Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Obat merupakan komponen vital bagi pelayanan rumah sakit. Berdasarkan

Surat Keputusan Menteri Kesehatan nomor 1333/Menkes/SK/ XII/1999 tentang

“Standar Pelayanan Rumah Sakit” menyebutkan bahwa manajemen pelayanan

rumah sakit harus menjaga bahwa obat yang dibutuhkan tersedia setiap saat dalam

jumlah yang cukup untuk mendukung pelayanan serta memberikan manfaat bagi

pasien dan rumah sakit. Ketersediaan obat juga berkaitan dengan angka kematian

dan kesakitan di masyarakat (Yuliastuti, 2007).

Ketersediaan obat dapat dijamin dengan pengelolaan obat yang baik dan

sesuai standar, seperti yang diatur dalam Standar Pelayanan Farmasi di Rumah

Sakit yang tertuang dalam SK Menkes no. 1197/Menkes/SK/X/2004 bahwa

pengelolaan obat merupakan suatu siklus kegiatan, dimulai dari pemilihan,

perencanaan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pendistribusian,

pengendalian, penghapusan, administrasi, pelaporan dan evaluasi.

Siklus pengelolaan obat harus dipastikan bahwa semua tahap pengelolaan

sama kuat dan semua kegiatan tersebut harus selalu selaras, serasi dan seimbang,

bila tidak akan mengacaukan siklus secara keseluruhan yang menimbulkan

dampak seperti pemborosan, tidak tersedianya obat, tidak tersalurnya obat, obat

rusak, dan lain sebagainya. Rumah sakit merupakan pusat rujukan pelayanan

kesehatan (Siahaan, 2013).

SK Menkes no. 340 tahun 2010, ,menyatakan bahwa terdapat 4 kelas

rumah sakit pada klasifikasi rumah sakit umum di Indonesia berdasarkan fasilitas
2

kemampuan dan pelayanan yang penetapan kelas tersebut dilakukan oleh Menteri

Kesehatan. Adapun kelas rumah sakit yang dimaksud: 1) Rumah sakit kelas A

yang paling sedikit harus mampu memberikan 4 pelayanan medik spesialis dasar,

5 pelayanan penunjang medik, 12 pelayanan medik spesialis lain dan 13

pelayanan medik sub spesialis dengan jumlah tempat tidur minimal 400 buah, 2)

Rumah sakit kelas B yang paling sedikit harus mampu memberikan 4 pelayanan

medik spesialis dasar, 4 pelayanan penunjang medik, 8 pelayanan medik spesialis

lain dan 2 pelayanan medik sub spesialis dengan jumlah tempat tidur minimal 200

buah, 3) Rumah sakit kelas C yang paling sedikit harus mampu memberikan 4

pelayanan medik spesialis dasar dan 4 pelayanan penunjang medik dengan jumlah

tempat tidur minimal 100 buah, 4) Rumah sakit kelas D yang paling sedikit harus

mampu memberikan 2 pelayanan medik spesialis dasar dengan jumlah tempat

tidur minimal 50 buah (Kemenkes, 2010).

Berdasarkan klasifikasi kelas rumah sakit tersebut di atas maka jenis,

jumlah dan kapasitas pelayanan obat yang tersedia pada setiap kelas rumah sakit

menjadi berbeda-beda meskipun beberapa jenis obat esensial dan komponen-

komponen dasar dari pelayanan obat harus ada di setiap kelas rumah sakit,

demikian juga setiap rumah sakit harus memiliki instalasi farmasi yang

merupakan unit pelayanan obat dan di pimpin oleh apoteker (Siahaan, 2013).

Apoteker rumah sakit bertanggung jawab untuk menjaga mutu obat.

Apoteker dan dokter harus bekerja sama dengan baik untuk memberikan

pelayanan obat yang rasional kepada pasien guna kesembuhan pasien. Menurut

WHO (2013) penggunaan obat yang rasional adalah pengobatan yang sesuai

dengan kebutuhan klinis pasien dengan aturan pakai yang tepat dan dengan harga
3

yang terjangkau oleh pasien. WHO juga menyatakan bahwa ada 4 komponen

akses terhadap obat, yaitu: harga obat, ketersediaan obat, penggunaan obat yang

rasional dan sistem pembiayaan yang berkesinambungan. Jika komponen

ketersediaan dan penggunaan/peresepan obat yang rasional kurang baik maka

komponen lainnya juga menjadi kurang berguna yang artinya akses terhadap obat

menjadi kurang baik.

Pasien rumah sakit umum pemerintah pada umumnya adalah masyarakat

menegah ke bawah. Rumah sakit pemerintah terdapat di seluruh kabupaten/ kota

di Indonesia. Pada wilayah-wilayah terpencil fasilitas kesehatan rujukan terdekat

dan terbaik hanya ada di rumah sakit pemerintah. Pelayanan obat yang rasional di

rumah sakit dengan menggunakan obat esensial dan obat generik yang terjangkau

akan meningkatkan derajat kesembuhan dan kepuasan pasien (Yuliastuti, 2007).

Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah wajib menggunakan obat

generik. Ketentuan ini diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan No.

HK.02.02/MENKES/068/I/2010 tanggal 14 Januari 2010. Revitalisasi Permenkes

tentang Kewajiban menuliskan resep dan menggunakan obat generik di sarana

pelayanan kesehatan pemerintah. Dalam Permenkes disebutkan, dokter (yang

mencakup dokter, dokter gigi, dokter spesialis dan dokter gigi spesialis) yang

bertugas di fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah wajib menulis resep obat

generik bagi semua pasien sesuai indikasi medis.

Obat generik adalah obat dengan nama resmi International Non Propietary

Names (INN) yang ditetapkan dalam Farmakope Indonesia atau buku standar

lainnya untuk zat berkhasiat yang dikandungnya. Obat generik bermerek atau

bernama dagang adalah obat generik dengan nama dagang yang menggunakan
4

nama milik produsen obat yang bersangkutan. Sedangkan Obat Esensial adalah

obat terpilih yang paling dibutuhkan untuk pelayanan kesehatan bagi masyarakat

mencakup upaya diagnosis, profilaksis, terapi dan tercantum dalam Daftar Obat

Esensial yang talah ditetapkan (Kemenkes, 2010). 

Setiap Rumah Sakit Pemerintah harus mematuhi peraturan pemakaian obat

generik yang telah ditentukan. Kepatuhan adalah sejauh mana perilaku dari

seseorang ataupun instansi sesuai dengan ketentuan dan aturan yang berlaku.

Dalam hal ini dengan aturan yang ada setiap Rumah Sakit Pemerintah harus wajib

mematuhi setiap ketentuan yang ada tanpa terkecuali (Kemenkes, 2010).

Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Tampan Provinsi Riau, merupakan satu-satunya

unit pelayanan kesehatan jiwa milik pemerintah Provinsi Riau yang

menyelenggarakan perawatan terhadap klien gangguan jiwa. Berdasarkan hasil

survei awal yang dilakukan oleh peneliti, diketahui bahwa masih terdapat

penggunaan obat di apotek yang bukan obat generik.

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti kepada 5 orang

apoteker di RSJ Tampan Provinsi Riau, diketahui bahwa terdapat kekosongan

obat generik pada jenis obat tertentu, sehingga harus menggunakan obat paten,

Dari permasalahan yang ada, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian

tentang “Kepatuhan Rumah Sakit Jiwa Tampan Provinsi Riau Terhadap

Pemakaian Obat Generik”.


5

B. Rumusan Masalah

Kepatuhan adalah sejauh mana perilaku dari seseorang ataupun instansi

sesuai dengan ketentuan dan aturan yang berlaku. Dalam hal ini dengan aturan

yang ada setiap Rumah Sakit Pemerintah harus wajib mematuhi setiap ketentuan

yang ada. Berdasarkan aturan yang ada setiap Rumah Sakit Pemerintah wajib

menggunakan obat generik. Obat generik adalah Berdasarkan permasalahan diatas

peneliti tertarik untuk mengetahui bagaimanakah Kepatuhan Rumah Sakit Jiwa

Tampan Provinsi Riau Terhadap Pemakaian Obat Generik?

C. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui Kepatuhan Rumah Sakit Jiwa Tampan Provinsi Riau

Terhadap Pemakaian Obat Generik.

D. Manfaat penelitian

1. Bagi Perkembangan Ilmu

Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bacaan bagi mahasiswa/i,

khususnya jurusan farmasi, untuk menambah wawasan dan pengetahuan

tentang kepatuhan Rumah Sakit Jiwa Tampan Provinsi Riau terhadap

pemakaian obat generik.

2. Bagi RSJ Tampan Provinsi Riau

Hasil penelitian diharapkan dapat memberi masukan berupa informasi

tentang kepatuhan Rumah Sakit Jiwa Tampan Provinsi Riau terhadap

pemakaian obat generik.


6

3. Bagi peneliti selanjutnya

Dapat dijadikan sebagai tambahan informasi dan acuan bagi peneliti

yang berminat melakukan penelitian selanjutnya.

E. Ruang Lingkup

Dalam penelitian ini peneliti membatasi ruang lingkup penelitian pada

variabel yang diteliti yaitu, kepatuhan Rumah Sakit Jiwa Tampan Provinsi Riau terhadap

pemakaian obat generik. Jenis penelitian deskriptif kuantitatif dan penelitian

direncanakan dilakukan pada bulan Januari s/d Mei 2018.

Anda mungkin juga menyukai