Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

MODEL KELUARGA QUR’ANI

Oleh :
Nama :
NIM :
                                

DOSEN PENGAMPUH :
Muhammad Ubaidillah, S. Kom.,I.M.Pd.

PROGRAM STUDI MANAJEMEN DAKWAH


FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH
PALEMBANG
2021M

i
BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Manusia dan kehidupannya, sejak di ciptakan dan dilahirkan oleh Allah ke
alam dunia hingga ia dipanggil kembali oleh Allah untuk menghadap-NYa,
menjadi sasaran dakwah setiap Rasul dan semua aturan syariat Allah. Manhaj
ilahiyah diturunkan guna mengatur kehidupannya agar tidak tersesat jalan serta
tidak mengalami hambatan dan rintangan selama menempuh perjalanan
hidupnya di muka bumi.
Dalam rangka membentuk kepribadian humanis, dengan sentuhan rabbani,
manhaj qur’ani mencurahkan segala daya upayanya yang berkelanjutan untuk
membangun keluarga atas dasar pondasi yang kukuh dan kuat. Dari benteng
pertahanan ini dihasilkan kepribadian muslim yang mampu mengemban tugas
besar bagi seluruh semesta, yaitu membawa misi sebagai pembawa petunjuk
dan pencerahan.
Keluarga adalah satu-satunya lingkungan yang memungkinkan untuk
mencetak anak-anak menjadi generasi muslim dan manusia sholeh. Keluarga
merupakan wilayah eksklusif untuk menanamkan perasaan cinta kepada Allah,
Rasul-Nya, dan kaum muslimin, serta media mengembangkan kasih sayang
dan kegemaran menolong sesama. Dan tujuan hidup berkeluarga yang mulia
ini tidak akan terealisasi manakala para calon bapak tidak memilihkan bagi
anak-anaknya sosok ibu yang ideal menurut Islam. 

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Keluarga Qur’ani

Keluarga merupakan fondasi awal pergerakan hidup seseorang, dan setiap


orang ditempa, dibina, dan dilatih agar menjadi manusia seutuhnya. Wajar jika
dikatakan bahwa keluarga sebagai lembaga pendidikan pertama (madrasatul ula)
dalam membentuk karakter (character building) setiap orang. Sebab itu,
keberadaan keluarga sangat urgen untuk melahirkan generasi berkualitas di masa
depan. Banyak kesuksesan dan kebaikan lahir dari keluarga yang taat, sebaliknya
banyak problematika sosial terjadi disebabkan ruh keluarga yang hilang.
Memahami makna keluarga tersebut, maka keluarga adalah salah satu mata
rantai kehidupan yang paling esensial dalam sejarah perjalanan hidup manusia.
Menurut Sayyid Sabiq, keluarga juga membuat mozaik kehidupan yang
memberikan kenyamanan dan ketenteraman bagi manusia, sehingga menimbulkan
kepuasan anggotanya serta rahmat Tuhan yang maha pencipta. Tentunya, mozaik
kehidupan tersebut tidak terlepas dari spectrum dasar, yaitu sakinah, mawaddah,
dan rahmah.
Ikon "Rumahku adalah taman sorgaku", begitulah ungkapan paling lazim
tentang bangunan keluarga ideal. Memang membangun "sorga" di dunia ini tidak
semudah diucapkan, karena di dalamnya mesti dilandasi fondasi yang kokoh
berupa iman, kelengkapan bangunan dengan Islam, dan pengisian ruang
kehidupan dengan ihson. Di samping itu juga tidak bisa mengabaikan tuntutan
kebutuhan hidup sebagaimana layaknya manusia yang tidak terlepas dari hajat
keduniaan, baik yang bersifat materi maupun non-materi. "Rumah" juga tidak
hanya dimaknai secara fisik, tetapi lebih bernilai fungsional dalam membentuk
kepribadian anak manusia untuk mencapai kedewasaan dan kesempumaan hidup,
yaitu kehidupan rumah tangga yang dilandasi dengan pemenuhan unsur
keagamaan, ekonomis, biologis, kerohanian, pendidikan, perlindungan,
keamanan, serta sosial dan budaya yang terjalin secara terpadu dan harmonis.

2
Oleh karena itu, hidup berkeluarga merupakan dambaan semua manusia,
setiap orang akan berusaha untuk mendapat pasangan hidup yang sesuai
dengannya, untuk menjaga keharmonisan hidup berkeluarga. Pembinaan sebuah
keluarga bermula dari perkawinan, dalam hal ini, terbentuknya sebuah keluarga
merupakan salah satu cara untuk menerapkan salah satu dari lima tujuan syari`at
Islam yang jamak disebut dengan maqashid asysyar`iyyah sebagaimana telah
dirumuskan oleh al-Syatibi, dengan tujuan menjaga lima hal (dharuriyah al-
khams), yaitu: agama, jiwa, keturunan, harta benda, dan akal (Mahfudh, 2004:
xiv; Wahyudi, 2007:26).
Quraish Shihab dalam bukunya Membumikan al-Qur’an mengatakan bahwa:
Keluarga adalah jiwa masyarakat dan tulang punggungnya. Kesejahteraan lahir
dan batin yang dinikmati suatu bangsa, atau sebaliknya, kebodohan dan
keterbelakangannya, adalah cerminan dari keadaan keluarga-keluarga yang hidup
pada masyarakat bangsa tersebut.
Jika menilik Alquran secara holistik dan mendalam, akan ditemukan sejumlah
kisah-kisah (qashash) para Nabi dan orang-orang terdahulu dalam berkeluarga.
Baik penyebutan kisah-kisah keluarga terpuji dan tercela, maupun person yang
terpuji dan tercela dalam keluarga. Para ulama menjelaskan, bahwa ketika Allah
Swt. mengisahkan sesuatu dalam Al-Qur’an bertujuan untuk menjadi pelajaran
(Ibrah) bagi manusia setelahnya. Sebab itu, penting bagi keluarga masa kini untuk
berkaca dan bercermin serta mengambil pelajaran pada tipe atau model keluarga
masa lalu.
Dalam atmosfir keluarga, baik suami dan istri dapat saling berbagi kasih
sayang, cinta, dan kemesraan; perasaan yang tidak mereka dapatkan di tempat lain
dan tidak pula diperoleh dalam hubungan antara lelaki dengan lelaki atau
perempuan dengan perempuan. Sehingga diantara tujuan berkeluarga adalah
meraih ketenangan jiwa dan kasih sayang antar pasangan suami istri, yang Islam
juga tidak menafikan untuk meraih kesenangan dalam kehidupan rumah tangga.
Namun demikian seorang suami tidak boleh melalaikan tugasnya sebagai kepala
keluarga yang dalam Al Qur’an sifat qawwamah haruslah dimiliki oleh seorang
suami, yang dalam hal ini Allah menegaskan dalam firman-Nya: ”Wahai orang-
orang yang beriman peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang

3
bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang
kasar, dank eras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang
diperintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”
(QS. At Tahrim ayat 6).
Jika kita memahami ayat tersebut di atas dalam naungan dan lingkungan
keluarga yang suci maka sudah pasti harus terpenuhilah salah satu tuntutan yang
paling mendesak bagi seseorang, yaitu kebutuhan naluri untuk menjadi orang tua
dan kebutuhan akan generasi penerus. Memiliki anak merupakan keinginan setiap
laki-laki dan perempuan. Seseorang akan merasa hampa, tidak sempurna, dan
tidak berguna jika ia tidak dikaruniai keturunan. Anak merupakan anugerah Allah
sebagai pemenuhan terhadap kebutuhan dan tuntutan menjadi orang tua : “Dan
(ingatlah kisah) Zakariya, tatkala ia menyeru Tuhannya : “Ya Tuhanku, Janganlah
Engkau membiarkan aku hidup seorang diri dan Engkaulah Waris yang paling
baik.”Maka Kami memperkenankan doanya, dan Kami anugerahkan kepadanya
Yahya.” (QS Al Anbiya :89). Hal ini pula yang dirasakan oleh khalilullah Nabi
Ibrahim –’Alaihis Salam- yang mengucapkan syukur atas pemberian anugerah-
Nya : “Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahkan kepadaku di hari
tuaku Ismail dan Ishaq” (QS Ibrahim:39). Oleh sebab itu, jika menginginkan
keturunan, orang tua berkewajiban mempersiapkan sarana dan prasarana
pendidikan serta pengembangan kepribadian anak. Karena, anak merupakan
spesies yang paling membutuhkan pengasuhan dalam jangka waktu yang panjang.
Pendidikan menjadi tanggung jawab para bapak, sehingga anak-anaknya tumbuh
berkembang dan mengantarkan mereka kepada kehidupan dalam keadaan siap
menjalankan peran orang dewasa.
Keluarga adalah satu-satunya lingkungan yang memungkinkan untuk
mencetak anak-anak menjadi generasi muslim dan manusia sholeh. Keluarga
merupakan wilayah eksklusif untuk menanamkan perasaan cinta kepada Allah,
Rasul-Nya, dan kaum muslimin, serta media mengembangkan kasih sayang dan
kegemaran menolong sesama. 
Dan tujuan hidup berkeluarga yang mulia ini tidak akan terealisasi manakala
para calon bapak tidak memilihkan bagi anak-anaknya sosok ibu yang ideal
menurut Islam. Karena apabila tidak ada keselarasan dan kesepakatan anatara

4
suami dan istri dalam tujuan berkeluarga maka akan sangat sulit untuk mencetak
generasi Qur’ani sebagaimana yang diharapkan oleh Islam. Al Qur’an telah
menyebutkan dalam surat At Taghabun ayat 14 -15 : “Wahai orang-oarng yang
beriman, sesungguhnya diantara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang
menjadi musuh bagimu,maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka. Dan jika
maafkan dan kamu santuni serta ampuni (mereka) maka sungguh, Allah Maha
Pengampun Maha Penyayang. Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu
hanyalah cobaan bagimu, dan disisi Allah pahala yang besar.” 
Jika kita tela’ah lebih lanjut dua ayat di atas bisa difahami bahwa kadang-
kadang istri atau anak dan juga harta dapat menjerumuskan seorang suami atau
bapak untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak dibenarkan oleh agama.
1. Keluarga Imran
Keluarga Imran adalah tipe keluarga yang paling buruk. Pasalnya, suami
dan istri, keduanya berada didalam kemaksiatan kepada Allah. Tentunya kita
pernah membaca didalam Sirah Nabawi, bagaimana Imran adalah orang
pertama yang mengolok-olok, menyakiti dan menghalangi dakwah yang
dilakukan oleh Rasulullah Saw. Sementara sang istri yang dikenal dengan
Ummu Jamil, dia selalu membantu Imran untuk melancar setiap aksinya.
Kisah kelicikan keluarga Imran diabadikan di dalam surat Imran: ”Binasalah
kedua tangan Abu Lahab dan benar-benar binasa dia! Tidaklah berguna
baginya hartanya dan apa yang dia usahakan. Kelak dia akan masuk ke
dalam api yang bergejolak (neraka). Dan (begitu pula) istrinya, pembawa
kayu bakar (penyebar fitnah). Di lehernya ada tali dari sabut yang dipintal.”
(QS. Al-Lahab: 1-5).
Model keluarga Imran adalah model keluarga yang enggan beriman, dan
model keluarga yang ahli maksiat dan tidak mau menerima kebenaran yang
datang. Setiap dakwah yang dilancarkan kepadanya, tidak membuat ia
beriman kepada Allah SWT dan kerasulan Muhammad SAW. Bahkan, Abu
Lahab menjadi seorang keluarga Nabi yang menjadi ancaman pertama dalam
perkembangan dakwah saat itu. Berbagai kelicikan dan tipu daya dilancarkan
oleh Imran untuk menghadang dan menghalangi dakwah Nabi SAW.

5
Lebih lanjut, Imran menjadi satu provokator untuk menggerakkan massa
untuk menghadang dakwah Nabi. Bahkan, ia mengajak isterinya, Ummu
Jamil, untuk terlibat langsung dalam menghadang dakwah Nabi SAW.
Artinya, model keluarga  Imran yakni suami dan isteri sama-sama tidak taat
kepada Allah dan Rasul-Nya. Keluarga ini adalah model penghuni neraka.
Jika melihat realitas sosial saat ini tentu kita akan menemukan semisal
model keluarga Imran. Dimana suami dan isteri menjadi biang-kerok dalam
setiap kriminalitas, pertikaian, kemaksiatan, perilaku amoral dan destruktif.
Semisal, berapa banyak para suami dan isteri bersekongkol dalam perilaku
tercela, sehingga kedua mereka mendekam dipenjara dalam kasus yang sama.
2. Keluarga Nabi Nuh as dan Luth as
Tipe keluarga Nabi Nuh As. dan Nabi Luth As., dimana suaminya ahli
ibadah, istrinya ahli bid’ah. Kedua mereka merupakan Rasul utusan Allah
Swt. untuk mendakwahi umat masing-masing. Nabi Nuh As. diutus kepada
Bani Rasib, yakni suatu kaum yang menyembah patung-patung berhala.
Sedangkan Nabi Luth As. diutus untuk kaum Sodom, yakni suatu kaum yang
berperilaku seks menyimpang (LGBT). Nabi Nuh senantiasa memerintahkan
umatnya untuk menyembah Allah, namun umatnya itu selalu
mengingkarinya. Nuh berkata: “Ya Tuhanku sesungguhnya aku telah
menyeru kaumku malam dan siang,maka seruanku itu hanyalah menambah
mereka lari (dari kebenaran), dan sesungguhnya setiap kali aku menyeru
mereka (kepada iman) agar Engkau mengampuni mereka, mereka
memasukkan anak jari mereka ke dalam telinganya dan menutupkan bajunya
(kemukanya) dan mereka tetap (mengingkari) dan menyombongkan diri
dengan sangat. (QS. Nuh: 5-7)
Namun ternyata ujian Nabi Nuh tidak hanya seruannya diingkari oleh
umatnya saja, tetapi anak istrinya juga tidak mendengarkan seruan Nabi Nuh.
Mereka masih menyembah berhala, hingga akhirnya Allah mengirimkan
Azab, meskipun Nabi Nuh sudah memberikan peringatan agar mereka
mengikutinya untuk masuk ke perahu yang dibuatnya, namun mereka tidak
mau mendengarkan. Meskipun mereka diutus untuk memperbaiki kondisi
akidah umat. Akan tetapi, isteri mereka masing-masing juga menjadi bagian

6
dari orang-orang yang ingkar kepada Allah Swt. Artinya, dakwah mereka pun
tidak mendapat restu dari isteri mereka.
Kondisi tersebut digambarkan oleh Allah Swt. dalam Alquran, dengan
firman-Nya: “Allah membuat isteri Nuh dan isteri Luth sebagai
perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada dibawah
pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami;
lalu kedua isteri itu berkhianat kepada suaminya masing-masing, maka
suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikit pun dari siksa Allah; dan
dikatakan kepada keduanya: Masuklah ke dalam jahannam bersama orang-
orang yang masuk neraka jahannam.” (QS. At-Tahrim: 10). Artinya, model
keluara Nabi Nuh As. dan Nabi Luth As. yakni suami taat, sedangkan isteri
tidak taat kepada Allah Swt.
Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada jaminan seorang
kiyai/mualim/ustaz/orang yang terhormat mendapatkan isteri shalihah.
Perumpaan model keluarga di atas terlihat bahwa para Nabi saja tidak
terjamin dari pada mendapatkan isteri shalihah. Namun demikian,
ketidakshalihan isteri tidak membuat mereka menjerumuskan diri dalam
perilaku tercela. Sebab itu, banyak orang mendapatkan gelar kiyai terhormat
di lingkungan sosial, akan tetapi memperoleh isteri yang durhaka kepada
Allah SWT. Oleh sebab itu, diperlukan ketabahan suami dalam membina dan
meluruskan tulang-rusuk (tulang bengkok) dalam berkeluarga.
3. Keluarga Nabi Ibrahim as
Tipe atau model keluarga Nabi Ibrahim As. termasuk satu dari para
Nabi dan Rasul ulul azmi, yakni Nabi yang paling banyak cobaan dan
rintangan dalam berdakwah dan menjalani kehidupan. Dalam sejarah tercatat
bahwa Nabi Ibrahim As. memiliki dua isteri, yakni Sarah dan Hajar. Dari
pernikahannya dengan Sarah lahir seorang anak bernama Nabi Ishaq As. Dari
jalur keturunan Ishaq lahir para Nabi dan Rasul selanjutnya, semisal Nabi
Ya’qub As., Nabi Yusuf As., dan lainnya. Sedangkan dari pernikahannya
dengan Hajar lahir seorang anak bernama Nabi Ismail As. Dari jalur
keturunan Ismail hanya lahir seorang Nabi dan Rasul penutup, yakni Nabi
Muhammad Saw. (QS.Al-Ahzab:40).

7
Didalam al-Qur’an tergambar sangat jelas, model keluarga Nabi
Ibrahim As. merupakan keluarga utuh yang taat kepada Allah Swt, baik suami
maupun isteri-isterinya. Dari sanalah lahir anak-anak yang taat kepada Allah
Swt. hingga menjadi Nabi dan Rasul. Tentu hal itu karunia Allah Swt. bagi
Nabi Ibrahim As. Sebab itu, hendaknya kita berkaca dan bercermin dari
empat model keluarga itu.
Cerminan keluarga teladan adalah keluarga Nabi Muhammad dengan
Khadijah, dan kisah Nabi Ibrahim dengan Hajar. Bagaimana Ibunda Khadijah
mendukung dakwah Nabi secara total. Juga bagaimana Hajar yang selalu taat
dengan keputusan yang telah Allah tetapkan atasnya. Keluarga inilah
keluarga yang patut dijadikan sebagai contoh. Suami dan isteri keduanya
adalah ahli taat, ahli ibadah, ahli tauhid, ahli sedekah, ahli shalat.

4.

8
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Keluarga adalah jiwa masyarakat dan tulang punggungnya. Kesejahteraan


lahir dan batin yang dinikmati suatu bangsa, atau sebaliknya, kebodohan dan
keterbelakangannya, adalah cerminan dari keadaan keluarga-keluarga yang hidup
pada masyarakat bangsa tersebut.
Jika menilik Alquran secara holistik dan mendalam, akan ditemukan
sejumlah kisah-kisah (qashash) para Nabi dan orang-orang terdahulu dalam
berkeluarga. Baik penyebutan kisah-kisah keluarga terpuji dan tercela, maupun
person yang terpuji dan tercela dalam keluarga.

9
DAFTAR PUSTAKA

Abud Ghani, 2015. Keluarga Muslim dan Berbagai Masalahnya. Bandung:


Pustaka
Nasution, Khoiruddin. 2005. Hukum Perkawinan dilengkapi diperbandingan UU
Negara Muslim Kontemporer. Yogyakarta: Tazzafa.
Syah, Ismail Muhammad. 2002. Filsafat Hukum Islam. Cet. III. Jakarta: Bumi
Aksara.

10

Anda mungkin juga menyukai