi rasa keju cheddar, buah prun, pandan, atau
cokelat. Rasa pandan dan cokelat pada lapis legit biasanya didapatkan
dengan mencampurkan pasta kue. Beberapa lapis legit ada yang dibuat
tanpa menambahkan rempah-rempah dan tepung terigu. Beberapa lapis
legit juga ada yang dibuat dengan menambahkan banyak mentega dan
susu.
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan
Kolonialisme Belanda yang ada di Jawa pada abad ke 19
memunculkan kebudayaan baru yakni kebudayan Indis, salah satunya
terdapat dalam resep masakan Jawa. Meski budaya Jawa khususnya resep
masakan Jawa mendapat pengaruh dan pergeseran budaya namun tidak
membuahkan perubahan yang sangat tajam. Perubahan dan pengaruh
budaya Jawa dari budaya asing selalu disaring dan disesuaikan dengan
kepribadian orang – orang Jawa yakni dengan menggunakan local genius.
Proses akulturasi budaya Belanda – Jawa pada kuliner sup dan bistik
terjadi karena adanya adaptasi masyarakat belanda yang menetap di Jawa
dan begitu pula sebaliknya yang saling menyesuaikan.
Masakan Jawa kebanyakan menggunakan bahan lokal yang mudah
didapatkan. Kalaupun masakan tersebut berasal dari luar biasanya
mengalami adaptasi dengan menggunakan bahan lokal. Memasak dengan
menggunakan bahan lokal dapat mensuplai keberadaan bahan baku
maupun bahan pendukung tidak bergantung pada negara lain. Menu
masakan Sup dan Bistik Jawa yang ada beraneka rasa di Jawa merupakan
hasil dari adopsi resep masakan Eropa (Belanda). Sup, Bistik dan Lapis
Legit Jawa merupakan hasil akulturasi budaya, yakni perpaduan resep
Eropa dan resep masakan Jawa. Meskipun hasil perpaduan dari dua
budaya, yakni paduan resep masakan Eropa (Belanda) dengan resep
masakan Jawa, namun Sup, Bistik dan Lapis Legit Jawa yang ada di Jawa
ini memiliki ciri khas sendiri dan berbeda dengan ala Eropa (Belanda).

Anda mungkin juga menyukai