Anda di halaman 1dari 18

OBAT ANTIANEMIA DEFIENSI

DOSEN PENGAMPU : Taufiqurrahman, S.Farm, Apt, M.Farm

DISUSUN OLEH : KELOMPOK 4

PRITA HASAN 09180000059

ALVI PRATIWI 09190000059

DEDE CHAERUNNISA 09190000066

LUTFIAH NUR SHADRINA 09190000079

ANGGY FIDEL PUTI 09190000083

PRYNA CHOERIYAH 09190000088

FINDIYANI FANIA PUTRI 09190000099

ALES JOHAN 09190000105

DELLY SUNDARI 09190000112

GALIH PANGESTU 09190000180

DEA AMANDA PUTRI 09190000028

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN


INDONESIA MAJU
2019/2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas limpahan rahmat
dan karunia-Nya, sehingga dapat menyelesaikan proposal mata kuliah Promosi
Kesehatan, dengan tepat pada waktunya. Salawat dan taslim senantiasa tercurah
kepada junjugan kita Nabi besar Muhammad SAW, keluarga, para sahabat dan
pengikutnya yang senantiasa bertasbih sepanjang masa.

Makalah ini berisikan tentang informasi mengenai obat terhadap penyakit


anemia. Diharapkan Makalah ini dapat memberikan informasi mengenai
perkembangan perkembangan obat antianemia defiensi yang ada di lingkungan
sekitar.

Kami menyadari bahwa proposal ini masih jauh dari sempurna, oleh karena
itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan
demi kesempurnaan proposal ini.

Akhir kata, ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan
serta dalam penyusunan proposal ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT
senantiasa meridhai segala usaha kita. Aamiin.

Jakarta, Desember 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................................i
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................................1
A. LATAR BELAKANG................................................................................................1
B. TUJUAN.....................................................................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................................3
A. Pengertian Anemia untuk Penggunaan Obat...........................................................3
B. Patofisiologi Anemia..................................................................................................3
C. Epidemologi Anemia..................................................................................................4
D. Etiologi Anemia..........................................................................................................4
E. Guideline Terapi pada Penggunaan Obat................................................................6
BAB III PEMBAHASAN.......................................................................................................7
A. Monitoring Efektivitas Terapi......................................................................................7
B. Monitoring Farmakokinetika Klinik.............................................................................8
C. Monitoring Adverse Drug Reaction........................................................................10
D. Monitoring Toksisitas..............................................................................................11
BAB IV PENUTUP..............................................................................................................13
A. Kesimpulan................................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................14

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Anemia adalah suatu keadaan dimana kadar hemoglobin (Hb) dalam darah
kurang dari normal. Faktor-faktor penyebab anemia gizi besi adalah status gizi yang
dipengaruhi oleh pola makanan, sosial ekonomi keluarga, lingkungan dan status
kesehatan. Khumaidi (1989) mengemukakan bahwa faktor-faktor yang melatar
belakangi tingginya prevalensi anemia gizi besi di negara berkembang adalah
keadaan sosial ekonomi rendah meliputi pendidikan orang tua dan penghasilan yang
rendah serta kesehatan pribadi di lingkungan yang buruk. Meskipun anemia
disebabkan oleh berbagai faktor, namun lebih dari 50 % kasus anemia yang terbanyak
diseluruh dunia secara langsung disebabkan oleh kurangnya masukan zat gizi besi.

Selain itu penyebab anemia gizi besi dipengaruhi oleh kebutuhan tubuh yang
meningkat, akibat mengidap penyakit kronis dan kehilangan darah karena menstruasi
dan infeksi parasit (cacing). Di negara berkembang seperti Indonesia penyakit
kecacingan masih merupakan masalah yang besar untuk kasus anemia gizi besi,
karena diperkirakan cacing menghisap darah 2-100 cc setaip harinya.

Kekurangan zat besi dapat menimbulkan gangguan atau hambatan pada


pertumbuhan, baik sel tubuh maupun sel otak. Kekurangan kadar Hb dalam darah
dapat menimbulkan gejala lesu, lemah, letih, lelah dan cepat lupa. Akibatnya dapat
menurunkan prestasi belajar, olah raga dan produktifitas kerja. Selain itu anemia gizi
besi akan menurunkan daya tahan tubuh dan mengakibatkan mudah terkena infeksi.
2

Anemia merupakan kelainan hematologi yang sangat sering dijumpai baik di


klinik maupun dimasyarakat. Anemia ialah keadaan dimana masa eritrosit dan/atau
massa hemoglobin (Hb) yang beredar tidak dapat memenuhi fungsinya untuk
menyediakan oksigen bagi jaringan tubuh. Secara laboratorik dijabarkan sebagai
kejadian penurunan di bawah normal kadar hemoglobin, hitung eritrosit dan
hematokrit. 1,3 Jenis anemia terbanyak adalah karena defisiensi zat besi

Tanda-tanda anemia adalah 5L yaitu lemah, letih, lesu, lelah, dan lalai. Selain
itu sering juga didapat keluhan seperti mata berkunang-kunang dan pusing, pucat
pada mukosa kelopak mata, bibir, lidah, kulit, dan telapak tangan.

B. TUJUAN
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui perubahan parameter subjek dengan
anemia setelah diberi pengobatan ini. Penelitian ini diharapkan menjadi solusi untuk
anemia defisiensi besi selain penggunaan tablet penambah darah.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Anemia untuk Penggunaan Obat


Anemia defisiensi besi (ADB) merupakan masalah defisiensi nutrien
tersering pada anak di seluruh dunia terutama di negara sedang berkembang
termasuk Indonesia. Penyakit ini disebabkan oleh kurangnya zat besi dalam
tubuh penderita. Diperkirakan 30% populasi dunia menderita anemia
defisiensi besi, kebanyakan dari jumlah tersebut ada di negara berkembang,
prevalensi tertinggi ditemukan pada akhir masa bayi dan awal masa kanak-
kanak diantaranya karena terdapat defisiensi besi saat kehamilan dan
percepatan tumbuh masa kanak-kanak yang disertai rendahnya asupan besi
dari makanan, atau karena penggunaan susu formula dengan kadar besi
kurang. Selain itu ADB juga banyak ditemukan pada masa remaja akibat
percepatan tumbuh, asupan besi yang tidak adekuat dan diperberat oleh
kehilangan darah akibat menstruasi pada remaja puteri. Data SKRT tahun
2007 menunjukkan prevalens ADB. Angka kejadian anemia defisiensi besi
(ADB) pada anak balita di Indonesia sekitar 40-45%. Survai Kesehatan
Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 menunjukkan prevalensi ADB pada bayi
0-6 bulan, bayi 6-12 bulan, dan anak balita berturutturut sebesar 61,3%,
64,8% dan 48,1%.

Defisiensi besi adalah berkurangnya jumlah total besi di dalam tubuh.


Anemia defisiensi besi terjadi ketika defisiensi besi yang terjadi cukup berat
sehingga menyebabkan eritropoesis terganggu dan menyebabkan
terbentuknya anemia. Keadaan ini akan menyebabkan kelemahan sehingga
menjadi halangan untuk beraktivitas dan juga mengganggu pertumbuhan dan
perkembangan pada anak

B. Patofisiologi Anemia

Anemia defisiensi besi merupakan hasil akhir keseimbangan negatif besi


yang berlangsung lama. Pada tahap deplesi besi di sumsum tulang, gambaran
darah tepi masih dalam batas normal. Pada tahap defisiensi besi kadar Hb
mulai berkurang tapi gambaran eritrosit masih normal. Oksigenasi yang

3
4

berkurang akibat anemia menyebabkan kebutuhan eritropoetin yang besar


dan merangsang sumsum tulang untuk memproduksi eritrosit, Peningkatan
Jumlah lekosit pada anemia defisiensi besi t sangat jarang terjadi, paling
sering dijumpai nilai Mean Corpuscular volume (MCV) yang rendah dari
eritrosit. Zat besi yang berhasil masuk ke dalam enterosit akan berinteraksi
dengan paraferitin untuk kemudian diabsropsi dan digunakan dalam proses
eritropioesis. Sebagian lainnya dialirkan ke dalam plasma darah untuk
reutilisasi atau disimpan dalam bentuk ferritin maupun berikatan dengan
transferin. Kompleks besi-transferrin disimpan di dalam sel diluar sistem
pencernaan atau berada di dalam darah. Transport transferrin dalam tubuh
masih belum diketahui dengan pasti. Kapisitas dan afinitias transferin
terhadap zat besi dipengaruhi oleh homeostasis dan kebutuhan zat besi dalam
tubuh.

Nilai feritin serum yang rendah merupakan diagnosis untuk defisiensi besi,
tapi kadang beberapa kasus nilai feritin serum masih dijumpai normal, Feritin
serum dapat meningkat pada kondisi inflamasi akut. Serum besi yang rendah
dapat ditemui pada beberapa penyakit, sehingga serum besi, transferrin tidak
bisa menjadi indikator yang tetap untuk defisiensi besi. Khasnya bila serum
besi berkurang maka TIBC di serum juga akan meningkat. Rasio besi dan
TIBC kurang dari 20% ditemukan pada tahap defisiensai besi tapi akan
meningkat pada tahap anemia defisiensi besi.

C. Epidemologi Anemia

Secara epidemiologi, prevalensi tertinggi ditemukan pada akhir masa bayi


dan awal masa kanak-kanak diantaranya karena terdapat defisiensi besi saat
kehamilan dan percepatan tumbuh masa kanak-kanak yang disertai rendahnya
asupan besi dari makanan, atau karena penggunaan susu formula dengan
kadar besi kurang. Selain itu ADB juga banyak ditemukan pada masa remaja
akibat percepatan tumbuh, asupan besi yang tidak adekuat dan diperberat oleh
kehilangan darah akibat menstruasi pada remaja puteri. Data SKRT tahun
2007 menunjukkan prevalens ADB. Angka kejadian anemia defisiensi besi
(ADB) pada anak balita di Indonesia sekitar 40-45%. Survai Kesehatan
Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 menunjukkan prevalens ADB pada bayi
0-6 bulan, bayi 6-12 bulan, dan anak balita berturutturut sebesar 61,3%,
64,8% dan 48,1%

D. Etiologi Anemia
5

Anemia defisiensi besi dapat disebabkan oleh karena rendahnya masukan


besi, gannguan absorpsi serta kehilangan besi akibat pendarahan menahun :

 Kehilangan besi sebagai akibat pendarahan menahun berasal dari :


- Saluran cerna : akibat dari tukak peptik, pemakaian salisilat atau NSAID,
kanker lambung, kanker colon, divertikulosis, hemoroid, dan infeksi cacing
tambang.
- Saluran genitalia perempuan : menorrhagia, atau metrorhagia
- Saluran kemih : hematuria
- Saluran nafas : hemoptoe
 Faktor nutrisi : akibat kurangnya jumlah besi total dalam makanan, atau kualitas
besi (bioavailabilitas) besi yang tidak baik (makanan banyak serat, rendah
vitamin C , dan rendah daging).
 Kebutuhan besi meningkat : seperti pada prematuritas anak dalam masa
pertumbuhan dan kehamilan.
 Gangguan absorpsi besi : gastrektomi, tropical sprue atau kolitis kronik. Pada
orang dewasa anemia defisiensi besi yang dijumpai di klinik hampir indentik
dengan pendarahan menahun. Faktor nutrisi atau peningkatan kebutuhan besi
jarang sebagai penyebab utama. Penyebab pendarahan paling sering pada laki-
laki ialah pendarahan gastrointestinal, di negara tropik paling sering karena
infeksi cacing tambang. Sedangkan pada perempuan dalam masa reproduksi
paling sering karena meno-metrorhgia. Penurunan absorpsi zat besi, hal ini
terjadi pada banyak keadaan klinis. Setelah gastrektomi parsial atau total,
asimilasi zat besi dari makanan terganggu, terutama akibat peningkatan motilitas
dan by pass usus halus proximal, yang menjadi tempat utama absorpsi zat besi.
Pasien dengan diare kronik atau malabsorpsi usus halus juga dapat menderita
defisiensi zat besi, terutama jika duodenum dan jejunum 11 proximal ikut
terlibat. Kadang-kadang anemia defisiensi zat besi merupakan pelopor dari
radang usus non tropical (celiac sprue).

Yang beresiko mengalami anemia defisiensi zat besi:

 Wanita menstruasi
 Wanita menyusui atau hamil karena peningkatan kebutuhan zat besi
 Bayi, anak-anak dan remaja yang merupakan masa pertumbuhan yang cepat
 Orang yang kurang makan makanan yang mengandung zat besi, jarang makan
daging dan telur selama bertahun-tahun.
 Menderita penyakit maag.
 Penggunaan aspirin jangka panjang
6

 Kanker kolon
 Vegetarian karena tidak makan daging, akan tetapi dapat digantikan dengan
brokoli dan bayam.
7

E. Guideline Terapi pada Penggunaan Obat


BAB III
PEMBAHASAN

A. Monitoring Efektivitas Terapi

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No.72 tahun 2016 Pemantauan Terapi


Obat (PTO) merupakan suatu proses yang mencakup kegiatan untuk memastikan
terapi obat yang aman, efektif dan rasional bagi pasien. Tujuan PTO adalah
mengoptimalkan efektivitas terapi dan meminimalkan efek samping yang tidak
dikehendaki.

Pasien Ny X menderita penyakit Anemia, Pneumonia, Psikis, Hipoalbumin,


dan memiliki Riwayat Edema memilki beberapa DRP’S antara lain:

1. Tidak tepat waktu pemberian

Levofloxacin tidak tepat untuk waktu pemberian sebab pasien diberikan terapi
obat pada pukul 19.30 sedangkan pada hari kedua diberikan pada pukul 16.15.
Dimana pasien seharusnya mendapatkan terapi pukul 07.30 WIB pada hari
kedua agar tepat 12 jam waktu pemberian obat.

2. Tidak ada terapi untuk pasien

Pasien mengalami hipoalbumin namun tidak diberikan terapi untuk


menigkatkan kadar albumin. Sebaiknya diberikan terapi berupa suplemen atau
makanan yang memiliki sumber protein seperti putih telur untuk
meningkatkan kadar albumin.

3. Tidak tepat indikasi

7
8

Pasien diberikan terapi antibiotik levofloksasin untuk penyakit pneumonia


sebaiknya diberikan terapi golongan beta lactam seperti (penisilin dan
amoksisilin,) sebagai terapi lini pertama. Sebab levofloxacin merupakan
pilihan kedua
B. Monitoring Farmakokinetika Klinik
A. Terapi Besi

Pemberian preparat besi dapat melalui parenteral maupun oral. Beberapa


sediaan besi parenteral antara lain: Iron sucrose, Iron dextran, sementara
sediaan oral antara lain: ferrous gluconate, ferrous sulphate, ferrous
fumarate, dan iron polysaccharide. Terapi besi oral diindikasikan pada
pasien CKD-non dialisa dan CKD-peritoneal dialysis dengan anemia
defisiensi besi. Absorbsi besi dipengaruhi oleh makanan dan antasida,
karena itu besi oral diberikan diantara dua waktu makan (between meal).
Dosis minimal 200 mg besi elemental/hari, dalam dosis terbagi 2-3x/hari.
Sediaan yang ada antara lain:

 generic ferrous sulphate (325 mg): besi elemental:65 mg;

 iron polysaccharide, besi elemental 50-300 mg tergantung sediaan

 ferrous gluconate (325 mg), besi elemental:35 mg

 ferrous fumarate (325 mg), besi elemental:108 mg

Jika setelah tiga bulan saturasi transferin tidak dapat dipertahankan >20%
dan/ atau ferritin serum > 100 ng/ml, maka dianjurkan untuk pemberian
terapi besi parenteral. Terapi besi parenteral terutama diindikasikan pada
pasien CKD dengan hemodialisa. Terapi besi pada anemia CKD dibagi
menjadi fase koreksi dan fase pemeliharaan.

B. Terapi Besi Fase Koreksi


9

Pada fase koreksi tujuannnya adalah untuk mengkoreksi anemia defisiensi


besi absolut, sampai status besi cukup yaitu saturasi transferin > 20% dan
feritin serum mencapai > 100 ng/ml (CKD-nondialisa dan CKD-peritoneal
dialysis), sementara CKD-hemodialisa >200 ng/ml. Dosis terapi besi fase
koreksi yaitu 100 mg 2x perminggu saat HD, dengan perkiraan keperluan
dosis total 1000mg (10x pemberian). Sebelum pemberian preparat besi
dilakukan dosis uji coba (test dose), dilakukan sebelum memulai terapi besi
intravena pertama kali untuk mengetahui adanya hipersensitivitas terhadap
besi. Caranya yaitu iron sucrose atau iron dextran 25 mg dilarutkan dalam
25 ml NaCl 0.9% drip IV selama 15 menit, sambil diamati tanda-tanda
hipersensitivitas. Cara pemberian terapi besi intravena yaitu iron sucrose
atau iron dextran 100 mg diencerkan dengan 100 ml NaCl 0.9% drip IV
15-30 menit. Cara lain dapat disuntikkan IV atau melalui venous blood line
tanpa diencerkan secara pelan-pelan paling cepat dalam waktu 15 menit.
Evaluasi status besi dilakukan 1 minggu paska terapi besi fase koreksi.

C. Terapi besi fase pemeliharaan

Terapi besi fase pemeliharaan bertujuan menjaga kebutuhan besi untuk


eritropoesis selama pemberian terapi ESA. Target terapi yaitu saturasi
transferin 20-50% dan ferritin serum 100-500 ng/ml untuk CKD non
dialisa dan CKD-Perioneal dialysis, semetara target feritin serum pada
CKD-HD yaitu 200-500 ng/ml. Status besi diperiksa tiap 1-3 bulan. Dosis
terapi besi disesuaikan dengan kadar saturasi transferin dan ferritin serum.
Jika saturasi transferin >50% tunda terapi besi dan terapi ESA dilanjutkan.

 Bila Saturasi transferin <20% dan ferritin serum 501-800 lanjutkan terapi
ESA dan tunda terapi besi, observasi dalam satu bulan. Bila Hb tidak naik
dapat diberikan iron sucrose atau iron dextran 100 mg satu kali dalam 4
minggu, observasi 3 bulan.
10

 Bila saturasi transferin <20% dan ferritin serum >800 ng/ml terapi besi
ditunda. Dicari penyebab kemungkinan adanya keadaan infeksi-inflamasi.
C. Monitoring Adverse Drug Reaction

Dverse Drug Reactions (ADR) adalah respon terhadap suatu obat yang merugikan,
tidak diinginkan, dan terjadi pada dosis yang biasanya digunakan pada manusia untuk
pencegahan, diagnosis, terapi penyakit, atau untuk modifikasi fungsi fisiologik.

Kejadian ADRs menyebabkan 5% admisi rumah sakit, 28% gawat darurat, dan 5%
kematian di rumah sakit. Kerentanan seseorang terhadap ADR tergantung pada usia,
kehamilan, jenis kelamin, status penyakit, dan polifarmasi.

Salah satu penyebab dari kejadian Adverse Drug Reactions adalah interaksi obat.
Beberapa penelitian lain menunjukkan bahwa sebanyak 4,62% dan 8,7% pasien dengan
potensial interaksi obat mengalami ADRs, bahkan lebih dari 20% Kematian yang
disebabkan oleh ADR akibat interaksi obat lebih dari 100.000 tiap tahun. Tenaga
kesehatan sering tidak menyadari risiko klinis kombinasi obat tertentu.

Interaksi major merupakan jenis interaksi yang dapat menyebabkan kerusakan yang
mengancam jiwa atau kerusakan permanen Interaksi KCl spironolakton dapat
menimbulkan efek hiperkalemia berat. Pasien disarankan untuk tidak menggunakan
kombinasi ini kecuali ada bukti terdokumentasi bahwa pasien memiliki gejala klinis
yang tidak responsif terhadap salah satu obat saja. Manajemen untuk interaksi ini
adalah dengan memantau serum kalium pasien secara berkala dan melakukan dietary
counseling Sementara interaksi isoniazid rifampisin dapat meningkatkan risiko.
Hepatotoksik Interaksi isoniazid rifampisin juga ditemukan pada penelitian lain sebagai
interaksi major terbanyak.

Interaksi obat dengan tingkat keparahan moderate paling banyak berpotensi terjadi,
yaitu sebesar 63,19% dari total interaksi. Interaksi moderate terbanyak ditemukan pada
penelitian lain, yaitu 53% dari seluruh pasien. Potensial nteraksi moderate paling
banyak ditemukan pada pasien yang mendapatkan sefotaksim gentamisin dan
gentamisin ketorolak. Interaksi sefotaksim dan gentamisin berisiko meningkatkan risiko
nefrotoksik akibat peningkatan efek bakterisida. Gentamisin dan ketorolak yang
digunakan bersamaan dapat menyebabkan peningkatan konsentrasi plasma gentamisin.
Sehingga perlu pemantauan fungsi ginjal dan kadar gentamisin serta penurunan dosis
jika diperlukan.

Jumlah potensial interaksi minor adalah 23 (1264%) interaksi, dengan obat yang
paling banyak berinteraksi, yaitu ketorolak ranitidin. Efek terapeutik ketorolak dapat
11

berubah jika digunakan bersamaan dengan ranitidin. Perubahan efek tersebut berupa
peningkatan konsentrasi plasma ketorolak yang dapat meningkatkan risiko pendarahan.
Potensial interaksi obat dikelompokkan pula berdasarkan mekanismenya pada Tabel III,
yaitu 6 perubahan absorbsi, 28 perubahan metabolisme, perubahan ekskresi,
farmakodinamik, dan 99 unknown

D. Monitoring Toksisitas

TDM merupakan praktik klinis pengukuran obat tertentu pada interval yang
ditentukan untuk mempertahankan konsentrasi konstan dalam aliran darah pasien,
sehingga mengoptimalkan rejimen dosis individu. Ini digunakan terutama untuk
memantau obat dengan rentang terapeutik yang sempit, obat dengan variabilitas
farmakokinetik yang nyata, obat yang konsentrasi targetnya sulit dipantau, dan obat
yang diketahui menyebabkan efek terapeutik dan efek samping.

TDM adalah proses 3 langkah, yaitu: pengukuran konsentrasi plasma obat tertentu
yang tepat dan andal, interpretasi nilai konsentrasi yang diperoleh sesuai dengan
pengetahuan tentang efek konsentrasi, perhitungan dan usulan penyesuaian dosis
individu untuk pasien tertentu; karakteristik obat yang mengindikasikan TDM
Variabilitas farmakokinetik yang ditandai, konsentrasi terkait terapi dan efek samping,
indeks terapi sempit, rentang konsentrasi terapeutik (target) yang ditentukan; dan efek
terapeutik yang diinginkan sulit dipantau.

Indikasi yang tepat untuk TDM, sebagai berikut :

 TOKSISITAS : Mendiagnosis toksisitas ketika sindrom klinis tidak dapat dibedakan


(misalnya mual yang tidak dapat dijelaskan pada pasien yang memakai digoxin)
atau menghindari toksisitas (misalnya saat menggunakan AMG, siklosporin).
 DOSIS : Setelah penyesuaian dosis (biasanya setelah kondisi mapan); penilaian LD
yang memadai (misalnya setelah memulai pengobatan PHT), atau perkiraan dosis
untuk membantu memprediksi kebutuhan dosis pasien (AMG).
 PEMANTAUAN : Menilai kepatuhan (misalnya konsentrasi antikonvulsan pada
pasien yang sering kejang); mendiagnosis dalam pengobatan (terutama penting
untuk obat profilaksis seperti antikonvulsan, imunosupresan), dan mendiagnosis
terapi yang gagal (TDM dapat membantu membedakan antara pengobatan obat
yang tidak efektif, ketidakpatuhan, dan efek samping yang menyerupai penyakit
yang mendasarinya).

Adapun 5 langkah kerja farmakokinetiknya :


12

 Langkah 1: Perhitungan parameter populasi (parameter berdasarkan data literatur).


 Langkah 2: Perhitungan parameter spesifik pasien (parameter yang diturunkan dari
kadar obat serum pasien yang sebenarnya).
 Langkah 3: perbandingan populasi dan parameter spesifik pasien dan pemilihan
parameter paling rasional. Langkah ini penting untuk mengesampingkan hasil
tingkat palsu.
 Langkah 4: Perhitungan rejimen baru jika level awal tidak memberikan efek yang
diinginkan.
 Langkah 5: Rencana pemantauan dan evaluasi efektivitas.

Antiepileptik adalah obat-obatan yang digunakan untuk mengobati epilepsi,


terutama antiepilepsi klasik (fenitoin, fenobarbital, karbamazepin, dan valproat) adalah
beberapa obat yang paling sering dipantau. Puan Che Gayah menuturkan bahwa
Fenytoin TDM diperlukan karena adanya interaksi dengan obat lain (interaksi obat-
obat) atau dengan penyakit misalnya gangguan ginjal, uremia, dan penyakit kritis
(interaksi penyakit obat) dapat menimbulkan perubahan farmakokinetik fenitoin
dan/atau kemanjuran dan toksisitas.
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan

Anemia adalah suatu keadaan dimana kadar hemoglobin (Hb) dalam darah
kurang dari normal. Faktor-faktor penyebab anemia gizi besi adalah status gizi
yang dipengaruhi oleh pola makanan, sosial ekonomi keluarga, lingkungan dan
status kesehatan, gizi besi dipengaruhi oleh kebutuhan tubuh yang meningkat,
akibat mengidap penyakit kronis dan kehilangan darah karena menstruasi dan
infeksi parasit (cacing). Anemia defisiensi besi merupakan anemia tersering
yang ditandai oleh penurunan cadangan besi, konsentrasi besi serum, dan
saturasi transferin yang rendah, dan konsentrasi hemoglobin atau nilai
hematokrit yang menurun. Anemia defisiensi besi dapat mengenai siapapun
terutama pada anak-anak, remaja, wanita dewasa, dan ibu hamil. Anemia pada
anak-anak dan remaja dapat menggangu pertumbuhan dan perkembangan fisik
dan mental , sedangkan pada wanita dewasa dan ibu hamil dapat menyebabnya
berkurangnya produktifitas hidup dan mengganggu pertumbuhan janin, bahkan
dapat menimbulkan keguguran. Mengingat besarnya dampak buruk dari anemia
defisiensi zat besi maka perlu kiranya perhatian yang cukup dan pengobatan
yang baik.

Besi yang diabsorbsi dari usus halus, segera berikatan dengan protein
apoferitin untuk membentuk ferritin yang digunakan sebagai pembentuk
hemoglobin. Hemoglobin dibutuhkan dalam pembentukan sel darah merah

13
DAFTAR PUSTAKA

Fivy Kurniawati1*, N. M. (2020). Kajian Adverse Drug Reactions Terkait Interaksi Obat di
Bangsal Rawat Inap Rumah Sakit Akademik UGM. JMPF Vol 10(4), 2020 |. DOI :
10.22146/jmpf.60228, vol.10, 297-308.

Julia, F. (2018). ANEMIA DEFISIENSI BESI. Jurnal Averrous Vol.4 No.2 2018, Vol.4 No.2.

Kurniati, I. (2020). Anemia Defisiensi Zat Besi (Fe). Jurnal Kedokteran Universitas Lampung,
4(1), 18-33.

Masrizal. (September 2007). ANEMIA DEFISIENSI BESI. Jurnal Kesehatan Masyarakat, II (1),
140-145.

Meliliyanti, D. R. (2020). PEMANTAUAN TERAPI OBAT PADA PASIEN PENYAKIT ANEMIA.


Fakultas Farmasi, Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta, Jakarta Utara, Indonesia,
14350.

Sutadarma2, K. A. (2019). HUBUNGAN ANTARA ANEMIA DENGAN PRESTASI BELAJAR PADA


SISWI KELAS XI DI SMAN I ABIANSEMAL BADUNG. E-JURNAL MEDIKA, VOL. 8
NO.1,Januari, 2019, vol.8, 46-51.

Yonata, A. (n.d.). Tata Laksana Anemia Pada Penyakit Ginjal Kronis. Departemen Penyakit
Dalam, Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung, 3-4.

Anda mungkin juga menyukai