Penerbit
Unesa University Press
i
Dr. Pudji Astuti, S.H., M.H.
Gelar Ali Ahmad, S.H., M.H.
VIKTIMOLOGI
Diterbitkan Oleh
UNESA UNIVERSITY PRESS
Anggota IKAPI No. 060/JTI/97
Anggota APPTI No. 133/KTA/APPTI/X/2015
Kampus Unesa Ketintang
Gedung C-15 Surabaya
Telp. 031 – 8288598; 8280009 ext. 109
Fax. 031 – 8288598
Email : unipress@unesa.ac.id
unipressunesa@gmail.com
ISBN : 978-602-449-478-0
ii
KATA PENGANTAR
iii
yang berkaitan dengan Viktimologi tentunya berkembang sesuai dengan
perkembangan sosial, oleh karena itu diharapkan adanya masukan dan
saran dari berbagai pihak demi mencapai kualitas Buku Ajar Viktimologi
ini menjadi lebih baik.
Dalam kesempatan ini pula Penulis mengucapkan banyak
teimakasih kepada Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum Universitas
Negeri Surabaya serta Ketua Jurusan Hukum Fakultas Ilmu Sosial dan
Hukum Universitas Negeri Surabaya yang sudah berkenan membantu
Penulis untuk mewujudkan Buku Ajar Viktimologi ini. Kepada pihak-
pihak lain yang tidak sempat disebutkan dalam tulisan ini, dan yang turut
membantu tersusunnya Buku Ajar Viktimologi ini, Penulis ucapkan
terima kasih.
Akhirnya Penulis berharap semoga Buku Ajar Viktimologi ini
dapat bermanfaat bagi pembacanya terutama bagi Mahasiswa Jurusan
Hukum Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum Universitas Negeri Surabaya.
iv
DAFTAR ISI
v
BAB III HUBUNGAN VIKTIMOLOGI DENGAN KRIMINOLOGI
DAN HUKUM PIDANA ................................................................. 44
A. Pendahuluan ...................................................................................... 44
B. Pengertian Kriminologi..................................................................... 45
C. Perbedaan Viktimologi Dengan Kriminologi .................................. 50
D. Hubungan Viktimologi Dengan Kriminologi .................................. 51
E. Hubungan Viktimologi Dengan Hukum Pidana .............................. 54
F. Latihan................................................................................................ 57
G. Rangkuman........................................................................................ 57
H.TesFormatif ........................................................................................ 62
BAB IV KORBAN.................................................................................. 63
A. Pendahuluan ...................................................................................... 63
B. Pengertian Korban ............................................................................ 64
C. Peranan Korban Kejahatan (Victim) Dalam Terjadinya Tindak
Pidana Ditinjau Dari Segi Viktimologi ............................................ 66
D. Macam-macam Korban .................................................................... 70
E. Hak-hak Korban Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia .......... 77
F. Viktimisasi......................................................................................... 79
G. Latihan ............................................................................................... 80
H. Rangkuman ...................................................................................... 81
I. Tes Formatif ...................................................................................... 85
BAB V PERANAN KORBAN DALAM SISTEM PERADILAN
PIDANA ........................................................................................... 88
A. Pendahuluan ...................................................................................... 88
B. Kedudukan Korban Menurut Hukum Pidana Nasional .................. 89
C. Kedudukan Korban Menurut KUHP ............................................... 93
vi
D. Kedudukan Korban Menurut KUHAP ............................................ 95
E. Kedudukan Korban Menurut Undang-undang Pemasyarakatan .. 104
F. Pengaturan Kepentingan Korban Dalam Hukum Positif .............. 106
G. Latihan ............................................................................................. 131
H. Rangkuman ..................................................................................... 132
I. Tes Formatif .................................................................................... 135
BAB VI PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN ...................... 137
A. Pendahuluan .................................................................................... 137
B. Perlindungan Korban Sebagai Saksi .............................................. 138
C. Pembentukan LPSK ........................................................................ 142
D. Pemenuhan Hak Korban ................................................................. 145
E. Latihan ............................................................................................. 147
F. Rangkuman ..................................................................................... 148
G. Tes Formatif .................................................................................... 153
BAB VII GANTI RUGI BAGI KORBAN .......................................... 155
A. Pendahuluan .................................................................................... 155
B. Perumusan Restitusi Dan Kompensasi .......................................... 156
C. Restitusi Dan Kompensasi Dalam Perspektif Viktimologi ........... 159
D. Restitusi Dan Kompensasi Dalam Hukum Pidana ........................ 163
E. Latihan ............................................................................................. 166
F. Rangkuman ..................................................................................... 167
G. Tes Formatif .................................................................................... 171
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................... ..174
GLOSSARY ........................................................................................... 179
KUNCI JAWABAN TES FORMATIF ................................................ 181
vii
viii
TINJAUAN MATA KULIAH
ix
Sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai, maka materi disajikan
dalam 7 ( tujuh ) Bab yang disusun sebagai berikut :
Bab I Pengertian Viktimologi
Bab II Sejarah Viktimologi
Bab III Hubungan Viktimologi Dengan Kriminologi Dan Hukum Pidana
Bab IV Pengertian Korban
Bab V Peranan Korban dalam Sistem Peradilan Pidana
Bab VI Perlindungan Saksi Dan Korban
Bab VII Ganti Rugi Bagi Korban
Apabila Buku Ajar Viktimologi ini dipelajari dengan sungguh-
sungguh, dan cermat oleh mahasiswa sesuai dengan petunjuk yang ada
serta mengerjakan semua latihan, tugas dan tes yang tersedia, maka
mahasiswa akan berhasil dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan
dalam Buku Ajar ini.
Upaya untuk dapat memudahkan mahasiswa mempelajari Bab-
bab yang tersaji, disarankan agar mahasiswa melakukan tahapan-tahapan
sebagai berikut :
1. Pelajari setiap Bab secara berurutan dan bertahap serta berulang-ulang
sampai pada tingkat penguasaan paling sedikit 80 % baru memulai
mempelajari Bab berikutnya.
2. Untuk mengevaluasi tingkat pemahaman pada setiap Bab, maka
kerjakanlah setiap latihan dengan cermat, teliti, tertib dan sungguh-
sungguh.
3. Jika ada bagian-bagian yang dianggap sulit untuk dipahami, maka
diskusikanlah dengan sesama mahasiswa.
x
4. Jika setelah didiskusikan dengan sesama mahasiswa belum juga
mendapatkan penjelasan yang memuaskan, maka tanyakanlah
penyelesaian problem-problem yang dianggap sulit itu pada mereka
yang mudah ditemui mahasiswa dan yang lebih paham akan materi
yang berkaitan dengan Viktimologi.
xi
xii
BAB I
PENGERTIAN VIKTIMOLOGI
A. Pendahuluan
1
Pada awalnya Viktimologi ini merupakan bagian dari kriminologi
yang mempelajari seluk beluk kejahatan termasuk di dalamnya korban
kejahatan atau tindak pidana. Namun dengan adanya perkembangan ilmu
pengetahuan yang berkaitan dengan korban, maka viktimologi
memisahkan diri dengan kriminologi dan menjadi ilmu yang berdiri
sendiri. Jika Viktimologi merupakan ilmu yang memfokuskan pada
korban, maka kriminologi lebih memfokuskan pada berbagai hal yang
berkaitan dengan kejahatan atau tindak pidana itu sendiri.
Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan dapat :
B. Pengertian Viktimologi
2
Viktimologi dilihat dari etimologi, berasal dari bahasa latin
victim yang berarti korban dan logos yang berarti ilmu. Secara
terminologis, viktimologi berarti suatu studi yang mempelajari tentang
korban, penyebab timbulnya korban, dan akibat-akibat yang harus
dihadapi korban yang merupakan masalah manusia sebagai suatu
kenyataan sosial. Akibat adanya korban merupakan sikap atau tindakan
terhadap korban yang dilakukan oleh pihak pelaku serta mereka yang
secara langsung atau tidak langsung terlibat dalam terjadinya suatu
kejahatan atau adanya tindak pidana.
Viktimologi mempunyai artian sempit dan artian yang luas.
Dalam artian sempit, yang dimaksud viktimologi adalah ilmu yang
mempelajari korban, dan yang dimaksud korban disini adalah korban
akibat adanya tindak pidana. Sedangkan dalam artian luas, viktimologi
adalah ilmu yang mempelajari tentang korban yang meliputi korban dari
berbagai bidang antara lain korban pencemaran lingkungan, korban
perang, korban kesewenang-wenanganan. Termasuk penyalahgunaan
kekuasaan ekonomi yang bersifat ilegal dan penyalahgunaan kekuasaan
publik yg bersifat ilegal.
Korban dalam ruang lingkup Viktimologi mempunyai arti yang
luas sebab tidak hanya terbatas pada individu yang nyata-nyata menderita
kerugian, tapi juga dapat terjadi pada kelompok orang, korporasi, swasta
maupun pemerintah. Dalam Bahasa Inggris ilmu yang mempelajari
korban disebut dengan Victimology.
Viktimologi merupakan suatu ilmu pengetahuan atau studi yang
mempelajari suatu viktimalisasi (criminal) sebagai suatu permasalahan
manusia yang merupakan suatu kenyataan sosial.
3
Pengertian viktimologi mengalami tiga fase perkembangan. Pada
awalnya, viktimologi hanya mempelajari korban kejahatan saja. Pada
fase ini dikatakan sebagai penal or special victimology. Pada fase kedua,
viktimologi tidak hanya mengkaji masalah korban kejahatan saja tetapi
meliputi korban kecelakaan. Pada fase ini disebut sebagai general
victimology. Fase ketiga, viktimologi sudah berkembang lebih luas lagi
yaitu mengkaji permasalahan korban penyalahgunaan kekuasaan dan
hak-hak asasi manusia, pada fase ini dikatakan sebagai new
victimology. Bahkan pada akhir-akhir ini pengertian viktimologi
mengalami perkembangan hingga pada korban akibat pengrusakan
alam yang biasa disebut dengan “Green Victim” seperti korban akibat
penggundulan hutan, kebakaran hutan pengrusakan hutan dan lain
sebagainya.
Menurut J.E.Sahetapy1, pengertian Viktimologi adalah ilmu atau
disiplin yang membahas permasalahan korban dalam segala aspek,
sedangkan menurut Arief Gosita2 Viktimologi adalah suatu bidang ilmu
pengetahuan yang mengkaji semua aspek yang berkaitan dengan korban
dalam berbagai bidang kehidupan dan penghidupannya.
Viktimologi memberikan pengertian yang lebih baik tentang
korban tindak pidana sebagai hasil perbuatan manusia yang
menimbulkan penderitaan mental, fisik, dan sosial. Tujuannya adalah
untuk memberikan penjelasan mengenai peran yang sesungguhnya para
korban dan hubungan pelaku tindak pidana dengan para korban serta
memberikan keyakinan dan kesadaran bahwa setiap orang mempunyai
4
hak mengetahui bahaya yang dihadapi berkaitan dengan lingkungannya,
pekerjaannya, profesinya dan lain-lainnya.
Pada saat berbicara tentang korban tindak pidana, cara pandang
kita tidak dapat dilepaskan dari viktimologi. Melalui viktimologi dapat
diketahui berbagai aspek yang berkaitan dengan korban, seperti : faktor
penyebab munculnya tindak pidana, bagaimana seseorang dapat menjadi
korban, upaya mengurangi terjadinya korban tindak pidana, hak dan
kewajiban korban dalam menyelesaikan tindak pidana yang
menimpanya.
Menurut kamus Crime Dictionary yang dikutip Bambang
Waluyo3 : Victim adalah orang yang telah mendapatkan penderitaan fisik
atau penderitaan mental, kerugian harta benda atau mengakibatkan
kehilangan nyawanya (mati) atas perbuatan atau usaha pelanggaran yang
telah dilakukan oleh pelaku tindak pidana dan lainnya. Dalam kamus
ilmu pengetahuan sosial disebutkan bahwa viktimologi adalah studi yang
mempelajari tentang tingkah laku viktim sebagai salah satu penentu
terjadinya tindak pidana4. Selaras dengan pendapat di atas adalah Arief
Gosita 5 yang berpendapat mengenai pengertian viktimologi itu sangat
luas, dan beliau menyatakan bahwa yang dimaksud dengan korban
adalah : mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat
tindakan orang lain yang mencari pemenuhan diri sendiri atau orang lain
dalam konteks kerakusan individu dalam memperoleh apa yang
5
diinginkan secara tidak baik dan sangat melanggar ataupun bertentangan
dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita (korban). Sebab dalam
kenyataan sosial yang dapat disebut sebagai korban tidak hanya korban
tindak pidana (kejahatan) saja tetapi dapat juga korban bencana alam,
korban kebijakan pemerintah dan lain-lainnya.
Korban juga didefinisikan oleh Van Boven 6 yang merujuk
kepada Deklarasi Prinsip-prinsip Dasar Keadilan bagi Korban
Kejahatan dan Penyalahgunaan Kekuasaan sebagai berikut : Orang
yang secara individual maupun kelompok telah menderita kerugian,
termasuk cedera fisik maupun mental, penderitaan emosional,
kerugian ekonomi atau perampasan yang nyata terhadap hak-hak
dasarnya, baik karena tindakannya (by act) maupun karena kelalaian
(by omission).
6 Theo Van Boven. 2002. Mereka Yang Menjadi Korban. Jakarta. Elasam Hlm. 21.
6
adanya tindak pidana saja. Atau dengan kata lain terjadinya korban juga
dapat disebabkan oleh faktor yang non-crime.7
Viktimologi meneliti topik-topik tentang korban, seperti
peranan korban pada terjadinya tindak pidana, hubungan antara
pelaku dengan korban, rentannya posisi korban dan peranan korban
dalam sistem peradilan pidana. Menurut Andrew Karmen yang menulis
teks viktimologi dengan judul “Crime Victims An Introduction To
Victimology” tahun 1990 secara luas mendefinisikan viktimologi sebagai
studi ilmiah mengenai viktimisasi yang meliputi :
1. Hubungan antara korban dan pelaku
2. Interaksi antara korban dan sistem peradilan pidana, yaitu polisi dan
pengadilan, serta pejabat lembaga pemasyarakatan
3. Hubungan antara korban dan kelompok sosial dan lembaga-lembaga
lainnya seperti media, bisnis, dan gerakan sosial.8
7 Paul Separovic. 1985. Victimologi Study Of Victim. Zagreb : Samobor- Novaki bb.
Pravni Fakulteit. Hlm. 6
8 Sahetapy, dkk. 1995. Bunga Rampai Viktimologi. Bandung. Eresco. Hlm 5.
7
a. Berbagai macam viktimisasi kriminal atau kriminalistik
b. Teori-teori etiologi viktimisasi kriminal
c. Para peserta yang terlibat dalam terjadinya atau eksistensi suatu
viktimisasi kriminal atau kriminalistik, seperti para korban,
pelaku, pengamat, pembuat undang-undang, polisi, jaksa, hakim,
pengacara dan sebagainya
d. Reaksi terhadap suatu viktimisasi kriminal
e. Respons terhadap viktimisasi kriminal argumentasi kegiatan-
kegiatan penyelesaian suatu viktimisasi atau viktimologi, usaha-
usaha prevensi, represif, tindak lanjut (ganti kerugian), dan
pembuatan peraturan hukum yang berkaitan
f. Faktor-faktor viktimogen/ kriminogen.
8
a. Viktimisasi politik, dapat dimasukkan aspek penyalahgunaan
kekuasaan, perkosaan hak-hak asasi manusia, campur tangan
angkatan bersenjata diluar fungsinya, terorisme, intervensi, dan
peperangan lokal atau dalam skala internasional
b. Viktimisasi ekonomi, terutama yang terjadi karena ada kolusi
antara pemerintah dan konglomerat, produksi barang-barang
tidak bermutu atau yang merusak kesehatan, termasuk aspek
lingkungan hidup
c. Viktimisasi keluarga, seperti perkosaan, penyiksaan, terhadap
anak dan istri dan menelantarkan manusia lanjut atau orang
tuanya sendiri
d. Viktimisasi medical, dalam hal ini dapat disebut penyalahgunaan
obat bius, alkoholisme, malpraktek di bidang kedokteran dan
lain-lain
e. Viktimisasi yuridis, dimensi ini cukup luas, baik yang
menyangkut aspek peradilan dan lembaga pemasyarakatan maupun
yang menyangkut dimensi diskriminasi perundang-undangan,
termasuk menerapkan kekuasaan dan stigmatisasi kendatipun sudah
diselesaikan aspek peradilannya.
9
D. Tujuan Mempelajari Viktimologi
10
Viktimologi mempelajari hakikat siapa korban, yang
menimbulkan korban, arti viktimisasi dan proses viktimisasi dan konsep-
konsep usaha represif dan preventif. Disamping itu viktimologi juga
memberikan pemahaman tentang kedudukan dan peran korban dan
hubungannya dengan pelaku, serta hak dan kewajibannya untuk
mengetahui, mengenali bahaya yang dihadapinya dalam menjalankan
pekerjaan mereka.
Viktimologi juga memperhatikan permasalahan viktimisasi yang
tidak langsung, seperti efek politik pada penduduk dan “dunia ketiga”,
akibat adanya penyuapan oleh korporasi yang bersifat transnasional,
akibat sosial, akibat polusi industri, viktimisasi ekonomi, politik dan
sosial, karena adanya penyalahgunaan jabatan, dan lain-lain. Dengan
demikian dapat menentukan asal mula terjadinya viktimisasi.
Viktimologi memberikan dasar pemikiran untuk mengatasi
masalah kompensasi pada korban, oleh karenanya pendapat-pendapat
viktimologis seharusnya dipergunakan oleh hakim dalam proses
peradilan pidana dan reaksi pengadilan terhadap perilaku kriminal.
Sebagai kesimpulan manfaat dan tujuan mempelajari viktimologi
adalah :
Untuk meringankan kepribadian dan penderitaan manusia di
dalam dunia. Penderitaan dalam arti menjadi korban tindak pidana dalam
jangka waktu yang pendek dan jangka waktu yang panjang yang berupa
kerugian fisik, mental atau moral, sosial, ekonomis, kerugian yang
hampir sama sekali dilupakan, diabaikan oleh kontrol sosial yang
melembaga seperti aparat penegak hukum yang meliputi Penyelidik dan
Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, Pembina Lembaga Pemasyarakatan.
11
E. Hubungan Viktimologi Dengan Hukum Pidana
12
melawan hukum, pembuat atau pelakunya, dan korban serta pidana
atau sanksinya.
Konsekuensi inti hukum pidana “hubungan antara korban
pembuat atau pelaku tindak pidana“ atau interaksi antara korban dan
pembuat atau pelaku tindak pidana, sepasang pelaku dan korban-
korban, maka hak untuk membalas dendam kepada pelaku tindak
pidana adalah korban dan atau keluarganya. Artinya kedudukan antara
korban dan pelaku tindak pidana seharusnya sama. Sejak abad
pertengahan hak korban dan atau keluarganya dianggap puas atas
pelaku tindak pidana dijatuhi pidana yang mengandung penderitaan.
Namun adanya perkembangan penologi yang semakin
berperikemanusiaan berkenaan dengan perkembangan perlindungan
“hak asasi manusia”, maka sifat penderitaan pidana makin berkurang
dan sampai puncaknya dengan “pidana bersyarat” atau percobaan.
Pada pihak lain yaitu korban dan atau keluarganya makin tidak
mendapatkan kepuasan sama sekali, bahkan sadar diperlakukan tidak
adil dibandingkan dengan perlakuan dan perhatian kepada pelaku
tindak pidana. Bahkan dikatakan bahwa korban dan atau keluarganya
merupakan pihak yang tidak diharapkan dalam hukum pidana. Dalam
sistem peradilan pidana, korban hanya diposisikan sebagai saksi saja
yang sangat kurang diapresiasi kepentingannya. Oleh karena itu
korban dan atau keluarganya menuntut perhatian dan perlakuan yang
seimbang antara korban dan atau keluarganya dan pelaku tindak
pidana.
13
Guna memecahkan tuntutan korban dan atau keluarganya,
maka korban menjadi salah satu masalah pokok hukum pidana dengan
urutan sebagai berikut :
1. Perbuatan melawan hukum dipelajari dalam hukum pidana
2. Pelaku perbuatan melawan hukum dipelajari dalam kriminologi
3. Korban dipelajari dalam viktimologi
4. Sanksi yang dipelajari dalam penologi
14
dengan kalimat lain, viktimologi akan membahas bagian-bagian yang
tidak tercakup dalam kajian kriminologi”. 13 Banyak dikatakan bahwa
viktimologi lahir karena munculnya desakan perlunya masalah korban
yang seharusnya dibahas secara tersendiri.
Akan tetapi, mengenai pentingnya dibentuk Viktimilogi secara
terpisah dari ilmu kriminologi mengundang beberapa pendapat,
sebagai berikut :14
1. Mereka yang berpendapat bahwa viktimologi tidak terpisahkan dari
kriminologi, diantaranya adalah Von Hentig, H. Mannheim dan
Paul Cornil. Mereka mengatakan bahwa kriminologi merupakan
ilmu pengetahuan yang menganalisis tentang kejahatan dengan
segala aspeknya, termasuk korban. Dengan demikian, melalui
penelitiannya, kriminologi akan dapat membantu menjelaskan
peranan korban dalam terjadinya tindak pidana dan berbagai
persoalan yang melingkupinya.
2. Mereka yang menginginkan viktimologi terpisah dari kriminologi,
diantaranya adalah Mendelsohn. Ia mengatakan bahwa viktimologi
merupakan suatu cabang ilmu yang mempunyai teori dalam
kriminologi, tetapi dalam membahas persoalan korban, viktimologi
juga tidak dapat hanya terfokus pada korban itu sendiri.
15
memahami dengan baik tentang penggunaan hukum terhadap pelaku
tindak pidana maupun pengertian mengenai timbulnya tindak pidana
dan cara-cara pemberantasannya sehingga memudahkan penentuan
adanya tindak pidana dan pelaku tindak pidana itu sendiri. Hukum
pidana hanya mempelajari delik sebagai suatu pelanggaran hukum,
sedangkan untuk mempelajari bahwa delik merupakan perbuatan
manusia sebagai suatu gejala sosial adalah kriminologi.
J.E Sahetapy juga berpendapat bahwa kriminologi dan
viktimologi merupakan sisi dari mata uang yang saling berkaitan.
Perhatian akan terjadinya tindak pidana yang ada tidak seharusnya
hanya berputar sekitar munculnya tindak pidana itu sendiri akan tetapi
juga akibat dari tindak pidana, karena dari sini akan terlihat perhatian
bergeser atau tidaknya hanya kepada pelaku tindak pidana tetapi juga
kepada posisi korban dari tindak pidana itu. Hal ini juga dibahas oleh
pakar hukum lainnya dalam memperhatikan adanya hubungan antara
kriminologi dan viktimologi, atau setidaknya perhatian atas terjadinya
tindak pidana tidak hanya dari satu sudut pandang, apabila ada orang
menjadi korban tindak pidana, jelas terjadi suatu tindak pidana, atau
ada korban ada tindak pidana dan ada tindak pidana ada korban. Jadi
kalau ingin menguraikan dan mencegah tindak pidana kita harus
memperhatikan dan memahami korban suatu tindak pidana, akan
tetapi kebiasaan orang hanya cenderung memperhatikan pihak pelaku
tindak pidana saja .
16
F. Perbedaan Viktimologi Dengan Kriminologi
15 Penologi secara sempit berarti ilmu tentang hukuman, ilmu ini merupakan salah
satu cabang kriminologi yang membahas konstruksi Kitab Undang-undang
Hukum Pidana, penghukuman, dan administrasi sanksi pidana, Soerjono
Soekanto dan Pudji Santoso. 1988. Kamus Kriminologi. Ghalia Indonesia. Jakarta.
Hlm. 72. Dan dalam Black’s Law Dictionary. Tenth Edition. Dijelaskan bahwa:
“Penology is the study of penal institutions, crime prevention, and the
punishment and rehabilitation of criminals, including the art of fitting the right
treatment to an offender”
16 Soedjono Dirdjosisworo. 1984. Ruang lingkup Kriminologi. Bandung. Remadja
Karya. Hlm. 1
17
korban dalam arti luas. Dalam pada itu, ada suatu anggapan bahwa
kriminologi merupakan salah satu sisi dari mata uang, dengan
sendirinya sisi yang lain dari mata uang itu adalah viktimologi.
Karena itu dapat dikatakan bahwa ciri-ciri manusia jahat atau manusia
anti sosial memantulkan ciri-ciri yang serupa tetapi tidak sama pada
manusia korban17.
Memang, sebagaimana pernah ditulis oleh Emilio C. Viano18,
bahwa kriminologi sebagai sebuah bidang studi dan disiplin ilmu
akhir-akhir ini telah berkembang. Saat para sarjana dari kelompok
ilmu-ilmu sosial mengembangkan teori-teori mengenai perilaku
manusia pada umumnya, maka para ahli yang mempelajari
kriminologi memfokuskan kajiannya pada perilaku kriminal. Karena
itu, pada awalnya para ahli yang mempelajari kriminologi perhatian
utamanya adalah pada studi kriminal. Lebih lanjut dikemukakan,
bahwa dalam tahun-tahun terakhir ini fokus mereka (criminologist)
telah mengalami pergeseran terhadap tindak pidana itu sendiri, yakni
tidak hanya pada pelaku sebagai subyek hukum, tetapi juga sebagai
bagian dari situasi atau keadaan yang komplek yang menggambarkan
perbedaan interaksi antara pelaku dan norma budaya serta pandangan
masyarakat. Maka dari itu, perhatian dan minat mereka telah
berkembang kepada korban sebagai bagian integral dari keadaan si
pelaku. Dan, para sarjana, lanjut Viano, telah memulai untuk mengkaji
korban tidak hanya sekedar sebagai obyek yang pasif, atau sebagai
orang yang terkena akibat dari tindak pidana, akan tetapi juga sebagai
18
yang berperan aktif atau kemungkinan yang berkontribusi bagi dirinya
sendiri untuk menjadi korban.
Dengan demikian, keterkaitan antara kriminologi dan
viktimologi sudah tidak dapat diragukan lagi, karena dari satu sisi
kriminologi membahas secara luas mengenai pelaku dari suatu tindak
pidana, sedangkan viktimologi merupakan ilmu yang mempelajari
tentang korban dari suatu tindak pidana, atau dengan kata lain
viktimologi berkaitan dengan permasalahan korban 19 . Sebelumnya
sebagaimana yang ditulis oleh Zvonimir Paul Separovic 20, bahwa kita
harus mempertanyakan terkait dengan konsep viktimologi, apakah
bukan merupakan bagian dari kriminologi, ataukah merupakan bagian
dari ilmu-ilmu sosial. Namun, sesuai dengan nama dan persoalan
pokoknya, maka viktimologi merupakan suatu disiplin baru yang
berurusan dengan permasalahan korban. Karena itu, menurut
Separovic tak pelak lagi, bahwa jawaban kita atas pertanyaan seputar
penempatan viktimologi dalam bidang ilmu-ilmu sosial bergantung
pada batasan kita mengenai konsep korban. Jika korban dikonsepkan
pada mereka yang mengalami penderitaan sebagai akibat dari
perbuatan jahat atau tindak pidana maka viktimologi akan menjadi
bagian dari persoalan kejahatan atau tindak pidana, dan karenanya
viktimologi merupakan sebuah disiplin dalam kriminologi.
19
Namun sebagaimana yang yang ditulis oleh Jo-Anne
Wemmers 21 , bahwa Mendelson tahun 1955 menulis artikel yang
berjudul “ A New Branch of The Bio Social Science” telah meletakkan
dasar bagi ilmu baru yang disebut “victimology” dan menjadikannya
sebagai disiplin yang terpisah dari kriminologi. Disamping adanya
istiliah “criminology”, Mendelson dalam artikel tersebut juga
mengenalkan istilah baru “victimal” sebagai lawan dari istilah
“criminal” dan “victimality” sebagai lawan dari “criminality”.
Sebagaimana halnya Von Henting, Mendelson juga menekankan pada
pentingnya aspek pencegahan dan hal itu dikatakannya sebagai tujuan
utama dari victimology.
Sehubungan dengan adanya pandangan yang menyatakan
bahwa perlunya dibentuk viktimologi secara terpisah dari ilmu
kriminologi, telah mengundang beberapa pendapat, sebagai berikut22 :
1. Mereka yang berpendapat bahwa viktimologi tidak dapat
dipisahkan dari kriminologi, diantaranya adalah Von Henting, H.
Mannheim, dan Paul Cornil. Mereka mengatakan bahwa
kriminologi merupakan ilmu pengetahuan yang menganalisis
tentang tindak pidana dengan segala aspeknya, termasuk korban.
Dengan demikian, melalui penelitiannya, kriminologi akan dapat
membantu menjelaskan peranan korban yang berkaitan dengan
tindak pidana dan berbagai persoalan yang melingkupinya.
20
2. Mereka yang menginginkan viktimologi terpisah dari kriminologi,
diantaranya adalah Mendelson. Beliau mengatakan bahwa
viktimologi merupakan suatu cabang ilmu yang mempunyai teori
dalam kriminologi, tetapi dalam membahas persoalan korban,
viktimologi juga tidak dapat hanya terfokus pada korban itu
sendiri.
G. Latihan
21
Petunjuk Jawaban Latihan :
1. Sebelum mengerjakan latihan tersebut, terlebih dahulu harus
membaca materi tentang Pengertian Viktimologi, Ruang lingkup
dan tujuan mempelajari viktimologi, hubungan viktimologi
dengan hukum pidana, dan perbedaan antara viktimologi
dengan kriminologi dan hukum pidana secara berulang-ulang
dengan cermat, sampai merasa sudah cukup paham.
2. Kerjakan latihan tanpa bantuan orang lain
3. Jika dalam mengerjakan latihan mengalami kesulitan, maka
diskusikanlah dengan teman-teman sejawat yang lebih memahami
materi tersebut, jika memang diperlukan silahkan dikomunikasikan
dengan tutor atau dosen yang membina mata kuliah
Viktimologi.
H. Rangkuman
22
merupakan ilmu yang mempelajari korban tindak pidana sebagai
permasalahan manusia yang merupakan suatu kenyataan sosial.
Pengertian viktimologi mengalami tiga fase perkembangan.
Awalnya, viktimologi mempelajari korban tindak pidana saja ( fase
penal or special victimology). Kedua, viktimologi mengkaji masalah
korban tindak pidana dan kecelakaan (fase general victimology).
Ketiga, mengkaji korban penyalahgunaan kekuasaan dan HAM (fase
new victimology). Menurut J.E.Sahetapy23 , Viktimologi adalah ilmu
24
yang membahas korban dalam segala aspek. Arief Gosita
Viktimologi adalah ilmu yang mengkaji semua aspek tentang
korban. Menurut Crime Dictionary Viktim adalah orang yang
mendapat penderitaan fisik atau penderitaan mental, kerugian harta
benda atau kehilangan nyawa atas pelanggaran yang dilakukan
pelaku tindak pidana. Menurut Kamus Ilmu Pengetahuan Sosial
viktimologi adalah studi tentang tingkah laku viktim sebagai salah
satu penentu terjadinya tindak pidana. Arief Gosita berpendapat
korban adalah : mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah akibat
tindakan orang lain yang mencari pemenuhan diri sendiri dalam
konteks kerakusan individu memperoleh apa yang diinginkan
secara tidak baik.
Van Boven berpendapat bahwa korban adalah orang yang
secara individual maupun kelompok telah menderita kerugian,
termasuk cedera fisik maupun mental, penderitaan emosional,
kerugian ekonomi atau perampasan yang nyata terhadap hak-hak
23
dasarnya, baik karena tindakannya (by act) maupun karena kelalaian
(by omission).
Ruang lingkup viktimologi menurut Andrew Karmen meliputi
: hubungan korban dan pelaku, interaksi korban dan Sistem Peradilan
Pidana, hubungan korban dan kelompok sosial, lembaga lain seperti
media, bisnis, dan gerakan sosial.
Menurut Sahetapy ruang lingkup viktimologi meliputi
bagaimana orang menjadi korban yang ditentukan oleh suatu victimity
yang tidak selalu berhubungan dengan masalah tindak pidana,
termasuk pula korban kecelakaan, dan bencana alam selain dari
korban tindak pidana dan penyalahgunaan kekuasaan. Paradigma
viktimisasi menurut Sahetapy meliputi : Viktimisasi politik,
Viktimisasi ekonomi, Viktimisasi keluarga, Viktimisasi media, dan
Viktimisasi yuridis. Tujuan Viktimologi meringankan penderitaan
korban jangka pendek dan jangka panjang. Perkembangan
Viktimologi meliputi Viktimologi Pidana (Penal Victimology) dan
Viktimologi Umum (General Victimology).
I. Tes Formatif
24
2. Yang dimaksud dengan korban dapat berupa ......... kecuali :
a. Benda
b. Orang
c. Sekelompok orang
d. Korporasi
25
Rumus :
Jumlah jawaban yang benar
Tingkat penguasaan = ----------------------------------- X 100 %
5
Arti tingkat penguasaan yang dicapai :
90 - 100 % = baik sekali
80 – 89 % = baik
70 – 79 % = cukup
< 70 % = kurang
Bila penguasaan mencapai 80 %, dapat meneruskan pada Bab II.
Artinya penguasaan dan pemahaman saudara terhadap materi BAB I
sudah Bagus ! Tetapi jika tingkat penguasaan masih di bawah 80 %,
harus mengulangi Bab I, terutama bagian yang belum dikuasainya.
26
BAB II
SEJARAH VIKTIMOLOGI
A. Pendahuluan
27
dialaminya. Dengan demikian diharapkan putusan hakim benar-benar
dapat mencapai keadilan bagi korban serta pelaku tindak pidana.
Oleh karena itu masalah korban merupakan masalah yang tidak
boleh disepelekan dan penting untuk diperhatikan. Arif Gosita
berpendapat bahwa manfaat mempelajari viktimologi adalah :
1. Dengan mempelajari kajian viktimologi kita bisa mengetahui siapa
itu korban dan siapa yang menjadikan korban, apa artinya
viktimisasi dan proses viktimisasi bagi mereka yang terlibat dalam
proses viktimisasi. Dari hal tersebut maka muncullah upaya-upaya
preventif, represif, dan tindak lanjut dalam menghadapi dan
menanggulangi permasalahan viktimisasi kriminal di berbagai
bidang kehidupan dan penghidupan.
2. Viktimologi memberikan sumbangan dalam mengerti dan
memahami secara lebih baik tentang korban akibat tindakan
manusia yang menimbulkan penderitaan fisik, mental, dan sosial.
Disini kita akan mengetahui mengenai kedudukan dan peran
korban serta hubungannya dengan pihak pelaku serta pihak lain.
Hal ini sangat penting untuk menegakkan keadilan dan
kesejahteraan terhadap orang-orang yang terlibat langsung maupun
tidak langsung dalam eksistensi suatu viktimisasi.
Samuel Walker yang dikutip oleh Soeharto 25 dengan sinis
mengatakan bahwa korban tindak pidana sudah menjadi “Forgotten
person“. Oleh karena itu perlu adanya penegakkan keadilan sehingga
semua warga negara mendapatkan hak-haknya sesuai dengan
28
keadilan. Adanya ketidakadilan dalam menanggapi korban tindak
pidana dalam proses peradilan pidana inilah, maka muncullah
beberapa tokoh viktimologi yang mulai memperhatikan kedudukan
korban yang selama ini kurang mendapat perhatian. Dari uraian di
atas dapat disimpulkan bahwa mempelajari tentang sejarah timbulnya
ilmu yang mempelajari tentang korban sangat penting guna
menentukan kebijakan preventif dan represif yang tepat dalam
menanggulangi tindak pidana.
Setelah mempelajari Bab II ini, maka diharapkan mahasiswa
dapat:
1. Menjelaskan latar belakang munculnya ilmu yang mempelajari
tentang korban
2. Menjelaskan tahapan perkembangan viktimologi
3. Memahami pentingnya perhatian terhadap korban dalam proses
peradilan pidana sebagai tindakan preventif
4. Menjelaskan pentingnya sejarah bagi perbaikan proses peradilan
pidana di masa mendatang
B. Sejarah Viktimologi
Perkembangan Viktimologi tidak terlepas dari pemikir
terdahulu yaitu Hans Von Henting seorang ahli kriminologi pada
tahun 1941 yang menulis sebuah makalah dengan judul “Remark on
the interaction of perpetrator and victim.” yang isinya
menggambarkan tentang analisis secara menyeluruh hubungan dan
interaksi antara korban dan pelaku tindak pidana. Tujuh Tahun
kemudian beliau menerbitkan buku yang berjudul “The Criminal and
29
his victim” yang menyatakan bahwa korban mempunyai peranan yang
menentukan dalam timbulnya tindak pidana. Namun Hans Von
Henting tidak ingin memisahkan viktimologi dengan kriminologi.
Baru pada tahun 1947 Mendelsohn mengemukakan hasil
pemikirannya yang sangat mempengaruhi setiap fase perkembangan
Viktimologi. Pada Tahun 1947 atau setahun sebelum buku von Hentig
terbit, Mendelsohn menulis sebuah makalah dengan judul “New bio-
psycho-sosial horizons: Victimology.” Pada saat inilah istilah
victimology pertama kali digunakan secara terpisah dari kriminologi.
Perkembangan Viktimologi dapat dibagi dalam tiga fase yang
meliputi :
1. fase Pertama Viktimologi hanya mempelajari korban adanya tindak
pidana saja (Penal or Special Victimology) .
2. fase kedua Viktimologi tidak hanya mengkaji masalah korban
tindak pidana saja tetapi juga meliputi korban kecelakaan (General
Victimology).
3. fase ketiga Viktimologi lebih luas lagi yaitu mengkaji
permasalahan korban penyalahgunaan kekuasaan dan hak-hak asasi
manusia (New Victimology).26
Pada fase pertama, studi tentang hubungan antara korban dan
pelaku tindak pidana pertama kali muncul pada 1940-an dan 1950-an.
Selama masa ini, beberapa kriminolog terkenal, seperti Benjamin
Mendelsohn dan Hans von Hentig meneliti interaksi antara orang-
orang yang terlibat dalam terjadinya tindak pidana. Tujuan utamanya
adalah untuk lebih mengerti dan memahami pengaruh timbal balik
30
antara korban dan si pelaku tindak pidana, serta penyebab mengapa
orang bisa berakhir di salah satu dari dua peran ini.
Salah satu pertanyaan yang diajukan adalah apakah individu
yang secara fisik atau psikologis rusak juga dapat ikut bertanggung
jawab atas beberapa insiden. Para kriminolog ini berpendapat bahwa,
pada beberapa kesempatan, para korban bisa berbagi kesalahan
dengan para pelaku tindak pidana. Beberapa contohnya sangat
kontroversial untuk saat itu seperti korban yang mengejek pelaku
sehingga terjadi penganiayaan, tetapi mereka melayani untuk sistem
peradilan agar memikirkan kembali sampai batas tertentu
pendekatannya. Tujuannya bukan untuk menyalahkan para korban.
Sebaliknya, para kriminolog ingin mempelajari perilaku apa yang
bisa lebih mudah mengarah pada munculnya tindakan kriminal atau
tindakan yang berbahaya. Dengan cara ini, mereka berharap dapat
menghindari tindak pidana untuk mengurangi insiden mereka.
Pada fase kedua, meskipun disiplin ini awalnya difokuskan
pada mempelajari tanggung jawab para korban, dari tahun 70-an
namun dibutuhkan dan mulai diselidiki cara-cara untuk mencegah
viktimisasi rakyat. Pada saat ini juga mulai dipelajari bagaimana
meningkatkan pengalaman mereka dalam sistem hukum, serta cara-
cara untuk membuat pemulihan psikologis korban lebih cepat.
Dengan demikian, sejak saat ini viktimologi mulai berkaca dari
disiplin ilmu lain seperti psikologi, sosiologi, pekerjaan sosial, hukum,
ilmu politik atau ekonomi.
Pada fase ketiga, Apa yang telah dipelajari oleh viktimolog-
viktimolog secara profesional ini memperkaya para ahli yang
31
mempelajari tentang korban. Sehingga pada studi terakhir mereka
mempelajari jenis bantuan apa yang dibutuhkan setiap korban untuk
mendukung pemulihan cepat mereka, baik secara mental, fisik, dan
ekonomi.
Dari pengertian diatas, nampak jelas yang menjadi objek
kajian Viktimologi diantaranya adalah pihak-pihak mana saja yang
terlibat atau mempengaruhi terjadinya suatu Viktimisasi, faktor-faktor
yang merespon, serta upaya penanggulangan dan sebagainya. Setelah
itu para sarjana lain mulai melakukan studi tentang hubungan
psikologis antara pelaku tindak pidana dengan korban, bersama H.
Mainheim, Schafser, dan Fiseler. Setelah itu pada Tahun 1949 W.H.
Nagel juga melakukan pengamatan mengenai viktimologi yang
dituangkan dalam tulisannya dengan judul “De Criminaliteit van Oss,
Gronigen.”, dan pada Tahun 1959 P.Cornil dalam penelitiannya
menyimpulkan bahwa si korban patut mendapatkan perhatian yang
lebih besar dari kriminologi dan viktimologi. Pada Tahun 1977
didirikanlah World Society of Victimology. World Society of
Victimology (WSV) yang dipelopori oleh Schneider dan Drapkin.
Perubahan terbesar dari perkembangan pembentukan prinsip-prinsip
dasar tentang perlindungan korban terwujud pada saat diadakannya
kongres di Milan, pada tanggal 26 Agustus 1985 yang menghasilkan
beberapa prinsip dasar tentang korban kejahatan dan penyalahgunaan
kekuasaan yang selanjutnya diadopsi oleh Perserikatan Bangsa-
Bangsa pada tanggal 11 Desember 1985 dalam suatu deklarasi yang
dinamakan Decleration of Basic Principle of Justice for Victims of
Crime and Abuse Power.
32
Di Indonesia viktimologi mulai diajarkan di Fakultas Hukum
Universitas Indonesia pada tahun 1982. Selanjutnya banyak fakultas
hukum yang berada di Jakarta mulai mengikuti jejak Universitas
Indonesia. Begitupun akhir-akhir ini hampir disemua Fakultas Hukum
di Jawa juga mulai memasukkan viktimologi dalam kurikulumnya.
27 Ramdlon Naning. 1988. Cita Dan Citra HAM Di Indonesia. Jakarta. Lembaga Kriminologi
Program Penunjang Bantuan Hukum Universitas Indonesia. Hlm 8 .
33
mengakibatkan timbulnya dendam yang tidak berkesudahan. Untuk
mengatasi timbulnya dendam tersebut, maka muncullah gagasan adanya
ganti kerugian dengan sejumlah harta. Persoalannya ada tindak pidana
yang tidak hanya merugikan korban saja tetapi juga mengganggu
ketertiban masyarakat. Dengan demikian muncullah hubungan antara
pelaku dengan masyarakat yang diwakili oleh negara, oleh karena itu
negaralah yang berhak menuntut ganti rugi pada pelaku sekaligus sebagai
wakil dari korban. Sehingga korban kehilangan hak untuk menuntut ganti
kerugian.28
Reaksi formal yang telah dimonopoli negara selanjutnya
didelegasi ke Jaksa Penuntut Umum dalam rangka mewakili kepentingan
rakyat sekaligus kepentingan korban. Dalam posisi ini korban bukan
sebagai pihak yang berperkara melainkan sebagai obyek tindak pidana
yang ditempatkan sebagai bagian dari alat bukti yaitu sebagai saksi dalam
proses persidangan.
Pada akhir tahun 70 an terjadi perubahan pandangan dalam
kriminologi dan viktimologi yang memunculkan beberapa indikasi
berkembangnya orientasi kepada korban. Indikasi yang dimaksud
adalah :
1. Munculnya tuntutan yang kuat untuk memberi perhatian pada hak-
hak korban. Sistem Peradilan Pidana dituntut untuk memberikan
tanggungjawab, keprihatinan dan perhatian yang lebih kepada korban
tindak pidana.
34
2. Adanya pengaruh yang makin besar dari gerakan feminisme yang
menentang adanya hegemoni dan dominasi pria sebagai kausa tindak
pidana perkosaan dan kekerasan terhadap perempuan
3. Adanya penurunan secara umum kegiatan penelitian murni di bidang
kriminologi yang digantikan dengan merebaknya penelitian terapan
dalam bidang peradilan pidana.
Hal ini mengidentifikasikan bahwa pandangan kaum
positivistik, yang mendominasi penjelasan tentang tindak pidana
beberapa dekade yang berorientasi pada pelaku mulai dipertanyakan.29
Mardjono Reksodipuro mengemukakan beberapa alasan
mengapa perlindungan korban tindak pidana harus mendapat
perhatian, antara lain :
1. Sistem Peradilan Pidana dianggap terlalu memberikan perhatian
pada permasalahan dan peran pelaku tindak pidana (offender
centered)
2. Terdapat potensi informasi dari korban untuk memperjelas dan
melengkapi penafsiran tentang statistik kriminal melalui riset
tentang korban dan harus dipahami bahwa korbanlah yang
menggerakkan mekanisme sistem peradilan pidana.
3. Semakin disadari bahwa selain korban tindak pidana konvensional,
tidak kalah pentingnya untuk memberikan perhatian kepada korban
tindak pidana non-konvensional maupun korban penyalahgunaan
kekuasaan.
35
Selain ketiga hal tersebut di atas, terdapat pula faktor yang
menambah perlunya kajian dan perhatian terhadap korban tindak
pidana yaitu :
1. Adanya sistem hukum yang konvesional yang menempatkan
hukum pidana sebagai hukum publik, manakala terjadi tindak
pidana maka hubungan yang terlihat adalah bukan hubungan
koordinasi antara pelaku tindak pidana dan korban, tetapi hubungan
sub-ordinasi antara pelaku tindak pidana dengan penguasa, baik
sebagai wakil korban ataupun yang ditugaskan untuk
memperhatikan kepentingan masyarakat.
2. Berkembangnya beberapa tindak pidana yang tidak menimbulkan
korban (crime without victim) dari tindak pidana dengan korban
yang tersebar (diffusion victimization).
Dalam mekanisme penegakkan hukum melalui pendekatan
hukum pidana, pelanggaran terhadap suatu hak menjadi kewenangan
negara sepenuhnya dan keberadaan korban cenderung tidak mempunyai
pengaruh terhadap putusan para penegak hukum. Pengecualian terhadap
beberapa tindak pidana yang sifatnya aduan, seperti tindak pidana
penipuan, penggelapan, dan lain sebagainya.
Relatif kecilnya perhatian terhadap korban tindak pidana tampak
pada pengaturan dalam KUHAP yang merumuskan hak-hak korban
dalam 4 (empat) pasal saja, yaitu Pasal 98 sampai dengan Pasal 101
KUHAP yang mengatur tentang penggabungan ganti rugi dengan perkara
pidana. Hal ini dirasakan cukup memprihatinkan karena bukan tidak
mungkin jumlah korban sangat banyak bahkan lebih banyak dari tindak
pidana itu sendiri.
36
Menurut Arif Gosita hak korban adalah :
1. Mendapatkan ganti kerugian atas penderitaannya, pemberian ganti
kerugian tersebut sesuai kemampuan pelaku dalam memberikan ganti
rugi dan keterlibatan korban dalam terjadinya tindak pidana
2. Menolak restitusi untuk kepentingan pelaku karena korban tidak
membutuhkannya
3. Mendapatkan restitusi atau kompensasi untuk ahli waris apabila
korban meninggal dunia akibat tindak pidana tersebut
4. Mendapat pembinaan dan rehabilitasi
5. Mendapatkan hak miliknya kembali
6. Mendapatkan perlindungan dari ancaman pihak pelaku bila
melapor dan menjadi saksi
7. Mempergunakan upaya hukum (rechtsmiddelen)
D. Latihan
37
5. Apakah yang menjadi hak korban dalam proses peradilan
pidana ?
E. Rangkuman
Perkembangan Viktimologi diawali pada tahun 1941 oleh Von
Henting dengan makalah yang berjudul “Remark on the interaction of
perpetrator and victim.” Kemudian tahun 1947 Mendelsonh menulis
makalah dengan judul “New bio-psycho-sosial horizons:
Victimology.” Pada saat inilah istilah victimology pertama kali
digunakan secara terpisah dari kriminologi. Perkembangan
Viktimologi dapat dibagi dalam tiga fase yaitu :
a. fase Pertama Viktimologi hanya mempelajari korban tindak pidana
saja (Penal or Special Victimology) .
38
b. fase kedua Viktimologi tidak hanya mengkaji masalah korban
tindak pidana saja tetapi juga meliputi korban kecelakaan (General
Victimology).
c. fase ketiga Viktimologi lebih luas lagi yaitu mengkaji
permasalahan korban penyalahgunaan kekuasaan dan hak-hak
asasi manusia (New Victimology).
Tahun 1949 W.H. Nagel juga melakukan pengamatan
mengenai viktimologi yang dituangkan dalam tulisannya dengan judul
“de Criminaliteit van Oss, Gronigen.”, dan pada Tahun 1959 P.Cornil
dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa si korban patut
mendapatkan perhatian yang lebih besar dari kriminologi dan
viktimologi. Pada Tahun 1977 didirikanlah World Society of
Victimology. World Society of Victimology (WSV) dipelopori oleh
Schneider dan Drapkin. Perubahan terbesar dari perkembangan
pembentukan prinsip-prinsip dasar tentang perlindungan korban
terwujud pada saat diadakannya kongres di Milan, pada tanggal 26
Agustus 1985 yang menghasilkan beberapa prinsip dasar tentang
korban tindak pidana dan penyalahgunaan kekuasaan yang
selanjutnya diadopsi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal
11 Desember 1985 dalam suatu deklarasi yang dinamakan Decleration
of Basic Principle of Justice for Victims of Crime and Abuse Power.
Korban bukan hanya sebagai obyek tindak pidana tetapi perlu
mendapatkan perlindungan secara sosial dan hukum.
Memperhatikan sejarah perkembangan hukum pidana, pada
awalnya reaksi adanya tindak pidana menjadi hak korban yang
mengakibatkan timbulnya dendam yang tidak berkesudahan. Untuk
39
mengatasi timbulnya dendam tersebut, maka muncullah gagasan
adanya ganti kerugian. Persoalannya ada tindak pidana yang tidak
hanya merugikan korban saja tetapi juga mengganggu ketertiban
masyarakat. Dengan demikian muncullah hubungan antara pelaku
dengan masyarakat yang diwakili oleh negara, oleh karena itu
negaralah yang berhak menuntut ganti rugi pada pelaku sekaligus
sebagai wakil dari korban. Sehingga korban kehilangan hak untuk
menuntut ganti kerugian.
Reaksi formal yang telah dimonopoli negara selanjutnya
didelegasi ke Jaksa Penuntut Umum dalam rangka mewakili
kepentingan rakyat sekaligus kepentingan korban. Dalam posisi ini
korban bukan sebagai pihak yang berperkara melainkan sebagai obyek
tindak pidana yang ditempatkan sebagai bagian dari alat bukti yaitu
sebagai saksi dalam persidangan.
Mardjono Reksodipuro mengemukakan beberapa alasan
mengapa perlindungan korban tindak pidana harus mendapat
perhatian, antara lain :
1. Sistem Peradilan Pidana dianggap terlalu memberikan perhatian
pada pelaku tindak pidana (offender centered)
2. Semakin disadari bahwa selain korban tindak pidana konvensional,
tidak kalah pentingnya untuk memberikan perhatian kepada korban
kejahatan non-konvensional maupun korban penyalahgunaan
kekuasaan.
3. Adanya sistem hukum yang konvesional dimana hubungan yang
terlihat bukan hubungan koordinasi antara pelaku dan korban,
tetapi hubungan sub-ordinasi antara pelaku dengan penguasa.
40
4. Berkembangnya tindak pidana yang tidak menimbulkan korban
(crime without victim) dari tindak pidana dengan korban yang
tersebar (diffusion victimization).
Relatif kecilnya perhatian terhadap korban tindak pidana
tampak pada pengaturan dalam KUHAP yang merumuskan hak-hak
korban dalam 4 (empat) pasal saja, yaitu Pasal 98 sampai dengan
Pasal 101 KUHAP yang mengatur tentang penggabungan ganti rugi
dengan perkara pidana. Menurut Arif Gosita hak korban adalah :
1. Mendapatkan ganti kerugian atas penderitaannya, pemberian ganti
kerugian tersebut sesuai kemampuan pelaku dalam memberikan
ganti rugi dan keterlibatan korban dalam terjadinya tindak
pidana
2. Menolak restitusi untuk kepentingan pelaku karena korban tidak
membutuhkannya
3. Mendapatkan restitusi atau kompensasi untuk ahli waris apabila
korban meninggal dunia akibat tindak pidana tersebut
4. Mendapat pembinaan dan rehabilitasi
5. Mendapatkan hak miliknya kembali
6. Mendapatkan perlindungan dari ancaman pihak pelaku bila
melapor dan menjadi saksi
7. Mempergunakan upaya hukum (rechtsmiddelen)
F. Tes Formatif
a. Apakah yang menjadi alasan korban diwakili oleh Penuntut Umum
a. Karena korban tidak paham hukum
b. Karena Penuntut Umum merupakan penegak hukum
41
c. Karena akibat adanya tindak pidana yang mengganggu
ketertiban masyarakat
d. Karena terjadinya balas dendam dari korban
b. Bagaimanakah hubungan pelaku dan Penuntut Umum dalam proses
peradilan pidana ?
a. Sebagai mitra dalam menyelesaikan tindak pidana
b. Adanya hubungan timbal balik
c. Adanya hubungan koordinasi
d. Adanya hubungan subordinasi
c. Bagaimanakah seharusnya kedudukan korban dalam sistem
peradilan pidana ?
a. Sejajar dengan pelaku
b. Sejajar dengan penuntut umum
c. Sub ordinasi dengan penuntut umum
d. Koordinasi dengan pelaku
d. Bagaimanakah kedudukan korban menurut KUHAP
a. Sebagai pihak yang dirugikan
b. Sebagai pihak yang menyebabkan terjadinya tindak pidana
c. Sebagai pihak yang membantu penyelesaian tindak pidana
d. Sebagai pihak yang berlawaan dengan pelaku tindak pidana
e. Apakah yang seharusnya menjadi dasar hakim dalam memutuskan
ganti rugi yang harus ditanggung pelaku atas tindak pidana yang
dilakukan :
a. Keikutsertaan korban akan terjadinya tindak pidana
b. Permintaan korban
c. Kerugian korban
42
d. Kerugian dan keikutsertaan korban akan terjadinya tindak
pidana
43
BAB III
HUBUNGAN VIKTIMOLOGI DENGAN
KRIMINOLOGI DAN HUKUM PIDANA
A. Pendahuluan
BAB III ini membahas materi yang berkaitan dengan
hubungan viktimologi dengan kriminologi, yang di dalamnya
membicarakan tentang pengertian kriminologi, perbedaan viktimologi
dan kriminologi, hubungan viktimologi dan kriminologi,serta
hubungan viktimologi dengan hukum pidana. Hal ini dilakukan
untuk memudahkan mengerti dan memahami hubungan viktimologi,
kriminologi dan hukum pidana.
Viktim timbul jika ada tindak pidana. Tindak pidana dipelajari
dalam kriminologi dan diatur dalam Hukum Pidana. Untuk
menanggulangi korban perlu adanya aturan yang dapat dilaksanakan
secara baik. Karenanya Hukum Pidana butuh kriminologi yang
mempelajari pelaku dan viktimologi yang mempelajari korbannya.
Viktimologi merupakan ilmu yang mempelajari korban. Fokus
viktimologi terletak pada bagaimana orang menjadi korban.
Kriminologi merupakan ilmu yang memfokuskan pada adanya
kejahatan atau tindak pidana. Hasil pemikiran kriminologi dan
viktimologi dirumuskan dan menjadi materi telaah Hukum Pidana.
Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan dapat :
a. Menjelaskan pengertian kriminologi
b. Menjelaskan perbedaan kriminologi dan viktimologi
c. Menjelaskan hubungan viktimologi dengan kriminologi
44
d. Menjelaskan pengertian Hukum Pidana
e. Menjelaskan hubungan viktimologi, kriminologi dan Hukum
Pidana
B. Pengertian Kriminologi
E.H. Sutherland30 berpendapat Kriminologi adalah ilmu yang
mempelajari kejahatan atau tindak pidana sebagai fenomena sosial,
termasuk proses pembuatan, pelanggaran, dan reaksi pelanggaran
undang-undang. Menurut W.A Bonger 31 kriminologi adalah “ilmu
yang menyelidiki kejahatan secara seluas-luasnya”.Bonger membagi
kriminologi dalam 2 (dua) aspek : pertama, kriminologi praktis, yaitu
kriminologi yang berdasarkan pada hasil penelitian dan disimpulkan
manfaat praktisnya. Kedua, Kriminologi Teoritis, yaitu ilmu yang
berdasarkan pada pengalaman seperti ilmu lainnya, memperhatikan
gejala kejahatan dan mencoba menyelidiki sebab terjadinya gejala
tersebut (etiologi).
Taft dan England32 merumuskan kriminologi secara umum dan
khusus. Pengertian Umum, kajian yang ruang lingkupnya berbagai hal
guna memahami dan mencegah kejahatan untuk pengembangan
hukum, termasuk penghukuman/pembinaan anak dan pelaku
kejahatan, dan mengetahui cara melakukan kejahatan. Pengertian
khusus, kriminologi semata-mata mengkaji dan menjelaskan
kejahatan, serta mengetahui cara mereka melakukan kejahatan.
30. Edwin H. Sutherland. 1986. On Analyzyng Crime. London. University of Cicago Press.
31 W.A. Bonger, 1970.Pengantar Tentang Kriminologi. Jakarta. Pembangunan Ghalia.
32 Taft. 1964. Criminology. New York. Mac Millan. Hlm. 11
45
Herman Manheim33, mengartikan kriminologi dalam arti luas,
yaitu kajian tentang kejahatan termasuk di dalamnya penologi dan
metode penanggulangan, pencegahan kejahatan dengan cara non-
penghukuman.
34
Walter Reckless mendefinisikan kriminologi sebagai
pemahaman ketertiban individu bertingkah laku dan tingkah laku
jahat, pemahaman bekerjanya Sistem Peradilan Pidana. Keterlibatan,
mempunyai dua aspek: (1) kajian terhadap pelaku, dan (2) kajian
tingkah laku pelaku, termasuk korban. Memperhatikan masalah (1)
masuknya orang dalam Sistem Peradilan Pidana di setiap titik, dan
paralel; serta (2) keluaran dari produk Sistem Peradilan Pidana dalam
setiap titik perjalanan”
Elmer Hubert35 mengartikan Kriminologi sebagai kajian ilmiah
dan penerapan praktis penemuan di lapangan: (a) sebab dan tingkah
laku jahat serta etiologi, (b) ciri khas reaksi sosial sebagai ciri
masyarakat, dan (c) pencegahan kejahatan.
Haskell dan Yablonsky36 mendefinisikan kriminologi sebagai
disiplin ilmiah tentang pelaku dan tindakan kejahatan yang meliputi :
sifat, tingkat, sebab kejahatan dan kriminalitas, perkembangan hukum
pidana dan Sistem Peradilan Pidana, ciri kejahatan, pembinaan
penjahat, pola kriminalitas, dampak kejahatan dan perubahan sosial.
46
37
Richard Quinney mendefinisikan Kriminologi sebagai
pemahaman kejahatan dengan menyajikan secara bolak-balik antara
kebijakan konvensional tentang kejahatan dengan konsep baru yang
menegaskan gagasan tradisional.
Prof. Muhammad Mustofa 38 , definisi kriminologi dikaitkan
dengan pengembangan kriminologi di Indonesia berakar pada sosiologis.
“kriminologi diartikan sebagai pengetahuan ilmiah tentang: a)
perumusan sosial pelanggaran hukum, penyimpangan sosial, kenakalan,
dan kejahatan; b) pola tingkah laku dan sebab terjadinya pola tingkah
laku yang menyimpang, pelanggar hukum, kenakalan, dan kejahatan
yang ditelusuri pada munculnya suatu peristiwa kejahatan, serta
kedudukan korban kejahatan dalam hukum dan masyarakat; d) pola
reaksi sosial formal, informal, dan non-formal terhadap penjahat,
kejahatan, dan korban kejahatan.
Awalnya Kriminologi merupakan bagian dari Hukum Pidana,
pada perkembangannya kriminologi menjadi ilmu yang mandiri
walaupun masih berkaitan dengan Hukum Pidana yaitu mengkaji sebab
pelaku melakukan kejahatan. Pelaku kejahatan merupakan masalah
pokok Hukum Pidana. Demikian pula Viktimologi awalnya merupakan
bagian Kriminologi modern yang mengkaji sebab pelaku melakukan
kejahatan. Karena perkembangan dan perubahan masyarakat dan banyak
ahli pikir antusias untuk mengkaji nasib para korban untuk mendapatkan
perlindungan hukum, akhirnya viktimologi menjadi ilmu yang mandiri.
47
Hubungan viktimologi dengan hukum pidana dipahami bahwa
masalah pokok hukum pidana adalah tindak pidana dan sanksinya,
baik teori maupun praksis. Inti hukum pidana adalah hubungan korban
dan pelaku tindak pidana. Artinya kedudukan korban dan pelaku
tindak pidana seharusnya sama. Abad pertengahan hak
korban/keluarganya dianggap puas jika pelaku dijatuhi pidana yang
mengandung penderitaan. Perkembangan penologi yang semakin
berperikemanusiaan berkenaan dengan perkembangan perlindungan
“hak asasi manusia”, maka sifat penderitaan pidana berkurang dan
sampai puncaknya dengan “pidana bersyarat” atau percobaan.
Korban/keluarganya makin tidak puas, bahkan sadar diperlakukan
tidak adil dibandingkan dengan perlakuan kepada pelaku tindak
pidana. Dalam Sistem Peradilan Pidana, korban diposisikan sebagai
saksi saja. Sehingga korban/keluarganya menuntut perlakuan yang
seimbang dengan pelaku.
Guna memecahkan tuntutan korban/keluarganya, maka korban
menjadi salah satu masalah pokok hukum pidana dengan urutan
sebagai berikut :
1. Perbuatan melawan hukum dipelajari dalam hukum pidana
2. Pelaku perbuatan melawan hukum dipelajari dalam kriminologi
3. Korban dipelajari dalam viktimologi
4. Sanksi dipelajari dalam penologi
48
tersebut. Untuk memperoleh keadilan yang sungguh-sungguh, maka
hakim harus mempertimbangkan kesalahan pelaku tindak pidana dan
kesalahan korban secara seimbang.
Hubungan antara kriminologi dan viktimologi sudah tidak
diragukan lagi, karena Kriminologi membahas mengenai pelaku
tindak pidana, sedang viktimologi mempelajari korban kejahatan.
Mendelsonh, Didik M.Arief Mansur berpendapat bahwa :
“viktimologi merupakan bagian yang hilang dari kriminologi atau
dengan kalimat lain, viktimologi akan membahas bagian yang tidak
tercakup dalam kajian kriminologi”.
Pentingnya dibentuk Viktimologi secara terpisah dari
Kriminologi mengundang beberapa pendapat, yaitu sebagai berikut :
1. Yang berpendapat viktimologi tidak terpisahkan dari kriminologi,
diantaranya Von Hentig, H. Mannheim dan Paul Cornil. Mereka
mengatakan kriminologi merupakan ilmu yang menganalisis tindak
pidana dengan segala aspeknya, termasuk korban. Dengan
demikian, kriminologi membantu menjelaskan peran korban dalam
tindak pidana.
2. Yang ingin viktimologi terpisah dari kriminologi, adalah
Mendelsohn. Viktimologi merupakan ilmu yang mempunyai teori
dalam kriminologi, tetapi membahas korban, viktimologi juga tidak
dapat hanya terfokus pada korban itu sendiri.
49
pemberantasannya sehingga mudah menentukan adanya tindak pidana
dan pelakunya. Hukum pidana mempelajari delik sebagai pelanggaran
hukum, sedang untuk mempelajari bahwa delik merupakan perbuatan
manusia sebagai suatu gejala sosial adalah kriminologi.
J.E Sahetapy berpendapat bahwa kriminologi dan viktimologi
merupakan sisi dari mata uang yang saling berkaitan. Perhatian akan
tindak pidana yang ada tidak seharusnya hanya berputar sekitar
munculnya tindak pidana akan tetapi juga akibat dari tindak pidana,
karena dari sini akan terlihat perhatian bergeser tidak hanya kepada
pelaku tindak pidana tetapi juga kepada posisi korban dari tindak
pidana itu sendiri.
39
Penologi secara sempit berarti ilmu tentang hukuman, ilmu ini merupakan salah satu
cabang kriminologi yang membahas konstruksi Kitab Undang-undang Hukum Pidana,
penghukuman, dan administrasi sanksi pidana, Soerjono Soekanto dan Pudji Santoso.
1988. Kamus Kriminologi. Ghalia Indonesia. Jakarta. Hlm. 72. Dan dalam Black’s Law
Dictionary. Tenth Edition. Dijelaskan bahwa: “Penology is the study of penal institutions,
crime prevention, and the punishment and rehabilitation of criminals, including the art of
fitting the right treatment to an offender”
40 Soedjono Dirdjosisworo. 1984. Ruang lingkup Kriminologi. Bandung. Remadja Karya. Hlm. 1
50
Kesimpulannya, kriminologi merupakan salah satu sisi mata
uang, dengan sendirinya sisi yang lain adalah viktimologi. Dapat
dikatakan bahwa ciri manusia jahat memantulkan ciri serupa tetapi
tidak sama pada manusia korban41.
Paul Separovic 42 , berpendapat bahwa konsep viktimologi,
apakah merupakan bagian dari kriminologi, atau bagian dari ilmu
sosial. Viktimologi merupakan disiplin yang berurusan dengan
korban. Separovic berpendapat bahwa penempatan viktimologi
bergantung pada batasan konsep korban. Jika korban dikonsepkan
mereka yang menderita sebagai akibat kejahatan maka viktimologi
menjadi bagian kejahatan, dan viktimologi merupakan sebuah disiplin
dalam kriminologi.
Jo-Anne Wemmers43, Mendelson tahun 1955 meletakan dasar
bagi viktimologi dan menjadikannya disiplin yang terpisah dari
kriminologi. Disamping adanya istiliah “criminology”, Mendelson
juga mengenalkan istilah baru “victimal” sebagai lawan dari istilah
“criminal” dan “victimality” sebagai lawan dari “criminality”.
51
dialami oleh korban berupa kerugian fisik, mental, ekonomi, harga
diri, dan sebagainya. Hal ini berkaitan dengan status, kedudukan,
posisi, tipologi dan sebagainya.
Uraian di atas menegaskan yang bersangkutan memang
sebagai korban “murni” dari tindak pidana. Artinya korban memang
menjadi korban yang sebenarnya. Korban tidak bersalah hanya
semata-mata sebagai korban. Henting dan Rena Yulia44 beranggapan
peranan korban dalam menimbulkan tindak pidana adalah :
1. Kejahatan atau tindak pidana memang dikehendaki oleh korban
2. Kerugian akibat adanya tindak pidana mungkin dijadikan korban
untuk memperoleh keuntungan
3. Akibat yang merugikan korban mungkin kerjasama antara pelaku
tindak pidana dengan korban
4. Kerugian akibat adanya tindak pidana sebenarnya tidak terjadi bila
tidak ada provokasi dari korban
52
Hubungan korban dengan pelaku, dapat dikaji melalui
hubungan darah, persaudaraan, family, atau kekeluargaan. Berdasarkan
sasaran tindakan pelaku tindak pidana menurut G. Widiartana45 sebagai
berikut : Korban langsung yaitu mereka yang secara langsung menjadi
sasaran perbuatan pelaku dan Korban tidak langsung yaitu mereka yang
meskipun tidak secara langsung menjadi sasaran perbuatan pelaku, tetapi
juga mengalami penderitaan akibat tindak pidana yang dilakukan oleh
pelakunya.
Korban murni posisinya pasif, tidak menjadi penyebab terjadinya
tindak pidana. Pelaku menghendaki terjadinya tindak pidana dan korban
menjadi sasarannya. korban sama sekali tidak bersalah”.
Korban ikut andil dalam terjadinya tindak pidana. Derajadnya
tergantung peran korban dalam terjadinya tindak pidana tersebut.
Misalnya korban lalai, sehingga terjadi tindak pidana. Korban menarik
perhatian pelaku, misalnya korban memamerkan kekayaannya,
memotivasi pelaku melakukan tindak pidana. Korban berpakaian seksi
dan merangsang. Korban sama salahnya dengan pelaku.
Menurut Romli Atmasasmita 46 hubungan korban dan pelaku
merupakan dwi tunggal, dalam pengertian bahwa pelaku adalah korban
dan korban pemakai atau drug users. Pelanggaran hukum tersebut tidak
dapat membedakan antara korban dan pelaku.
Hubungan kriminologi dan hukum pidana keduanya
merupakan pasangan atau dwi tunggal saling melengkapi karena orang
53
akan mengerti dengan baik tentang penggunaan hukum terhadap
pelaku tindak pidana maupun pengertian mengenai timbulnya tindak
pidana dan cara pemberantasannya sehingga mudah menentukan
adanya tindak pidana dan pelaku tindak pidananya. J.E Sahetapy
berpendapat bahwa kriminologi dan viktimologi merupakan dua sisi
dari mata uang yang saling berkaitan. Perhatian akan tindak pidana
yang ada tidak seharusnya hanya berputar sekitar munculnya tindak
pidana saja akan tetapi juga akibat dari tindak pidana itu sendiri,
karena dari sini akan terlihat perhatian bergeser tidak hanya kepada
pelaku tindak pidana tetapi juga korban dari tindak pidana tersebut.
47 Yulies Tiena Masriani. 2004. Pengantar Hukum Indonesia. Sinar Grafika Jakarta
2004. hal. 60
48 Heni Siswanto. 2005. Hukum Pidana. Universitas Lampung. Bandar Lampung : 35
54
kriminologis adalah perbuatan manusia yang menyalahi norma yang
hidup dimasyarakat secara konkret. Istilah “tindak pidana” digunakan
untuk menterjemahkan Strafbaar feit. Pompe49, memberikan pengertian
tindak pidana menjadi dua definisi, yaitu:
a) Menurut teori suatu pelanggaran terhadap norma, dilakukan karena
kesalahan diancam pidana untuk mempertahankan tata hukum dan
menyelamatkan kesejahteraan umum;
b) Menurut hukum positif adalah suatu kejadian atau feit yang oleh
undang-undang dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat
dihukum. Kesimpulannya tindak pidana meliputi:
1. Suatu perbuatan yang melawan hukum;
2. Dikenai sanksi dengan syarat harus ada kesalahan. Kesalahan
terdiri dari sengaja dan kelalaian
3. Pelaku dapat dipidana jika ia dapat bertanggung jawab dalam
artian berfikiran waras;
49 Tri Andrisman, Hukum Pidana, Asas-Asas dan Aturan Umum Hukum Pidana
Indonesia (Bandar Lampung: Universitas lampung, 2006), hal. 53-54
50 Sudarto, Hukum Pidana I (Semarang: Yayasan Sudarto: Fakultas Hukum Undip,
1990), hal. 40 21
55
4. Dilakukan dengan kesalahan;
5. Orang yang mampu bertanggung jawab.
Menurut Moeljatno, Aliran Dualistis merumuskan unsur
perbuatan pidana sebagai berikut:
1. Perbuatan;
2. Memenuhi rumusan dalam undang-undang;
3. Bersifat melawan hukum,
Kesalahan dan kemampuan bertanggung jawab tidak masuk sebagai
unsur perbuatan pidana karena unsur perbuatan ini terletak pada orang
yang berbuat.
Hubungan viktimologi dan hukum pidana adalah hubungan
korban dan pelaku tindak pidana, intinya masalah pokok hukum
pidana adalah : perbuatan pidana, pelaku, dan korban serta pidananya.
Konsekuensinya hak untuk membalas pelaku adalah
korban/keluarganya. Artinya kedudukan korban dan pelaku tindak
pidana seharusnya sama.
Guna memenuhi keinginan korban/keluarganya, maka korban
menjadi salah satu masalah pokok hukum pidana dengan urutan :
56
F. Latihan
G. Rangkuman
57
dalam arti sempit dan luas. Prof. Muhammad Mustofa
mendefinisikan kriminologi sebagai ilmu tentang: a) pelanggaran
hukum, penyimpangan sosial, kenakalan, dan kejahatan; b) tingkah
laku menyimpang dan sebab terjadinya. c) reaksi sosial formal,
informal, dan non-formal terhadap penjahat, kejahatan, dan korban.
Awalnya kriminologi merupakan bagian hukum pidana,
perkembangannya kriminologi menjadi ilmu yang mandiri.
Perbedaan Viktimologi dan Kriminologi terletak pada
obyeknya. Kriminologi mempelajari kejahatan dan penjahat. Orientasi
Viktimologi kesejahteraan masyarakat, yaitu masyarakat tidak
menjadi korban dalam arti luas. Anggapan bahwa kriminologi
merupakan salah satu sisi mata uang, maka sisi yang lain adalah
viktimologi.
Hubungan Viktimologi dengan Kriminologi menurut Didik
M.Arief Mansur bahwa viktimologi bagian yang hilang dari
kriminologi, viktimologi membahas bagian yang tidak tercakup dalam
kajian kriminologi. Namun demikian terpisahnya Viktimologi dari
Kriminologi mengundang beberapa pendapat, yaitu : Viktimologi
tidak terpisahkan dari kriminologi, Viktimologi terpisah dari
kriminologi, Viktimologi merupakan cabang ilmu yang mempunyai
teori dalam kriminologi, tetapi dalam membahas persoalan korban,
viktimologi juga tidak dapat hanya terfokus pada korban itu sendiri.
Henting beranggapan peranan korban dalam menimbulkan
kejahatan adalah :
58
1. Kejahatan memang dikehendaki oleh korban
2. Kerugian akibat kejahatan dijadikan korban untuk memperoleh
untung yang lebih besar
3. Akibat yang merugikan korban merupakan kerjasama pelaku
kejahatan dan korban
4. Kerugian akibat kejahatan sebenarnya tidak terjadi bila tidak ada
provokasi dari korban
59
barang tertentu, pencabutan hak tertentu, serta pengumuman
keputusan hakim.
Istilah het straafbare feit diterjemahkan sebagai : Delik,
Peristiwa pidana, Perbuatan pidana, Perbuatan yang dapat dihukum,
hal yang diancam hukum, Perbuatan yang diancam hukum, Tindak
pidana. Unsur tindak pidana yang dikemukakan pakar itu pun terdapat
perbedaan pandangan, baik dari Pandangan Monistis dan Pandangan
Dualistis. Menurut aliran Monistis, bila orang melakukan tindak pidana
maka dapat dipidana. Sedangkan aliran Dualistis memisahkan antara
perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana. Sehingga
berpengaruh dalam merumuskan unsur tindak pidana. Menurut Simon
penganut Monistis unsur tindak pidana : Perbuatan (positif atau negatif);
Diancam pidana; Melawan hukum; Dilakukan dengan kesalahan;
mampu bertanggung jawab.
Moeljatno, penganut Dualistis unsur perbuatan pidana :
Perbuatan; Memenuhi rumusan undang-undang; melawan hukum,
Kesalahan dan kemampuan bertanggung jawab tidak masuk unsur
perbuatan pidana karena unsur perbuatan terletak pada pelaku.
Hubungan viktimologi dan hukum pidana, inti hukum pidana
adalah hubungan antara korban dan pelaku, masalah pokok hukum
pidana terdiri atas : perbuatan pidana, pelaku, dan korban serta
sanksinya. Guna memecahkan tuntutan korban/keluarganya, maka
korban menjadi masalah pokok hukum pidana dengan urutan sebagai
berikut : Perbuatan melawan hukum dipelajari dalam hukum pidana,
Pelaku dipelajari dalam kriminologi, Korban dipelajari dalam
viktimologi dan Sanksi dipelajari dalam penologi.
60
H. Tes Formatif
61
c. Obyek yang mengkaji
d. Obyek yang dikaji
Rumus :
Jumlah jawaban yang benar
Tingkat penguasaan = ----------------------------------- X 100 %
5
Arti tingkat penguasaan yang dicapai :
90 - 100 % = baik sekali
80 – 89 % = baik
70 – 79 % = cukup
< 70 % = kurang
62
BAB IV
KORBAN
A. Pendahuluan
63
B. Pengertian Korban
64
4. Undang-undang No.27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran
dan Rekonsiliasi
Korban adalah orang/kelompok orang yang mengalami penderitaan,
baik fisik, mental maupun emosional, kerugian ekonomi/pengabaian
pengurangan/perampasan hak dasarnya sebagai akibat pelanggaran
HAM berat termasuk korban atau ahli warisnya.”
65
melanggar hukum pidana di suatu negara, termasuk peraturan yang
melarang penyalahgunaan kekuasaan. Korban termasuk juga orang
yang menjadi korban dari perbuatan yang walaupun belum merupakan
pelanggaran hukum pidana nasional, tetapi sudah merupakan
pelanggaran norma HAM yang diakui secara internasional. Seseorang
dapat dipertimbangkan sebagai korban tanpa melihat apakah pelaku
tindak pidana diketahui ditahan, dituntut atau dipidana dan tanpa
memandang hubungan keluarga antara pelaku dan korban. Istilah
korban dapat mencakup keluarga dekat/orang yang menjadi
tanggungan korban dan orang yang menderita kerugian karena
berusaha mencegah terjadinya korban.
54 J.E. Sahetapy. 1992. Teori Kriminologi Suatu Pengantar. Bandung. Citra Aditya
Bakti. Hlm. 31.
66
materiil. Korban mempunyai peranan fungsional terjadinya tindak
pidana, baik dalam keadaan sadar atau tidak, secara langsung atau tidak
langsung.
Arif Gosita berpendapat, salah satu latar belakang pemikiran
viktimologis adalah “pengamatan meluas terpadu”. Menurut beliau
segala hal harus diamati secara meluas terpadu (makro-integral) di
samping diamati secara mikro-klinis, bila ingin mendapatkan gambaran
kenyataan menurut proporsi sebenarnya secara dimensional, mengenai
55
sesuatu, terutama mengenai relevansinya . Karena itu usaha
pengembangan viktimologi sebagai sub-kriminologi merupakan studi
ilmiah tentang korban tindak pidana dibutuhkan terutama dalam usaha
mencari kebenaran materiil dan perlindungan HAM dalam negara
Pancasila ini.
Usaha menganalisa korban tindak pidana merupakan harapan
sebagai alternatif lain atau instrumen segar secara keseluruhan
merupakan usaha untuk menanggulangi terjadinya tindak pidana.
Sebenarnya masalah korban bukan masalah baru, tetapi merupakan hal
tertentu yang terabaikan. Setidaknya ditegaskan bahwa bila hendak
mengamati tindak pidana menurut proporsi yang benar dari berbagai
dimensi maka mau tidak mau harus memperhitungkan peran korban
dalam timbulnya tindak pidana.
Pemahaman tentang korban baik sebagai penderita sekaligus
elemen tindak pidana bermanfaat dalam upaya preventif. Seorang korban
dapat dilihat dari dimensi korban ansich atau sebagai faktor kriminogen.
55 Arief Gosita. 1986. Victimologi dan KUHAP. Jakarta. Akademika Pressindo. Hlm.
8
67
Korban juga dapat dilihat sebagai komponen penegakan hukum dengan
fungsinya sebagai saksi korban atau pelapor.
Sebagai elemen Sistem Peradilan Pidana perlu dikemukakan
bahwa walaupun Pasal 108 ayat (1) KUHP menentukan : “Setiap
orang yang mengalami atau menjadi korban suatu tindak pidana itu
berhak mengajukan pengaduan”, kiranya perlu diingat bahwa
ketentuan KUHP tidak semua orang berhak mengajukan pengaduan
tindak pidana yang dilihatnya, karena ada tindak pidana yang terjadi
baru dapat dilakukan penyidikan jika ada pengaduan korban (pihak
yang dirugikan) dari tindak pidana tersebut.
Kejahatan merupakan masalah manusia dan masyarakat,
karena itu istilah kejahatan menjadi istilah yang tidak asing di
masyarakat. Namun pengertian kejahatan itu sendiri ternyata tidak
seragam. Sahetapy mengklasifikasikan pengertian kejahatan dalam
berbagai pandangan yaitu : Kejahatan secara juridis, sosiologis,
kriminologis dan psikologis.
Kejahatan merupakan tindakan yang mempunyai dua unsur
yaitu : Kejahatan merugikan masyarakat secara ekonomis dan secara
psikologis yang menyangkut rasa aman dan melukai perasaan susila
dari kelompok manusia. Dengan demikian kejahatan selalu
menimbulkan korban. Korban kejahatan adalah : “mereka yang
menderita secara jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan
orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau
orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang
menderita”.
68
Kejahatan melibatkan dua pihak yaitu pelaku dan korban.
Tidak berlebihan bila dalam kasus tertentu maupun secara umum
pihak korban dapat berperan dalam keadaan sadar/tidak,
langsung/tidak langsung, sendiri/bersama, bertanggung jawab/tidak,
aktif/pasif, dengan motivasi positif /negatif. Semua bergantung pada
situasi dan kondisi saat atau sebelum kejahatan. Bahkan secara tegas
sesudah kejahatan berlangsungpun korban mungkin turut serta
bekerjasama dengan pelaku.
Kasus pemalsuan mata uang turut sertanya korban sangat
memungkinkan terjadi. Pada kasus tindak pidana narkotika dan bunuh
56
diri pelaku dan korban adalah orang yang sama Studi yang
mendalam tentang korban merupakan objek viktimologi semakin
relevan dengan kebutuhan masyarakat Indonesia terutama dalam era
pembangunan (hukum).
Contoh korban awalnya turut merangsang pelaku untuk
melakukan suatu tindak pidana, yaitu :
1. Seorang wanita membujuk orang menggugurkan kandungannya,
dan wanita itu akhirnya meninggal atau sakit parah.
2. Dalam kasus-kasus euthanasia (Euthanasia aktif)
3. Kasus perkosaan, wanita menampilkan sikap yang menimbulkan
hasrat sexual pemerkosa.
4. Kasus perampokan, korban memberi kesan sebagai orang berada,
atau lemah dan lain-lain.
69
Ada juga perilaku korban yang menyebabkan lolosnya pelaku
kejahatan dari proses penegakkan hukum, yang biasa dikenal dengan
istilah dark number. Data-data korban ini merupakan penyebab
terjadinya dark number of crime, yaitu:
1. Silent victim/tidak bersedia melapor karena menganggap polisi
tidak efisien, dan menganggap tindak pidana tersebut merupakan
urusan pribadi.
2. Korban tidak mengetahui bahwa dirinya menjadi korban.
3. Korban tidak sadar bahwa pengguna jasa harus membayar fasilitas
yang dinikmatinya.
4. Adanya diskresi dalam kasus perbankan
D. Macam-macam Korban
70
2. Korban tindak pidana non konvensional adalah : korban tindak
pidana akibat tindak pidana berat seperti :
a. Victim of Tehcnology (Korban Teknologi)
b. Victim of Enviroment Pollution (Korban Polusi Industri)
c. Victim of Traffic Accident (Korban Kecelakaan Lalu-Lintas)
d. Victim of Aparheid (Korban Diskriminasi Warna Kulit)
e. Victim of Slavery (Korban Perbudakan)
f. Victim of Trafficking (Korban Perdagangan Manusia)
g. Victim of Genocide (Korban Pemusnahan Suatu Kaum oleh
Kaum yang Lain)
h. Victim of Organized Crime (Korban Kejahatan Terorganisir)
i. Victim of Terrorist (Korban Teroris)
j. Victim of Crime Againts Human Right (Korban Kejahatan Hak
Asasi Manusia)
k. Victim of Malpractice (Korban Malpraktik/Korban Salah
Mengobati)
l. Victim of Disaster (Korban Bencana Alam)
71
1. sama sekali tidak bersalah
2. jadi korban karena kelalaiannya
3. sama salahnya dengan pelaku
4. lebih bersalah dari pada pelakunya
5. korban satu-satunya yang bersalah (dalam hal ini pelaku
dibebaskan).
59
Kumaravelu Chockalingam. 2009. Scope of Contemporary Victimology, Paper
presnted at Asian Postgraduate Course on Victimology. Tokiwa University. Mito-
Japan.
72
engaging in vice crimes and other “victimless offenses” fell under this
category.
Mendelssohn’s fourth type “victim more guilty than the
offender” represents the situation in which the victim instigates or
provokes the criminal act. A person who is on the losing end of a
punch after making an abusive remark would fit in here.
Similarly, a victim who started as an offender and, ended up as
victim is “the most guilty victim”. An example of this category would
be the burglar shot by a house owner during an intrusion.
The last category is the “simulating or imaginary victim”.
Mendelsohn reserves this niche for persons who pretend that they
have been victimized. The person who claims to have been mugged,
rather than admitting to gambling his or her pay cheque away would
be an example.
Marvin E. Wolfgang60, melahirkan konsep victim precipitation
yaitu seseorang/kelompok yang menjadi korban tindak pidana karena
mereka berkontribusi pada terjadinya tindak pidana. Wolfgang
meneliti korban pembunuhan di Philadelphia dan melahirkan definisi
berikut : “The term victim-precipitation is applied to those criminal
homicides in which the victim is a direct, positive precipitator in the
crime. The role of the victim is characterized by his having been the
first in the homicide drama to use physical force directed against his
subsequent slayer. The victim-precipitated cases are those in which
the victim was the first to show and use a deadly weapon, to strike a
blow in an altercation – in short, the first to commence the interplay
60 Ibid.
73
or resort to physical violence.” Wolfgang menemukan data kasus
pembunuhan, victim-precipitation sejumlah 26%
74
Peran korban dalam terjadinya tindak pidana yaitu :
1. Orang yang tidak mempunyai kesalahan apa–apa akan tetapi tetap
menjadi korban
2. Korban secara sadar/tidak merangsang orang lain melakukan tindak
pidana
3. Orang secara biologis dan sosial potensial menjadi korban/orang
cacat
4. Korban karena ia sendiri merupakan pelakunya./PSK.
75
Kemudian untuk dapat memahami lebih mendalam tentang
kejahatan atau tindak pidana, perlu adanya pendekatan yang
melatarbelakanginya. Ada 4 (empat) pendekatan yang melatar belakangi
tindak pidana yaitu :
1. Pendekatan biogenic : pendekatan yg menjelaskan sebab dan sumber
tindak pidana berdasarkan faktor dan proses biologis.
2. Pendekatan psikogenic : bahwa pelanggar hukum memberi respon
terhadap berbagai macam tekanan psikologis serta kepribadian yang
mendorong untuk melakukan tindak pidana.
3. Pendekatan sociogenic : kejahatan dalam hubungannya dengan proses
dan struktur sosial di masyarakat dikaitkan dengan unsur sistem
budaya
4. Pendekatan typologist : berdasarkan penyusunan tipologi penjahat
dalam hubungannya dengan tipologi sosial pelaku, tingkat identifikasi
kejahatan, konsep diri, pola persekutuan penjahat dan bukan penjahat,
berkesinambungan meningkatkan kualitas kejahatan.
76
3. Kejahatan yang dilakukan dalam pekerjaan yang kedudukannya
lebih tinggi
4. Kejahatan politik yang meliputi pengkhianatan
5. Kejahatan terhadap ketertiban umum
6. Kejahatan konvensional seperti perampokan
7. Kejahatan terorganisasi seperti pemerasan, pelacuran
8. Kejahatan professional
77
11. Memperoleh penggantian biaya transportasi pada saat menjadi
saksi dalam proses penegakan hukum sesuai dengan kebutuhan
12. Mendapatkan penasehat hukum
13. Memperoleh biaya hidup sementara sampai waktu perlindungan
berakhir (Pasal 5 ayat (1) Undang-undang No. 13 Tahun 2006
tentang Perlindungan Saksi dan Korban)
14. Korban juga berhak atas kompensasi dalam kasus pelanggaran
HAM yang berat
15. Hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung
jawab pelaku tindak pidana (Pasal 7 ayat (1) UU No. 13 Tahun
2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban)
78
5. Tidak menuntut restitusi yang tidak sesuai dengan kemampuan pelaku
tindak pidana
6. Memberi kesempatan pelaku tindak pidana untuk membayar restitusi
sesuai kemampuan pelaku
7. menjadi saksi, bila tidak membahayakan diri sendiri dan diberikan
jaminan
F. Viktimisasi
79
experience as criminal victimization, (2) Intrusive or inappropriate
conduct by police or other criminal justice personnel, (3) The whole
process of criminal investigation and trial (decisions about wether or
not to prosecute, the trial it self, the sentencing of the offender, and his
or her eventual release), (4) The victim perceives difficulties in
balancing their rights with those of the accused or the offender, (5)
Criminal Justice Process and procedures do not take the perspective
of the victim in to account
(http://www.crcvc.ca/docs/victimization.pdf)
Viktimisasi kemungkinan berulang namun dengan pelaku
berbeda sama perannya dalam menimbulkan derita pada korban.
Kasus reviktimisasi paling popular adalah kasus Novi Amalia, gadis
model yang mengendarai mobil dan menabrak 7 orang di Tamansari
Jakarta Barat 11 Oktober 2012. Ia mabuk dan setengah telanjang
mengalami viktimisasi lanjutan di TKP dan juga di kantor polisi
dalam bentuk eksploitasi ketelanjangannya61.
G. Latihan
80
4. Jelaskan bagaimanakah perlindungan korban selama ini ?
5. Jelaskan beda dan persamaan antara convensional victim dan
unconventional victim ?!
H. Rangkuman
81
3. Undang-undang No.27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi
4. Peraturan Pemerintah No.2 Tahun 2002 tentang Tata Cara
Perlindungan Terhadap Saksi-saksi Dalam Pelanggaran HAM
Yang Berat
82
1. Wanita yang membujuk orang menggugurkan kandungannya,
kemudian wanita itu mati
2. Dalam kasus-kasus euthanasia (Euthanasia aktif)
3. Kasus perkosaan wanita menampilkan sikap yang menimbulkan
hasrat sexual
4. Kasus perampokan dan penodongan, korban memberikan kesan
sebagai orang berada
83
mendorong untuk menjadi korban, orang yang pasif tetapi dengan
sikapnya justru mendorong dirinya menjadi korban, mereka yang
secara fisik lemah, Mereka yang kedudukan sosialnya lemah dan
mereka yang menjadi korban karena kejahatan yang dilakukannya
sendiri.
Peran korban dalam terjadinya tindak pidana yaitu : Orang
yang tidak bersalah, orang yang merangsang orang lain melakukan
kejahatan, orang yang secara biologis dan sosial potensial menjadi
korban, dan korban sendiri merupakan pelakunya.
Hak-hak korban dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Memperoleh perlindungan dan keamanan
2. Ikut memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan
keamanan
3. Memberikan keterangan tanpa tekanan
4. Mendapat penterjemah
5. Bebas dari pertanyaan yang menjerat
6. Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus
7. Mendapat informasi tentang keputusan pengadilan
8. Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan
9. Mendapat identitas baru
10. Mendapatkan tempat kediaman baru
11. Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan
kebutuhan
12. Mendapatkan penasehat hukum
13. Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu
perlindungan berakhir
84
14. Korban juga berhak atas kompensasi dalam kasus pelanggaran
HAM yang berat
15. Hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung
jawab pelaku tindak pidana
Kewajiban korban :
1. Tidak mengadakan pembalasan atau main hakim sendiri
2. Berpartisipasi dengan masyarakat untuk mencegah tindakan korban
lebih lanjut
3. Mencegah kehancuran pelaku baik oleh dirinya sendiri (si korban)
maupun oleh orang lain
4. Bersedia dibina atau membina diri sendiri untuk tidak menjadi
korban lagi
5. Tidak menuntut restitusi yang tidak sesuai dengan kemampuan si
pembuat korban
6. Memberi kesempatan kepada pelaku membayar restitusi
7. Menjadi saksi, apabila tidak membahayakan diri korban sendiri dan
diberikan jaminan
I. Tes Formatif
85
2. Korban adalah perseorangan atau kelompok yang memerlukan
perlindungan, pernyataan ini adalah pengertian korban menurut :
a. Undang-undang No. 23 Tahun 2009
b. KUHAP
c. Peraturan Pemerintah No2 tahun 2002
d. KUHP
3. Peran korban dalam terjadinya Tindak Pidana adalah :
a. Sebagai pihak yang dirugikan
b. Sebagai pemicu terjadinya Tindak Pidana
c. Berperan sebagai pelaku dan korban
d. Pernyataan a, b, dan c benar
4. Menurut Konggres PBB ke 7 korban non konvensional adalah :
a. Korban Tindak Pidana
b. Korban adanya penyalahgunaan kekuasaan
c. Korban bencana alam
d. Korban akibat kejahatan
5. Korban yang timbul karena kelalaiannya, merupakan penggolongan
korban berdasarkan :
a. Perannya dalam Tindak Pidana
b. Kesalahannya
c. Kerugiannya
d. Keikutsertaannya dalam kejahatan
86
Rumus :
Jumlah jawaban yang benar
Tingkat penguasaan = ----------------------------------- X 100 %
5
87
BAB V
PERANAN KORBAN DALAM SISTEM PERADILAN
PIDANA
A. Pendahuluan
88
Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan dapat :
1. Menjelaskan kedudukan korban dalam Sistem Peradilan Pidana
2. Menjelaskan kedudukan korban berdasarkan KUHP
3. Menjelaskan kedudukan korban berdasarkan KUHAP
4. Menjelaskan kedudukan korban berdasarkan Undang-undang
Pemasyarakatan
89
encounter a society that neglects their victimization, and criminal
justice system that imposes a second victimization”.
Donald menyatakan : “...... to day he is seen at best as the forgotten
man of the system and at worst as being twice victimized, the second
time by the system it self”. Kemudian Doener menyatakan : “victims
sustain cost from at least two different sources , in this sense, they
face double victimization”. Menjadi korban kedua kali dimaksudkan
sebagai berikut : First, they lose time from work, suffer physical injury
and mental anguish, incur medical expenses, have property damaged
or taken, and endure a variety of other inconveniences because of the
criminal episode. Then when these enter the halls of justice, they are
subject to a second set of problems”.
Studi yang dilakukan oleh Knudtan (1977), Elias (1983),
Vennard (1976), Cambera dan Millar (1983) memperkuat pandangan
di atas. Doener menyatakan korban dalam Ssistem Peradilan Pidana
mengalami kekecewaan. Ketika berpartisipasi di dalam Sistem
Peradilan Pidana justru memperburuk kondisinya dan merasa terasing.
Problem yang dialami korban dalam Sistem Peradilan Pidana
menurut Shapland bersumber dari tiadanya status korban dalam
Sistem Peradilan Pidana. Beberapa studi dilakukan oleh Vennard,
Marquire, Howley dan Kelly menunjukkan hal tersebut. Pendapat
lain dikemukakan Forer yang melihat aspek ganti rugi tidak
diberikan bagi korban menunjukkan bahwa korban dalam Sistem
Peradilan Pidana terabaikan. Korban kecewa karena hakim tidak
membebankan ganti rugi kepada pelaku tindak pidana. Korban juga
mengkritik jaksa yang tidak menuntut pelaku agar membayar ganti
90
rugi dalam proses banding maupun dalam rekomendasi putusan
hukuman. Bohmer melakukan studi terhadap korban perkosaan
menyatakan bahwa hakim tidak simpatik kepada korban, justru
bermurah hati kepada pelaku pemerkosaan tersebut.
Terabaikannya hak-hak korban dalam Sistem Peradilan Pidana
dinilai kontradiktif dibandingkan perlakuan aparat penegak hukum
terhadap pelaku. Pelaku dalam Sistem Peradilan Pidana diberikan
berbagai hak dan fasilitas sebagaimana dikatakan oleh Mc. Donald
yang menyatakan sebagai berikut : “Offenders are provide with
lawyershousing, food, medical care, recreational, opportunities,
schooling, job training, and phychological counseling. Victim must
fend for themselves. At best, victims are the forgotten person within
the crime problem, at worst, more intent on satisfying the needs of its
constituent agencies and official than of the directly injures parties”.
Kesenjangan perlakuan antara pelaku dan korban dalam
Sistem Peradilan Pidana dibahas oleh Anthony J. Schembri yang
mengatakan tindak pidana itu memiliki tiga dimensi yaitu : perbuatan
atau tindak pidananya itu sendiri, pelaku, dan korban. Namun Sistem
Peradilan Pidana lebih memperhatikan pada tindak pidananya dan
pelakunya. Atas konsepsi tersebut Schafer menyitir laporan Paris
Prison Congress tahun 1885 yang menyatakan : “The guilty man
lodged, fed, clothed, warmed lighted, entertained, at the expense of
the state in a model cell, issued from it with a sum of money law fully
earned, has paid his debt to society : but the victim has his
consolations : he can think that by taxes he pays .... he has contributed
91
to wards the paternal care which has guarded the criminal during his
stay in prison”
Serparovic membandingkan perhatian terhadap korban dan
pelaku tindak pidana terdapat kesenjangan yang menunjukkan
perhatian terhadap pelaku tindak pidana lebih baik melalui dukungan
hukum yang ada dibanding korbannya. Sejumlah konsep HAM,
dipenuhi berbagai perhatian dan jaminan bagi orang yang potensial
menjadi pelaku tindak pidana. Mereka tidak boleh diperlakukan
sewenang-wenang. Mereka harus mendapat perlakuan yang baik,
berhak dinyatakan tidak bersalah sampai dinyatakan bersalah melalui
putusan pengadilan, berhak mendapat perawatan, diberi kebebasan
berbicara dan menyatakan pendapat. Dapat dikatakan korban yang
menjadi objek kekerasan dan penindasan pelaku tindak pidana dari
dulu hingga sekarang menjadi pihak yang dilalaikan. Problem yang
dialami korban dalam Sistem Peradilan Pidana menurut pandangan
Shapland bersumber dari tiadanya status dan peranan korban dalam
Sistem Peradilan Pidana.
Kedududkan korban dalam Hukum Pidana Nasional sejalan
dengan pendapat viktimolog tentang kedudukan korban dalam Sistem
Peradilan Pidana. Kedudukan adalah kedudukan hukum (legal status).
Hukum Pidana di sini terdiri atas Pidana Materiil (strafrecht), dan
hukum pidana formal (strafprocessrecht) serta hukum pelaksana
pidana (strafvollstreckungsrecht). Hukum Pidana Materiil merupakan
aturan hukum yang mengikat perbuatan yang memenuhi syarat
tertentu dan berdampak adanya suatu akibat berupa pidana. Dalam
konteks ini Hukum Pidana Materiil yang dikaji adalah KUHP. Hukum
92
Pidana Formal atau hukum acara dimaksudkan sebagai hukum yang
mengatur cara negara menerapkan sanksi pidana pada peristiwa
konkrit. Hukum Pidana Formal yang dikaji dalam tulisan ini adalah
KUHAP. Hukum Pelaksanaan Pidana dimaksudkan sebagai ketentuan
yang mengatur tentang tata cara melaksanakan putusan hakim berupa
pidana. Dalam tulisan ini Hukum Pelaksana Pidana yang dikaji adalah
Undang-undang No. 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
93
Kedua, KUHP menganut aliran Neo Klasik yang
memberlakukan keadaan yang meringankan pelaku dari segi fisik,
lingkungan serta mental. Dimungkinkannya aspek yang meringankan
pidana bagi pelaku dengan pertanggungjawaban sebagian, dalam hal
yang bersifat khusus, misal gila, di bawah umur. Berdasarkan Neo
Klasik dan ketentuan Pasal 44 KUHP mengandung pengertian dalam
kondisi tertentu pelaku dimungkinkan tidak dijatuhi pidana bila
memenuhi Pasal 44 KUHP. Dapatlah dilontarkan kritik melalui
pertanyaan yakni dimanakah letak perhatian hukum pidana terhadap
korban ketika pelaku tidak dapat dipertanggungjawabkan karena
jiwanya cacat. Tidak dipidananya pelaku karena tidak dapat
dipertanggungjawabkan dalam perspektif pelaku dan tujuan
pemidanaan dapat dibenarkan, namun dalam perspektif korban tidak
demikian. Korban merasa mengalami kerugian dan/atau penderitaan
selayaknya tetap mempunyai akses memperoleh keadilan. Walaupun
pelakunya tidak dapat dipidana, wujudnya bisa dalam bentuk
pemberian kompensasi. Kasus semacam ini tepat untuk
menggambarkan bahwa korban memang pihak yang dilupakan dalam
Sistem Peradilan Pidana. Berdasarkan paparan di atas maka dapat
direkomendasikan dua hal sebagai berikut :
1. KUHP perlu secara eksplisit merumuskan bentuk perlindungan
hukum bagi korban secara konkrit, dalam penjatuhan pidana wajib
dipertimbangkan pengaruh tindak pidana terhadap korban atau
keluarganya. KUHP perlu merumuskan jenis pidana restitusi yang
bermanfaat bagi korban dan/atau keluarganya.
94
2. KUHP perlu memberikan akses bagi korban memperoleh keadilan
bila pelaku memenuhi Pasal 44 KUHP. Keadilan dapat diwujudkan
dalam bentuk pemberian kompensasi.
95
Penjabaran pasal di diktum serta penjelasannya tidak terakomodir
ketentuan hak dan kewajiban korban secara adil.
96
8. Hak mendapat bantuan hukum selama waktu dan di setiap tingkat
pemeriksaan (Pasal 54)
9. Hak untuk memilih sendiri penasihat hukumnya (Pasal 55)
10. Hak memperoleh penasihat hukum untuk kasus yang ancaman
hukumannya 5 tahun/lebih (Pasal 56 ayat (1)
11. Hak menghubungi penasihat hukum selama yang bersangkutan
ditahan (Pasal 57 ayat (1)
12. Hak menghubungi dan berbicara dengan perwakilan negara bagi
WNA selama penahanan dalam menghadapi proses perkaranya
(Pasal 57 ayat (2)
13. Hak menghubungi dan menerima kunjungan dokter pribadi untuk
kesehatan baik yang ada hubungannya dengan proses perkara
maupun tidak (Pasal 58)
14. Hak diberitahukan atas penahanan dirinya bagi yang ditahan di
semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan, termasuk
mendapat penangguhan penahanan (Pasal 59)
15. Hak menghubungi dan menerima kunjungan keluarga/lainnya guna
mendapat jaminan bagi penangguhan penahanan atau untuk
mendapat bantuan hukum (Pasal 60)
16. Hak menghubungi dan menerima kunjungan sanak keluarga secara
langsung/dengan perantaraan penasihat hukum untuk kepentingan
pekerjaan/kekeluargaan (pasal 61)
17. Hak mengirim/menerima surat pada penasihat hukum serta
keluarganya setiap saat dan untuk kepentingan tersebut disediakan
alat tulis menulis (Pasal 62 ayat (1) )
97
18. Hak untuk menghubungi dan menerima kunjungan rokhaniawan
(Pasal 63)
19. Hak untuk diadili di sidang pengadilan yang terbuka untuk umum
(pasal 64)
20. Hak mengusahakan dan mengajukan saksi dan/atau seseorang yang
memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan yang
menguntungkan bagi dirinya (Pasal 65)
21. Hak untuk tidak dibebani kewajiban pembuktian (Pasal 66)
22. Hak banding terhadap putusan PN kecuali putusan bebas, lepas dari
segala tuntutan hukum menyangkut kurang tepatnya penerapan
hukum dan putusan acara cepat (Pasal 67)
23. Hak untuk menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi (Pasal 68)
98
1. Hak diberitahu penyidik tentang hak untuk mendapat bantuan
hukum/ wajib didampingi penasihat hukum (Pasal 114)
2. Hak ditanya apa Terdakwa menghendaki saksi yang
menguntungkan (Pasal 116 ayat (3)
3. Hak diperiksa tanpa tekanan siapapun dan/atau dalam bentuk
apapun (Pasal 117 ayat (1)
4. Hak untuk segera diperiksa oleh penyidik (Pasal 122)
5. Hak mengajukan keberatan atas penahanan atau jenis penahanan
(Pasal 123 ayat (1) )
6. Hak mengajukan pra peradilan guna memperoleh putusan tentang
sah/tidaknya penahanan atas diri yang bersangkutan (Pasal 124)
7. Hak dilihatkan tanda pengenal penyidik yang menggeledah rumah
tersangka (Pasal 124)
99
1. equality before the law
2. Penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dilakukan
berdasarkan perintah tertulis pejabat yang berwenang dan dalam hal
dan menurut cara yang diatur UU
3. presumption of innocence
4. Seseorang yang ditangkap, ditahan, dituntut /diadili tanpa berdasarkan
UU dan/atau karena keliru mengenai orang atau hukum yang
diterapkan wajib diberi ganti rugi dan rehabilitasi sejak tingkat
penyidikan dan pejabat penegak hukum yang sengaja / lalai
menyebabkan asas hukum dilanggar, dituntut, dipidana dan/atau
dikenakan hukuman administrasi
5. Peradilan harus dilakukan dengan cepat, sederhana dan biaya ringan,
serta bebas, jujur dan tidak memihak harus diterapkan secara
konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan
6. Setiap tersangka wajib diberi kesempatan memperoleh bantuan
hukum yang semata-mata diberikan untuk melaksanakan kepentingan
pembelaan atas dirinya
7. Kepada seorang tersangka, sejak saat dilakukan penangkapan dan/atau
penahanan selain wajib diberitahu dakwaan dan dasar hukumnya, juga
wajib diberitahu haknya termasuk hak untuk menghubungi dan minta
bantuan penasihat hukum
8. Pengadilan memeriksa perkara pidana dengan hadirnya terdakwa
9. Sidang pengadilan terbuka untuk umum kecuali dalam hal yang diatur
dalam UU.
100
yang diberikan KUHAP pada korban sangat terbatas. hak korban
menurut KUHAP sebagai berikut :
Pertama, hak melakukan tuntutan ganti rugi diatur Bab XII
Pasal 98 hingga Pasal 101 KUHAP. Disebutkan hak seseorang yang
dirugikan atas tindak pidana menjadi dasar dakwaan bagi pelaku untuk
menggugat ganti kerugian melalui hakim (Pasal 98)
Kedua, hak mengajukan laporan/pengaduan pada penyelidik
dan/atau penyidik baik lisan/tertulis atas tindak pidana yang dialami
(Pasal 108 ayat (1) )
Ketiga, hak keluarga korban untuk diberitahu bila korban telah
meninggal dunia, akan dilakukan bedah mayat (Pasal 134 ayat (1) )
Keempat, hak korban (sebagai saksi korban) mendapat ganti
biaya, bila hadir untuk memberi keterangan di semua tingkatan
pemeriksaan (Pasal 299 ayat (1)
Paparan di atas tampak bahwa hak korban dalam KUHAP sangat
terbatas dibandingkan dengan hak pelaku. Ini menunjukkan terjadi
diskriminasi perlakuan korban dan pelaku. Kedudukan korban dalam
KUHAP termarjinalkan dan terjadi ketidakadilan. Ini bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945
khususnya Pasal 27 ayat (1). Termarjinalkannya kedudukan korban
dalam KUHAP sekaligus mengingkari ketentuan KUHAP sendiri yang
tercantum dalam beberapa bagian penjelasan umumnya.
KUHAP berorientasi terhadap pelaku dari pada korban tidak
terlepas dari 2 faktor antara lain :
Pertama, semangat berlebihan dalam perubahan sistem pemeriksaan yang
dipakai dari sistem inquisitoir ke sistem accusatoir. Kedua, pengaruh
101
kecenderungan internasional dalam penghormatan HAM dengan
tingkatan yang sifatnya universal. Dokumen atau instrumen internasional
tentang HAM dipedomani dalam penyusunan KUHAP. Dokumen ini
adalah perjanjian internasional dimana negara yang menandatangani
perjanjian ini, menjadi salah satu pihak treaty (state party) yang
menyatakan tunduk pada aturan hak asasi. HAM. Berkaitan dengan hal
ini terdapat 2 perjanjian internasional yang diperhatikan, sebagai berikut :
(1) The International Convenant on Economic, Social and Cultural
Right, dan (2) The International Convenant on Civil and Political Rights.
The International Convenant on Civil and Political Rights mempunyai
istrumen yang dikenal dengan nama The Optional Protocol to The
International Convenant on Civil and Potical Right.
Perlindungan hak pelaku (Pasal 50 sampai Pasal 68 KUHAP)
sejalan dengan The Universal Declaration of Human Rights berikut The
International Convenant on Civil and Political Right beserta Optional
yang tercermin pada Pasal 9 dan Pasal 14 International Convenant on
Civil and Political Right tersebut.
Asas yang tercermin dalam Pasal 9 International Convenant on
Civil and Political Right, antara lain :
1. Tidak seorangpun diambil kebebasannya secara sewenang-wenang
kecuali jika diajukan dasar-dasar dan sesuai dengan prosedur menurut
undang-undang
2. Setiap orang ditahan, segera dapat diajukan kepada dan diperiksa oleh
hakim. Selama menunggu pemeriksaan pengadilan, dikatakan sebagai
penahanan sementara adalah suatu kekecualian
102
3. Orang yang ditangkap/ditahan berwenang untuk mengajukan kepada
pengadilan, supaya pengadilan dalam waktu yang tidak begitu lama
(without delay) dapat menentukan tentang sahnya penahanan tersebut
dan dibebaskan apabila penahanan itu dipandang tidak sah.
4. Setiap orang yang menjadi korban penahanan tidak sah berhak
memperoleh ganti rugi.
103
E. Kedudukan Korban Menurut Undang-undang Pemasyarakatan
104
8. Hak untuk menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau
orang tertentu lainnya
9. Hak untuk mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi)
10. Hak untuk mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti
mengunjungi keluarga
11. Hak mendapatkan pembebasan bersyarat
12. Hak mendapatkan cuti menjelang bebas
13. Hak mendapatkan hak lain sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
105
Ketiga, pengaruh pembaharuan pidana (law reform) tercermin
dalam konsep RUU KUHP sebelum tahun 1995 khususnya dalam hal
tujuan pidana dan pemidanaan.
106
(3) Restitusi sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1), merupakan
ganti kerugian yang diberikan oleh pelaku kepada korban atau
ahli warisnya
(4) Kompensasi dan/atau restitusi tersebut diberikan dan
dicantumkan sekaligus dalam amar putusan pengadilan
107
atau hal lain yang memungkinkan dapat terungkapnya identitas
pelapor
(2) Dalam setiap persidangan sebelum sidang pemeriksaan dimulai,
hakim wajib mengingatkan saksi, penuntut umum, dan orang lain
yang terkait dengan pemeriksaan perkara tersebut mengenai
larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
108
d. Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga Bab IV Pasal 10 yang berisi
antara lain : Korban berhak mendapatkan :
(1) Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan,
advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun
berdasarkan penetapan perlindungan dari pengadilan
(2) Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis
(3) Penanganan secara khusus berkaitan dengan rahasia korban
(4) Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap
tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan dan
(5) Pelayanan bimbingan rohani
109
d. Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan sensitif gender dan isu
kekerasan dalam rumah tangga serta menetapkan standar dan
akreditasi pelayanan yang sensitif gender
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh
menteri
(3) Menteri dapat melakukan koordinasi dengan instansi terkait dalam
melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
110
Pasal 15 yang berisi :
Setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya
kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai
dengan batas kemampuan untuk :
a. Mencegah berlangsungnya tindak pidana
b. Memberikan perlindungan terhadap korban
c. Memberikan pertolongan darurat, dan
d. Membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan
111
Pasal 18 yang berisi :
Kepolisian wajib memberikan keterangan kepada korban tentang hak
korban untuk mendapat pelayanan dan pendampingan
112
Pasal 22 yang berisi :
(1) Dalam memberikan pelayanan, pekerja sosial harus :
a. Melakukan konseling untuk menguatkan dan memberikan rasa
aman bagi korban
b. Memberikan informasi mengenai hak-hak korban untuk
mendapatkan perlindungan dari kepolisian dan penetapan
perintah perlindungan dari pengadilan
c. Mengantarkan korban ke rumah aman atau tempat tinggal
alternatif , dan
d. Melakukan koordinasi yang terpadu dalam memberikan
layanan kepada korban dengan pihak kepolisian, dinas sosial,
lembaga sosial yang dibutuhkan korban
(2) Pelayanan pekerja sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan di rumah aman milik pemerintah, pemerintah daerah,
atau masyarakat
113
d. Memberikan dengan aktif penguatan secara psikologis dan fisik
kepada korban
114
Pasal 27 yang berisi :
Dalam hal korban adalah seorang anak, laporan dapat dilakukan oleh
orang tua, wali, pengasuh, atau anak yang bersangkutan yang
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku
115
(3) Dalam hal permohonan perintah perlindungan diajukan oleh
keluarga, teman korban, kepolisian, relawan pendamping, atau
pembimbing rohani maka korban harus memberikan persetujuannya
(4) Dalam keadaan tertentu, permohonan dapat diajukan tanpa
persetujuan korban
116
(2) Dalam pemberian tambahan perintah perlindungan, pengadilan
wajib mempertimbangkan keterangan dari korban, tenaga kesehatan,
pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani
117
waktu 3 X 24 (tiga kali dua puluh empat) jam guna dilakukan
pemeriksaan
(3) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh
pengadilan di tempat pelaku pernah tinggal bersama korban pada
waktu pelanggaran diduga terjadi
118
(2) Dalam hal korban perlu perawatan, tenaga kesehatan wajib
memulihkan kesehatannya
119
Pasal 45 yang berisi :
(1) Untuk melindungi saksi dan/atau korban, di setiap provinsi dan
kabupaten/kota wajib dibentuk ruang pelayanan khusus pada kantor
kepolisian setempat guna melakukan pemeriksaan di tingkat
penyidikan bagi saksi dan/atau korban TPPO
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan ruang pelayanan
khusus dan tata cara pemeriksaan saksi dan/atau korban diatur
dengan PERKAP POLRI
120
(2) Restitusi sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) berupa ganti
kerugian atas ;
a. Kehilangan kekayaan atau pengahsilan
b. Penderitaan
c. Biaya untuk tindakan perawatan medis dan/atau psikologis,
dan/atau
d. Kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat
perdagangan orang
(3) Restitusi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam
amar putusan pengadilan tentang perkara tindak pidana
perdagangan orang
(4) Pemberian restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan sejak dijatuhkan putusan pengadilan tingkat pertama
(5) Restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat dititipkan
terlebih dahulu di pengadilan tempat perkara diputus
(6) Pemberian restitusi dilakukan dalam 14 (empat belas) hari
terhitung sejak diberitahukannya putusan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap
(7) Dalam hal pelaku diputus bebas oleh pengadilan tingkat banding
atau kasasi, maka hakim memerintahkan dalam putusannya agar
uang restitusi yang ditetapkan dikembalikan kepada yang
bersangkutan
121
6. Undang-undang No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas
Undang-undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi
dan Korban
Pasal 5 ayat (1) yang berisi :
Seorang saksi dan korban berhak :
a) Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta
bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian
yang akan, sedang, atau telah diberikannya
b) Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan
dan dukungan keamanan
c) Memberikan keterangan tanpa tekanan
d) Mendapat penerjemah
e) Bebas dari pertanyaan yang menjerat
f) Mendapat informasi mengenai perkembangan kasus
g) Mendapat informasi mengenai putusan pengadilan
h) Mendapat informasi dalam hal terpidana dibebaskan
i) Dirahasiakan identitasnya
j) Mendapat identitas baru
k) Mendapat tempat kediaman sementara
l) Mendapat tempat kediaman baru
m) Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan
n) Mendapat nasihat hukum
o) Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu
perlindungan berakhir
p) Mendapat pendampingan
122
Pasal 6 ayat (1) yang berisi ;
Korban pelanggaran HAM yang berat, korban tindak pidana terorisme,
korban tindak pidana perdagangan orang, korban tindak pidana
penyiksaan, korban tindak pidana kekerasan seksual, dan korban
penganiayaan berat, selain berhak atas hak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5, juga berhak mendapatkan :
a. Bantuan medis
b. Bantuan rehabilitasi psiko-sosial
123
b. Ganti kerugian yang ditimbulkan akibat penderitaan yang
berkaitan langsung sebagai akibat tindak pidana, dan/atau
c. Penggantian biaya perawatan medis dan/atau psikologis
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
dengan keputusan LPSK
(3) Pengajuan permohonan restitusi dapat dilakukan sebelum/setelah
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
melalui LPSK
(4) Dalam hal permohonan restitusi diajukan sebelum putusan
pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, LPSK dapat
mengajukan restitusi kepada penuntut umum untuk dimuat dalam
tuntutannya
(5) Dalam hal permohonan restitusi diajukan setelah putusan pengadilan
yang memperoleh kekuatan hukum tetap, LPSK dapat mengajukan
restitusi kepada pengadilan untuk mendapat penetapan
(6) Dalam hal korban tindak pidana meninggal dunia, restitusi diberikan
kepada keluarga korban yang merupakan ahli waris korban
124
(3) Saksi dan/atau korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
pula didengar kesaksiannya secara langsung melalui sarana
elektronik dengan didampingi oleh pejabat yang berwenang
125
Pasal 3 yang berisi :
Perlindungan sebagaimana dimaksud Pasal 2, wajib dilaksanakan oleh
aparat penegak hukum dan aparat keamanan
126
pengadilan HAM yang mengadili perkara yang bersangkutan dan
Jaksa Agung paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak
tanggal putusan dilaksanakan
127
4. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 4 Tahun 2006
tentang Penyelenggaraan dan Kerja Sama Pemulihan
Korban KDRT
Pasal 2 yang berisi :
(1) Penyelenggaran pemulihan terhadap korban dilaksanakan oleh
instansi pemerintah dan pemerintah daerah serta lembaga sosial
sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing, termasuk
menyediakan fasilitas yang diperlukan untuk pemulihan
korban
(2) Fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :
a. Ruang pelayanan khusus di jajaran kepolisian
b. Tenaga yang ahli dan profesional
(3) Pusat pelayanan dan rumah aman, dan sarana dan prasarana
lain yang diperlukan untuk pemulihan korban Menteri dapat
melakukan koordinasi dengan instansi terkait melaksanakan
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
Pasal 4 yang berisi :
Penyelenggaraan kegiatan pemulihan korban meliputi :
a. Pelayanan kesehatan
b. Pendampingan korban
c. Konseling
d. Bimbingan rohani, dan
e. Resosialisasi
128
5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 9 Tahun 2008
tentang Tata Cara Mekanisme Pelayanan Terpadu Bagi Saksi
dan/atau Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang
Pasal 2 yang berisi :
Pusat Pelayanan Terpadu wajib :
a. Memberikan pelayanan dan penanganan secepat mungkin
kepada saksi dan /atau korban
b. Memberikan kemudahan, kenyamanan, keselamatan, dan bebas
biaya bagi saksi dan /atau korban
c. Menjaga kerahasiaan saksi dan /atau korban, dan
d. Menjamin keadilan dan kepastian hukum bagi saksi dan/atau
korban
129
(2) Permohonan untuk memperoleh kompensasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh korban, keluarga, atau
kuasanya dengan surat kuasa khusus
(3) Permohonan untuk memperoleh kompensasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diajukan secara tertulis dalam bahasa
Indonesia di atas kertas bermaterai cukup kepada pengadilan
melalui LPSK
130
(4) Permohonan bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia di atas kertas
bermaterai cukup kepada LPSK
G. Latihan
131
materi tersebut, jika memang diperlukan silahkan dikomunikasikan
dengan tutor atau dosen yang membina mata kuliah Viktimologi.
H. Rangkuman
132
kewajiban penasihat hukum selama proses peradilan. Hak ini sebagai
pendukung bagi terlaksananya hak-hak dari pelaku. Keempat, Bab XII
tentang ganti rugi dan rehabilitasi, menunjukkan beberapa perlindungan
bagi pelaku. Kelima, Bab XIV tentang Penyidikan dijumpai ketentuan
yang lebih berorientasi terhadap hak pelaku. Keenam, disamping diktum
penjelasan juga tampak bahwa KUHAP lebih berorientasi kepada pelaku
dari pada korban, walaupun penjelasan umumnya menyebut adanya
tujuan menjunjung tinggi HAM dan menjamin warganegara bersamaan
kedudukan di dalam hukum.
KUHAP yang lebih berorientasi terhadap kepentingan pelaku
daripada korban tampaknya tidak terlepas dari dua faktor sebagai berikut:
Pertama, semangat berlebihan dalam perubahan sistem inquisitoir
ke accusatoir. Kedua, pengaruh kecenderungan internasional dalam
penghormatan HAM.
Direkomendasikan, KUHAP dalam penjabaran konsideran
melalui ketentuan pasalnya harus memperhatikan secara seimbang aspek
keadilan dan perlindungan korban dan pelaku.
UU Pemasyarakatan mendudukan korban sebagai pihak yang
masih lemah, orientasinya lebih pada pelaku. Ini tidak terlepas dari tiga
faktor sebagai berikut : Pertama, pengaruh instrumen internasional
berupa Standart Minimum Rules of The Treatment of Prisoners. Kedua,
pembaharuan sistem pelaksanaan sistem pemenjaraan ke sistem
pemasyarakatan. Ketiga, pembaharuan pidana sebagaimana tercermin
dalam konsep RUU KUHP.
Dalam hukum positif terdapat hukum yang memperhatikan
korban antara lain :
133
1. Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia
2. UU No. 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Perppu UU No. 1
Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
Menjadi Undang-undang
3. UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
TPPU
4. Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT
5. UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang
6. UU No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 13 Tahun
2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
134
5. PP RI No. 9/2008 tentang Tata Cara Pelayanan Terpadu Bagi Saksi
dan Korban TPPO
6. PP RI No 44 Tahun 2008 tentang Pemberian kompensasi, Restitusi,
Dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban
I. Tes Formatif
135
5. Pelaku diwajibkan memberikan ganti rugi kepada korban dapat
dilakukan dengan cara
a. Diambilkan dari harta yang dia miliki
b. Diambilkan dari harta keluarganya
c. Diambilkan dari harta ahli warisnya
d. Dari upahnya selama di LP
Rumus :
Jumlah jawaban yang benar
Tingkat penguasaan = ----------------------------------- X 100 %
5
136
BAB VI
A. Pendahuluan
137
keamanan serta kenyamanan terhadap korban dan/atau saksi sebelum,
selama dan sesudah memberikan kesaksiannya di proses persidangan.
LPSK dibentuk berdasarkan Undang-undang No. 13 tahun 2006
tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Namun karena Undang-undang
No 13 Tahun 2006 terdapat kelemahan, maka UU No. 13 Tahun 2006
diubah dengan UU No 31 Tahun 2014. Perubahan ini dimaksudkan
memperkuat LPSK dan memperluas subjek perlidungan dan layanannya.
Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan dapat :
1. Menjelaskan peranan korban sebagai saksi dalam proses
persidangan
2. Menjelaskan proses terbentuknya LPSK
3. Menjelaskan pengertian dan ruang lingkup LPSK
4. Menjelaskan tujuan dibentuknya LPSK
5. Menjelaskan proses perlindungan saksi dan/atau korban yang
dilakukan oleh LPSK
6. Menjelaskan proses perlindungan hukum terhadap korban
7. Menjelaskan proses pemenuhan hak-hak korban
138
Intimidasi pada saksi dan/atau korban merupakan pengalaman
empirik yang sering dialami. Saksi korban berbagai kasus pidana di
Indonesia, enggan memberikan kesaksiannya. Hal ini mengakibatkan
aparat penegak hukum kesulitan menguak kebenaran. Di sisi lain,
keterangan saksi dan/atau korban merupakan salah satu alat bukti sah
dalam peradilan pidana Indonesia.
Rentannya posisi saksi dan/atau korban tindak pidana terhadap
teror maupun intimidasi, baik fisik maupun psikis, ditambah
minimnya jaminan perlindungan, tidak menutup kemungkinan dapat
menempatkan saksi korban sebagai “korban untuk kedua kalinya “
karena pengungkapan peristiwa yang dialami, didengar, maupun
diketahuinya.
Kebutuhan perlindungan dan dukungan bagi saksi maupun
korban merupakan prioritas utama yang tidak bisa ditawar. Perlu
diingat juga, dalam memenuhi kebutuhan tersebut, ruang lingkup
perlindungan, dukungan pihak-pihak terkait, serta bentuk-bentuk
perlindungan yang diberikan kepada saksi dan korban harus bersifat
menyeluruh sehingga benar-benar menjamin terlindunginya hak-hak
saksi dan/atau korban dalam tahapan-tahapan yang harus mereka lalui.
Pasca reformasi, inisiatif memberi perlindungan dan
pemenuhan hak saksi dan/atau korban muncul dari kelompok
masyarakat yang berpandangan bahwa saksi dan/atau korban sudah
saatnya diberikan perlindungan dalam Sistem Peradilan Pidana.
Suara untuk lebih memperhatikan perlindungan dan hak saksi
dan/atau korban tak lepas dari dideklarasikannya Konvensi PBB
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Tahun 2004 (anti
139
korupsi) yang diratifikasi melalui Undang-undang No. 7 Tahun 2006,
Konvensi PBB menentang Kejahatan Trans Nasional Terorganisasi
(anti penyiksaan) yang diratifikasi melalui Undang-undang No. 5
Tahun 2009 dan Deklarasi PBB tentang prinsip-prinsip Dasar
Keadilan untuk Korban Kejahatan dan Penyalahgunaan Kekuasaan.
Hal prinsip yang perlu diperhatikan dari konvensi antara lain
negara wajib melakukan upaya mencegah, mengatasi pembalasan atau
intimidasi yang berakibat saksi dan/atau korban ketakutan hingga
tidak mempunyai keberanian bersaksi. Negara wajib membangun
kondisi yang kuat di masyarakat sehingga orang berani melapor dan
yang terlibat kejahatan bersedia bekerja sama dengan aparat penegak
hukum. Korban diberikan kemudahan mengakses ke peradilan pidana
dan pelayanan untuk mendapatkan penggantian kerugian dan bantuan
kesehatan medis, psikologis oleh pelaku tindak pidana atau oleh
negara.
Akhirnya, lahirlah perundang-undangan yang mengatur
perlindungan saksi dan/atau korban sebagai dasar hukum pemberian
perlindungan saksi dan korban. Peraturan dimaksud antara lain :
1. TAP MPR VIII Tahun 2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan
Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
2. UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang diatur lebih
lanjut dalam PP No 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan
Saksi dan Korban
3. UU no. 15/2002 yang diperbarui dengan UU No. 8 Tahun 2010
tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU, serta PP No. 57/2003
tentang Perlindungan Saksi dan Pelapor TPPU
140
4. Undang-undang No. 30 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi
5. UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Terorisme yang diatur
lebih lanjut dalam PP No. 24 Tahun 2003 tentang Tata Cara
Perlindungan Terhadap Saksi, Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim
dalam Perkara Tindak Pidana Terorisme
6. UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
rumah Tangga, dan
7. Undang-undang No. 9 Tahun 2008 tentang Tindak Pidana
Perdagangan Orang
141
C. Pembentukan LPSK
142
bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak
lain kepada saksi dan/atau korban sebagaimana diatur dalam undang-
undang ini”.
LPSK merupakan lembaga mandiri, berkedudukan di ibu kota
negara Republik Indonesia mempunyai perwakilan di daerah sesuai
keperluan. Bertanggung jawab menangani perlindungan dan bantuan
pada saksi dan korban berdasarkan tugas dan kewenangannya
sebagimana diatur dalam undang-undang ini serta bertanggung jawab
kepada presiden.
Ruang lingkup perlindungannya di semua tahap proses
peradilan pidana di lingkungan peradilan. Perlindungan dimaknai
sebagai upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk
memberikan rasa aman pada saksi dan/atau korban yang wajib
dilaksanakan LPSK atau lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan
undang-undang ini
Pada Undang-undang No. 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban ditemukan beberapa kelemahan,
khususnya mengenai :
a. LPSK, belum memadai dalam memberikan perlindungan kepada
saksi dan korban
b. Keterbatasan kewenangan tugas dan fungsi LPSK berimplikasi
pada kualitas pemberian layanan perlindungan saksi, korban, saksi
pelaku, pelapor, dan ahli
c. Koordinasi antar lembaga dalam pelaksanaan pemberian
kompensasi dan restitusi, dan
d. Perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum
143
Akhirnya Undang-undang No. 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban mengalami perubahan melalui
Undang-undang No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-
undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
yang disahkan pada Tahun 2014 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 No. 293).
Undang-undang No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas
Undang-undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban memuat perubahan antara lain :
a. Peningkatan sekretariat menjadi sekretariat jenderal dan
pembentukan dewan penasihat
b. Penguatan kewenangan LPSK
c. Perluasan subyek perlindungan
d. Perluasan pelayanan perlindungan terhadap korban
e. Peningkatan kerja sama dan koordinasi antar lembaga
f. Pemberian penghargaan dan penanganan khusus yang diberikan
terhadap saksi pelaku, dan
g. Perubahan ketentuan pidana, termasuk tindak pidana yang
dilakukan korporasi
144
c. Meminta foto copy surat dan/atau dokumen terkait yang diperlukan
dari instansi untuk memeriksa laporan pemohon sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan
d. Meminta informasi perkembangan kasus dari penegak hukum
e. Mengubah identitas terlindung sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan
f. Mengelola rumah aman
g. Memindahkan atau merelokasi terlindung ke tempat yang lebih
aman
h. Melakukan pengamanan dan pengawalan
i. Melakukan pendampingan saksi dan/atau korban dalam proses
peradilan, dan
j. Melakukan penilaian ganti rugi dalam pemberian restitusi dan
kompensasi
145
perlindungan, tidak memberitahukan siapapun mengenai keberadaannya,
serta hal lain yang dianggap perlu oleh LPSK.
Dalam memberikan perlindungan, LPSK memperhatikan
persyaratan sebagai berikut :
a. Sifat pentingnya keterangan saksi dan/atau korban
b. Tingkat ancaman yang membahayakan saksi dan/atau korban
c. Hasil analisis tim medis atau psikolog terhadap saksi dan/atau
korban, dan
d. Rekam jejak kejahatan yang pernah dilakukan oleh saksi
dan/atau korban
146
Selain UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban sebagaimana diubah dengan UU No. 31 tahun 2014 tentang
Perubahan UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban, teknis pemberian kompensasi, restitusi dan bantuan bagi
korban diatur dalam PP RI No. 44 Tahun 2008 tentang Pemberian
Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban.
E. Latihan
147
2. Kerjakan latihan tanpa bantuan orang lain
3. Jika dalam mengerjakan latihan mengalami kesulitan, maka
diskusikanlah dengan teman-teman sejawat yang lebih memahami
materi tersebut, jika memang diperlukan silahkan dikomunikasikan
dengan tutor atau dosen yang membina mata kuliah Viktimologi.
F. Rangkuman
148
Akhirnya, lahirlah perundang-undangan yang mengatur
perlindungan saksi dan/atau korban sebagai dasar hukum
perlindungan saksi dan korban. Perundang-undangan itu meliputi :
1. TAP MPR VIII Tahun 2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan
Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
2. UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM diatur lebih
lanjut dalam PP Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara
Perlindungan Saksi dan Korban
3. UU No. 15 Tahun 2002 yang diperbarui dengan UU No. 8 Tahun
2010 tentang Pencegahan dan TPPU, serta PP No. 57 Tahun 2003
tentang Perlindungan Saksi dan Pelapor TPPU
4. UU No. 30 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi
5. UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Terorisme diatur
lebih lanjut dalam PP No. 24 Tahun 2003 tentang Tata Cara
Perlindungan Terhadap Saksi, Penyidik, Penuntut Umum, dan
Hakim dalam Perkara Tindak Pidana Terorisme
6. UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
rumah Tangga, dan
7. Undang-undang No. 9 Tahun 2008 tentang Tindak Pidana
Perdagangan Orang
149
Pelaksanaan perlindungan saksi dan/atau korban, dibentuklah
LPSK sesuai amanat UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan
Saksi dan Korban.
LPSK dibentuk tanggal 8 Agustus Tahun 2008. Pasal 1 ayat
(3) UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
disebutkan : “LPSK adalah lembaga yang bertugas dan berwenang
memberi perlindungan dan hak lain pada saksi dan/atau korban
sebagimana diatur dalam UU ini”. LPSK merupakan lembaga mandiri,
berkedudukan di Ibu Kota Republik Indonesia bertanggung jawab
melindungi saksi/korban, bertanggung jawab pada presiden.
UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban mempunyai kelemahan
Kelembagaan yang belum memadai dalam melindungi saksi dan
korban
Keterbatasan kewenangan
Koordinasi antar lembaga dalam pelaksanaan pemberian
kompensasi dan restitusi, dan
Perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum
150
Penguatan lembaga LPSK, peningkatan sekretariat menjadi
sekretariat jenderal
Penguatan kewenangan LPSK
Perluasan subyek perlindungan
Perluasan pelayanan perlindungan terhadap korban
Peningkatan kerja sama dan koordinasi antar lembaga
Pemberian penghargaan dan penanganan khusus yang diberikan
terhadap saksi pelaku, dan
Perubahan ketentuan pidana, termasuk tindak pidana yang
dilakukan korporasi
151
i. Melakukan pendampingan saksi dan/atau korban dalam proses
peradilan, dan
j. Melakukan penilaian ganti rugi dalam pemberian restitusi dan
kompensasi
152
G. Tes Formatif
153
5. LPSK merupakan lembaga yang :
a. Mengatur kebutuhan korban
b. Mengatur kehidupan korban
c. Mengajukan kompensasi bagi korban
d. Mengatur proses peradilan korban
154
BAB VII
GANTI RUGI BAGI KORBAN
A. Pendahuluan
155
terjadinya tindak pidana yang dialaminya. Secara terperinci dalam
bab ini akan menguraikan berkaitan dengan perumusan restitusi dan
kompensasi, restitusi dan kompensasi dalam perspektif viktimologi,
serta restitusi dan kompensasi dalam hukum pidana.
Setelah mempelajari bab VII ini, mahasiswa diharapkan dapat:
1. Menjelaskan pentingnya ganti rugi bagi korban tindak pidana
2. Menjelaskan makna restitusi
3. Menjelaskan makna kompensasi
4. Menjelaskan latar belakang timbulnya gagasan kompensasi
5. Menjelaskan makna restitusi dan kompensasi berdasarkan
perspektif viktimologi
6. Menjelaskan makna restitusi dalam hukum pidana
156
Pengertian kompensasi diatur secara khusus di dalam
Peraturan Pemerintah No. 44 tahun 2008 tentang Pemberian
Kompensasi, Restitusi Dan Bantuan Kepada Saksi Dan Korban. Pasal
1 angka 4 mengatur bahwa : “ Kompensasi adalah ganti kerugian yang
diberikan oleh negara karena pelaku tidak mampu memberikan ganti
kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya”.
Adapun yang berkaitan dengan pengertian restitusi diatur
secara tersendiri di dalam Pasal 1 angka 5 yang berbunyi “Restitusi
adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya
oleh pelaku atau pihak ketiga, dapat berupa pengembalian harta milik
korban, pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau
penderitaan, atau penggantian biaya untuk tindakan tertentu”. Untuk
korban yang bersifat khusus diatur di dalam Pasal 2 ayat (1) yang
menentukan bahwa : “Korban pelanggaran hak asasi manusia yang
berat berhak memperoleh kompensasi”.
Pihak yang dapat mengajukan restitusi diatur dalam Pasal 20
ayat (1) dan (2) yang menentukan bahwa : “Korban tindak pidana
berhak memperoleh restitusi, dan permohonan untuk memperoleh
restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh korban,
keluarga, atau kuasanya dengan surat kuasa khusus. Pengaturan
mengenai hak-hak korban di dalam hukum positif secara terperinci
dapat digambarkan dalam tabel berikut ini.
157
TABEL 1
Pengaturan Hak-hak Korban
158
4. Tidak ada ketentuan yang mengatur jika terdakwa tidak memenuhi
kewajibannya untuk membayar restitusi, maka seharusnya akan ada
pidana pengganti seperti pidana kurungan atau pidana denda
159
dikemukakan oleh Zvonimir Paul Separovic sebagaimana yang telah
dikutip oleh Barda Nawawi Arief yang bunyinya sebagai berikut :
“The rights of the victim are a component part of the concept of
human rights”63 Dengan kata lain bahwa memberikan perlindungan
terhadap hak-hak korban merupakan bagian dari perwujudan terhadap
perlindungan hak asasi manusia.
Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking In
Person, Especially Women and Children, Supplementing The United
Nation Convention Against Transnational Organized Crime
merupakan sebuah protokol untuk mencegah dan menghukum pelaku
perdagangan manusia terutama karena korbannya adalah perempuan
dan anak. Protokol tersebut dikeluarkan oleh Perserikatan Bangsa-
bangsa yang kemudian lebih dikenal dengan “Konvensi Palermo
2000”.
Pada Bab II Konvensi Palermo ini mengatur secara khusus
ketentuan mengenai “Protection of victims of trafficking in person”, di
mana pada article 6 secara implisit mengatur ketentuan tentang
“assisteance to and protection of victims of trafficking in person”
yang mencantumkan “each state party shall ensure that its domestic
legal system contains measures that offer victims of trafficking in
persons the possibility of obtaining compensation for damage
suffered” , yang jika diterjemahkan mempunyai arti bahwa “setiap
negara peserta seharusnya mengatur ketentuan di dalam sistem hukum
masing-masing negara tersebut, yang memuat tentang suatu tindakan
63
Barda Nawawi Arief. 1998. Beberapa Aspek Kebijakan Dan Pengembangan
Hukum Pidana. Bandung. Citra Aditya Bhakti. Hlm. 8.
160
dimana memberikan kesempatan kepada korban perdagangan orang
yang memungkinkan mereka untuk mendapatkan ganti kerugian atas
penderitaan yang ditanggungnya”
Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan
Orang (UU TPPO) mengatur berkaitan dengan perlindungan terhadap
hak-hak korban yang diatur secara khusus di dalam Bab V Pasal 43
sampai dengan Pasal 55. Secara keseluruhan terdapat 12 (dua belas)
pasal yang mengatur berkaitan dengan hak-hak korban perdagangan
orang, namun ada beberapa pasal yang secara khusus mencantumkan
bahwa :
1. Setiap korban tindak pidana perdagangan orang berhak
memperoleh restitusi, hal ini diatur dalam Pasal 1 angka 13 UU
TPPO dimana kepada pelaku dibebankan untuk membayar ganti
kerugian;
2. Restitusi dicantumkan dalam amar putusan perkara tindak pidana
perdagangan orang, hal ini diatur secara khusus di dalam Pasal 48
ayat (3) UU TPPO;
3. Jika pelaku tidak mampu membayar maka berlakulah ketentuan
yang diatur di dalam Pasal 50 ayat (4) UU TPPO, akan disediakan
kurungan pengganti maksimal 1 tahun.
4. Adanya hak memperoleh rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial,
pemulangan dan reintegrasi sosial dari pemerintah
161
sudah meratifikasi dengan disahkannya Undang-undang No. 21 Tahun
2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang,
namun dalam implementasinya ternyata ada pasal-pasal yang kurang
jelas sehingga menghambat pelaksanaan dalam rangka memberikan
perlindungan terhadap hak-hak korban khususnya korban perdagangan
orang.
Pencantuman restitusi secara eksplisit juga diatur di dalam
Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
tetapi tidak diatur sebagai suatu jenis pidana tambahan dan tidak
tertulis secara lebih spesifik jumlah nominal dan batasan minimum
dan maksimumnya seperti yang tercantum dalam pidana denda. Tidak
dipungkiri bahwa jumlah nominal pidana denda yang dijatuhkan
cukup besar jumlahnya, namun pidana denda tersebut tidak ditujukan
atau diperuntukan bagi pemulihan korban namun akan diserahkan
pada kas negara.
Negara Belanda adalah salah satu contoh dari salah satu negara
yang mengambil alih tanggung jawab dalam pembayaran kompensasi.
Hal ini terjadi pada tahun 1977 dimana telah diatur kompensasi yang
dibayar oleh negara kepada korban-korban tindak pidana kekerasan.
Demikian pula kejadian tersebut pernah terjadi di Inggris pada tahun
1964 dengan mengeluarkan “criminal injures compensation board”
(CICB), di mana negara Inggris telah memberikan kompensasi kepada
korban-korban tindak pidana kekerasan dan sampai tahun 1992 telah
dibayarkan kurang lebih 35 millions pounds kepada 19.771 korban.
Pemberian kompensasi di Singapura diatur di dalam The
Criminal Prosedure Code, sesuai dengan yang tercantum di dalam
162
section 40 (1) (b) of The Criminal Procedure Code (Cap 68)
menyebutkan :
“The general statutory provision which empowers the court to make a
compensation order. There is no express stipulation in S 401 that an
application must be made to the court before it may make an order for
payment of compensation. The court can therefore make a
compensation order on its motion. A compensation order may be
made only by the court which convisted the accused of the offence”.
Ketentuan tersebut memperlihatkan bahwa undang-undang
memberikan kekuasaan kepada pengadilan untuk memberikan suatu
ganti rugi kepada korban. Pengadilan diberi wewenang untuk
menentukan tata cara pemberian ganti rugi tersebut. Hal ini tentunya
memberikan suatu kepastian hukum bagi korban untuk mendapatkan
hak-haknya.
163
besar yang dicapai dalam mewujudkan konsep restoratif justice. Hal
ini juga sesuai dengan tuntutan dari masyarakat internasional untuk
meningkatkan pengaturan hukum pidana terhadap korban tindak
pidana. Kecenderungan ini diperkuat dengan adanya “UN Declaration
of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of
Power”, yang pada hakekatnya berisi himbauan para anggota PBB
untuk lebih memperhatikan masalah korban tindak pidana, khususnya
dalam hal :
1. Acces to justice and fair treatment
2. Restitution
3. Compensatiton
4. Assistance
164
64
Oleh sebab itu, menurut Mudzakir , pemidanaan harus
mengandung unsur-unsur yang bersifat :
1. Kemanusiaan, dalam arti pemidanaan tersebut menjunjung tinggi
harkat dan martabat seseorang
2. Edukatif, dalam arti bahwa pemidanaan itu mampu membuat orang
sadar sepenuhnya atas perbuatan yang dilakukan dan menyebabkan
ia mempunyai sikap jiwa yang positif dan konstruktif bagi usaha
penanggulangan tindak pidana
3. Keadilan, dalam arti bahwa pemidanaan tersebut dirasakan adil
(baik oleh terhukum maupun oleh korban dan juga oleh
masyarakat).
Pernyataan Mudzakir ini kemudian diulas kembali oleh Made
Dharma Weda, yang kembali menegaskan bahwa perhatian terhadap
korban merupakan inti dari keadilan restoratif yang memandang
bahwa tindak pidana tidak hanya sebagai suatu pelanggaran terhadap
Hukum Pidana saja, tetapi juga merupakan konflik antara individu
yang mengakibatkan kerugian di pihak korban, masyarakat, dan
pelaku tindak pidana itu sendiri65.
Berkaitan dengan hal tersebut, Braithwaite mengemukakan
pula bahwa pelaku tindak pidana, korban dan masyarakat secara
bersama-sama mengidentifikasi permasalahan serta proses hukum
yang diinginkan korban, sehingga korban dapat memahami bagaimana
proses itu dapat berlangsung dan apa yang dihasilkan dalam proses
64
Mudzakir. 2005. Bentuk-bentuk Pemidanaan Dalam Rancangan KUHP. Makalah
Seminar yang diselenggarakan oleh KOMNAS HAM. Bandung. Hlm. 6
65 Made Dharma Weda. 2006. Pemberlakuan Hukum Pidana Secara Retroaktif Di Indonesia. Ringkasan
Disertasi. Jakarta. Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia. Hlm.14.
.
165
tersebut 66 . Selanjutnya Braithwaite juga mengemukakan bahwa :
“equality justice means equal treatment of victims”. Hal ini
menunjukkan bahwa perhatian terhadap korban, melalui kesempatan
yang diberikan terhadap korban untuk mengetahui bentuk perbaikan
yang dilakukan oleh pelaku, dan menunjukkan kualitas keadilan itu
sendiri. Sedangkan Allison Morris dan Warren Young menyatakan
bahwa inti dari keadilan restorative justice adalah pemberian maaf
oleh korban kepada pelaku tindak pidana serta memperbaiki akibat
yang ditimbulkan karena perbuatan pelaku tindak pidana, baik secara
materiil maupun secara fisik67.
E. Latihan
66
John Braithwaite. 2002. Restorative Justice and Responsive Regulation. Oxford
University Press. Page 46.
67
Allison Morris and Warren Young. Reforming Criminal Justice The Potencial of
Restorative Justice. Dalam Heater.
166
Petunjuk Jawaban Latihan :
1. Sebelum mengerjakan latihan tersebut, terlebih dahulu harus
membaca materi BAB VII tentang Ganti Rugi Bagi Korban yang
berisi tentang perumusan restitusi dan kompensasi dalam perspektif
viktimologi dan restitusi dan kompensasi dalam hukum pidana secara
berulang-ulang dengan cermat, sampai merasa sudah cukup paham.
2. Kerjakan latihan tanpa bantuan orang lain
3. Jika dalam mengerjakan latihan mengalami kesulitan, maka
diskusikanlah dengan teman-teman sejawat yang lebih memahami
materi tersebut, jika memang diperlukan silahkan dikomunikasikan
dengan tutor atau dosen yang membina mata kuliah Viktimologi.
F. Rangkuman
167
Kompensasi, Restitusi Dan Bantuan Kepada Saksi Dan Korban. Dan
Restitusi diatur dalam Pasal 1 angka 5 nya. Untuk pihak yang dapat
mengajukan restitusi diatur dalam Pasal 20 ayat (1) dan (2)
Beberapa catatan khusus yang perlu diperhatikan antara lain :
1. Di dalam hukum positif yang mengatur mengenai pemenuhan hak
korban, tidak membedakan antara korban yang sudah dewasa
dengan yang masih anak-anak
2. Tidak adanya keseragaman baik dalam terminologi perumusan
maupun pengaturannya
3. Tidak selalu diikuti dengan peraturan pemerintah, sebagai peraturan
pelaksananya
4. Tidak ada ketentuan yang mengatur jika terdakwa tidak memenuhi
kewajibannya untuk membayar restitusi, maka seharusnya akan ada
pidana pengganti seperti pidana kurungan atau pidana denda
168
Pemahaman bahwa korban telah menderita suatu bentuk
kerugian akibat terjadinya suatu tindak pidana yang menimpa dirinya
dipahami sebagai suatu asas universal hampir di seluruh bagian dunia.
Perlindungan terhadap hak asasi manusia dan perlindungan terhadap
hak korban merupakan dua sisi dari satu mata uang yang sama.
Perlindungan terhadap hak-hak korban merupakan bagian dari
perwujudan terhadap perlindungan hak asasi manusia.
Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking In
Person, Especially Women and Children, Supplementing The United
Nation Convention Against Transnational Organized Crime
merupakan sebuah protokol untuk mencegah dan menghukum pelaku
perdagangan manusia terutama karena korbannya adalah perempuan
dan anak. Protokol tersebut dikeluarkan oleh Perserikatan Bangsa-
bangsa yang kemudian lebih dikenal dengan “Konvensi Palermo
2000”.
Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan
Orang (UU TPPO) mengatur berkaitan dengan perlindungan terhadap
hak-hak korban yang diatur secara khusus di dalam Bab V Pasal 43
sampai dengan Pasal 55. Secara keseluruhan terdapat 12 (dua belas)
pasal yang mengatur berkaitan dengan hak-hak korban perdagangan
orang. namun dalam implementasinya ternyata ada pasal-pasal yang
kurang jelas sehingga menghambat pelaksanaan dalam rangka
memberikan perlindungan terhadap hak-hak korban khususnya
perdagangan orang.
Pencantuman restitusi secara eksplisit juga diatur di dalam
Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
169
tetapi tidak diatur sebagai suatu jenis pidana tambahan dan tidak
tertulis secara lebih spesifik jumlah nominal dan batasan minimum
dan maksimumnya seperti yang tercantum dalam pidana denda.
Konsep ganti rugi yang tercantum sebagai salah satu pidana
tambahan di dalam Rancangan KUHP merupakan suatu kemajuan
besar yang dicapai dalam mewujudkan konsep restoratif justice. Hal
ini juga sesuai dengan tuntutan dari masyarakat internasional untuk
meningkatkan pengaturan hukum pidana terhadap korban tindak
pidana. Kecenderungan ini diperkuat dengan adanya “UN Declaration
of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of
Power”, yang pada hakekatnya berisi himbauan para anggota PBB
untuk lebih memperhatikan masalah korban tindak pidana, khususnya
dalam hal :
1. Acces to justice and fair treatment
2. Restitution
3. Compensatiton
4. Assistance
170
Berdasarkan laporan dari hasil Simposium Pembaharuan
Hukum Pidana Nasional Tahun 2010 menyatakan bahwa “sesuai
dengan Politik Hukum Pidana, maka tujuan pemidanaan harus
diarahkan kepada perlindungan masyarakat dengan memperhatikan
kepentingan masyarakat, negara, korban, dan pelaku.
Oleh sebab itu, menurut Mudzakir, pemidanaan harus
mengandung unsur-unsur yang bersifat :
1. Kemanusiaan, dalam arti pemidanaan tersebut menjunjung tinggi
harkat dan martabat seseorang
2. Edukatif, dalam arti bahwa pemidanaan itu mampu membuat orang
sadar sepenuhnya atas perbuatan yang dilakukan dan menyebabkan
ia mempunyai sikap jiwa yang positif dan konstruktif bagi usaha
penanggulangan tindak pidana
3. Keadilan, dalam arti bahwa pemidanaan tersebut dirasakan adil
(baik oleh terhukum maupun oleh korban dan juga oleh
masyarakat).
G. Tes Formatif
171
2. Hal yang perlu diperhatikan oleh hakim untuk memuaskan korban
adalah ….. kecuali :
a. Kesalahan pelaku tindak pidana
b. Pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pelaku tindak
pidana
c. Kerugian korban
d. Lingkungan korban
3. Kesanggupan pelaku tindak pidana untuk membayar ganti rugi
pada korban dikenal dengan istilah :
a. Restitusi
b. Kompensasi
c. Rehabilitasi
d. Asimilasi
4. Ganti rugi untuk korban dapat ditanggung oleh negara, hal ini
disebut dengan :
a. Restitusi
b. Kompensasi
c. Rehabilitasi
d. Asimilasi
5. Konsep ganti rugi yang diberikan kepada korban tindak pidana
sesuai dengan prinsip :
a. Equality before of the law
b. Presumption of innocent
c. Restorative justice
d. distributif
172
Setelah mengerjakan Tes, cocokkan jawaban saudara dengan
kunci jawaban yang ada di akhir Buku Ajar ini . Hitung jawaban yang
benar, gunakan rumus untuk mengetahui tingkat penguasaan Bab VII.
Rumus :
Jumlah jawaban yang benar
Tingkat penguasaan = ----------------------------------- X 100 %
5
173
DAFTAR PUSTAKA
174
Masriani, Yullies Tina. 2004. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta.
Sinar Grafika.
175
Kritis Kasus Novi Amalia. Jurnal Perlindungan Saksi Dan
Korban. Vo. 7 No 1. Lembaga Perlindungan Saksi dan
Korban.
Perundang-Undangan
176
UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM diatur lebih lanjut
dalam PP Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara
Perlindungan Saksi dan Korban
177
korban dalam UU selanjutnya diatur dalam peraturan
pelaksanaannya, yaitu :
178
Glossary
179
Kriminologi : ilmu yang mempelajari tentang
kejahatan
Pelanggaran : perbuatan yang dianggap sebagai tercela
karena ada aturannya
Perlindungan : Pemberian rasa aman dan nyaman pada
korban kejahatan
Rehabilitasi : Pemulihan korban akibat adanya
kejahatan
Restitusi : ganti rigi yang diberikan oleh pelaku
kejahatan pada korban
Tindak Pidana : perbuatan yang melanggar aturan pidana
Sistem Peradilan Pidana : Proses penyelesaian tindak pidana
Viktimologi : Ilmu yang mempelajari tentang korban
180
KUNCI JAWABAN TES FORMATIF
2. a 2. d 2. a 2. a . 2. d 2. d
3. b 3. a 3. c 3. d 3. b 3. a
4. b 4. a 4. c 4. c 4. d 4. b
5. a 5. d 5. d 5. a 5. a 5. C
BAB VII
1.d 2. d 3. a 4. b 5. c
181