Isaa
Isaa
NIM : 204101070014
BAB VI
1
Abduddin Nata, Akhlak Tasawuf (Jakarta: Rajawali Press, 2003),17.
Perkembangan tasawuf dalam Islam telah mengalami beberapa
fase,yaitu fase asketisme yang tumbuh pada abad pertama dan kedua
hijriyah. Sikap asketisme ini banyak dipandang sebagai pengantar
kemunculan tasawuf. Pada fase ini, terdapat individu-individu dari
kalangan muslim yang lebih memusatkan dirinya pada ibadah. Mereka
menjalankan konsepsi asketis dalam kehidupan, yaitu tidak mementingkan
makanan, pakaian, maupun tempat tinggal. Mereka lebih banyak beramal
untuk hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan akhirat, yang menyebabkan
mereka lebih memusatkan diri pada jalur kehidupan dan tingkah laku
yang asketis. Tokoh yang sangat populer dari kalangan mereka adalah Hasan
aI-Bashri (w. 110 H) dan Rabi’ah al- Adawiyah (w. 185 H) yang dijuluki
sebagai zahid2.
2
Rosihan Anwar dan Mukhtar Solihin, //rna Tasawuf (Bandung: CV.Pustaka Setia,
2000), 49-50.
3
Rosihan Anwar dan Mukhtar Solihin, llmu Tasawuf , 50.
Kaum salaf tersebut melaksanakan amalan-amalan tasawuf
dengan menampilkan akhlak atau moral yang terpuji, dengan maksud
memahami kandungan batiniah ajaran Islam yang mereka nilai banyak
mengandung muatan anjuran untuk berakhlak terpuji. Kondisi ini mulai
berkembang di tengah kehidupan lahiriah yang sangat formal, namun
tidak diterima sepenuhnya oleh mereka yang mendambakan konsistensi
pengamalan ajaran Islam hingga aspek terdalam. Oleh karena itu, ketika
mereka menyaksikan ketidak beresan perilaku disekitarnya, mereka
menanamkan kembali akhlak mulia. Pada masa inilah tasawuf identik dengan
akhlak.
4
Asmaran As., Pengantar Studi Tasawuf (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), 66.
tasawuf akhlaki.5
6
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada Jakarta, 2009), 18.
7
Rivay Siregar, Tasawuf dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada,1999), 96.
dikembangkan tasawuf Sunni lebih transparan, sehingga tidak kerap
bergelut dengan terma-terma syathatat. Walaupun ada tema yang mirip
syathahat, itu di anggapnya merupakan pengalaman pribadi dan mereka
tida k menyebarkannya kepada orang Iain. Pengalaman yang ditemukan itu
mereka anggap pula sebagai sebuah karamah atau keajaiban yang mereka
temui. Sejalan dengan ini, Ibn Khaldun sebagaimana dikutip At-Taftazani,
memuji para pengikut Al-Qusyairi yang beraliran Sunni, karena dalam
aspek ini mereka memang meneladani para sahabat. Pada diri sahabat dan
tokoh angkatan salaf telah banyak terjadi kekeramatan seperti itu.
8
Muzakkir, Studi Tasawuf (Medan: Ciptapustaka Media Perintis, 2009), 33-34.
9
M. Jamil, Cakrawala Tasawuf (Cipayung Ciputat: Gaung Persada Press, 2004), 36-37.
10
Dan demi jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya). maka Allah mengilhamkan kepada
jiwa itu Jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang
menyucikan jiwa itu, dan sesung- guhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (QS. 91: 7-
10).
bisa mengendalikan nafsunya dikatakan Allah sebagai orang yang
menuhankan hawa nafsunya (QS. 45: 23),11 dan menyimpang dari kebenaran (QS. 4:
135).12
11
Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa naf- sunya sebagai
tuhannya, dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu- Nya dan Allah telah mengunci
mati pendengaran dan hatinya dan meletak- kan tutupan atas penglihatannya? Maka
siapakah yang akan mem -berinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka
mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?" (QS. 45:23).
12
Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang be- nar-benar penegak
keadilan, menjadi saksi karena Allah biar pun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan
kaum kerabatmu. Jika ia kaya atau pun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya.
Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan
jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka se- sungguhnya
Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” (QS. 4:135).
13
Asmaran, As, Pengantar Studi Tasawuf (Jakarta: Rajawali Press, 1996), 65.
untuk dekat dengan Tuhannya.14 Walhal, pertemuan dengan Tuhan ini
merupakan puncak kebahagiaan yang dilukiskan dalam sebuah hadis
sebagai suatu yang tidak pernah terlihat oleh mata.15
14
M. Jamil, Cakrawala Tasawuf, 37.
15
Nurcholish Madjid, Pengalaman Mistik Kaum Sufi, dalam Tabloid Tekad (Nomor 18 /
Tahun II, 6-12 Maret 2000), 11.
16
Usman Said, Pengantar llmu Tasawuf (Medan: Naspar Djaja,1982), 95-96.
Ilahi tampak jelas padanya. Berikut ini dijelaskan secara ringkas tiga
tahapan tersebut.
a. Takhalli
18
Rosihan Anwar, llmu Tasawuf, 56.
19
Rosihan Anwar, llmu Tasawuf, 56.
Salah satu sikap mental yang tidak sehat sebagai akses timbal balik
dari rasa keterikatan kepada kehidupan dunia yang dipandang sangat
berbahaya adalah sikap mental ria. 20 Riya dapat diartikan sebagai
kecenderungan jiwa pamer agar mendapat pujian dan sanjungan dari orang
Iain yang pada akhirnya ingin dikultuskan. Sifat ingin disanjung dan diagung
kan, menurut aI-GhazaIi sulit untuk menerima kebesaran orang lain,
termasuk untuk menerima keagungan Allah. Oleh sebab itu untuk menuju
dan mem peroleh kebahagiaan yang suci maka sifat mental yang tercela
tersebut harus dikosong kan terlebih dahulu.
Demikian juga dengan masalah nafsu. Diantara para sufi ada yang
berpandangan bahwa nafsu harus dibunuh karena menjadi punca angkara
murka, penghalang untuk dapat dekat dengan Tuhan. Sementara
kelompok Iain, seperti halnya AI-GhazaIi berpendapat ba hwa nafsu juga
diperlukan didalam kehidupan ini, untuk memotivasi mempertahankan
kehidupan, harga diri, membela keluarga dan sebagainya, karena itu
nafsu mesti tetap ada di dalam diri.
b. Tahalli
Sesudah tahap pembersihan diri dari segala sifat dan sikap mental
tidak baik dapat dila kukan, maka usa ha itu harus berlanjut terus ke tahap
20
Asmaran As, Pengantar studl Tasawuf, 69
kedua yang disebut tahalli.
Diantara sikap mental dan perbuatan baik yang sangat penting untuk
diisi dan ditanamkankan ke dalam jiwa manusia adalah taubat, zuhud, faqr,
sabar, ridha, dan tawakal, seperti yang terdapat dalam maqamat.
c. Tajalli
21
Amatullah Amstrong, Kunci Memasuki Dunia Tasawuf. 279
22
Rosihan Anwar, llmu Tasawuf, 57.
Jalan menuju kepada kedekatan kepada Allah ini menurut para sufi
dapat dilakukan dengan dua usaha. Pertama, mulamazah yaitu terus
menerus berada dalam zikir kepada Allah. Kedua, mukhalafah yaitu secara
berkelanjutan dan konsisten menghindari segala sesuatu yang dapat
melupakan Allah. Keadaan ini, oleh para sufi disebut perja lanan menuju
kepada Allah (safar ila al-haq).
C. Tasawuf Falsafi
23
Mustafa Zahri, Kunci Memahami llmu Tasawuf (Surabaya: Bina llmu, 1991), 245.
dikatakan dalam artian tasawuf yang sebenarnya karena teori-teorinya juga
didasarkan kepada rasa atau dzauq.
Hal yang sama ditegaskan juga oleh Hamka bahwa tasawuf jenis ini
tidak sepenuhnya dapat dikatakan tasawuf dan juga tidak dapat sepenuhnya
disebut dengan filsafat.24
Para sufi yang juga filosof pendiri aliran ini mengenai dengan
baik filsafat Yunani serta berbagai alirannya misalnya Socrates, Plato,
Aristoteles dan aliran Neo Platonisme dengan ajaran filsafatnya tentang
emanasi.25
a. Ittihad
b. Hulul
24
Asmaran As, Pengantar Studi Tasawuf, 149.
25
M. Jamil, Cakrawala Tasawuf, 44.
Hulul adalah penyatuan sifat ketuhanan dengan sifat
kemanusiaan. Nlenurut Abu Nashr Al-Tusi, hulul ialah faham yang
mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk
mengambil tempat didalamnya setelah sifat kemanusiaan yang ada
dalam tubuh itu dilenyapkan.
c. Wahdah aI-Wujud
d. Isyraq
26
Ibrahim Basyuri, Nasy’ah at-Tassawuf Al-lslami, dalam Asmaran As, Pengantar Studi
Tasawuf, 154.
Menurut ajaran sufi, fana merupakan keadaan mental yang bersifat
insidental, atau tidak berlangsung terus menerus karena jika keadaan itu
berlangsung terus menerus, jelas bertentangan dengan tugasnya sebagai
khalifah dan hamba Allah untuk melaksanakan kewajiban agama.