Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.

Tanah mempunyai peranan penting dalam hidup dan kehidupan masyarakat,

diantaranya sebagai sarana dan prasarana dalam bidang perindustrian, perumahan, dan

jalan. Tanah dapat juga dijadikan asset sebagai tabungan masa depan, tempat

pemukiman bagi umat manusia, disamping sebagai sumber penghidupan bagi manusia

yang mencari nafkah melalui usaha pertanian, perkebunan dan juga sebagai tempat

tinggal terakhir manusia setelah meninggalkan dunia ini 1. Disisi lain tanah harus

dipergunakan dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat secara

adil dan merata yang harus dijaga kelestariannya2.

Tanah merupakan salah satu sarana kebutuhan yang amat penting dalam

pengadaan tanah untuk kepentingan umum tidak mudah untuk dipecahkan masalah

ketersediaan lahan, karena keterbatasan luasnya mengingat Indonesia menganut

konsep pembangunan berkelanjutan3. Yaitu tidak saja ditujukan bagi perlindungan

lingkungan melainkan juga bagi kebijakan pembangunan4. Artinya dalam penyediaan,

penggunaan, peningkatan kemampuan sumber daya alam dan peningkatan taraf

ekonomi, perlu disadari pentingnya pelestarian fungsi lingkungan hidup, kesamaan

derajat antar generasi, kesadaran akan hak dan kewajiban masyarakat, pencegahan

terhadap pembangunan yang merusak dan bertanggung jawab terhadap lingkungan

serta kewajiban untuk turut serta dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan

1
Abdurahmadn, Masalah Hak-hak Atas Tanah dan Pembebasan Tanah di Indonesia, cet, 2, (Bandung :
Alumni, 1983) hlm. 1
2
Achmad Rubaie, Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, (Malang : Bayumedia
Publishing, 2007, 2007), hlm. 1
3
I Wayan Suandra, Hukum Pertanahan Indonesia, CET,1, (Jakarta : PT. Rineka Cipta, 1994) hal. 11
4
Alvi Syahrin, Pengaturan Hukum dan Kebijakan Pembangunan Perumahan dan Pemukiman
Berkelanjutan, (Medan : Pustaka Bangsa Press 2003), hlm. 1
pada setiap lapisan masyarakat5.

Sejalan dengan perkembangan dan pertambahan penduduk kota Padang, baik itu

yang disebabkan oleh pertumbuhan kelahiran dan adanya urbanisasi dari daerah-

daerah dan kota-kota lain, sehingga kebutuhan masyarakat terhadap pembangunan

sarana dan prasarana untuk kepentingan umum semakin besar. Terutama kebutuhan

akan sarana jalan untuk menunjang mobilitas orang dan aktifitas perekonomian yang

semain meningkat. Tapi pembangunan untuk kepentingan umum tersebut menuntut

tanah yang cukup luas, sementara ketersediaan tanah yang semakin terbatas.

Oleh karena itu Pemerintah Kota Padang membentuk sebuah rencana

pembangunan kota yang tertuang dalam master plan kota Padang atau Rencana Induk

kota Padang tahun 1983-2003. Master plan atau Rencana Induk ini berisikan rencana-

rencana strategis dalam pembangunan yang akan dilaksanakan oleh Pemerintah Kota

Padang. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa master plan tahun 1983-2003

merupakan pedoman bagi Pemerintah Kota Padang dalam melakukan pembangunan

dalam jangka 1983-2003.

Program pengembangan kota terdapat dalam master plan kota Padang tahun

1983-2003 yang tujuannya untuk menyeimbangkan perkembangan tata ruang kota6.

Salah satu caranya adalah dengan membangun jalan Padang By Pass yang

membentang dari utara (Kabupaten Padang Pariaman) ke selatan (kota Padang)

dengan panjang 22,07 km, dengan perincian sepanjang 20,117 km di daerah kota

Padang dan 1,953 km di Kabupaten Padang Pariaman7. Pembangunan jalan Padang

By Pass ini nantinya diharapkan bisa menjadi :

5
Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, (Yogyakarta : Gajah Mada University Press
1999) hlm. 18 - 19
6
Bambang Rudito,”Dampak Sosial dari Pembangunan Jalan Padang By Pass”, laporan Penelitian
(Padang, jurusan antropologi Fakultas Sastra Unand, 1991) hlm 2.
7
Nurmansyah, “Pembangunan Jalan Padang By Pass Dan Dampak Sosial Ekonomi Bagi Masyarakat
Sekitar”, laporan penelitian , (Padang; Jurusan Fakultas Sastra Unand, 2011)
1. Koridor dan penentu arah pengembangan kota dengan menentukan daerah-

daerah yang menjadi sub pusat kota.

2. Untuk mengurangi volume lalu lintas kendaraan yang melewati pusat kota.

3. Meningkatkan pemanfaatan pelabuhan Teluk Bayur dan sabagai kontrol

pemanfaatan lahan di daerah pinggir kota8.

Sebenarnya Rencana pembangunan jalan Padang By Pass ini bukan hanya ada

pada Rencana Induk kota Padang tahun 1983-2003 saja, tapi rencana pembangunan

jalan ini sudah ada rencana Induk kota Padang tahun 19689. Proyek pembangunan

jalan belum bisa terlaksana karena wilayah yang menjadi daerah pembangunan jalan

lingkar tersebut masih belum termasuk wilayah kota Padang.

Perlu diadakan pemekaran wilayah kota Padang demi terlaksananya proyek

pembangunan jalan lingkar Padang By Pass, yaitu dengan memasukan sebagian

wilayah Kabupaten Padang Pariaman ke dalam wilayah kota Padang pada tahun 1980.

Yaitu berdasarkan Surat Keputusan DPRD TK II Padang No. 08/II-DPRD/1978, serta

Surat Keputusan DPRD TK II Pariaman No. 06/DPRD/1978, tentang persetujuan dari

masing-masing kota untuk melakukan pemindahan wilayah. Adanya surat keputusan

dari kedua kota itu, maka menghasilkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.

17 tahun 1980 tentang Perubahan Batas Wilayah kota Padang. Perubahan batas

wilayah itu dengan memasukan wilayah Kabupaten Padang Pariaman ke dalam

wilayah kota Padang yang meliputi : a) Sebagian Kecamatan Koto Tangah yang

meliputi : Kampung Koto Tangah, Kampung Nanggalo. b). Kecamatan Pauh yang

meliputi : Kampung Pauh IX, Kampung Pauh V, Kampung Limau Manih. c).

Kecamatan Lubuk Begalung yang meliputi : Kampung nan XX, Kampung Lubuk

8
Pemrintah Kotamadya Daerah Tingkat II Padang, “Rencana Umum Tata Ruang Kota Padang Tahun
1983-2003 (hasil Evaluasi dan Revisi Rencana Induk Kota Padang 1983/1984-2003/2004)”, (Padang :
Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Padang), hlm II.43-II.45
9
Freek Colomijn, Paco-paco kota Padang, “Sejarah Sebuah Kota di Indonesia pada abad ke 20 dan
Penggunaan Ruang Kota, (Jakarta: Ombak, 2006), hlm 372.
Kilangan, Kampung Teluk Kabung10.

Dalam pembangunan jalan ini pemerintah kota Padang memerlukan tanah untuk

kepentingan umum menghadapi banyak masalah, diantaranya masalah pelepasan hak

atau penyerahan hak atas tanah serta ganti rugi. Masalah ini timbul karena tanah yang

dibutuhkan pemerintah itu dalam penguasaan rakyat, sehingga disini menyangkut dua

kepentingan, yaitu kepentingan Pemerintah yang berhadapan dengan kepentingan

rakyat.

Dalam pembangunan jalan Padang By Pass ini pemerintah kota Padang

mendapat pinjaman dana dari sebuah bank Korea, karena tidak mempunyai dana, tapi

dana tersebut cuma untuk pembangunan pisik jalan saja. Sedangkan ganti rugi tanah

masyarakat harus diusahakan sendiri oleh pemerintah kota Padang. Untuk

pembebasan tanah, pemerintah kota Padang tidak melakukan ganti rugi, tapi dengan

melakukan sistem konsolidasi, karena Pemerintah kota tidak mempunyai dana untuk

mengganti kerugian tanah warga. Sistem konsolidasi ini dikuatkan dengan

dikeluarkannya Surat Keputusan Walikota Padang pada tahun 1989, yaitu SK Wako

No. 188.45.276a/SK-Sek/89, tanggal 15 Juli 1989, tentang penetapan lokasi tanah

yang terkena proyek pembangunan jalan By Pass tahap II dan kebijaksanan

penyelesaian masalah tanah, bangunan dan tanaman masyarakat yang terkena jalur

jalan Padang By Pass.

SK Wako ini menetapkan antara lain :

1. Luas tanah konsolidasi 20.117 km x 200 m = 402,34 Ha, meliputi 5 kecamatan

dan 6 kelurahan.

2. Tanah masyarakat yang terkena jalur konsolidasi By Pass ditata sesuai dengan

planing kota.

10
Peraturn Pemerintah Republik Indonesia No. 17 Tahun 1980, tentang Perubahan Batas Wilayah
Kotamadya Daerah TK II Padang, hlm 3.
3. Pemilik/penguasa tanah yang ditata diwajibkan menyerahkan 30 persen

tanahnya kepada Pemko untuk fasilitas umum ( Perda No.14Tahun 1985 ).

4. Biaya penataan konsolidasi, advise planing dan sertifikat konsolidasi ( 70

persen ) ditanggung Pemko.

5. Bangunan dan tanaman masyarakat yang terkena jalur 40 diberikan ganti rugi

yang besarnya ditetapkan oleh panitia ganti-rugi (pembayaran melalui

tabungan BRI pemilik tanah)11.

Berdasarkan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri (SE Mendagri) No.

592/6365/Agr, tanggal 22 Desember 1986 tentang peningkatan dan pemantapan

pelaksanaan konsolidasi tanah perkotaan, Gubernur Sumatera Barat mengeluarkan SK

Gubernur No.181.1-83-1990, tanggal 13 Februari 1990 tentang penyelesaian

pembebasan tanah untuk pembangunan jalan Padang By Pass dengan cara /sistem

konsolidasi tanah perkotaan. SE Mendagri No. 592/6365/Agr, tanggal 22 Desember

1986 telah dirubah dan menjadi Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional

(Perkaban) No. 4 Tahun 1991, tentang konsolidasi.

SK Gubernur No. 181.1-83-1990 menetapkan antara lain :

1. Tanah masyarakat yang terkena jalur By Pass pembebasannya dilakukan

dengan sistem konsolidasi.

2. Pelaksanaannya ditugaskan kepada Walikota/Bupati dan penyelenggaraan

dilakukan oleh Kantor Pertanahan Kota Padang/Kabupaten Padang Pariaman.

3. Pelaksanaan kegiatan harus sudah selesai selambat-lambatnya 31 Maret 1990.

Aturan hukum konsolidasi tanah di Indonesia tidak diatur secara tegas dalam

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok Agraria (UUPA),

tetapi melalui penafsiran-penafsiran pasal 2, 6, dan 14. Pada pasal 6 UUPA dinyatakan

11
Pemerintah Kota Padang, “Padang By Pass Capacity Expension Project EDCF Loan No. INA-17”
PembebasanTanah Padang By Pass.
bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Penegasan fungsi sosial ini

ditafsirkan bahwa hak atas tanah pada dasarnya tidak menjadi penghalang bagi

pemerintah untuk melaksanakan kewenangan publiknya untuk melakukan konsolidasi

tanah. Atas dasar penafsiran diatas yang tercantum dalam mengingat, ditetapkan

regulasi Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1991, tanggal

7 Desember 1991 tentang konsolidasi tanah, dan Surat Edaran Kepala Badan

Pertanahan Nasional nomor 410-4245 tentang Petunjuk Pelaksanaan Konsolidasi

Tanah tanggal 7 Desember 1991. Regulasi ini dalam pasal-pasalnya menetapkan pula

konsep, tujuan, dan sasaran konsolidasi tanah.

Konsep konsolidasi tanah menurut Perkaban Nomor 4 Tahun 1991 tentang

konsolidasi tanah adalah kebijaksanaan mengenai penataan kembali penguasaan dan

penggunaan tanah serta usaha usaha pengadaan tanah untuk kepentingan

pembangunan, untuk meningkatkan kualiatas lingkungan dan pemeliharaan sumber

daya alam dengan melibatkan partispasi aktif masyarakat ( pasal 1 ).

Partisipasi masyarakat berwujud kesepakatan para pemegang hak atas tanah atau

penggarap tanah. Negara yang menjadi objek konsolidasi tanah, yang menjadi peserta

konsolidasi tanah untuk melepaskan hak atas tanah dan penguasaan pisik atas tanah-

tanah yang bersangkutan, yang sebagian ditata kembali menjadi satuan-satuan baru

yang akan dikembalikan kepada mereka dan sebagian lain merupakan sumbangan

untuk pembangunan prasarana jalan dan fasilitas-fasilitas lain serta pembiayaan

pelaksanaan konsolidasi.

Konsep konsolidasi tanah perkotaan berdasarkan praktik adalah suatu aktivitas

untuk menata letak dan bentuk tanah dari yang tidak teratur menjadi teratur melalui

pergeseran, penggabungan, pemecahan, penghapusan, dan pengubahan hak atas tanah

dikawasan pinggiran perkotaan dan atau di kawasan perkotaan dalam rangka


pemekaran dan penataan permukiman termasuk fasilitas umum dan fasilitas sosial

yang diperlukan oleh pemilik tanah yang disesuaikan dengan Rencana Umum Tata

Ruang kota (RUTRK) / Rencana Pembangunan Daerah dengan melibatkan partisipasi

aktif masyarakat12.

Sedangkan konsep konsolidasi tanah perkotaan menurut Oloan Sitorus, sebagai

kebijakan pertanahan di wilayah perkotaan ( urban ) dan pinggiran kota ( urban fringe

) mengenai penataan kembali penguasaan dan penggunaan tanah sesuai dengan

rencana tata ruang serta usaha pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan

guna peningkatan kualitas lingkungan hidup dengan partisipasi masyarakat13.

Partisipasi masyarakat itu merupakan prinsip dasar dari konsolidasi tanah,

karena adanya kesepakatan para pemilik tanah. Kesepakatan para pemilik tanah dalam

konsolidasi tanah dijadikan dasar, karena sejak awal sudah melibatkan partisipasi

masyarakat/ pemilik tanah, baik dalam proses perencanaan, pengawasan, pelaksanaan,

dan terutama kesediaan mereka menyerahkan sebagian dari tanahnya untuk keperluan

pembangunan prasarana umum.

Tetapi proses pelaksanaan konsolidasi tanah yang dilakukan oleh pemerinah itu

menemui permasalahan, baik itu antara pemerintah dengan warga pemilik tanah,

maupun antara sesama warga. Permasalahan antara warga diantaranya pada proses

pemindahan lahan atau tanah masyarakat yang terkena konsolidasi. Dimana dalam hal

pemindahan lahan, muncul protes dari masyarakat terhadap tanah yang didapat

sebagai pengganti tidak sesubur tanah yang terkena konsolidasi. Sehingga masyarakat

jadi enggan untuk memberikan tanahnya, dan masyarakat tidak mau dipindahkan

ketempat yang baru. Permasalahan antara pemerintah dengan masyarakat pemegang

12
Yudhi Setiawan, Instrumen Hukum Campuran (Gemeenschapelijkrechht) Dalam Konsolidasi Tanah,
(Jakarta : Raja Grafindo Persada 2009), hlm.7
13
Oloan Sitorus, Keterbatasan Hukum Konsolidasi Tanah Perkotaan Sebagai Instrument Kebijakan
Pertanahan Partisipastif Dalam Penataan Ruang di Indonesia. (Yogyakarta : Mitra Kebijakan Tanah
Indonesia, 2006), hlm .1
hak adalah ketidak sanggupan pemerintah menyediakan tanah pengganti terhadap

tanah masyarakat yang terkena konsolidasi.

Permasalahan ini terus berlansung sampai jalan Padang By Pass ini berfungsi

dengan munculnya permasalahan dalam hal setelah pemberian sertifikat gratis kepada

masyarakat, menimbulkan maraknya terjadi jual beli tanah sehingga banyak

bermunculan spekulan-spekulan tanah yang membeli masyarakat yang berada

disekitar pembangunan jalan Padang By Pass. Karena harga tanah jadi melambung

tinggi seiring dengan dibuka akses jalan, sehingga kegiatan bisnis perekonomian

makin meningkat.

Konsolidasi belum selesai dan belum tuntas sebanyak 70 peserta konsolidasi,

dimana didalamnya terdapat 20 peserta dalam proses di PN/PT/MA14. Dimana faktor

penyebab konsolidasi belum selesai ada disebabkan oleh beberapa hal, seperti

a. Sertifikat hak milik belum terbit karena masalah internal kaum, keberatan

dalam persyaratan, lokasi pengembalian tidak jelas, lokasi pengembalian

dikuasai pemilik asal ( tanah kosong ).

b. Pengembalian konsolidasi belum tuntas karena sebagian sertifikat konsolidasi

belum diproses oleh BPN dan sebagian lagi menolak konsolidasi.

c. SHM konsolidasi sudah terbit, tapi lokasi tidak bisa dikuasai yang

bersangkutan ( sebagian/seluruhnya ) karena dihalangi oleh pemilik awal.

d. Kelebihan luas tanah konsolidasi.

e. Kekurangan luas tanah konsolidasi.

Berorientasi pada latar belakang tersebut, penulis memandang perlu mengangkat

permasalahan ini kedalam suatu penelitian tesis yang berjudul “ PENYELESAIAN

TANAH KONSOLIDASI DALAM PEMBANGUNAN JALAN BY PASS KOTA

14
Padang By Pass Capacity Expension Project EDCF No. INA-17.
PADANG “

B. Rumusan Masalah

Sehubungan dengan uraian latar belakang diatas, maka rumusan masalah yang

akan dibahas adalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah proses penyelesaian tanah konsolidasi dalam pembangunan

jalan By Pass kota Padang.

2. Kendala-kendala yang ditemui dalam penyelesaian tanah konsolidasi dalam

pembangunan jalan By Pass kota Padang.

C. Keaslian Penelitian.

Sebelum ini pernah dilakukan oleh pihak lain untuk mendapatkan gelar

akademik ( Sarjana, Magister, dan/atau Doktor ) baik pada Universitas Andalas

maupun pada Perguruan Tinggi lainnya, jika ada tulisan yang sama dengan yang

ditulis oleh penulis, sehingga diharapkan tulisan ini sebagai pelengkap dari tulisan

yang sudah ada sebelumnya, yaitu :

1. Tesis atas nama Irisa Nadeja, Program Studi Magister Kenotariatan

Fakultas Hukum Universitas Andalas, tahun 2015 dengan judul “

Penyelesaian Sengketa Konsolidasi Tanah Pembangunan Jalur Dua By

Pass Padang “. Permasalahan yang diteliti adalah apa penyebab

terjadinya sengketa tanah karena memakai sistem konsolidasi tanah

dalam pembangunan jalur By Pass dan bagaimana cara penyelesaian

sengketanya oleh pemerintah kota Padang.

2. Tesis atas nama Urai Imamuddin, Program Studi Magister Kenotariatan

Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, tahun 2010 dengan judul “

Akibat Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum Yang

Dilakukan Secara Langsung Melalui Jual-Beli “ ( Studi Kasus Pembelian


Tanah Hak Milik oleh Pemkab Sambas Untuk Pembangunan Gedung

Kantor Pemerintahan ). Permasalahan yang diteliti adalah bagaimana

prorses jual-beli tanah Hak Milik untuk pengadaan tanah bagi

kepentingan umum secara langsung melalui jual-beli dan akibat hukum

terhadap tanah yang digunakan untuk kepentingan umum tersebut.

D. Tujuan Penelitian.

Adapun tujuan penelitian yang dilakukan penulis sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui proses penyelesaian tanah konsolidasi dalam

pembangunan jalan by pass kota Padang.

2. Untuk mengetahui kendala – kendala yang ditemui dalam penyelesaian

tanah konsolidasi dalam pembangunan jalan by pass kota Padang.

E. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian yang dilakukan penulis adalah sebagai berikut :

1. Secara Teoritis.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengembangan ilmu

hukum pada umumnya, dan proses pelaksanaan konsolidasi tanah dapat

dilaksanakan dengan yang baik sesuai dengan Undang-Undang yang

berlaku.

2. Secara Praktis.

Secara praktis penulisan tesis ini diharapkan, hasil penelitian ini sebagai

sumbangan pemikiran dalam penyelesaian permasalahan yang

meyangkut pelaksanaan konsolidasi tanah, permasalahan yang timbul

antara masyarakat sebagai pemegang hak yang tanahnya terkena

konsolidasi dengan negara atau pemerintah sebagai yang melaksanakan

konsolidasi tanah untuk pembangunan jalan By Pass kota Padang.


F. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Sebagai pedoman untuk mengantarkan penelitian dengan menggunakan

variabel konsep, asas, norma, temuan penelitian terdahulu yang saling berkaitan,

sehingga menghasilkan model analisis sebagai kontribusi teoritis untuk

melakukan penelitian15.

Pemikiran yang ilmiah dituntut pada bagian ini, utamanya guna menyusun

kerangka teoritik berdasarkan kajian pustaka sebagai desain pemikiran yang

menjadi dasar dan kerangka dalam memecahkan masalah penelitian16.

Kata teori dalam teori hukum dapat diartikan sebagai suatu kesatuan

pandangan, pendapat dan pengertian-pengertian yang berhubungan dengan

kenyataan yang dirumuskan sedemikian, sehingga memungkinkan menjabarkan

hipotesis-hipotesis yang dapat dikaji (Gijssels, 1982: 134)17

Teori digunakan untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala

spesifik atau proses tertentu terjadi, kemudian teori ini harus diuji dengan

menghadapkan pada fakta-fakta yang menunjukan ketidakbenaran, kemudian

untuk menunjukan bangunan berfikir yang tersusun sistematis, logis ( rasional ),

empiris ( kenyataan ), juga simbolis18. Teori hukum mempersoalkan apakah

sosiologi hukum atau dogmatik hukum harus dipandang sebagai ilmu empirik

yang bersifat deskriptif atau tidak19

Sejalan dengan hal diatas, maka terdapat beberapa teori yang akan

15
Suratman dan H. Phlipus, Metode Penelitian Hukum, Alfabeta Bandung, 2014, hlm. 104
16
Tim Penyusun Pedoman Penyusunan Penelitian dan Penulisan Tesis dan Disertasi Program Pasca
Sarjana Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang, UB Press Malang, 2010, hlm. 7
17
Sudikno Mertokusumo, Teori Hukum, Edisi Revisi, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, 2012, hlm. 4
18
Otje Salman dan Anton F, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan, dan membuka kembali, Rafika
Aditama Press, Jakarta, 2004, hlm. 21
19
Salim HS dan Erlies Septiani Nurbaini, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Disertasi dan
Tesis, Rajawali Press, Jakarta 2014, hlm. 5
digunakan dalam tulisan ilmiah berupa tesis ini. Teori tersebut adalah :

A. Teori Kewenangan.

Bahwa kewenangan merupakan hal yang penting dalam pelaksanaan

fungsi – fungsi pemerintahan dalam suatu negara. Bicara kewenangan tidak

terlepas dari legalitas, karena asas legalitas merupakan dasar dalam setiap

penyelenggaraan kenegaraan dan pemerintahan, agar setiap penyelenggaraan

kenegaraan dan pemerintahan memiliki legitimasi, yaitu kewenangan yang

diberikan oleh undang – undang.20

Menurut Bagir Manan, wewenang dalam bahasa hukum tidak sama dengan

kekuasaan ( macht ). Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat atau

tidak berbuat. Dalam hukum, wewenang sekaligus berarti hak dan kewajiban (

rechten en plichten ). Dalam kaitan dengan otonomi daerah, hak mengandung

pengertian kekuasaan untuk mengatur diri sendiri ( zelfregelen ) dan mengelola

sendiri ( zelfbesturen ), sedangkan kewajiban secara horizontal berarti

kekuasaan untuk menyelenggarakan pemerintahan sebagaimana mestinya.

Vertikal berarti kakuasaan untuk menjalankan pemerintahan dalam suatu tertib

ikatan pemerintahan negara secara keseluruhan.21

Secara teoritik, kewenangan yang bersumber dari peraturan perundang –

undangan tersebut diperoleh melalui 3 ( tiga ) cara, yaitu :

1. Atribusi, adalah pemberian wewenang pemerintah oleh pembuat undang

– undang kepada organ pemerintah.

2. Delegasi, adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari suatu organ

pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya.

3. Mandat, terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya


20
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo, Jakarta, hlm 70.
21
Bagir Manan, Wewenang Propinsi, Kabupaten, dan Kota Dalam Rangka Otonomi Daerah, Makalah
pada Seminar Nasional Fakultas Hukum UNPAD, Bandung, 13 Mei 2000, hlm 1-2.
dijalankan oleh organ lain atas namanya, antara atasan dan bawahannya.

Menurut Urip Santoso, hak menguasai dari negara atas tanah bersumber pada

hak bangsa Indonesia atas tanah, yang hakikatnya merupakan penugasan pelaksanaan

tugas wewenang bangsa yang mengandung unsur hukum publik. Tugas mengelola

seluruh tanah bersama tidak mungkin dilaksanakan sendiri oleh seluruh bangsa

Indonesia. Maka dalam penyelenggaraannya, bangsa Indonesia sebagai pemegang hak

dan pengemban amanat tersebut, pada tingkatan tertinggi dikuasakan kepada Negara

Republik Indonesia sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat22.

B. Teori Perlindungan Hukum.

Fitzgerald dalam teori perlindungan hukumnya menyatakan bahwa hukum

bertujuan mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagai kepeningan dalam

masyarakat, karena dalam suatu lalu lintas kepentingan, perlindungan terhadap

kepentingan tertentu dapat dilakukan dengan cara membatasi berbagai kepentingan

dilain pihak23. Perlindungan hukum merupakan gambaran dari bekerjanya fungsi

hukum untuk mewujudkan tujuan-tujuan hukum yakni keadilan, kemanfaatan, dan

kepastian hukum.

Menurut Satjipto Raharjo, perlindungan hukum adalah memberikan

pengayoman terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan

perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat dinikmati semua hak-hak

yang diberikan oleh hukum.24 Sedangkan menurut DR. Philipus M. Hadjon,S.H.

dengan bukunya yang berjudul Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia yaitu

sebuah buku tentang prinsip-prinsipnya, penangannya, dan pengadilan dalam

lingkungan peradilan umum dan pembetunkan peradilan administarsi negara. Teori


22
Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah, Kencana, Jakarta, 2009, hlm 77.
23
Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2000, hlm.53.
24
Ibid, Satjipto Raharjo, hlm 69.
Perlindungan Hukum yang dikemukankan DR. Philipus M. Hadjon, S.H. ini lebih

menitikberatkan kepada perlindungan hukum di bisang Hukum Administrasi

Negara.25

Dalam merumuskan prinsip perlindungan hukum bagi rakyat Indonesia,

landasan berpijaknya adalah Pancasila sebagai dasar ideologi dan dasar falsafah

negara. Pengakuan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia dikatan

bersumber pada Pancasila, karena pengakuan dan perlindungan terhadapnya secara

intrinsik melekat pada Pancasila. Selain bersumber pada Pancasila prinsip

perlindungan hukum juga bersumber pada prinsip negara hukum.

Perlindungan hukum merupakan unsur yang harus ada dalam suatu negara.

Setiap pembentukan negara pasti didalamnya adahukum untuk mengatur warga

negaranya. Dalam suatu negara, pasti terjadi hubungan antara negara dengan warga

negaranya. Hubungan inilah yang melahirkan hak dan kewajiban. Disis lain

memberikan perlindungan hukum menjadi kewajiban bagi negara. Negara wajib

memberikan perlindungan hukum bagi warga negaranya. Apalagi jika kita

membicarakan negara hukum seperti Indonesia. Indonesia mengukuhkan dirinya

sebagai negara hukum yang tercantum didalam Undang-Undang Dasar 1945, pasal 1

ayat 3 yang berbunyi, “ Indonesia adalah negara hukum “. Dengan sendirinya

perlindungan hukum menjadi unsur essensial serta menjadi konsekuensi dalam negara

hukum. Negara wajib menjamin hak-hak hukum warga negaranya. Perlindungan

hukum merupakan pengakuan terhadap harkat dan martabat warga negaranya sebagai

manusia. Karena itu mempelajari teori perlindungan hukum menjadi sangat penting.

C. Teori Hak Menguasai Negara atas Tanah.

Pengaturan hak atas tanah di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Pokok

25
Philipus M. Hadjon, Perlindungan bagi Rakyat Indonesia, PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1987, hlm.2.
Agraria Nomor 5 Tahun 1960 ( UUPA ). Pada pasal 2 ayat (2) menentukan bahwa hak

menguasai dari negara dimaksud adalah memberi wewenang untuk mengatur dan

menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, penyediaan, dan pemeliharaan bumi, air

dan kekayaan alam lainnya serta menentukan dan mengatur hubungan hukum, dan

perbuatan-perbuatan hukum antara orang-orang terhadap sumber daya alam tersebut.

Negara dapat melakukan hubungan hukum seperti benda-benda perseorangan

dengan manusia pemiliknya. Hubungan hukum negara dengan tanah masuk kategori

benda atau tanah yang dipergunakan bagi umum ( res publicae ). Penyebutan secara

tegas kewenangan negara atas tanah dengan menguasai negara tetap lebih bersifat

positif, karena dengan penyebutan itu berarti dilakukan penegasan, bahwa hak

menguasai negara melekat pada seluruh tanah yang ada dalam lingkungan hukum

negara kesatuan Republik Indonesia.

Sehubungan dengan hak menguasai negara atas tanah, maka Boedi Harsono

memberi penjelasan sebagai berikut : 26

a. Sebutan isinya.

Hak menguasai negara adalah sebutan yang diberikan oleh UUPA kepada

lembaga hukum dan hubungan hukum kongkret antara negara dan tanah

Indonesia, sesuai dengan ketentuan dalam pasal 2 ayat (2) dan ayat (3)

UUPA. Dalam penjelasan umum II UUPA disebutkan bahwa UUPA

berpangkal pada pendirian bahwa untuk mencapai apa yang ditentukan

dalam pasal 33 ayat (3) UUD 1945 tidak perlu dan tidak tempatnya bahwa

bangsa Indonesia atau pun negara bertindak sebagai pemilik tanah. Oleh

karena itu dalam melaksanakan tugasnya tersebut negara merupakan

organisasi kekuasaan rakyat tertinggi, maka yang terlibat sebagai petugas

26
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria,
Isi dan Pelaksanaan, jilid 1,Hukum Tanah Nasional, Djambatan, Jakarta, 1994, hlm 193.
bangsa tersebut bukan hanya penguasa legislatif dan eksekutif, tetapi juga

penguasa yudikatif.

b. Kekuasaan Legislatif.

Kekuasaan legislatif tercakup didalamnya pengertian mengatur dan

menentukan. Kekuasaan mengatur dan menentukan dilaksanakan oleh

badan-badan legislatif pusat seperti MPR.

c. Kekuasaan Eksekutif.

Kekuasaan Eksekutif yang tercakup dalam pengertian menyelenggarakan

dan menentukan dilaksanakan oleh Presiden dibantu oleh Menteri atau

Pejabat Tinggi yang bertugas dibidang pertahanan.

d. Kekuasaan Yudikatif.

Kekuasaan Yudikatif bertugas menyelesaikan sengketa-sengketa tanah, baik

diantara rakyat sendiri maupun antara rakyat dan pemerintah melalui badan

peradilan umum.

e. Pemegang Hak.

Subjek dari hak menguasai negara atas tanah adalah negara Republik

Indonesia sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat Indonesia.

f. Tanah yang dihaki.

Hak menguasai negara meliputi semua tanah dalam wilayah Republik

Indonesia, baik tanah-tanah yang belum maupun sudah yang dihaki dengan

alas hak perorangan yang oleh UUPA disebut tanah-tanah yang dikuasai

langsung oleh negara.

g. Terciptanya Hak Menguasai dari Negara.

Hak menguasai dari negara merupakan tugas kewenangan bangsa Indonesia

yang dilakukan oleh wakil-wakil bangsa Indonesia pada waktu menyusun


UUD 1945 dan membentuk negara Republik Indonesia.

h. Pembebanan Hak Menguasai Negara.

Hak menguasai negara tidak dapat dipindahkan kepada pihak lain akan

tetapi tanah negara dapat diberikan dengan sesuatu hak atas tanah kepada

pihak lain.

i. Pelimpahan Pelaksanaan Kepada Pihak Lain.

Hak menguasai negara tidak dapat dipindahkan kepada pihak lain, tetapi

pelaksanaannya dapat dilimpahkan ke Pemerintah Daerah dan masyarakat

hukum adat, sepanjang hak itu diperlukan dan tidak bertentangan dengan

kepentingan nasional.

j. Hak Menguasai Negara Tidak Akan Hapus.

Hak menguasai negara sebagai pelimpahan hak bangsa tidak akan hapus

selama Republik Indonesia masih ada sebagai negara yang merdeka dan

berdaulat.

Van Vollenhoven menyatakan “ sebenarnya hak menguasai negara atas

tanah mengatur dan sebagainya itu tidak lain dari pada kekusaan negara

terhadap segala sesuatu, dan tanah adalah suatu speciment, suatu hal khusus

saja ,jika didalam hal ini kita perlu memberi bentuk lain, maka sudah barang

tentu boleh mengurangkan dan merubah kedudukan negara terhadap segala

sesuatu “.

2. Kerangka Konseptual.

Dalam kerangka konsepsional diungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian

yang akan digunakan sebagai dasar penelitian hukum.27 Adapun kerangka konseptual

yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah :

27
Soerjono Soekamto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta :
Rajawali Press, cetakan ke 13, 2011) hlm 45.
a. Pengertian Pembangunan.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), yang dimaksud dengan

pembangunan adalah suatu proses, cara, menuju kearah yang lebih baik. Adapun

beberapa pengertian pembangunan oleh para ahli adalah :28

Siagian : “Pembangunan sebagai suatu usaha atau rangkaian usaha pertumbuhan

dan perubahan yang terencana dan dilakukan secara sadar oleh suatu

bangsa, negara, dan pemerintah, menuju modernitas dalam rangka

pembinaan bangsa ( nation building )”.

Ginanjar Kartasasmita : “ Pembangunan seabagai suatu proses perubahan kearah

yang lebih baik melalui upaya yang dilakukan secara terencana”.

Katz : “ Suatu proses perubahan pokok pada masyarakat dari suatu keadaan

nasional tertentu menuju ke keadaan lain yang dianggap lebih bernilai

“.

Philip Roup : “ Proses perubahan dengan tanda-tanda dari sesuatu yang

dianggap kurang dikehendaki menuju ke sesuatu keadaan yang lebih

dikehendaki “.

Sedangkan penulis berpendapat bahwa pembangunan adalah suatu proses

perubahan kearah yang lebih baik melalui cara yang terencana untuk

mewujudkan masyarakat yang adil dan sejahtera.

b. Pengertian Konsolidasi Tanah.

Menurut Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 tahun

1991 tentang konsolidasi tanah adalah kebijaksanaan mengenai penataan

kembali penguasaan dan penggunaan tanah serta usaha pengadaan tanah

untuk kepentingan pembangunan, untuk meningkatkan kualitas lingkungan

28
https://arifincintaselvia.wordpress.com/kuliah/teori-pembangunan, diunduh tanggal 12 Desember
2016, pukul16:54 wib.
dan pemeliharaan sumber daya alam dengan melibatkan partisipasi aktif

masyarakat.

Konsep konsolidasi tanah menurut Hasni. SH. MH, yaitu konsolidasi

tanah sebagai suatu metode pembangunan yang merupakan salah satu

kebijaksanaan pengaturan penguasaan tanah, penyesuaian penggunaan tanah

dengan Rencana Tata Guna Tanah/Tata Ruang dan pengadaan tanah untuk

kepentingan pembangunan serta kualitas lingkungan hidup/pemeliharaan

sumber daya alam.29 Sedangkan tanah dalam pengertian yuridis mencakup

permukaan bumi sebagaimana yang diatur dalam pasal 4 ayat (1) Undang-

Undang Pokok Agraria (UUPA) bahwa “atas dasar hak menguasai dari

Negara sebagai yang dimaksud dalam psasal 2 ditentukan adanya macam-

macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan

kepada dan dipunyai orang-orang baik sendiri maupun bersam-sama dengan

orang lain serta badan-badan hukum.

Tanah dalam pengertian geologis agronomis diartikan lapisan

permukaan bumi yang paling atas yang dimanfaatkan untuk menanam

tumbuh-tumbuhan yang disebut tanah garapan, tanah pekarangan, tanah

pertanian, tanah perkebunan dan tanah bangunan yang digunakanuntuk

mendirikan bangunan.

D. Pelepasan Hak.

Bagi tanah yang kena pengadaan tanah bagi pembangunan untuk

kepentingan umum, harus dilakukan pelepasan hak bagi pemegang hak atas

tanah, melalui prosedur yang diatur oleh Undang-Undang. Maka secara

pengertian pelepasan hak yang dimaksud adalah kegiatan pemutusan

29
Hasni, Hukum Penataan Ruang Dan Penataangunaan Tanah Dalam Konteks UUPA-UUPR-UUPLH,
PT. Rajagrafindo Persada, 2008, hlm 299.
hubungan hukum dari pihak yang berhak kepada negara melalui Lembaga

Pertanahan Nasional.

Pelepasan hak atas tanah ini adalah cara terakhir untuk memperoleh

tanah yang diperlukan untuk kepentingan umum, setelah dilakukan

berbagai cara, tetapi tidak membawa hasil yang diharapkan, sedangkan

keperluan untuk pembangunan tanah yang dimaksud sangat mendesak

sekali.30

G. Metode Penelitian,

Metode adalah suatu cara untuk menemukan jawaban akan sesuatu hal. Cara

penemuan jawaban tersebut sudah tersusun dalam langkah-langkah tertentu yang

sistematis. Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi, oleh karena penelitian untuk mengungkapkan

kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten, dengan mengadakan

analisa dan konstruksi. Penelitian ( research ) dapat berarti pencarian kembali

kembali, yang bernilai edukatif. Dengan demikian setiap penelitian berangkat dari

ketidaktahuan dan berakhir pada keraguan dan tahap selanjutnya berangkat dari

keraguan dan berakhir pada suatu hipotesis (jawaban yang dianggap, hingga dapat

dibuktikan sebaliknya31.

Mengenai penelitian, Bambang Sunggono berpendapat, bahwa penelitian

pada dasarnya merupakan “suatu upaya pencarian” dan bukannya sekedar

mengamati dengan teliti terhadap objek yang mudah dipegang tangan32.

Untuk memperoleh data yang maksimal dan menunjukan hasil yang baik,

sehingga tulisan ini mencapai sasaran dan tujuan sesuai dengan judul yang telah

30
Ibid, Adrian Sutedi, hlm. 87
31
Amiruddin dan Zainal asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2004, hlm. 19
32
Bambang Sunggono, Metologi Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm 27
ditetapkan, maka penulis mengumpulkan dan memperoleh data dengan

menggunakan metode penelitian sebagai berikut :

1. Pendekatan Masalah

Metode yang digunakan dalam penelitian tesis ini adalah metode

penelitian yuridis empiris, yaitu suatu penelitian disamping melihat aspek

hukum positif, juga melihat pada penerapannya dilapangan.33Menurut Soerjono

Soekanto pada penelitian hukum, maka yang diteliti terlebih dahulu adalah data

sekunder untuk kemudian dilanjutkan dengan penelitian terhadap data primer

dilapangan atau terhadap masyarakat. Metode pendekatan yuridis empiris yaitu

penelitian hukum dengan cara pendekatan fakta yang ada dengan jalan

mengadakan pengamatan dan penelitian di lapangan kemudian dikaji dan

ditelaah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang terkait sebagai acuan

untuk memecahkan masalah.34 Pengertian yuridis disini dimaksudkan bahwa

dalam meninjau dan menganalisis hasil penelitian digunakan prinsip-prinsip dan

asas-asas hukum. Sedangkan pengertian empiris adalah penelitian terhadap

kaidah-kaidah hukum yang ada dimasyarakat.35

Aspek yuridis digunakan sebagai dasar atau acuan dalam menilai atau

menganalisa permasalahan berdasarkan aspek hukum mengenai konsolidasi

tanah serta peraturan terkait dibawahnya yang mempunyai korelasi dengan

penelitian ini. Sedangkan pendekatan empiris yaitu dengan melakukan

penelitian yang bertujuan untuk memperoleh pengetahuan empiris dengan jalan

terjun langsung kelapangan mengenai segala sesuatu yang terkait dengan

penyelesaian konsolidasi tanah by pass Padang.

33
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta, 2005, hlm 52.
34
Ronny Hanitjo Soemitro, Metode penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalmis Indonesia, Jakarta,1998,
hlm 52.
35
Ibid, Soejono Soekamto, hlm. 13 - 14
2. Sifat Penelitian

Penelitian yang dilakukan adalah bersifat deskriptif analitis yang bisa

memberikan gambaran yang luas tentang pemecahan masalah dengan cara

memaparkan objek yang diteliti sebagaimana adanya berdasarkan fakta-fakta

aktual pada saat sekarang, tidak terbatas hanya sampai pada pengumpulan data,

tetapi meliputi analisis dan interprestasi tentang arti data-data tersebut. Norma-

norma hukum tanah nasional digambarkan dalam kaitan terhadap teori hukum

dan praktek penyelesian konsolidasi tanah dalam pembangunan jalan by pass

kota Padang.

3. Jenis Data Dan Sumber Data

Berdasarkan tipe penelitian yang digunakan, maka data-data yang terdapat

dalam penelitian ini diperoleh melalui Field Research, yaitu melalui penelitian

lapangan, yang kemudian ditambah dengan data yang diperoleh melalui Lybrary

Research.

Jenis Data Yang Dipergunakan Dalam penelitian Ini Adalah :

a. Data Primer, yaitu data yang diperoleh lansung dari masyarakat.

Data primer ini diperoleh melalui wawancara bebas terpimpin, yaitu

dengan mempersiapkan terlebih dahulu pertanyaan-pertanyaan sebagai

pedoman, tapi tidak tertutup kemungkinan adanya variasi pertanyaan sesuai

dengan situasi ketika wawancara berlangsung. Wawancara dilakukan dengan

pihak berwenang dan terkait serta berkompeten dalam bidang hukum agraria,

khususnya terhadap persoalan Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum

Dan Penetapan Ganti Rugi (Studi Kasus Pelebaran Jalan Padang By Pass

Kota Padang), yaitu :

1. Kepala Dinas Pertanahan Kota Padang


2. Tim Pengelola Kegiatan dan Tim Penilai Harga pemerintah Kota

Padang.

b. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari bahan perpustakaan.

Data sekunder ini diperoleh melalui studi kepustakaan yang berkaitan

dengan fokus penelitian, yang terdiri dari :

1. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, dan terdiri

dari :

a) Undang-Undang Dasar 1945.

b) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, tentang Peraturan Dasar

Pokok Agraria.

c) Undang-Undang Nomor 2 tahun 2012, tentang Pengadaan Tanah

Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

d) Perpres Nomor 71 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan

Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

e) Perpres Nomor 40 tahun 2014, tentang perubahan pertama Perpres

Nomor 71 tahun 2012, tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi

pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

f) Perpres Nomor 99 tahun 2014, tentang perobahan kedua Perpres

Nomor 71 tahun 2012.

g) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 tahun 2012,

tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengadaan Tanah.

h) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 13/PMK.02/2013 tentang Biaya

Operasional dan Biaya Pendukung Penyelenggaraan Pengadaan Tanah

bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum yang bersumber

dari Anggaran Pendapatan dan Belenja Negara.


i) Permendagri Nomor 72 tahun 2012, tentang Biaya Operasional dan Biaya

Pendukung Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan

Untuk Kepentingan Umum yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan

dan Belanja Daerah.

J) Perpres Nomor 36 Tahun 2005 pengganti Keppres nomor 55 Tahun 1993

tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk

Kepentingan Umum.

k) Perpres nomor 65 Tahun 2006, perubahan dari Perpres nomor 36 Tahun

2005, tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk

Kepentingan Umum.

l) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional nomor 4 Tahun 1991,

tentang Konsolidasi Tanah.

1. Peraturan Pemerintah RI nomor 17 Tahun 1980, tentang

Perubahan Batas Wilayah Kota Padang.

2. Bahan hukum Sekunder, yaitu yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum Primer, seperti :

a. Peraturan Perundang-Undangan.

b. Hasil Karya Ilmiah

c. Hasil-hasil Penelitian.

3. Bahan hukum Tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan

petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan

bahan hukum sekunder, seperti :

a. Kamus

b. Encyclopedia36

36
Ibid, Amiruddin dan Zainal Asikin, hlm. 32
4. Alat Pengumpul Data

Data yang diperlukan dalam penelitian ini dikumpulkan melalui :

A. Studi Dokumen.

Pada tahap ini penulis akan mempelajari dan menelaah beberapa

dokumen yang ada dan tersedia di Badan Pertanahan Nasional kota

Padang dan Pemerintahan kota Padang tim pengelola kegiatan dan tim

penilai harga dan dinas prasarana jalan tata ruang dan pemukiman

(Prasjal Tarkim) Sumbar. Studi dokumen merupakan tahap awal dalam

menganalisa kasus ini, seperti telaah peraturan perundang-undangan dan

peraturan lainnya, serta mengumpulkan dokumen/berkas perkara yang

berkaitan langsung dengan objek penelitian.

B. Wawancara.

Wawancara ( interview ) adalah situasi peran antar pribadi bertatap

muka ( face to face ), ketika seseorang yakni pewawancara mengajukan

pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk memperoleh jawaban-

jawaban yang relevan dengan masalah penelitian kepada seorang

responden. Dalam mengumpulkan data penulis menggunakan metode

wawancara semi terstruktur, yaitu dengan membuat daftar pertanyaan

pokok dan pertanyaan lanjutan disusun sesuai dengan perkembangan

wawancara. Dalam penelitian ini pihak yang diwawancarai adalah Kepala

Badan Pertanahan Nasional Kota Padang, Pemerintahan kota Padang Tim

Pengelola Kegiatan dan Tim Penilai Harga dan Kepala Dinas Prasarana

Jalan Tata Ruang dan Pemukiman ( Prasjal Tarkim ).

5. Populasi dan Sampel

Dalam penelitian lapangan, data primer diperoleh melalui


wawancara langsung yang terarah dan berurutan dengan dengan pihak-

pihak yang terlibat dalam hal tanggung jawab Badan Pertanahan

Nasional Kota Padang, Pemerintahan kota Padang Tim Pengelola

Kegiatan dan Tim Penilai Harga dan Dinas Prasarana Jalan Tata Ruang

dan Pemukiman ( Prasjal Tarkim ), terhadap konsolidasi tanah untuk

pembangunan jalan By Pass kota Padang. Populasi penentuan sampling

dengan menggunakan metode purpossive sampling, yaitu dengan

memilih dan menentukan beberapa orang dari populasi yang ada, dengan

pertimbangan pihak-pihak yang dijadikan sebagai responden tersebut

menurut keyakinan peneliti dapat memberikan informasi atau data yang

representatif terkait dengan objek penelitian.

6. Pengolahan Data dan Analisis Data.

Data yang telah dikumpulkan diolah dengan proses editing, sehingga

akan disusun secara sistematis dan mempemudah mendapatkan kesimpulan.

Selnjutnya, penulis melakukan analisis kualitatif, yaitu dengan menilai

berdasarkan peraturan Perundang-Undangan, teori, logika untuk menarik

kesimpulan sebagai jawaban hukum terhadap rumusan masalah.

Anda mungkin juga menyukai