Anda di halaman 1dari 3

Prolog

Inur bolak-balik memandangi Maps di HP-nya. Jarak ke rumah Neneknya masih 60 Km


lagi. Inur menghela nafas panjang, rasa jenuh kian tak terbendung. Bus ALS (Antar Lintas
Sumatera) yang melaju kencang, tidak membuyarkan lamunan Inur yang memandangi pil
Antimo di tangannya. Entah sudah berapa butir yang ditelan Inur, 5 mungkin. Inur terus
memijit punggung kakinya yang bengkak karena tergantung berhari-hari, seperti wanita
hamil saja. Seketika Bus rem mendadak, sengit hampir menabrak pohon.

“Allohu Akbar! Pak, hati-hati, dong. Bapak mau lelang nyawa kita ke Izrail? omel Inur.

“Jangan, dong, Pak. Murah banget, gak rela Saya, Pak,” sambung Inur yang duduk tepat
dibelakang Supir sambil cengir-cengir, penumpang lain ikut tertawa.

Inur menghitung-hitung, berapa provinsi yang sudah ia lewati selama perjalanan. Meski
Inur adalah makhluk dengan penyakit mabuk perjalanan tingkat akut, memilih naik bus dari
Bogor ke Panyabungan adalah pilihan yang tepat, menurutnya. Kapan lagi jalan-jalan
melewati 7 provinsi –Jawa Barat, Banten, Lampung, Palembang, Jambi, Sumatera Barat,
Sumatera Utara- dengan harga yang murah, cuma lima ratus lima puluh ribu rupiah? Inur
menerawang jauh, lalu tersenyum, saat ingat temannya bertanya alasan Inur naik Bus. Tak
dinyana, perjalanan tiga hari dua malam, dengan pakaian yang itu-itu saja tanpa ganti dan
mandi, membuat Inur menyesal dengan niat ‘jalan-jalan’-nya.

Tidak seperti Mahasiswa pada umumnya, yang ketika selesai wisuda kembali kerumah
orang tua. Alih-alih pulang bertemu Mak dan Ayahnya, Inur malah pulang dan memboyong
semua barang-barang kos-an, ke rumah Nenek-Ibu dari Ibunya- di kampung. Padahal, jauh
hari sebelum mengambil tiket Bus untuk pulang, Inur sudah berkoar-koar dan
mengumumkan pada teman-temanya, bahwa Inur tidak akan tinggal di Bogor mencari
pekerjaan. Inur akan pulang ke kampung halaman, birrul walidain pada Mak dan Ayah,
lalu mencari pekerjaan di daerah yang dekat dengan mereka. Bagi Inur, pulang ke kampung
halaman bukanlah hal yang memalukan, meski berstatus pengangguran. Membayangkan
bila Mak dan Ayah berpulang kerahmatullah, sementara baktinya belum ada, membuat Inur
semakin mantap dengan keputusannya. Tapi, Inur lupa akan niat luhurnya, bertemu Nenek
lebih menggembirakan hatinya.

Mak, Ayah, Inur pulang ke rumah Nenek saja, ya. Nenek, kan, Mamaknya MAk. Nah, Aku
menggantikan Mak berbakti pada Maknya Mak, sebagai wujud baktiku pada Mak. Jadi,
Mak dapat pahala karena berbakti, Aku juga dapat pahala karena berbakti pada Mak. Itu
namanya ‘multiflier effect pahala’ Mak.

Inur nyengir memandangi chat-nya dengan Ibunya, seakan Inur tidak peduli dengan
kebingungan Maknya mencerna pesannya.

***

Kurang lebih satu jam, Bus ALS akhirnya berhenti di terminal terakhir. Inur segera
memesan Becak. Jalan yang masih sepi, angin pedesaan yang sejuk, petani yang baru turun
sawah menyemai, anak desa yang bermain, menjadi hal yang dirindukan Inur dikampung
Neneknya. Inur mengeluarkan uang lima belas ribu dari dompetnya.

“Ini ya, Pak, terima kasih, “ ucap Inur.

“Barang-barang Saya dimasukkan kedalam saja, ya, Pak,” lanjut Inur.

Inur memandangi Neneknya yang berdiri menunggunya di depan pintu. Inur tersenyum
memandangi orang tua yang renta itu dari bawah sampai ke atas. Inur meneteskan air mata,
perlahan didekatinya Nenek, Inur mencium tangannya. Isak tangis Nenek mengalahkan
deru Becak yang berlalu, Inur dipeluk kuat, dan tangis Nenek kian jadi.

“Nur ... sudah dua tahun kita tidak bersua ... kamu jauh sekali, Nak di Pulau sana. Nenek
kira, Kita tidak akan beremu lagi ... Nenek tidak akan lama lagi ...,” tangis Nenek
sesegukan sambil mengelus-elus punggung Inur.

“Ia, Nek. Inur cucu kesayanganmu sudah di sini,” canda Inur mencairkan susana.

Inur girang bertemu kembali Nenek tercinta, Nenek yang sudah merawatnya sejak kecil
hingga SMA, Nenek yang selalu memberinya uang diusia Inur yang sudah tidak muda lagi.
Betapa bahagianya Inur membayangkan, ia akan bersenang-senang, merehatkan fikiran,
dan menenangkan hati di rumah Neneknya. Inur lupa, entah pura-pura lupa, usia neneknya
sudah tidak lagi muda. Inur tidak pernah terfikir serumit apa nanti ia akan tinggal bersama
Neneknya, tantangan apa yang akan dilaluinya.

Anda mungkin juga menyukai