Menurut World Health Organization (WHO) menyebutkan bahwa Anemia merupakan 10 masalah kesehatan terbesar di abad modern, kelompok yang berisiko tinggi menderita anemia adalah Wanita Usia Subur (WUS), ibu hamil, anak usia sekolah, dan remaja (Ani, 2013 dalam Dahliansyah, 2020). Remaja putri lebih beresiko mengalami anemia dibandingkan remaja putra, dikarenakan remaja putri memerlukan asupan zat besi lebih banyak terutama pada saat menstruasi (Kesehatan et al., 2021). Anemia pada remaja putri dapat mengakibatkan penurunan konsentrasi belajar, kebugaran jasmani, dan pertumbuhan sehingga berat badan dan tinggi badannya tidak termasuk dalam kategori normal (Fauziyah & Rahayu, 2021). Remaja perempuan dengan anemia berisiko melahirkan bayi BBLR (<2500 gram), melahirkan bayi premature, infeksi neonates dan kematian pada ibu dan bayi saat persalinan (Supariasa, 2016 dalam Fitria, 2021). Berdasarkan data World Health Organization (WHO) tahun 2018, menyatakan bahwa sekitar 1,2 miliar orang atau 1 dari 6 populasi dunia adalah remaja berusia 10 hingga 19 tahun lebih dari 1,1 juta remaja berusia 10-19 tahun meninggal tahun 2016. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan (Kemenkes), dari tahun 2013 sampai 2018 terdapat kenaikan prevalensi anemia pada kelompok usia 15-24 tahun yaitu 18,4% menjadi 32% atau 14,7 jiwa. Data dari Dinas Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Barat menunjukkan terdapat penurunan yang signifikan pada persentase remaja putri yang mendapat TTD pada tahun 2020 yaitu 30,08% dikarenakan adanya pemberlakuan kebijakan pembatasan social berskala besar (PSBB) yang mengakibatkan tutupnya sekolah.