Anda di halaman 1dari 6

PEMBAHARUAN POLITIK HUKUM AGRARIA DAN PENYELESAIAN

SENGKETA PERTANAHAN DI INDONESIA

Dr. Boedi Djatmiko HA,SH.Mhum

1. LATAR BELAKANG

Salah satu problematik yang di hadapi pemerintah dewasa ini muncul "kembali "
persoalan pertanahan/ agraria dalam wujud sengketa pertanahan yang terakumulasi
dalam tindakan anarkis, seperti penjarahan dan pendudukan tanah – tanah
perkebunan, perhutani, Hak Usaha Pertambangan dan Hak Pengelolaan Hutan yang
terjadi di Jawa, Sumatera, kalimantan, sulawesi dan Papua yang dalam tataran hukum
sangat bertentangan. Sebaliknya dalam wacana sosiologis-empiris perilaku rakyat ini
dicermati sebagai manifestasi dari sikap protes ketidak adilan yang melampaui batas
kesadaran mereka ( Gunawan Wiradi, 2000: hal 89) tujuannya menuntut kembalikan
hak-hak yang dirampas karena saluran hukum tersumbat. Dan tampaknya sengketa /
konflik pertanahan kedepan justru mungkin akan meningkat intensitasnya, ditambah
upaya penanganan penyelesaiannya memberikan kesan tidak komprehensif, tidak
tuntas dan sifatnya partial atau sektoral. 

Fenomena diatas untuk menjawab bahwa persoalan permasalahan keagrarian /


pertanahan dalam tataran politik hukum agraria di Indonesia adalah masalah yang
bersifat multi dimensional, yang merupakan masalah nasional yang krusial ( Sediono
MP. Tjondronegoro, 1999:3 ). Didalamnya terkait berbagai aspek juridis, sosial,
ekonomi, dan keamanan. klaim dari warga setempat baik di jawa diluar Jawa atas
tanah perkebunan, kehutanan, Hak Pengelolaan Hutan dan usaha pertambangan yang
mengatas namakan tanah leluhur ( hak adat/ ulayat) menunjukkan keruwetan
permasalahan yang ada ( Maria Rita Ruwiati, 2000)

Tanah adalah elemen terpenting dan modal negara yang dipergunakan untuk
mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran seluruh rakyat, sebab dalam konteks
negara Indonesia yang agraris, tanah merupakan faktor utama sumber penghidupan
dan penghidupannya mayoritas rakyat " Petani" untuk itu harus diperdayakan agar
tujuan kemakmuran rakyat tercapai. Petani merupakan Tolok ukur keberhasilan dan
tingkat kesejahteraan rakyat Indonesia. Pemberdayaan Rakyat dalam konsepsi politik
hukum agraria ini tampak dengan jelas dalam Undang – Undang No. 5 tahun 1960
tentang Dasar Pokok-Pokok Agraria atau yang lebih dikenal Undang-Undang Pokok
Agraria ( UUPA ). Program-program Landreform adalah salah satu aktualisasi dari
perombakan struktur pemilikan dan penguasaan tanah ( Budi Harsono, 1996 : hal 287-
288). Dengan kata lain UUPA merupakan instrumen hukum untuk mewujudkan struktur
sosial yang lebih adil yang menghasilkan kemakmuran dan keadilan sosial ( Nur Fauzi
dkk, 2000 : hal XIX ).

Sebuah hipotesa Perubahan atau pergeseran politik berpengaruh pada perubahan


hukum, karena politik hukum pada hakekatnya merupakan artikulasi perkembangan
aspirasi masyarakat. Aspirasi dan tuntutannya merupakan basis materiil dari politik
hukum ( Margarito Kamis, 2000 : 5 ) akan tetapi bisa juga disebabkan oleh karena
kebutuhan dari suatu kekuasaan. Perubahan / Pergeseran politik hukum agraria
menjadi siginifikan terlihat dari pranata-pranata yang dikeluarkan dan konflik yang
muncul. Undang-Undang Pokok Agraria ( UUPA ) sebagai perwujudan dari Ideologi
kerakyatan yang bersifat ( neo) populistis (Endang Suhendar dan Ifdhal Kasim, 1996:
hal 17) bila dicermati maka konflik yang ada / timbul mempunyai sifat horisontal, antara
rakyat dengan rakyat. Dalam wacana paradigma baru bersifat kapitalistis maka konflik
yang timbul bersifat vertikal, terjadi antara rakyat " petani" berhadapan dengan pemilik
modal dalam negeri atau asing yang beraliansi strategis dan taktis dengan penguasa
atau rakyat berhadapan langsung dengan pemerintah. 

Distorsi ketidak kesepamahaman yang komprehensip dalam interpretasi konsepsi politik


hukum agraria dan tujuannya dapat dilihat dari Undang-undang No. 1 tahun 1967
tentang penanaman Modal asing, Undang-Undang No. 11 tahun 1967 tentang
pengusahaan pertambangan dan Undang- Undang No. 5 tahun 1967 tentang
Kehutanan. Kondisi semacam ini terimplikasi pada penanganan permasalahan yang
muncul tidak tertangani secara komprehensip hanya bersifat parsial atau sektoral.
Bagaimana penyelesaian tanah diperkotaan, persoalan tanah terlantar yang dikuasai
pengembang ( Developer), disisi lain bagaimana dengan hutan yang belum dieksploitasi
oleh pengusaha hutan dan tanah yang diklaim masyarakat adat dan ulayat. 

Undang-Undang No. 5 tahun 1960 merupakan produk politik hukum Agraria nasional
yang lahir sarat dengan wacana historikal dan penempati posisi yang trategis dalam
mewujudkan kesejahteraan, keadilan dan kesejahteraan rakyat dalam bingkai negara
kesatuan Indonesia. Pasal- pasal dalam UUPA tampak jelas merupakan aktualisasi
konsepsi filsafat – religius dari pasal 33 ayat 3 UUD'45 dimana Bumi, air, dan kekayaan
alam yang terkandung didalamnya merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa untuk
bangsa Indonesia, yang dipergunakan bagi sebesar-besarnya untuk kesejahteraan dan
kemakmuran rakyat Indonesia. dalam konteks inilah UUPA merupakan payung bagi
seluruh perundangan yang terkait dengan pengaturan di bidang keagrarian Nasional.
Memang UUPA dimaksudkan sebagai landasan seluruh program-program baru
perundangan Agraria dan untuk menyelaraskan situasi Agraria dan falsafah Indonesia
modern ( Karl J. Pelzer, 1991:62).
Wacana yang menarik saat ini terjadinya polemik konsep menguasai Negara sentralistik
dan pendelegasian wewenang dalam pengaturan keagrariaan dalam rangka Otonomi
Daerah. Akibat adanya perbedaan pentafsiran, pemahaman dan kepentingan
memunculkan arogansi sektoral, diperparah adanya benturan kontruksi hukum antara
kedua produk hukum tersebut. Tanah identik dengan komoditi ekonomi yang
menjanjikan sebagai sumber pemasukan keuangan daerah sekaligus merupakan
ancaman konflik horisontal dan vertikal bahkan mengakibatkan disintegrasi bangsa jika
tidak dikelola secara hati-hati. Dan sekarang sudah terjadi. Sebagai ilustrasi menarik
bagaimana jadinya seandainya kabupaten Kerawang mengubah tanah pertanian
menjadi Industri, maka dapat dibayangkan Indonesia akan menjadi negara pengimport
beras terbesar didunia ( Lutfi I. Nasution, Wakil Kepala BPN dalam seminar di Batu
Malang tanggal 21 mei 2001). 

Berbagai persoalan itulah memunculkan pertanyaan tentang eksistensi UUPA. Ada


sementara yang berpendapat UUPA perlu diamandir / revisi atau reformulasi ulang,
karena sudah tidak bisa perespon perkembangan saat ini. Sebaliknya ada pula yang
berpendapat masih responsif, justru persoalannya terletak pada kebijakan politik hukum
yang dikeluarkan sebagai pelaksana UUPA yang menimbulkan masalah.

2. RUMUSAN PERMASALAHAN

Atas dasar latar belakang keadaan tersebut maka dalam studi ini penulis ingin
mengadakan penelitian dengan perumusan permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah konsepsi dan tujuan politik hukum agraria Indonesia yang


terimplementasi dalam Undang No. 5 tahun 1960 dan produk hukum peraturan
perundangan yang mengatur keagrarian Nasional kita ?.
2. Bagaimanakah bentuk dan cara penyelesaian sengketa pertanahan yang timbul
sebagai akibat dari pelaksanaan politik hukum agraria ?.
3. Dengan banyak terjadinya sengketa pertanahan di Indonesia, apakah produk
hukum agraria perlu diperbaharui karena sudah tidak memenuhi dinamika masyarakat
saat ini ?. 

1. TUJUAN PENELITIAN.

Dari rumusan permasalahan diatas tujuan yang ingin dicapai dalam studi penelitian ini
diharapkan adalah :
1. Bertujuan untuk memperoleh gambaran yang utuh tentang perkembangan politik
hukum agraria yang ada di Indonesia yang terimplementasi dalam berbagai kebijakan
politik dan produk hukum yang dikeluarkan pemerintah. 
2. Untuk memperoleh gambaran dan data konflik-konflik agraria yang timbul
sebagai akibat dari pelaksanaan politik hukum agraria yang tertuang dalam berbagai
produk hukum dan cara penyelesaiannya.
3. Untuk mendapatkan fakta-fakta dan data perlu tidaknya pembaharuan produk
hukum agraria nasional. 

3. MANFAAT PENELITIAN.     

    Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi kepentingan teoritis
maupun praktis dan dapat dijadikan bahan masukan atau informasi lanjutan dari
penelitian terdahulu tentang Politik Hukum Agraria Indonesia. disamping itu hasil
penelitian ini diharapkan dapat dipakai sebagai bahan kajian dalam pengambilan
kebijakan pemerintah yang bersifat prepentif maupun represif yang berkaitan dengan
penanganan permasalahan / konflik – konflik agraria yang timbul. 

TINJAUAN KEPUSTAKAAN.

Tinjauan kepustakaan yang dipergunakan penulis dalam penelitian ini berdasarkan


kerangka dasar teori hukum murni dari Hans Kelsen dimana hukum dikonsepsikan
sebagai kaedah atau norma yang tersusun secara Hirarkhis dimana puncaknya disebut
sebagai " Grundnorm " ( kaedah dasar ). Kaedah dasar itu sendiri intinya bukan
merupakan kaedah hukum positif akan tetapi merupakan hasil pemikiran juridis
( Surjono Sukanto, 1986: 127). Adapun tata susunan hirarkhis kaedah hukum secara
umum mulai dari kaedah hukum Individu, abstrak dan akhirnya Konstitusi ( UUD ) akan
tetapi bagaimana pun faktor politis, sosioogis dan filosofis mempunyai pengaruh
terbentuknya kaedah / norma hukum.

Selanjutnya studi tentang politik hukum agraria ini berangkat dari kerangka pemikiran
dikatakan hukum merupakan produk politik yang memandang hukum sebagai
formalitas atau kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan
saling bersaing ( Moh. Mahfud, MD :1998 ; hal 7 ). Dalam beberapa literatur ilmu
pengetahuan tentang politik hukum ini dimasukkan dalam salah satu obyek studi ilmu
hukum ( Satjipto Rahardjo : 1982 : hal 331 ) dan didalam sistim ajaran tentang hukum
yang lazim disebut sebagai disiplin hukum cakupanya adalah ilmu hukum, filasat hukum
maupun politik hukum yang masing-masing dengan ruang lingkup tertentu.
Pemanfaatan penggabungan ilmu hukum dengan filsafat hukum adalah politik Hukum
( Surjono Sukanto dan Sri Mamudji: 1994: hal 5). Dalam konteks ini Politik hukum
berhubungan dengan pembentukan hukum ( Rechtsvorming ) dan penemuan hukum
( Rechtsvinding).

Terdapat beberapa difinisi politik hukum, antara lain seperti yang disampaikan oleh
Abdul Hakim G. Nusantara bahwa Politik Hukum adalah kebijakan hukum ( Legal Policy)
yang hendak diterapkan atau dilaksanakan secara Nasional oleh suatu pemerintahan
Negara tertentu ( Abdurrahman, 1989 : 24 ) yang meliputi: pertama, pembangunan
hukum yang berintikan pembuatan dan pembaruan terhadap materi-materi hukum agar
sesuai dengan kebutuhan; kedua, pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada
termasuk penegasan fungsi lembaga dan ketiga pembinaan para penegak hukum
( Moh. Mahfud MD, 1998:9). Berdasarkan cakupan tersebut maka penulis secara
ringkas memberikan pengertian dengan tanpa mengurangi substansinya memberikan
batasan difinisi Politik hukum agraria adalah Kebijakan pemerintah/ hukum ( Legal
Policy ) yang akan dan yang telah dilaksanakan oleh pemerintah yang tidak hanya
dilihat dari sudut formal (produk-produk hukum) melainkan juga latar belakang dan
proses pembuatannya, dimana politik hukum agraria di Indonesia dapat diketahui dari
UUD'45 dan GBHN termasuk kebijakan – kebijakan umum yang dikeluarkan
pemerintahan yang legitimate. Sedangkan kebijakan yang dikeluarkan dapat
menimbulkan dampak antara lain konflik agraria.

Pengertian agraria yang penulis pergunakan untuk memberikan cakupan pengertian


yang lebih luas dari pada pertanahan yang meliputi permukaan Bumi ( tanah ) dan
perut bumi beserta kekayaan yang ada di dalamnya. Sehingga cakupan dalam studi dari
poltik hukum agraria akan lebih luas dan mendalam dibandingkan dengan hanya
pertanahan.

1. METODE PENELITIAN.

Dalam studi penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian normatif-historis


melalui pendekatan kualitatif dengan jalan pengamatan dan studi kasus. Tujuannya
penelitian melalui metode penelitian Normatif ( Legal research) guna dapat menemukan
asas dan dasar filsafat hukum positif atau penemuan hukum positif ( Legal positif ) dan
peraturan pelaksana ( Empirical – Regulations ) sekaligus studi historis melalui
penelusuran latar belakang dan kebijakan politik yang mendasari terbentuknya produk
hukum. Untuk memperoleh hasil yang maksimum maka penelitian ini melalui
pendekatan kualitatif dengan jalan pengamatan gejala-gejala yang ada dan studi kasus,
untuk memperoleh gambaran hasil penelitian yang mendalam dan lengkap dengan
corak holistik dan memnyajikan informasi yang lebih terfocus. 
Adapun bahan dasar yang dipergunakan dibangun melalui penelusuran data
kepustakaan bidang hukum yang dikelompokan dalam sumber bahan primer seperti
peraturan perundangan , bahan sekunder seperti buku, artikel dan karya ilmiah,
sedangkan bahan tertier seperti kamus, almanak maupun buku-buku pegangan dipakai
sebagai bahan rujukan untuk menunjang bahan primer dan sekunder. Bahan-bahan ini
selajutnya dianalisa dan dideskripsikan guna mendapatkan hasil yang diharapkan.

Anda mungkin juga menyukai