Anda di halaman 1dari 46

ASUHAN KEPERAWATAN

HUMAN PAPILLOMA VIRUS PADA IBU HAMIL

OLEH: KELOMPOK III


1. MELIAN ERYANTI
2. REZMA RAHAYU ARYANTI

YAYASAN RUMAH SAKIT ISLAM NUSA TENGGARA BARAT


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN YARSI MATARAM
PROGRAM STUDI S.1 KEPERAWATAN
MATARAM
2019
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbilalamin. Segala puji bagi Allah yang telah menolong kami


menyelesaikan makalah ini dengan penuh kemudahan. Tanpa pertolongan-Nya mungkin
penyusun tidak akan sanggup menyelesaikan dengan baik. Shalawat dan salam semoga
terlimpah curahkan kepada baginda tercinta yakni Nabi Muhammad SAW.
Makalah dengan juduI “Human Papilloma Virus Pada Ibu Hamil” ini kami susun
untuk memenuhi nilai tugas mata kuliah MATERNITAS II yang diberikan oleh Ibu,
Kami mengucapkan banyak terimakasih kepada Ibu selaku dosen mata, terimakasih
kepada anggota kelompok 3, serta pihak-pihak yang telah banyak membantu dalam
penyusunan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca.
Walaupun makalah ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Penyusun mohon saran dan
kritiknya. Terimaksih

Mataram, 1 Juni 2019

Penulis
DAFTAR ISI
Cover
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
1.2 Rumusan masalah
1.3 Tujuan
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian HPV
2.2 Penyebab terjadinya HPV pada ibu hamil
2.3 Resiko kejadian
2.4 Angka kejadian HPV di Indonesia dan NTB
2.5 Anatomi HPV
2.6 Patofisiologi HPV
2.7 Tanda dan gejala dari HPV
2.8 Penatalaksanaan untuk HPV
2.9 Cara pencegahan untuk HPV
2.10 Asuhan keperawatan dari HPV
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Human Papilloma Virus adalah virus deoxyribonucleic acid (DNA) untaian
ganda yang menular secara seksual dan menginfeksi permukaan kulit dan mukosa
epitel (Kahn, 2009 dalam Wibisono, 2011). Infeksi HPV pada genetalia
merupakan infeksi yang terjadi dan bersifat asimtomatik (Rusmil, 2008 dalam
Wibisono, 2011).
Beberapa faktor yang dapat mempermudah terinfeksi virus HPV yaitu menikah
atau memulai aktivitas seksual pada usia muda (kurang dari 18 tahun), berganti-
ganti pasangan seks (pasangan waita tersebut maupun pasangan suaminya), wanita
melahirkan banyak anak (sering melahirkan), sering menderita infeksi di daerah
rahim, dan wanita perokok yang mempunyai resiko 2 kali lebih besar terkena
kanker serviks dibandingkan dengan wanita yang tidak merokok.
Pada tanggal 8 juni 2006, FDA (The U.S Food and Drug Administration) telah
mengesahkan vaksin HPV (FDA, 2006) dan sudah mendapat izin edar dari BPOM
RI di Indonesia. Vaksin ini mempunyai efektifitas 96-100% untuk mencegah
kanker leher rahim yang disebabkan oleh HPV tipe 16 dan 18 (Rusmil, 2008).
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud denagn pengertian dari HPV?
2. Apa penyebab terjadinya HPV?
3. Resiko kejadian akibat HPV ?
4. Berapa angka kejadian HPV di Indonesia dan NTB ?
5. Apa saja anatomi dari HPV?
6. Bagaimana patofisiologi dari HPV?
7. Apa saja tanda dan gejala dari HPV?
8. Bagaimana penatalaksanaan untuk HPV?
9. Bagaimana cara pencegahan untuk HPV?
10. Bagaimana asuhan keperawatan untuk HPV?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari HPV
2. Untuk mengetahui penyebab terjadinya HPV
3. Untuk mengetahui Resiko kejadian akibat HPV
4. Untuk mengetahui angka kejadian HPV di Indonesia dan NTB
5. Untuk mengetahui anatomi dari HPV
6. Untuk mengetahui patofisiologi dari HPV
7. Untuk mengetahui tanda dan gejala dari HPV
8. Untuk mengetahui penatalaksanaan untuk HPV
9. Untuk mengetahui pencegahan untuk HPV
10. Untuk mengetahui asuhan keperawatan untuk HPV
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian HPV atau CA Serviks
Menurut American Cancer Society [ACS] (2014), kanker serviks dimulai
pada sel-sel yang melapisi serviks. Sebagian kanker serviks dimulai pada zona
tranformasi yaitu tempat bertemunya sel squamosa dan sel glandular. Sel-sel ini
tidak langsung berubah menjadi kanker. Sebaliknya, sel-sel serviks yang normal
secara bertahap berkembang menjadi pra-kanker dan selanjutnya berubah menjadi
kanker. Penyebab kanker servis adalah Human Papiloma Virus (HPV). HPV tipe
16, 18 31, 35, 45, 51, 52, 56, dan 58 sering ditemukan pada kanker dan lesi
prekanker. HPV adalah DNA virus yang menimbulkan poliferasi pada permukaan
epidermal dan mukosa (Rasjidi, 2008 cit Rahmayanti 2015).
Kanker serviks dibagi menjadi 2 tipe, yaitu sel squamosa karsinoma dan
adenokarsinoma, 80-90% adalah kanker serviks sel squamosa karsinoma. Kanker
ini terbentuk dari sel-sel di eksoserviks, dan di dalam mikroskop sel-sel kanker
memiliki fitur sel squamosa. Jenis kanker serviks lainnya adalah adenokarsinoma.
Adenokarsinoma adalah kanker yang berkembang dari sel-sel kelenjar.
Adenokarsinoma serviks berkembang dari mukus yang memproduksi sel kelenjar
endoserviks. Adenokarsinoma serviks sering terjadi pada wanita usia 20-30 tahun
(ACS, 2014).
2.2 Penyebab terjadinya HPV atau CA Serviks
1. Infeksi Human Papilloma Virus (HPV)
Human Papilloma Virus (HPV) adalah sebuah famili yang memiliki 150
lebih virus, beberapa diantaranya menyebabkan jenis pertumbuhan yang
disebut papillomas, yang lebih dikenal sebagai kutil. Jenis HPV yang
menyebabkan kutil muncul disekitar alat kelamin dan di sekitar anal. HPV
dapat menginfeksi sel-sel pada permukaan kulit, area yang melapisi alat
kelamin, anus, mulut, dan tenggorokan. Sekitar dua per tiga dari kejadian
kanker serviks disebabkan oleh tipe HPV 16 dan HPV 18. Menurut dokter
bahwa seorang wanita sudah terinfeksi HPV sebelum mereka mengalami lesi
kanker serviks (ACS, 2014).
Human Papilloma Virus (HPV) dapat menyebar dari satu orang ke orang
lain selama kontak secara langsung dengan kulit. Salah satu cara
penyebarannya adalah melalui hubungan seksual, termasuk hubungan seks
vagina, seks anal, dan bahkan seks oral. Meskipun HPV dapat menyebar saat
berhubungan seks termasuk hubungan seks vagina, seks anal, dan seks oral,
terjadinya penyebaran infeksi tidak harus melalui seks. Penyebaran HPV dari
satu orang ke orang lain yaitu dengan cara kontak langsung dengan orang
yang sudah terinfeksi HPV (ACS, 2014).
Kemungkinan untuk penyebaran HPV juga bisa melalui toilet atau WC.
Virus HPV pada seseorang yang menderita kanker serviks yang
menggunakan closet bisa jadi berpindah ke closet. Disaat ada orang lain yang
menduduki closet, maka virus tersebut bisa berpindah kepada orang tersebut
(Arum, 2015).
Menurut Centers for Disease Control and Prevention [CDC] (2015)
mengemukan bahwa pencegahan untuk infeksi HPV adalah dengan vaksinasi
HPV. Vaksin HPV penting untuk melindungi tubuh terhadap kanker yang
disebabkan oleh Human Papiloma Virus (HPV) Vaksin HPV
direkomendasikan untuk anak laki-laki dan perempuan pada usia 11 atau 12
tahun sehingga mereka terlindungi sebelum terkena virus. Vaksin HPV juga
menghasilkan respon imun yang lebih kuat selama tahun-tahun praremaja.
Selain anak-anak wanita muda juga bisa mendapatkan vaksin HPV sampai
usia 26 tahun, dan laki-laki muda bisa mendapatkan vaksinasi sampai usia 21
tahun. Vaksin ini juga dianjurkan untuk setiap wanita yang berhubungan seks
dengan laki-laki sampai usia 26 tahun, dan untuk pria dengan penurunan
sistem kekebalan tubuh (termasuk HIV) sampai usia 26 tahun, jika mereka
tidak mendapatkan vaksin HPV ketika mereka masih muda. Vaksin HPV
diberikan 3 kali, vaksin kedua diberikan 1 atau 2 bulan setelah vaksin pertama
kemudian vaksin ketiga diberikan 6 bulan setelah vaksin pertama.
2. Imunosupresif (Penurunan Kekebalan Tubuh)
Wanita yang mengalami gangguan kekebalan tubuh atau kondisi
imunosupresif (penurunan kekebalan tubuh) dapat mengalami peningkatan
terjadinya kanker serviks (Yanti, 2013). Menurut American Cancer Society
[ACS] (2014) bahwa Human immunodeficiency virus (HIV) yang
menyebabkan AIDS merusak sistem kekebalan tubuh dan menempatkan
perempuan pada risiko tinggi untuk infeksi HPV.
Sistem kekebalan tubuh berperan penting dalam menghancurkan sel-sel
kanker dan memperlambat pertumbuhan dan penyebarannya. Pada wanita
dengan sistem kekebalan tubuh terganggu oleh HIV, sebuah serviks pra-
kanker berkembang menjadi kanker invasif lebih cepat dari biasanya.
Kelompok yang berisiko terkena kanker serviks adalah perempuan yang
mengkonsumsi obat untuk menekan respon kekebalan tubuh mereka, seperti
yang sedang dirawat karena penyakit autoimun (dimana sistem kekebalan
tubuh melihat jaringan tubuh sendiri sebagai benda asing dan menyerang
mereka karena dianggap sebagai kuman) atau mereka yang telah mengelamai
reaksi penolakan saat mendapatkan transplantasi organ (ACS, 2014).
3. Multi Partner Sex
Jumlah pasangan seksual >1 orang turut berkontribusi dalam penyebaran
kanker serviks. Semakin banyak jumlah pasangan seks, maka semakin
meningkat pula risiko terjadinya kanker serviks pada wanita tersebut
(Wahyuningsih & Mulyani, 2014). Menurut Aminati (2013) mengemukakan
bahwa wanita yang berganti-ganti pasangan akan rentan terkena virus HPV.
Penularan virus ini dapat terjadi baik dengan cara tranmisi melalui organ
genital ke organ genital, oral ke genital maupun secara manual ke genital
(Rasjidi, 2010 cit Yanti, 2013).
Pada prinsipnya setiap pria memiliki protein spesifik berbeda pada
spermanya. Protein tersebut dapat menyebabkan kerusakan pada sel epitel
serviks. Sel epitel serviks akan mentoleransi dan mengenali protein tersebut
tetapi jika wanita itu melakukan hubungan dengan banyak pria maka akan
banyak sperma dengan protein spesifik berbeda yang akan menyebabkan
kerusakan tanpa perbaikan dari sel serviks sehingga akan menghasilkan luka.
Adanya luka akan mempermudah infeksi HPV. Risiko terkena kanker serviks
menjadi 10 kali lipat lebih besar pada wanita yang mempunyai partner
seksual 6 orang atau lebih (Novel, 2010 cit Wahyuningsih & Mulyani 2014).
4. Berhubungan Seksual Pertama Kali Diusia ≤20 Tahun
Menurut penelitian Wahyuningsih (2014) melaporkan bahwa
berhubungan seksual pertama kali pada umur ≤20 tahun mempunyai risiko
4,788 kali lebih besar untuk mengalami lesi prakanker serviks dibandingkan
dengan responden yang berhubungan seksual pertama kali pada umur >20
tahun. Hal ini mungkin terkait dengan komplemen histon pada semen yang
bertindak sebagai antigen. Kematangan sistem imun terutama mukosa serviks
sendiri sangat rentan, kesempatan berganti partner sex yang terkait dengan
risiko terkena infeksi juga tinggi. Faktor risiko ini dihubungkan dengan
karsinogen pada zona transformasi yang sedang berkembang dan paling
berbahaya apabila terinfeksi HPV pada 5-10 tahun setelah menarche.
Ketika sel sedang membelah secara aktif (metaplasi) seharusnya tidak
terjadi kontak atau rangsangan apapun dari luar. Termasuk injus (masuknya)
benda asing dalam tubuh perempuan. Adanya benda asing, termasuk alat
kelamin laki-laki dan sel sperma, akan mengakibatkan perkembangan sel ke
arah abnormal. Infeksi dalam rahim dengan mudah terjadi apabila timbul luka
akibat masuknya benda asing tersebut. Sel abnormal dalam mulut rahim
tersebut dapat mengakibatkan kanker mulut rahim (Wahyuningsih & Mulyani,
2014).
5. Multi Paritas
Paritas merupakan keadaan dimana seorang wanita pernah melahirkan
bayi yang dapat hidup atau tidak. Paritas yang berbahaya adalah dengan
memiliki jumlah anak lebih dari 2 orang atau jarak persalinan terlalu dekat,
karena dapat menyebabkan timbulnya perubahan sel-sel abnormal pada mulut
rahim. Jika jumlah anak yang dilahirkan melalui jalan normal banyak
menyebabkan terjadinya perubahan sel abnormal dari epitel pada serviks dan
dapat berkembang menjadi keganasan (Aminati, 2013). Menurut ACS (2014)
bahwa wanita yang telah mengalami 3 atau lebih kehamilan dalam jangka
penuh memiliki peningkatan risiko untuk terjadinya kanker serviks. Penelitian
telah menunjukkan bahwa perubahan hormon selama kehamilan
kemungkinan membuat perempuan lebih rentan terhadap infeksi HPV atau
pertumbuhan kanker. Pemikiran lainnya bahwa wanita hamil mungkin
memiliki sistem kekebalan tubuh lemah, sehingga memungkinkan untuk
terjadinya infeksi HPV dan pertumbuhan kanker.
6. Penggunaan Kontrasepsi Oral (pil KB) dalam Jangka Panjang
Terdapat bukti bahwa menggunakan kontrasepsi oral dalam jangka
waktu yang lama meningkatkan risiko kanker serviks. Penelitian
menunjukkan bahwa risiko kanker serviks naik ketika semakin lama seorang
wanita mengkonsumsi kontrasepsi oral, tapi risiko kembali turun lagi setelah
kontrasepsi oral dihentikan. Dalam sebuah penelitian, risiko kanker serviks
dua kali lipat lebih besar pada wanita yang mengkonsumsi pil KB lebih dari 5
tahun, tapi risiko kembali normal 10 tahun setelah mereka berhenti (ACS,
2014).
Kontrasepsi oral dapat berbentuk pil kombinasi, sekuensial, mini atau
pasca senggama dan bersifat reversibel. Kontrasepsi oral kombinasi
merupakan campuran estrogen sintetik seperti etinilestradiol dan satu dari
beberapa steroid C19 dengan aktivitas progesteron seperti noretindron.
Kontrasepsi ini mengandung dosis estrogen dan progesteron yang tetap.
Pemakaian estrogen dapat berisiko karena merangsang penebalan dinding
endometrium dan merangsang sel-sel endometrium sehingga berubah sifat
menjadi kanker (Wahyuningsih & Mulyani, 2014).
7. Merokok dan Paparan Asap Rokok
Menurut American Cancer Society [ACS] (2014) mengemukakan bahwa
wanita yang merokok sekitar dua kali lebih berisiko terjadi kanker serviks
dibandingkan dengan non-perokok. Perokok pasif juga merupakan faktor
risiko dari kanker serviks. Paparan asap rokok dapat meningkatkan risiko
terjadinya lesi prakanker leher rahim sebesar 4,8 kali dibandingkan dengan
orang yang tidak terkena paparan asap rokok (Dewi et al, 2013).
Merokok berpeluang untuk masuknya banyak bahan kimia penyebab
kanker yang mempengaruhi organ selain paru-paru. Zat berbahaya ini diserap
melalui paru-paru dan dibawa dalam aliran darah ke seluruh tubuh (ACS,
2014). Zat-zat tersebut terdapat pada tembakau yang mengandung bahan
karsinogen, baik yang diisap sebagai rokok atau dikunyah (Dewi et al, 2013).
Tembakau mengandung bahan-bahan karsinogenik. Wanita perokok memiliki
konsentrasi nikotin pada getah serviks 56 kali lebih tinggi dibandingkan di
dalam serum. Efek langsung dari bahan tersebut pada leher rahim adalah
menurunkan status imun lokal sehingga dapat menjadi karsinogen. Bahan
tersebut oleh peneliti ditemukan pada serviks yang wanita yang aktif merokok
dan menjadi ko- karsinogen infeksi HPV karena bahan tersebut diketahui
dapat menyebabkan kerusakan sel epitel serviks sehingga mempermudah
infeksi HPV dan menyebabkan neoplasma (populasi sel kanker) serviks (Tay
SK, 2004. Hidayat, 2001. Novel 2010 cit Wahyuningsih dan Mulyani, 2014)
Menurut ACS (2014) bahwa merokok juga membuat sistem kekebalan
tubuh kurang efektif dalam memerangi infeksi HPV. Efek langsung bahan
tersebut pada leher rahim akan menurunkan status imun lokal, sehingga dapat
menjadi ko-karsinogen. Kandungan nikotin dalam asap rokok masuk dalam
lendir yang menutupi leher rahim sehingga menurunkan ketahanan alami sel
leher rahim terhadap perubahan abnormal. Bahan kimia tersebut dapat
merusak DNA pada sel-sel leher rahim dan berkontribusi terhadap
berkembangnya kanker leher rahim (Dewi et al, 2013).
8. Perineal Hygiene Buruk
Hygiene diri yang kurang baik juga dapat meningkatkan risiko terjadinya
lesi prakanker leher rahim sebesar 29 kali dibanding hygiene baik (Dewi et al,
2013). Teori dimana kebersihan memiliki pengaruh terhadap pH vagina
sehingga dapat memberikan peluang untuk pertumbuhan flora, dimana flora
ini dapat memberikan perasaan gatal dan menggaruk sehingga timbul radang.
Radang inilah yang kemungkinan mempercepat pertumbuhan HPV sehingga
meningkatkan risiko terjadinya kanker serviks (Sarjana, 2009 cit Dewi et al,
2013). Rahmayanti (2012) mengemukakan bahwa organ reproduksi
perempuan mudah terkena bakteri yang menimbulkan bau tidak sedap di
daerah kelamin dan infeksi. Cara membasuh vagina yang benar yaitu dari
depan ke belakang juga berpengerauh terhadap status kebersihan wanita,
karena cara membasuh vagina yang salah dapat menyebabkan kuman masuk
ke liang vagina dan memicu infeksi sehingga HPV sebagai penyebab kanker
tumbuh dengan baik (Dewi et al, 2013).
Mengganti celana dalam minimal dua kali sehari jga merupakan upaya
dalam menjaga kesehatan dan kebersihan vagina. Celana dalam yang
digunakan harus terbuat dari bahan yang dapat menyerap keringat. Katun
adalah bahan kain terbaik yang sesuai untuk semua jenis kelit termasuk area
vagina. Menggunakan celana berbahan katun memungkinkan organ genital
perempuan untuk menghirup udara yang segar dan selalu membantunya agar
tetap kering (Rahmayanti, 2012).
Penggantian pembalut ≤2 kali dalam sehari akan menyebabkan
kelembaban berlebih yang memudahkan pertumbuhan jamur atau bakteri
termasuk HPV. Jumlah darah menstruasi yang keluar kemungkinan tidak
terserap dengan baik dalam waktu lebih dari 4 jam. Adanya darah yang tidak
terserap pembalut mengakibatkan permukaan pembalut basah, ditambah lagi
aktifitas wanita seperti duduk membuat pembalut akan tertekan dan darah
yang dalam pembalut tertekan keluar sehingga organ wanita lembab pada
waktu yang lama. Pemakaian pentiliner juga tidak jarang menimbulkan alergi,
iritasi, dan terjadi infeksi (Dewi et al, 2013).
Penggunaan sabun yang mengandung antiseptik memang sebaiknya
diperlukan untuk area dubur namun untuk area genital tidak diperlukan.
Penggunaan sabun apalagi rutin akan mengiritasi dan mengeringkan mucus di
sekitar vulva sehingga adanya iritasi menjadi tempat tumbuh HPV sedangkan
sabun antiseptic akan membunuh semua bakteri, bukan hanya yang berbahaya
(Dewi et al, 2013). Terlalu sering menggunakan antiseptik untuk mencuci
vagina dapat memicu kanker serviks karena mencuci vagina terlalu sering
akan menyebabkan iritasi pada serviks. Iritasi ini akan merangsang terjadinya
perubahan sel yang akhirnya berubah menjadi kanker (Aminati, 2013).
9. Penggunaan Pembalut/Pantyliner
Menggunakan pembalut baik pantyliner atau pembalut saat menstruasi,
pembalut yang bisa menyebabkan kanker serviks adalah pembalut yang
mengandung dioksin. Dioksin merupakan bahan pencemar lingkungan.
Biasanya, dioksin digunakan sebagai pemutih yang digunakan untuk
memutihkan pembalut hasil daur ulang dari barang bekas, misalnya rayon,
kardus, dan lain-lain. Rayon terbuat dari serat selulosa yang berasal dari pulp
kayu (Arum, 2015).
10. Infeksi Chlamydia
Chlamydia adalah jenis bakteri yang relatif umum yang dapat
menginfeksi sistem reproduksi. Penyebarannya melalui kontak seksual.
Infeksi chlamydia dapat menyebabkan peradangan panggul, hingga
menyebabkan infertilitas. Beberapa studi telah melihat risiko yang lebih
tinggi dari kanker serviks pada wanita dengan hasil tes darahnya yang
menunjukkan riwayat infeksi chlamydia atau sedang terinfeksi chlamydia
(dibandingkan dengan wanita dengan yang hasil tes normal). Wanita yang
terinfeksi chlamydia seringkali tidak menunjukkan gejala. Bahkan, mereka
tidak tahu bahwa sudah terinfeksi kecuali mereka melakukan tes chlamydia
selama selama pemeriksaan panggul (ACS, 2014).
Salah satu gejala pada infeksi chlamydia adalah keputihan. Keputihan
yang tidak normal dan dibiakarkan secara terus menerus juga menjadi andil
terbentuknya kanker serviks karena keputihan yang merupakan gejala infeksi
penyakit kelamin seperti chlamydia yang akan menyebabkan kerusakan organ
reproduksi bagian dalam (Arum, 2015).
11. Diet
Perempuan yang kurang mengkonsumsi buah-buahan dan sayuran dapat
meningkatkan risiko terjadinya kanker serviks (ACS, 2014). Menurut
beberapa penelitian menyimpulkan bahwa defesiensi asam folat seperti
sayuran berdaun hijau tua buah-buahan jeruk dan papaya dapat meningkatkan
risiko terjadinya displasia ringan. Makanan yang juga meningkatkan risiko
terjadinya kanker serviks pada wanita adalah makanan yang rendah beta
karotene seperti wortel, ubi jalar, kubis atau buah mangga dan labu, retinol
(vitamin A) seperti wortel, bayam, tomat, dan sebagainya, dan vitamin C
seperti buah jeruk, papaya, kiwi, kubus, dan sebagainya, serta vitamin E
seperti pada umbi-umbian, alpukat, brokoli, dan sebagainya (Aminati, 2013
cit Yanti 2013).
Konsumsi makanan yang berlemak tinggi secara terus menerus maka
tubuh akan mengalami peningkatan lemak. Peningkatan lemak akan
menstimulasi seksresi asam empedu yang bertindak sebagai surfaktan agresif
pada mukosa, sehingga menstimulasi proliferasi. Faktor-faktor yang beredar
meningkatkan proliferasi dan apoptosis dari sel-sel pra-kanker, sehingga
mempromosikan pertumbuhan tumor (Calle & Kaaks, 2004 cit Aulawi,
2013). Menurut ACS (2014) mengatakan bahwa mengkonsumsi alkohol juga
dapat meningkatkan risiko penyakit kanker. Alkohol dapat bertindak sebagai
iritan dan merusak jaringan tubuh. Sel yang rusak dapat mencoba untuk
memperbaiki diri, yang dapat menyebabkan perubahan DNA pada sel-sel
yang dapat menjadi langkah menuju kanker.
12. Obesitas
Sekitar 20% akibat dari semua keganasan adalah obesitas, meskipun
pengaruhnya adalah gender dan lainnya. Hubungan antara obesitas dan risiko
kanker yang lebih tinggi terutama karena parameter antropometri dan faktor
gaya hidup yang mengaktifkan mekanisme biologis yang berbeda. Parameter
antropometrik yang dapat meningkatkan risiko kanker adalah BMI yang lebih
dari 40,0, peningkatan berat badan, dan jumlah lemak tubuh, khususnya
lemak visceral. Faktor gaya hidup yang berisiko terjadinya kanker termasuk
pola diet, seperti hypercaloric dan/atau diet yang buruk (Pergola & Silvestris,
2013).
Menurut National Cancer Institution [NCI] (2012) mengemukakan
bahwa mekanisme yang berbuhungan dengan obesitas dan meningkatnya
risiko kanker adalah jaringan lemak yang memproduksi banyak hormon
estrogen yang berhubungan langsung dengan peningkatan kanker payudara,
kanker endometrial dan beberapa kankerlainnya. Orang yang obesitas sering
meningkatkan level insulin dan insulin seperti Growth Factor-1 (IGF1) di
dalam darahnya (akibatnya terjadi hiperinsulinemia atau resistensi insulin),
dimana berkembang untuk terjadinya tumor.
Sel lemak menghasilkan hormon, disebut adipokines, yang dapat
menstimulasi atau menghambat pertumbuhan sel. Misalnya, leptin yang lebih
banyak pada orang yang mengalami obesitas, sel ini dapat berdampak untuk
terjadinya proliferasi sel, sedangkan adiponectin, yang kurang berlimpah
pada orang yang mengalami obesitas akan berefek menjadi antiproliferative.
Sel lemak mungkin juga bisa langsung dan tidak langsung berefek pada
pertumbuhan tumor regulator, termasuk target rapamycin mamalia (mTOR)
dan AMP (aktifitas protein kinase) (NCI, 2012).
13. Memiliki riwayat keluarga kanker serviks
Riwayat keluarga seperti ibu atau saudara perempuan yang memiliki
kanker serviks berpeluang untuk mengembangkan penyakit ini sekitar 2
sampai 3 kali lebih tinggi dibandingan dengan tidak memiliki riwayat
keluarga dengan kanker serviks. Beberapa peneliti menduga beberapa contoh
kecenderungan familial ini disebabkan oleh kondisi warisan yang membuat
beberapa wanita kurang mampu melawan infeksi HPV dibandingkan dengan
yang tidak memiliki riwayat tersebut. Dalam kasus lain, perempuan dari
keluarga yang sama sebagai pasien sudah didiagnosis bisa lebih mungkin
untuk memiliki satu atau lebih faktor risiko non-genetik lainnya (ACS, 2014).
Kanker disebabkan karena adanya ketidak normalan materi genetik dari
sel karena terjadinya perubahan tersebut. Terjadinya abnormalitas dari gen
adalah terjadinya kesalahan replikasi dari DNA atau gen yang diturunkan dari
orangtuanya, sehingga gen yang salah tersebut terdapat dalam seluruh sel
tubuhnya. Penyakit kanker yang diturunkan biasanya dipengaruhi oleh
interaksi yang komplek antara pemaparan bahan karsinogenik dengan genom
penderita. Abnormalitas dari genetik pada penderita kanker terciri pada dua
kelompok gen. Onkogen yang memicu terbentuknya kanker adalah dengan
jalan mengaktifkan sel kanker, yang menyediakan dan memfasilitasi sel
tersebut untuk berkembang seperti hiperaktif pertumbuhan dan pembelahan
sel, mencegah terjadinya program kematian sel (apoptosis), kehilangan sifat
normal dari sel, dan mampu bertahan dan berkembang dalam jaringan
lingkungannya. Pada kondisi tersebut gen yang bertugas menghambat sel
tumor dihambat/diinaktifkan yang mengakibatkan sel tidak berfungsi normal,
hal tersebut menyebabkan replikasi DNA yang mengontrol siklus sel tidak
bekerja (Darmono, 2010).
14. Usia
Usia yang paling banyak terkena kanker serviks adalah kelompok usia
41-65 tahun dengan grade paling banyak berada pada grade 3-4.
Meningkatnya risiko kanker leher rahim pada usia ini merupakan gabungan
dari meningkatnya dan bertambah lamanya waktu pemaparan terhadap
karsinogen serta makin melemahnya sistem kekebalan tubuh akibat usia
(Darayani & Sumawati 2013). Menurut penelitian yang dilakukan Lestari dan
Sari (2011) melaporkan bahwa wanita akan mengalami perubahan pada
anatomi tubuh serta mengalami penurunan dari fungsi dan kerja dari organ
tubuhnya sehingga wanita rawan terhadap risiko infeksi. Secara fakta, dengan
bertambahnya usia, terjadi pengurangan risiko infeksi HPV, namun pada hasil
penelitian ini risiko infeksi menetap/persisten justru meningkat pada usia >35
tahun. Hal ini diduga karena seiring pertambahan usia, terjadi perubahan
anatomi (retraksi) dan histologi (metaplasia).
Dimasa ini segala kekuatan mulai menurun, penyakitpun seolah-olah
bersahabat dengan manusia golongan umur ini. Masa ini juga dimana wanita
akan mengalami menopause, pada masa itu sering terjadi perubahan sel-sel
abnormal pada mulut rahim. Selain itu, karena menurunnya daya tahan tubuh
dan terjadi perubahan sel-sel abnormal dalam mulut rahim, mempercepat
pertumbuhan sel kanker serviks (Darayani & Sumawati 2013).
2.3 Resiko kejadian
Faktor risiko adalah faktor yang mempermudah timbulnya penyakit kanker
serviks. Beberapa faktor yang menyebabkan perempuan terpapar HPV (sebagai
penyebab dari kanker serviks) adalah sebagai berikut:
1. Usia
Faktor alamiah pencetus kanker serviks adalah wanita usia diatas 40 tahun.
Semakin tua seorang wanita maka makin tinggi risikonya terkena kanker
serviks (Kartikawati, 2014).
Puncak perkembangan kanker serviks berada pada usia 47 tahun. Sekitar 47%
wanita dengan kanker serviks invasif berusia di bawah 35 tahun saat
terdiagnosis. Sekitar 10 %, kanker serviks terjadi pada wanita yang lebih tua
(> 65 tahun) dan cenderung meninggal karena penyakit karena stadium lanjut
mereka saat didiagnosis (Gattoc, et al, 2015).
Menurut Dr. A. M. Puguh, SPOG, Ahli Kebidanan dan Kandungan RS
Husada Jakarta, semua wanita yang aktif secara seksual, memiliki risiko
terkena kanker serviks atau tahap awal penyakit ini tanpa memandang usia
atau gaya hidup. Jika ditarik angka rata-rata, kanker serviks ini sering
menjangkiti dan dapat membunuh wanita di usia produktif sekitar 30-50
tahun yang mana pada saat itu mereka masih memiliki tanggung jawab
ekonomi dan sosial terhadap anak-anak dan anggota keluarga lainnya.
2. Usia pertama kali melakukan hubungan seksual
Sesuai dengan etiologi infeksinya, wanita yang memulai hubungan seksual
pada usia muda akan meningkatkan risiko terkena kanker serviks karena sel
kolumnar serviks lebih peka terhadap metaplasia selama usia dewasa maka
wanita yang berhubungan seksual sebelum usia 18 tahun akan berisiko
terkena kanker serviks lima kali lipat (Rasjidi, 2014).
Usia pertama kali melakukan hubungan seks merupakan salah satu faktor
risiko terpenting karena penelitian para pakar menunjukkan bahwa semakin
muda wanita melakukan hubungan seksual maka semakin besar risiko terkena
kanker serviks. Wanita yang melakukan hubungan seks pertama sekali pada
usia kurang dari 20 tahun mempunyai risiko 3 kali lebih besar daripada
wanita yang berhubungan seksual pertama sekali pada usia lebih dari 20
tahun. Umumnya sel-sel mukosa baru matang setelah wanita berusia 20 tahun
ke atas. Jadi, seorang wanita yang menjalin hubungan seks pada usia remaja,
paling rawan bila dilakukan di bawah usia 16 tahun. Hal ini berkaitan dengan
kematangan sel-sel mukosa pada serviks. Pada usia muda, sel-sel mukosa
pada serviks belum matang. Artinya, masih rentan terhadap rangsangan.
Sehingga tidak siap menerima rangsangan dari luar. Termasuk zat-zat kimia
yang dibawa sperma. Karena masih rentan, sel-sel mukosa bisa berubah sifat
menjadi kanker. Sifat sel kanker selalu berubah setiap saat yaitu mati dan
tumbuh lagi. Dengan adanya rangsangan, sel bisa tumbuh lebih banyak dari
sel yang mati, sehingga perubahannya tidak seimbang lagi. Kelebihan sel ini
akhirnya bisa berubah sifat menjadi sel kanker. Lain halnya bila hubungan
seks dilakukan pada usia di atas 20 tahun, dimana sel-sel mukosa tidak lagi
terlalu rentan terhadap perubahan (Anolis, 2015).
3. Paritas
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hidayat dkk (2015),
menyimpulkan bahwa banyaknya anak yang dilahirkan berpengaruh dalam
timbulnya penyakit kanker serviks. Paritas merupakan salah satu faktor risiko
terjadinya kanker serviks dengan besar risiko 4,55 kali untuk terkena kanker
serviks pada wanita dengan paritas >3 dibandingkan wanita dengan paritas 3
4. Multipartner seks (Berganti-Ganti Pasangan)
Berganti ganti pasangan seksual, memungkinkan tertularnya penyakit
kelamin, salah satunya Human Papilloma Virus (HPV). Virus ini akan
mengubah sel-sel di permukaan mukosa hingga membelah menjadi lebih
banyak. Bila hal ini terus menerus terjadi, sel kanker pun akan terus
berkembang. Perilaku berganti-ganti pasangan seksual akan meningkatkan
penularan penyakit kanker serviks. Risiko terkena kanker serviks meningkat
10 kali lipat pada wanita mempunyai teman seksual 6 orang atau lebih
dibandingkan wanita yang mempunyai 1 pasangan seksual (Azis, 2008).
Menurut Wahyuni dan Mulyani (2014) berpendapat bahwa partner sex >1
orang akan meningkatkan risiko 6,19 kali lebih besar untuk mengalami lesi
prakanker serviks dibandingkan dengan wanita yang memiliki patner sex 1
orang saja.
Berdasarkan Penelitian yang dilakukan Handayani (2015), pada wanita yang
berada di pesisir pantai disimpulkan bahwa responden yang mempunyai
pasangan lebih dari 1 mempunyai hasil test IVA positif dibandingkan
responden yang mempunyai 1 pasangan seksual. Penjelasan yang
dikemukakan oleh dr. Melissa S Luwia, MHA dari yayasan Kanker
Indonesia, bahwa seorang wanita yang memiliki risiko terkena kanker serviks
kemudian berhubungan seks dengan lelaki, kemudian lelaki itu melakukan
hubungan seksual dengan wanita lain, wanita lain tersebut berisiko terkena
kanker serviks dari perempuan yang satunya dengan media penularan oleh
lelaki tersebut (Kartikawati, 2014)
5. Merokok
Tembakau yang mengandung bahan-bahan karsinogen baik yang dihisap
sebagai rokok/sigaret atau dikunyah. Asap rokok menghasilkan polycyclic
aromatic hydrocarbon heterocyclic nitrosamines. Pada wanita perokok
konsentrasi nikotin pada getah serviks 56 kali lebih tinggi dibandingkan di
dalam serum. Efek langsung bahan-bahan tersebut pada serviks adalah
menurunkan status imun lokal sehingga dapat menjadi kokarsinogen infeksi
virus (Kartikawati, 2014).
6. Penggunaan Pembersih Vagina (Douching)
Vagina yang sehat justru harus mengandung bakteri Lactobacillus, yang
merupakan bakteri baik untuk menjaga keasaman vagina agar kuman tak
mudah menginfeksi. Kebiasaan menggunakan cairan vagina (douching) akan
memberantas bakteri Lactobacillus tersebut, sehingga vagina lebih rentan
mengalami infeksi. Salah satunya adalah infeksi Human Papilloma Virus
(HPV), yang menyebabkan kanker serviks. Penelitian yang dilakukan
Neuman (2012) di Utah, Amerika Serikat menyatakan bahwa douching
setidaknya seminggu sekali lebih berisiko empat kali lipat terkena kanker
serviks dibandingkan dengan yang tidak.
Penelitian yang dilakukan Dhorethea (2015), menyatakan bahwa cairan
pembersih vagina/ douching yang beredar dipasaran berisi air dan campuran
bahan seperti suka, baking soda atau iudium yang biasanya langsung
digunakan wanita ke dalam vagina melalui tube. Kebiasaan ini akan
mengganggu bakteri sehat (lactobacillus) yang sudah ada serta mengganggu
keasaman vagina. Wanita yang sudah mengalami infeksi atau penyakit
menular seksual lainnya justru mendorong bakteri berbahaya ke uterus,
ovarium, tuba fallopia yang akan menimbulkan masalah reproduksi. Jurnal
Enviromental Health menyatakan bahwa pembasuhan vagina menggunakan
douching akan terpapar zat kimia yang bernama Diethyl phthalates (DEP)
yaitu sejenis produk perawatan tubuh yang akan mengganggu keseimbangan
hormon dalam tubuh.
2.4 Angka kejadian HPV atau CA Serviks di Indonesia dan NTB
Kanker serviks merupakan kanker dengan prevalensi tertinggi di Indonesia.
Prevalensi kanker serviks yaitu sekitar 0,8‰ atau sekitar 98.692 perempuan di
Indonesia yang menderita kanker serviks. Provinsi Kepulauan Riau, Provinsi
Maluku Utara dan Provinsi D.I. Yogyakarta memiliki prevalensi kanker serviks
tertinggi yaitu sebesar 1,5‰ dari seluruh penderita kanker di Indonesia atau
sekitar 1.416 kasus di Provinsi Kepulauan Riau, 2.073 kasus di Provinsi D.I.
Yogyakarta, dan 819 kasus di Maluku Utara (Kemenkes RI 2015).
Kanker leher rahim atau juga yang disebut juga dengan kanker serviks
merupakan masalah kesehatan yang penting bagi wanita. Kanker ini dialami oleh
lebih dari 1,4 juta wanita di seluruh dunia. Setiap tahun, lebih dari 460.000 kasus
terjadi dan sekitar 231.000 orang meninggal karena penyakit ini. Berdasarkan data
Kementerian Keseshatan RI, Indonesia merupakan megara kedua di dunia paling
banyak menderita kanker serviks.
Di Indonesia, kasus kanker leher rahim pada peringkat pertama dengan
jumlah kasus 14.368 orang. Dari jumlah tersebut, 2.797 orang meninggal dengan
prevalensinya adalah 10.823 orang setiap tahunnya (Kustiyati dkk,2016). Sampai
saat ini, kanker mulut rahim masih merupakan masalah kesehatan perempuan di
Indonesia sehubungan dengan angka kejadian dan angka kematiannya yang tinggi.
Berdasarkan data dari Yayasan Kanker Indonesia (YKI), penderita kanker di
Indonesia pada tahun 2016 sebesar 17,8 juta jiwa dan tahun 2017 menjadi 21,7
juta jiwa. Terjadi peningkatan sebesar 3,9 persen untuk jumlah penderita kanker.
Untuk angka kejadian kanker serviks juga masih sangat tinggi. Setiap tahun tidak
kurang dari 15.000 kasus kanker serviks terjadi di Indonesia. Setiap hari 40 orang
wanita terdiagnosa kanker serviks, dan orang dua puluh orang diantaranya
meninggal akibat kanker serviks (Yayasan Kanker Indonesia, 2016).
2.5 Anatomi HPV atau CA Serviks
Menurut Langhorne, Fulton, dan Otto (2011), serviks atau leher rahim
adalah sepertiga lebih rendah dari rahim atau uterus. Tubular serviks memanjang
hingga ke bawah ke bagian atas vagina. Serviks mengelilingi pembukaan disebut
lubang serviks, rahim berbentuk silinder jaringan yang menghubungkan
vaginadan uterus. Serviks terbuat dari tulang rawan yang ditutupi oleh jaringan
halus, lembap, dan tebalnya sekitar 1 inci. Ada dua bagian utama dari serviks,
yaitu ektoserviks dan endiserviks.
Bagaian serviks yang dapat dilihat dari luar selama pemeriksaan ginekologi
di kenal sebagai ektoserviks. Pembuka dipusat ektoserviks, dikenal sebagai os
eksternal, membuka untuk memisahkan bagian antara uterys dan vagina.
Endoserviks atau kanal endoserviks, adala sebuah terowongan melalui serviks,
dari os eksternal ke dalam uterus.
Selama masa praremaja, endoserviks terletak dibagian serviks (Langhorne,
Fulton, dan Otto, 2011). Pembatasan tumpang tindih antara endosrviks dan
ektoserviks di sebut zona transformasi. Serviks menghasilkan lendir serviks yang
konsistensi atau kekentalannya berubah selama siklus menstruasi untuk mencgah
atau mempromosikan kehamilan.
Zona transformasi dari waktu ke waktu menjadi lebuh rapuh, sel-sel epitel
kolumnar digantikan dengan sel-sel epitel skuamosa. Daerah ini sangat rentan
terhadap perubahan prakanker (displasia) karena tingkat turnover yang tinggi dan
tingkat pematangan sel rendah (Rahayu, 2015)
2.6 Patofisiologi HPV atau CA Serviks
Bentuk ringan (displasia ringan dan sedang) mempunyai angka regresi yang
tinggi. Waktu yang diperlukan dari displasia menjadi karsinoma insitu (KIS)
berkisar antara 1 – 7 tahun, sedangkan waktu yang diperlukan dari karsinoma
insitu menjadi invasif adalah 3 – 20 tahun (TIM FKUI, 1992; Yuni Rahmawati,
2014).
Proses perkembangan kanker serviks berlangsung lambat, diawali adanya
perubahan displasia yang perlahan-lahan menjadi progresif. Displasia ini dapat
muncul bila ada aktivitas regenerasi epitel yang meningkat misalnya akibat
trauma mekanik atau kimiawi, infeksi virus atau bakteri dan gangguan
keseimbangan hormon. Dalam jangka waktu 7 – 10 tahun perkembangan tersebut
menjadi bentuk preinvasif berkembang menjadi invasif pada stroma serviks
dengan adanya proses keganasan. Perluasan lesi di serviks dapat menimbulkan
luka, pertumbuhan yang eksofitik atau dapat berinfiltrasi ke kanalis serviks. Lesi
dapat meluas ke forniks, jaringan pada serviks, parametria dan akhirnya dapat
menginvasi ke rektum dan atau vesika urinaria. Virus DNA ini menyerang epitel
permukaan serviks pada sel basal zona transformasi, dibantu oleh faktor risiko
lain mengakibatkan perubahan gen pada molekul vital yang tidak dapat diperbaiki,
menetap, dan kehilangan sifat serta kontrol pertumbuhan sel normal sehingga
terjadi keganasan (Suryohudoyo, 1998; Debbie, 1998; Yuni Rahmawati, 2014).
Proses mataplasi Dysplasia serviks Ca. Serviks
Pathway
Berhubungan seks <17 thn, Tahap awal Tahap lanjut Terapi
merokok atau terpapar asap,
higene yang buruk, virus HPV,
sering melahirkan dengan Nekrosis jaringan
persalinan bermasalah, Kemoterapi Post
serviks
bergantui-ganti pasangan. Pembedahan /
histerektomi
Malu Mempercepat
pertumbuhan
sel normal Aktivitas
Hambatan interaksi fisik terbatas
sosial Memperpen
dek usia akar Intoleransi
rambut aktivitas
Menyebar kepelvik Pembesaran massa
Alopecia
Gangguan citra
Tekanan intrapelvik Penipisan sel epitel tubuh
meningkat
Post
Rusaknya permeabilitas kemoterapi
Tekanan intra abdomen pembuluh darah
meningkat
Perkemihan Gastrointestinal
Nyeri akut Pendarahan
cystitis
Peningkatan
tekanan gaster
Resiko kekurangan Gangguan
Anemia
volume cairan eliminasi
urine Mual, muntah

Imunitas menurun Resiko infeksi

Peningktan Anoreksia
pemanasan pada
epidermis kulit
Ketidakseimba
ngan nutrisi
Eritema, pecah-pecah, kurang dari
kering, puiritus kebutuhan
tubuh
Kerusakan integritas
kulit

Pathway Ca.Serviks, sumber: Nurarif Amin Huda, 2015 dalam Aplikasi Asuhan
Keperawatan Berdasarkan Diagnose Medis dan Nanda Nic Noc Jidil 1
2.7 Tanda dan gejala dari HPV atau CA Serviks
Menurut Ariani (2015) dan Padila (2015) pada tahap awal , kanker serviks
stadium dini biasanya tanpa gejala-gejala. Gejala fisik serangan penyakit ini pada
umumnya dirasakan oleh penderita kanker stadium lanjut. Gejala-gejala umum
yang terjadi pada penderita kanker ini adalah :
1. Ada bercak atau pendarahan setelah berhubungan seksual,
2. Ada bercak atau pendarahan di luar masa haid,
3. Ada bercak atau pendarahan pada masa menopause,
4. Mengalami masa haid yang lebih berat dan lebih panjang dari biasanya, atau
5. Keluarnya bau menyengat yang tidak bisa dihilangkan walaupun sudah
diobati.
Jika kanker servik sudah tingkat stdium lanjut maka gejalanya adalah :
1. Munculnya rasa sakit dan pendarahan saat berhubungan intim (contact
bleeding)
2. Keputihan yang berlebihan dan tidak normal
3. Pendarahan diluar siklus menstruasi
4. Penurunan berat badan yang drastic
5. Apabila kanker sudah menyebar kepanggul, maka pasien akan menderita
keluhan nyeri punggung
6. Hambatan dalam berkemih
2.8 Penatalaksanaan untuk HPV atau CA Serviks
1. Irradiasi
a. Dapat dipakai untuk semua stadium
b. Dapat dipakai untuk wanita gemuk tua dan pada medical risk
c. Tidak menyebabkan kematian seperti operasi
2. Dosis
Penyiaran ditunjukkan pada jaringan karsinoma yang terletak
diserviks
3. Komplikasi irradiasi
a. Kerentanan kandungan kencing
b. Diarrhea
c. Perdarahan rectal
d. Fistula vesico atau rectovaginasis
4. Operasi
a. Operasi wentheim dan limfaktomi untuk stadium I dan II
b. Operasi schauta, histerektomi vagina yang radikal
5. Kombinasi Irradiasi dan pembedahan
Tidak dilakukan sebagai hal yang rutin, sebab radiasi menyebabkan
bertambahnya vaskularisasi, odema. Sehingga tindakan operasi berikutnya
dapat mengalami kesukaran dansering menyebabkan fistula, disamping itu
juga menambah penyebaran kesistem limfe dan peredaran darah.
6. Cytostatik
Bleomycin, terapi terhadap karsinoma serviks yang radio resisten. 5%
dari karsinoma serviks adalah resisten terhadap radioterapi, dianggap resisten
bila 8-10 minggu post terapi keadaan masih tetap sama (Padila, 2012).
7. Vaksinasi
Vaksinasi HPV dapat memiliki implikasi penting bagi peningkatan
kesehatan perempuan dan menurunkan kematian akibat kanker serviks
(Rubina Mukhtar, 2015).
2.9 Cara pencegahan untuk HPV atau CA Serviks
Menurut Kartikawati (2014) sebagian besar kanker dapat dicegah dengan
kebiasaan hidup sehat dan menghindari faktor-faktor penyebab kanker meliputi:
1. Memilih pola makan yang sehat yang kaya dengan sayuran, buah dan sereal
untuk
2. Merangsang sistem kekebalan tubuh. Misalnya mengkonsumsi berbagai
viamin A, C dan E dan asam folat yang dapat mengurangi risiko kanker
serviks
3. Menghindari Merokok.
4. Menghindari seks sebelum menikah atau di usia sangat muda atau belasan
tahun.
5. Menghindari berhubungan seks saat menstruasi
6. Menghindari hubungan seks dengan banyak pasangan
7. Menjalani test pap smear secara rutin
8. Pemberian vaksinasi HIV untuk mencegah kanker serviks
9. Melakukan pembersihan organ intim (vagina toilet)
2.10 Asuhan keperawatan dari HPV atau CA Serviks
1. Pengkajian
a. Anamnesis
Pada anamnesis, bagian yang dikaji adalah keluhan utama, riwayat
penyakit sekarang, dan riwayat penyakit terdahulu.
b. Keluhan Utama: Perdarahan dan keputihan.
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Klien datang dengan keluhan perdarahan pasca coitus dan terdapat
keputihan yang berbau tetapi tidak gatal. Perlu ditanyakan pada pasien atau
keluarga tentang tindakan yang dilakukan untuk mengurangi gejala dan hal
yang dapat memperberat, misalnya keterlambatan keluarga untuk memberi
perawatan atau membawa ke rumah sakit dengan segera, serta kurangnya
pengetahuan keluarga.
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Perlu ditanyakan pada pasien dan keluarga, apakah pasien pernah
mengalami hal yang demikian dan perlu ditanyakan juga apakah pasien
pernah menderita penyakit infeksi.
e. Riwayat Keluarga
Perlu ditanyakan apakah dalam keluarga ada yang menderita penyakit
seperti ini atau penyakit menular lain.
f. Psikososial
Dalam pemeliharaan kesehatan dikaji tentang pemeliharaan gizi di rumah
dan bagaimana pengetahuan keluarga tentang penyakit kanker serviks.
g. Pemeriksaan Fisik Fokus
1) Kepala
a) Rambut : bersih, tidak ada ketombe, dan tidak rontok
b) Wajah : tidak ada oedema, Ekspresi wajah ibu menahan nyeri
(meringis), Raut wajah pucat.
c) Mata : konjunctiva tidak anemis
d) Hidung : simetris, tidak ada sputum
e) Telinga : simetris, bersih, tidak ada serumen
f) Mulut : bibir tidak kering, tidak sianosis, mukosa bibir lembab,
tidak terdapat lesi
g) Leher : tidak ada pembesaran kelenjer tiroid dan tidak ada
pembesaran kelenjer getah bening
2) Dada
a) Inspeksi : simetris
b) Perkusi : sonor seluruh lap paru
c) Palpasi : vocal fremitus simetri kana dan kiri
d) Auskultasi : vesikuler, perubahan tekanan darah
3) Cardiac
a) Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
b) Palpasi : ictus cordis teraba, Perubahan denyut nadi
c) Perkusi : pekak
d) Auskultasi : tidak ada bising
4) Abdomen
a) Inspeksi : simetris, tidak ascites, posisi tubuh menahan rasa nyeri di
daerah abdomen.
b) Palapasi : ada nyeri tekan
c) Perkusi : tympani
d) Auskultasi : bising usus normal
5) Genetalia
a) Inspeksi: Ada lesi, keluarnya cairan encer dari vagina dan berbau
busuk, pendarahan yang terjadi, volume darah yang keluar, urine
bercampur darah (hematuria).
b) Palpasi: Pembengkakan di daerah uterus yang abnormal
6) Ekstremitas dan Kulit: Tidak oedema, Kelemahan pada pasien, Keringat
dingin.
h. Analisa data
No Data focus Etiologic Problem Diagnose
keperawatan
1 DS:mengungkapkan Berhubungan seks <17 Nyeri akut Nyeri akut b.d agen
secara verbal atau thn, merokok, higene yang cedera biologis
melontarkan (nyeri) buruk, virus HPV,sering
dengan isyarat melahirkan dnegan
DO: menghindari persalinan bermasalah,
nyeri, lemas, kaku, dan berganti ganti
perubahan tekanan pasangan.
darah, pernapasan Proses malaptasi
atau nadi:dilatasi Dysplasia serviks
pupil, perubahan Ca. Serviks
selera makan, Tahap lanjut
gelisah dan Menyebar kepelvik
merintih, mata Tekanan intrapelvik
terlihat kayu meningkat
Tekanan intra abdomen
meningkat
Nyeri Akut

2 DS: ada desakan Berhubungan seks <17 Gangguan Gangguan


saat berkemih, urine thn, merokok, higene yang eliminasi urine eliminasi urine b.d
menetes, sering buruk, virus HPV,sering obstruksi mekanik,
buang air kecil melahirkan dnegan penyebab multiple
DO: distensi persalinan bermasalah,
kandung kemih, dan berganti ganti
berkemih tidak pasangan.
tuntas, volume Proses malaptasi
residu urin Dysplasia serviks
meningkat Ca. Serviks
Terapi
Post Kemoterapi
perkemihan
cystitis
Gangguan Eliminasi
Urine

3 DS: nyeri abdomen, Berhubungan seks <17 Ketidakseimbangan Ketidakseimbangan


melaporkan thn, merokok, higene yang nutrisi kurang dari nutrisi kurang dari
kurangnya makan buruk, virus HPV,sering kebutuhan tubuh kebutuhan tubuh b.d
dan merasa melahirkan dnegan mual, muntah
cepatkenyang persalinan bermasalah, sekunder terhadap
setelah dan berganti ganti penyakit fan
mengkonsumsi pasangan. pengobatan (kemo)
makanan Proses malaptasi
DO: diare, Dysplasia serviks
kekurangan Ca. Serviks
makanan, bising Terapi
usus hiperaktif, Post Kemoterapi
kurang minat Gastrointestinal
terhadap makanan, Peningkatan tekanan
membrane mukosa gaster
pucat, lemaa, dan Mual, muntah
lesu Anoreksia
Ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari
kubutuhan tubuh

4 DS: mengeluh lelah, Berhubungan seks <17 Intoleransi aktivitas Intoleransi aktivitas
merasa tidak thn, merokok, higene yang b.d kelemahan
nyaman saat buruk, virus HPV,sering umum dan tirah
beraktivitas, dan melahirkan dnegan baring
merasa lemah persalinan bermasalah,
DO: frekuensi dan berganti ganti
jantung meningkat, pasangan.
tekanan darah Proses malaptasi
meningkat, sianosis Dysplasia serviks
Ca. Serviks
Terapi
Post pembedahan/
histerektomi
aktivitas fisik terbatas
intoleransi aktifitas

5 DS: Berhubungan seks <17 Gangguan citra Gangguan citra


mengungkapkan thn, merokok, higene yang tubuh tubuh b.d tahapan
kekhawatiran pada buruk, virus HPV,sering perkembangan
penolakan, melahirkan dnegan penyakit dan terapi
mengungkapkan persalinan bermasalah, penyakit (post
kecacatan, dan berganti ganti kemoterapi)
mengungkapkan pasangan.
perubahan gaya Proses malaptasi
hidup Dysplasia serviks
DO: fungsi atau Ca. Serviks
struktur tubuh Terapi
berubah, respon Kemoterapi
nonverbal pada Mempercepat
perubahan dan pertumbuhan sel normal
persepsi tubuh, Memperpendek usia akar
hubungan social rambut
berubah Alopecia
Gangguan citra tubuh

6 DS: klien Berhubungan seks <17 Kerusakan Kerusakan


merasakan tidak thn, merokok, higene yang integritas kulit integritas kulit b.d
nyaman dengan buruk, virus HPV,sering perubahan
nyeri pada anus melahirkan dnegan pigmentasi kulit
DO: tampak persalinan bermasalah, dan radiasi
kemerahan pada dan berganti ganti
kulit pasangan.
Proses malaptasi
Dysplasia serviks
Ca. Serviks
Terapi
Post Kemoterapi
peningkatan pemanasan
pada epidermis kulit
eritema, pecah-pecah,
kering, puiritus

kerusakan integrasi kulit

7 DS: merasa tidak Berhubungan seks <17 Hambatan interaksi Hambatan interaksi
nyaman dengan thn, merokok, higene yang social social b.d isolasi
situasin social, buruk, virus HPV,sering terapeutik, nekrosis
merasa merasa sulit melahirkan dnegan jaringan, deficit
menerima atau persalinan bermasalah, pengetahuan
mengkomunikasikan dan berganti ganti tentang Ca.Serviks
perasaan pasangan.
DO: kurang Proses malaptasi
respontif atau Dysplasia serviks
tertarik pada orang Ca. Serviks
lain Tahap awal
nekrosis jaringan serviks
malu
hambatan interaksi
social

8 DS: merasa haus Berhubungan seks <17 Resiko kekurangan Resiko kekurangan
DO: penurunan thn, merokok, higene yang volume cairan volume cairan b.d
tekanan darah, buruk, virus HPV,sering kehilangan volume
perubahan tekanan melahirkan dnegan cairan aktif
nadi, penurunan persalinan bermasalah, (pendarahan)
turgor kulit dan dan berganti ganti dehidrasi
lidah, penurunan pasangan. intrasaluler
haluaran urine, Proses malaptasi
pengikisan vena, Dysplasia serviks
kulit dan membrane
mukosa kering, Ca. Serviks
lemah Tahap lanjut
Pemmbesaran massa
penipisan sel epitel
rusaknya permeabilitas
pembuluh darah
pendarahan
resiko kekurangan
volume cairan

9 DS:- Berhubungan seks <17 Resiko infeksi Resiko infeksi b.d


DO:- thn, merokok, higene yang imunitas tidak
buruk, virus HPV,sering adekuat, pemajanan
melahirkan dnegan terhadap pathogen
persalinan bermasalah, meningkat
dan berganti ganti
pasangan.
Proses malaptasi
Dysplasia serviks
Ca. Serviks
Tahap lanjut
Pemmbesaran massa
penipisan sel epitel
rusaknya permeabilitas
pembuluh darah
pendarahan

anemia
imunitas menurun
resiko infeksi

2. Diagnose keperawatan
a. Nyeri akut b.d agen cedera biologis
b. Gangguan eliminasi urine b.d obstruksi mekanik, penyebab multiple
c. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d mual, muntah
sekunder terhadap penyakit fan pengobatan (kemo)
d. Intoleransi aktivitas b.d kelemahan umum dan tirah baring
e. Gangguan citra tubuh b.d tahapan perkembangan penyakit dan terapi
penyakit (post kemoterapi)
f. Kerusakan integritas kulit b.d perubahan pigmentasi kulit dan radiasi
g. Hambatan interaksi social b.d isolasi terapeutik, nekrosis jaringan, deficit
pengetahuan tentang Ca.Serviks
h. Resiko kekurangan volume cairan b.d kehilangan volume cairan aktif
(pendarahan) dehidrasi intrasaluler
i. Resiko infeksi b.d imunitas tidak adekuat, pemajanan terhadap pathogen
meningkat
3. Intervensi keperawatan
Diagnose Tujuan dan kriteria hasil Intervensi
keperawatan (NOC) (NIC)
Nyeri akut Setelah dilakukan tindakan Pain Management
berhubungan keperawatan selama... x kali 24 1. Kaji nyeri (lokasi,
dengan agen cedera jam, klien akan : karakteristik, onset/ durasi,
1. Pain control frekuensi, kualitas,
2. Pain level intensitas, dan faktor
3. Pain: Disruptive Effects presipitasi dari nyeri)
yang dibuktikan dengan 2. Kaji pengetahuan klien
indikator (1: berat sekali, 2 : tentang nyeri serta
Berat, 3: Sedang, 4: Ringan, pengalaman sebelumnya
5: Tidak ada) 3. Kaji dampak dari nyeri
Kriteria Hasil : (gangguan tidur, penurunan
1. Mampu mengenali serangan nafsu, makan, gangguan
nyeri aktifitas, penurunan
2. Mampu mendeskripsikan konsentrasi dan lainnya)
penyebab nyeri 4. Beri lingkungan yang
3. Menggunakan teknik nyaman kepada klien
pencegahan nyeri, 5. Ajari klien pola manajemen
khususnya teknik non nyeri
farmakologis 6. Ajari klien penggunaan
4. Melaporkan perubahan teknik non farmakologis
gejala nyeri secara periodik untuk mengurangi nyeri
kepada tenaga kesehatan 7. Lakukan teknik PCA
5. Menunjukkan gejala (Patient Controlled
terhadap nyeri ( keluhan, Analgesia) sesuai keburuhan
menangis, gerakan lokalisir, 8. Anjurkan klien untuk
ekspresi wajah, gangguan istirahat yang cukup untuk
istirahat tidur, agitasi, mengurangi intensitas nyeri
iritabilitas meningkat, 9. Monitoring kepuasan pasien
diaphoresis, penurunan atas pelaksanaan manajemen
konsentrasi, kehilangan nyeri
nafsu makan, dan nausea). Analgesic Administration
6. Tanda – tanda vital dalam 1. Cek kebenaran pengobatan
rentang normal (respiratory (obat, dosis, dan frekuensi
rate, apical heart rate, radial pemberian analgesik) sesuai
heart hate, tekanan darah perintah medis
dan lain sebagainya). 2. Cek riwayat alergi obat
7. Menunjukkan perubahan 3. Evaluasi kemampuan
dampak dari nyeri partisipatif klien dalam
(distruptive effects), antara pengobatan (dosis, rute
lain penurunan konsentrasi, pemberian) sesuai perintah
penurunan motivasi, medis
gangguan tidur, kerusakan 4. Tentukan jenis
mobilitas fisik, gangguan analgesikyang akan
pemenuhan ADL, dan diberikan sesuai instrksi
kerusakan eliminasi urine medis
dan alvi. 5. Pilih rute pemberian
analgesik (IV, IM atau per
oral)
6. Monitoring tanda- tanda
vital sebelum dan sesudah
pemberian analgesik
7. Catat respon pemberian
analgesik
8. Evaluasi dampak sedasi jika
klien mendapat opioid
9. Ajari klien tentang
penggunaan analgesik, dan
cara mencegah efek samping
Gangguan Setelah dilakukan tindakan Urinary Bladder Training
eliminasi urine keperawatan selama...x 24 1. Kaji kemampuan klien untuk
berhubungan jam, klien akan : mengosongkan kandung
dengan obstruksi 1. Urinary Continence kemih
mekanik, dan 2. Urinary Elimination yang 2. Kaji pasien untuk terjadinya
penyebab multiple dibuktikan dengan indikator inkontinensia
(1: Berat Sekali, 2: Berat, 3: 3. Buat jadwal BAK secara
Sedang, 4: Ringan, 5: Tidak periodik dan anjurkan klien
Ada) untuk miksi sesuai jadwal
Kriteria Hasil: yang ditentukan
1. Mampu mengontrol 4. Hindari klien berada dalam
berkemih, mengatur pola toilet lebih dari 5 menit
berkemih dan toilet training untuk mencegah terjadinya
dengan teratur urgensi berulang
2. Mampu mengosongkan 5. Ajari dan pantau klien
bladder dengan baik mengenai pelaksanaan
(mengeluarkan urine >100- bladder training
200 cc) Urinary Elimination
3. Tidak adanya infeksi traktus Management
urinarius 1. Monitoring eliminasi urine
4. Menunjukkan patensi (frekuensi, konsistensi, bau,
eliminasi (bau, jumlah, volume, dan warna)
warna, kepekatan) 2. Monitoring tanda dan gejala
5. Intake cairan adekuat retensi urine
6. Tidak adanya komponen 3. Identifikasi faktor penyebab
gangguan dalam urine inkontinensia
(endepan, darah) 4. Terangkan kepada klien
7. Tidak ada sensasi gangguan tanda dan gejala infeksi
dalam urine (nyeri, rasa traksurinarius
terbakar, hesistansi, 5. Catat waktu terakhir
frekuensi, urgensi, retensi, eliminasi urine dan
nokturia, inkontenensia) instruksikan klien untuk
mencatat output urine
6. Bantu klien untuk eliminasi
urine dengan memasang
kateter
7. Lakukan pemerikssaan
urinalisis pada tengah
periode miksi (sebagai urine
sample)
8. Anjurkan klien untuk minum
air putih yang cukup sesuai
diet
9. Instruksikan klien untuk
mengosongkan bladder
secara periodic
Ketidakseimbangan Tujuan: dalam waktu 1x24 1. Identifikasi faktor penyebab,
nutrisi kurang dari jam tidak terjadi awitan (onset), spesifikasi
kebutuhan tubuh ketidakseimbangan cairan dan usia dan adanya riwayat
b.d mual, muntah elektrolit. penyakit lain.
sekunder terhadap Kriteria evaluasi: 2. Kolaborasi skor dehidrasi
penyakit fan 1. Pasien tidak mengeluh 3. Lakukan rehidrasi oral:
pengobatan (kemo) pusing, TTV dalam batas  Beri cairan secara oral
normal, kesadaran optimal.  Jelaskan tentang dehidrasi
2. Membran mukosa lembap, oral
turgor kulit normal, CRT > 3  Berikan cairan oral
detik.
3. Keluhan diare, mual, dan sedikit demi sedikit
muntah berkurang. 4. Lakukan pemasangan IVFD
4. Laboratorium: nilai elektrolit (intrsvenous fluid drops)
normal, analisis gas darah 5. Dokumentasi secara akurat
normal. mengenai intake dan output
cairan
6. Bantu pasien apabila muntah
7. Evaluasi kadar elektrolit
serum
8. Dokumentasikan perubahan
klinik dan laporkan dengan
tim medis
9. Anjurkan pasien untuk
minum dan makan makanan
yang banyak mengandung
natrium seperti susu, telur,
daging, dan sebagainya.
10. Monitor khsus
ketidakseimbangan elektrolit
pada lansia
11. Kolaborasi dengan tim
medis terapi farmakologis

Intoleransi aktivitas 1. Energy conservation Activity terapi


b.d Intoleransi 2. Activity tolerance 1. Kolaboprasi dengan tenaga
aktivitas b.d 3. Self care rehabilitasi medic dalam
kelemahan umum merencanakan program
dan tirah baring terapi yang tepat.
2. Bantu klien untuk
mengidentifikasi aktivitas
yang mampu dilakukan
3. Bantu untuk memilih
aktivitas konsisten yang
sesuai dengan kemampan
fisik, psikologi dan social
4. Bantu untuk
mengidentifikasi dan
mendapatkan sumber yang
diperlukan untuk aktivitas
yang diinginkan
5. Bantu ntuk mendapatkan
alat bantuan aktivitas seperti
kursi roda, krek
6. Bantu untuk
mengidentifikasi aktivitas
yang disukai
7. Bantu klien untuk membuat
jadwal Latihan di waktu
luang
8. Bantu pasien atau keluarga
pasien untuk
mengidentifikasi
kekurangan dalam
beraktivitas
9. Bantu pasien untuk
mengembangakan motifasi
diri dan pengetahuan
10. Monitor respon fisik, emosi,
sosial dan spiritual

Gangguan citra 1. Body image Body image enhancement


tubuh b.d tahapan 2. Self esteem 1. Kaji secara verbal dan non

perkembangan Kriteria Hasil : verbal respon klien terhadap

penyakit dan terapi 1. Body image positif tubuhnya

penyakit (post 2. Mampu mengidentifikasi 2. Monitor frekuensi

kemoterapi) kekuatan personal mengkritik dirinya


3. Mendeskripsikan secara 3. Jelaskan tentang pengobatan,
faktual perubahan fungsi perawatan, kemajuan dan
tubuh prognosis penyakit
4. Mempertahankan interaksi 4. Dorong klien
sosial mengungkapkan
perasaannya
5. Identifikasi arti
pengurangtan melalui
pemakaian alat bantu
6. Fasilits kontak dengan
individu lain dalam
kelompok kecil

Kerusakan 1. Tissue Integrity : Skin and Pressure Management


integritas kulit b.d Mucous Membranes 1. Anjurkan pasien untuk
perubahan 2. Hemodyalis akses menggunakan pakaian yang
pigmentasi kulit Kriteria Hasil : longgar
dan radiasi 1. Integritas kulit yang baik 2. Hindari kerutan pada tempat
bisa diertahankan (sensasi, tidur
elastisitas, temperatur, 3. Jaga kebersihan kulit agar
hidrasi, pigmentasi) tetap bersih dan kering
2. Tidak ada luka/lesi pada 4. Mobilisasi pasien (ubah
kulit posisi pasien) setiap dua jam
3. Perfusi jaringan baik sekali
4. Menunjukkan pemahaman 5. Monitor kulit akan adanya
dalam proses perbaikan kulit kemerahan
dan mencegah terjadinya 6. Oleskan lotion atau
sedera berulang minyak/baby oil pada daerah
5. Mampu melindungi kulit yang tertekan
dan 7. Monitor aktivasi dan
mempertahankankelembaba mobilisasi pasien
n kulit dan perawatan alami 8. Monitor status nutrisi pasien
9. Memandikan pasien dengan
sabun dan air hangat
Insision site care
1. Membersihkan, memantau
dan meningkatkan proses
penyembuhan pada luka
yang ditutup dengan jahitan,
klip atau straples
2. Monitor proses kesembuhan
area insisi
3. Monitor tanda dan gejala
infeksi pada area insisi
4. Bersihkan area sekitar
jahitan atau staples,
menggunakan lidi kapas
steril
5. Gunakan preparat antiseptik,
sesuai program
6. Ganti balutan pada interval
waktu yang sesuai atau
biarkan luka tetap terbuka
(tidak dibalut) sesuai
program.
Hambatan interaksi 1. Self esteem, situational Socialization Enhancement
social b.d isolasi 2. Communication impaired 1. Buat interaksi terjadwal
terapeutik, nekrosis verbal 2. Dorong pasien ke
jaringan, deficit Kriteria hasil : kelompok atau program
pengetahuan 1. Lingkungan yang suportif keterampilan interpersonal
tentang Ca.Serviks yang bercirikan hubungan yang membantu
dan tujuan anggota keluarga meningkatkan pemahaman
2. Mengguankan akivitas yang tentang pertukaran
menenangkan, menarik, dan informasi atau sosialisasi,
menyenangkan untuk jika perlu
meningkatkan kesejahteraan 3. Identifikasi perubahan
3. Interaksi sosial dengan perilaku tertentu
orang, kelompok, atau 4. Berikan umpan balik
organisasi positif jika pasien
4. Memahami dampak dan berinteraksi dengan orang
perilaku diri pada interaksi lain
sosial 5. Fasilitas pasien dengan
5. Mendapatkan/meningkatkan meberi masukan dan
keterampilan interaksi membuat perencanaan
sosial, kerjasama, ketulusan 6. Anjurkan menghargai
dan saling memahami orang lain
6. Mengungkapkan keinginan 7. Bantu pasien
untuk berhubungan dengan meningkatkan kesadaran
orang lain tentang kekuatan dan
7. Perkembangan fisik, keterbatasan dalam
kognitif, dan psikososial berkomunikasi dengan
anak sesuai dengan usianya. orang lain
8. Gunakan teknik bermain
peran untuk emningkatkan
keterampilan dan teknik
berkomunikasi
9. Minta dan harapkan
adanya komunikasi verbal
Resiko kekurangan 1. Fluid balance Fluid Management
volume cairan b.d 2. Hydration 1. Timbang popok/pembalut

kehilangan volume 3. Nutritional status : food and jika diperlukan

cairan aktif fluid intake 2. Pertahankan catatan intake

(pendarahan) Kriteria Hasil : dan output yang akurat

dehidrasi 1. Mempertahankan urine 3. Monitor status hidrasi

intrasaluler output sesuai dengan usia (kelembaban membran

dan BB, BJ urine normal, mukosa, nadi adekuat,

HT normal tekanan darah ortostatik),

2. Tekanan darah, nadi,, suhu jika diperlukan

tubuh dalam bats normal 4. Monitor vital sign


3. Tidak ada tanda-tanda 5. Monitor masukan
dehidrasi, elastisitas turgor makanan/cairan dan
kulit baik, membran mukosa hitung intake kalori harian
lembab, tidak ada rasa haus 6. Kolaborasikan pemebrian
yang berlebihan cairan IV
7. Monitor status nutrisi
8. Berikan cairan IV pada
suhu ruangan
9. Dorong masukan oral
10. Berikan penggantian
nesogatrik sesuai output
11. Dorong keluarga untuk
membantu pasien makan
12. Tawarkan snack (jus buah,
buah segar )
13. Kolaborasi dengan dokter
14. Atur kemungkinan
tranfusi
Hypovolemia Management
1. Monitor status cairan
termasuk intake dan
output cairan
2. Pelihara IV line
3. Monitor tingakt HB dan
hematokrit
4. Monitor tanda vital
5. Monitor respon pasien
terhadap penambahan
cairan
6. Monitor berat badan
7. Dorong pasien untuk
menambah intake oral
8. Pemberian cairan IV
monitor adanya tanda dan
gejala kelebihan volume
cairan
9. Monitor adanya tanda
gagal ginjal

Resiko infeksi b.d 1. Immune status Infection Control (Kontrol


imunitas tidak 2. Knowledge : Infection Infeksi)
1. Bersihkan lingkungan
adekuat, pemajanan control
setelah dipakai pasien lain
terhadap pathogen 3. Risk control
2. Pertahankan teknik isolasi
meningkat Kriteria Hasil
1. Klien bebas dari tanda dan 3. Batasi pengunjung bila

gejala infeksi perlu

2. Mendeskripsikan proses 4. Instruksikan pada

penularan penyakit, faktor pengunjung untuk

yang mempengaruhi mencuci tangan saat

penularan serta berkunjung dan setelah

penatalaksanaannya berkunjung meninggalkan

3. Menunjukkkan pasien

kemampuan untuk 5. Gunakan sabun

mencegah timbulnya antimikrobia untuk cuci

infeksi tangan

4. Jumalh leukosit dalam 6. Cuci tangan setiap

batas normal sebelum dan sesuadah

5. Menunjukkan perilaku tindakan keperawatan

hidup sehat 7. Gunakan baju, sarung


tangan ssebagai alat
pelindung
8. Pertahankan lingkungan
aseptik selama
pemasangan alat
9. Ganti letak IV perifer dan
line central dan dressing
sesuai dengan petunjuk
umum
10. Gunakan kateter
intermiten untuk
menurunkan infeksi
kandung kencing
11. Tingkatkan intake nutrisi
12. Berikan terapi antibiotik
bila perlu Infection
Protection (proteksi
terhadap infeksi)
13. Monitor adanya tanda dan
gejaa infeksi sistemik dan
lokal
14. Monitor hitung granulosit,
WBC
15. Monitor kerentanan
terhadap infeksi
16. Batasi jumlah pengunjung
17. Sering pengunjung
terhadap penyakit menular
18. Pertahankan teknik aspesis
pada pasien yang beresiko
19. Pertahankan teknik isolasi
k/p
20. Berikan perawatan kulit
pada area epidema
21. Inspeksi kulit dan
membran mukosa
terhadap kemerahan,
panas, drainase
22. Inspeksi kondisi
luka/insisi bedah
23. Dorong masukkan nutrisi
yang cukup, masukan
cairan, istirahat
24. Instruksikan pasien untuk
minum antibiotik sesaui
resep
25. Ajakan pasien dan
keluarga tanda dan gejala
infeksi dan menghindari
infeksi
26. Laporkan kecurigaan
infeksi dan kultur positif.

4. Implementasi
Implementasi keperawatan adalah serangkai kegiatan yang dilakukan
oleh perawat untuk membantu pasien dari masalah status kesehatan yang
dihadapi ke status kesehatan yang baik yang menggambarkan kriteria hasil
yang diharapkan. Proses pelaksanaan implementasi harus berpusat kepada
kebutuhan klien, factor-faktor lain yang mempengaruhi kebutuhan
keperawatan, strategi implementasi keperawatan, dan kegiatan komunikasi.
Dalam pelaksanaan implementasi keperawatan terdiri dari tiga jenis yaitu
independent implementations, interdependent/colaburatif dan dependent
implementations (Dinarti, 2017).
5. Evaluasi
Evaluasi keperawatan merupakan tahap akhir dari rangkaian proses
keperawatan yang berguna apakah tujuan dari tindakan keperawatan yang telah
dilakukan tercapai atau perlu pendekatan lain. Evaluasi keperawatan mengukur
keberhasilan dari rencana dan pelaksanaan tindakan keperawatan yang
dilakukan dalam memenuhi kebutuhan pasien. Penilaian adalah tahap yang
menentukan apakah tujuan tercapai (Dinarti, 2017).
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kanker serviks merupakan kanker peringkat pertama di Indonesia dan peringkat
kedua di dunia yang diderita oleh wanita. Di seluruh dunia setiap dua menit atau
setiap satu jam di Indonesia seorang perempuan meninggal akibat kanker serviks.
Dari data diatas maka sangat penting bagi perempuan untuk mengetahui dengan
baik apa itu kanker serviks, sehingga dapat mengambil langkah pencegahan yang
tepat.
Serviks adalah bagian bawah dan menyempit dari uterus atau rahim. Serviks
membentuk saluran yang berujung pada vagina, dan bagian luar tubuh. Kanker
serviks adalah kelainan yang terjadi pada sel-sel tubuh, dalam hal ini sel-sel serviks,
yang berkembang dengan cepat dan tidak terkontrol.
Kanker leher rahim adalah kanker yang terjadi pada area leher rahim yaitu bagian
rahim yangmenghubungkan rahim bagian atas dengan vagina. Usia rata-rata
kejadian kanker leher rahim adalah 52 tahun, dan distribusi kasus mencapai puncak
2 kali pada usia 35-39 tahun dan 60 – 64 tahun.
Kanker leher rahim sendiri merupakan keganasan yang dapat dicegah karena
memiliki masa preinvasif (sebelum menjadi keganasan) yang lama, Pemeriksaan
sitologi (sel) untuk mendeteksi dini kanker leher rahim sudah tersedia,Terapi lesi
preinvasif (bibit keganasan) cukup efektif.
3.2 Saran
Untuk pencegahan kanker serviks diharapkan untuk melakukan deteksi dini, dan
apabila timbul gejala-gejala maka segera menindak lanjuti, agar kanker serviks
dapat diatasi cepat oleh petugas kesehatan. Selain itu diharapkan untuk
membiasakan diri dengan pola hidup sehat dan bersih dan menghindari factor
faktor resikopemicu kanker serviks.
DAFTAR PUSTAKA
Bilotta, Kimberly A. J. 2011. Kapita Selekta Penyakit: Implikasi Keperawatan. Jakarta:
EGC.
Brunner & Suddart. 2010. Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8. Jakarta: EGC.
Mukhtar, Rubina., et al. 2015. Prevalence of Cervical Cancer in Developing Country:
Pakistan. US: Global Journal.
Nurarif, Amin Huda dan Hardhi Kusuma. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan
Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC. Yogyakarta: MediAction
Publishing.
Padila. 2012. Buku Ajar: Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta: Nuha Media.
Prawirohardjo, sarwono, 2010. Ilmu Kandungan. Jakarta: Yayasan bina pustaka.
Price, Sylvia Anderson. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
Jakarta: EGC.
Rahayu, Dedeh Sri. 2015. Asuhan Ibu dengan Kanker Serviks. Jakarta: Salemba
Medika.
Wilkinson Judith M. 2016. Diagnose Keperawatan Edisi 10. Jakarta: EGC
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Defisi
Dan Indikator Diagnostik Edisi 1. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan
Perawat Nasional Indonesia

Anda mungkin juga menyukai