Anda di halaman 1dari 1

Renungan Jam Kudus, Kamis 04 Oktober 2021

Namanya Surof. Ia adalah seorang imam muda yang pandai bicara. Tiap kali ia bertutur dan
membawa pesan-pesan homili di Gereja, banyak orang terpikat padanya. Apalagi kalau di dalam
khotbahnya, ia bernyanyi sambil bermain musik; anak-anak, remaja, hingga orang dewasa sangat
tertarik. Romo Surof ini pun punya akun Instagram dengan followers berjibun banyaknya. Konten-
kontenya selalu disukai dan diapresiasi. Romo Surof memang pandai memikat hati dan menjadi romo
Idola di sana-sini.
Suatu ketika ada seorang gadis beceloteh di Grup WA rekan-rekan OMK sembari memposting
cuplikan khotbah Rm. Surof: “Ayo teman-teman, kita ikut misanya Romo Surof, ini romo bener-bener
paket komplit.” Sesaat kemudian, banyak OMK membalas pesan tersebut dengan emoticon api, senyum,
love, like, smile yang semuanya terkesan memuji dan mengapresiasi pesan yang dikirimkan oleh si gadis.
Singkat cerita, terdengarlah kabar tentang kehebatan Rm. Surof itu pada seorang seminaris yang punya
pikiran kritis dan idealis. “Romo kok mewartakan dirinya sendiri, bukan mewartakan Tuhan”, begitu
pikirnya.
***
Romo, Suster, bruder, frater dan para seminaris yang terkasih, kita adalah murid-murid Kristus
yang dipanggil untuk menjadi pelayan pendamaian bagi sesama. Ada berbagai bentuk, cara dan sarana
bagi kita untuk menjadi pelayan perdamaian bagi sesama. Salah satunya adalah dengan menggunakan
media sosial. Kendati dunia menawarkan berbagai bentuk, cara dan sarana untuk menjadi pelayan
pendamaian, Kristus harus tetap menjadi pusatnya dan bukan manusia dengan segala usaha maupun
bakat-bakatnya. Kita yang dipercaya oleh Gereja untuk menyampaikan berita pendamaian kepada umat
Allah, haruslah menarik orang lain untuk tinggal dalam Kristus bukan malah menarik umat untuk memuji
diri kita sendiri. Jangan kita mengganti sebuah pepatah latin, (AMDG) “Ad Maiorem Dei Gloriam.” Semua
demi kemuliaan Allah yang Mahabesar, menjadi (Ad Maiorem Diri Gue). Sebuah alat ukur sederhana
untuk melihat apakah kita sudah mewartakan Tuhan yakni dengan bertanya, “Ada berapa kata Tuhan di
dalam status, story, atau foto yang kita post di media sosial kita? Atau konten-konten rohani cara hidup
kita sehari-hari, justru kita pakai untuk menyelimuti kekurangan kita akan perhatian orang lain, pujian,
likes, dan penerimaan?
Agar kita dapat membawa banyak orang tinggal dalam damai Kristus, pertama-tama kita perlu
berdamai dengan diri sendiri. Paulus telah berdamai dengan dirinya sendiri. Ia tidak berfokus pada sosok
Saulus yang kejam, yang mendapat otoritas untuk membunuh para pengikut Kristus. Paulus justru
melihat diri-Nya yang baru, yang hidup damai dan membawa damai karena perjumpaan dengan Kristus
yang menampakkan diri di jalan lurus. Perjumpaan dengan kristus memberi keyakinan pada Paulus,
bahwa ia dipercaya untuk menyampaikan berita damai bagi banyak orang.
Saya mengajak para seminaris untuk berhentilah melihat diri sebagai ilalang: diri yang banyak
kesalahan, banyak pelanggaran, tidak mampu dalam pelajaran. Semuanya itu justru akan membuatmu
tidak damai dan merasa minder. Sebaliknya, pandanglah hidupmu dengan cara gandum: hidup yang
dikasihi Tuhan, diberi kepercayaan oleh staf, diberi banyak bakat, didukung oleh para donatur dalam
berbagai cara (jual kalender, memberi pisang dan singkong dari pasang surut) dll. Lihatlah semuanya itu
dan wartakan melalui sukacita hidupmu di Seminari ini. Dengan begitu, kita pun turut ambil bagian
dalam gerak misi Gereja Universal. Yang digaungkan oleh Paus Fransiskus dalam pesan Hari Misi Sedunia
ke 95, 24 Oktober 2021 yang lalu, “Kami tidak mungkin untuk tidak berkata-kata tentang apa yang telah
kami lihat dan kami dengar” (Kis 4:20). Damai Tuhan menyertai kita. Amin.

Anda mungkin juga menyukai