Disusun Oleh :
Diva Intan Febrianti
No. Absen 10
X AKL 1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Berbicara mengenai fatwa, yang mana sasaran akhir dari fatwa keagamaan
ini adalah tidak lain agar masyarakat muslim mengetahui secara persis duduk
persoalan yang sebenarnya. Maka dengan emikian, Indonesia sebagai negara yang
mayoritas masyarakatnya merupakan masyarakat muslim memiliki Lembaga Komisi
Fatwa Hukum MUI (KFHMUI).
Majelis Ulama Indonesia (MUI) sejak didirikan hingga kini telah banyak
mengeluarkan fatwa dalam berbagai jenis. Keberbagaian tersebut dilatar belakangi
ole beragamnya permasalahan yang muncul dan pertanyaan dari masyarakat. Dari
hasil kajian yang dilakukan, dapat dikatakan bahwa Mui dalam menyelesaikan
permasalahan-permasalahan yang muncul telah melakukan kegiatan ijtihad.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana pandangan islam terhadap pandemic Covid-19 ini ?
2. Bagaimana implementasi dari fatwa MUI terkait penyelenggaraan ibadah
ditengah wabah virus Covid-19 ?
C. TUJUAN
1. Untuk mendeskripsikan bagaimana pandangan Islam terhadap pandemic
Covid-19
2. Untuk mengetahui dan menganalisis ibadah apa yang dapat kita lakukan
ditengah pandemic
BAB II
PEMBAHASAN
FATWA
Tentang
Ketentuan Hukum
1. Setiap orang wajib melakukan ikhtiar menjaga kesehatan dan menjauhi setiap hal
yang diyakini dapat menyebabkannya terpapar penyakit, karena hal itu merupakan
bagian dari menjaga tujuan pokok beragama (al-Dharuriyat al-Khams).
2. Orang yang telah terpapar virus Corona, wajib menjaga dan mengisolasi diri agar
tidak terjadi penularan kepada orang lain. Baginya shalat Jumat dapat diganti
dengan shalat zuhur di tempat kediaman, karena shalat jumat merupakan ibadah
wajib yang melibatkan banyak orang sehingga berpeluang terjadinya penularan virus
secara massal. Baginya haram melakukan aktifitas ibadah sunnah yang membuka
peluang terjadinya penularan, seperti jamaah shalat lima waktu/ rawatib, shalat
Tarawih dan Ied di masjid atau tempat umum lainnya, serta menghadiri pengajian
umum dan tabligh akbar.
Orang yang sehat dan yang belum diketahui atau diyakini tidak terpapar COVID-19,
harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Dalam hal ia berada di suatu kawasan yang potensi penularannya tinggi atau
sangat tinggi berdasarkan ketetapan pihak yang berwenang maka ia boleh
meninggalkan salat Jumat dan menggantikannya dengan shalat zuhur di tempat
kediaman, serta meninggalkan jamaah shalat lima waktu/rawatib, Tarawih, dan Ied
di masjid atau tempat umum lainnya.
8. Umat Islam agar semakin mendekatkan diri kepada Allah dengan memperbanyak
ibadah, taubat, istighfar, dzikir, membaca Qunut Nazilah di setiap shalat fardhu,
memperbanyak shalawat, memperbanyak sedekah, dan senantiasa berdoa kepada
Allah SWT agar diberikan perlindungan dan keselamatan dari musibah dan
marabahaya (doa daf’u al-bala’), khususnya dari wabah COVID-19.
Ketentuan Penutup
1. Fatwa ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di
kemudian hari ternyata dibutuhkan perbaikan, akan diperbaiki dan disempurnakan
sebagaimana mestinya.
Dalam tulisan Arab pada abad keempat belas dan setelahnya, seseorang
berulang kali menemukan pepatah, “Setiap tha’un adalah waba’, tetapi tidak setiap
waba’ adalah tha’un”, dan bahwa ini perlu ditekankan sebegitu seringnya sehingga
menunjukkan adanya kebingungan yang cukup besar pada saat itu. Ketika para
penulis dari empat abad pertama Islam menyebut waba’ dan tha’un, mereka
memiliki pemikiran umum bahwa waba’ adalah wabah penyakit, sementara tha’un
adalah sebuah penyakit yang spesifik. Memang ada kaitan yang erat di antara
keduanya, tetapi perbedaannya juga cukup jelas. Sebagian para ulama menyebutkan
istilah penyakit Covid-19 ini sebagai tha’un yaitu wabah yang mengakibatkan
penduduk sakit dan berisiko menular. Tetapi, yang benar bahwa waba’ melibatkan
suatu kondisi penyakit yang mempengaruhi sebagian besar populasi pada satu
wilayah tertentu, berbeda dengan daerah lain. Ia berbeda dari penyakit biasa dalam
hal prevalensi dan dalam hal lain; di mana, dalam waba’, hanya satu jenis penyakit
yang diderita oleh banyak orang, berbeda dengan kondisi orang yang sakit yang
mengalami berbagai jenis penyakit. Setiap tha’un adalah waba’, tetapi tidak setiap
waba’ adalah tha’un”. Atas kajian konseptual ini, Covid 19 dapat dipahami sebagai
waba’.
PENUTUP
A. SIMPULAN
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa fatwa MUI Nomor 14 Tahun
2020 Tentang Penyelenggaran Ibadah dalam Situasi Terjadi Wabah Covid-19
merupakan salah satu solusi bagi masyarakat dalam beribadah pada masa covid-19.
Meskipun, respon masyarakat terhadap fatwa tersebut beragam, banyak sebagian
masyarakat yang mematuhi fatwa tersebut, dan ada juga masyarakat yang
melanggarnya. Pembatasan dalam shalat berjamaah dan kegiatan-kegiatan
keagamaan lainnya semestinya dipahami sebagai dimensi hukum lain yang sesuai
dan dianjurkan oleh ajaran agama Islam.
https://nasional.kompas.com/read/2020/03/17/05150011/mui-rilis-fatwa-terkait-
ibadah-saat-wabah-corona-ini-isi-lengkapnya?page=all
https://kabar24.bisnis.com/read/20200319/15/1215355/fatwa-lengkap-mui-terkait-
pelaksanaan-ibadah-saat-wabah-virus-corona-covid-19
http://digilib.uin-suka.ac.id/2484/1/BAB%20I%2C%20V.pdf
https://www.uii.ac.id/bagaimana-islam-memandang-pandemi-covid-19/
http://digilib.uinsgd.ac.id/30772/1/