Anda di halaman 1dari 23

NAMA : MUTIARA NAMA : AZAZIYAH

NIM : 12101201 NIM : 02101209


KELAS : 1F KELAS : 1F
MATKUL : B. INGGRIS MATKUL : B.INGGRIS

PENDIDIKAN ISLAM DALAM KONTEKS PENDIDIKAN NASIONAL


INDONESIA  

Muchtarom 
Universitas Padjajaran Bandung Jl. Raya Bandung-Sumedang KM 21 40600
Email: muchtarom_2012@yahoo.co.id  

ABSTRAK 
Pendidikan Agama Islam telah menjadi bagian dari Sistem Pendidikan Nasional, namun
keberadaan dan kontribusinya kurang signifikan terutama dalam pemberdayaan bangsa.
Padahal, pendidikan Islam memiliki potensi besar dalam membangun karakter. Tulisan ini
bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisis upaya pengembangan Pendidikan
Agama Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional. Penelitian ini menggunakan metode
analisis deskriptif melalui studi pustaka sebagai data sekunder. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pengembangan Pendidikan Agama Islam dalam Sistem Pendidikan
Nasional berusaha menghilangkan dikotom antara pendidikan umum dan pendidikan
agama secara mandiri. Jika tidak, harus ada kerjasama dengan pendidikan lain.
Ringkasnya, Pendidikan Agama Islam tidak hanya dilegitimasi secara keseluruhan sebagai
bagian dari Sistem Pendidikan Nasional tetapi juga memerlukan perubahan kurikulum
yang mengkolaborasikan Sistem Pendidikan Agama Islam dengan mata pelajaran lain.  

Kata kunci: Pengembangan pendidikan, 

ABSTRAK  
Pendidikan Agama Islam, Sistem Pendidikan NasionalPendidikan Agama Islam
merupakan bagian dari Sistem Pendidikan Nasional Indonesia, namun keberadaan dan
kontribusinya kurang signifikan terutama dalam memberdayakan bangsa. Padahal,
Pendidikan Agama Islam mungkin besar dalam membangun karakter. Tulisan ini
bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis upaya pengembangan Pendidikan Agama
Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional. Metode penelitian yang digunakan berupa
analisis deskriptif dengan melakukan kajian pustaka sebagai data sekunder. Hasil
analisis ini dapat dikatakan bahwa upaya pengembangan Pendidikan Agama Islam dalam
Sistem Pendidikan Nasional harus menghapuskan dikotomi ilmu umum dan ilmu agama
yang berdiri sendiri, dan berubah menjadi keterpaduan berupa kolaborasi dengan
pendidikan lainnya. Pendidikan Agama Islam tidak hanya dilegitimasi secara penuh
sebagai bagian dari Sistem Pendidikan Nasional, tetapi Pendidikan Agama Islam
memerlukan perubahan kurikulum yang menggabungkan Sistem Pendidikan Agama Islam
dengan ilmu lainnya. 

Kata Kunci: Pengembangan Pendidikan, Pendidikan Agama Islam, Sistem Pendidikan


Nasional
Muchtarom  

PENDAHULUAN 
Tujuan pendidikan menjadi hal yang terpenting dalam pendidikan termasuk dalam
Pendidikan Agama Islam. Rumusan tujuan pendidikan yang tidak jelas menyebabkan
proses pembelajaran menjadi kabur dan target tidak pasti. Parahnya, hal itu dapat
menyebabkan cara yang salah yang tidak seperti yang diharapkan. Dalam konteks
pendidikan nasional, pada dasarnya, Agama Islam Pendidikan diarahkan untuk tujuan
Pendidikan Nasional, yaitu, untuk membuat warga negara yang cerdas dan
mengembangkan potensi Indonesia "dalam keseluruhan untuk menjadi orang yang
memiliki iman dan taqwa kepada Allah Mahakuasa dan berakhlak mulia yang
memperoleh ilmu dan keterampilan, memperoleh kesehatan jasmani dan rohani, menjadi
pribadi yang mandiri dan tangguh serta bertanggung jawab terhadap masyarakat dan
bangsa” (UU RI No. 20 Thn. 2003 dalam Grafika, 2007: 5) .  
Tujuan yang telah dirumuskan di atas dalam bentuk UU tidak selalu berjalan dengan
baik tanpa adanya hambatan. Kenyataannya, dalam pelaksanaannya seringkali terjadi
ketidaksesuaian dan ketidakpuasaan antara hasil pendidikan dengan tujuannya terutama
tujuan pembentukan karakter yang mulia. Kondisi ini dapat tercermin dalam beberapa
kasus asusila yang terjadi di masyarakat kita seperti korupsi, pelecehan seksual, pelecehan
keluarga dan tindakan kriminal lainnya. Kasus-kasus tersebut menunjukkan bahwa tujuan
Pendidikan Agama Islam belum tercapai secara sempurna. Namun, kebanyakan dari
mereka yang melakukan korupsi pernah belajar atau mendapatkan Pendidikan Agama
Islam baik di sekolah formal maupun universitas. Pada dasarnya tidak ada yang salah
dengan kinerja Pendidikan Agama Islam di Indonesia karena mengandung nilai-nilai
moral yang baik. Kurangnya pelaksanaannya bukan karena agama yang mutlak benar,
tetapi bisa jadi karena human error.  
Oleh karena itu, tulisan ini bertujuan untuk mengidentifikasi permasalahan utama
Pendidikan Agama Islam dalam konteks Sistem Pendidikan Nasional, menganalisisnya
dan memberikan solusi secara teoritis, metodologis, dan praktis. Penelitian ini
menggunakan deskriptif kualitatif yang mengedepankan analisis studi kepustakaan terkait
keberadaan Pendidikan Agama Islam di Indonesia.  

ANALISIS 
Pendidikan Islam di Indonesia memiliki sejarah yang panjang di Nusantara. Telah
dalam berbagai iterasinya, melayani komunitas Muslim sejak awal kedatangan Islam ke
daerah tersebut. Menurut Saefuddin, pendidikan Islam di Indonesia berawal dari sebuah
forumpengajian yangdiadakan oleh para pembawa dan pendakwah Islam di masjid-masjid
rumah warga. Forum tersebut kemudian dikonsolidasikan menjadi pesantren dan
madrasah (Saefuddin, 1995: 237).  
Semua kegiatan memiliki tujuan masing-masing (teleologi). Tujuan adalah
pencapaian target individu atau kelompok dalam melakukan suatu kegiatan, termasuk
Pendidikan Agama Islam. Zakiah Darajat menyatakan bahwa tujuan adalah sesuatu yang
diharapkan akan dicapai setelah menyelesaikan suatu kegiatan. Dengan demikian, tujuan
Agama Islam 

324 Vol. XXVIII No. 2 2013/1434Agama 


PendidikanIslam Dalam... 

Pendidikan adalah pencapaian target individu atau kelompok dalam menyelenggarakan


Pendidikan Agama Islam (Ihsan dan Fuad, 2007:68).  
Merumuskan tujuan pendidikan menjadi syarat mutlak untuk mendefinisikan
pendidikan itu sendiri. Paling tidak, rumusannya harus mengandung konsep dasar atau
pengetahuan tentang manusia, alam dan Tuhan. Menurut Hitami (2004:34), tujuan
pendidikan tidak dapat dipisahkan dari tujuan hidup manusia yang dipengaruhi oleh
berbagai budaya, sudut pandang dan keinginan. Sanaky (2003:5) menyebutkan bahwa
tujuan pendidikan Islam didasarkan pada visi dan misi Islam, yaitu ”rahmatan lil
âlamîn”.  
Dalam studi Islam, manusia adalah makhluk Allah SWT yang memiliki kewajiban
di dunia untuk beribadah dan menjadi hamba yang shaleh bagi Allah SWT. Dengan
demikian, tujuan umum Pendidikan Agama Islam adalah membentuk manusia sebagai
hamba Allah yang taat beribadah. Dalam konteks Pendidikan Agama Islam di Indonesia,
pendidikan harus berupaya menjadikan seluruh warga negara tunduk kepada Allah SWT.
Dengan kata lain, mereka menjadi taat dan rajin berdoa kepada Allah dan berbakti kepada
bangsanya. Namun demikian, tujuan akhir Pendidikan Agama Islam di Indonesia
berupaya mewujudkan umat Islam yang memiliki iman dan taqwa serta berilmu yang
mampu menjadi hamba Allah dan bertakwa dalam segala aspek kehidupan (termasuk
untuk hidup sebagai warga negara dan bangsa) untuk mencapai kebahagiaan di akhirat
(Uhbiati dan Ahmadi, 1995: 65).  
Menurut al-Abrasyi (2006:138), tujuan utama Pendidikan Agama Islam adalah
melakukan: a) akhlaq pelatihan; b) persiapan peserta didik untuk hidup di dunia dan
akhirat; c) penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi; d) peningkatan keterampilan
dalam dunia kerja dan interaksi masyarakat. Dengan demikian fitrah Pendidikan Agama
Islam di Indonesia pada dasarnya menjalankan proses kemanusiaan dan kemanusiaan bagi
bangsa Indonesia. Sebetulnya kemanusiaan dan kemanusiaan memiliki makna untuk
menciptakan dan membentuk karakter positif bagi individu yang berperilaku normal dan
berpikir logis sebagai hamba Allah SWT. Hal ini disebabkan karena suatu usaha atau
proses untuk menjadi manusia yang utuh. Kondisi ini menunjukkan bahwa secara
ideologis Pendidikan Agama Islam di Indonesia berupaya agar peserta didik mampu
menjalankan tugas pokok dan fungsinya sebagai manusia. Singkatnya, ia mencoba untuk
mewujudkanmereka akhlaq.  
Tujuan penyelenggaraan Pendidikan Agama Islam di Indonesia jelas tidak lepas dari
kepala sekolah yang berlandaskan al-Qurân nilai-nilaidan hadits. Setidaknya ada lima
prinsip pelaksanaan Pendidikan Agama Islam, antara lain:  
1. Prinsip keterpaduan. Prinsip ini menekankan hubungan antara dunia dan kehidupan
setelah kematian. Pendidikan Agama Islam berupaya menyeimbangkan kebahagiaan
dunia dan akhirat melalui pengembangan ilmu umum dan ilmu agama. 
2. Prinsip keseimbangan. Prinsip ini muncul sebagai hasil dari prinsip integrasi.
Keseimbangannya meliputi unsur-unsur proporsional antara spiritual dan fisik,
antara ilmu murni dan terapan, antara 

  Jil. XXVIII No. 2 2013/1434 325 


Muchtarom  

teori dan praktek, dan nilai proporsional antara aqidah, syar‟i, dan  akhlâq.  
3. Prinsip kesamaan dan pembebasan. Prinsip ini dikembangkan dari  tauhîd nilai,
yaitu Allah SWT adalah satu-satunya. Setiap individu atau siswa, pada hakikatnya
semua manusia diciptakan oleh pencipta yang sama yaitu Allah SWT dan sederajat
di hadapan-Nya. Perbedaannya terletak pada unsur penciptaan dan taqwa yang
berpotensi memperkuat kesatuan alam semesta. Pendidikan Islam merupakan salah
satu upaya untuk membebaskan manusia dari belenggu nafsujelas dan mulia
duniawi menujutauhid yang nilai. Manusia melalui segala bentuk pendidikan
diharapkan dibebaskan dari kebodohan, kemiskinan, ketegaran, dan hayawâniat an-
nafsnya.  
4. Prinsip kontinuitas (istiqâmah). Artinya prinsip pendidikan umur panjang. Dalam
studi Islam, belajar menjadi kewajiban yang tidak akan berakhir sampai mati.
Perintah membaca isi al-Qurân merupakan perintah yang tidak dibatasi waktu.
Dengan mempelajari ilmu pengetahuan secara terus menerus, diharapkan akan
muncul kesadaran eksistensial dalam diri, lingkungan, dan Tuhannya.  
5. Asas manfaat dan keunggulan. Asas ini diperoleh dari tauhîd ruhyang telah ditanam
dan dikembangkan dalammoral dan  akhlaq individu sistemsehingga akan
membentuksuci qalb yang dan keimanan yang shahih, yang melindungi dirinya
berupa najis jiwa. Ini akan membuatnya berjuang dan berjuang untuk membela
kebenaran dan mendapatkan manfaat dari kehidupan. Namun demikian, tauhîd
nilaihanya dapat dirasakan jika telah diwujudkan dalam setiap gerak kehidupan
manusia untuk mencapai kemaslahatan dan keunggulan alam semesta (Roqib, 2009:
32-33).  
Mereka kutipan di atas menunjukkan bahwa prinsip Agama Pendidikan Islam
identik dengan setiap "s prinsip muslim hidup, yaitu, Iman,taqwa,mulia, akhlaqdan
karakter yang kuat. Prinsip-prinsip tersebut kemudian dirinci melalui beberapa indikator
sehingga mudah diterapkan dan dievaluasi. Selain itu, harus dijabarkan ke dalam beberapa
langkah konseptual dan operasional agar lebih mudah diterapkan dalam segala bentuk
pendidikan di keluarga, sekolah, dan masyarakat. Dengan kata lain, Pendidikan Agama
Islam jelas dapat menjadi spirit bagi penyelenggaraan pendidikan umum lainnya. 
Karena sumber utama Pendidikan Agama Islam (IRE) adalah al-Qurân dan hadits,
makapendidikan dasarnya mengacu pada penyelenggaraanaqidah, ibadah, dan akhlaq.
Dalam aqidah konteks, IRE dikembangkan berdasarkan pemahaman keimanan tentang
keberadaan Allah SWT. Dalam konteks ibadah, IRE harus dibangun berdasarkan upaya
meyakinkan individu tentang keberadaan Allah SWT. Secara khusus, IRE berupaya
menjadikan ibadah kepada Allah SWT sebagai satu-satunya proses untuk melakukan
semua aspek kehidupan baik fisik maupun spiritual, baik dalam kehidupan individu
sebagai hamba Allah maupun dalam kehidupan masyarakat sebagai interaksi sosial atau
bahkan di alam semesta sebagai khalifah di Bumi. . Oleh karena itu, untuk mencapai
tujuan IRE yang sempurna dalam kehidupan ini, salah satupendidikan dasarnya mengacu
pada ibadah baik penyelenggaraanmahdlah maupun 

326 Vol. XXVIII No. 2 2013/1434 


Pendidikan Islam Di... 

ghairu mahdlah. Berkaitan dengan akhlak, setidaknya IRE memperhatikan proses


pembenahan peserta didik menjadi manusia yang memiliki akhlak, sikap, budi pekerti dan
perilaku yang positif. Suatu masyarakat tidak akan berkembang jika warganya tidak
memiliki akhlakterpuji yangyang dapat membimbing manusia untuk maju dalam
peradaban kehidupan yang mulia. Apalagi akhlaq bimbinganadalah jiwa pendidikan
Islam. Pencapaianmulia akhlak menjadi sasaran utama Pendidikan Agama Islam (Solihin
dan Anwar, 2005: 17). 
Dalam konteks hukum, IRE selalu didasarkan pada tiga unsur: al-Qur‟ân, hadts dan
ijtihâd. Al-Nahlawi (199:41) mengemukakan bahwa al-Qurân dan hadits merupakan
sumber utama dan dasar hukum bagi penyelenggaraan Pendidikan Agama Islam. Rasul
dan pengikutnya, sebagai pendidik masyarakat, sangat menghormati al-Qurân. Aisyah
membuktikan bahwa sebenarnyaRasul akhlak adalah al-Qurân. Selain itu, hadts juga
merupakan unsur dasar Pendidikan Agama Islam karena menjelaskan. Yaljan (1992: 40)
menyatakan bahwa implementasi dasar atau IRE terdiri dari al-Qur‟ân dan sunnah
diperluas ke ijma‟, qiyâs, masâlih al-mursalah, shadzdzu al-dzâri‟ah, urf dan istihsân.
Menurut Ali (2005:35), ada enam unsur dasar pelaksanaan IRE, antara lain al-Qur‟ân,
hadits, qaul al-shahâbat, masâlih al-mursalah, urf serta seluruh pemikiran hasil ijtihâd.
dari intelektual muslim.  
Pilar Pendidikan Islam Dilihat dari pemangku kepentingannya, setidaknya lima pilar
pendidikan Islam di Indonesia dapat dicantumkan: Pesantren, Madrasah, Pesantren di
bawah ormas Islam, Madrasah Terpadu, dan Majelis Taklim. Sebelum abad ke-20,
pesantren merupakan satu-satunya lembaga pendidikan Islam formal di Nusantara,
terutama di Pulau Jawa (Lukens-Bull, 2004: 299). 
Setidaknya, penerapan IRE mengacu pada enam sila, sebagai berikut: 1.
Universalitas sila Islam. Prinsip ini tidak diragukan lagi menunjukkan bahwa
Pendidikan Agama Islam harus bersifat universal antara jasmani dan rohani,
individu dan masyarakat, dan dunia dan akhirat. Melalui prinsip ini, IRE harus
membuka, mengembangkan, dan mendidik semua aspek yang terkait dengan
kepribadian, keterampilan, dan potensi manusia dengan memperluas semua aspek
kehidupan dalam masyarakat dan meningkatkan kondisi budaya, sosial, ekonomi,
dan politik. Selain itu, dapat mengatasi beberapa masalah yang dihadapi masyarakat
saat ini dan mempersiapkan mereka untuk menghadapi tuntutan masa depan.
Singkatnya, IRE mencakup semua perkembangan individu dan masyarakat.  
2. Menyeimbangkan. IRE mewujudkan keseimbangan antara aspek pertumbuhan baik
dalam individu maupun masyarakat. Artinya, IRE juga berupaya mewujudkan
keseimbangan antara budaya masa lalu, permintaan saat ini, dan kebutuhan masa
depan tanpa mengkhususkan salah satunya. IRE tidak hanya menonjolkan kejayaan
masa lalu tanpa mengabaikan persoalan-persoalan dalam masyarakat muslim saat ini
tetapi juga memenuhi segala tuntutan dalam perkembangan sosial dan budaya saat
ini dengan mempertimbangkan segala dampak yang akan terjadi di masa depan.  
3. Kejelasan. IRE sebagai ajaran Islam yang jelas memiliki konsep yang jelas termasuk
dalam metodologi, kurikulum, sistem dan aspek lain dalam pendidikan. 

  Jil. XXVIII No. 2 2013/1434 327 


Muchtarom  
Kejelasanakan mempengaruhi operasional Pendidikan Islam untuk mencapai
tujuannya.  
4. Harmoni. IRE terorganisir secara organik di antara bagian-bagiannya tanpa
kontradiksi. Karena didasarkan pada ajaran Islam, IRE harus bekerja berdasarkan
kehendak Allah. Berbeda dengan sistem pendidikan lain yang mengutamakan tujuan
pendidikan tanpa mempertimbangkan prosesnya. Di IRE, tujuan harus mencapai
berdasarkan Islam syiar"ah.  
5. Realistis dan aplikatif. IRE tampil dalam bingkai kehidupan masyarakat yang jelas
dan realistis. Namun, IRE menekankan pada idealisme Islam yang terkadang
disalahpahami oleh para pelaksana IRE. Akibatnya, idealisme Pendidikan Islam
dipandang sebagai lembaga yang mengutamakan ukhrawi nilai-nilaidan tidak
memperhatikan kenyataan. Jelasnya, IRE tampil berdasarkan perkembangan di
masyarakat dan melestarikan nilai-nilai Islam sebagai prinsipnya.  
6. Dinamis dan responsif terhadap perubahan. IRE tidak terpaku pada tujuan,
kurikulum, dan metodenya tetapi selalu memperbaharui dan berkembang serta
memberikan respon positif terhadap kebutuhan dan perkembangan zaman. Selain
itu, ia menanggapi kepentingan individu dan masyarakat.  
(Basri, 2009, 129-130).  

Oleh karena itu, jelas bahwa IRE tidak menutup diri terhadap perkembangan di
masyarakat termasuk perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun demikian,
IRE tidak menyatu pada pengembangan againsy Islam syiar"ah.  
Peran IRE adalah memberikan kontribusi terhadap upaya pengembangan potensi
peserta didiknya sebagai generasi penerus yang tidak hanya berkembang di bidang
intelektual tetapi juga dapat mewujudkan eksistensinya sebagai insân kâmil berdasarkan
potensi dan keterampilan spiritualnya. Dengan demikian, dengan potensi yang
dimilikinya, ia dapat mewarnai kehidupan dan masa depannya untuk mencapai
kebahagiaan dunia dan akhirat. Selain itu, terdapat beberapa fungsi IRE, sebagai berikut:
1) untuk mencapai tujuan; 2) untuk mengarahkan tujuan; 3) Sebagai titik utama untuk
mencapai tujuan lain, yaitu tujuan baru atau tujuan perluasan dari yang sebelumnya; 4)
memberi nilai pada upaya; 5) memberikan kriteria untuk mengevaluasi proses pendidikan;
6) memberikan fasilitasi agar proses pendidikan dapat berjalan dengan baik (al-Rasyid dan
Nizar, 2005: 32).  
IRE memiliki ciri tersendiri jika dibandingkan dengan pendidikan pada umumnya.
Jika pendidikan umum tidak memiliki unsur khusus, maka IRE memiliki aturannya
sendiri, yakni mengacu pada al- dan Qurânhadts. Selain itu, ada hal khusus dalam IRE,
yaitukharismatik kiaiyang tidak dimiliki oleh pendidik lain pada umumnya. Berikut ciri-
ciri IRE:  
1. Rabbâniyyah, semua aspek didasarkan pada rabbâniyah nilai, dijabarkan dalam 
Kitâbullâh dan Sunnat ar-Rasl;  
2. Syâmilah, pendidikan dibangun dengan memperhatikan seluruh aspek kehidupan
termasuk akal, jasmani dan rohani serta hubungan antara individu dan masyarakat,
alam dan al-Khâliq, tanpa pemisahan; 

328 Jil. XXVIII No. 2 2013/1434 


Pendidikan Islam Di... 

3. Mutakâmilah, pendidikan tidak terbatas pada tempat tertentu. Itu bisa diadakan di
sekolah, masjid, rumah, di jalan, di taman, di medan perang atau bahkan di pasar;  
4. Marhaliyah, semua alam terjadi dalam fase serta manusia tumbuh secara fisik dan
mental. Dengan demikian, pendidikan harus dibangun dalam fase yang didasarkan
pada pengembangan kedewasaan manusia;  
5. Murûnah, penerapan pendidikan didasarkan pada situasi dan kondisi yang
meliputi objek dan subjek pendidikan untuk mengoptimalkan hasil; 6. Istimrâriyah,
proses pendidikan selalu berkesinambungan. Setiap individu belajar sepanjang
hidupnya (Long Live Education);  
7. Tanmawiyah, memberikan kesempatan untuk memperbaharui cara dan gaya
penyampaian sesuai dengan inovasi dan perkembangan ilmu pengetahuan selama
masih berjalan pada prinsip-prinsip Islam;  
8. Fardiyah, Mempelajari ilmu adalah kewajiban bagi setiap individu dalam Islam.
Alhasil, melibatkan semua pihak untuk mempersiapkan segala fasilitas pendidikan
dengan sebaik-baiknya;  
9. Tathbîqiyah, pendidikan bersifat praktis artinya setiap ilmu yang dicapai harus
berorientasi pada produktivitas;  
10.Hurriyah, pendidikan didasarkan pada kebebasan. Islam tidak memaksa untuk
belajar apa dan bagaimana. Setiap individu bebas untuk belajar dan segala
pengetahuan serta batasannya;  
11.Infitâh, pendidikan didasarkan pada keterbukaan. Setiap muslim menyerap ilmu
dari sumber manapun dan dapat mengambil manfaat turâts (warisan yang berguna
dari peradaban manusia masa lalu);  
12.Maslahah, pendidikan dibentuk untuk memberikan manfaat bagi ummat, yang
nantinya dapat memberikan kontribusi bagi pendidikan, kemakmuran, kejayaan, dan
peradaban. Dengan demikian, IRE berorientasi pada nilai manfaat bagi ummat. 

Eksistensi IRE dalam Sistem Pendidikan Nasional 


Semua negara di dunia memiliki sistem nasionalnya masing-masing. Pendidikan
nasional biasanya diwarnai dengan nilai-nilai dan budaya sendiri yang tumbuh bersama
dengan semua gerakan hidup suatu bangsa. Sistem pendidikan nasional harus
diselenggarakan berdasarkan nilai dan budaya Indonesia sebagai kristalisasi dari nilai
kehidupan Indonesia. Penyelenggaraan pendidikan nasional diatur sesuai dengan
kebutuhan pendidikan di Indonesia secara geografis, demografis, historis dan budaya
sebagai ciri khas Indonesia. 
Ada hubungan yang kuat antara pendidikan dan budaya. Keduanya terkait dengan
nilai. Dengan demikian, pendidikan tidak dapat dipisahkan dari budaya dan hanya dapat
dilaksanakan dalam masyarakat. Pendidikan adalah proses pembudayaan masyarakat.
Pada dasarnya kebudayaan memiliki tiga aspek penting, yaitu kebudayaan sebagai tatanan
kehidupan, kebudayaan sebagai suatu proses, kebudayaan dengan visi dan tujuan tertentu.
Dengan kata lain, proses pendidikan tidak akan terjadi tanpa budaya dan masyarakat. 

  Jil. XXVIII No. 2 2013/1434 329 


Muchtarom  

Dengan demikian, pendidikan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat di


sekitarnya. John Dewey (1916: 296) menyatakan: “Dapatkah kita menghubungkan
“Pendidikan Baru” ini dengan rangkaian peristiwa umum? Jika kita bisa, itu akan
kehilangan karakternya yang terisolasi, itu akan berhenti menjadi urusan yang hanya
berasal dari pikiran jenius para pendidik yang berurusan dengan murid-murid tertentu".
Para pendidik dan antropolog sepakat bahwa budaya merupakan unsur dasar pembentuk
kepribadian manusia. Berdasarkan budaya dapat membentuk identitas individu,
masyarakat dan bangsa. Dewasa ini, seseorang dapat dipengaruhi oleh budaya global.
Sebenarnya manusia modern hidup secara global, yaitu dalam dunia yang realistis tanpa
batasan dan dengan dunia maya informasi dan teknologi yang maju. Budaya tidak statis
tetapi merupakan sebuah proses. Dengan demikian, budaya selalu dalam proses
transformasi. Budaya tanpa transformasi melalui proses pendidikan mengacu pada budaya
mati. 
Sejak tahun 2003, Indonesia memiliki Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional
yang baru. Penetapan Undang-undang tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa
Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional sudah tidak
sesuai lagi dan perlu diubah atau direvisi agar sesuai dengan perubahan Undang-undang
Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.  
Dalam UU Sisdiknas, pendidikan berarti sebagai usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan proses dan suasana belajar agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual, pengendalian diri, kebutuhan
keterampilan bagi dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Sementara itu, tujuan
pendidikan nasional adalah untuk mengembangkan siswa "potensi untuk menjadi manusia
yang memiliki iman dan taqwa kepada satu Tuhan,mulia, akhlaqkeafiatan, baik
pengetahuan, terampil, kreativitas, mandiri, dan warga negara yang demokratis dan
bertanggung jawab.  
Selain itu, sistem pendidikan nasional berarti seluruh komponen pendidikan yang
satu dengan yang lain saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan
nasional. Ada kasus seseorang melanjutkan studinya karena alasan ekonomi dan dianggap
sebagai investasi, yaitu gelar diperoleh tanpa mempertimbangkan kualitasnya sendiri.
Gelar menjadi target utama yang harus diwujudkan untuk mendapatkan kembali biaya
kuliahnya dan mendapatkan keuntungan darinya. Tujuan pendidikan seperti ini tidak dapat
menjadikan individu memilikimulia akhlak yang meskipun mencapai derajat yang lebih
tinggi.  
Ada banyak Muslim berpendidikan tinggi tetapi mereka belum menjadi Muslim
yang baik dalam kenyataannya. Tidak dapat dipungkiri bahwa masih terdapat jurang
pemisah antarayang tinggi dengan akhlak dan akhlak yang rendah derajat dalam
kehidupan. Dengan demikian, Pendidikan Agama Islam tidak berarti apa-apa bagi
hidupnya dan tidak dapat dinikmati. Dalam kasus lain, banyak politisi, pengusaha, dan
pendidik yang mengaku beragama Islam dan mendapat predikat tinggi sebagai intelektual,
namun pada kenyataannya mereka terlibat dalam beberapa korupsi, pelecehan seksual,
penyalahgunaan wewenang, pelecehan keluarga, dan berbagai tujuan yang menyimpang.
dari Pendidikan Islam. Kasus-kasus tersebut membawa perkembangan yang mendesak
bagi Pendidikan Agama Islam. 

330 Jil. XXVIII No. 2 2013/1434 


Pendidikan IslamDalam ... 

relegion Ajaran  

KebijakanAgama  
NEGARA  Pelaksana  

Politik  
Kebijakan  

AGAMA PENDIDIKAN  
TeoriPendidikan 

KebijakanPendidikan  

IslamAgama Pendidikan dengan Sistem Pendidikan Nasional 

Angka ini menunjukkan bahwa upaya untuk mengembangkan Agama Islam


Pendidikan yang diarahkan ke National Sistem Pendidikan meliputi pembaharuan
kurikulum, pemberdayaan sekolah sebagai pusat nilai budaya, pembentukan Sistem
Pendidikan Nasional berdasarkan desentralisasi, otonomi ilmu pengetahuan, dan
manajemen. Perkembangan ini didukung oleh kebijakan politik dalam rangka
meningkatkan peran DPR/MPR dan lembaga parlemen lainnya dengan menetapkan fungsi
dan tanggung jawab yang mengacu pada prinsip kewenangan dan hubungan yang jelas
antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif.  
Islam Umat dapat memainkan peran nyata dalam masyarakat global. Masa depan
harus dicapai dengan alat pendidikan, oleh karena itu pendidikan harus dipercepat menuju
masa depan manusia. Oleh karena itu, sebenarnya penting untuk memperbaharui sistem
Pendidikan Agama Islam secara terus menerus. Istilah pendidikan panjang umur, jelas
telah diperkenalkan oleh Nabi Muhammad SAW “Mendapat ilmu mulai dari buaian
sampai pemakaman” Oleh karena itu, manusia harus selalu belajar bagaimana belajar.
Belajar itu seperti rekreasi ke masa depan (Fadjar, 1999: 38).  
Gagasan pembaruan tidak akan terlaksana jika tidak ada upaya untuk mengubah
pandangan masyarakat dari dikotomi ke otonomi pendidikan. Integrasi pendidikan diikuti
oleh institusi lain dalam menjawab tantangan globalisasi dan otonomi.  
Pada dasarnya upaya pengembangan Pendidikan Agama Islam mempunyai tujuan
untuk mencapai pendidikan yang efisien dan efektif sebagai proses pencapaiannya  
  Jil. XXVIII No. 2 2013/1434 331 
Muchtarom  

tujuan Sistem Pendidikan Nasional. Oleh karena itu, ada dua hal yang harus diperhatikan
untuk mengenali upaya pengembangan Pendidikan Agama Islam: 1) Mengidentifikasi
semua masalah yang menghambat pelaksanaan Pendidikan Agama Islam; 2) Merumuskan
reformasi strategis dan praktis yang aplikatif di lapangan.  
Dengan kata lain, syarat yang diperlukan dari program perumusan sebagai upaya
pengembangan Agama Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional yang harus ditegakkan
menjadi titik sentral yang harus diperhatikan. Dengan kata lain harus didasarkan pada
kenyataan yang terjadi di sekolah dan tidak terlalu memperhatikan slogan Pendidikan
Agama Islam. Jika tidak, harus menunjukkan fakta yang nyata dan hasil penelitian yang
valid sehingga upaya Pendidikan Agama Islam dapat utuh, jelas, dan realistis. 
Selain itu, diperlukan inovasi yang terus menerus untuk menciptakan keunggulan
kompetitif hasil Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia. Untuk mendapatkan harkat dan
martabat suatu bangsa diperlukan keunggulan kompetitif di berbagai bidang dengan
didukung dari hasil belajar Pendidikan Agama Islam. Saat ini, tidak lagi mengandalkan
sumber daya manusia yang murah untuk mendukung dan membenarkan konsep
keunggulan komparatif dan kompetitif. Untuk menciptakan keunggulan kompetitif
sebagai hasil pendidikan, Porter (1997: 54) mengemukakan bahwa diperlukan beberapa
upaya untuk menagih masyarakat Indonesia untuk menghasilkan berbagai keunggulan
kompetitif sebagai hasil pendidikan termasuk Pendidikan Agama Islam yang menjadikan
inovasi menjadi bagian penting dari pembangunan. Sistem Pendidikan Nasional Tanpa
adanya inovasi yang berarti, Pendidikan Agama Islam hanya menghasilkan lulusan yang
tidak memiliki tuntunan hidup yang bermoral dan mandiri yang akan bergantung pada
orang lain.  
Masalah Pendidikan Agama Islam muncul dari segi perkembangannya. Secara
khusus permasalahannya terjadi pada pengertian dan fungsi Pendidikan Agama Islam
apakah hanya sebatas mengajarkan ilmu agama murni saja atau juga mengajarkan seluruh
aspek kehidupan berdasarkan agama yang mengacu pada Sistem Pendidikan Nasional. Hal
ini menjadi serius karena menentukan pola Sistem Pendidikan Nasional secara utuh.
Selain itu, pihak Islam berpendapat bahwa pendidikan Islam harus dikembangkan secara
luas di Indonesia, namun pihak non-Islam berpendapat bahwa pendidikan Islam harus
dibatasi hanya pada pengetahuan agama saja. Terakhir, beberapa ketentuan tegas tentang
Pendidikan Agama Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional direkomendasikan oleh
Badan Pekerja Komite Nasional Pusat (BPKNP). Menurut Hasan (2003:48), hal-hal
tersebut adalah sebagai berikut: 1) Mata pelajaran Pendidikan Agama Islam di sekolah
harus disampaikan sesuai jadwal waktu di sekolah; 2) Pemerintah membayar guru; 3) Di
Sekolah Dasar, mata pelajaran ini disampaikan mulai dari kelas empat; 4)
Diselenggarakan seminggu sekali; 5) Semua guru dilegalisir oleh Kementerian Agama; 6)
Semua guru harus menguasai mata pelajaran umum lainnya dengan baik; 7) Pemerintah
menyediakan buku pendidikan agama; 8) Guru agama mendapatkan beberapa pelatihan;
9) Kualitas madrasah harus ditingkatkan; 10) Pelajaran bahasa Arab tidak diperlukan lagi. 

332 Jil. XXVIII No. 2 2013/1434Agama 


PendidikanIslam Di... 

Berdasarkan rekomendasi tersebut, Pendidikan Agama Islam dibatasi pada pelajaran


agama di sekolah mulai kelas empat dan diadakan seminggu sekali tanpa pelajaran bahasa
Arab. Dalam rekomendasi ini, Pendidikan Agama Islam di madrasah tidak mendapat
perhatian khusus kecuali ketentuan nomor 9: mutu madrasah harus ditingkatkan (Hasan,
2003: 50). 
Tantangan utama yang dihadapi para pakar dan praktisi Pendidikan Agama Islam
dalam hal integrasi madrasah ke dalam Sistem Pendidikan Nasional adalah
dihilangkannya dikotomi antara mata pelajaran umum dan agama. Pengetahuan harus
dipandang sebagai identitas tunggal yang telah berkembang secara 
historis. Perkembangan ilmu pengetahuan secara historis menunjukkan bahwa setiap
peradaban manusia termasuk peradaban Islam telah memberikan kontribusi terhadap ilmu
itu sendiri.  
Integrasi sekolah Islam ke dalam Sistem Pendidikan Nasional telah membentuk
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional pada tahun 1989 oleh pemerintah. Melalui
undang-undang tersebut, sekolah Islam telah mengubah definisinya dari sekolah agama
menjadi sekolah umum berdasarkan Islam. Perubahan ini memiliki arti penting karena
madrasah tidak mendapatkan legitimasi secara utuh sebagai bagian dari Sistem
Pendidikan Nasional. Oleh karena itu Kementerian Agama sebagai lembaga yang
bertanggung jawab atas madrasah dan lembaga pendidikan Islam lainnya menyambut baik
Undang-Undang ini dengan antusias. Perubahan ini penting artinya, dengan demikian
berarti madrasah tidak hanya mendapat legitimasi sepenuhnya sebagai bagian dari Sistem
Pendidikan Nasional (Hasan, 2003). : 60).  
Namun, perubahan definisi ini juga mempengaruhi perubahan kurikulum. Karena
madrasah tidak lagi berorientasi pada sekolah agama, kurikulumnya harus didominasi
oleh mata pelajaran umum meskipun masih ada perubahan untuk mengadakan mata
pelajaran agama di madrasah berdasarkan kebutuhannya. Selain itu, karena madrasah
adalah jenis sekolah umum yang berorientasi Islam, nilai-nilai Islam harus tercermin
dalam kurikulumnya terutama dalam beberapa mata pelajaran seperti matematika, sejarah,
kimia, fisika, dan bahasa Inggris. Dengan demikian, lulusan madrasah masih berbeda
dengan lulusan sekolah umum lainnya dengan kualitas yang sama.  
Tahun 1994 merupakan salah satu periode penting dalam perkembangan pesantren
di Indonesia. Saat itu, Kementerian Agama telah menetapkan kurikulum baru yang
dikenal dengan kurikulum 1994 yang mengharuskan pelaksanaannya berada di bawah
Kementerian Pendidikan. Berbeda dengan kurikulum sebelumnya, sekolah Islam memuat
70% untuk mata pelajaran umum dan 30% untuk Pendidikan Agama Islam. Pada
kurikulum 1994, madrasah diwajibkan untuk memberikan 100% mata pelajaran umum
seperti sekolah umum lainnya di bawah Departemen Pendidikan.  
Sekilas, perhatian utama kurikulum 1994 adalah penghapusan 30% mata pelajaran
agama sejak ditetapkan pada kurikulum 1975. Namun jika ditelaah dengan seksama,
penghapusan mata pelajaran agama tidak hanya menghilangkan mata pelajaran agama di
madrasah. Kalau tidak, itu harus dilihat sebagai reformasi mata pelajaran agama di
sekolah Islam. Secara khusus, kajian Islam tidak lagi disampaikan dalam mata pelajaran
formal secara mandiri tetapi terintegrasi secara utuh pada mata pelajaran umum lainnya 

 Jil. XXVIII No. 2 2013/1434 333 


Muchtarom  

mata pelajaran. Kondisi ini setidaknya didukung oleh upaya Kementerian Agama yang
menyelenggarakan buku panduan bernuansa Islami bagi guru mata pelajaran umum.
Diharapkan beberapa mata pelajaran umum yang diberikan di sekolah Islam tetap
memperhatikan nilai-nilai Islam.  
Pada kurikulum 1994, dualisme antara agama dan mata pelajaran umum di
madrasah berusaha dihilangkan. Pesantren diharapkan dapat menyelenggarakan semua
mata pelajaran terpadu secara bersama-sama. Namun, pendidikan Islam berperan dalam
konteks sistem pendidikan nasional. Harus diketahui bahwa secara kelembagaan,
Pendidikan Agama Islam menempati posisi kedua dibandingkan dengan mata pelajaran
lainnya. Misalnya, jurusan Pendidikan Agama Islam kurang diminati sedangkan mata
pelajaran lain dianggap memiliki masa depan yang lebih baik. Fakta lain dapat
ditunjukkan dalam hal pengembangan institusi. Pembinaan departemen atau sekolah yang
berada di bawah naungan Kementerian Agama tidak sama dengan yang berada di bawah
Kementerian Pendidikan Nasional. Parahnya, harus menyesuaikan diri dengan kondisi
sekolah umum. Meskipun Pendidikan Agama Islam memegang peranan penting dalam
konteks pendidikan nasional, namun harus diakui bahwa kedudukan Pendidikan Agama
Islam hanya merupakan subsistem sebagai bagian dari Sistem Pendidikan Nasional.  
Beberapa upaya pengembangan Pendidikan Agama Islam dapat dilakukan dengan
menerapkan berbagai metode pembelajaran: 1) Pendidikan berbasis model; 2) Pendidikan
berbasis tradisi; 3) Pendidikan berdasarkan nasehat/cerita; 4) Pendidikan berdasarkan
kepedulian satu sama lain; 5) Pendidikan berdasarkan penghargaan dan sanksi.  
Pelaksanaan pengembangan Pendidikan Agama Islam merupakan penerapan konsep
integrasi yang berarti suatu proses pendidikan yang terintegrasi dengan harapan akan
menghasilkan output yang terintegrasi. Dengan demikian, integrasi antara Pendidikan
Agama Islam dengan pendidikan lainnya sejalan dengan tujuan Sistem Pendidikan
Nasional. Secara khusus menghasilkan output menjadi individu yang memilikiterintegrasi
akhlaq dan ilmu yang. Konsep integrasi memiliki tiga pengertian:  
1. Integrasi kurikulum saat ini cenderung sekuler dengan menerapkan nilai-nilai agama
Islam pada semua mata pelajaran. Misalnya, pembelajaran bahasa Inggris memiliki
persepsi yang berbeda dengan siswa dari sekolah lain, sebagai berikut: 
a. Mata pelajaran bahasa Inggris merupakan bagian dari ajaran Islam yang sumber
utamanya berasal dari Allah SWT, sehingga setiap ilmu harus dipelajari 
b. Mata pelajaran bahasa Inggris tidak lepas dari kewajiban umat Islam sebagai cara
beribadah kepada Allah SWT. Dengan mempelajarinya untuk mengungkap
wawasan keislaman seperti melalui sastra, teknologi, informasi, dan sebagainya,
umat Islam tidak akan tertinggal dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. 
334 Jil. XXVIII No. 2 2013/1434 
Pendidikan Islam Dalam... 

2. Integrasi aspek kognitif, afektif, psikomotorik dalam nilai-nilai Islam yang diterapkan
secara langsung dan simultan. Misalnya siswa belajar tata cara shalat di Pendidikan
Agama Islam, ia akan menerapkan shalat berjamaah langsung di masjid. Contoh
lain, ketika dia belajar berhitung, dia tidak hanya mengenal angka tetapi juga belajar
bahwa ada lima Islam, lima waktu sholat, lima jari, dan banyak lainnya.  
3. Integrasi antara orang tua dan sekolah. Proses pendidikan akan gagal jika
pengembangan nilai-nilai tidak sinergis antara sekolah dan orang tua di rumah.
Dengan demikian, peran sekolah, orang tua dan masyarakat harus bersinergi dan
harmonis untuk mendidik peserta didik.  
Pendidikan Agama Islam ini juga harus bersinergi antara Kemenag dengan
Kemendikbud agar serius mengembangkan Pendidikan Agama Islam. Hal ini menjadikan
Pendidikan Agama Islam menjadi bagian integral dari Sistem Pendidikan Nasional.
Artinya jika sekarang Pendidikan Agama Islam dipandang sebagai subsistem dalam
konteks pendidikan nasional sebagai mata pelajaran pelengkap di sekolah, maka akan
terjadi pergeseran peran dari pelengkap menjadi substansial. Indonesia merupakan negara
kepulauan yang dikenal dengan keragaman budaya dan sosialnya. Dengan lebih dari
200.000 pulau, kurang dari 30% yang berpenghuni, dan lebih dari 300 etnis yang berbeda
semua dengan praktik budaya dan tradisi mereka sendiri, Indonesia adalah negara
kepulauan terbesar di dunia dan negara terpadat keempat. Secara politik, meskipun
Indonesia bukan negara sekuler atau negara teokratis, pemerintah negara memiliki
kekuatan yang signifikan untuk mengontrol kehidupan beragama melalui aparaturnya.
Sensus Indonesia terbaru menunjukkan bahwa di antara 220 juta penduduknya, 88
persennya adalah Muslim. Kelompok agama lain termasuk Protestan 5%, Katolik Roma
3%, Hindu 2%, Buddha 1%, dan lainnya 1% (Boyle dan Sheen, 2001: 200-208).  
Meski mayoritas beragama Islam, namun penyebarannya tidak merata. Beberapa
daerah, terutama di Indonesia bagian timur, memiliki jumlah pemeluk Kristen dan Islam
yang hampir sama, seperti di Maluku, Manado, dan banyak lagi lainnya. Beberapa bagian
bahkan ada yang mayoritas beragama Kristen, seperti di Nusa Tenggara Timur dan Papua,
dan tentunya pulau Bali yang lebih dari 90% beragama Hindu. Respon Pendidikan Islam
Terhadap Keberagaman Agama di Indonesia Secara teologis, non Muslim dipandang
sebagai “yang lain” oleh umat Islam, berdasarkan konstruksi klasik ajaran Islam.
Konstruksi fiqh dan ilmu kalam terhadap non-Muslim, misalnya, menunjukkan mereka
musyrik atau kafir. Persoalannya adalah bagaimana seharusnya seorang Muslim
berhubungan dengan “orang lain” dalam kehidupan sehari-harinya (Abdullah pada
http://aminabd.wordpress.com , 2010).  
Al-Quran sebenarnya menghargai keragaman agama di muka bumi. Beberapa ayat
Al-Quran dengan jelas menggambarkan bahwa Allah SWT tidak bermaksud menciptakan
manusia dalam satu identitas, sebagaimana dinyatakan dalam QS 10: 99 dan 2: 256 di
bawah ini: Dan jika Tuhanmu menghendaki, pastilah beriman semua yang ada di bumi. ,
mereka semua. Maukah kamu? 

 Jil. XXVIII No. 2 2013/1434 335 


Muchtarom  

kemudian memaksa laki-laki sampai mereka beriman? Tidak ada paksaan dalam agama –
jalan yang benar memang jelas berbeda dari yang salah. Maka barang siapa yang kafir
kepada setan dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya dia memegang pegangan
yang paling kokoh yang tidak akan pernah putus. Dan Allah mendengar mengetahui. Al-
Quran bahkan mengakui pluralisme agama, sebagaimana dinyatakan dalam QS 2: 62
Sesungguhnya orang-orang yang beriman, dan orang-orang Yahudi, dan orang-orang
Nasrani, dan orang-orang Sabian, siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir dan
mengerjakan kebajikan, mereka mendapat pahala di sisi Tuhan mereka, dan tidak ada
ketakutan bagi mereka dan tidak pula mereka bersedih hati. Meskipun Al-Quran secara
jelas menggambarkan adanya pluralisme agama, namun interpretasi yang berbeda dari
ayat-ayat tersebut muncul di antara berbagai kelompok Muslim, termasuk pemangku
kepentingan pendidikan Islam. Sejumlah kelompok Muslim mengapresiasi ayat-ayat
tersebut dan mengembangkan pandangan yang inklusif, bahkan pluralis; tetapi beberapa
kelompok lain menafsirkan ayat-ayat tersebut secara berbeda dan mengembangkan
perspektif eksklusif. Penafsiran yang berbeda kemudian akan membawa mereka untuk
memiliki sudut pandang dan sikap yang berbeda terhadap non-Muslim dan realitas
keragaman agama. Secara singkat, mengingat Indonesia yang penuh dengan keragaman,
agama dan lain-lain, setiap pilar pendidikan Islam memiliki respon yang berbeda-beda.
Sebagian dari mereka pasti memahami bahwa keragaman adalah bagian dari sunnatullâh,
sehingga mereka mengembangkan kurikulum dan konten sistem pendidikan untuk
mengajar siswanya agar siap hidup bersama dalam masyarakat yang majemuk (Abdullah
pada http://aminabd.wordpress.com, 2010). ). 
Sistem pendidikan Islam di Indonesia dapat dibagi menjadi beberapa kelompok.
Pertama, kelompok pesantren, termasuk yang menjalankan madrasah dan yang masih
mempertahankan sistem non-grading. Kelompok ini terdiri dari pesantren modern dan
tradisional. Kedua, kelompok madrasah yang terdiri darinegeri danswasta
madrasahmadrasah. Ketiga, kelompok Sekolah Islam, yang dianggap sebagai aliran
sistem pendidikan Islam modern masyarakat Muslim perkotaan. Masing-masing
kelompok akan dibahas secara terpisah dengan upaya menghubungkan satu sama lain
(http://miftah19.wordpress.com).  
Keanekaragaman lembaga pendidikan Islam tersebut menggambarkan dinamika
Islam di Indonesia yang sedang mencari wujudnya, terutama dalam konteks
perkembangan modern dan kontemporer. Terlepas dari kenyataan bahwa ada pesantren
yang menganut semangat fundamentalisme, penting untuk dicatat bahwa itu hanyalah
fenomena kecil. Mayoritas pesantren di Indonesia dijalankan dengan semangat Islam
moderat. Namun, kampanye tentang gagasan Islam moderat yang mengusung nilai-nilai
demokrasi, toleransi, pluralisme, dan masyarakat madani tidak disosialisasikan dengan
baik (http://miftah19.wordpress.com ). 

KESIMPULAN 
Berdasarkan pembahasan terkait upaya pelaksanaan Pendidikan Agama Islam dalam
Sistem Pendidikan Nasional, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan, sebagai berikut: 1)
Secara terminologi, tujuan Pendidikan Agama Islam dapat diartikan sebagai pencapaian
target individu atau kelompok. bahwa 

336 Vol. XXVIII No. 2 2013/1434 


PendidikanDalam... 

Agama Islammelaksanakan Pendidikan Agama Islam. Secara epistemologi, sebenarnya


Pendidikan Agama Islam telah memiliki visi dan misi idealnya sendiri, yaitu ”rahmatan
lil âlamin”. Selain itu, tujuan pendidikan tidak dapat dipisahkan dari tujuan hidup manusia
meskipun dipengaruhi oleh berbagai budaya, pandangan hidup, dan atau keinginan lain
untuk memiliki aqidah (tarbiyah aqîdiyah ), untuk membentukmulia akhlaq yang
(tarbiyah khuluqiyah), membentuk(tarbiyah fikriyah), membentuksehat dan(insan yang
berakalinsan yangtangguhtarbiyah jismiyah), membentuk kreatif, inisiatif, antipati, dan
responsif (tarbiyah amaliyah); 2) prinsip objektif Pendidikan Agama Islam berlandaskan
pada al-Qur‟ân, hadts, Qaul al-Shahâbah, ijmâ, qiyâs, masâlih al-mursalah, shadzdzu al-
dzâri‟ah, urf dan istihsân. Selain itu juga didukung oleh ijtihad yang dilakukan oleh
intelektual muslim yang berlandaskan pada aqidah, ibadah dan akhlaq. Selanjutnya,
penerapan Pendidikan Agama Islam mengacu pada enam prinsip: (a) Universalitas
Pendidikan Agama Islam, (b) Keseimbangan, (c) Kejelasan, (d) Harmoni, (e) Realitas dan
Aplikatif, (f) Dinamis dan Responsif menuju perubahan. Perannya adalah memberikan
kontribusi terhadap upaya pengembangan potensi peserta didiknya sebagai generasi
penerus yang tidak hanya berkembang di bidang intelektual tetapi juga dapat mewujudkan
eksistensinya sebagai insân kâmil berdasarkan potensi dan keterampilan spiritualnya.
Dengan demikian, dengan potensi yang dimilikinya, ia dapat mewarnai kehidupan dan
masa depannya untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Selain itu, fungsi tujuan
pendidikan adalah untuk melengkapi dan mengarahkan tujuannya sebagai landasan untuk
mencapai tujuan lain, yaitu tujuan baru atau perluasan. Selain itu juga memberikan nilai
dan karakter dari beberapa upaya, memberikan kriteria untuk mengevaluasi proses
pendidikan dan memberikan fasilitas yang memungkinkan proses pendidikan dapat
berjalan dengan baik; 3) Ciri-ciri pendidikan Islam meliputi  rabbâniyah,syâmilah,
mutakâmilah, marhaliyah, murûnah, istimrâriyah, tanmawiyah, Fa rdi-yyah, tathbîqiyah,
hurriyah, infitâh, maslahah. Untuk memenuhi fungsi tujuannya, tujuan pendidikan harus
dirumuskan berdasarkan nilai-nilai keimanan ideal yang dapat mengangkat harkat dan
martabat manusia, yaitu nilai ideal yang menjadi konstruksi pikiran dan tindakan
seseorang untuk mencapai tujuan yang terarah; 4) Pelaksanaan pengembangan Pendidikan
Agama Islam merupakan penerapan konsep integrasi yang berarti suatu proses pendidikan
yang terintegrasi dengan harapan akan menghasilkan keluaran yang terintegrasi, Dengan
demikian integrasi antara Pendidikan Agama Islam dengan pendidikan lainnya sejalan
dengan tujuan Nasional. Sistem Pendidikan. Secara khusus menghasilkan output menjadi
individu yang memilikiterintegrasi  akhlaq dan ilmu yang. 
DAFTAR PUSTAKA 
Al-Abrasyi. 1961 .al-Tarbiyah Fi al-Islam, Kairo . al-Majlis al-A‟la Li al-Syuun al
Islamiyah.  
Al-Rasyidin dan Samsul Nizar. 2005. Filsafat Pendidikan Islam, Pendekatan Historis,
Teoritis dan Praktis. cet. Ke-2. Jakarta: PT Ciputat Press. 
An-Nahlawi, Abdurrahman. 1989. Prinsip-prinsip dan Metoda Pendidikan Islam. Bandung. CV
Diponegoro. Jil. XXVIII No. 2 2013/1434 337 Muchtarom  Boyle, Kevin, dan Juliet
Sheen, (eds.). 2001. Kebebasan Berkeyakinan Beragama: Sebuah Laporan Kata. London
& New York: Routledge. 
Dewey, J. 1916 .Demokrasi dan Pendidikan. Bandung : Mac Millan Fadjar, A. Malik.
1999. Reorientasi Pendidikan. Jakarta: Fajar Dunia. Hamdani Ihsan dan Fuad Ihsan.
2007. Filsafat Pendidikan Islam.cetakan III. Bandung: CV. Pustaka Setia. 
Hasan Basri, 2009. Filsafat Pendidikan Islam.Bandung: Pustaka Setia. Hasan, M.Ali
Mukti. 2003. Kapita Selekta Pendidikan Islam. Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya. 
Hitami, Munzir. 2004. Menggagas Kembali Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pers Tanpa Batas. 
http://aminabd.wordpress.com/2010/06/01/religious-diversity-and-islamic education-
in-indonesia/diunduh tanggal 29-7-2013.  
http://miftah19.wordpress.com/2011/02/18/new-trend-of-islamic-education in-indonesia/
diunduh tanggal 29-7-2013.  
Lukens-Bull, Ronald. ”Pendidikan Pesantren dan Harmoni Agama: Latar Belakang, Visi dan
Misi.” dalam Alef Theria Wasim, et. Al. (edisi.). Harmoni Kehidupan Beragama:
Masalah, Praktik & Pendidikan. Yogyakarta: Penerbit Oasis, 2005.  
Roqib, Moh. 2009. Ilmu Pendidikan Islam: Pengembangan Pendidikan Integratif di Sekolah,
Keluarga dan Masyarakat. Yogyakarta. 
Saifuddin, AM 1985. ”Konsep Pendidikan Agama: Sebuah Pendekatan Integratif Inovatif,”
dalam Endang Basri Ananda, 70 Tahun Prof DR. HM Rasyidi. Jakarta: Harian Umum
Pelita. 
Sanky, Hujair AH.2003. Paradigma Pendidikan Islam; Membangun Masyarakat Indonesia.
Yogyakarta: Safiria Insania Press dan MSI. 
Sholihin dan Rosyid Anwar, 2005.Akhlak Tasawuf: Manusia, Etika, dan Makna Hidup,
Bandung: Nuansa.  
Undang Undang Republik Indonesia. 2012. Sistem Pendidikan Nasional Beserta
Penjelasannya. Jakarta: Grafika. 338 Jil. XXVIII No. 2 2013/1434 

Anda mungkin juga menyukai